Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang

terletak di Indonesia Timur. Provinsi ini terdiri atas beberapa pulau, antara lain

Pulau Flores, Sumba, Timor, Adonara, Lembata, Alor, Sabu, dan Rote (Hartono,

2010: 9). Pulau Rote dan Ndao merupakan gugusan pulau yang terletak di bagian

selatan Indonesia. Saat ini kedua pulau itu menjadi satu wilayah administrasi

kabupaten baru di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diberi nama

Kabupaten Rote Ndao. Pusat kegiatan pemerintah kabupaten Rote Ndao adalah

Kota Ba’a yang termasuk Kecamatan Lobalain.

Kabupaten Rote Ndao terdiri atas beberapa Kecamatan, yaitu Kecamatan

Rote Barat Daya, Kecamatan Ndao Nuse, Kecamatan Rote Tengah, Kecamatan

Rote Timur, Kecamatan Rote Barat Laut, Kecamatan Rote Selatan, Kecamatan

Lobalain, Kecamatan Landuleko, dan Kecamatan Pantai Baru. Pada umumnya

masyarakat kabupaten tersebut memiliki sistem mata pencaharian sesuai dengan

keadaan alamnya. Mata pencaharian yang dimaksud adalah bertani sawah dan

ladang, kerjinan tenun ikat, menganyam topi, menyadap lontar, dan nelayan bagi

warga yang berdiam di pesisir. Mata pencaharian tenun ikat menjadi

permasalahan yang dibahas selanjutnya.

Tenun ikat masyarakat Ba’a Kampung Ndao di Kecamatan Lobalain

menjadi objek penelitian ini. Tenun ikat merupakan salah satu mata pencaharian

yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Ba’a khususnya. Dikatakan demikian

1
karena hasil kerajinan tenun ikat berupa sarung, selimut, dan selendang dapat

dijual untuk mendatangkan uang demi kebutuhan keluarga. sarung dan selimut

merupakan sasaran kajian ini.

Hasil tenun ikat tersebut memiliki fungsi dan makna yang sangat penting

bagi masyarakat Ba’a kampung Ndao. Fungsi tenun ikat masyarakat Ba’a

kampung Ndao adalah (1) sebagai sarana adat, (2) fungsi ekonomis, dan (3) fungsi

sosial. Di samping itu, tenun ikat itu memiliki makna bagi masyarakat Ba’a

kampung Ndao, yaitu (1) makna sejarah, makna budaya, (2) makna soial, dan (3)

makna ekonomis.

Tenun ikat merupakan kerajinan tangan yang hanya dilakukan oleh

perempuan. Menurut salah seorang penenun, ibu Ako Mbate bahwa cara kerja

perajin tenun ikat masih mengikuti pola yang diwariskan oleh leluhur.

Peralatannya masih bersifat tradisional, yakni dibuat dari bahan baku lokal dan

cara kerja secara manual. Namun, pada saat ini bahan baku lainnya seperti benang

dan zat pewarna bersifat modern, yakni dibuat dengat dengan cara modern seperti

benang dan wantex (zat pewarna) yang telah tersedia di toko. Bentuk dan proses

pebuatan masih mengikuti pola yang diwariskan leluhur dan motifnya pun masih

merupakan warisan leluhur. Selanjutnya, ibu Ako menjelaskan bahwa kerajinan

tenun ikat berasal dari Pulau Ndao. Perempuan Ndao memiliki keterampilan

menenun dengan baik. Namun, karena sistem perkawinan sehingga perempuan

Ndao tersebar sampai di Ba’a khususnya di Kampung Ndao. Jadi, perempuan

Ba’a yang memiliki keterampilan menenun sesunggahnya adalah keturunan dari

Pulau Ndao.

2
Tenun ikat masyarakat Ba’a memiliki keunikan atau ciri khas. Pertama,

warna tenun ikat Ba’a adalah kombinasi beberapa warna, yakni warna hitam,

putih, kuning, dan merah. Warna-warna itu memiliki arti khusus bagi masyarakat

Ba’a, seperti merah artinya keberanian untuk memperjuangkan, mempertahan

hidup hidup, dan kerja keras. Warna hitam artinya kesabaran, kerendahan hati,

dan setia. Warna putih artinya dalam usaha atau kerja harus dengan niat dan

pikiran yang bersih, ikhlas, dan suci. Dan warna kuning artinya segala usaha atau

kerja untuk kelangsungan hidup dengan tekun, sabar, setia serta dengan niat dan

pikiran yang bersih pasti dapat memperoleh hasil yang memuaskan. Di samping

itu, motif yang dikenakan pada tenun ikat masyarakat Ba’a sangat berhubungan

dengan pengetahuan mereka tentang alam di sekitarnya, sangat berkaitan dengan

kepercayaan, sejarah suku, dan pandangan hidup suku Rote.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian tenun ikat pada Masyarakat Ba’a Kampung Ndao merupakan

objek kajian antropolgi budaya yang mengangkat beberapa masalah. Sebagaimana

diuraikan terdahulu, bahwa tenun ikat tradisional tersebut di atas memiliki

keunikan, yaitu pemberian warna dan motif yang berkaitan dengan sejarah pulau

Rote pada zaman dahulu, kepercayaan, dan falsafah hidup suku Rote. Hal ini

dapat membedakannya dengan tenun ikat tradisional suku-suku lainnya di wilayah

Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan penjelasan di atas, maka masalah

penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut.

3
1. Bagaimanakah bentuk dan proses pembuatan tenun ikat masyarakat Ba’a?

2. Bagaimanakah fungsi tenun ikat bagi kehidupan masyarakat Ba’a?

3. Bagaimanakah makna yang terkandung di dalam tenun ikat masyarakat

Ba’a?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian dirancang khusus untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

permasalahan tersebut di atas. Hal itu dapat dipaparkan secara rinci berikut ini.

1. Mendeskripsi bentuk dan proses pembuatan tersebut tenun ikat tradisional

pada masyarakat Ba’a.

2. Mendeskripsi fungsi tenun ikat tradisional bagi kehidupan masyarakat

Ba’a.

3. Mendeskripsi makna tenun ikat tradisional bagi masyarakat Ba’a.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian dengan judul “Tenun Ikat Masyarakat Ba’a Kampung Ndao,

Kabupaten Rote Ndao-NTT” memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan

manfaat praktis. Kedua manfaat penelitian ini dapat dijelaskan secara rinci berikut

ini.

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dirancang secara khusus untuk pengembangan ilmu

antropologi budaya, khususnya teori tenun ikat. Selain itu, studi ini

bermanfat bagi peningkatan pengetahuan peneliti tentang tenun ikat

4
sebagai wujud kebudayaan masyarakat. Di samping itu, penelitian Tenun

Ikat tradisional, dapat memperluas wawasan peneliti dalam bidang

antropologi budaya, khusunya tenun ikat sebagai wujud kebudayaan.

Secara khusus penelitian ini memperkaya wawasan teoretis peneliti

tentang tenun ikat.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pedoman

praktis dalam pengembangan dan pelestarian budaya tenun ikat tradisional

masyarakat Ba’a. Sebagaimana diketahui bahwa tenun ikat tradisional

masyarakat Ba’a merupakan wujud kebudayaan yang diwariskan leluhur

memiliki nilai sejarah, kepercayaan, pengetahuan, dan pandangan hidup

masyarakatnya. Karena itu, selayaknya dipelihara agar tetap hidup.Di

samping itu, penelitian tenun ikat tradisional masyrakat Ba’a dapat

dimanfaat oleh Pemerintah Daerah Tk.II Rote Ndao sebagai sumber

informasi dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan upaya

pelestarian budaya lokal, teristimewa budaya Tenun Ikat. Selain itu, hasil

penelitian Tenun Ikat tradisional pada masyarakat Ba’a Kampung Ndao

menjadi pedoman dalam pembinaan dan pengembangan tradisi tenun ikat

tersebut agar tetap hidup di masyarakat Rote Ndao, khususnya masyarakat

Ba’a di Kampung Ndao.

5
1.4 Kerangka Teori dan Konsep

1.4.1 Kerangka Teori

Tenun ikat tradisional merupakan salah satu praktek budaya. Oleh karena

itu penelitian tenun ikat masyarakat Ba’a Kampung Ndao dipandu oleh kerangka

pikir kebudayaan. Koentjaraningrat (2005:19) mengatakan bahwa kebudayaan

adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis,

dan indah, sehingga ia dapat dinikmati dengan pancindranya (yaitu pengelihatan,

penciuman, pengecap, perasa, dan pendengar). Ia juga menyatakan bahwa

kesenian tidak hanya dimaknai sebagai tari-tarian, tetapi juga dimaknai sebagai

seni pembuatan tekstil, yang meliputi seni batik, seni kerajinan tenun ikat

tradisional, dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 2005:20). Berdasarkan

pandangan tersebut, maka kerajinan tenun ikat memiliki seperangkat fungsi, yaitu

untuk merangsang rasa indah, memenuhi kebutuhan hidup manusia yang lain

seperti kebutuhan akan pakaian, dan untuk kepentingan adat. Pernyataan teoretis

tersebut di atas dijabarkan menjadi tiga teori, yaitu teori fungsi, teori simbol, dan

teori makna untuk menganalisis permasalahan penelitian ini. Ketiga teori tersebut

dimanfaatkan sebaga rujukan teoretis untuk menjelaskan permasalahan-

permasalahan penelitian ini.

Pertama adalah teori fungsi. Teori ini berasumsi bahwa tenun ikat

tradisional memiliki bentuk, yakni berupa kain sarung, kain selimut, dan kain

selendang yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia, misalnya sebagai

pembungkus badan, sebagai sarana belis dalam perkawinan, dan dipakai pada

6
saat upacara adat. Sealain itu, hasil tenun ikat dapat dipergunakan sebagai sarana

bisnis.

Kedua adalah teori simbol yang digunakan sebagai acuan teoretis untuk

menjelaskan permasalahan bentuk dan proses tenun ikat tradisional pada

masyarakat Ba’a Kampung Ndao. Dikatakan demikian karena tradisi tenun ikat

tradisional itu merupakan wujud budaya atau gagasan dan tindakan sosial

masyarakat. Karena tenun ikat tersebut merupakan simbol budaya masyarakat,

maka untuk menjelaskan masalah makna motif tradisi tenun ikat tradisional pada

masyarakat tersebut diperlukan kerangka pikir simbolis.

Tenun ikat merupakan perwujudan kebudayaan masyarakat. Tenun ikat

mencerminkan pikiran, pengetahuan yang dimiliki manusia, dan pandangan

hidupnya karena itu tenun ikat merupakan sistem simbol. Tenun ikat termasuk

salah satu komponen dalam sistem itu. Hasil tenun ikat, seperti sarung, selimut,

dan selendang memiliki motif, kombinasi warna yang berbeda membuat hasil

kerajinan tenun ikat itu terlihat indah. Karena itulah tenun ikat dikelompokkan

sebagai karya seni.

Pernyataan teoretis tersebut di atas dipertegaskan lagi oleh Suriadiredja

(1983:32) yang mengatakan bahwa simbol adalah komponen utama perwujudan

kebudayaan, karena setiap hal yang dilihat dan dialami oleh manusia (etnik Ba’a)

itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian simbol-simbol yang dimengerti

manusia. Bertolak dari kerangka pikir tersebut, teori simbol dijadikan acuan untuk

memerikan atau mendeskripsikan masalah motif, masalah desain tenun ikat

7
tradsional pada masyarakat Ba’a serta makna motif yang diaplikasikan dalam

tenun ikat tradisinal yang dalam bahasa Rote disebut lave rambik.

Di samping itu, teori simbol berasumsi bahwa tenun ikat tradisional

merupakan wujud kebudayaan yang dipandang sebagai tradisi atau kebiasaan

leluhur yang memiliki fungsi, makna, dan nilai. Makna dan nilai tradsional yang

terkandung di dalam tenun ikat tradisional masyarakat Ba’a merupakan pedoman

dalam kehidupan bermasyarakat.

Ketiga adalah teori makna. Teori ini berasumsi bahwa bentuk tenun ikat,

seperti selendang, sarung, dan selimut memiliki makna dan nilai yang bermanfaat

bagi masayarakat pendukungnya, Untuk menganalisis makna yang terkandung di

dalam bentuk tenun ikat diperlukan pemahaman yang mendalam tentang

kebudayaan sehingga peneliti dapat menafsir makna yang terkandung di dalamnya

(Geertz, 1992:34).

Jadi, Teori kebudayaan mencakup tiga teori, yaitu teori fungsi, teori

simbol, dan teori makna Dijelaskan bahwa teori simbol diterapkan untuk

menjelaskan permasalah tentang bentuk tenun ikat masyarakat Ba’a, teori makna

digunakan menjelaskan masalah makna tenun ikat, dan teori fungsi diterapkan

untuk menjelaskan permasalahan fungsi tenun ikat masyarakat tersebut.

1.4.2 Konsep

Konsep yang dijelaskan pada bagian ini berkaitan dengan tenun ikat

tradisional masyarakat Ba’a. Konsep-konsep yang dimaksudkan adalah tenun ikat

dan masyarakat Ba’a Kampung Ndao.

8
1. Tenun Ikat

Tenun ikat merupakan hasil kerajinan yang bisa dikerjakan oleh

kelompok masyarakat yang diwarisi leluhur kepada generasi penenerus.

Tenun ikat, dalam perspektif budaya merupakan wujud budaya atau

gagasan, wujud tindakan sosial etnik Rote khususnya etnik Masyarakat

Ba’a Kampung Ndao. Di samping itu kegiatan tersebut merupakan citra

suku tersebut yang tersusun apik dan sistematis, yang menjadi pola

kehidupan sosial masyarakat tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut

tenun ikat tradisional adalah seni kerajinan tangan masyarakat Ba’a

Kampung Ndao yang merupakan warisan leluhurnya.

2. Masyarakat Ba’a Kampung Ndao

Masyarakat adalah kumpulan orang yang memiliki visi, misi, dan

tujuan hidup yang sama. Visi, misi, dan tujuan hidup bersama masyarakat

itu dikemas dalam norma atau hukum yang harus ditaati bersama. Norma

hukum itu menjadi satu-satunya perangkat hidup bersama yang mengikat

kekerabatan Masyarakat untuk mencapai tujuan hidup bersama kelompok

masyarakat yang bersangkutan.Selanjutnya istilah masyarakat dijelaskan

Koentjaraningrat (1992:122) bahwa masyarakat hendaknya memiliki

empat ciri yaitu (1) interaksi antarwarga; (2) adat istiadat, norma-norma,

hukum serta aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga;

(3) kontinuitas dalam waktu; dan (4) rasa identitas yang yang mengikat

semua warga.

9
Berdasarkan penjelasan di atas, maka masyarakat merupakan kesatuan

hidup yang saling berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat atau tradisi yang

diturunkan dari para leluhur yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh

suatu rasa identitas bersama.

Masyarakat Ba’a atau etnik Kampung Ndao merupakan salah satu sub

kelompok etnik Rote yang berdiam di wilayah pemerintah Kecamatan Lobalain

yang memiliki visi, misi, dan tujuan hidup yang sama. Untuk mencapai tujuan

hidup yang sama itu, mereka mematuhi aturan, norma, dan hukum yang diwarisi

leluhurnya.

1.5 Model Penelitian

Model penelitian adalah kerangka pikir analisis permasalahan penelitian.

Dikatakan bahwa tenun ikat merupakan warisan leluhur masyarakat Ba’a yang

bersifat ajeg (dilakukan terus menerus) yang dipertahankan oleh para

pendukungnya, yang dijadikan pedoman hidup dalam masyarakat tersebut yang

terwujud dalam perilaku tradisi tenun ikat. Warisan leluhur ini dijadikan sebagai

sumber kehidupan atau sebagai mata pencaharian pokok untuk meningkatkan

taraf hidup baik dalam skala makro kehidupan maupun skala mikro (untuk

kebutuhan hidup kelompok kecil, seperti keluarga).

Sistem teknologi tenun ikat masyarakat Ba’a masih bersifat tradisional

dengan peralatan yang sangat sederhana dan tenun ikat itu merupakan sistem mata

pencaharian masyarakat. Tenun ikat memiliki bentuk, fungsi, dan makna. Bentuk

tenun ikat masyarakat berupa kain sarung, selendang, selimut. Sedangkan fungsi

10
tenun ikat meliputi fungsi adat, fungsi ekonomis, dan fungsi simbol indentitas

masyarakat Ba’a. Makna yang terkandung di dalam tenun ikat adalah makna

sejarah, makna sosial, makna budaya, dan makna ekonomis.

Bagan 1

Model Penilitian

Sistem Teknologi Tenun Tenun Ikat Sistem Mata


Ikat Masyarakat Ba’a Pencaharian
Masyarakat Ba’a

Proses/Bentuk Tenun Makna Tenun Ikat


Ikat Fungsi Tenun Ikat

Temuan-Temuan

Keterangan: garis saling berhubungan :

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Masyarakat Ba’a Kampung Ndao,

Kecamatan Lobalain Kabupaten Rote Ndao Nusa Tenggara Timur. Adapun alasan

pemilihan lokasi penelitian adalah: (1) Kampung tersebut merupakan pusat

kegiatan tenun ikat; (2) aksebilitas ke lokasi penelitian ini cukup baik sehingga

peneliti dapat melakukan penelitian secara efektif dan efisien sesuai dengan

ketersedian waktu dan alokasi dana penelitia. Penelitian ini dimulai dari bulan

Juni tahun 2014 sampai dengan bulan November tahun 2014.

11
1.6.2 Jenis dan Sumber Data

Data penelitian ini meliputi dua jenis, yakni data kualitatif dan data

kuantitatif. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara dengan informan-

informan. Pada saat dilakukan wawancara peneliti menggunakan sarana rekam

seperti handicamp dan camera. Data kualitaif itu disebut juga data primer. Selain

itu, data kualitatif diperoleh melalui observasi. Pada saat kegiatan berlangsung

peneliti mencatat hal-hal yang diamati. Data kuantitatif dapat diperoleh melalui

buku-buku, artikel dari internet tentang jumlah penduduk masyarakat Rote Ndao.

Data kuantitatif ini kerap disebut data sekunder. Namun data kualitatif yang

diutamakan dalam penelitian ini.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data tenun ikat tradisional pada masyarakat Ba’a Kampung

Ndao dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan dan wawancara.

Metode pengamatan digunakan untuk memperoleh data tentang cara mengerjakan,

bahan-bahan apa yang digunakan, dan motif dan warna yang dipakai dalam tenun

ikat, serta siapa yang melakukan tradisi tenun ikat itu. Teknik yang digunakan

adalah observasi langsung. Pada waktu observasi peneliti menyimak sambil

merekam informasi serta mengambil gambar. Penggunaan teknik observasi

langsung tersebut dimaksudkan untuk memperoleh data alamiah (natural data)

mengenai tradisi tenun ikat.

Observasi partisipasi pun diterapkan melalui dua strategi, yakni (1) passive

participation, peniliti tidak ikut campur dalam tradisi tenun ikat (tidak

mempunyai peran tertentu, walaupun ia hadir dalam peristiwa tersebut; (2)

12
complete participation, peneliti secara aktif berinteraksi dengan pelibat lain di

dalam tenun ikat. ( Sotari,dkk, 2009: 129-144)

Di samping itu, metode wawancara dimanfaatkan untuk menjaring

berbagai informasi yang berhubungan dengan tradisi tenun ikat yang tidak sempat

diperoleh melalui metode pengamatan, antara lain mengenai kapan dilakukan,

berapa lama tenun ikat dikerjakan sampai menjadi sebuah sarung,selimut dan

selendang tradisional yang kerap disebut hasil tenun ikat asli suku Rote atau etnik

Masyarakat Ba’a Kampung Ndao

Metode lainnya ialah metode wawancara dilengkapi dengan teknik

pencatatan dan perekam. Pencatatan dan perekaman dilakukan atas izin

terwawancara (interviewee) wawancara, di samping digunakan untuk menjaring

data mengenai saat atau waktu, pelibat, dan fungsi, di samping pemahaman

mereka terhadap makna tradisi tenun ikat sebagai acuan hidup. Wawancara juga

digunakan untuk mendata hal-hal yang tidak didata melalui pengamatan, atau pun

didata namun menunjukkan ketidakjelasan informasi atau yang menimbulkan

keraguan-keraguan. Hasil wawancara tersebut akan dijadikan materi cross-chek

terhadap data observasi.

Informasi tentang tradisi tenun ikat yang telah direkam ditranskipsikan

sesuai dengan aslinya (dalam bahasa Rote) disertai padanannya dalam bahasa

Indonesia. Hal lain yang diperlukan untuk pendataan ialah pemotretan yang

dilakukan pada saat ibu-ibu mengerjakan tenun ikat. Hal ini diperlukan untuk

melengkapi penjelasan mengenai fungsi dan makna tradisi tenun ikat pada aspek

sosial budaya.

13
Di samping metode yang telah dikemukakan terdahulu, perlu dilakukan

metode kepustakaan. Metode ini berkaitan dengan data sekunder. Informasi yang

diperoleh dari kepustakaan digunakan sebagai data pelengkap apabila data

lapangan masih kurang lengkap. Data kepustakaan itu dapat diperoleh dari buku,

majalah, internet. Informasi yang diperoleh itu berupa konsep-konsep, kerangka

teori, kebijakan yang berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan tradisi

tenun ikat dan informasi itu digunakan sebagai bahan pembanding teori dalam

menganalisis data selanjutnya sehingga informasi itu dijadikan bahan dan

sekaligus untuk mempertajam analisis data primer di lapangan.

1.6.4 Analisis Data

Data tenun ikat yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompokkan

dengan memberi kode sesuai dengan kandungan fungsi dan maknanya.

Pengkodean perlu dilakukan untuk mengidentifikasi makna sosial budaya, makan

ekonomis, dan makna lainnya.

Data yang telah dikelompokkan itu dianalisis dengan menggunakan

metode kualitatif. Metode analisis ini diterapkan berdasarkan paradigma

naturalistik atau alamiah sebagimana yang dikemukakan oleh Garna (1999:59-

77) bahwa paradigma naturalistik melatarbelakangi pendekatan kualitatif. Garna

juga menegaskan bahwa berbagai gejala sosial budaya kelompok masyarakat yang

dikaji tidak tampak secara artifisial, tetapi alamiah dan memiliki makna

sebagaimana dimaksudkan oleh pelaku sosial dan budaya itu.

Sehubungan dengan itu, interpretasi makna harus didasarkan pada konteks

sosial budaya masyarakat Ba’a etnik Kampung Ndao. Dengan demikian,

14
penelitian ini diharapkan dapat memberikan pernyataan yang mendekati kondisi

alamiah mengenai karakter etnik, termasuk berbagai perubahannya yang terjadi di

masyarakat dan budaya tersebut. Dengan kata lain, analisis kualitatif diharapkan

dapat memaparkan apa adanya (Djajasudarma, 1993a:13).

Geertz (1992:5) mengatakan bahwa kebudayaan bersifat interpretatif.

Dalam kaitan dengan analisis data tenun ikat pada etnik masyarakat Ba’a untuk

menemukan karakteristik budaya diperlukan langkah interpretasi atau penafsiran.

Tenun Ikat etnik masyarakat B’a itu dipandang sebagai simbol yang dimaknai

berdasarkan konteks budaya Rote Ndao, khususnya masyarakat Ba’a Kampung Ndao.

1.6.5 Penyajian Hasil Analisis Data

Tenun ikat adalah salah satu mata pencaharian masyarakat Ba’a khsusnya

kampung Ndao pada umumnya. Kajian ini merupakan sebuah penelitian

antropoligi budaya. Sebagaimana lazimnya penelitian antropologi budaya yang

datanya berupa data kuantitatif dan kualitatif. Numun penelitian ini memiliki

sebagian besar data kualitatif. Karena itu penerapan metode informal digunakan

untuk menyajikan hasil analsis data. Cara ini berfokus pada penjelasan ketiga

pokok permasalahan secara kualitatif.

Permasalahan-permasalahan penelitian ini dinarasikan secara kualitatif

seperti masalah proses pembuatan dan bentuk tenun ikat masyarakat Ba’a

Kampung Ndao. Hal ini dijelaskan secara rinci mulai dari bahan untuk pembuatan

benang, peralatan yang digunakan dalam tenun ikat, proses menenun, pewarnaan,

dan pembuatan motif. Selanjutnya dijelaskan pula secara kualitatif fungsi dan

makna tenun ikat sebagai wujud kebudayaan masyarakat tersebut, dan diambil

simpulan sementara.

15

Anda mungkin juga menyukai