Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN FARMAKOTERAPI II

KASUS EPILEPSI

DI SUSUN OLEH :

KURNIA ARINI SAFITRI

(SC119002)

DELLA PUNGKY AGASWARI


(SC119013)

NANDA DANING WULANDARI (SC119011)

DWI TRI AGUSTINA (SC119016)

PRODI S1 FARMASI

STIKES MAMBA’UL ‘ULUM SURAKARTA

2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat serta
petunjuknya sehingga laporan FARMAKOTERAPI II yang berjudul " EPILEPSI "
dapat terselesaikan dengan baik.Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Farmakoterapi II.Penulis makalah ini tak lepas dari bantuan dari beberapa
pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

Ibu Apt. Andriani Noerlita S.Farm., M.Sc selaku dosen pengampu mata kuliah
Farmakoterapi II .

Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini masih ada kekurangan, untuk itu
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini dan bermanfaat bagi pembaca.

Surakarta, 24 Desember 2021

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

A. Dasar Teori.........................................................................................
B. Definisi Epilepsi.................................................................................
C. Epidemologi Epilepsi.........................................................................
D. Faktor resiko Epilepsi........................................................................
E. Etiologi...............................................................................................
F. Patofisiologi.......................................................................................
G. Manifestasi klinis...............................................................................
H. Tanda dan gejala................................................................................
I. Komplikasi.........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................

A. Diagnosis............................................................................................
B. Tata laksana........................................................................................
C. Pemeriksaan diagnostic......................................................................
D. Diagnosis banding..............................................................................
E. Prognosis............................................................................................
F. Guideline terapi
G. Penatalaksanaan Kasus dan Pembahasan...........................................

BAB III PENUTUP..................................................................................................

Kesimpulan...............................................................................................................

Daftar Pustaka.........................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI EPILEPSI
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala
akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan.
Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau
fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum).
Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai
proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang
berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi
(EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai
adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). 
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) atau epilepsi adalah Suatu serangan berulang secara
periodik dengan dan tanpa kejang. Serangan tersebut disebabkan kelebihan
neuron kortikal dan ditandai dengan perubahan aktivitas listrik seperti yang
diukur dengan elektro enselofogram (EEG). Kejang menyatakan keparahan
kontraksi otot polos yang tidak terkendali (ISO FARMAKOTERAPI)
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan
oleh ILAE dan IBE yaitu:
 Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
 Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya
bangkitan selanjutnya
 Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,
psikologi dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan .(Octaviana, 2008).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam
etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala
akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan
berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (Baiquni, 2010).

B. EPIDIMOLOGI EPILEPSI
. Setiap tahunnya 120/100.000 orang di Amerika Serikat datang ke perawatan
medis karena kejang yang baru diakui. 8% dari populasi umum memiliki setidaknya 1
kali kejang dalam seumur hidup. Tingkat kekambuhan kejang tak beralasan pertama
dalam 5 tahun berkisar antara 23% dan 80%. Anak -anak dengan kejang pertama
idiopatik dan elektroensefalogram normal (EEG) memiliki prognosis yang sangat
menguntungkan. Beberapa kejang terjadi sebagai peristiwa tunggal yang dihasilkan
dari penarikan depresan sistem syaraf pusat (SSP) (misalnya alkohol,barbiturat,dan
obat lain) atau selama penyakit neurologis akut atau kondisi toksik sistemik (misalnya
uremia atau eklamsia). epilepsi adalah gangguan kronis yang ditandai dengan kejang
yang tidak terulang. Kejadian epilepsi yang disesuaikan dengan usia adalah
44/100.000 orang per tahun. Setiap tahun,sekitar 125.000 kasus epilepsi baru terjadi
di Amerika Serikat,hanya 30% berada pada orang yang lebih muda dari 18 tahun pada
saat diagnosis. Ada distribusi bimodal dalam terjadinya kejang pertama,dengan satu
puncak terjadi pada bayi baru lahir dan anak-anak muda dan puncak kedua terjadi
pada pasien yang lebih tua dari 65 tahun.

C. FAKTOR RESIKO EPILEPSI

 Faktor genetik
 Cedera pada kepala
 Masalah pada otak
 Adanya penyakit akibat infeksi
 Gangguan perkembangan otak dan kerusakan otak
 Memiliki penyakit jantung dan demensia

D. ETIOLOGI

Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :


1. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak
ditemukan penyebabnya
2. Epilepsi sekunder atau simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.
Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga
terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf
pada area jaringan otak yang abnormal.
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau
akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan
karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan
otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak.
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
1.       Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti
ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami
infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.
2.  Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3.       Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4.        Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama
pada anak-anak.
5.         Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6.         Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
7.         Penyakit seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
(Anonim, 2009).

E. PATOFISIOLOGI

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan


transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak
mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane
sel. Potensial membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif
membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang
ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl,
sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah
ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang
ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan
potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit
dan badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi
membran neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan
listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi
sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara
neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat dan
asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma
amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam
keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan
depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah
atau mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah
dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca
akan mencetuskan letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik
berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan
epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat
serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga system-sistem
inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-
menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak (Anonim, 2009).
Hal-hal yang dapat mencetuskan kejang
         Kurang tidur
         Lupa makan obat
         Stres fisik maupun mental
         Demam akibat infeksi
         Alkohol
         Menstruasi
         Terlambat makan
Tindakan saat seseorang kejang
         Bersikaplah tenang
         Jaga agar penderita tidak sampai terluka
         Longgarkan bajunya
         Miringklan penderita pada sisi kirinya agar jalan nafas baik
         Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulutnya
         Catat lamanya kejang
         Jangan tahan penderita
         Apabila bangkitan kejang lebih dari 5 menit atau tampak sangat berat,
bawalah ke tempat pengobatan terdekat secepat mungkin.

F. MANIFESTASI KLINIS

1. Epilepsi parsial : fokus di satu bagian otaka.


A. Parsial sederhana-Dapat bersifat motorik,unilateral,klonik
Motorik : Jackson march,Todd’sparalysis,simpleepilepsy continua
 Sensorik
 Autonomik
 Psikik
 < 1 menit
 Aura

B. Parsial kompleks

 Dimulai sebagai kejang parsial sederhana


 Perubahan kesadaran verbal dan visual
 Gejala motorik, sensorik, otomatisme
 Mungkin berkembang menjadi kejanggeneralisata
 1-3 menit

2. Epilepsi generalisata

Khas : tampak abnormalitas pada keadaan klinis dan EEGdisertai kelainan


fokal otak yang tidak terdeteksia.

a. Absense
 Biasanya diawali dengan aura
 Menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak matabergetar atau
berkedip cepat, tonus postural tidakhilang
 (-) postictal confusion
 “melamun”
b. Mioklonik
 Fisiologi : gerakan involunter saat tidur
 Patologi : berhubungan dengan penyakitdegeneratif SSP, anoksia
serebri
 Kontraksi mirip-syok mendadak yang terbatasdi beberapa otot atau
tungkai
 Singkat
c. Tonik
 Peningkatan mendadak tonus otot wajah dan tubuh bagian atas
 Fleksi lengan dan ekstensi tungkai
 Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi
 Menyebabkan henti nafas.
d. Atonik
 Tonus otot hilang secara mendadak; postur tubuh lenyap
 Pendek : head drops
 Panjang : pasien kolaps
e. Klonik
 Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dantunggal atau
multipel di lengan, tungkai, torsof.
f. Tonik-klonik
 Spasme tonik
 klonik otot
 Inkontinensia urin dan alvi
 Menggigit lidah
 Pascaiktus

G. TANDA dan GEJALA


 Kebingungan sementara.
 Mata kosong (bengong) menatap satu titik terlalu lama.
 Gerakan menyentak tak terkendali pada tangan dan kaki.
 Hilang kesadaran sepenuhnya atau sementara.
 Gejala psikis.

H. KOMPLIKASI
1.  Gangguan psikiatrik
Penyakit epilepsi ternyata dapat meningkatkan resiko terjadinya
gangguan mood pada penderitanya. Pasien epilepsi akhirnya bisa saja
menjadi emosional dan labil dalam berbagai situasi. Selain itu hal ini juga
diperparah dengan adanya rasa cemas yang berlebih. Rasa cemas ini
akhirnya membuat pasien epilepsi menjadi gelisah di sepanjang waktu.
Umumnya dokter akan memberikan resep obat kepada pasien supaya
pasien menjadi tenang dan tidak mengalami serangan gejala. Namun
sebenarnya pemberian obat yang berlangsung lama dapat mengganggu
kesehatan mental pasien. Sebab penderita bisa saja mengalami depresi yang
diakibatkan sebagai efek samping dari pemakaian obat.
2. Gangguan kognitif
Pasien epilepsi terutama dengan usia anak-anak dapat mengalami
masalah dalam hal prestasi belajar. Sebab pada umumnya pasien epilepsi
mengalami abnormalitas kognitif bila dibandingkan dengan orang normal
pada usia yang sama.
Pasien epilepsi yang masih sekolah seringkali dijumpai mengalami
kekurangan dalam hal prestasi akademik. Demikian halnya dengan pasien
dewasa. Secara otomatis kariernya akan terganggu karena adanya gangguan
dalam hal kognitif. Oleh karena itu epilepsi perlu segera ditangani agar
gejalanya tidak mudah menyerang penderitanya.
3. Gangguan motorik
Gejala epilepsi cenderung menyerang otak di bagian mana saja.
Belahan otak yang ada pada seseorang terdiri atas bagian dominan dan
bagian yang tidak dominan. Jika pasien menderita gangguan epilepsi pada
belahan otak yang tidak dominan maka perkembangan motoriknya akan
terpengaruh. Hal ini terutama terjadi pada saat pasien berusia anak-anak.
Gejala epilepsi yang menyerang anak secara terus-menerus akan
membuatnya bertumbuh dengan mengalami gangguan pada kemampuan
motoriknya. Akibatnya anak kurang dapat menginterpretasikan sesuatu yang
ada di pikirannya.
4. Gangguan perilaku dan adaptasi sosial
Serangan dari gejala epilepsi dapat terjadi kapanpun dan di manapun.
Hal ini tentunya akan membuat pasien menjadi takut sehingga berdampak
pada rasa percaya diri yang dimilikinya. Pasien epilepsi bisa saja merasa
khawatir akan terserang gejala epilepsi saat sedang berada di kerumunan
masyarakat.
5. Bayi lahir cacat
Komplikasi epilepsi juga memberikan dampak yang berbahaya bagi
ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Penyakit yang diawali dengan
adanya gejala kejang ini dapat mengancam nyawa sang ibu serta dapat juga
berpengaruh terhadap janin yang dikandungnya. Pada umumnya dokter akan
memberikan obat pada ibu hamil dalam mengatasi serangan gejala epilepsi.
Sayangnya pemberian obat bisa saja beresiko membuat janin yang
berada dalam kandungan ibu mengalami kecacatan. Namun ibu hamil tak
perlu khawatir dengan hal ini. Ibu hamil hanya perlu menjaga kesehatan diri
dan janin sesuai petunjuk dokter. Pada kenyataannya masih banyak dijumpai
ibu hamil yang menderita epilepsi namun masih dapat melahirkan bayinya
dengan sehat dan sempurna.

6. Kejang otot
Pasien epilepsi umumnya mengalami serangan gejala yang bervarian.
Namun kejang otot seringkali terjadi dan dialami oleh setiap penderita
epilepsi. Kejang otot merupakan hal yang sering terjadi dan dapat menyerang
pasien secara tiba-tiba tanpa melihat kondisi. Kejang otot yang dibiarkan saja
initentunya lama-kelamaan akan menjadi semakin parah sehingga hal ini
akan membuat pasien menjadi lebih menderita.
Otot akan menegang dengan sendirinya dan tanpa disadari. Saat
mengalami penyebab kejang tanpa demam terkadang pasien secara tidak
sadar menggigit lidah dan bibirnya sendiri. Tak jarang pula pasien yang
kemudian melakukan buang air besar dan kecil secara tanpa sadar saat
mengalami kejang otot. Gangguan ini tentu saja tidak boleh disepelekan
sebab bisa berdampak buruk bagi penderitanya baik secara fisik maupun
psikis
7. Kerusakan otak
Serangan epilepsi yang selalu hadir menyerang dapat menyebabkan
terganggunya beberapa sistem sel saraf padaotak. Kondisi ini bisa
mengakibatkan disfungsi pada beberapa bagian sel dalam otak. Hal ini akan
terjadi selama gejala menyerang pasien. Tentunya sel-sel saraf akan menjadi
normal kembali saat gejala kejang mulai mereda.
Namun serangan kejang yang sering terjadi sebenarnya dapat
membuat sel saraf pada otak mengalami penurunan fungsi. Akibatnya
keadaan otak akan semakin melemah secara signifikan. Oleh karena itu
pasien epilepsi terkadang mengalami penurunan kemampuan dan kecerdasan.
Terkadang pula pasien mengalami penurunan kemampuan fisik.
8. Gangguan irama jantung
Gejala epilepsi yang datang menyerang pasien dengan sewaktu-waktu
dapat mengganggu irama normal jantung. Jantung bisa saja berdetak terlalu
lambat atau bisa juga berdetak terlalu cepat. Jantung juga bisa mengalami
irama yang tidak teratur saat gejala kejang datang menyerang.
Hal ini umumnya disebsut dengan istilah aritmia. Detak jantung yang
tidak teratur pada dasarnya bisa menjadi hal yang serius serta beresiko
mengancam nyawa. Oleh karena itu lakukan pencegahan terhadap timbulnya
serangan gejala epilepsi agar organ jantung tetaplah sehat dan berjalan secara
normal sesuai dengan fungsinya.
9. Gangguan sistem reproduksi

Penyebab penyakit epilepsi dikhawatirkan dapat menurun pada anak-


anak yang dilahirkan oleh ibu dengan riwayat epilepsi. Epilepsi diduga bisa
ditularkan secara genetika sehingga hal ini beresiko terjadi pada bayi. Tak
hanya itu namun epilepsi juga dapat mengganggu sistem reproduksi
penderitanya baik pada laki-laki maupun perempuan.
Masalah mengenai gangguan reproduksi yang disebabkan oleh epilepsi
setidaknya pernah dijumpai di tengah masyarakat. Pada kenyataannya ada
beberapa orang yang hidup dengan mengalami kondisi epilepsi. Bagi penderita
epilepsi tentunya masalah reproduksi ini lebih sering tejadi pada penderita.

10. Kematian mendadak

Komplikasi lainnya yang bisa timbul karena adanya serangan epilepsi


yaitu kematian mendadak. Sayangnya hingga kini penyebab kematian
mendadak yang dialami oleh beberapa penderita epilepsi masih belum
diketahui secara pasti. Namun beberapa ahli menyatakan pendapatnya bahwa
kematianmendadak pada pasien epilepsi seringkali bekaitan dengan kondisi
jantung pada penderita.
BAB II

PEMBAHASAN

A. DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang


didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Ada tiga langkah dalammenegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:


1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptic
Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi
ILAE 1981
2. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi
ILAE 1989.
Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakan diagnosis adalah
sebagai berikut:
1. anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai hal-hal terkait dibawah ini:
 Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pasca bangkitan:
 Sebelum bangkitan atau gejala prodromal
 Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan
terjadinya bangkitan, misalnya perubahan perilaku perasaan
lapar, berkeringat, hipotermi mengantuk, menjadi sensitif,
dan lain-lain.
 Selama bangkitan atau iktal :
 1.Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan?
 Bagaimana pola atau bentuk bangkitan, mulai dari devisiasi
mata gerakan kepala gerakan tubuh, vokalisasi,,; gerakan pada
salah satu atau kedua lengan dengan tungkai bangkit antonic
atau kronik, inkontinensia, tidak tergigit, pucat, berkeringat dan
lain-lain.
 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
 Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
 Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat
tidur, saat terjaga, bermain video games,, dan lain-lain.
 Pasca bangkitan atau pos Iktal :
 Bingung, langsung sadar komanya di kepala, tidur, gaduh gelisah,
todd's paresis.

 Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,


alkohol.
 Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antara bangkitkan kesadaran antara bangkitan.
 Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
 Jenis obat anti epilepsi
 Dosis OAE
 Jadwal minum OAE
 Kepatuhan minum OAE
 Kadar OAE dalam plasma
 Kombinasi terapi OAE

 Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis fisik


maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun
komorbiditas.

Dokter akan terlebih dahulu menanyakan gejala dan riwayat kesehatan


pasien. Setelah itu, dokter akan memastikan diagnosis dengan menjalankan
beberapa pemeriksaan berikut:

 Tes darah, untuk mendeteksi kelainan genetik atau infeksi


 Pemindaian dengan MRI dan CT scan, untuk mendeteksi perdarahan, tumor,
atau gangguan lain di dalam otak
 Elektroensefalografi (EEG), untuk melihat aktivitas listrik di otak dengan
menempelkan elektroda ke kulit kepala

B. TATA LAKSANA

Penatalaksanaan epilepsi bertujuan untuk menghilangkan serangan kejang pada


pasien epilepsi tanpa disertai efek samping bermakna. Tatalaksana epilepsi
secara umum dapat dibagi menjadi terapi farmakologi dan terapi non
farmakologi.

Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian obat anti
epilepsi, yang dapat diberikan secara monoterapi atau politerapi. Keuntungan
pengobatan monoterapi adalah efek samping yang timbul lebih sedikit serta
biaya yang jelas lebih murah. Hanya saja berdasarkan hasil studi yang ada,
pasien yang memberikan respon terapi yang baik berupa penurunan episode
kejang hanya 70% saja. Bila pasien tetap tidak merespon setelah pemberian
double terapi, pemberian triple terapi angka keberhasilan hanya < 5%.[2,13,16]

Terapi anti epilepsi diindikasikan pada epilepsi dengan episode kejang tanpa
provokasi lebih dari 1 kali. Pada pasien dengan episode kejang tanpa provokasi
hanya satu kali, pasien hanya dianjurkan untuk menghindari risiko terjadinya
kejang, contohnya minum alkohol dan kurang tidur. Pasien tidak perlu minum
obat anti epilepsi.[13]

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat anti epilepsi dapat dibagi berdasarkan


golongan sebagai berikut:

Penghambat kanal sodium, obat golongan ini menghambat aktivasi berulang


kanal sodium (carbamazepine, oxcarbazepine, eslicarbazepine, phenytoin,
fosphenytoin, lamotrigine, lacosamide, dan zonisamide)

agonis reseptor GABA (benzodiazepine dan barbiturates)

penghambat ambilan GABA (tiagabine)


penghambat transaminase GABA (vigabatrin)

antagonis glutamate (topiramate, felbamate, perampanel)

berikatan dengan protein synaptic vesicle 2A (levetiracetam, brivaracetam)

mekanisme kerja lebih dari satu (gabapentin, pregabalin, asam valproat)[9,13]

Dalam memilih obat anti epilepsi, berikut adalah hal yang harus
dipertimbangkan:

Tipe Kejang, Sindrom Epilepsi, Profil Farmakokinetik, Interaksi Obat/Kondisi


Medis Lain Pasien, Efikasi, Efek Samping Obat, Biaya.

Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien epilepsi adalah berupa
terapi bedah dan non bedah.

Terapi Bedah

Terapi bedah dilakukan pada 20-30% pasien yang tidak memilki respon yang
baik dengan pemberian obat antiepilepsi. Terapi bedah diindikasikan pada pasien
tersebut bila bagian otak yang menyebabkan kejang dapat dioperasi tanpa
memberikan efek defisit neurologis yang berat. Dalam menentukan apakah
pasien layak operasi atau tidak perlu dilakukan serangkaian pemeriksaan dengan
video-EEG, pencitraan neuronal serta studi psikometrik.

Prosedur operasi bedah pada pasien epilepsi antara lain lobektomi dan
lesionektomi. Temporal lobektomi adalah prosedur operasi bedah yang paling
sering dilakukan pada pasien epilepsi. Pada pasien dengan indikasi operasi yang
tepat, lebih dari 80% kasus dapat bebas dari kejang setelah pembedahan,walau
beberapa tetap harus dibarengi dengan konsumsi obat anti epilepsi.

Terapi Non Bedah


Terapi non bedah yang dapat dilakukan pada pasien epilepsi adalah dengan diet
ketogenik. Diet ketogenik diberikan berdasarkan teori bahwa keadaan asidosis
dan ketosis memiliki efek anti kejang. Dari hasil studi, pasien yang episode
kejangnya menjadi terkontrol setelah menerima diet ketogenik adalah 30 hingga
33%, sedangkan sisanya yaitu 33% pasien mengalami penurunan episode kejang
dan 33% lainnya sama sekali tidak memberikan respon apapun.

Diet ketat ini harus diinisiasi di Rumah sakit karena kemungkinan efek samping
gangguan metabolik yang ditimbulkan. Hambatan lainnya adalah diet ini amat
sulit untuk dilakukan, hanya 10% pasien yang berhasil menerapkan diet ini
setelah 1 tahun.

Selain diet, pasien juga dapat melakukan upaya modifikasi gaya hidup dengan
menjalankan pola hidup sehat, antara lain dengan menghindari konsumsi
alkohol, istirahat cukup, relaksasi dan teknik biofeedback.

C. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC

DIAGNOSIS BANDING

Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptic,


seperti pingsan
(Syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement disorder. Hal ini
sering membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan
pengobatannya. menunjukkan beberapa pembeda antara kejang epileptic dengan
berbagai kondisi yang menyerupainya.

D. Penatalaksanaan Kasus dan Pembahasan

PHARMACIS’T PATIENT DATA BASE

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. X
Jenis Kelamin : -
No RM :-
Ruang :-
Umur : 8 th
BB/TB : 40 Kg
Tanggal MRS : -
Diagnosa : Epilepticus.
Alergi :-
SUBYEKTIF

a) Keluhan Utama : Tiba-tiba terjatuh, kehilangan


kesadaran dan mengalami kejang, Kejang terjadi kurang lebih 5 menit
setelah An X bermain kejar-kejaran.
b) Riwayat Penyakit Sekarang : -
c) Riwayat Penyakit Terdahulu : Kejang yang dialami An X sudah
terjadi sejak 2 tahun yang lalu akibat demam tinggi. Tetapi kejang
terjadi hanya beberapa detik saja.
d) Riwayat Penyakit Keluarga :-
e) Riwayat Sosial :-
f) Riwayat Pengobatan :

Terapi Aturan Pakai Keterangan

2th yang lalu An X mengalami


kejang diberi obat dilantik, kemudian
Dilantik 300mg/hari 3 bulang terakhir pemberiaan obat
dihentikan karena An X tidak
mengalami kejang

OBYEKTIF

-Berat badan :40 kg .

-Kejang dialami 2 tahun lalu karena demam .

-Terapi pengobatan sebelumnya :dilantin 300 mg .


ALOGARITMA TERAPI
ASSESMENT
Subyektif Obyektif Terapi Analisis/Assesment DTP
tiba-tiba - Dilantin
terjatuh, 300mg/hari
-
kehilangan
kesadaran dan
mengalami
kejang, Kejang
terjadi kurang
lebih 5 menit
setelah An X
bermain kejar-
kejaran.
Diazepam Indikasi tanpa terapi :
rektal / Pemberian Diazepam secara rektal
diazepam (0,3mg/kgBB untuk anak dengan
injeksi umur 6-11th) atau pemberian
Diazepam secara parenteral dengan
Dosis 1mg perlahan-lahan setiap
2-5 menit, dengan dosis maksimal
10 mg.

Setelah kondisi pasien


memungkinkan untuk dihentikan
pemberian obat Diazepam, maka
pemakaian Dilantin secara oral bisa
dilanjutkan yaitu untuk anak > 6
tahun : 3 x 100 mg (sehari 300
mg),
PLAN

Farmakologi
-Diazepam suppositoria 10 mg (sebagai sedatif /penenang terhadap kejang ).
-Dilantin 100 mg : 3 x sehari .

Non farmakologi

-Perbanyak istirahat .

-Mengurangi stress.

-Makan teratur karena berat badan An .manis tergolong berlebih pada usianya
dianjurkan diet ketogenik yaitu membatasi jumlah lemak dan karbohidrat .

MONITORING:

-Konsumsi jangka panjang perlu dilakukan pemeriksaan kadar obat dalam darah secara
berkala .

-Aktivitas anak sehari-hari dikontrol .

-Makan makanan yang rendah lemak serta karbohidrat dan porsi makanan yang dibatasi .

Penatalaksanaan Umum
TERAPI FARMAKOLOGI

-Diazepam suppositoria 10 mg (sebagai sedatif /penenang terhadap kejang ).


-Dilantin 100 mg : 3 x sehari .

TERAPI NON FARMAKOLOGI

-Perbanyak istirahat .

-Mengurangi stress.

-Makan teratur karena berat badan An .manis tergolong berlebih pada usianya
dianjurkan diet ketogenik yaitu membatasi jumlah lemak dan karbohidrat .
DRUG THERAPY PROBLEM (DTP)

KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)

-Ajarkan anak untuk tidak terlalu hiperaktif ,membatasi gerak .

-Jelaskan pentingnya menjaga perilaku .

-Jelaskan pada anak siklus minum obat .


Lampiran 2. Tabel Pengkajian Obat

No Nama Obat Tinjauan


1 Diazepam Regimen dosis yang diresepkan

Dosis : 10mg

Rute : rektal

Frekuensi pemberian :

Regimen dosis berdasarkan literatur

Dosis :

Rute :

Frekuensi pemberian :

Indikasi terapi

psikoneurotik (tegang ,tidak bisa istirahat), Psikomotorik (gangguan otot


karna kejang ), Relaxsasi otot pada kejang

Tanggal dimulainya terapi

Durasi terapi

Efek samping obat


Ngantuk ,lemah otot .
2. Dilantin Regimen dosis yang diresepkan

Dosis : 100 mg 3 x sehari

Rute : oral

Frekuensi pemberian :

Regimen dosis berdasarkan literatur

Dosis : 0,5mg/kg/hari

Rute : po

Frekuensi pemberian :

Indikasi terapi

Mengontrol bangkitan ionik klonik umum dan persila kompleks


(psikomotor ,lobus temporalis )pencegahan dan perawatan bangkitan
yang terjadi selama atau sesudah bedah syaraf , terapi antikonvulsan .
Tanggal dimulainya terapi

Durasi terapi

Efek samping obat

Pusing ,sakit kepala,gangguan pencernaan ,kelainan darah


BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Epilepsi merupakan suatu serangan berulang secara periodik dengan atautanpa kejang.

2. Patofisiologi epilepsi karena ketidak seimbangan pengaruh eksitatori dengan inhobitori yang
di sebabkan oleh kurangnya transmisi inhobitori dan meningkatnya aksi eksitatori.
DAFTAR PUSTAKA

Barbara et all. 2015 Pharmachotherapy Handbook. 9th Edition. The McGraw-Hill Companies
Inc.

Chandwick D. Diagnosis of Epilepsy. Lancet. 1990; 336:291-295

Dewi Puspita Apsari, Dhiancinantyan W.B.P dan Made Krisna Adi Jaya, 2018, Modul
Praktikum Farmakoterapi III (Neurologi Dan Psikiatri), Program Studi Farmasi Klinis.
Institut Ilmu Kesehtan Medika Persada, Denpasar, Bali.

NICE, 2019. Management of Bacterial Meningitis and Meningococcal in Secondaary Care.


National Institute for Health and Care Excellence.

PCNE, 2010. Classification for Drug Relaeted Problems. Pharmaceutical Care Network Europe
Foundation.

Pierce, C.A., Voss, B.2015. Efficacy and Safty of Ibuprofen and Acetaminophen in Children and
Adults: a Meta Analysis and Qualitative Review. Journal Annals of Pharmacotherapy

Anda mungkin juga menyukai