Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

MUDHARABAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah PAI 2 ( Muamalah )
Dosen Pengampu :
Salis Irvan Fuadi, M.Pd.I

Disusun oleh :
Umi Maghfiroh ( 2018010394 )
Ahmad Susanto ( 2018010402 )
Sutrio ( 2018010403 )
Nuzulul Rahma Yunita ( 2018010404 )
Yoga Praticta ( 2018010405 )
Nur Chalimah ( 2018010421 )
Ahmad Rifai ( 2018010427 )

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN JAWA TENGAH WONOSOBO
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji serta syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang
telah begitu banyak memberikan nikmat-Nya sehingga penulis mampu menyusun
makalah ini. Shalawat serta salam tidak lupa selalu tercurah kepada Nabi
Muhamad saw, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman
yang penuh cahaya, dan juga kepada sahabat-sahabatnya sebagai penyampai
risalah serta sebagai penyempurna akhlak.
Atas dengan izin-Nya juga dukungan dari dosen dan teman-teman
akhirnya kami dapat menyeleseikan makalah ini untuk memenuhi penilaian mata
kuliah PAI 2 (Muamalah). Makalah yang berjudul "Mudharabah" semoga dapat
memberikan tambahan pengetahuan bagi para pembaca dan juga khususnya
kepada kami sebagai penulis.

Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak


terdapat kekeliruan dan kesalahan didalamnya untuk itu kami mengharap kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk kami sebagai penulis agar lebih baik
kedepannya.

Wonosobo, 11 September 2019

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….i

DAFTAR ISI............................................................................................…..ii

BAB I……………………………………………………………………..…1

PENDAHULUAN……………………………………………………….…1

A.Latar Belakang…………………………………………………………..1
B.Rumusan masalah.....................................................................................2

C.Tujuan pembahasan..................................................................................2

BAB II............................................................................................................3

A. Mudhorobah...................................................................................……3

B. Muzaro’ah/Mukhobaroh.......................................................................11

C. Musyaqoh..............................................................................................17

D. Musyarakah………….……….………………………………………..19
BAB III………………………………………………………………...….16

PENUTUP....................................................................................................21

A. Kesimpulan............................................................................................21

B. Saran.......................................................................................................21

Daftar Pustaka...............................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika muncul istilah bank syariah maka juga dikenal dengan bank bagi hasil,
dikarenakan untuk membedakan dengan bank konvensioanal yang menggunakan
sistem bunga. Mekanisme bagi hasil dalam bank syariah terdapat akad murabahah dan
mudharabah. Mudharabah yaitu akad pemilik modal dengan pengelola modal, dengan
sayarat bahwa keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak sesuai jumlah
kesepakatan.1
Dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang konsep mudharabah, sehingga
memunculkan presepsi masyarakat bahwa bank syariah lebih rumit dan sulit.
Sehingga masyarakat masih belum banyak yang menggunakan jasa bank syariah.
Manusia dijadikan Allah SWT sebagi makhluksosial yang saling membutuhkan
antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus
berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
Dalam kehidupam sosial Nabi Muhmmad mengajarkan kepda kita semua tentang
bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan
bersama

1
Muhammad, manajemen pembiayaan syariah (Yogyakarta :UPP AMP YKPN, 2005), hlm. 101.

ii
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud Mudhorobah ?
2. Bagaimana Contoh Permasalahan Mudhorobah ?
3. Apa yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhobaroh?
4. Apa yang dimaksud dengan Musyaqoh?
5. Apa yang dimaksud dengan Musyarakah?
6. Bagaimana Contoh Permasalahan Muzaro’ah/Mukhobaroh, Musyaqoh, dan
Musyarakah ?

C. Tujuan Penulisan

Dengan rumusan masalah demikian penulis berharap pembaca dapat:

1. Mengetahui Pengertian Mudhorobah.


2. Mengetahui contoh Permasalahan Mudhorobah.
3. Mengetahui Pengertian Muzaro’ah/Mukhobaroh.
4. Mengetahui Pengertian Musyaqoh.
5. Mengetahui Pengertian Musyarakah.
6. Mengetahui Contoh Permasalahan Muzaro’ah/Mukhobaroh, Musyaqoh, dan
Musyarakah.

ii
BAB II

PEMBAHASAN

A. MUDHOROBAH
1. Pengertian Mudhorobah

Secara etimologis, mudhorobah berasal dari kata dhoroba – yadhribu – dhorban


yang artinya memukul. Dengan ditambahnya alif pada dho’, maka kata ini memiliki
konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang.

Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak sedangkan qiradh atau muqaradhah


bahasa penduduk hijaz. Namun pengertian keduanya adalah satu makna. Mudharabah
adalah bahasa penduduk irak dan qiradh atau muqaradhah adalah bahasa penduduk
hijaz. Mudharabah berasal dari kata al-dharab, yang berarti secara harfiah adalah
bepergian atau berjalan.2

Menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh beberapa ulama’


sebagai berikut:
1. Menurut para fuqaha’, mudharabah ialah akad antara dua pihak saling
menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain
dengan bagian yang sudah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau
sepertiga dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan.
2. Menurut hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang
berakad yang berserikat dalam keuntungan, karena harta diserahkan kepada
yang lain dan yang lain punya jasa mengolah harta tersebut.
3. Menurut pendapat malikiyah bahwa, akad perwakilan dimana pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada lainya untuk diperdagangkan dengan
pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).
4. Imam hanabilah berpendapat bahwa, ibarat pemilik harta menyerahkan
hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian
dari keuntungan yang diketahui.
5. Sedangkan menurut ulama’ syafi’iyah mudharabah adalah, akad yang
menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk
ditijarahkan.
2
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2011 ), hlm.187

ii
Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ulama’ diatas,
kiranya dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad pemilik modal
dengan pengelola modal tersebut, dengan sayarat bahwa keuntungan yang
diperoleh kedua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.3

2. Dasar dan Sumber Hukum


a. Dasar hukum

Melakukan mudharabah atau qiradh hukum nya adalah mubah (boleh). Dasar
hukumnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ibnu majah dari suhaib r.a.,
bahwasanya rasul telah bersabda:

‫عن صالح بن صهيب عن أبيه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ثالث فيهن البركة البيع إلى أجل‬
‫والمقارضة وأخالط البر بالشعير للبيت ال للبيع‬

“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal,
dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluaraga, bukan untuk dijual.”

Diriwayatkan dari daruquthni bahwa hakim ibnu hizam apabila ida memberi
modal kepada seseorang, ia mensyaratkan: “harta jangan digunakan untuk membeli
binatang, jangan kamu bawa kelaut, dan jangan dibawa menyebrangi sungai,
apabila kamu lakukan salah satu dari laranganku, maka kamu harus bertanggung
jawab pada hartaku.” Dalam muwaththa’ Imam Malik, Dari al-A’la Ibn Abd al-
Rahman Ibn Ya’qub, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan
harta usman r.a. sedangkan keuntungannya dibagi dua.4

Beberapa hadis di atas mempertegas bahwa, hukum keabsahan transaksi


mudharabah atau muqaradhah. Pada hadis pertama menunjukan bahwa praktek
mudharabah atau muqaradhah menjadi model akad yang diridhoi allah SWT.
Sedangkan hadis kedua menunjukan bahwa terdapat perjanjian yang dilakukan
pada saat akad mudharabah. Dan hadis ketiga mengindikasikan bahwa prakteknya
menggunakan berbagi untung. Dan hadis terakhir manunjukan rasulullah pernah
melakukan mudharabah. 5

b. Hukum Mudharabah
1. Hukum mudharabah fasid
3
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011 ), hlm.138.
4
Hendi Suhendi, Op.Cit,hlm.139.
5
Hendi Suhendi, Op.Cit,hlm.139.

ii
Beberapa hal dalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal
memberikan upah kepada pengusaha antara lain:
a. Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli,
menjual, atau mengambil barang
b. Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga
pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya
c. Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan
harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya
2. Hukum mudharabah shahih
Hukum mudharabah shahih yang tergolong shahih ialah :
 Tanggung jawab pengusaha
Apabila pengusaha berutang ia memiliki hak atas laba secara bersama-sama
dengan pemilik modal. Jika mudharabah rusak karena adanya beberapa sebab
yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun
memiliki hak untuk mendapat upah, jika harta rusak tanpa disengaja ia tidak
bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut, dan jika mengalami kerugian
pun ditanggung oleh pengusaha saja. 6

c. Sumber Hukum
1.Al-Qur’an
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarkanlah kamu dimuka bumi dan
carilah karunia Allah SWT.” (QS 62:10)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan).”(QS
2:198).
2.As-Sunnah
Dari shalih bin suaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal
yang didalamnya terdapat keberkatan: Jual beli secara tanngguh, muqaradhah
(mudharabah) dan mencampur adukan dengan tepung untuk keperluan rumah
bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).
3.Ijma
Diantara ijma mudharabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa
jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah,
perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
6
Ibid, hlm.139

ii
4.Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqoh (menyuruh seorang
untuk mengelola kebun) selain diantara manusia ada yang miskin ada pula
yang kaya, disuatu sisi lain banyak orang kaya yang tidak dapat
mengusahakan hartanya, di sisi lain tidak sedikit orang miskin yang mau
bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah
ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni
untuk kemashalatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. 7

3.Rukun Dan Syarat Mudharabah

Rukun mudharabah adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk dapat


melakasankan akad mudharabah. Ia adalah pilar bagi terwujudnya akad. Jika
salah satu tidak terpenuhi, maka akad mudharabah tidak bisa terjadi. Menurut
jumhur ulama’ rukun akad mudharabah adalah:

1. A’qidain (dua orang yang berakad), yaitu mudharib (pengelola modal) dan
shahib al-mal (orang yang mempunyai modal).
2. Al-mal (modal), sejumlah dana yang dikelola.
3. Al-ribh (keuntungan), laba yang didapatkan untuk dibagi sesuai
kesepakatan.
4. Al-a’mal (usaha) dari mudharib.
5. Sighat (ucapan serah terima).

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, rukun mudharabah hanya satu yaitu
ijabdan qabul

Syarat adalah hal yang harus dipenuhi setelah rukun-rukun terpenuhi.


Keberadaan syarat sangan berkaitan dengan rukun-rukunnya. Maka syarat-
syarat yang ditetapkan dalam akad ini terperinci sesuai dengan rukunnya.

1. Syarat terkait dengan orang yang melakukan akad yaitu (Aqidain)


a. Cakap dalam bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai akid
(orang yang berakad) atau dalam ushul fiqih di sebut ahliyatul al-
ada’.

7
Ibid, hlm.139

ii
b. Shahib al-mal (pemilik dana) tidak boleh melakukan intervensi
kepada mudharibya dalam mengelola dana. Ia harus memberikan
kebebasan kepada mudharib terhadap hal-hal yang sudah di
sepakati. Namun demikian masih diperkenankan membatasi pada
suatu macam barang tertentu, jika pada saat berlangsungnya akad
barang tersebut mudah ditemukan.
2. Syarat terkait dengan modal
a. Modal harus berupa uang tidak boleh barang. Dan ulama’ syafi’i
memboleh kan emas dan perak karena dapat digunakan modal dan
sama posisinya dengan mata uang.
b. Besar modal harus diketahui secara pasti oleh kedua belah pihak
c. Modal bukan merupakan utang atau pinjaman.
d. Modal diserahkan langsung kepada mudharib dan tunai. Tetapi
madhab hanafi membolehkan untuk sebagian di pegang pemodal
asal tidak mengganggu kelancaran usaha.
e. Modal yang digunakan sesuai dengan kesepakatan. Mudharib tidak
bisa menggunakan modal di luar persyaratan. Kecuali sahib al-mal
memberikan kebebasan.
f. Pengembalian modal dapat dilakukan pada saat bagi hasil. Pada
dasarnya jaminan tidak diperkenankan dalam mudharabah. Namun,
mudharib (pengelola) dana tidak menyimpang dapat sahib al-mal
dapat meminta pihak ketiga untuk menjamin. 8
3. Syarat terkait dengan keuntungan
a. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan.
b. Sahib al-mal siap mengambil resiko rugi dari modal yang dikelola.
Dan mudharib mendapat resiko tidak memperoleh apa-apa dari
usahanya.
c. Penentuan angka keuntungan dihitung dengan prosentase hasil
usaha yang dikelola oleh mudharib bedasarkan kesepakatan.
d. Sebelum mengambil keuntungan harus di konversikan dalam bentuk
mata uang. Dan harus ada pemisahan modal dengan keuntungan.

8
Ibid, hlm.139

ii
e. Mudharib hanya bertanggung jawab atas sejumlah modal yang di
investasikan. Dan komitmen apapun harus melalui persetujuan
sahib al-mal.
f. Mudharib berhak memotong biaya yang berkaitan dengan usaha
yang di ambil dari modal mudharabah.
g. Jika melanggar syarat akad mudharib bertanggung jawab atas
kerugian atau biaya yang diakibatkan pelanggaran. 9

4. Jenis-Jenis Akad Mudharabah

Secara umum akad mudharabah dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :

1. Mudharabah mutlaqah adalah penyerahan modal mutlak tanpa syarat.


Mudharabah jenis ini memberi keleluasaan kepada mudharib (pengelola)
dalam mengelola modalnya baik dalam jenis usaha, waktu, kawasan yang akan
digunakan sebagai usahnaya. Namun, harus secara jujur dalam menyampaikan
perkembangan usaha.
2. Mudharabah muqayadah disebut juga dengan istilah restricted mudharabah
atau specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah yaitu
penyerahan modal dengan syarat tertentu. Mudharib dibatasi dengan spesifikasi
jenis usaha, waktu, tempat tertentu sesuai dengan syarat yang ditetapkan
bersama-sama sahib al-mal.

Menurut imam abu hanifah, jika akad mudharabah dibatasi dengan waktu, dan
waktu tersebut habis maka mudharib tidak boleh melakukan transaksi lagi.

5.Contoh Permasalahan dalam Mudhorobah.

1. Mudharabah bilateral

Contoh mudharabah bilateral adalah shahibul maal yang bermitra


dengan mudharib untuk usaha konveksi selama 6 bulan. Shahibul Maal
memberikan uang untuk modal usaha sebesar Rp. 10 juta. Dan kedua belah
pihak sepakat dengan nisbah bagi hasil 30:70 (40% keuntungan

9
Ibid, hlm.139

ii
untuk shahibul maal). Setelah mudharib menjalankan usaha selama 6 bulan,
modal usaha telah berkembang menjadi Rp. 20 juta, sehingga diperoleh
keuntungan sebesar Rp. 10 Juta (Rp. 20 juta – Rp. 10 Juta).Maka, shahibul
maal berhak mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 3 Juta (30% x Rp. 10 juta).
Dan sisanya sebesar Rp. 7 juta menjadi hak mudharib.

2. Mudharabah multilateral

Pada bentuk mudharabah ini, shahibul maal dapat lebih dari 1 pihak,
sedangkan mudharib (pengelola usaha) hanya satu pihak. Mengunakan contoh
kasus pada mudharabah bilateral sebelumnya. Maka contoh mudharabah
multilateral adalah jika shahibul maal dari mudharibdalam usaha konveksi
tadi terdiri dari 2 orang. Shahibul maal pertama menyerahkan dana Rp. 4 Juta
dan shahibul maal kedua sebesar Rp. 6 juta. Sehingga porsi kepemilikan
dananya adalah 40:60. Perhitungan bagi hasil dilakukan dengan terlebih
dahulu menghitung bagian pendapatan keuntungan shahibul maal. Setelah itu,
keuntungan untuk masing-masing shahibul maaldibagi berdasarkan proporsi
modal yang disetorkan. Sehingga, jika bagian shahibul maalpada contoh
mudharabah sebelumnya adalah Rp. 10 Juta. Maka keuntungan untuk shahibul
maal pertama adalah  Rp. 4 Juta (40% x Rp. 10 juta). Dan bagian shahibul
maal kedua sebesar sisanya. 10

3. Mudharabah bertingkat

Contoh mudharabah bertingkat adalah jika pada contoh kasus usaha


konveksi pada mudharabah bertingkat sebelumnya, shahibul
maalmembutuhkan pihak lain untuk mengetahui kelayakan dan
kemampuan mudharib dalam menjalankan usaha hingga meraih keuntungan.
Untuk itu, Shahibul maal membuat akad mudharabah dengan mudharib antara
dengan kesepakatan nisbah bagi hasil sebesar 50:50 (50% keuntungan untuk

10
Muhammad syfi’i antonio. Bank syari’ah: dari teori ke praktik. (Jakarta: gema insani press. 2001), Hal. 95

ii
mudharib antara). Dan jangka waktu selama 6 bulan. Mudharib kemudian
membuat perjanjian mudharabah dengan mudharib akhir yang akan mengelola
usaha konveksi, dengan jangka waktu selama 6 bulan. Dengan nisbah bagi
hasil sebesar 30:70 (30% untuk mudharib antara). Pada Akhir masa akad
mudharabah, jika keuntungan mudharib akhir adalah Rp. 10 Juta, maka bagian
keuntungan mudharib adalah Rp. 3 juta (30% x Rp. 10 juta).
Pendapatan mudharib antara harus dibagi dengan shahibul maal sebesar
perjanjian nisbah yang disepakati. Sehingga shahibul maal memperoleh
pendapatan bagi hasil sebesar Rp. 1.5 juta (50% x Rp. 3 juta). 11

B. MUZARO’AH/MUKHOBAROH

1.Pengertian

a. Muzaro’ah

Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara


pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh
terdapat beberapa definisi yang di kemukakan ulama’ fiqh. Ulama’ Malikiyah
mendefinisikan dengan “perserikatan dalam pertanian”. Menurut ulama
Hanabilah “Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk di garap
dan hasilnya di bagi dua. Dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh
dari pemilik. 12

b. Mukhobaroh.

Mukhabarah yaitu kerja sama antara pemilik sawah atau ladang dan penggarap
dengan bagi hasil menurut perjanjian, sedangkan benih dari yang punya tanah.
Kerja sama seperti ini berlaku pada perkebunan yang benihnya cukup mahal,
misalnya : misalnya cengkeh, pala dan lain sebagainya. Andaikata amil (pekerja)
pergi sebelum selesai pekerjaanya, namun haknya tetap ada disitu menurut lama
masa kerjanya. Menurut pengarang kitab Al-minhaj : dan tidaklah halal,
mukhabarah yaitu mengerjakan tanah (sawah atau ladang) dengan mengambil
11
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
12
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.

ii
sebagian hasilnya sedang benihnya dari amil (pekerja) dan tidak boleh muzara’ah,
benih dari yang punya tanah.13

3.Dasar Hukum Muzaro’ah dan Mukhobaroh

Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai
tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian
tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik
dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan
dengan cara demikian (H.R.Bukhari)

Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim)

4.Rukun Muzaro’ah/Mukhobaroh.

Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun


dan syarat yang harus di penuhi, sehingga akad di anggap sah. Rukun al-muzara’ah
menurut mereka adalah:

a. Pemilik tanah
b. Petani penggarap
c. Obyek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani.
d. Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul (pernyataan
menerima tanah untuk digarap dari petani). 14

5. Syarat-syarat al-Muzara’ah/Mukhobaroh.

Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut


orang yang berakad, benih yang akan di tanam, tanah yang di kerjakan, hsil yang
akan di panen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.

1. Syarat yang menyangkut benih yang akan di tanam harus jelas, sehingga sesuai
dengan kebiasaan tanah itu benih yang di tanam itu jelas dan akan menghasilkan.
Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
13
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
14
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.

ii
a. Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh di garap dan
menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga
tidak memungkinkan di jadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak
sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu di serahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-
muzara’ah tidak sah.

2.Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:

a. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.


b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang ber-akad, tanpa boleh ada
pengkhususan.
c. Pembagian hasil panen itu di tentukan setengah, sepertiga, atau seperempat
sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan
penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti
satu kuintal untuk pekerja, atau satu karung; karena kemungkinan seluruh
hasil panen jauh di bawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah
itu.
3. Syarat yang menyangkut jangka waktu uga harus di jelaskan dalam akad sejak
semula, karena akad al muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-
menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh
sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini,
biasanya di sesuaikan dengan adat kebiasaan setempat. 15

Untuk obyek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah


mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan
di tanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, maupun
pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.

Abu yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa


dilihat dari segi sah atau tidaknya akad al-muzara’ah, ada 4 bentuk yaitu:

1. Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, kerja dan alat dari petani, sehingga
yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah.
15
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.

ii
2. Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani
menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-
muzara’ah adalah manfaat tanah, maka akad al-muzara’ah juga sah.
3. Apabila tanah,, alat, dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani,
sehingga yang menjadi obyek dari al-muzara’ah adalah asa petani, maka akad
al-muzara’ah juga sah.
4. Apabila tanah pertanian dan alat di sediakan pemilik tanah dan bibit serta kerja
dari petani, maka akad ini tidak sah.16

6.Contoh Permasalahan dalam Muzaro’ah/Mukhobaroh


a. Muzaro’ah
Kegiatan muzaro’ah ini saya amati disekitar tempat tinggal saya. Berdasarkan
hasil pengamatan saya, sebelum penggarapan sawah dilaksanakan oleh pihak
kedua, mereka terlebih dahulu membuat kesepakatan mengenai pembagian hasil,
kerugian, pembayaran zakat dan PBB sawahnya.

Keuntungan dari sawah tersebut dibagi 3, dengan aturan sepertiga dari hasil
panen untuk pemilik sawah, sedangkan dua pertiganya untuk penggarap sawah.
Jika terjadi kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh kedua belah pihak.
Sedangkan masalah zakat dan pembayaran PBB dari sawah yang bersangkutan
dibayarkan oleh pemilik sawah.

b. Mukhobaroh

Kegiatan mukhabarah ini saya amati disekitar tempat tinggal saya. Hal ini
terjadi dikarenakan pihak yang memiliki sawah sudah tua dan tidak sanggup lagi
menggarap sawahnya sendiri. Karena itulah pihak pemilik sawah menyerahkan
penggarapan sawahnya kepada pihak lain yang dipercaya.

Sebelum penggarapan sawah dilakukan oleh orang yang dipercaya pemilik


sawah, mereka terlebih dahulu membuat perjanjian yang terkait dengan
pembagian hasil, pembayaran zakat, PBB dan masalah jika seandainya terjadi
kerugian.

16
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.

ii
Biasanya pada penggarapan sawah yang bibit dan pupuknya berasal dari
pemilik sawah, maka hasil panennya dibagi 2. Setengah dari hasil panen untuk
pemilik sawah dan setengahnya lagi untuk penggarap sawah. Jika pada saat sawah
dipanen diketahui terjadi kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh kedua
belah pihak. Untuk pembayaran zakat sawah, dibayar oleh kedua belah pihak,
sedangkan pembayaran PBB dibayarkan oleh pemilik sawah

C. MUSYAQOH

1.Pengertian Musyaqoh

Menurut etimologi, musyaqoh adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang


Madinah menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih
dikenal adalah musyaqoh. 17

Musyaqah menurut ulama Hanafiyah seperti muzara’ah, baik dalam hukum


dan persyaratan yang memungkinkan terjadi musyaqah. Abu hanifah dan Abu
jarah tidak membolehkan nya,dengan mendasarkan pendapatnya pada hadits:

)‫من كانت له ارض فاليزرعها واليكريها بثلث البربع والبطعام (متفاق عليه‬

Artinya:

Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklah mengelolanya, tidak boleh


menyewakan nya dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan
makanan yang telah di tentuka. (Muttafaq alaih).

Abu yusuf dan muhammad (dua sahabat abu hanifah), dan jumhur
ulama (imam Malik,imam Syafi’i, dan imam Ahmad) memperbolehkan
musyaqah yang didasarkan pada muamalah rasulullah SAW bersama orang
Khaibar.

2. Syarat-Syarat Musyaqoh

Syarat-Syarat Musyaqoh sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang


ada dalam mujaro’ah. Hanya saja pada musyaqoh tidak disyaratkan untuk
menjelaskan jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.
Beberapa Syarat Musyaqoh adalah:
17
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.

ii
a. Ahli dalam akad
b. Menjelaskan bagian penggarap
c. Membebaskan pemilik dari pohon
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir

3. Rukun Musyaqoh

Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musyaqoh ada 5, yaitu berikut ini:

a. Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan
berakal.
b. Objek Musyaqoh. Objek Musyaqoh menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-
pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama
Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqoh atas pohon yang tidak berbuah sebab
sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
c. Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
d. Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan
bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad
menjadi tidak sah.
e. Shigat. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah
(sewaan) dalam akad musyaqoh sebab berlainan akad. 18

4. Contoh Permasalahan Musyaqoh.


Misal si A adalah orang yang sangat kaya dan memiliki banyak tanah /ladang
dimana-mana & si B adalah seorang yang rajin bekerja tapi kekurangan lapangan
pekerjaan, karena si B orang yang jujur & dapat dipercaya maka si A
menyerahkan sebagian kebunnya kepada si B dengan ketentuan – ketentuan
tertentu yang telah di setujui oleh kedua pihak. Dan dengan disetujuinya
perjanjian tersebut maka si B pun harus merawat kebun si A dengan sebaik –
baiknya sampai waktu panen telah tiba.

D. MUSYARAKAH
18
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.

ii
1.Pengertian Musyarakah

Adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu
di mana masing – masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise)
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah ada dua jenis : musyarakah pemilikan
dan musyarakah akad (kontrak). Dalam musyarakah pemilikan, kepemilikan dua
orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut. 

Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau


lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah.
Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.

- Landasan Syariah
a. Al – Qur’an surat An – Nisaa ayat 12 :
”Maka mereka bersyarikat pada sepertiga.” (Syafe’i Antonio 1999:143)
b. Al – Hadist : 
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata :”Sesungguhnya Allah Azza Wa
Jalla berfirman :’Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah
satunya tidak mengkhianati lainnya.(H.R. Abu Dawud – no. 2936, dalam kitab Al
Buyu, dan Hakim) (Syafe’i Antonio 1999:144) 19

2. Contoh Permasalahan dalam Musyarakah


Musyarakah adalah bergabungnya ahli waris yang tidak mendapatkan bagian
harta, kepada ahli waris lain yang mendapat bagian harta warisan. Masalah ini
terjadi jika ahli waris terdiri dari suami, ibu atau nenek, dua orang saudara seibu
atau lebih dan saudara laki-laki kandung seorang atau lebih. Pada kaidah umum
bahwa dua saudara laki-laki sekandung menjadi ‘aṣabah bi nafsih. Namun karena
tidak mendapat sisa harta, karena telah dihabiskan ahli waris zawil al-furud, maka
saudara laki-laki sekandung bergabung dengan saudara seibu atas nama saudara
seibu dengan mendapatkan bagian 1/3.20

19
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.
20
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.

ii
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik
modal ( shahibul mal ) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib)
dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.

Dan untuk  Rukun Mudharabah  sendiri yaiut A’qidain (dua orang yang berakad),
Al-mal (modal), Al-ribh (keuntungan), Al-a’mal, Sighat. sedangkan Syarat sah
mudharabah: Modal atau barang yang diserahkan berbentuk uang tunai, orang yang
melakukan akad di isyaratkan mampu melakukan tasharruf, Modal harus diketahui

ii
dengan jelas, Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal
harus jelas presentasenya, Melafazkan ijab dari pemilik modal. Secara umum
mudharabah terbagi dua jenis yaitu Mudharabah muthaqah dan Mudharabah muqayyadah.

Muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan


petani penggarap. Mukhabarah yaitu kerja sama antara pemilik sawah atau ladang dan
penggarap dengan bagi hasil menurut perjanjian, sedangkan benih dari yang punya
tanah.

Musyaqoh adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah menyebutnya


dengan istilah muamalah. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing – masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

B. Saran
Dengan bertambahnya wawasan dalam mudharabah, diharapkan akademisi
maupun praktisi dapat memajuakan sistem perbankan syariah di indonesia yang masih
berkembang sehingga masayrakat lebih mengetahui akad mudharabah dan yakin
dalam menggunakan jasa perbankan syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi,M. Yazid Fiqih Muamalah. 2009. Logung Pustaka:Yogyakata.


Antonio, Muhammad syfi’i. Bank syari’ah: dari teori ke praktik. 2001.
Gema Insani Press: Jakarta.
Muhammad, manajemen pembiayaan syariah. 2005. UPP AMP
YKPN: Yogyakarta.
Nurhayati, Sri dan Wasilah. Akuntansi Syari’ah di Indonesia. 2011.
Salemba Empat: Jakarta.
Sahrani, Sohari dkk. Fikih Muamalah. 2011. Ghalia Indonesia: Bogor.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. 2011. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Syafe’i, rachmad. Fiqih Muamalah. 2002. Pustaka Setia: Bandung.

ii

Anda mungkin juga menyukai