Anda di halaman 1dari 26

APA ITU WAHYU?

BAGAIMANA PROSES BERIMAN DALAM KAITAN DENGAN


AKAL BUDI?  (jawaban ini diringkas dari buku Teologi Sistematika Rm. Nico Syukur
Dister, OFM)
a. Dalam Kitab Suci: Wahyu adalah Allah menyapa manusia, Allah berbicara kepada manusia.
Allah menyatakan diri-Nya, memberikan kesaksian tentang sikap, sifat, dan kehendak-Nya,
membuat diri-Nya dikenal dan diakui.
- Dalam PL: Allah menyatakan kehendak-Nya dalam hukum Taurat. Kemahakuaasaan-Nya
dalam alam ciptaan, dan akhirnya pada keadilan dan belaskasih-Nya yang memilih,
membimbing, dan melindungi umat-NYA (Israel keluar dari Mesir).
- Dalam PB: Pelaku wahyu pertama-tama tetaplah Allah. Menurut Paulus, Kristus bukan
pertama-tama mewahyukan diri-Nya, tetapi ia diwahyukan. Isi Wahyu: Yesus Kristus dan
misteri-Nya. Sasaran wahyu: keselamatan manusia sepenuh-penuhnya. Wahyu juga masih
dalam penantian, yaitu penyingkapannya pada parusia (eskatologis).
b. Menurut Magisterium: Para Bapa konsili memahami wahyu: pertama, sejarah Israel yang
endapannya tertulis dalam KSPL. Kedua, Injil, dalam arti peristiwa Yesus Kristus yang
meliputi segala yang dikatakan dan dperbuat oleh Yesus Kristus. Ketiga, kegiatan Roh Kudus
yang bersifat pewahyu sepanjang zaman Gereja.
Jadi, Hakikat Wahyu: Allah yang tak kelihatan itu dari kepenuhan cinta kasih-Nya
menganugerahkan diri kepada manusia, menyapa, bergaul, dan bersekutu dengan manusia.
Sifat-sifat Wahyu: pertama, aspek misteri Ilahi, yaitu tindakan Allah yang transenden.
Kedua, aspek historis, yaitu persitiwa sejarah. Ketiga, aspek pengetahuan, yaitu kesaksian,
pewartaan, dan ajaran. Keempat, aspek personal pertemuan pribadi antara Allah dengan manusia.
Proses Beriman dalam kaitan dengan Akal budi. Ketaatan iman harus selaras dengan
akal budi. Iman tidak bersifat dorongan buta. Iman adalah kewajiban, karena itu baik akal budi
maupun kehendak manusia memainkan peranan penting dalam tindakan beriman. Manusia taat
dan patuh kepada Allah Pewahyu secara tahu dan mau. Namun, akal budi bukan otonomi mutlak,
melainkan otonomi yang diberi kepadanya oleh Allah sehingga manusia harus tunduk kepada
Allah. Roh Kudus menerangi akal budi dan membimbing daya kehendak manusia. Manusia
sebagai animal rationale mempertanggungjawabkan imannya kepada orang lain akan iman
kepercayaannya dan juga kepada akal budinya sendiri. Sekali lagi ditekankan bahwa iman tidak
buta tetapi terjadi dengan segenap akal budi selain dengan segenap hati dan kekuatan.
Impilkasinya: orang harus bersikap kritis baik terhadap pewartaan maupun terhadap dirinya
sendiri. Kritis berarti orang mau mengetahui apa yang diimaninya. Aku tahu apa yang aku
percaya. “Kami percaya dan tahu bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (Yoh 6:69)
@&@&@&@&@
Apa itu Wahyu? Bagaimana proses beriman dlm kaitannya dgn akal budi?
Penggunaan filsafat dgn pemikiran kritis yg sangat menekankan rasio manusia itu
sungguh tdk mendapatkan tempat dlm abad pertengahan. Sebab bagi bapak-bapak Grj dunia
iman – teologi tdk bisa dimasuki oleh akal budi manusia apalagi dgn penggunaan intelek rasio
manusia dlm berfilsafat. Sehingga dunia filsafat tdk mendapatkan tempat. Tetapi bagi Thomas
Aquinas rasio atau akal budi dpt membantu manusia utk menjelaskan ajaran teologi atau iman
kepd umat agar umat dpt mengerti ttg wahyu  Tuhan itu sendiri. & disinilah penggunaan akal
budi itu penting & menjadi bagian dari dunia teologi/iman. & dunia teologi/iman dpt menghantar
manusia kepd pengenalan akan sumber kebenaran & pengetahuan yaitu Allah, melalui
pengetahuan yg diperoleh melalui proses kerja akal atau campur tangan manusia dlm menerima
tawaran keselamatan yg dari wahyu itu sendiri. Bagaimana Thomas Aquinas dpt memberikan
ruang gerak bagi akal & iman itu sendiri. Dua jalur iman & reasons ini dpt qta temukan pd
penjelasannya lewat teori pengetahuannya.

Teori Pengetahuan Aquinas


Ttg  pengetahuan, Aquinas berpdngan bhw rasio manusia diyakini dpt memandang pengetahuan
ttg obyek-obyek. Thdp obyek-obyek itu, rasio atau akal budi manusia mendapatkan pengetahuan
lewaat hasil tangkapan panca indera, sejauh panca indera dpt melihat & mengetahuinya. Artinya
daya tangkap panca indera thdp obyek-obyek itu akan menghasilkan sumber pengetahuan.
Sebaliknya yg tdk dpt dijangkau oleh panca indera atau yg tdk dpt diketahui oleh panca indera,
dikatakan hal itu disebabkan oleh krn keterbatasan akal budi itu sendiri. dgn kata lain semua
obyek yg tdk dpt diindera tdk akan diketahui secara pasti oleh akal budi.
Menurut Thomas, ada 2 cara atau jln utk dpt memperoleh pengetahuan. yg
pertama reasons (pikir) manusia yg berpuncak pd Allah; & yg kedua, yaitu iman, yg merupakan
penerimaan dari pewahyuan Allah.
[1] Dlm arti ini dpt qta katakan bhw kebenaran ajaran Tuhan harus diterima dgn iman. dgn iman
pengetahuan ttg kebenaran & sumber pengetahuan memiliki eksistensinya dari sumber
kebenaran itu sendiri,  yaitu sejauh ide-ide Tuhan itu memasuki pikiran manusia dgn penerangan
ilahi. Yg oleh Thomas Aquinas adalah milik Tuhan.
[2] Dikatakan bhw pengenalan pengetahuan  thdp dunia material atau dunia obyek-obyek itu
sendiri merupakan suatu aspek dari pengetahuan & pengenalan yg diperoleh atau merupakan
hasil daya tangkap akal budi, yg melaluinya sumber pengetahuan itu di dapat. Artinya bhw
pikiran manusia dpt memperoleh pengetahuan lewat pengenalannya dgn obyek-obyek &
fenomen-fenomen yg nampak nyata dlm realitas yg dihadapi atau yg ditemuinya. Sebab dgn
sendirinya pikiran dpt mengetahui obyek-obyek atau fenomen-fenomen tersebut melalui obyek-
obyek yg sedang bertumbuh & yg sementara berjalan atau bergerak. Artinya semua hal yg umum
itu nampak & dpt dilihat oleh panca indera melalui fakta-fakta konkrit, yg sungguh-sungguh riil
& nampak dlm hal-hal yg khusus.
Kebenaran iman yg merupakan kebenaran ajaran Tuhan harus diterima dgn iman. hny
iman yg dpt menerima eksistensi Allah sebagai sumber kebenaran & sumber puncak
pengetahuan itu sendiri. Sebab oleh iman manusia meyakini & menerima hakekat Allah. Dlm
arti yg sama dpt dikatakan bhw sesuatu yg tdk dpt diteliti dgn akal adalah obyek iman. Sebab
pengetahuan yg diterima atas landasan iman tdklah lebih rendah daripd pengetahuan yg
diperoleh dgn akal. Setdknya, kebenaran yg diperoleh dgn akal tdk akan bertentangan dgn ajaran
wahyu.
[3] Menurut Aquinas bhw qta seharusnya menyeimbangkan akal & iman; baginya akal
membantu membangun dasar-dasar filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bhw hal itu
tdk selalu dpt dilakukan krn akal terbatas. Akal tdk dpt memberikan penjelasan ttg kehidupan
kembali (resurrection). Sebab keterbatasan akal tdk dpt mampu menemukan sumber
pengetahuan itu. Sebab akal itu sendiri tdk akan mampu membuktikan kenyataan esensial ttg
keimanan Kristen. Oleh krn itu, ia brpendpt bhw dogma-dogma Kristen itu tepat sebagaimana yg
disebutkan dlm firman2 Tuhan.
Berdasarkan uraian itu qta dpt mengetahui adanya dua jalan/jalur pengetahuan dlm
filsafat Aquinas. Jalur itu adalah jalur akal yg dimulai dari manusia & berakhir pd Tuhan, & yg
kedua jalur iman yg dimulai dari Tuhan (wahyu), yg didukukung oleh akal.
[4] dgn demikian dlm filsafat Aquinas, filsafat dpt dibedakan dari agama dgn melihat
penggunaan akal. Artinya filsafat ditentukan oleh penjelasan sistematis akal, sedangkan agama
ditentukan oleh iman. Sekalipun demikian, perbedaan itu tdk begitu jelas krn pengetahuan
sebenarnya adalah gabungan dari kedua-duanya.
Aquinas mampu membagi & menjelaskan wilayah teologi – iman dgn wilayah filsafatnya,
teristimewa kedudukan rasio/ akal budi pikiran manusia dlm menjelaskan kebenaran wahyu
Allah. Bhw akal dpt memasuki wilayah iman dgn mendapatkan penerangan ilahi Tuhan sehingga
dpt menjelaskan dunia teologi secara obyektif ttg kebenaran Tuhan dlm Kitab Suci, tanpa harus
menghilangkan kebenaran wahyu Tuhan itu. dgn kata lain dunia akal  dpt menjelaskan  dogma-
dogma & ajaran Kitab suci dgn peggunaan daya terang ilahi utk membuktikan eksistensi Tuhan
itu sendiri. Sehingga Tuhan pd dirinya merupakan sumber kebenaran & sumber pengetahuan itu
sendiri. Sementara pd iman itu sendiri, dunia akal tdk dpt memasukinya. Oleh krn keterbatasan
akal budi manusia; sehingga dunia iman tinggal sebagai suatu dunia yg esensinya tdk dpt di
masuki oleh kebenaran lain, selain Tuhan sendiri yg merupakan sumber kebenaran & sumber
pengetahuan itu sendiri, di mana pikiran manusia terbatas yg tdk dpt melampaui pikiran atau
dunia wahyu Allah atau pikiran Allah itu sendiri.

BAGAIMANA MEWARTAKAN KRISTUS DALAM KONTEKS PLURALISME


AGAMA, BUDAYA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA?
Konteks
 ASIA: Dalam dokumen FABC, para uskup mengungkapkan bahwa Gereja Asia adalah
Gereja yang hidup di tengah keragaman agama, budaya, dan kemiskinan. Ketiga aspek ini
merupakan ciri khas Gereja Asia. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Ketiganya saling
berhubungan antarsatu sama lain.
 Agama: Asia merupakan tempat kelahiran agama-agama besar di dunia, seperti
Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Sedangkan budaya: budaya dan tradisi
telah bertumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat berabad-abad lamanya. Kemiskinan:
problem kemiskinan yang melanda banyak orang di Asia adalah adanya tindak ketidakadilan
dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial. Kemiskinan yang melanda kehidupan mereka, bukan
pertama-tama karena mereka tidak mampu dan memiliki bakat untuk mengembangkan diri.
Tetapi terjadi ketidakadilan struktural dalam berbagai bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Akibatnya orang-orang mengalami kesulitan untuk memeroleh kebutuhan pokok, sehingga tidak
mampu mencapai taraf kehidupan yang lebih manusiawi.
 INDONESIA: Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi bagian dari Benua
Asia. Sama halnya dengan konteks Gereja Asia, Gereja Indonesia juga bertumbuh dan
berkembang di tengah keragaman agama, budaya, dan kemiskinan. Agama: Islam, Kristen,
Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Budaya: setiap daerah memiliki budaya dan tradisi yang berbeda
antarsatu dengan yang lainnya. Kendati terkadang didapati persamaannya, tentu setiap daerah
memiliki kekhasannya masing-masing. Budaya dan tradisi tersebut telah dihidupi bertahun-tahun
lamanya. Kemiskinan: problem kemiskinan yang marak terjadi di Indonesia adalah adanya
tindak ketidakadilan di berbagai aspek sosial, politik, dan ekonomi.
Mewartakan Kristus Dan Injil-Nya
 Keberadaan Gereja Asia, terkhusus Gereja Indonesia adalah mewartakan Kristus dan
Injil-Nya. Dalam amanat perpisahan-Nya, Yesus berkata kepada para murid-Nya untuk pergi ke
seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada segala makhluk (Mrk. 16:15).
 Dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi (art. 14) diungkapkan bahwa mewartakan Injil
adalah panggilan khas Gereja dan menjadi identitas terdalam Gereja. Gereja ada untuk
mewartakan Injil.
 Gereja terpanggil untuk melanjutkan pewartaan Kerajaan Allah dalam diri Yesus Kristus
demi keselamatan seluruh manusia. Dengan tugas perutusan ini, Gereja pada hakikatnya sendiri
bersifat misioner. Hal ini ditegaskan dalam ensiklik Redemptoris Misio dari Paus Yohanes Paulus
II yang menyatakan tentang amanat misioner Gereja. Dalam ensiklik tersebut, Paus Yohanes
Paulus II bermaksud memberikan ajaran tentang karya misi sesuai dengan situasi konkret zaman
ini. Tugas perutusan Gereja ini menjadi tugas perutusan segenap umat beriman Kristiani untuk
selalu mewartakan Kristus bagi masyarakat sekitarnya.
 Dalam kesadaran panggilan Gereja adalah mewartakan Injil, Gereja tidak hanya
menyatakan warta Injil dalam kata-kata. Tetapi Gereja juga perlu mewujudnyatakan warta Injil
dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang disebut sebagai sebuah kesaksian hidup. Gereja
menjadi terang dan garam bagi dunia (Mat. 5:13-14).
Dialog
 Dalam kesadaran Gereja Indonesia berada dalam konteks pluralisme agama, budaya, dan
kemiskinan, sikap dan tindakan yang perlu dilakukan oleh Gereja dalam upaya
menumbuhkembangkan dan mengakarkan warta tentang Kristus dan Injil-Nya adalah DIALOG.
 Sebuah upaya dialog merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Asia. Nuansa ke-asia-
an mengutamakan sikap dan tindakan untuk saling menghormati, tenggang rasa, toleransi dll.
Sikap dan tindakan yang telah bertumbuh dalam diri masyarakat Asia menjadi jalan yang tepat
bagi Gereja dalam mewartakan Kristus dan Injil-Nya.
 Dialog dengan agama, budaya, dan kaum miskin merupakan upaya yang saling berkaitan
antarsatu sama lainnya. Dengan dialog, Gereja berarti mau terbuka dengan kebenaran-kebenaran
lain yang terdapat dalam agama-agama lain dan budaya-budaya masyarakat setempat, tanpa
harus meninggalkan komitmen iman Kristiani. Gereja dapat belajar dari agama-agama lain dan
budaya-budaya lain dalam berhadapan dengan soal agama, budaya, dan kaum miskin.
 Dialog antaragama: dalam keragaman agama, dialog antaragama merupakan suatu
langkah yang tepat bagi Gereja Indonesia untuk menjalin persaudaraan dan persahabatan dengan
agama-agama lain yang ada di Indonesia. Selain itu, dialog antaragama juga menjadi sarana yang
efektif bagi Gereja dalam menghayati dan mengungkapkan iman Kristiani.
 Dialog dengan budaya: Gereja dapat mewujudkan dialog dengan berinkulturasi melalui
bahasa, lagu-lagu daerah, bangunan, dan kesenian budaya setempat. Hal lain pula yang kiranya
sangat penting dalam dialog Gereja dengan budaya adalah Gereja mampu mengangkat dan
memerbaharui makna dari unsur-unsur kebudayaan dalam terang Injil sehingga dapat menjadi
sebuah ungkapan iman umat. Dialog dalam budaya, Gereja berupaya untuk menjalin relasi dan
membawa warta tentang Kristus dalam budaya masyarakat setempat, sehingga Kristus sungguh
mampu dikenal dan diimani.
 Dialog kehidupan: dialog ini menunjukkan bagaimana Gereja berjumpa dengan
masyarakat lain dalam kehidupan sehari-hari. Dalam FABC, dialog bersama kaum miskin
disebut sebagai dialog kehidupan. Kemiskinan di Indonesia bukan hanya menjadi momok
membelenggu masyarakat non-kristen, tetapi sebagian umat kristiani juga masih hidup dalam
belenggu tersebut. Dalam dialog tersebut, Gereja bukan hanya melayani, tetapi juga mampu
belajar dari kaum miskin. Perhatian dan pelayanan Gereja Indonesia bagi orang miskin tampak
jelas dalam karya-karya sosial dan karitatif. Karya pelayanan Gereja tersebut dipahami sebagai
bagian integral dari perjalanan mengikuti Yesus Kristus. Yesus hidup miskin dam melayani
orang-orang miskin dan tertindas, serta menyembuhkan orang yang sakit. Dalam dialog
kehidupan bersama orang miskin, Gereja bukan hanya mewartakan Kristus dengan kata-kata,
tetapi juga dalam tindakan nyata (kesaksian hidup). Oleh karena itu, Gereja Indonesia tidak
hanya terbatas melayani orang miskin, tetapi juga memberdayakan kaum miskin, sehingga
mereka menjadi pribadi yang mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri,
contohnya CU. Melalui karya ini, Gereja sungguh telah mewartakan Kristus dalam perkataan dan
tindakan nyata.
&&&&&&&&&&
Bagaimana mewartakan Kristus dlm konteks pluralisme agama, budaya, & kemiskinan di
indonesia?
Dlm konteks masyarakat Indonesia, misi Grj akan Yesus Kristus  yg adalah Kerajaan
Allah diwujudkan oleh segenap umat beriman kristiani melalui dialog dgn umat beriman dari
tradisi religius lain serta budaya lain demi penghargaan thdp martabat manusia & transformasi
sosial menuju kesejahteraan semesta.
1.  Grj Dlm Konteks Masyarakat Indonesia Abad XXI
Sebagaimana terumus dlm kongres para Uskup Asia (FABC), Grj Asia adalah Grj yg hidup
di tengah situasi keanekaragaman agama (tradisi religius), keanekaragaman budaya &
kemiskinan[1]. Konteks sosial budaya & religiositas masyarakat Asia tersebut menjadi
‘lahan’ dimana benih Sabda Allah dlm Kristus disemaikan & dipupuk agar menghasilkan
buah (berdirinya Kerajaan Allah). Dlm konteks Asia, pewartaan Kerajaan Allah berhadapan dgn
realitas keanekaragaman tradisi religius, keanekaragaman budaya & juga kemiskinan.
Berhadapan dgn konteks tersebut, proses inkulturasi Injil Kerajaan Allah yg menjadi hakikat
perutusan Grj pun hendaknya ditinjau & ditegaskan kembali. Hal ini berkaitan juga dgn
pemahaman baru mengenai eklesiologi khas Asia. Hal ini masih ditambah pula dgn karakter khas
masyarakat Asia abad XXI.
Grj Indonesia adalah bagian dari  Grj Asia tersebut. Keanekaragaman tradisi religius,
budaya & realitas kemiskinan  pun menjadi medan hidup Grj Indonesia. Grj Indonesia hidup
dlm konteks masyarakat plural Indonesia yg masih bergelut dgn masalah-masalah moral hidup &
kemiskinan. Secara khusus, Konferensi Wali Grj Indonesia (Konferensi Para Uskup Indonesia)
telah mencoba utk mengenal keprihatinan mendasar masyarakat Indonesia awal abad XXI ini
yakni tiadanya keadaban publik.  Tiadanya keadaban publik ini disebabkan krn terjadinya
kesalahan urus ruang publik & arus globalisasi-sekularisasi yg memiskinkan[3] Tiadanya
keadaban publik yg disebabkan oleh salah urus ruang publik & arus globalisasi-sekularisasi yg
memiskinkan ini menyebabkan begitu banyak keprihatinan sosial yg melanda masyarakat
Indonesia di awal abad XXI. Hal ini ditunjukkan dgn adanya beberapa kerusakan mental bangsa
krn habitus korupsi, gaya hidup konsumtif hedonis, eksploitasi lingkungan hidup, politik
sektarian, & kemiskinan struktural. Kenyataan ini tentu menjadi ancaman bagi terjadinya
perpecahan bangsa & masyarakat Indonesia.
Berhadapan dgn konteks tersebut, maka muncul beberapa pertanyaan. Bagaimana Injil
Kerajaan Allah dlm Kristus hadir & mengakar pd realitas hidup umat beriman di Indonesia?
Bagaimanakah Grj yg mewartakan  Yesus Kristus yg adalah Kerajaan Allah itu sungguh hadir
menjadi garam & terang sebagai murid Kristus yg menyelamatkan? Bagaimanakah Grj yg
adalah sakramen keselamatan Allah bagi manusia ini sungguh menjadi relevan & signifikan bagi
pengembangan kesejahteraan manusiawi & rohani bagi masyarakat Indonesia? Pertanyaan-
pertanyaan berikut menjadi salah satu usaha utk meninjau & menegaskan kembali pewartaan
Kerajaan Allah bagi masyarakat khas Indonesia.
2.  Mewartakan Kristus yg adalah Kerajaan Allah sebagai Hakikat Misioner Grj Sebagai
sakramen keselamatan bagi dunia, Grj terpanggil utk melanjutk an pewartaan Kerajaan Allah
dlm diri Yesus Kristus demi keselamatan seluruh manusia. dgn tugas perutusan ini, Grj pd
hakikatnya sendiri bersifat misioner. Hal ini ditegaskan dlm ensiklik Redemptoris Misio dari
Paus Yohanes Paulus II yg menyatakan ttg amanat misioner Grj. Dlm ensiklik tersebut, Paus
Yohanes Paulus II bermaksud memberikan ajaran ttg karya misi sesuai dgn situasi konkret
zaman ini. Tugas perutusan Grj ini menjadi tugas perutusan segenap umat beriman Kristiani utk
selalu mewartakan Kristus bagi masyarakat sekitarnya. Dlm konteks hidup dunia sekarang ini,
bagaimanakah amanat misioner Grj akan Kerajaan Allah dlm diri Yesus Kristus ini
dilaksanakan? Tentu hal ini memerlukan sebuah pemahaman baru mengenai misi. Misi tdk lagi
dpt dipahami sebagai sebuah usaha utk mengkristenkan org dgn cara membaptis & memasukkan
orang-orang yg telah menganut tradisi religius non-kristen ke dlm Grj. Tugas perutusan Grj dlm
mewartakan Kerajaan Allah tdk lagi dipahami sebagai sebuah usaha utk memasukkan org dari
agama/tradisi religius lokal & budaya yg bermacam-macam (plural) ke dlm iman Kristiani,
ttapilebih berperan sebagai garam & terang bagi masyarakat dgn menghidupi nilai-nilai iman
Kristen bagi perjuangan kehidupan masyarakat yg lebih baik.
3.     Paradigma Baru Teologi Misi: Misi adalah Dialog
Dgn pemahaman baru mengenai misi sebagai pewartaan Kerajaan Allah yg hadir dlm diri Yesus
Kristus & segala karya serta keprihatinannya demi kesejahteraan lahir batin manusia, maka
teologi misi hendaknya dimaknai secara baru pula. Hal ini berkaitan dgn konteks hidup sosial
masyarakat dimana pewartaan Kerajaan Allah itu disampaikan. Dlm konteks masyarakat
Indonesia yg plural (baik secara vertikal maupun horisontal) dgn segala tantangan masyarakat
akan globalisasi, sekularisme, ekonomisme serta culture of death, bagaimana misi akan Kerajaan
Allah ini dilaksanakan? Dlm konteks sosial tersebut, misi hendaknya dipahami & dilaksanakan
dgn paradigma baru yakni dialog. Ber-misi = ber-dialog. Dialog ini dimaknai sebagai sebuah
upaya utk mau terbuka dgn kebenaran-kebenaran lain yg terdapat dlm tradisi religius non-
kristiani & juga dlm budaya-budaya lokal lainnya, tanpa harus meninggalkan komitmen puncak
thdp iman Kristen. Dialog selalu dpt merangkul paradoks di antara keterbukaan thdp
agama/tradisi religius lain & komitmen  puncak thdp agama sendiri. Meski begitu, ada beberapa
hal yg patut diperhatikan dlm melaksanakan misi sebagai dialog & dialog sebagai misi. Hal-hal
tersebut adalah:
1. Dialog sejati dpt dilakukan pertama-tama dgn menerima koeksistensi agama-agama lain yg
berlainan & melakukannya bukan dgn rasa kesal ttapidgn penuh kerelaan.
2. Dialog sejati mempradugakan komitmen. Dialog berarti mempersaksikan keyakinan-
keyakinan qta yg terdlm, sementara qta juga mendengarkan kesaksian-kesaksian yg lain.
3. Dialog hny mungkin bila qta melangkah dgn penuh pengharapan utk menjumpai Allah yg
telah mendahului qta & telah mempersiapkan orang-orang di dlm konteks budaya-budaya &
keyakinan-keyakinan mereka sendiri.
4. Dialog & misi dpt dilaksanakan hny di dlm sikap kerendahan hati.
5. Dialog maupun misi harus mengakui  bhw agama-agama  mempunyai dunianya sendiri, dgn
poros & struktur-struktur mereka sendiri.
6. Dialog bukanlah suatu pengganti ataupun suatu penipuan demi misi.
7. Dialog selalu menghargai suatu hal yg baru, yg membuka perspektif baru akan terjadinya
korelasional di antara hal-hal yg berbeda.[6]

4. Wujud Dialog: Nilai Universal yg Dikomunikasikan


Secara lebih konkret, misi sebagai dialog dpt diwujudkan ke dlm beberapa praksis dialog yg
terjadi di dlm berbagai bidang kehidupan. Dialog dipandang sebagai sarana komunikasi satu
sama lain ttg kebenaran/nilai-nilai universal bagi keselamatan manusia secara real yg ada dlm
agama-agama & tradisi religius. Dlm rangka dialog, kekhasan iman masing-masing justru
menjadi kekayaan yg dpt dibagikan kepd partner dialog serta menjadi suatu autokritik thdp
imannya sendiri. Dialog selalu merupakan eksistensi & koeksistensi. Di Indonesia, praksis dialog
dpt dilakukan dlm bidang-bidang berikut ini:
1. Dialog kehidupan: perjumpaan manusia dlm kehidupan sehari-hari. Dialog ini menunjukkan
kedekatan bertetangga & saling berbagi satu sama lain dlm kehidupan nyata.
2. Dialog tindakan: dialog yg terjadi dlm aksi nyata dlm usaha memperjuangkan keadilan &
pembebasan. Misalnya: dialog yg terjadi saat org Islam & Kristen bekerja sama mengentaskan
penduduk dari buta huruf & kemiskinan.
3. Dialog pengalaman religius: perjumpaan org berlainan agama yg saling berbagi pengalaman
religiusnya & kekayaan rohani mereka.
4. Dialog pembicaraan teologis: dialog yg terjadi dlm rangka memperdlm pemahaman mereka
mengenai warisan-warisan religius mereka, serta saling menghargai nilai-nilai kerohanian yg
dimiliki oleh masing-masing pihak.[7] 
Keempat dimensi ini saling berkaitan satu sama lain. Dlm konteks Indonesia, dimana pluralitas
& kemiskinan menjadi realitas yg dihadapi oleh setiap warganya, maka keempat wujud dialog ini
hendaknya ditempatkan dlm kerangka pluralitas agama, budaya & tanggungjawab sosial atas
kaum miskin/mereka yg tersingkir.
5.  Tujuan dialog: Mendirikan Kerajaan Allah di Indonesia dgn semakin membawa segenap
masyarakatnya dlm memberikan penghargaan thdp martabat manusia & mengusahakan
transformasi sosial menuju kesejahteraan semesta.
Utk mendukung terjadinya dialog yg terbuka & transformatif, segenap umat beriman di
Indonesia ini perlu mengadakan pemahaman yg mendlm thdp agama masing-masing. Dlm hal
ini, iman membutuhkan pemahaman (seperti kata St. Anselmus: fides quaerens intellectum). dgn
mengadakan pemahaman lebih lanjut, kebenaran iman yg telah tertanam dlm hati setiap org
sebagai anugerah Allah ini tdk bertentangan dgn rasionalitas manusia sehingga muncul
kesadaran bhw iman selalu memihak manusia (manusiawi).[8]Dgn melibatkan peranan akal
rasional & kerjasama dgn ilmu-ilmu manusia termasuk di dlmnya filsafat & sosiologi, segenap
umat beriman diajak utk meninggalkan penghayatan iman yg cenderung legalistis, dogmatis, &
harafiah.
Usaha ini kiranya ditempatkan dlm kerangka visi yg sama dari agama-agama itu dlm
memperjuangkan keadilan & pembebasan manusia. Mengangkat harkat martabat manusia
hendaknya menjadi tugas agama-agama dlm usahanya utk selalu mendengarkan sabda Allah.
Dlm hal ini, dialog ditempatkan dlm kerangka pertanggungjawaban thdp iman masing-masing yg
otentik. dgn demikian, dialog agama memiliki dimensi liberatif, transformatif, & humanis.
Apabila hal ini semakin dipahami dlm kerangka dialog di tengah pluralitas, niscaya Kerajaan
Allah benar-benar tinggal & bergema di dlm diri setiap org demi penyelamatan manusia.
Kerajaan Allah ini semakin nyata dlm realitas masyarakat yg semakin menghargai martabat
manusia serta memperjuangkan terjadinya transformasi sosial menuju kesejahteraan semesta. 

1. PERSOALAN INKULTURASI GEREJA, KHUSUSNYA DI ASIA


Inkulturasi merupakan suatu proses untuk mengintegrasikan Injil dengan kebudayaan-
kebudayaan. Prinsip dasarnya adalah bahwa Injil harus diwartakan kepada semua orang.
Pewartaan itu dilaksanakan bukan karena Gereja terutama ingin menobatkan orang atau bahwa
nilai-nilai Injil yang dibawa Gereja lebih unggul dari nilai-nilai kebudayaan-kebudayaan maupun
agama-agama lain. Pewartaan itu dilaksanakan dalam kepatuhan akan perutusan Kristus seraya
menyadari bahwa karya keselamatan Allah dilaksanakan bagi semua orang.
PERLUNYA PEWARTAAN INJIL
Untuk itu nilai-nilai Injil harus dikenal oleh orang-orang dalam kebudayaan mereka. Injil
harus diakrabi oleh orang-orang. Bisa dibayangkan bagaimana orang dapat diselamatkan jika
mereka tidak dapat mengenal Injil. Memang, Gereja meyakini bahwa di luar Gereja juga ada
keselamatan. Hal itu didasari oleh kepercayaan bahwa Allah yang menghendaki keselamatan
bagi semua orang menyediakan jalan-jalan yang memadai bagi setiap orang untuk mencapai
keselamatan itu. Usaha manusia untuk mencapai keselamatan terungkap dalam usaha manusia
untuk menyempurnakan kodratnya melalui hidup membudaya (bdk. LG 16, GS 53). Mereka
yang dengan sepenuh hati mencari Allah dalam hidupnya tanpa mengenal Kristus, kemudian
dikenal sebagai orang-orang Kristen anonim.
Gereja dalam imannya kepada Kristus melihat kekhasan perutusan Kristus bahwa Dialah
kepenuhan keselamatan Allah yang dilaksanakan bagi dunia. Kristuslah Penebus yang telah
dijanjikan Allah untuk menyelamatkan dunia yang telah rusak karena dosa manusia. Karena
dosa, manusia tidak dapat mengenal Allah dan kehendak-Nya secara utuh. Allah hanya dikenal
samar-samar. Karena itu mereka harus bersusah payah untuk mencapai keselamatan. Hal itu
berbeda dengan Gereja yang telah mengimani Kristus. Melalui Kristus Gereja mengenal Allah
dan keselamatan-Nya sehingga dapat hidup seturut pemahaman itu. Karena pemahaman itu pula
Gereja dalam ketaatan pada perutusan Kristus mewartakan Injil kepada semua orang.
BAGAIMANA MEWARTAKAN INJIL ITU?
Pewartaan Injil merukapan karya Allah karena di dalamnya terkandung kehendak Allah,
yakni keselamatan bagi manusia. Dalam karya itu Gereja ambil bagian dalam karya Allah.
Perutusan yang dilaksanakan Gereja bukan berasal dari dirinya, melainkan sebagai partisipasi
pada perutusan Kristus sendiri. Karena itu Gereja tidak mewartakan dirinya sendiri, melainkan
mewartakan Kristus. Gereja harus membuat Kristus semakin akrab dan dikenal oleh orang-
orang. Dengan demikian Gereja menjadi jalan bagi orang-orang untuk sampai pada Kristus, sang
sumber keselamatan.
SITUASI KEBUDAYAAN ASIA DAN TANTANGAN MEWARTAKAN INJIL
Dalam mewartakan Injil, Gereja berhadapan dengan orang-orang. Dalam situasi itu perlu
disadari bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Kebudayaan merupakan salah
satu konteks yang dihadapi dalam pewartaan Injil di Asia. Ada keberagaman budaya yang amat
besar di Asia. Dalam konteks itulah iman Kristen telah lahir. Yesus yang disebut Kristus itu
sendiri adalah orang Asia (Yahudi).
Kendati demikian Gereja melihat bahwa Kristus dianggap seolah-olah orang asing bagi
Asia. Hal itu dipahami mengingat kekristenan, walau lahir di Asia, tumbuh dan besar di Eropa.
Kristus yang diimani itu kemudian sangat bercita-rasa Eropa. Kristus Eropa, itulah yang
kemudian diwartakan oleh para misionaris sehingga Kristus seolah-olah asing bagi Asia. Hal ini
diungkapkan tanpa mengurangi rasa hormat pada para misionaris yang telah mengabdikan
hidupnya untuk mewartakan Injil. Situasi “asing” ini tentunya tidak kondusif bagi pewartaan
Injil. Hal asing cenderung ditolak.
DIALOG UNTUK MEMPERKENALKAN KRISTUS
Dalam kesulitan itu Gereja dapat belajar dari para pewarta awali, seperti rasul Paulus
yang berdialog dengan nilai-nilai filosofis, kultural, religius para pendengarnya. Dalam dialog
terungkap usaha Gereja untuk memahami nilai-nilai setempat sehingga metode pewartaan dapat
dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai setempat. Dengan demikian nilai-nilai Injil tidak menjadi
asing bagi masyarakat setempat.
Perlu diingat juga bahwa setiap kebudayaan mencakup suatu sistem hidup bagi suatu
masyarakat. Di dalamnya terungkap kerinduan dan usaha-usaha masyarakat tersebut untuk
menjawab kerinduan-kerinduan itu dan pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Karena
itu mengenal dan memahami budaya merupakan sarana yang tepat untuk kemudian mewartakan
Kristus. Dalam kerangka itu Kristus menjadi jawaban atas kerinduan dari kebudayaan itu dan
arah hidup masyarakat setempat.
INKULTURASI: PROSES INTEGRASI NILAI-NILAI INJIL
Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Injil terintegrasi dalam
kebudayaan itu penting. Yang dimaksud terintegrasi adalah nilai-nilai Injil yang menjadi jiwa
bagi kebudayaan. Nilai-nilai Injil itu tidak hanya hadir dalam bentuk eksternal kebudayaan.
Misalnya penggunaan Rosario atau salib sebagai orang Kristen. Tentu penggunaan hal itu tidak
ditolak. Namun integrasi yang dimaksud harus menyentuh cara hidup dan nilai-nilai yang
dihayati. Itulah inkulturasi Injil yang sejati. Inkulturasi itu sendiri merupakan proses sebab
menyangkut hidup dan berlangsung dalam hidup. Usaha menghayati nilai-nilai Injil berlangsung
dalam hidup dan terwujud dalam berbagai penegasan dalam hidup. Karena itu inkulturasi disebut
sebagai suatu proses.
Untuk sampai pada proses tersebut, pertama nilai-nilai Injil harus dikenal oleh
masyarakat setempat. Karena itu dibutuhkan suatu penerjemahan (translasi) nilai-nilai Injil dari
pewarta kepada para pendengar. Penerjemahan awal biasanya dengan menerjemahkan doa-doa
dasar atau Injil ke dalam bahasa setempat. Penerjemahan itu biasanya dilakukan oleh orang yang
berasal dari luar (outsider) masayarakat budaya setempat. Karena itu kemungkinan salah paham
atas rasa dan budaya setempat sangat besar. Untuk mengurangi itu, penerjemah bisa mempelajari
dan memahami konsep-konsep setempat sebagaimana orang setempat memahaminya
(pendekatan emik) terlebih dahulu sebelum menerjemahkan. Penerjemahan akan sangat baik
dilakukan oleh penduduk setempat yang memahami nilai-nilai Injil dan nilai-nilai setempat
(insider).
Selanjutnya dalam penghayatan iman harus diperhatikan tiga kutub: nilai-nilai Injil,
Tradisi Gereja, dan kebudayaan setempat. Ketiga kutub tersebut harus senantiasa didialogkan
sehingga nilai-nilai Kristiani dapat senantiasa menjadi jawaban bagi hidup masyarakat setempat
dan kebudayaan setempat dapat senantiasa berada dalam kesatuan keselamatan yang diadakan
Kristus melalui Gereja semesta.
BEBERAPA BIDANG KUNCI INKULTURASI (Gereja di Asia, art. 22)
Refleksi teologis: teologi harus terinkulturasi tanpa kehilangan sensus fidei, kesatuan
iman dengan Gereja universal. Karena itu seorang teolog harus memahami pokok-pokok ajaran
iman dengan baik dan di lain pihak memahami budaya setempat dengan tidak kalah baik.
Pertanyaannya: apakah dengan inkulturasi umat makin menghayati iman Kristen melalui
kebudayaan mereka sendiri?
Liturgi: liturgi merupakan sumber dan puncak kehidupan dan misi Kristen. Khususnya
di Asia yang berhadapan dengan berbagai agama, yang juga getol dalam mengungkapkan
imannya dalam perayaan-perayaan keagamaan dan ibadat, liturgi menjadi bidang yang penting.
Inkulturasi dalam liturgi harus lebih dari sekedar lambang-lambang dan upacara-upacara budaya
tradisional. Perlu juga dihindarkan perayaan yang bersifat show belaka, duniawi, konsumeristis.
Liturgi adalah perayaan iman Gereja. Liturgi merupakan ungkapan kesatuan Gereja. Karena itu
tidak dapat ditetapkan sekehendak hati melainkan senantiasa disesuaikan sehingga sungguh
mengungkapkan iman Gereja.
Sabda sebagai sarana dan pokok pewartaan: dalam pewartaan Injil, yang diwartakan
adalah Sabda itu sendiri. Di dalamnya, Allah mewahyukan diri dan menyatakan kehendak-Nya.
Karena itu Sabda itu sendiri perlu dipahami oleh orang-orang. Atas dasar pemahaman itu Gereja
melihat perlunya dukungan untuk menerjemahkan Kitab Suci. Teks yang sesuai dan dipahami
masyarakat setempat kiranya menjadi sarana untuk mengenal Allah. Teks yang dibaca dan
dihidupi itu kemudian menjiwai hidup sehari-hari. Karena itu penting juga digalakkan kursus-
kursus Kitab Suci sehingga umat semakin memahami Sabda. Teks yang sesuai dengan
masyarakat setempat bahkan mungkin dibaca oleh umat beragama lain. Teks Alkitab sendiri
banyak yang berbentuk naratif yang sesuai dengan kultur Asia.
Pembinaan para pewartaa Injil: Inkulturasi harus dimulai dalam pembinaan para
pewarta Injil sebab melalui merkea Injil akan diwartakan kepada banyak orang. Pembinaan para
pewarta Injil dengan demikian tidak dapat lepas dari konteks budaya Asia, selain juga
mendalami ilmu Kitab Suci dan patrisitik serta mendalami warisan teologis dan filosofis Gereja.
Para formator hendaknya juga mengusahakan formasi rohani dan doa yang sesuai dengan jiwa
Asia sehingga memampukan para formandi menghayati imannya dan mewartakannya sesuai
konteksnya. Gereja juga memperhatikan pembinaan mereka yang masuk dalam lembaga hidup
bakti. Dengan penghayatan iman yang sesuai dengan rasa-budaya setempat, mereka dapat
melakukan pelayanan Injil sesuai dengan konteksnya. Secara luas Gereja melihat bahwa
inkulturasi tidak sebatas pada klerus saja, melainkan juga bagi segenap umat beriman. Hal itu
terjadi karena iman dihidupi oleh segenap umat beriman. Hanya dengan keterlibatan seluruh
Gereja, Injil dapat diwartakan sekaligus diinkulturasikan, diintegrasikan dalam kebudayaan
setempat dengan baik.
@@@@@
Persoalan inkulturasi Gereja di Asia
Gereja, sebagai perkumpulan umat beriman yang percaya kepada Yesus dalam
persekutuanNya dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, ada dalam dunia dan menjalankan misinya
untuk menghadirkan Kerajaan Allah (Bdk. LG, art.5). Dalam pertemuannya dan relasinya
dengan dunia, Gereja berusaha untuk tetap menghadirkan wajah Kristus di tengah tantangan
dunia yang mengelilinginya. Menghadapi hal tersebut, Gereja tetap berusaha menyampaikan
penghargaan terdalam kepada tradisi-tradisi lain, dan berusaha menjalin dialog yang tulus
dengan para penganutnya. Nilai-nilai religius yang diajarkan oleh tradisi-tradisi tersebut
bukannya menghilangkan nilai Injil, melainkan melalui ajaran-ajaran tersebut menambahkan
pemenuhan mereka dalam Yesus Kristus.
Dengan hadirnya Gereja di tengah dunia, maka ia pun mengemban misi untuk
menyebarkan kabar gembira ke seluruh dunia, seperti yang telah diperintahkan oleh Yesus
sendiri: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mat 16:15).
Pewartaan Kabar Gembira tersebut dapat dirasakan hingga saat ini oleh seluruh umat manusia di
penjuru belahan dunia, salah satunya adalah di Asia.
Benua Asia merupakan benua yang terluas di muka bumi ini. Benua ini dihuni oleh
hampir duapertiga penduduk dunia. Dengan keadaan seperti itu, tak dapat dipungkiri bahwa
benua ini memiliki keragaman bangsa dengan budaya-budaya yang telah diwariskan dari jaman
ke jaman. Kita perlu mengingat bahwa Asia merupakan kawasan kelahiran agama-agama besar
dunia, yaitu Yudaisme, aama Kristiani, Islam dan Hinduisme. Di benua ini pula lahir pula
berbagai tradisi rohani lainnya, misalnya: Budhaisme,Taoisme, Konfusianisme, Zoroatrianisme,
Shintoisme, dan masih banyak lagi. Di dalamnya, iman masyarakat berbaur pula dengan agama-
agama tradisional, suku-suku, pada berbagai tingkatan ajaran religius ritual dan formal yang
terstruktur.
Dengan kenyataan seperti itu tantangan Gereja semakin berat dan rumit. Gereja harus
menghadapi cakrawala budaya yang begitu beraneka ragam dan berubah dengan cepat.
Masyarakat dunia, khusunya di Asia, pada umunya sedang mengalami persoalan kultural yang
tak pernah terjadi sebelumnya. Di sini Tugas Gereja adalah berusaha untuk menterjemahkan dan
mengartikulasikan pesan Kristiani dalam bahsa orang-orang yang sejaman. Dalam proses
tersebut, perlu pula dilihat bahwa pewartaan Kristiani ini ditujukan kepada manusia dan bukan
kepada para malaikat.[1] Dengan kata lain, pewartaan ini harus mencakup manusia sutuhnya,
jiwa dan badan, bukan hanya jiwanya saja. Sehubungan dengan itu, Gereja harus menjadi locus
theologicus,artinya bahwa Gereja harus tetap menjadi sumber di mana para jemaat dapat
menghayati imannya dan tempat di man umat dapat menimba iman Gereja itu sendiri yang benar
dan sejati. Dalam pewartaannya di dunia, ia harus tetap menjadi sebuah tanda dan sarana
keselamatan.
Gereja di Asia adalah salah satu locus theologicus. Di dalamya kita dapat menggali nilai-
nilai Kristiani awali yang berguna bagi perkembangan iman jemaat. Perbedaan budaya, suku
bangsa, dan ajaran-ajaran yang ada bukanlah menjadi halangan untuk mendatangkan Kerajaan
Allah di dunia ini. Sebaliknya, melalui keberagaman tersebut diharapkan dapat memperdalam
iman kita akan Yesus Kristus. Dengan kata lain, inkulturasi perlu dikembangkan sejauh hal itu
membantu jemaat dalam hidup menggereja dan hidup beriman.
Tulisan ini hendak mengetengahkan gambaran umum Gereja di Asia, terlebih dilihat
dalam konteks inkulturasinya. Gambaran ini bukan semata interpretasi penulis sendiri, melainkan
dalam terang Dokumen Konsili Vatikan II. Di awal akan dipaparkan tentang terjadinya Gereja
Asia sebagai karya Roh Kudus. Selanjutnya, ditampilkan gambaran Gereja di Asia terkait dengan
konteks, serta gambaran inkulturasi yang ada di dalamnya. Di akhir tulisan ini akan ditampilkan
refleksi serta relevansi praktis bagi hidup beriman dewasa ini.
Gereja di Asia: Karya Roh Kudus[2]
Pada jaman sekarang, terdapat kekeliruan dalam memandang Gereja, terlebih mengenai
asal-usulnya. Kebanyakan orang atau jemaat non-Kristiani menganggap bahwa Gereja itu
merupakan bentukan dari budaya Barat, khususnya budaya Eropa. Inilah kenyataan yang terjadi.
Yesus Sang Pendiri Gereja itu sering dianggap seolah-olah asing bagi Asia. Terjadi sebuah
paradoks, bahwa jemaat Kristiani di Asia sendiri cenderung menganggap Yesus, yang
sebenarnya lahir di daerah Asia (Yudea), bukan lahir di Asia. Kebanyakan umat lebih meihatNya
sebagai tokoh Barat. Hal ini tak dapat dilepaskan dari peran para misionaris Barat yang
membawa serta budayanya masuk ke dalam daerah yang didatanginya.
Peran Roh Kudus dalam keberadaan Gereja di Asia sangatlah vital. Roh Kudus ialah roh
Allah sendiri yang memberi hidup. Karya penyelamatan oleh Yesus terjadi dalam jalinan misteri
Tritunggal. Roh Kudus menjadi daya penggerak hidup. Hal ini nampak dalam karya penciptaan.
Roh Kudus hadir sejak saat pertama penciptaan, dan kekuatannya tersembunyi dalam sejarah
penyelamatan selanjutnya.
Roh Kudus yang di masa lalu bergerak menjelajahi Asia pada jaman para bangsa dan
para nabi, hingga jaman Yesus serta para muridNya, kini kembali bergerak di tengah umat
Kristiani modern di antara bangsa-bangsa, kebudayaan, dan agama di benua itu.[3] Di dalamnya
terdapat dialog cinta kasih yang terjadi antara Allah dan manusia disiapkan oleh Roh dan
dilaksanakan di tanah Asia dalam misteri Kristus. Demikian pula dialog yang terjadi antara Sang
Penyelamat dan Bangsa-bangsa di Asia masih berlangsung berkat Roh Kudus itu juga. Roh
menghimpun menjadi kesatuan segala macam orang, beserta adat-kebiasan, sumber-sumber daya
alam dan bakat kemampuan mereka yang berlainan, seraya menjadikan Gereja tanda persekutuan
seluruh umat manusia di bawah Kristus sebagai kepala.[4]
Gereja di Asia: Konteks dan Inkulturasinya
Dewasa ini, inkulturasi menjadi bahan perbincangan yang cukup serius dalam kehidupan
iman Kristen. Berbicara tentang inkulturasi, berarti terkait dengan interaksi antara masalah iman
dan budaya. Inkulturasi ini dipopulerkan oleh para misionaris yang bermisi ke daerah-daerah
baru guna menyebarkan ajaran-ajaran iman Kristen. Ada dua bentuk disposisi misi yang menjadi
perhatian dalam berinkulturasi. Di satu pihak, iman harus diwartakan ke seluruh dunia, dan di
sisi lain budaya setempat juga harus tetap dilestarikan. Dengan kata lain proses inkulturasi ini
tidak sekedar usaha menyebarkan iman, tetapi bagaimana iman itu dapat diterima tanpa
menghilangkan budaya setempat.
Berbagai pendapat mencoba mengartikulasikan hal ini agar menjadi jelas apa yang
sebenarnya menjadi tujuan inkulturasi itu sendiri, dan metode apa yang relevan guna mencapai
tujuan tersebut. Salah satu contoh tokoh yang mencoba mendekati persoalan ini adalah Michael
Amalados (, seorang imam Yesuit. Mereka berdua mencoba menunjukkan metode-metode dalam
berinkulturasi sesuai dengan konteks yang dihadapi. Pendekatan yang dilakukan oleh Amalados
ini bertitik tolak pada konteks Gereja Asia, secara khusus Gereja di India.
Dalam metode pendekatannya terhadap inkulturasi, Amalados mendasarkannya pada
Sabda Tuhan sendiri (Bdk. DV,art. 10). Meskipun kelihatannya terdapat dua titik pendasaran, isi
serta metode berinkulturasinya tetap sama. Keduanya sama-sama menegaskan bahwa dalam
berinkulturasi, budaya lokal harus diangkat. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa kristianisme
bukan menjadi milik budaya tertentu, dengan demikian tidak boleh menjadi monopoli dan
dominasi satu kelompok. Dari sini pula dapat diyakini bahwa Allah mengajak semua manusia
untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Dalam konteks Asia, kita dapat melihat adanya dua elemen utama yang diwartakan dalam
terang Injil. Dua elemen itu adalah kemiskinan dan religiositas.[6] Jika Injil tidak diwartakan
sebagai suatu kabar gembiran tentang pembebasan dari kemiskinan dan penindasan,
sebagaimana suatu bentuk pemenuhan spiritual pribadi, Injil tidak akan diperhatikan dan tak
memiliki daya lagi. Kerajaan yang diwartakan dan dijanjikan dalam Injil merupakan suatu
persahabatan dari kelompok manusia yang memiliki persamaan hak, tentang kasih dan
pelayanan, tentang keadilan dan mengungkapkan pendapat. Tujuan ini bisa tercapai tidak hanya
melalui suatu perubahan struktur-struktur yang ada. Dalam prosesnya, Gereja perlu melalui suatu
perubahan, dalam diri individu-individu dan kelompok, yang memimpin mereka untuk
bertumbuh dan membebaskan diri dari belenggu penderitaan.
Gereja di Asia: “Kolaborasi“ Spiritualitas
Salah satu bentuk penghayatan spiritualitas Kristiani nampak dalam Ibadat.[7] Ibadat
merupakan suatu perayaan yang dihadiri oleh sekumpulan orang beriman sebagai saat yang
paling penting dalam hidup dan perkembangan setiap individu dan kelompok secara keseluruhan.
Inilah ciri dari Gereja. Ini adalah ungkapan iman dan hidup mereka, dalam bentuk simbolis yang
memiliki arti sebagai sarana yang ingin menghadirkan kembali misteri yang mengawali dasar
kehidupan mereka. Dalam konteks ini diperlukan dua bentuk pendekatan.[8] Pertama, kita harus
melihat serta membedakan unsur pembedaan dan persamaan dari bentuk perayaan sakramental
dalam Gereja, dan kita harus membuat bentuk perayaan baru yang difokuskan pada bentuk yang
seragam. Kedua, kita harus memberikan pemaknaan baru bagi kehidupan orang kristiani yang
memiliki perayaan nasional dan musiman, serta berbagai bentuk perayaan lain dalam
masyarakat. Selain itu kita juga harus terbuka terhadap perkembangan bentuk-bentuk ibadat yang
baru oleh Konsili Vatikan II.
Relevansi
Berinkulturasi berarti membangun sebuah Gereja lokal yang hidup, yang otentik.Yang
menjadi masalah dengan kebanyakan Gereja Asia adalah bahwa mereka merupakan Gereja-
Gereja lokal yang masih butuh diinkulturasikan. Inkulturasi kemudian menjadi semakin sukar
dan menemui rintangan-rintangan psikologis dan sosiologis yang sungguh-sungguh tidak
berhubungan dengan Injil atau Gereja.
Salah satu hal penting yang dapat kita gali lebih dalam untuk inkulturasi ini adalah
melalui liturgi. Liturgi merupakan sumber dan puncak segala perikehidupan dan misi Kristiani.
Di dalamnya sangat menentukan bagi pewartaan Injil, khususnya di Asia. Dalam hal ini
inkulturasi Liturgi tetap diminta untuk lebih memusatkan perhatian pada nilai-nilai iman dalam
lambing serta upacara budaya tradisional.
Tugas paling penting untuk Gereja di Asia sekarang adalah menciptakan suatu suasana
dimana Gereja-Gereja lokal dapat berbela rasa dan menjadi bebas dan bertanggung jawab atas
kehidupan mereka dalam semua aspeknya. Setelah berabad-abad dengan keseragaman yang
kaku, hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Tetapi tanpa suasana demikian, Gereja-Gereja lokal
tidak akan bertumbuh. Mengakui keberadaan budaya lokal yang mempunyai kekuatan untuk
merevisi ajaran dan arah Gereja. Dalam hal ini perlu diingat bahwa Roh Kuduslah yang
membimbing kita pada seluruh kebenaran, yang memungkinkan dialog yang subur dengan nilai-
nilai budaya yang religius pada berbagai bangsa.
Pertemuan antara iman dan budaya lain yang ada dalam suatu daerah memang dapat
menimbulkan resiko besar, hingga pertumpahan darah. Namun bila inkulturasi tidak berani
mengambil resiko, inkulturasi akan stagnan, mandeg, dan bila berhenti maka inkulturasi tidak
relevan lagi. Sama halnya ketika penulis menilik kembali inkulturasi yang terjadi di tanah Jawa
ini, belum banyak proses inkulturasi yang berhasil, dan akan selalu menuai kritikan. Malahan
proses inkulturasi yang ada menjadikan penduduk pribumi menjadi “Londo Ireng”.
Memang bila dilihat, pandangan akan inkulturasi ini lebih mengarah pada sebuah teologi
pembebasan, jadi harus menyentuh pada dasar budaya tersebut guna memunculkan kebenaran
iman. Kelemahan dari sistem ini adalah akan memunculkan ekstrimis spiritualis pada suatu
budaya, sehingga mengklaim diri sebagai yang paling benar dan semua ajaran harus berakar dari
situ. Namun yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa inkulturasi bukanlah tujuan dari
evangelisasi, melainkan inkulturasi itu merupakan evangelisasi tersebut. Maka bagaimana
sekarang Inijl tersebut, yang merupakan kabar gembira, dapat diterima oleh seluruh umat
manusia, dan bagaimana pula kebaikan Injil tersebut dapat diterjemahkan di tengah-tengah
pluralitas budaya, suku dan bangsa di dunia ini. Inilah misi dari inkulturasi yang sebenarnya.

CIRI-CIRI HAKIKI GEREJA (SATU, KUDUS, KATOLIK, APOSTOLIK)

Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik adalah ciri atau sifat dari Gereja.
Dengan keempat ciri itu Gereja menyatakan bahwa yang insani dan yang ilahi
bersatu dalam diri Gereja. Keempat ciri itu saling berkaitan. Gereja tidak berdiri
dengan dirinya sendiri, tetapi berkat karunia Roh Kudus, dan Kristus yang
menjadikan Gereja.

1. Gereja Yang Satu


Kesatuan dalam Gereja mendapatkan dasarnya dari kesatuan Allah yang Tunggal
dalam Tiga Pribadi yaitu: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Sama halnya dengan
Gereja kendati beraneka ragam namun tetap satu, yaitu Gereja yang berkumpul
dalam Yesus Kristus. Roh Kuduslah yang menyatukan Gereja.

Gereja yang satu ini terdiri dari :


1.1. Pengakuan iman yang sama, yaitu iman kepada Yesus Kristus yang telah wafat
dan bangkit.
1.2. Perayaan ibadat yang sama dan adanya pengakuan yang sama bahwa
Sakramen adalah tanda dan sarana keselamatan dari Allah.
1.3. Suksesi apostolik oleh tahbisan menegakkan kesepakatan di antara umat Allah
sebagai saudara dalam Kerajaan Allah.

2. Gereja yang Kudus


Gereja menjadi kudus karena Yesus Kristus adalah kudus. Yesus mengasihi
GerejaNya dan menyerahkan diri kepada Gereja untuk menguduskannya sehingga
umat dipersatukan dengan Yesus menjadi kudus. Pengudusan manusia dalam
Kristus merupakan bagian dari semua karya di dalam Gereja.

Gereja itu kudus karena mempunyai :


2.1. Asal yang kudus, yaitu berasal dari Kristus sendiri (Yoh 17 : 19, Ef 5 : 25 -
27).
2.2. Tujuan yang kudus, yaitu bersatu dengan Allah yang kudus (Ef 1: 4, 1Ptr 1 :
15).
2.3. Gereja dibimbing oleh Roh Kudus. Allah akan menyertai kita sampai akhir
zaman (Mat 28 : 20b).

3. Gereja Yang Katolik


Katolik berarti umum, universal, ingin merangkul segalanya. Gereja diutus oleh
Yesus ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa menjadi muridNya (Mat
28 : 19). Setiap Gereja lokal bersama dengan Uskup berusaha menterjemahkan
keberadaan Kristus sesuai dengan kondisi dan kehidupan kongkrit di masyarakat.
Wajah Gereja di dunia tidak bisa sama, tetapi yang sama adalah isi atau esensinya.

4. Gereja Yang Apostolik


Gereja itu apostolik, artinya ajarannya sesuai dengan ajaran para Rasul, utusan atau
duta dari Kristus. Kesesuaiannya itu merupakan wujud dari pesan Kristus sendiri,
agar para muridNya mengajarkan segala sesuatu yang telah diperintahkan
kepadanya (Mat 28 : 20). Dan jemaat perdana hidupnya sesuai dengan pesan Yesus
itu, yaitu bertekun dalam pengajaran para Rasul (Kis 2 : 42).

Gereja didirikan atas dasar para Rasul memiliki tiga macam arti, yaitu :
4.1. Gereja tetap dibangun atas dasar para Rasul dan para Nabi.
4.2. Dengan bantuan Roh Kudus, Gereja menjaga ajaran, warisan iman, pedoman
sehat para Rasul dan meneruskannya.
4.3. Gereja tetap diajar, dikuduskan dan dibimbing oleh para Rasul sampai
kedatangan kembali Yesus. Sekarang tugas para Rasul itu diteruskan oleh para
Uskup, dibantu olh para Imam.

PENGHAYATAN EKARISTI DI DALAM MAUPUN DI LUAR MISA


A. PENGHAYATAN EKARISTI DI DALAM MISA
Perayaan Ekaristi tidak dapat dilepaskan dari Gereja Katolik. Dalam Ekaristi Kristus
sungguh hadir dalam rupa roti dan anggur, dan dibagikan kepada Jemaatuntuk dimakan (dan
diminum). Bagi banyak orang Yesus yang memberikan daging dan darah-Nya dan terwujud
dalam Ekaristi untuk dimakan menjadi suatu ungkapan yang sangat mengerikan dan tidak bisa
dipahami. Bahkan pada jaman dulu, sewaktu Yesus mengatakan dengan terus terang bahwa
daging-Nya dan darah-Nya harus dimakan supaya orang dapat memiliki hidup yang (bdk. Yoh
6:25-66) membuat banyak orang, termasuk murid-Nya, meninggalkan Dia. Dalam hal ini bisa
dimengerti betapa banyak orang tidak bisa memahami Ekaristi. Bagi Gereja Katolik, ada
kesatuan erat antara Ekaristi dengan hidup Gereja sebab Ekaristi adalah “jantung hidup Gereja”
(EE3).
Yesus meninggalkan suatu tanda dan memberi perintah supaya dilestarikan sepanjang
masa pada akhir hidup-Nya sebelum meninggalkan para murid. Gereja melihatnya sebagai
warisan yang sangat berharga yang terungkap pada Ekaristi, sebagaimana diteruskan dalam
tradisi para rasuli: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan
mereka selau berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42). Memecahkan roti
adalah gambaran dari merayakan Ekaristi. Sambil memecahkan roti dalam perayaan Ekaristi,
Gereja merayakan misteri Paskah yang merangkum peristiwa malam Perjamuan malam Kamis
Putih, penghormatan Salib pada hari Yesus wafat pada hari Jumat Agung, dan perayaan mulia
kebangkitan-Nya pada Malam Paskah.
Peristiwa menakjubkan yang diimani Gereja dalam Ekaristi merupakan ungkapan khas
Gereja yang meneruskan kehendak Kristus menyelamatkan dunia. Lewat Ekaristi Kristus hadir,
mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban yang berkenan kepada Allah, memberikan kepada
manusia jaminan makanan sejati, dan membawa seluruh Gereja kepada pengharapan akan
kebangkitan akan hidup kekal. Ekaristi menjadi milik Gereja yang paling berharga. Tidak ada
Gereja tanpa Ekaristi. Dan Kristus mempercayakan Ekaristi kepada Gereja untuk menghadirkan
keselamatan-Nya.
1.1Dasar Kristologis Perayaan Ekaristi
Injil Yohanes menyebut “mukjizat”, yaitu suatu kejadian yang menimbulkan keheranan
atau yang melanggar hukum alam sebagai “tanda” (Yun: semeion) atau “tanda-tanda” (Yun:
semeia). Injil Yohanes mengembangkan makna “tanda” dengan menempatkan tiga aspek di
dalamnya, yaitu: kehadiran subjek, keberadaan tindakannya, konsekuensi atau hasil dari
peristiwa yang terjadi (lih. Yoh 2:11). Dalam konteks ini, “tanda” menunjukkan finalitas bukan
sekedar menunjukkan kuasa (dynameis) atau pewujudan kekuatan (eksousia) ilahi seperti dalam
Kisah Penciptaan. Injil Yohanes mengungkapkan hal tersebut dengan pernyataan: “Firman telah
menjadi daging diam di antara kita dan telah melihat kemuliaan-Nya yaitu kemuliaan yang
diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasihkarunia dan kebenaran” (Yoh
1:14).
Injil Yohanes menampilkan bahwa semeiondan subjek yang melakukannya ada dalam
kesatuan utuh. Semeionitu mengandung sifat dari subjek tersebut atau wujud dari kehadiran
Yesus. Dengan “tanda-tanda” itu, kehadiran Yesus menjadi kehadiran keselamatan Allah (Bapa).
Orang yang menyaksikan hal-ikhwal dan tindakan Yesus menjadi saksi hadirnya daya
keselamatan ilahi (lih. Yoh. 11:40). Injil Yohanes menunjukkannya dengan berkata bahwa siapa
yang melihat Yesus sesungguhnya melihat Bapa (Yoh 14:9) yang memiliki kehendak untuk
menyelamatkan manusia.
Tanda-tanda (semeia) Yesus adalah wujud kehadiran Allah. Nikodemus mengatakan
bahwa tidak seorang pun dapat melakukan mukjizat, bilamana Allah tidak beserta-Nya (lih. Yoh
3:2). Keyakinan ini digarisbawahi oleh orang Farisi ketika mereka menanggapi penyembuhan
seorang buta pada hari sabat: faktanya adalah bahwa Yesus melawan hukum hari Sabat, tetapi
sekaligus juga tidaklah mungkin bagi seorang berdosa melakukan mukjizat seperti itu (bdk. Yoh
9:16b). Hal pokok bukanlah pada kuantitas semeiaitu, melainkan kualitas dari maksud
pembuatan mukjizat itu. Dalam konteks ini, Injil Yohanes memakai istilah semeionterbatas
hanya pada “peristiwa Yesus” sebab Yesus sendirilah “tanda” itu. Injil Yohanes menunjukkan
tujuannya: “Supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya Kamu oleh
imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20:31).
“Tanda” berhubungan dengan iman karena iman/kepercayaan itu menjadi dasar untuk
melihat mukjizat tersebut sebagai tanda–tanda zaman Mesias. “Pada waktu itu mata orang–orang
buta akan dicelikkan, telinga orang akan di buka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat
seperti rusa dan mulut orang bisu akan bersorai–sorai” (Yes 35:5). Iman adalah jawaban manusia
sebagai buah dari pengertiannya sendiri terhadap pernyataan Allah; tetapi iman tidak sama
dengan intelektualitas manusia. Yohanes dengan jelas menghubungkan iman/ kepercayaan itu
dengan semeiaYesus. Iman kepada Yesus selalu berarti juga sebagai iman kepada Allah sebagai
Bapa (lih. Yoh. 12:44, Yoh. 14:1), artinya bahwa Yesus sendiri mengatakan bahwa Dia ada
dalam satu kesatuan dengan Allah, Bapa-Nya itu.
Yesus mengindikasikan identitas-Nya ketika Yesus memperkenalkan diri sebagai yang
membuat mukjizat (lih. Yoh 11:1) dan yang menjadi alasan kematian-Nya (lih. Yoh 11:45).
Allah yang membuat mukjizat–mukjizat di Mesir kepada bangsa Israel dikenal melalui
kehadiran-Nya dalam pekerjaan–pekerjaan Yesus. Di dalam Injil Yohanes, Yesus menguraikan
pekerjaan-Nya yang menunjuk kepada diri-Nya sendiri dan juga kepada Bapa-Nya, yang nampak
dalam kata ergayang dikatakan oleh Yesus (lih. Yoh 5:17). Di dalam Yoh 12:37b dst. ditegaskan
bahwa semeiaYesus itu adalah “oleh karena kuasa Allah”. Teks Yoh 12:37b ini merujuk ke Yes
53:1 yang menerangkan bahwa “tanda-tanda” dari Yesus menghubungkan antara Allah “yang
bertindak” dan Allah “yang menyertai” dalam keberadaan Yesus.
1.2 Dasar Eklesiologis Perayaan Ekaristi
Kehadiran Yesus menjadi kelihatan dalam perkumpulan Jemaat. Hal itu ditunjukkan oleh
Mat 18:20 melalui ucapan Yesus yang menyatakan dimana saja dua atau tiga orang berkumpul
atas nama Yesus (artinya: karena percaya kepada Yesus) di situ pun Yesus hadir di tengah-
tengah mereka. Lebih dalam lagi, Yesus membuat dirinya sebagai Penyelamat manusia dialami
pada saat Jemaat sedang berkumpul (lih. Kis. 4:29-31), secara khusus kepada murid-murid yang
sedang berkumpul makan bersama (lih. Kis. 1:4; Mrk. 16:14; Luk. 24:42-43). Dalam perjamuan
bersama Yesus, dua murid di Emaus “mengenal Yesus” (Luk. 24:31); mereka mengalami Dia.
Kedua murid itu adalah orang beriman “biasa” (bdk. Luk. 24:33), bukan “rasul”.3Hal tersebut
menyatakan bahwa Jemaat yang berkumpul atas dasar kepercayaan mereka kepada Yesus berkat
pewartaan Sabda menjadi tempat Yesus dan daya penyelamatan-Nya dirasakan dan dialami
secara real.
1.3 Apa yang dirayakan dalam Ekaristi?
Pemecahan roti (Kis. 2:42.46; 20:7.11) atau “jamuan Tuhan” (1Kor. 11:20) menjadi aspek
penting dalam perkumpulan Jemaat. Jemaat yang berkumpul tersebut mengikuti “pengajaran
para rasul” (Kis 2:42) artinya: menyimak “pemberitaan Injil”, bernyanyi, berdoa, dsb. (bdk. Ef.
5:19; Kol. 3:16; 1Tim 2:1-2). Kegembiraan yang ada di dalam perjamuan tersebut (Kis. 2:46)
menampilkan sifat eskatologisnya. Melalui perjamuan, Jemaat berelasi dengan Yesus Kristus
yang bangkit dan mulia, yang sudah masuk ke dalam “hidup yangkekal”. Di dalam perjamuan itu
pula, Jemaat dihubungkan baik dengan masa yang lampau (wafat Tuhan) maupun dengan masa
mendatang, yakni kedatangan Tuhan kelak (lih. 1Kor 11:26). Jemaat yang berkumpul menjadi
matra kelihatan diri Yesus Kristus sebagai Penyelamat.4Jemaat adalah dimensi historis kelihatan
karya Yesus Kristus (bdk. Ef. 1:23).
Kerinduan merayakan Ekaristi merupakan kerinduan Gereja akan Tuhan-Nya. Sebab
dalam Ekaristi peristiwa penyelamatan Kristus dihadirkan secara nyata di tengah-tengah Gereja
dan seluruh dunia. Inilah yang mendorong Gereja untuk tiada hentinya mengenangkan dan
menghadirkan secara baru kurban Kristus kepada Bapa “secara sakramental, dalam setiap
komunitas yang mempersembahkannya lewat tangan pelayan tertahbis” (EE 12). Di sinilah letak
misteri perayaan Ekaristi yang melampaui segala pemahaman manusia, namun sekaligus juga
mendatangkan keselamatan bagi manusia. Iman yang demikian dirayakan oleh seluruh Gereja,
oleh imam bersama dengan Jemaat, sebagai suatu perayaan syukur yang penuh rahmat, yang
menghadirkan kurban keselamatan Kristus. Apa yang dipersembahkan di atas altar oleh Gereja
adalah kesetiaan Gereja terhadap pesan Yesus pada Perjamuan Terakhir, yang menghadirkan
Tubuh dan Darah-Nya sebagai kurban dan persembahan yang berkenan kepada Bapa. Lewat
Ekaristi ini, Kristus mendamaikan manusia dengan Bapa di surga. Demikianlah perjamuan dan
persembahan kurban Kristus yang mencapai puncaknya pada kurban salib menjadi pengharapan
akan keselamatan yang membawa manusia kepada penyucian jiwa, pengampunan dosa, dan
penerimaan Roh Kudus (EE 17).

1.4 Pentingnya Ekaristi dalam hidup Gereja


Ekaristi menjadi penting dalam hidup Gereja karena Ekaristi menjadi suatu “kenangan
akan Tuhan” (bdk. Luk. 22:19). Makna kenangan tersebut serupa dengan perayaan tahunan Israel
yang menjadi peringatan di hadapan Allah berkenaan dengan kejadian di masa lampau yang kini
dialami dan dirasakan oleh mereka yang percaya secara aktual. Begitu pula jamuan Tuhan
menjadi kenangan akan wafat-Nya (1Kor 11:26) yang secara aktual dampaknya atau buah-
buahnya dialami oleh Jemaat yang sedang berkumpul. Dengan makan roti dan minum anggur,
Jemaat masuk ke dalam dan menjadi bagian dari Tubuh dan Darah Kristus (1Kor 10:16). Jamuan
Tuhan itu menjadi suatu penyataan atau ungkapan iman akan diri Yesus Kristus yang
diberitakan.
Jemaat yang ikut serta, dengan menyambut tubuh dan darah Kristus, diajak untuk
mengarahkan seluruh hidupnya kepada kesatuan penuh dengan Kristus sendiri. Menerima tubuh
dan darah Kristus menjadikan Jemaat bersatu secara dalam sengsara, wafat, kebangkitan Kristus
sendiri, yang mengarah kepada kedatangan-Nya dalam kemuliaan. Lewat perayaan Ekaristi,
yang menyatukan seluruh Gereja dengan Kristus, oleh Roh-Nya Gereja dibawa dalam
pengharapan manasemua akan menikmati perjamuan surgawi dalam cinta Bapa. Harapan
eskatologis penuh kemuliaan ini semua terungkap dalam perayaan Ekaristi.Ekaristi adalah
“sumber dan puncak seluruh hidup kristiani”(LG 11).
Para pelayan Ekaristi, yakni para imam yang karena tahbisannya, dipanggil untuk
melestarikan karya agung Kristus menyelamatkan dunia. Para imam tidak mempersembahkan
kurbannya sendiri, melainkan bertindak sebagai alter Christusyang menghadirkan kurban Kristus
yang menyelamatkan. Tidak heran, kalau dalam hal ini relasi imam dengan Ekaristi sangat erat.
“Ekaristi adalah raison d’etre(alasan keberadaan) utama dan pusat dari sakramen imamat, yang
terwujud secara nyata pada saat penetapan Ekaristi, dan bersamaan dengan penetapan itu sendiri”
(DC 2). Bila Ekaristi adalah pusat dan puncak perayaan iman, maka dapat dikatakan bahwa
Ekaristi adalah pusat dan puncak pelayanan imamat (EE 31).5Hal ini menjadi sangat jelas dalam
ajaran Konsili Vatikan II yang mengatakan bahwa para imam tertahbis “bertindak dalam pribadi
Kristus, mewujudkan Kurban Ekaristi dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama semua
umat” (LG 10).
Kurban Ekaristi Kristus yang dirayakan oleh Gereja adalah karunia istimewa Kristus
kepada Gereja. Dengannya Gereja diundang untuk ikut mempersembahkan dirinya dalam
kesatuan dengan kurban Kristus. Lewat kurban Kristus yang sama ini karya penebusan Yesus
Kristus dilaksanakan terus menerus. Para imam, karena tahbisannya, dipanggil untuk terus
merayakan dan menghadirkan karya penebusan ini setiaphari, meskipun tidak dapat dihadiri oleh
Jemaat setiap harinya.6Selain sebagai wujud nyata pelestarian keselamatan yang diberikan
Kristus kepada Gereja dan dunia, imam itu sendiri menggali kekuatan hidup rohaninya juga
lewat Ekaristi suci. Dengan menghayati Ekaristi yang dipersembahkan lewat tangannya, seorang
imam mewujudkan secara nyata kesatuan hidupnya dengan Kristus, sumber keselamatan
sempurna, sekaligus juga menampakkan sejelas-jelasnya identitas dan kesetiaannya kepada
Kristus, serta cinta Kristus kepada manusia.
2. Ekaristi adalah Puncak Karya Penyelamatan Yesus Kristus
2.1 Perayaan Ekaristi pada Hari Minggu
Hari Minggu menjadi hari yang sangat penting bagi iman kristiani, sebab sesudah
disalibkan dan wafat, Yesus Kristus bangkit pada hari ke tiga. Hari itulah hari Paskah Kristus
yang bangkit mulia, yang dinamai dies Domini, Hari Tuhan, yang dalam tradisi para Bapa Gereja
diberi nama yang selalu dihubungkan dengan misteri Paskah Kristus. “Sakramen-sakramen
lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan
Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan
rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paskahkita”(PO 5). Pemberian nama dies Dominidalam
tradisi Latin menunjukkan betapa hari kebangkitan Kristus menjadi pusat iman kristiani,
menggantikan hari Sabat Yahudi. Yohanes Paulus II mengatakan:
Dia adalah Paskahyang berulang pekan demi pekan, untuk merayakan kemenangan
Kristus atas dosa dan kematian, di mana terjadi pemenuhan dalam Dia yang adalah
ciptaan pertama dan fajar dari “ciptaan baru” (bdk 2Kor 5:17). Hari itu adalah hari untuk
mengenangkan kembali hari pertama dunia dalam adorasi penuh syukur dan menantikan
dengan harapan aktif hingga “hari terakhir”, sewaktu Kristus datang kembali dalam
kemuliaan (bdk. Kis 11:1; 1 Tes 4:13-17) dan segalanya akan dibarui kembali (bdk. Why
21:5).
Gereja menyadari bahwa hari pertama dalam pekan, atau hari ke delapan, atau hari sesudah hari
Sabat (bdk. Mat 28:1; Mrk 16:1; 9:1; Luk 24:1; Yoh 20:1.26) adalah hari ketika Yesus yang
bangkit menampakkan diri kepada para murid-Nya. Selain menampakkan diri Yesus juga makan
bersama para murid-Nya (Yoh 21:13). Itulah sebabnya Gereja senantiasa melestarikan kenangan
kebangkitanKristus dan kehadiran-Nya lewat Ekaristi dalam suasana sukacita setiap minggu,
yang sudah menjadi Tradisi dari para Rasul, di mana “Gereja merayakan misteri Paskah Kristus
sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari Minggu” (SC 106).
Sehingga dalam setiap Doa Syukur Agung sesudah konsekrasi Gereja mengucapkan
anamnesesebagai ungkapan imannya akan wafat, kebangkitan dan kedatangan Kristus kembali.
Anamnese ini adalah memoria, yakni ingatan akan apa yang dialami oleh para Rasuldan yang
diteruskan dalam kenangan Gereja.
2.2Kurban Yesus satu kali untuk selamanya sebagai pelunas dosa
KGK 1365 menyatakan bahwa Ekaristi adalah suatu kurban, karena perayaan Ekaristisuatu
kenangan akanPaska Kristus. Sifat kurban ini sudah nyata dalam kata-kata Tuhan: “Inilah tubuh-
Ku yang diserahkan bagi kamu”, dan “cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang
ditumpahkan bagi kamu” (Luk .22:19-20). Dalam Ekaristi, Kristus mengaruniakan tubuh ini,
yang telah Ia serahkan di kayu salib untuk kita, dan darah ini, “yang ditumpahkan bagi banyak
orang untuk pengampunan dosa” (Mat.26:28).Jadi, Ekaristi adalah satu kurban, karena perayaan
Ekaristi meragakan kurban salib (dan karena itumenghadirkannya); Ekaristi adalahkenangan
akan kurban itu dan memberikan buah-buahnya(KGK 1366).
Ekaristi adalah tanda yang hidup dan berkenan dari kurban Kristus sendiri. Kurban Kristus
terjadi satu kali untuk selamanya di atas salib (bdk. Ibr 10:10). Kenangan atau
anamnesepenyelamatan yang terjadi lewat pengurbanan diri Yesus di atas salib pada perayaan
Ekaristi menampilkan masa lampau, saat ini, dan mengantisipasi masa depan. Anamnese ini
bukan saja mengingatkan kembali apa yang terjadi pada masa lampau dengan segala nilai,
melainkan juga pernyataan penuh keyakinan dari Gereja atas kuasa Allah dan janji-Nya. Ekaristi
bagaikan Firman, yang “mewartakan Injil Salib Kristus di masa lampau dan meramalkan
keselamatan di masa depan.”8Dengan demikian Ekaristi yang dirayakan melampaui ruang dan
waktu. Dia tidak terbatas pada tempat perayaan, juga tidak bisa memiliki rentang masa kapan
berakhir.
Ekaristi adalah kenangan akan Paska Kristus, yang menghadirkan dan mempersembahkan
secara sakramental kurban satu-satunya dalam liturgi Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dalam semua
Doa Syukur Agung, sesudah kata-kata penetapan, ada sebuah doa yang dinamakan anamneseatau
kenangan” (KGK 1362). Menurut pengertian Kitab Suci kenangan itu tidak hanya berarti
mengenangkan peristiwa-peristiwa di masa lampau, tetapi mewartakan karya-karya agung yang
telah dilakukan Allah untuk umat manusia(bdk. Kel 13:3).Dalam perayaan liturgi peristiwa-
peristiwa itu dihadirkan dan menjadi hidup lagi. Dengan cara ini umat Israel mengerti
pembebasannya dari Mesir: Setiap kali apabila Paska dirayakan, peristiwa-peristiwa keluaran
dihadirkan kembali dalam kenangan umat beriman, supaya mereka menata kehidupannya sesuai
dengan peristiwa-peristiwa itu(KGK1363). Dalam Perjanjian Baru kenangan itumendapat arti
baru. Apabila Gereja merayakan Ekaristi, ia mengenangkan Paska Kristus; Paska ini dihadirkan.
Kurban yang dibawakan Kristus di salib satu kali untuk selama-lamanya, selalu tinggal berhasil
guna (bdk. Ibr 7:25-27): “Setiap kali korban salib yang di dalamnya dipersembahkan Kristus,
Anak Domba Paska, dirayakan di altar, terlaksanalah karya penebusan kita” (LG 3)(dalam KGK
1364).
Seruan terhadap kehadiran Roh Kudus (epiklese), yang turun ke atas persembahan Gereja,
menjadikan Ekaristi suatu peristiwa aktual, terjadi saat ini, saat peristiwa Ekaristi dilangsungkan.
Dengan seruan ini Gereja menghadirkan kembali di sini dan saat inikurban Kristus, sekaligus
juga mengikutsertakan persembahan diri Gereja sendiri. Kehadiran Kristus adalah hasil dari
kehendak Kristus untuk tinggal bersama manusia, dengan kuasa Roh Kudus, dalam wujud yang
dipilihnya sampai akhir dunia. Kuasa Roh Kudus menjadikan seluruh persembahan diri Kristus
bernilai, karena bukan kuasa Gereja yang mampu mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan
darah Kristus, atau menghadirkan Kristus dalam rupa roti dan anggur. “Gereja hanya dapat
secara rendah hati dan penuh keyakinan menerima karunia dari kehadiran Kristus. Ajaran ini
menuntut Gereja mengakui ketidakmampuannya mengenal dan mencintai Allah kecuali melalui
Firman Allah dan karya Roh Kudus”. Hanya kuasa Roh yang memampukan Gereja
menghadirkan Kristus dan pengurbanan-Nya dalam Ekaristi. Pengurbanan ini bukan saja
ditujukan kepada Bapa, melainkan juga wujud pemberian-Nya kepada Jemaatuntuk makan dan
minum Tubuh dan Darah-Nya sepanjang zaman.
2.3 Ekaristi menghadirkan karya penebusan Kristus
Setiap kali misteri Paskah Kristus dirayakan dalam perayaan Ekaristi, setiap kali pula
Gereja menghadirkan karya penebusan Yesus Kristus. Kata-kata dalam konsekrasi yang
mengulangi ucapan Yesus: “... yang diserahkan bagimu ... yang ditumpahkan bagimu dan bagi
banyak orang demi pengampunan dosa” menjadi gambaran yang tepat akan penebusan Kristus.
Secara khusus dalam Ekaristi karya penebusan Kristus dihadirkan kembali saat ini. Yesus
memberikan Tubuh dan Darah-Nya sebagai tebusan bagi semua dosa manusia. Martasudjita
menyatakan bahwa “Ekaristi merupakan perayaan perjanjian baru, kurnia pengampunan dan
penebusan dosa, partisipasi antisipatif dalam keselamatan kekal dan perjamuan surgawi dalam
Kerajaan Allah.” Misteri penebusan Kristus yang begitu istimewa itu hadir nyata dalam rupa roti
Ekaristi. Karena itu tidaklah mengherankan Gereja amat menghormati dan merindukannya.
Keterlibatan orang dalam Ekaristi diungkapkan dengan menyambut komuni, saat orang
dipersatukan dengan Kristus secara nyata dan sakramental sehingga anjuran untuk sering
menyambut komuni adalah hal yang wajar. Kesatuan ini menghasilkan penebusan yang
dikehendaki oleh Kristus sendiri. Yesus yang mengurbankan diri-Nya di kayu salib adalah
Kristus yang sama yang memberikan tubuh dan darah-Nya dalam Ekaristi. Ada kesatuan antara
kurban berdarah Yesus di salib dengan kurban Yesus pada perjamuan terakhir yang memberikan
tubuh dan darah-Nya yang dirayakan dalam Ekaristi. Jemaatyang menyambutnya secara
sakramental mewujudkan kuasa penebusan Kristus dalam hidupnya dalam peristiwa kebangkitan
Paskah mulia.

Keselamatan yang dihasilkan lewat penebusan Kristus bukan saja terarah kepada suatu
arah di masa depan akhir hidup manusia. Dia juga mencakup suatu peristiwa yang berlangsung
terus-menerus di dalam kehidupan nya di dunia ini, di mana setiap orang (pria dan wanita)
memenuhi panggilannya sebagai anak-anakAllah dan anggota tubuh Kristus untuk menguduskan
diri. Keselamatan Allah mencakup bukan saja soal pengampunan dosa, melainkan juga pada
partisipasi setiap orang Kristiani ke dalam cinta Kristus.
3. Peranserta Imam dan Jemaat
Gereja dibangun di atas dasar para rasul untuk meneruskan karya penyelamatan Kristus
sendiri. Kristus sebelum meninggalkan para rasul telah mempercayakan Ekaristi untuk
diteruskan dan dilaksanakan. Apa yang dilakukan oleh para rasul itulah yang diteruskan oleh
Gereja sampai pada hari ini. Di dalam “kesinambungan dengan praktek para Rasul, dalam
ketaatan kepada perintah Tuhan, Gereja merayakan Ekaristi sepanjang abad” (EE 27). Gereja
semesta yakni seluruh Jemaat, semuanya begabung bersama dalam persembahan Ekaristi sesuai
dengan martabat imamat rajawi mereka masing-masing. Partisipasi aktif Jemaatdalam Ekaristi
dimengerti dalam konteks keikutsertaan Jemaat dalam karya penebusan Yesus Kristus. Lewat
tahbisan suci, para imam dipanggil untuk bertindak in persona Christi capitis,dalam diri Kristus
sang Kepala (PO 2) teristimewa dalam menghadirkan kurban Ekaristi di tengah-tengah Gereja
(bdk. EE 29). Sementara itu, Jemaat sebagai kawanan yang diselamatkan Kristus dibangun
dengan berpusat pada Ekaristi Mahakudus (EE 33). Imam tertahbis dan Jemaatbersama-sama
membentuk satu persekutuan Gereja di dalam kesatuan dengan kurban Kristus yang
dipersembahkan dalam Ekaristi.
3.1 Imam menghadirkan kurban Kristus
Di dalam perayaanEkaristi, imam bertindak atas nama Kristus(in persona Christi capitis;
bdk. LG 10; 28; SC 33; CD 11; PO 2; 6). “Ia menyelenggarakan korban Ekaristi atas nama
Kristus, dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama segenap umat” (LG 10). “Dan
dengan memaklumkan misteri-Nya mereka menggabungkan doa-doa umat beriman dengan
kurban Kepala mereka. Dalam kurban misa mereka menghadirkan sertamenerapkan satu-satunya
kurban Perjanjian Baru, yakni Kurban Kristus, yang satu kali mempersembahkan diri kepada
Bapa sebagai kurban tak bernoda, hingga kedatangan Tuhan” (LG 28).
Seorang imam dengan kuasa tahbisan imamatnya mempunyai kewajiban untuk
melestarikan kurban penebusan Yesus Kristus. Sepanjang sejarah Gereja, kehadiran imam
memberikan jaminan bahwa kurban Kristus senantiasa dihadirkan di tengah kehidupan Umat
Allah. Untuk halitulah, seorang imamditahbiskan. Rahmat imamat yang dimiliki oleh seorang
imam berasal dari Kristus sendiri, sang Imam Agung. Imam yang bertindak dalam diri Kristus
sang Kepala mengidentikkan hidup dan pelayanannya dengan Kristus sendiri sebagai sumber
keselamatan. Pada gilirannya dalam Ekaristi hanya imam yang diizinkan mendoakan Doa Syukur
Agung, sebab di dalamnya imam akan mengucapkan kata-kata konsekrasi atas roti dan anggur
mengulangi kata-kata Yesus sendiri.
Peran imam dalam Ekaristi bukan saja sebagai pelayan altar, tetapi bergerak lebih dalam
lagi dengan mengidentikkan dirinya sendiri di dalam Ekaristi seperti Kristus sendiri. Imam juga
menjadikan dirinya sendiri sebagai kurban pribadi, dan menyatukannya dengan kurban Kristus
yang berkenan kepada Bapa.12Spiritualitas pribadi imam bersumber dari Ekaristi, tumbuh dan
berkembang di dalamnya, dan pada akhirnya terarah kepadanya. “... Dan, dalam Kurban Ekaristi,
mereka akan menemukan –pusat sejati hidup dan pelayakan mereka –kekuatan rohani yang
dibutuhkan untuk mengolah anekatanggung jawab pastoral (EE 31). Kekuatan yang
memampukan seorang imam melayani Gereja berasal dari Ekaristi.Kurban Kristus dalam
perayaan Ekaristi merupakan perwujudan dari kehadiran Kristus sendiri.Dia hadir dalam Liturgi
Sabda, dalam Liturgi Ekaristi, singkat kata dalam keseluruhan perayaan itu. Penghadiran kurban
Kristus mengandaikan pelayanan imam yang dikaruniai rahmat imamat.
3.2 Pelayanan seorang Imam dalam Hidup Gerejawi
Oleh tahbisan, imam menjadi serupa dengan Imam Agung; ia mempunyai wewenang,
supaya bertindak dalam kekuatan dan sebagai pengganti pribadi Kristus sendiri (virtute ac
persona ipsius Christi; KGK 1548). Dalam konteks ini, imamat adalah suatu pelayanan “Adapun
tugas yang oleh Tuhan diserahkan kepada para gembala umat-Nya itu, sungguh-sungguh
merupakan pengabdian” (LG 24). Ia ada sepenuhnya untuk Allah dan manusia. Ia bergantung
seutuhnya dari Kristus dan imamat-Nya yang satu-satunya dan ditetapkan demi kesejahteraan
manusia dan persekutuan Gereja. Sakramen Tahbisan menyampaikan “satu kuasa kudus”, yang
tidak lain dari kuasa Kristus sendiri. Karena itu, pelaksanaan kuasa ini harus mengikuti contoh
Kristus, yang karena cinta telah menjadi hamba dan pelayan untuk semua orang (bdk. Mrk
10:43-45; 1 Ptr 5:3; KGK 1551). Imamat pelayanan adalah salah satu sarana yang digunakan
Yesus untuk melayani umat-Nya (EG 104).
3.3 Umat Menerima dan bersyukur
Ekaristi yang dirayakan menjadi bagi Jemaat suatu karunia agung Kristus yang
mencurahkan rahmat keselamatan-Nya yang tiada habis-habisnya. Untuk itu Jemaatdiundang
untuk menyambutnya, supaya mereka memperoleh hidup yang kekal. Setiap orang Kristiani
yang menyambut Tubuh Kristus dalam Ekaristi menerima karunia keselamatan Kristus, untuk
pengampunan dosa. Dengan menyantap tubuh dan darah Kristus manusia dimungkinkan untuk
bersatu dengan Kristus sendiri, karena manusia sudah disucikan lewat pengurbanan Kristus.
Gereja berdoa dalam liturgi sucinya mengikuti St. Yohanes Krisostomus demikian: “Kami
berseru, kami memohon dan kami meminta: utuslah Roh Kudus atas kami semua dan atas
persembahan ini ... agar semua yang mengambil bagian di dalamnya beroleh penyucian jiwa,
pengampunan dosa, dan menerima Roh Kudus” (EE 17).
Gereja yakin bahwa dengan mengambil bagian dalam kurban Ekaristi, bukan saja
Jemaatmenyambut Kristus, tetapi juga Kristus menyambut umat-Nya sendiri, memasukkan
umat-Nya ke dalam persatuan intim dengan diri-Nya. Seluruh tindakan Jemaatyang bergembira
atas karunia Ekaristi, pada saat yang sama adalah juga persembahan kurban pujian yang
berkenan kepada Allah. Kurban pujian inilah yang namanya Ekaristi. Umat menerima
keselamatan Kristus, dan pada saat yang sama itu pula memuji dan memuliakan Allah Bapa.
Gerakan menerima dan memuliakan dari umat membentuk satu kesatuan tindakan Ekaristi yang
sangat indah, merupakan wujud Gereja yang semakin bersatu erat dengan Kristus.
3.4 Buah-buah Ekaristi menguatkan Hidup Jemaat
Katekismus Gereja Katolik menyebut beberapa buah ekaristi. Berikut ini adalah buah-buah
Ekaristi yang diterima oleh Jemaat.
(1) Menerima komuni merupakan bentuk konkrit dan pendalamanpersatuan Jemaat dengan
Kristus. Komuni menumbuhkan kehidupan rahmat yang telah diterima melalui sakramen
Baptis. Kehidupan di dalam Kristus menjadi nyata melalui tugas hidup masing-masing
(KGK 1391-1392).
(2) Komuni melepaskan dan memisahkan Jemaat dari kuasa dosa. Komuni mengembalikan lagi
kekuatancinta yang terancam menjadi lumpuh dalam kehidupan sehari-
harikarenakecenderungan hidup tidak teratur (KGK 1393-1395).
(3) Ekaristi membangun Gereja(KGK 1396).
(4) Ekaristi mewajibkan Jemaat untuk menatap kaum miskin. Ketulusan hati dalam menerima
tubuh dan darah Kristus mendorong Jemaat untuk mengakui Kristus yang hadir nyata di
dalam orang-orang miskin, saudara-saudara-Nya(bdk. Mat 25:40) (KGK 1397).
(5) Ekaristi membangun kesatuan umat Kristen (KGK 1398-1400).
4. Missa sine populo
Paus Paulus VI menegaskan bahwa tidak ada misa bersifat privat (missa privata)bahkan
ketika imam merayakannya sendiri karena misa selalu merupakan tindakan Kristus dan tindakan
Gereja (Mysterium Fidei32; bdk. Daly, 2000). Kristus sendiri, Imam Agung abadi Perjanjian
Baru, mempersembahkan kurban Ekaristi melalui pelayanan imam. Demikian juga Kristus
sendirilah menjadi bahan persembahan dalam kurban Ekaristi. Ia sendiri sungguh hadir dalam
rupa roti dan anggur (KGK 1410; bdk. Redemptionis Sacramentum110).

B. PENGHAYATAN EKARISTI DI LUAR MISA


[EE 25] Penghormatan terhadap Ekaristi di luar Misa adalah harta yang tak ternilai untuk hidup
Gereja. Penghormatan ini memiliki hubungan hakiki dengan perayaan Kurban Ekaristi.
Kehadiran Kristus dalam rupa roti suci yang disimpan sesudah Misa…sungguh berasal dari
perayaan kurban dan terarahkan kepada komuni…Menjadi tanggungjawab para gembala, juga
lewat kesaksian pribadi, untuk mendorong adorasi Ekaristi, khususnya pentakhtahan Sakramen
Mahakudus, di samping doa adorasi depan Kristus yang hadir dalam rupa Ekaristi…

Praktik ini, berulangkali dipuji dan dianjurkan oleh Magisterium, ditopang oleh teladan banyak
orang kudus. Dalam hal ini menonjollah St. Alfonsus Liguori, yang menulis, “dari semua devosi,
sembah-sujud terhadap Yesus dalam Sakramen Mahakudus adalah yang paling agung daripada
sakramen lain, yang paling berkenan kepada Allah dan paling bermanfaat bagi kita.”  Ekaristi
adalah khazanah maha berharga: kita dimampukan berhubungan dengan maha-sumber rahmat
bukan hanya dengan merayakannya tetapi juga dengan berdoa di hadapannya di luar Misa…

[RS 129] Perayaan Ekaristi dalam kurban misa sungguh merupakan sumber dan tujuan
penghormatan yang diberi kepada Ekaristi di luar Misa…dengan adanya Ekaristi yang tersimpan
itu, di buka kesempatan untuk bersembah sujud kepada sakramen seagung ini dan
mempersembahkan kepadaNya hormat yang wajib diberikan kepada Allah. Oleh karena itu,
bentuk-bentuk sembah sujud yang bukan hanya bersifat pribadi tetapi juga umum dan komuniter,
seperti telah ditetapkan atau direstui oleh Gereja sendiri, harus ditunjang dengan sungguh-
sungguh.

[RS 131] …tak diizinkan menyimpan sakramen Terberkati ini di suatu tempat yang tidak dengan
pasti dapat diawasi oleh uskup diosesan atau dimana ada bahaya akan profanisasi. Di mana 
terjadilah hal demikian, maka uskup diosesan hendaknya segera menarik kembali izin untuk
menyimpan Ekaristi yang mungkin sudah diberikan.

[RS 132] Tak seorang pun diizinkan membawa Ekaristi yang Mahasuci itu ke rumahnya atau ke
tempat apa pun yang bertentangan dengan hukum. Harus diingat juga bahwa memindahkan atau
menyimpan roti atau anggur yang telah dikonseklir itu untuk maksud sakrilegi atau
membuangnya, termasuklah pelanggaran berat (graviora delicta), dalam hal ini dosa yang  hanya
dapat diampuni oleh Konggregasi Untuk Ajaran Iman.

[RS 135] Umat beriman sehari-hari hendaknya dengan tak berlelah mengadakan kunjungan-
kunjungan kepada Sakramen Mahakudus, sebagai ucapan syukur, suatu pengungkapan cinta
kasih dan pelunasan suatu utang ialah adorasi yang harus ditujukan kepada Kristus yang hadir di
dalamnya. Karena kontemplasi  terhadap Yesus yang hadir dalam  Sakramen Maha-suci itu,
sebagai Komuni Kerinduan, menyebabkan suatu kesatuan erat orang beriman dengan Kristus,
seperti dengan amat cemerlang menjadi kentara dalam kehidupan begitu banyak orang kudus.
Kecuali jika ada alasan berat, gereja di mana disimpan Ekaristi Mahakudus, hendaknya terbuka
bagi umat beriman setiap hari sekurang-kurangnya selama beberapa jam, agar umat dapat berdoa
sejenak di hadapan Sakramen Mahakudus.

[RS 136] Pimpinan gerejawi setempat hendaknya dengan bijak mendorong adorasi Ekaristi,
entah hanya singkat ataupun lebih lama atau bahkan dengan hampir tak putus-putus, dengan
partisipasi umat. Karena selama beberapa tahun akhir-akhir ini di banyak tempat sembah-sujud
kepada Sakramen Mahasuci itu menjadi suatu kebiasaan harian dan menjadi sumber tetap
kesucian, walaupun ada juga tempat-tempat di mana secara nyata hampir tiada perhatian sama
sekali untuk ibadat dalam bentuk adorasi Ekaristis itu.

Anda mungkin juga menyukai