MUDHARABAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah PAI 2 ( Muamalah )
Dosen Pengampu :
Salis Irvan Fuadi, M.Pd.I
Disusun oleh :
Umi Maghfiroh ( 2018010394 )
Ahmad Susanto ( 2018010402 )
Sutrio ( 2018010403 )
Nuzulul Rahma Yunita ( 2018010404 )
Yoga Praticta ( 2018010405 )
Nur Chalimah ( 2018010421 )
Ahmad Rifai ( 2018010427 )
Alhamdulillah, puji serta syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang
telah begitu banyak memberikan nikmat-Nya sehingga penulis mampu menyusun
makalah ini. Shalawat serta salam tidak lupa selalu tercurah kepada Nabi
Muhamad saw, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman
yang penuh cahaya, dan juga kepada sahabat-sahabatnya sebagai penyampai
risalah serta sebagai penyempurna akhlak.
Atas dengan izin-Nya juga dukungan dari dosen dan teman-teman
akhirnya kami dapat menyeleseikan makalah ini untuk memenuhi penilaian mata
kuliah PAI 2 (Muamalah). Makalah yang berjudul "Mudharabah" semoga dapat
memberikan tambahan pengetahuan bagi para pembaca dan juga khususnya
kepada kami sebagai penulis.
Penulis,
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………….i
DAFTAR ISI............................................................................................…..ii
BAB I……………………………………………………………………..…1
PENDAHULUAN……………………………………………………….…1
A.Latar Belakang…………………………………………………………..1
B.Rumusan masalah.....................................................................................2
C.Tujuan pembahasan..................................................................................2
BAB II............................................................................................................3
A. Mudhorobah...................................................................................……3
B. Muzaro’ah/Mukhobaroh.......................................................................11
C. Musyaqoh..............................................................................................17
D. Musyarakah………….……….………………………………………..19
BAB III………………………………………………………………...….16
PENUTUP....................................................................................................21
A. Kesimpulan............................................................................................21
B. Saran.......................................................................................................21
Daftar Pustaka...............................................................................................22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika muncul istilah bank syariah maka juga dikenal dengan bank bagi hasil,
dikarenakan untuk membedakan dengan bank konvensioanal yang menggunakan
sistem bunga. Mekanisme bagi hasil dalam bank syariah terdapat akad murabahah dan
mudharabah. Mudharabah yaitu akad pemilik modal dengan pengelola modal, dengan
sayarat bahwa keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak sesuai jumlah
kesepakatan.1
Dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang konsep mudharabah, sehingga
memunculkan presepsi masyarakat bahwa bank syariah lebih rumit dan sulit.
Sehingga masyarakat masih belum banyak yang menggunakan jasa bank syariah.
Manusia dijadikan Allah SWT sebagi makhluksosial yang saling membutuhkan
antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus
berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
Dalam kehidupam sosial Nabi Muhmmad mengajarkan kepda kita semua tentang
bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan
bersama
1
Muhammad, manajemen pembiayaan syariah (Yogyakarta :UPP AMP YKPN, 2005), hlm. 101.
ii
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud Mudhorobah ?
2. Bagaimana Contoh Permasalahan Mudhorobah ?
3. Apa yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhobaroh?
4. Apa yang dimaksud dengan Musyaqoh?
5. Apa yang dimaksud dengan Musyarakah?
6. Bagaimana Contoh Permasalahan Muzaro’ah/Mukhobaroh, Musyaqoh, dan
Musyarakah ?
C. Tujuan Penulisan
ii
BAB II
PEMBAHASAN
A. MUDHOROBAH
1. Pengertian Mudhorobah
ii
Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ulama’ diatas,
kiranya dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad pemilik modal
dengan pengelola modal tersebut, dengan sayarat bahwa keuntungan yang
diperoleh kedua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.3
Melakukan mudharabah atau qiradh hukum nya adalah mubah (boleh). Dasar
hukumnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ibnu majah dari suhaib r.a.,
bahwasanya rasul telah bersabda:
عن صالح بن صهيب عن أبيه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ثالث فيهن البركة البيع إلى أجل
والمقارضة وأخالط البر بالشعير للبيت ال للبيع
“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal,
dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluaraga, bukan untuk dijual.”
Diriwayatkan dari daruquthni bahwa hakim ibnu hizam apabila ida memberi
modal kepada seseorang, ia mensyaratkan: “harta jangan digunakan untuk membeli
binatang, jangan kamu bawa kelaut, dan jangan dibawa menyebrangi sungai,
apabila kamu lakukan salah satu dari laranganku, maka kamu harus bertanggung
jawab pada hartaku.” Dalam muwaththa’ Imam Malik, Dari al-A’la Ibn Abd al-
Rahman Ibn Ya’qub, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan
harta usman r.a. sedangkan keuntungannya dibagi dua.4
b. Hukum Mudharabah
1. Hukum mudharabah fasid
3
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011 ), hlm.138.
4
Hendi Suhendi, Op.Cit,hlm.139.
5
Hendi Suhendi, Op.Cit,hlm.139.
ii
Beberapa hal dalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal
memberikan upah kepada pengusaha antara lain:
a. Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli,
menjual, atau mengambil barang
b. Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga
pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya
c. Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan
harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya
2. Hukum mudharabah shahih
Hukum mudharabah shahih yang tergolong shahih ialah :
Tanggung jawab pengusaha
Apabila pengusaha berutang ia memiliki hak atas laba secara bersama-sama
dengan pemilik modal. Jika mudharabah rusak karena adanya beberapa sebab
yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun
memiliki hak untuk mendapat upah, jika harta rusak tanpa disengaja ia tidak
bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut, dan jika mengalami kerugian
pun ditanggung oleh pengusaha saja. 6
c. Sumber Hukum
1.Al-Qur’an
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarkanlah kamu dimuka bumi dan
carilah karunia Allah SWT.” (QS 62:10)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan).”(QS
2:198).
2.As-Sunnah
Dari shalih bin suaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal
yang didalamnya terdapat keberkatan: Jual beli secara tanngguh, muqaradhah
(mudharabah) dan mencampur adukan dengan tepung untuk keperluan rumah
bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).
3.Ijma
Diantara ijma mudharabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa
jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah,
perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
6
Ibid, hlm.139
ii
4.Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqoh (menyuruh seorang
untuk mengelola kebun) selain diantara manusia ada yang miskin ada pula
yang kaya, disuatu sisi lain banyak orang kaya yang tidak dapat
mengusahakan hartanya, di sisi lain tidak sedikit orang miskin yang mau
bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah
ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni
untuk kemashalatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. 7
1. A’qidain (dua orang yang berakad), yaitu mudharib (pengelola modal) dan
shahib al-mal (orang yang mempunyai modal).
2. Al-mal (modal), sejumlah dana yang dikelola.
3. Al-ribh (keuntungan), laba yang didapatkan untuk dibagi sesuai
kesepakatan.
4. Al-a’mal (usaha) dari mudharib.
5. Sighat (ucapan serah terima).
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, rukun mudharabah hanya satu yaitu
ijabdan qabul
7
Ibid, hlm.139
ii
b. Shahib al-mal (pemilik dana) tidak boleh melakukan intervensi
kepada mudharibya dalam mengelola dana. Ia harus memberikan
kebebasan kepada mudharib terhadap hal-hal yang sudah di
sepakati. Namun demikian masih diperkenankan membatasi pada
suatu macam barang tertentu, jika pada saat berlangsungnya akad
barang tersebut mudah ditemukan.
2. Syarat terkait dengan modal
a. Modal harus berupa uang tidak boleh barang. Dan ulama’ syafi’i
memboleh kan emas dan perak karena dapat digunakan modal dan
sama posisinya dengan mata uang.
b. Besar modal harus diketahui secara pasti oleh kedua belah pihak
c. Modal bukan merupakan utang atau pinjaman.
d. Modal diserahkan langsung kepada mudharib dan tunai. Tetapi
madhab hanafi membolehkan untuk sebagian di pegang pemodal
asal tidak mengganggu kelancaran usaha.
e. Modal yang digunakan sesuai dengan kesepakatan. Mudharib tidak
bisa menggunakan modal di luar persyaratan. Kecuali sahib al-mal
memberikan kebebasan.
f. Pengembalian modal dapat dilakukan pada saat bagi hasil. Pada
dasarnya jaminan tidak diperkenankan dalam mudharabah. Namun,
mudharib (pengelola) dana tidak menyimpang dapat sahib al-mal
dapat meminta pihak ketiga untuk menjamin. 8
3. Syarat terkait dengan keuntungan
a. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan.
b. Sahib al-mal siap mengambil resiko rugi dari modal yang dikelola.
Dan mudharib mendapat resiko tidak memperoleh apa-apa dari
usahanya.
c. Penentuan angka keuntungan dihitung dengan prosentase hasil
usaha yang dikelola oleh mudharib bedasarkan kesepakatan.
d. Sebelum mengambil keuntungan harus di konversikan dalam bentuk
mata uang. Dan harus ada pemisahan modal dengan keuntungan.
8
Ibid, hlm.139
ii
e. Mudharib hanya bertanggung jawab atas sejumlah modal yang di
investasikan. Dan komitmen apapun harus melalui persetujuan
sahib al-mal.
f. Mudharib berhak memotong biaya yang berkaitan dengan usaha
yang di ambil dari modal mudharabah.
g. Jika melanggar syarat akad mudharib bertanggung jawab atas
kerugian atau biaya yang diakibatkan pelanggaran. 9
Secara umum akad mudharabah dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :
Menurut imam abu hanifah, jika akad mudharabah dibatasi dengan waktu, dan
waktu tersebut habis maka mudharib tidak boleh melakukan transaksi lagi.
1. Mudharabah bilateral
9
Ibid, hlm.139
ii
untuk shahibul maal). Setelah mudharib menjalankan usaha selama 6 bulan,
modal usaha telah berkembang menjadi Rp. 20 juta, sehingga diperoleh
keuntungan sebesar Rp. 10 Juta (Rp. 20 juta – Rp. 10 Juta).Maka, shahibul
maal berhak mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 3 Juta (30% x Rp. 10 juta).
Dan sisanya sebesar Rp. 7 juta menjadi hak mudharib.
2. Mudharabah multilateral
Pada bentuk mudharabah ini, shahibul maal dapat lebih dari 1 pihak,
sedangkan mudharib (pengelola usaha) hanya satu pihak. Mengunakan contoh
kasus pada mudharabah bilateral sebelumnya. Maka contoh mudharabah
multilateral adalah jika shahibul maal dari mudharibdalam usaha konveksi
tadi terdiri dari 2 orang. Shahibul maal pertama menyerahkan dana Rp. 4 Juta
dan shahibul maal kedua sebesar Rp. 6 juta. Sehingga porsi kepemilikan
dananya adalah 40:60. Perhitungan bagi hasil dilakukan dengan terlebih
dahulu menghitung bagian pendapatan keuntungan shahibul maal. Setelah itu,
keuntungan untuk masing-masing shahibul maaldibagi berdasarkan proporsi
modal yang disetorkan. Sehingga, jika bagian shahibul maalpada contoh
mudharabah sebelumnya adalah Rp. 10 Juta. Maka keuntungan untuk shahibul
maal pertama adalah Rp. 4 Juta (40% x Rp. 10 juta). Dan bagian shahibul
maal kedua sebesar sisanya. 10
3. Mudharabah bertingkat
10
Muhammad syfi’i antonio. Bank syari’ah: dari teori ke praktik. (Jakarta: gema insani press. 2001), Hal. 95
ii
mudharib antara). Dan jangka waktu selama 6 bulan. Mudharib kemudian
membuat perjanjian mudharabah dengan mudharib akhir yang akan mengelola
usaha konveksi, dengan jangka waktu selama 6 bulan. Dengan nisbah bagi
hasil sebesar 30:70 (30% untuk mudharib antara). Pada Akhir masa akad
mudharabah, jika keuntungan mudharib akhir adalah Rp. 10 Juta, maka bagian
keuntungan mudharib adalah Rp. 3 juta (30% x Rp. 10 juta).
Pendapatan mudharib antara harus dibagi dengan shahibul maal sebesar
perjanjian nisbah yang disepakati. Sehingga shahibul maal memperoleh
pendapatan bagi hasil sebesar Rp. 1.5 juta (50% x Rp. 3 juta). 11
B. MUZARO’AH/MUKHOBAROH
1.Pengertian
a. Muzaro’ah
b. Mukhobaroh.
Mukhabarah yaitu kerja sama antara pemilik sawah atau ladang dan penggarap
dengan bagi hasil menurut perjanjian, sedangkan benih dari yang punya tanah.
Kerja sama seperti ini berlaku pada perkebunan yang benihnya cukup mahal,
misalnya : misalnya cengkeh, pala dan lain sebagainya. Andaikata amil (pekerja)
pergi sebelum selesai pekerjaanya, namun haknya tetap ada disitu menurut lama
masa kerjanya. Menurut pengarang kitab Al-minhaj : dan tidaklah halal,
mukhabarah yaitu mengerjakan tanah (sawah atau ladang) dengan mengambil
11
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
12
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
ii
sebagian hasilnya sedang benihnya dari amil (pekerja) dan tidak boleh muzara’ah,
benih dari yang punya tanah.13
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai
tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian
tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik
dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan
dengan cara demikian (H.R.Bukhari)
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim)
4.Rukun Muzaro’ah/Mukhobaroh.
a. Pemilik tanah
b. Petani penggarap
c. Obyek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani.
d. Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul (pernyataan
menerima tanah untuk digarap dari petani). 14
5. Syarat-syarat al-Muzara’ah/Mukhobaroh.
1. Syarat yang menyangkut benih yang akan di tanam harus jelas, sehingga sesuai
dengan kebiasaan tanah itu benih yang di tanam itu jelas dan akan menghasilkan.
Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
13
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
14
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
ii
a. Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh di garap dan
menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga
tidak memungkinkan di jadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak
sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu di serahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-
muzara’ah tidak sah.
1. Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, kerja dan alat dari petani, sehingga
yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah.
15
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
ii
2. Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani
menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-
muzara’ah adalah manfaat tanah, maka akad al-muzara’ah juga sah.
3. Apabila tanah,, alat, dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani,
sehingga yang menjadi obyek dari al-muzara’ah adalah asa petani, maka akad
al-muzara’ah juga sah.
4. Apabila tanah pertanian dan alat di sediakan pemilik tanah dan bibit serta kerja
dari petani, maka akad ini tidak sah.16
Keuntungan dari sawah tersebut dibagi 3, dengan aturan sepertiga dari hasil
panen untuk pemilik sawah, sedangkan dua pertiganya untuk penggarap sawah.
Jika terjadi kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh kedua belah pihak.
Sedangkan masalah zakat dan pembayaran PBB dari sawah yang bersangkutan
dibayarkan oleh pemilik sawah.
b. Mukhobaroh
Kegiatan mukhabarah ini saya amati disekitar tempat tinggal saya. Hal ini
terjadi dikarenakan pihak yang memiliki sawah sudah tua dan tidak sanggup lagi
menggarap sawahnya sendiri. Karena itulah pihak pemilik sawah menyerahkan
penggarapan sawahnya kepada pihak lain yang dipercaya.
16
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
ii
Biasanya pada penggarapan sawah yang bibit dan pupuknya berasal dari
pemilik sawah, maka hasil panennya dibagi 2. Setengah dari hasil panen untuk
pemilik sawah dan setengahnya lagi untuk penggarap sawah. Jika pada saat sawah
dipanen diketahui terjadi kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh kedua
belah pihak. Untuk pembayaran zakat sawah, dibayar oleh kedua belah pihak,
sedangkan pembayaran PBB dibayarkan oleh pemilik sawah
C. MUSYAQOH
1.Pengertian Musyaqoh
)من كانت له ارض فاليزرعها واليكريها بثلث البربع والبطعام (متفاق عليه
Artinya:
Abu yusuf dan muhammad (dua sahabat abu hanifah), dan jumhur
ulama (imam Malik,imam Syafi’i, dan imam Ahmad) memperbolehkan
musyaqah yang didasarkan pada muamalah rasulullah SAW bersama orang
Khaibar.
2. Syarat-Syarat Musyaqoh
ii
a. Ahli dalam akad
b. Menjelaskan bagian penggarap
c. Membebaskan pemilik dari pohon
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir
3. Rukun Musyaqoh
Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musyaqoh ada 5, yaitu berikut ini:
a. Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan
berakal.
b. Objek Musyaqoh. Objek Musyaqoh menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-
pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama
Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqoh atas pohon yang tidak berbuah sebab
sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
c. Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
d. Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan
bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad
menjadi tidak sah.
e. Shigat. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah
(sewaan) dalam akad musyaqoh sebab berlainan akad. 18
D. MUSYARAKAH
18
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.
ii
1.Pengertian Musyarakah
Adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu
di mana masing – masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise)
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah ada dua jenis : musyarakah pemilikan
dan musyarakah akad (kontrak). Dalam musyarakah pemilikan, kepemilikan dua
orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
- Landasan Syariah
a. Al – Qur’an surat An – Nisaa ayat 12 :
”Maka mereka bersyarikat pada sepertiga.” (Syafe’i Antonio 1999:143)
b. Al – Hadist :
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata :”Sesungguhnya Allah Azza Wa
Jalla berfirman :’Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah
satunya tidak mengkhianati lainnya.(H.R. Abu Dawud – no. 2936, dalam kitab Al
Buyu, dan Hakim) (Syafe’i Antonio 1999:144) 19
19
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.
20
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.
ii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik
modal ( shahibul mal ) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib)
dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
Dan untuk Rukun Mudharabah sendiri yaiut A’qidain (dua orang yang berakad),
Al-mal (modal), Al-ribh (keuntungan), Al-a’mal, Sighat. sedangkan Syarat sah
mudharabah: Modal atau barang yang diserahkan berbentuk uang tunai, orang yang
melakukan akad di isyaratkan mampu melakukan tasharruf, Modal harus diketahui
ii
dengan jelas, Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal
harus jelas presentasenya, Melafazkan ijab dari pemilik modal. Secara umum
mudharabah terbagi dua jenis yaitu Mudharabah muthaqah dan Mudharabah muqayyadah.
B. Saran
Dengan bertambahnya wawasan dalam mudharabah, diharapkan akademisi
maupun praktisi dapat memajuakan sistem perbankan syariah di indonesia yang masih
berkembang sehingga masayrakat lebih mengetahui akad mudharabah dan yakin
dalam menggunakan jasa perbankan syariah.
DAFTAR PUSTAKA
ii