Anda di halaman 1dari 4

Nama : Aulia Ilma Dewanti (205070601111025)

Kelas : Kebidanan B
Gangguan Psikologi Pascapersalinan
Menurut Marmi (2012), postpartum adalah masa beberapa jam setelah lahirnya
plasenta sampai minggu keenam setelah melahirkan. Masa postpartum dimulai setelah
kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali pada masa sebelum
terjadinya kehamilan yang berlangsung kira-kira enam minggu. Berdasarkan definisi tersebut,
yang dimaksud dengan postpartum adalah masa setelah kelahiran bayi dan masa ibu untuk
memulihkan kondisi fisiknya meliputi alat-alat kandungan dan saluran reproduksi kembali
pada keadaan sebelum hamil yang berlangsung selama enam minggu, pada massa ini ibu
yang baru saja melewati proses persalinan rentan terkena sindrom baby blues selama 3-4 hari
setelah persalinan namun jika tidak ditangani atau tidak mendapatkan perawatan intensif
sindrom ini akan memburuk dan menyebabkan depresi pascapersalinan, menurut Hawari
(2002) depresi adalah salah satu bentuk masalah kejiwaan pada dimensi perasaan
(affective/mood disorder), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, hilangnya gairah
hidup, perasaan tidak berguna, putus asa. Lebih terperinci dijelaskan oleh Maramis (2005)
yang mengatakan depresi sebagai satu kesatuan diagnosis gangguan jiwa adalah suatu
keadaan jiwa dengan ciri sedih, merasakan sendirian, putus asa, rendah diri dari hubungan
sosial, tidak adanya harapan penyesalan yang patologis dan terdapat gangguan somatik
seperti anoreksia, serta insomnia. Menurut Bobak (2004) depresi pascapersalinan adalah
gangguan suasana hati pada ibu postpatum yang tejadi dalam enam bulan setelah melahirkan.
Depresi pascapersalinan ini pertama kali di temukan oleh Pitt pada tahun 1988, depresi
pascapersalinan merupakan suatu keadaan emosional yang ditunjukkan dengan
mengekspresikan rasa lelah, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan perasaan kehilangan
(Yulianti, 2010).
Sindrom Baby blues sendiri secara terperinci adalah keadaan dimana terjadi
perubahan suasana hati yang paling ringan, dan dianggap tidak memerlukan perawatan
khusus, karena adanya keadaan fisiologis yang berpengaruh terhadap modifikasi biologis,
dengan gejala seperti perubahaan suasana hati yang tidak menentu, mudah marah, menangis,
kecemasan umum, dan gangguan tidur, serta nafsu makan pada hari ke 3 – 5 pasca persalinan
menurut Rizki Ridha pada studi kasus tahun 2020. Penyebab terjadinya sindrom baby blues
belum pasti untuk diketahui, tetapi banyak faktor seperti perubahan hormon, faktor sosial
budaya, kondisi ekonomi, dan konflik hubungan telah ditemukan untuk mendukung penyebab
terjadinya sindrom baby blues.
Pada studi kasus yang dilakukan oleh Rukh Ramsha dan kawan-kawan pada tahun
2014 di Pakistan dimana angka dari insiden baby blues syndrome pada persalinan lebih
banyak terjadi dari pada depresi persalinan, dengan nilai 82,78% dan 17,21% sisanya
ditempati oleh depresi persalinan. Mengurus bayi yang baru lahir (new born) merupakan
sebuah tantangan yang berat, bayi sering terbangun tengah malam dan menangis, karena
lapar, haus, atau BAB dan BAK. Tentu saja hal ini merupakan tugas yang berat untuk
dilakukan oleh ibu untuk menangkan bayi, dan tidak hanya satu atau dua malam saja hal ini
bisa berlangsung sampai dengan 4 pekan pasca melahirkan. Menurut Ambarwati (2006)
kondisi fisiki bayi yang baru lahir juga dapat menjadikan hati ibu sedih dan memberi peluang
terkena sindrome ini, misalnya bayi lahir dengan keadaan berat badan yang rendah, bayi
kuning, atau bayi yang lahir dengan kondisi tidak normal.
Sindrom baby blues sangat normal dialami oleh para ibu, tetapi jika gejala tidak
hilang dalam beberapa minggu hal ini akan mengakibatkan terjadinya keadaan ibu
mengalami depresi pascapersalinan. Sindrom baby blues sudah menjadi hal yang umum
terjadi pada ibu, namun bagaimana dengan depresi pascapersalinan, maternal depresive
symptoms ini terdiri dari faktor biologis, karakteristik dan latar belakang ibu yang
mempegaruhinya. Kadar hormon estrogen (estradiol dan estriol), progesterona, prolaktin,
cortisol yang meningkat dan menurun terlalu cepat atau terlalu lambat (Thompson &
Fox,2010) yang akan menyebabkan tingginya potensi untuk mengabaikan dan tidak bisa
merawat anak mereka dengan baik, yang akan mengakibatkan gangguan mental yang lebih
berat, dan masalah emosional, gangguan emosional, gangguan perilaku, kognitif dan
hubungan interpersonal pada fase yang lanjutan yang lebih berat.
Menurut Elvira (2006) prevelensi gejala paling tinggi berada di antara hari ke-3 dan
ke-10 setelah melahirkan dimana para ibu merasakan keadaan bahagia satu menit dan sedih
di waktu berikutnya yang mengindikasikan adanya perubahan suasana hati yang cepat dan
drastis, merasa tidak berdaya, khawatir, mudah tersinggung, atau cemas dan memiliki
masalah tidur, banyak masalah kejiwaan pasca persalinan yang tidak terdeteksi yang
kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keengganan ibu untuk mengungkapkan
perasaan sedihnya, rasa sedih pasca persalinan dianggap akan hilang dengan sendirinya
Angka kejadian baby blues syndrome di Asia cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-
85%, sedangkan di Indonesia angka kejadian baby blues syndrome antara 50-70% dari
perempuan pascamelahirkan.
Perbedaan yang dapat terlihat dari baby blues dengan depresi pasca melahirkan
menurut Rizal Fadli (2020) adalah seberapa lama gangguan tersebut dapat bertahan. Baby
blues umumnya hanya terjadi dalam beberapa hari dan akan bertahan paling lama sekitar 2
minggu. Namun, jika ibu mengalami postpartum depression, gangguan tersebut dapat terjadi
selama 1 bulan, hingga 1 tahun lamanya setelah persalinan terjadi. Ibu yang mengalami baby
blues dapat ditandai dengan ketidakstabilan emosi, serta mengalami perasaan sedih, lebih
sensitif, hingga perasaan stres. Wanita dengan masalah ini dapat tiba-tiba menangis dan
mengalami perasaan cemas karena takut tidak dapat menjadi ibu yang baik. Gangguan ini
memang mirip dengan depresi pasca melahirkan, tetapi terbilang lebih ringan dan singkat. Ibu
yang mengalami baby blues  tetap dapat melakukan kegiatan sehari-hari. Selain itu, ibu yang
mengalami depresi pasca melahirkan akan menimbulkan gejala yang lebih serius. Gangguan
ini dapat membuat pengidapnya kehilangan nafsu makan atau sebaliknya malah makan
dengan berlebihan. Masalah ini juga dapat membuat tidur menjadi lebih sulit dan kerap
merasa lelah meskipun sudah tidur semalaman. Hal ini juga dapat membuat sang ibu
menyakiti diri sendiri bahkan bayinya. Ibu yang baru saja melahirkan dapat mengalami baby
blues syndrome disebabkan oleh perubahan pada sistem-sistem di dalam tubuh. Tingkat
keparahannya dapat dipengaruhi beberapa faktor psikologis pasca persalinan. Lalu, penyebab
dari depresi pasca melahirkan adalah faktor psikososial yang utamanya disebabkan oleh
perasaan stres yang berlebih. Hal tersebut dapat terjadi dengan kombinasi dari perubahan
hormon dan masalah yang sedang terjadi.

Pada survey yang dilakukan oleh Uswatun Kasanah (2017) dari 4 (40%) ibu yang
tidak mengalami baby blues mengatakan dukungan suami baik ditunjukan meskipun suami
bekerja tetapi suami selalu memperhatikan keadaan ibu dan bayinya, misalnya suami
menanyakan keadaan ibu dan bayi, mengganti popok pada waktu malam hari, menggendong
saat bayi menangis, suami selalu menyediakan ibu makanan yang bergizi, suami juga
mengingatkan ibu untuk selalu memberikan ASI tiap bayi menginginkan dan memberikan
kesempatan ibu untuk beristirahat, ibu juga tidak ada masalah dalam keadaan fisiknya, dan
Enam ibu (60%) yang mengalami baby blues, 2 ibu (20%) mendapat dukungan suami sedang
ditunjukkan dengan suami bekerja tetapi jarang memperhatikan keadaan ibu dan bayi,
kadang- kadang ikut merawat bayi jika suami pulang kerja, ibu mengatakan takut jika bekas
luka caesarea berdarah. dan 4 ibu (40%) dukungan suami kurang ditandai ibu mengatakan
suami kerja dan kurang memperhatikan keadaan bayi dan dirinya, misalnya suami tidak
menanyakan keadaan ibu dan bayi, jarang menggendong dan menggantikan popok bayi, dan
suami juga tidak pernah menyediakan ibu makanan yang bergzi serta tidak memberikan
kesempatan ibu untuk istirahat, dengan alasan suami capek dan tidak ada waktu untuk ikut
merawat bayi dan memperhatikan keadaan ibu dan ibu mengatakan tidak nyaman dengan
keadaan fisiknya karena ada luka jahitan di perineum.
Menurut Saving Mothers Lives (Levis, 2007), masalah psikologis setelah persalinan
menjadi trend yang terus menerus meningkat dalam hal kematian ibu (Baston & Hall, 2010).
Penelitian yang dilakukan Setyaningsih (2010) yang dilakukan di RSUD Saras Husada
Purworejo menunjukkan ibu mengalami postpartum blues sebanyak 45,19%. Tidak
banyaknya penelitian di Indonesia yang mengungkap persentase kejadian baby blues dengan
tepat. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kendala metodologi yang mungkin dialami,
diantaranya perbedaan kriteria diagnostik, tipe asesmen (penilaian pengamat, skala penilaian
diri), penggunaan skala yang khusus ditujukan bagi wanita tidak hamil pada wanita yang
hamil, pemilihan waktu asesmen, desain penelitian, cara pengumpulan data, dan populasi
yang dipilih untuk pelaksanaan penelitian (Dennerstein, 1989). Penelitian ini penting
dilakukan karena gangguan baby blues pada ibu pasca persalinan masih dianggap sebagai hal
yang wajar sehingga seringkali terabaikan dan tidak tertangani dengan baik (Iskandar, 2004).
Menurut Yulianti (2010), depresi postpartum dibagi menjadi tiga jenis, yaitu depresi
ringan, sedang dan berat. Depresi Ringan, Depresi ini biasanya singkat dan tidak terlalu
mengganggu kegiatan- kegiatan normal. Peristiwa-peristiwa signifikan seperti hari liburan,
ulang tahun pernikahan, pekerjaan baru, demikian juga kebosanan dan frustasi bisa
menghasilkan suatu keadaan hati yang murung dan tidak mengenakan. Pada depresi tipe ini
tidak dibutuhkan penanganan khusus, perubahan situasi dan suasana hati yang membaik
biasanya segera bisa mengubah kemurungan itu kembali ke fase normal kembali. Depresi
Sedang, gejalanya hampir sama dengan depresi ringan, tetapi lebih kuat dan lama
berakhirnya. Ibu yang mengalami memang sadar akan perasaan tidak bahagia itu, namun
tidak dapat mencegahnya. Pada tipe ini bunuh diri merupakan hal yang paling berbahaya,
karena bunuh diri merupakan hal satu-satunya pemecah masalah ketika kepedihan itu
menjadi lebih buruk. Dalam hal ini pertolongan oleh pihak profesional dibutuhkan. Depresi
Berat, Kehilangan interes dengan dunia luar dan perubahan tingkat laku yang serius dan
berkepanjangan merupakan karakteristik dari depresi tipe ini. Kadang gangguan yang lain
seperti schizophrenia, alkoholisme atau kecanduan obat sering berkaitan dengan depresi ini.
Demikian juga gejala fisik akan menjadi nyata dirasakan. Dalam keadaan ini, penanganan
secara profesional sangat diperlukan
Daftar Pustaka
Annisa, F.T., Muharyani, P.W., & Natosba, J. 2020. Pengaruh Pendidikan Kesehatan
Terhadap Pengetahuan Ibu Hamil dalam Pencegahan Baby Blues. Sriwijaya University
Aryani, F., & Hati, F.s. 2018. Efektifitas Kelas Ibu Hamil Sebagai Upaya Peningkatan Sikap
dan Pengetahuan Ibu tentang Post Partum Blues. Prosiding Seminar Nasional Vokasi
Indonesia. Vol 1, p40-46
Kasanah, U. 2017. Hubungan dengan Suami dalam Perawatan Masa Nifas dengan Kejadian
Baby Blues. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 9(2)
Montazeri, S., Moslemi, L., Tabari, M.G.,& Tadayon, M. 2012. The Frequency and several
affective factors on baby blues. HealthMED, 6(12) p.4004-4008
Rizki, R. 2020. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan baby blues syndrome pada Ibu
Pascapersalinan

Anda mungkin juga menyukai