Anda di halaman 1dari 20

TEORI KOGNITIVISME

Oleh :
I Putu Budiana, I Nyoman Wiguna Adi Putra, I Dewa Gede Purwa Diastra,

Gusti Putu Mahaatmawiradharma

Abstrak
Kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering di sebut sebagai
model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku seseorang di
tentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan-tujuannya. Dal hal ini belajar di pandang sebagai perubahan persepsi
maupun pemahanan, yang tidak selalu terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini
menganggap inti dari belajar adalah pengertian terhadap bahan ajar (insight learning).
Memahami apa yang di pelajari adalah hal utama dalam belajar menurut
kognitivisme. Menurut Galloway (1976) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses
internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain.
Proses belajar merupakan pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikan
dengan struktur kognitif yang terbentuk secara personal berdasarkan pada
pengalamannya. Ada dua teori umum tentang kognitivisme yaitu teori yang di ajukan
oleh piaget dan vygotsky, dimana teori piaget menekankan pada skemata
perkembangan intelektual berdasarkan umur sedangkan vygotsky menekankan pada
perkembangan intelektual dari segi historis dan dari segi sign sistemnya atau sistem
isyarat.

PENDAHULUAN
Dalam proses belajar dan pembelajaran diperlukan adanya suatu teori belajar.
Teori belajar menyatakan hukum-hukum atau prinsip-prinsip umum yang melukiskan
kondisi terjadinya belajar. Teori belajar menerangkan tentang apa yang terjadi selama

1
siswa belajar. Saat ini terdapat banyak jenis teori belajar yang digunakan dalam
proses belajar dan pembelajaran tersebut. Seperti Behaviorisme, Kognitivisme, Teori
Belajar Sosial, Teori Belajar dari Gagne. Dari semua teori tersebut memiliki letak
penekanan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Kini yang menjadi masalah adalah
teori manakah yang paling baik dan relevan untuk digunakan. Hal ini dapat dibijaki
dengan cara menyesuaikan antara teori belajar yang akan digunakan dengan karakter
siswa yang dihadapi. Namun kita harus berhati-hati dalam pemilihan teori belajar
tersebut agar tidak terjadi ketidaksesuaian yang nantinya justru dapat menyebabkan
kegagalan dalam proses belajar dan pembelajaran itu sendiri. Salah satu solusi yang
dapat ditempuh yakni memilih teori belajar kognitivisme. Teori ini menekankan pada
gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks
seluruh situasi tersebut. Di dalam model ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-
tujuannya. Teori belajar kognitivisme meliputi Teori Perkembangan dari Piaget,
Teori Vygotsky.

Adapun rumusan masalahnya meliputi bagaimana peranan teori belajar


kognitivisme itu dalam proses belajar dan pembelajaran, bagaimana keefektifannya
dalam mencapai kesuksesan dalam belajar dan pembelajaran, serta bagaimana
perbedaan antara Teori Perkembangan dari Piaget dengan Teori Vygotsky.

Tujuan diterapkannya teori belajar kognitivisme adalah untuk mencapai


kesuksesan dalam proses belajar dan pembelajaran, baik bagi guru maupun siswa.
Sehingga tercapai suatu pembelajaran yang aktif dan interaktif.

Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh antara lain, bagi guru: dapat
menerapkan teori belajar yang sesuai dengan karakter siswa, sehingga tujuan
pembelajaran lebih cepat tercapai, bagi siswa: dapat menerima pelajaran dan mampu
mengembangkannya dengan baik, karena teori belajar yang digunakan sesuai.

2
PEMBAHASAN

Pengertian Kognitivisme

Kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut sebagai


model kognitif atau perseptual. Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition yang
berarti pengertian, mengerti. Dalam arti luasnya cognition (kognisi) berarti
perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam
perkembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai
salah satu wilayah psikologi manusia/satu konsep umum yang mencakup semua
bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan,
membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan.

Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa
didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana
tingkah laku itu terjadi. Berikut ini deskripsi beberapa teori belajar yang didasarkan
pada kognitivisme dan yang sering digunakan dalam pembelajaran.

1.  Teori Perkembangan Piaget

Jean Piaget (1896-1980), ahli biologi dan psikologi. Piaget merupakan salah
satu pioner konstruktivis, ia berpendapat bahwa anak membangun sendiri
pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan. Dalam pandangan
Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar
bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi
dengan lingkungannya. Dalam hal ini  peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku
sebagai pemberi informasi.

3
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai skemata (Schemas),
yaitu kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami,
dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata
ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu
dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa
memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia masih kecil.
Scheme berhubungan dengan :

 Refleks-refleks pembawaan ; misalnya bernapas, makan, minum.


 Scheme mental ; misalnya scheme of classification, scheme of operation.
(pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap, pola tingkah laku
yang dapat diamati)

Jika schemas/skema/pola yang sudah dimiliki anak mampu menjelaskan hal-


hal yang dirasakan anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan keadaan
ekuilibrium (equilibrium), namun ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak
bisa dijelaskan dengan pola-pola yang ada, anak mengalami sensasi disekuilibrium
(disequilibrium) yaitu kondisi yang tidak menyenangkan.

Sebagai contoh karena masih terbatasnya skema pada anak-anak : seorang


anak yang baru pertama kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cicak besar,
karena ia baru memiliki konsep cicak yang sering dilihat dirumahnya. Ia memiliki
konsep cicak dalam skemanya dan ketika ia melihat buaya untuk pertama kalinya,
konsep cicaklah yang paling dekat dengan stimulus. Peristiwa ini pun bisa terjadi
pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan kata atau dalam
kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui. Misalnya : seringkali orang
menyebut kuda laut itu sebagai singa laut, padahal kedua binatang itu jauh berbeda
cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun bentuk tubuhnya dengan kuda ataupun
singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan sebagian bentuk tubuhnya yang hampir
sama.

4
Perkembangan skemata ini berlangsung terus -menerus melalui adaptasi
dengan lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu
dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola
penalaran dan tingkat intelegensi anak itu.

Menurut Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek,

1.  Struktur ; disebut juga scheme seperti yang dikemukakan diatas

2. Isi ; disebut  juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu
menghadapi sesuatu masalah.

3.  Fungsi ; disebut fungtion, yaitu yang berhubungan dengan cara seseorang


mencapai kemajuan intelektul.

Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi invariant, yaitu:

 Organisasi ; berupa kecakapan seseorang dalam menyusun proses-proses


fisik dan psikis dalam bentuk system-sistem yang koheren.
 Adaptasi ; yaitu penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya.   

Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru
dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1.   Asimilasi

Adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata


yang telah terbentuk / proses penggunaan struktur atau kemampuan individu
untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya.

5
2.   Akomodasi

Adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah


terbentuk secara tidak langsung/ proses perubahan respons individu terhadap
stimuli lingkungan.

Dalam struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara


asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi
persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi.
Perkembangan kognitif ini pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan  yang
dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya.

Dengan penjelasan diatas maka dapatlah kita ketahui tentang bagaimana


terjadinya pertumbuhan dan perkembangan intelektual.

Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari


adanya equilibrium – disequilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya
equilibrium, individu akan dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang
lebih tinggi.

1.1 TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN

Piaget mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi transisi tahap


perkembangan anak, yaitu :

1. Kematangan

2. Pengalaman fisik / lingkungan

3. Transmisi social

4. Equilibrium

Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang


dialami setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun

6
berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di
Swiss.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap


perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis :

a. tahap Sensori Motor : 0 – 2 tahun ;

b. tahap Pra Operasi : 2 – 7 tahun ;

c. tahap Operasi Konkrit : 7 – 11/12 tahun ;

d.tahap Operasi Formal : 12 tahun keatas.

Sebaran umur pada setiap tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan
mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lainnya, antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dan teori ini
berdasarkan pada hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an.

a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)

Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik
(gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra)

Pada mulanya pengalaman itu  bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu
objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai
berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari
pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari
objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai
terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur
kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia  mulai mampu untuk melambungkan
objek fisik ke dalam symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara
kendaraan, suara binatang,  dll.

7
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema
dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks.
Pada masa kanak-kanak ini, anak belum mempunyai konsepsi tentang objek yang
tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya.

b.  Tahap Pra Operasi ( Pre Operational Stage)

Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit.


Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan
kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak
benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting), (mairer,
1978 :24). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman
konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-ojek yang
kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak
masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan
(conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu,
cirri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua
aspek atau lebih secara bersamaan.

Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak mulai timbul pertumbuhan


kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam
lingkungannya saja.

c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)

Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah
Dasar, dan pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis
dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami
konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu
memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objek

8
Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran
logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional
konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini
masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.

Smith (1998) memberikan contoh. Anak-anak diberi tiga boneka dengan


warna rambut yang berlainan (Edith, Suzan, dan Lily), tidak mengalami kesulitan
untuk mengidentifikasi boneka yang berambut paling gelap. Namun, ketika diberi
pertanyaan, “Rambut Edith lebih terang daripada rambut Lily. Rambut siapakah yang
paling gelap?”, anak-anak pada tahap operasional konkret mengalami kesulitan
karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambang-
lambang.

Kesimpulan pada tahap ini adalah: Anak telah dapat mengetahui symbol-
simbol matematis, tetapi belum dapatt menghadapi hal-hal yang abstrak (tak
berwujud).

d. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)

Tahap operasi formal ini adalah tahap akhir dari perkembangan konitif secara
kualitatif. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan
menggunakan hal-hal yang abtrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-
benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan
dengan dengan objek atau peristiwanya berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur
kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide,
astraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk
melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-
hubungan, memahami konsep promosi.

9
Sebagai contoh eksperimen Piaget berikut ini :

Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “pak Pendek” dan untaian
klip (penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian
ditambahkan penjelasan dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” itu mempunyai
teman “Pak Tinggi”. Lebih  lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang
korek api tinggi “Pak Pendek”empat batang sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam
batang korek api.

Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip?  Dalam memecahkan
masalah diatas, anak harus memerlukan operasi terhadap operasi.

Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kekampuan untuk
melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun
serangkaian hipotesis dan mengujinya (child, 1977 : 127)

Kesimpulan pada tahap ini adalah: Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah
mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argument
(karena itu disebut operasional formal).

Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika
orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan
penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya
system nilai dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.

1.2.  IMPLIKASI PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN DI KELAS

Pengaplikasiannya di dalam belajar: perkembangan kognitif bergantung pada


akomodasi. Kepada individu diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat
belajar, karena ia tak dapat belajar dari apa yang telah diketahuinya saja. Ia tak dapat

10
menggantungkan diri pada asimilasi. Dengan adanya area baru ini individu akan
mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasi. Situasi atau area itulah yang akan
mempermudah pertumbuhan kognitif.

Secara terinci dibawah ini adalah penerapan teori Piaget terhadap pendidikan
di kelas:

1. Karena cara berpikir anak itu berbeda-beda dan kurang logis di banding
dengan orang dewasa, maka guru harus dapat mengerti cara berpikir anak,
bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan guru.
2. Anak belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Arrtinya disini
adalah agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru
tidak meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas
khusus yang dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan
menyelesaikan masalah sendiri.
3. Pendidikan disini bertujuan untuk mengembangkan pemikiran anak, artinya
ketika anak-anak mencoba  memecahkan masalah, penalaran merekalah yang
lebih penting daripada jawabannya. Oleh sebab itu guru penting sekali agar
tidak menghukum anak-anak untuk jawaban yang salah, tetapi sebaliknya
menanyakan bagaimana anak itu memberi jawaban yang salah, dan diberi
pengertian tentang kebenarannya atau mengambil langkah-langkah yang tepat
untuk menanggulanginya.
4. Guru  dapat  menemukan menemukan dan menetapkan tujun pembelajaran
materi pelajaran atau pokok bahasan pengajaran tertentu.   

Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak


mengandung tiga aspek, yaitu structure, content dan function. Anak yang sedang
mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektualnya berubah / berkembang.
Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian
perkembangan masing-masing mempunyai struktur psikologi khusus yang

11
menentukan kecakapan pikir anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah
sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.

Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu 1)


memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar
kepada hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga
sampai pada hasil tersebut. Pengalaman - pengalaman belajar yang sesuai
dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru penuh
perhatian terhadap Pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan
tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman
yang dimaksud, 2) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan
keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa
pengajaran pengetahuan jadi ( ready made knowledge ) anak didorong menentukan
sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan, 3) memaklumi
akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget
mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan
yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh
karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang
terdiri dari individu - individu ke dalam bentuk kelompok - kelompok kecil siswa
daripada aktivitas dalam bentuk klasikal, 4) mengutamakan peran siswa untuk saling
berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan - gagasan tidak dapat dihindari
untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara
langsung, perkembangannya dapat disimulasi.

2.  Teori Perkembangan Vygostky

Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Lev Vygotsky (1896-1934),


seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak
ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang
makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.

12
Se-zaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an
dan 1930-an. Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-
an. Sejak saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah
pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif
terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi
Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya
sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.

Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya


pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara
aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan
sosial pebelajaran.

2.1.     KONSEP SOSIOKULTURAL

Banyak developmentalis yang bekerja di bidang kebudayaan dan


pembangunan menemukan dirinya sepaham dengan Vygotsky, yang berfokus pada
konteks pembangunan sosial budaya. Teori Vygotsky menawarkan suatu potret
perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan
sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan
mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran
menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan
alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang
dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang
tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan masyarakat di dalam
perkembangan kognitif berbeda dengan gambaran Piaget tentang anak sebagai
ilmuwan kecil yang kesepian.

Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan


individual, sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan
anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-

13
anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk
memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak
memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan
masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat
kebudayaan” tempat individu hidup dan  alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu
diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua  selama
pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara
berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang
dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain
dalam kebudayaannya.

Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional


maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional,
sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas
kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan melek
huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan
sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal memiliki suatu
pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak. Menurut vygotsky
(1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui
interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan
hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung
dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial
yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental
anak-anak menjadi matang.

2.2.     PERKEMBANGAN BAHASA

Para pakar perilaku memandang bahasa sama seperti perilaku lainnya,


misalnya duduk, berjalan, atau berlari. Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya
merupakan urutan respons (Skinner,1957) atau sebuah imitasi (Bandura, 1977).

14
Tetapi banyak diantara kalimat yang kita hasilkan adalah baru, kita tidak
mendengarnya atau membicarakannya sebelumnya.

Kita tidak mempelajari bahasa di dalam suatu ”ruang hampa sosial” (social
vacuum). Kebanyakan anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita
memerlukan pengenalan kepada bahasa yang lebih dini untuk memperoleh
keterampilan bahasa yang baik (Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini,
kebanyakan peneliti penguasaan bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks
sosial yang luas menguasai bahasa ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus dan
dalam beberapa kasus tanpa penguatan yang jelas ( Rice,1993). Dengan demikian
aspek yang penting dalam mempelajari suatu bahasa tampaknya tidaklah banyak.
Walaupun begitu, proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak
dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Suatu peran lingkungan yang
membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak kecil disebut
motherese, yakni cara ibu dan orang dewasa sering berbicara pada bayi dengan
frekuensi dan hubungan yang lebih luas dari pada normal, dan dengan kalimat-
kalimat yang sederhana.

Bahasa dipahami dalam suatu urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam
tahap perkembangan, interaksi linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada
dasarnya mengikuti suatu prinsip tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991; Maratsos,
1991). Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja sangat dipengaruhi
oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak sejak usia dini
jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang diperkirakan di masa lalu ( Von
Tetzchner & Siegel, 1989).

Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif


daripada Piaget. Bagi Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap
perkembangan yang cukup maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap
perkembangan kognitif saat itu. Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari
interaksi sosial dengan orang lain. Awalnya, satu-satunya fungsi bahasa adalah

15
komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya anak
mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu
memecahkan masalah. Dalam tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan
bahasa untuk menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari
menyelesaikan masalah. Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional konkret,
percakapan batiniah tidak terdengar lagi.

2.3.     ZONE PERKEMBANGAN PROKSIMAL

Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa


konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh
lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah
mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.

Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan


dengan kemajuan anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa  anak-anak mampu
melakukan sesuatu sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaiman
anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif
belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara
aktual development dan potensial development pada anak. Aktual development
ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang
dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang
anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang
dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.

Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah


antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang
anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak
dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman
sebaya.

16
Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan
dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di
sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk
memaksimalkan perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih
terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang
lebih kompleks. Melalui perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap,
siswa mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan
dan mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini
adalah bahwa siswa belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulasi).

2.4.      KONSEP SCAFFOLDING

Scaffolding merupakan suatu istilah yang ditemukan oleh seorang ahli


psikologi perkembangan-kognitif masa kini, Jerome Bruner, yakni suatu proses yang
digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui zona perkembangan
proksimalnya.

Pengaruh karya Vygotsky dan Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan


oleh Smith et al. (1998).

1.   Walaupun Vygotsky dan Bruner telah mengusulkan peranan yang lebih penting
bagi orang dewasa dalam pembelajaran anak-anak daripad peran yang diusulkan
Piaget, keduanya tidak mendukung pengajaran didaktis diganti sepenuhnya.
Sebaliknya mereka malah menyatakan, walaupun anak tetap dilibatkan dalam
pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-
anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona
perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama
melalui  ZPD.

2.   Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya


juga berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan

17
pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning), kerja
kelompok secara kooperatif ( cooperative groupwork) tampaknya mempercepat
perkembangan anak.

3.   Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi pengajaran pribadi
oleh teman sebaya ( peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya
yang agak tertinggal dalam pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan
pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori Vygotsky. Satu anak
bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri
baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat kesulitan-
kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.

Komputer juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam


berbagai cara. Dari perspektif pengikut Vygotsky-Bruner, perintah-perintah di layar
komputer merupakan scaffolding ( Crook, 1994). Ketika anak menggunakan
perangkat lunak (software) pendidikan, komputer memberikan bantuan atau petunjuk
secara detail seperti yang diisyaratkan sesuai dengan kedudukan anak yang sedang
dalam ZPD. Tak pelak lagi, beberapa anak di kelas lebih terampil dalam
menggunakan komputer sehingga bisa berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya.
Dengan murid-murid yang bekerja dengan komputer, guru bisa dengan bebas
mencurahkan perhatinnya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan dan
menyiapkan scaffolding yang sesuai bagi masing-masing anak.

Vygotsky mencatat bahwa interaksi individu dengan orang lain berlangsung


pada situasi sosial. Vygotsky percaya bahwa subyek yang dipelajari berpengaruh
pada proses belajar, dan mengakui bahwa tiap-tiap disiplin ilmu mempunyai metode
pembelajaran tersendiri. Vygotsky adalah seorang guru yang tertarik untuk
mendesign kurikulum sebagai fasilitas dalam interaksi siswa.

18
PENUTUP

Simpulan

Kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut sebagai


model kognitif atau perseptual. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku
seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau
memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.

Teori Piaget adalah teori yang berpendapat bahwa anak membangun sendiri
pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan. Dalam pandangan
Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar
bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi
dengan lingkungannya. Dalam hal ini  peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku
sebagai pemberi informasi.

Teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran


sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek
“internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial
pebelajaran.

Saran

Di dalam proses belajar dan pembelajaran, guru harus memilih teori yang
sesuai dengan karakter siswanya agar kesuksesan dapat tercapai dengan baik. Dengan
itu antara guru dengan siswa akan terbentuk suatu hubungan yang jauh lebih aktif dan
interaktif.

19
DAFTAR RUJUKAN

Gerson Ratumanan, Tanwey.2002.Belajar Dan Pembelajara.Surabaya:Unesa


Univercity

20

Anda mungkin juga menyukai