Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/335258570

EVIL WOMEN HYPOTHESIS vs CHIVALRY HYPOTHESIS

Article · May 2018

CITATIONS READS

0 185

5 authors, including:

Riezaldo Aulia
University of Indonesia
3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Riezaldo Aulia on 20 August 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


EVIL WOMEN HYPOTHESIS vs CHIVALRY HYPOTHESIS :

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PIDANA BAGI PEREMPUAN

PELAKU KEKERASAN

Riezaldo Aulia

Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok,
16424, Indonesia

E-mail: riezaldo.aulia@ui.ac.id

ABSTRAK

Konstruksi peran gender yang berkembang dalam masyarakat seringkali memegaruhi


berbagai aspek dalam kehidupan, terutama kehidupan perempuan dan tak terkecuali memengaruhi
dan menimbulkan bias – bias yang ada dalam sistem peradilan pidana terutama dalam proses
pengadilan dan putusan – putusannya. Tulisan ini mencoba mengkaji bagaimana peran konstruksi
gender memengaruhi putusan hakim atau juri terhadap perempuan pelaku tindak pidana kekerasan
yang notabenenya adalah bukan sebuah kejahatan feminim. Berangkat dari basis evil women
hypothesis dan chivalry hypothesis. Penulis berusaha untuk menganalisis melalui hasil – hasil
penelitian dan sumber – sumber sekunder lainnya lalu mencoba membuktikan bahwa apakah
perempuan yang melakukan tindak pidana kejahatan yang tidak berkorelasi dengan stereotip
gender feminim, dalam hal ini adalah kasus kekerasan, divonis atau diperlakukan lebih kasar dan
keras dibandingkan jika jenis kejahatan tersebut dilakukan oleh laki – laki atau malah sebaliknya.
Sekaligus penulis juga mencoba menggunakan pendekatan teori legal feminis untuk menganalisis
bagaimana sistem peradilan pidana dianggap sebagai sebuah sistem yang dibangun oleh laki –
laki dan untuk laki – laki digunakan sebagai sebuah sistem untuk mengadili perempuan.
Kata kunci: peran gender, sistem peradilan pidana, perempuan, kasus kekerasan, putusan
pengadilan
ABSTRACT

The construction of gender roles that develops in the society often affects various aspects
of life, especially women's lives and invariably influences and raises the biases that exist in the
criminal justice system, especially in the judicial process and in its judgments. This paper attempts
to examine how the role of gender construction influences the judges’ sentences against women
perpetrators of violent crime which is not a feminine crime. Departing from the evil women
hypothesis and chivalry hypothesis as a basis concept. The author seeks to analyze through the
results of researches and other secondary sources and then tries to prove that whether women
who commit criminal offenses that are not correlated with feminine gender stereotypes, in this
case the crime is violent crime, convicted or treated more harshly than men who commited the
same crime or vice versa. At the same time the author also tries to use the legal feminist theoretical
approach to analyze how the criminal justice system is perceived as a system built by men and
for men but to be used as a system to find justice for women.
Keywords : gender roles, criminal justice system, women, violent crime, court sentences.

1
PENDAHULUAN

Perempuan merupakan segmentasi masyarakat yang populasinya paling banyak


berkembang masuk kedalam sistem peradilan pidana, akan tetapi mayoritas riset yang
dilakukan terhadap populasi yang ada dalam sistem peradilan pidana terlalu meletakkan
fokusnya pada laki – laki1. Berdasarkan data yang diolah oleh FBI, penangkapan yang
dilakukan terhadap perempuan meningkat sekitar 1,5% dari rentang tahun 2005 sampai
2009 dibandingkan dengan penurunan angka penangkapan pria yang turun sekitar 5%
dalam rentang waktu yang sama2. Hal ini menjadi perhatian tersendiri pula dikarenakan
fenomena perempuan dalam proses peradilan pidana seringkali menjadi topik yang
hangat untuk didiskusikan terutama bagi para kaum penggiat feminis legal maupun
kriminolog feminis.

Dalam hal vonis dan penghukuman, perempuan yang masuk dalam sistem
peradilan pidana terutama yang sedang berada dalam tahap persidangan sebagian besar
selama prosesnya juga sedikit banyak akan dipengaruhi oleh konstruksi peran gender
dalam masyarakat. Satu dari beberapa penemuan siginifikan dalam penelitian terhadap
vonis dan penghukuman dalam sistem peradilan pidana adalah perlakuan terhadap
perempuan yang lebih lunak dalam pengadilan dibandingkan dengan laki – laki. Dalam
berbagai keputusan pengadilan seperti putusan tuntutan, pelepasan pra pengadilan,
keputusan penahanan tersangka dan vonis penjara bagi terdakwa semuanya menunjukkan
bahwa keputusan – keputusan tersebut cenderung bersifat lebih lunak terhadap
perempuan3.

Akan tetapi perlakuan yang lebih lunak ini hanya berlaku pada jenis – jenis
kejahatan yang memiliki keterkaitan dengan stereotip gender perempuan seperti
prostitusi, pencurian kecil – kecilan dan penipuan. Sedangkan untuk perempuan yang
melakukan jenis kejahatan yang berkontradiksi dengan peran gender mereka seperti kasus
kekerasan dan penganiayaan, cendrung diperlakukan lebih kerasn dibandinkan dengan

1
Martin T. Hall et al. 2012. Designing Programming and Interventions for Women in the Criminal
Justice System.Louisville: Springer. Hlm.27
2
Ibid,hlm. 28
3
Tina L. Freiburger.2016. Women in the Criminal Justice System: Tracking the Journey of Females
and Crime. Boca Raton: CRC Press. Hlm. 131

2
laki – laki di dalam pengadilan. Sebagai dampaknya perempuan yang melakukan jenis
kejahatan maskulin akan memperoleh vonis yang lebih berat dibanding laki – laki4.

Salah satu kasus yang dapat menggambarkan hal ini adalah kasus penembakan
dan pembunuhan yang dilakukan oleh Shawna Forde, seorang perempuan yang
merupakan aktivis anti-imigrasi ilegal yang didakwa memimpin regu serbu untuk
membunuh dua orang di Arizona pada tahun 2009, Amerika Serikat. Juri dalam
pengadilan tanpa ragu memilih hukuman mati untuk dijatuhkan kepada Forde. Jika juri
tidak memberikan suara mereka untuk hukuman mati maka hakim akan memutuskan
hukuman antara penjara seumur hidup dengan kemungkinan bebas bersyarat setelah
menjalani hukuman selama 35 tahun atau tidak memiliki kesempatan bebas bersyarat5

KERANGKA BERPIKIR

Ada satu kekuatan sosial yang sangat memengaruhi kondisi dan nasib perempuan
yang sedang berada dalam proses sistem peradilan pidana, yaitu konstruksi sosial
mengenai peran gender dalam masyarakat. Dikenal dengan istilah gender role models,
konstruksi mengenai peran gender ini senantiasa dikonstruksikan oleh lembaga – lembaga
sosial, terutama lembaga sosial primer seperti keluarga. Proses penginternalisasian
konstruksi sosial mengenai peran gender ini dilakukan dengan cara sosialisasi 6. Laki –
laki diasumsikan secara natural untuk melakukan peran – peran khusus (seperti bekerja
di luar rumah), begitupun dengan perempuan (mengasuh anak misalnya). Peran – peran
ini dilihat sebagai peran yang saling bertolak belakang satu sama lain dan juga bersifat
fungsional. Mereka diasumsikan untuk membentuk suatu kecocokan yang alamiah,
sehingga peran – peran mereka akan saling melengkapi satu sama lain7. Parsons, dalam
penjelasannya mengatakan ‘laki – laki mendapatkan peran yang lebih instrumental,
sedangkan perempuan mendapatkan peran yang lebih ekspresif’8. Diferensiasi dua peran

4
Ibid.
5
http://edition.cnn.com/2011/CRIME/02/22/arizona.double.killing/index.html?hpt=Sbin
Diakses pada 30 Mei 2018 Pukul 15.02.
6
Stpehen Hicks.2008.Gender Role Model… who needs’em?. London: Sage Publications. Hlm. 44
7
Ibid, hlm.45
8
Ibid

3
berdasarkan jenis kelamin ini akhirnya memunculkan dua dikotomi sifat gender yakni
feminim untuk perempuan dan maskulin untuk laki – laki.

Secara tidak langsung akibat dari konstruksi dan sosialisasi peran gender ini, laki
– laki dalam masyarakat mendapatkan porsi peran yang lebih banyak, penting dan
bervariasi sedangkan bagi perempuan peran yang dikonstruksikan berdasarkan gender
cenderung lebih sedikit, bersifat komplementer dan cenderung lebih terbatas jika
dibandingkan dengan laki – laki. Sosialisasi dan kosntruksi gender juga berakibat pada
berkembangnya konstruksi terhadap sifat – sifat ‘wajib’ yang harus dimiliki oleh masing
– masing gender. Laki – laki dianggap memiliki sifat yang berani, gagah dan berperan
sebagai pemimpin sedangkan perempuan dianggap memiliki sikap yang lemah lembut,
kemayu dan telaten dalam urusan rumah tangga. Maka dari itu jika ada individu yang
berperilaku tidak sesuai dengan kosntruksi gender yang ada dalam masyarakat maka ia
akan dianggap menyimpang9.

Stereotip gender yang berkembang di masyarakat ini sangat mempengaruhi


kehidupan perempuan dalam berbagai sisi. Pemilih dalam pemilu akan memiliki ekspetasi
yang berbeda terhadap kandidat politik perempuan. Bisnis masih di dominasi oleh laki –
laki. Perempuan secara signifikan tidak ter-representasikan dengan baik dalam dunia ilmu
pengetahuan dan perempuan seringkali mendapatkan upah yang lebih kecil dibandingkan
laki – laki walaupun melakukan pekerjaan yang sama10 . Sektor sistem peradilan pidana
juga tak luput dari pengaruh stereotip ini. Akibat dari konstruksi peran gender yang
berkembang dalam masyarakat, perempuan sebagai pelaku akan di ekspektasikan hanya
akan melakukan tindak kejahatan yang sesuai dengan sifat gendernya.

Kejahatan seperti prostitusi, pencurian kecil – kecilan, penipuan dan jenis


keahatan feminim lainnya merupakan kosntruksi kejahatan yang lazim dilakukan oleh
perempuan menurut stereotip gender. Kejahatan yang cenderung bersifat ‘remeh’ ini
seringkali membuat ahli seperti Steven Box menyatakan bahwa kejahatan – kejahatan
yang dilakukan oleh perempuan merupakan the crime of the powerless11. Namun,

9
Ibid, 47
10
https://journalistsresource.org/studies/government/criminal-justice/courts-lenient-
sentencing-bond-women Diakses pada 30 Mei 2018 Pukul 15.21.
11
Pat Carlem. 1990. Women, Crime, Feminism, and Realism. Staffordshire: Social Justice/Global
Options. Hlm. 107.

4
bagaimana jika ada kasus kejahatan yang merupakan ciri khas kejahatan maskulin tetapi
menempatkan perempuan sebagai pelaku dalam jenis kejahatan tersebut ?.

Perempuan yang melakukan tindak kejahatan yang tidak sesuai dengan stereotip
gendernya diistilahkan telah melakukan tindak pelanggaran yang tidak hanya melawan
hukum negara tetapi juga ekspetasi peran gender12. Disaat perempuan menjadi tersangka
atas kasus semisal pembunuhan dan penganiayaan, maka kasus tersebut akan sangat
terekspos oleh media dikarenakan wacana yang terbentuk dalam masyarakat adalah
perempuan merupakan makhluk yang perhatian dan lemah lembut serta penyayang, maka
dari itu disaat perempuan bertindak di luar dari ekspetasi – ekspetasi diatas, masyarakat
akan melihat dia sebagai orang yang lebih buruk dibandingkan jika laki – laki melakukan
tindak kejahatan yang sama.

Paradigma seperti ini terhadap perempuan pelaku kekerasan tidak bisa dipisahkan
dari perspektif dan hegemoni patriarki yang berkembang di sebagian besar masyarakat
dewasa ini. Sistem yang menaruh laki – laki yang maskulin lebih dihargai dibandingkan
feminitas. Seringkali sistem ini dianggap sebagai sebuah sistem yang ditujukan untuk
mengontrol perempuan , terutama seksualitas mereka. Dalam kasus perempuan pelaku
kekerasan dalam persidangan, wacana patriarki yang meletakkan perempuan sebagai
makhluk yang lebih lemah sedikit banyak juga berkontribusi. Bagi perempuan yang
melawan konstruksi peran gender maka hukuman yang lebih kasar akan mereka terima
sebagai ganjarannya13 .

12
Randa Embry & Phillip M. Lyons, Jr. 2012 Sex-Based Sentencing: Sentencing Discrepancies
Between Male and Female Sex Offenders. Warrensburg: Sage Publications. Hlm. 146
13
Ibid

5
REVIEW LITERATUR

Literatur 1 :

Randa Embry & Phillip M. Lyons, Jr. (2012). Sex-Based Sentencing: Sentencing
Discrepancies Between Male and Female Sex Offenders. Warrensburg: Sage
Publications.

Penelitian yang dilakukan oleh Randa Embry dan rekan ini menganalisis
mengenai evil woman hypothesis dengan cara membandingkan perbedaan antra vonis
yang diberikan kepada perempuan dan laki – laki pelaku kekerasan seksual. Hasil analisis
statistik menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara lamanya vonis antara laki
– laki dengan perempuan, akan tetapi bukan seperti hasil yang di ekspektasikan. Evil
woman hypothesis akan menunjukkan bahwa perempuan akan dihukum lebih berat , akan
tetapi data menunjukkan bahwa laki – laki memperolah hukuman penjara yang lebih lama
untuk kasus kekerasan seksual dibanding perempuan. Perebedaan inipun dapat dijelaskan
menggunakan chivalry hypothesis.

Literatur 2 :

Tina L. Freiburger & Catherine D. Marcum. (2016). Women in the Criminal Justice
System: Tracking the Journey of Females and Crime, Chapter: 8 .Boca Raton: CRC
Press.

Bab yang dibahas adalah bab yang kedelapan dengan judul Violent Women.
Berdasarkan prediksi dari Frida Adler dalam bukunya Sisters in Crime, ia
memprediksikan bahwa angka pelaku perempuan akan meningkat. Peningkatan ini
disebabkan oleh munculnya jenis pelaku perempuan baru yang akan sekeras dan sebrutal
pelaku laki – laki. Kemunculannya dipicu oleh pembebasan perempuan dan gerakan –
gerakan feminis yang memperjuangkan status perempuan agar dapat setara dengan laki –
laki. Akan tetapi argumen dari Adler akhirnya terbantahkan dengan data statistik yang
masih menunjukkan dominasi laki – laki dalam dunia kekerasan kriminal. Namun,
argumen Adler telah menyebabkan sentimen tersendiri di mata publik. Media tetap
melanggengkan argumen ini, dan melaorkan bahwa perempuan sudah “menjadi liar” dan
menjadi lebih kasar dibanding mereka pada masa lalu. Meskipun banyak pemberitaan

6
medai yang memiliki sentimen negatif, angka perempuan pelaku kekerasan masih jauh
untuk dapat menyamai laki - laki

Literatur 3 :

Martin T. Hall et al. (2012). Designing Programming and Interventions for Women in
the Criminal Justice System. Louisville: Springer.

Tujuan menyeluruh dari tulisan ini adalah untuk menyediakan kerangka berpikir
komprehensif untuk mengembangkan program dan intervensi yang berbasis bukti dan
spesifik gender untuk tujuan mengurangi angka partisipasi perempuan dalam sistem
peradilan pidana. Pada bagian pertama dari artikel ini dijelaskan bahwa angka perempuan
yang masuk kedalam sistem peradilan pidana dan pada akhirnya divonis penjara
meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Angka penangkapan perempuan
meningkat 1,5% dari tahun 2005-2009 dan sekitar 800,000 perempuan AS saat ini berada
pada masa percobaan. Meningkatnya keterlibatan perempuan berdampak jelas pada
kesehatan dan kesejahteraan di Amerika Serikat. Dari mulai sebagian besar perempuan
yang ditahan sudah memiliki atau melahirkan dalam penjara dan dalam penjara pun
meletakkan perempuan menjadi kelompok yang paling berisiko untuk terinfeksi penyakit
berbahaya seperti HIV/AIDS. Maka dari itu artikel ini berusaha menyajikan basis teoritis
dan empiris mengenai urgensi diadakannya program dan intervensi untuk dapat
mengurangi angka perempuan dalam sistem peradilan pidana.

Literatur 4 :

Sheryl Kubiak et al. (2012). Assessing Short-Term Outcomes of an Intervention for


Women Convicted of Violent Crimes. Chicago: University of Chicago Press.

Perempuan yang terdakwa terhadap kasus kekerasan merepresentasikan


subpopulasi yang kecil namun penting dari kelompok perempuan yang terlibat dalam
sistem peradilan pidana. Petugas pemasyarakatan yang bekerja dengan perempuan pelaku
kekerasan cenderung mengandalkan program perlakuan dan rehabilitasi yang
diperuntukkan bagi laki – laki pelaku kekerasan. Permasalahan yang diangkat adalah
mengenai kurangnya intervensi khusus yang didesain untuk perempuan pelaku kekerasan.
Tulisan ini memaparkan riset awal mengenai intervensi berbasis pemulihan trauma, riset
dilakukan kepada 35 perempuan pelaku kekerasan dalam penjara.

7
Literatur 5 :

Stephen Hicks. (2008). Gender Role Models… who needs ‘em ?!. Salford: Sage
Publications.

Artikel ini menganalisis mengenai penggunaan teori sosialisasi dalam


perkembangan anak terutama dalam hal internalisasi peran gender tradisional.
Menjadikan riset – riset feminis sebagai basis, artikel ini lebih menekankan tulisannya
menjadi kritik atas teori sosialisasi mengenai peran gender yang argumen utamanya
adalah teori peran gender yan diinternalisasikan melalui sosialisasi dalam keluarga
bukanlah merupakan suatu kebutuhan bagi perkembangan anak, tapi lebih berfungsi
untuk membangun individu yang terbatas dan konservatif.

KERANGKA TEORI

Gender adalah serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan membedakan


maskulinitas dan femininitas. Karakeristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin (laki-
laki, perempuan, atau interseks), hal yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin (struktur
sosial sepeti peran gender), atau identitas gender14. Sedangkan identitas gender sendiri
merupakan bagaimana pikiran dan rasa seseorang mengenai gendernya sendiri. Identitas
gender seseorang dapat selaras dengan seksnya yang ditunjuk saat lahir atau justru
sepenuhnya berbeda. Seluruh masyarakat memiliki serangkaian kategori gender yang
berperan sebagai dasar pembentukan identitas sosial seseorang serta dalam hubungannya
dengan orang lain. Di kebanyakan masyarakat, perbedaan yang paling sederhana ada pada
sifat-sifat yang terkait dengan gender laki-laki dan perempuan yang disebut pula sebagai
binari gender yang dianut oleh kebanyakan orang. Gagasan tersebut juga mendorong
penyesuaian hal-hal yang dinilai maskulin dan feminin di segala aspek seks dan gender:
seks biologis, identitas gender, dan ekspresi gender15.

Dikotomi peran gender dalam masyarakat tidak lepas dari pengaruh internalisasi
budaya patriarki yang subur berkembang dalam budaya masyarakat hampir di seluruh

14
J. Richard Udry. 1994. The Nature of Gender. Carolina : Demography. Hlm.561
15
Eller, J. D. 2015. Culture and Diversity in the United States: So Many Ways to Be American.
Routledge. hlm. 137

8
dunia. Asumsi dari budaya patriariki adalah sistem masyarakat yang terbentuk dibuat oleh
laki – laki dan diperuntukkan untuk laki – laki, nilai – nilai maskulintas pun juga lebih
dihargai dibanding feminitas dalam sistem masyarakat patriarki. Secara implisit sistem
ini bermaksud untuk membuat perempuan menjadi subordinat dan meletakkan laki – laki
sebagai pihak yang mengontrol dan mendominasi perempuan dalam segala aspek
kehidupan, terutama dalam hal seksualitas. Cara patriarki melakukan hal tersebut adalah
dengan kemauan dan efektivitas karakteristik feminim dibanding maskulin dalam
masyarakat16.

Dalam tataran sistem peradilan pidana terutama dalam proses persidangan, ada
dua hipotesis yang berkembang mengenai perempuan yang menjadi pelaku kejahatan.
Dua hipotesis ini memaparkan argumen mengenai bagaimana pengadilan
memperlakukan perempuan serta karakteristik vonis yang diberikan, semuanya
dibandingkan dengan kondisi laki – laki yang juga diproses dalam pengadilan. Hipotesis
pertama bernama evil woman hypothesis, Hipotesis ini berargumen bahwa perempuan
akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dibandingkan laki – laki dalam sistem
peradilan pidana, dan menyampaikan bahwa perbedaan perlakuan ini merupakan hasil
dari gagasan bahwa pelaku perempuan tidak hanya telah melanggar norma hukum tetapi
juga ekspetasi konstruksi peran gender17. Sedangkan chivalry hypothesis menyatakan
bahwa perempuan yang melakukan kejahatan seringkali diberikan hukuman yang lebih
lunak dibanding laki – laki yang melakukan kejahatan. Satu alasan yang mungkin
menyebabkan hal ini adalah perempuan dalam konstruksi gender merupakan makhluk
yang lemah baik secara fisik maupun emosional dan merupakan makhluk yang senantiasa
peduli dan penyayang18. Pertanyaannya sekarang adalah hipotesis mana yang terbukti
benar berdasarkan data ?

Beralih ke hak yang lebih makro yakni, sistem peradilan pidananya itu sendiri
terutama dalam sistem hukum. Menurut argumentasi yang ada dalam teori feminis legal,

16
Randa Embry & Phillip M. Lyons, Jr. 2012 Sex-Based Sentencing: Sentencing Discrepancies
Between Male and Female Sex Offenders. Warrensburg: Sage Publications. Hlm. 151

17
Ibid, Hlm. 146
18
Meghan Chase. 2008. The Chivalry Hypothesis & Filicide: Are There Categorical Differences
between Mothers and Fathers who kill their Children?. Bridgewater: Undergraduate Review. Hlm.
1

9
atau juga dikenal dengan feminist jurisprudence, hukum secara fundamental historis
dalam subordinasi perempuan19. Hukum dibuat dan dirancang oleh laki –laki berdasarkan
perspektif dan pengalaman laki – laki dan mengabaikan pengalaman – pengalaman
perempuan.

ANALISIS

Dalam kajian feminis, kekerasan yang dilakukan oleh perempuan secara historis
merupakan topik yang tabu untuk dibahas. Akan tetapi dalam kajian feminis kontemporer
sebagian kecil dari subpopulasi perempuan ini mulai mendapatkan tempat dalam riset
mereka20. Sebelum membahas lebih lanut, ada baiknya kita untuk mengidentifikasi
beberapa asumsi yang mendukung analisis tentang perempuan yang menggunakan
kekerasan. Pertama, adalah pengakuan atas kesulitan diskursif dan statistikal saat para
feminsi mencoba untuk menganalisis isu ini dikarenakan cukup sulit untuk
mendefinisikan perbuatan seperti apa yang dikategorikan sebagai kekerasan dan siapa
yang memiliki kewenangan untuk memberikan definisi. Hal ini menyebabkan terjadinya
definitional dillemas21.

Asumsi yang kedua adalah, pengakuan atas sulitnya proses pelaporan dan
pengukuran angka kekerasan, dikarenakan realitanya sebagian besar kekerasan yang
dilakukan oleh perempuan merupakan kekerasan interpersonal yang banyak dilakukan
oleh orang – orang terdekat, terutama dalam keluarga. Asumsi ketiga berkaitan dengan
jenis – jenis kekerasan apa saja yang dilakukan oleh perempuan dan asumsi terakhir yang
secara signifikan mendukung analisis ini adalah pandangan bahwa perempuan juga
merupakan seorang manusia yang memiliki agensi/human agents, yang membuat mereka
memiliki kemampuan untuk bertindak dan membuat rangkaian pilihan berkaitan dengan
perilaku mereka dalam berbagai peristiwa22.

19
Martha A Fineman. 2015. Feminist Legal Theory. Journal of Gender, Social Policy and the Law.
Hlm 13-32
20
Lee Fitzroy. 2001. Violent Women: Questions for Feminist Theory, Practice and Policy. London:
Sage Publications. Hlm. 8.
21
Ibid
22
Ibid, Hlm.9

10
Merupakan hal yang sulit untuk menganalisis tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh perempuan jika tindakan tersebut bersifat interpersonal dan tidak dilaporkan ke
dalam sistem peradilan pidana. Alasan inilah yang kemungkinan membuat representasi
perempuan pelaku kekerasan dalam sistem peradilan pidana memiliki angka yang tidak
terlalu siginifikan. Namun, bagaimana jika tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh
perempuan sampai kedalam proses sistem peradilan pidana ?. Saat akan menganalisis
mengenai kondisi perempuan pelaku kekerasan dalam sistem peradilan pidana, pertama
– tama perlu diketahui tren angka kasus perempuan yang ditangkap atas kasus terkait.
Selama tahun 2003 – 2012, data dari UCR menunjukkan bahwa angka perempuan yang
ditangkap atas kasus kekerasan belum menurun pada tingkat yang sama besar dengan
laki-laki23

Sumber : Ibid

Selama rentang wakti ini, angka laki – laki yang ditangkap atas tindak
pembunuhan menurun sebesar 14%; untuk perempuan penurunannya berkisar 8%. Angka
untuk perampokan bagi laki – laki berkurang 7% sedangkan perempuan meningkat 20%,
dan jenis – jenis kejahatan lainnya yang tren penurunannya tidak seimbang antar kedua
gender. Penyebab mengenai fenomena ini masih menjadi misteri, apakah hal ini
disebabkan karena perkembangan gerakan – gerakan feminis yang membuat perempuan
sudah memiliki agensi yang sama seperti laki ?, atau karena faktor – faktor eksternal lain
yang menyebabkan demikian ?.

23
Tina L. Freiburger.2016. Women in the Criminal Justice System: Tracking the Journey of Females
and Crime. Boca Raton: CRC Press. Hlm. 119

11
Dalam analisis ini, kita tidak akan fokus mengkaji hal tersebut akan tetapi lebih
menganalisis mengenai proses pengadilan yang melibatkan perempuan dan bagaimana
kosntruksi gender dan budaya patriariki memengaruhi putusan – putusan tersebut. Dalam
pengambilan keputusan dalam pengadilan, hakim maupun juri tidak terlepas dari bias –
bias gender yang berkembang dan juga pengaruh dua hipotesis yang sudah dijelaskan
pada bagian sebelumnya yakni evil woman hypothesis dan chivalry hypothesis. Akan
tetapi berdasarkan berbagai riset terdahulu hipotesis yang lebih cocok dan lebih sering
muncul dan memengaruhi proses pengadilan alah chivalry hypothesis, dimana perempuan
mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibandingkan laki – laki dikarenakan konstruksi
peran gender yang memandang bahwa perempuan merupakan makhluk lemah dan
bukanlah seorang yang kasar. Berbagai riset menunjukkan memang terdapat perbedaan
dalam vonis atau putusan yang diberikan terhadap laki – laki pelaku tindak pidana
kekerasan dengan perempuan yang juga merupakan pelaku pada kasus yang sama.
Stereotip gender berperan besar dalam putusan yang diberikan. Dalam chivalry
hypothesis dikembangkan pula konsep blamewhortiness yakni tingkat kesalahan dari
perempuan setelah melalui pertimbangan peran gender24.

Faktor – faktor yang memengaruhi blameworthiness selain konstruksi peran


gender yang ada dalam masyarakat adalah faktor apakah perempuan yang sedang diadili
memiliki anak atau sedang mengasuh anak. Dua faktor ini berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Koon-Witt pada tahun 2002 mengungkapkan fakta baru mengenai
chivalry hypothesis yaitu hipotesis ini tidak berlaku bagi semua perempuan secara merata
akan tetapi hanya berlaku bagi perempuan yang memiliki karakteristik paling dekat
dengan konstruksi peran gender sebagai orang tua. Akan tetapi hasil penelitian Koon-Witt
menjadi kontradiktif dibandingkan denga penelitian Griffin & Woolredge di Ohio yang
tidak menemukan ada dispensasi atau toleransi khusus bagi perempuan pelaku kekerasan
yang juga memegang peran sebagaoi orang tua25.

Untuk benar – benar mencari tahu mengenai hipotesis manakah yang benar –
benar dapat menjelaskan disparitas hukuman yang diberikan antara laki – laki dan
perempuan dalam kasus kekerasan, ada baiknya kita menganalisis hal tersebut dari contoh

24
Randa Embry & Phillip M. Lyons, Jr. 2012 Sex-Based Sentencing: Sentencing Discrepancies
Between Male and Female Sex Offenders. Warrensburg: Sage Publications. Hlm. 149
25
Ibid.

12
kasus kekerasan yang sangat berbeda dari konstruksi gender yang telah ada yakni kasus
kekerasan seksual. Berdasarkan hasil riset yang dilakuan oleh Embry dan Lyons dari
utilisasi data yang sebelumnya telah dikumpulkan dari National Corrections Reporting
Program.

Sumber : Ibid, hlm. 157

Kesimpulan data yang didapat adalah terdapat perbedaan yang signifikan


mengenai panjangnya hukuman yang diberikan kepada laki – laki dan perempuan dalam
kasus kekerasan seksual, dimana laki – laki diberikan hukuman yang lebih lama, keras,
dan merupakan pidana penjara. Penemuan ini juga gagal untuk mendukung evil woman
hypothesis dan mendukung hipotesis chivalry26. Walaupun perempuan telah melakukan
perbuatan yang tidak sesuai dengan konstruksi gendernya, sistem hukum formal tidak
serta merta memberikan hukuman yang berlipat ganda (pelanggaran hukum dan
pelanggaran status) kepada perempuan tersebut, malahan hukuman yang lebih ringan dan
singkat lebih cenderung diberikan kepada perempuan pelaku kekerasan.

Fenomena ini ,walaupun sulit diakui, merupakan satu dari sedikit keuntungan
yang diperoleh dari adanya konstruksi peran gender di dalam masyarakat. Walaupun tak
bisa dipungkiri chivalry hypothesis sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya patriarkal
baik dalam sistem hukum yang memandang ‘rendah’ perempuan sebagai makhluk yang

26
Ibid, Hlm. 150

13
tidak mungkin melakukan kekerasan dan lemah lembut dan juga dalam sistem sosialnya
secara keseluruhan.

KESIMPULAN

Konstruksi peran gender yang berkembang di masyarakat yang mendikotomi


peran laki – laki yang maskulin dan perempuan yang feminim membuat sebuah sistem
pembagian kerja yang diskriminatif dalam masyarakat. Konstruksi peran yang dikenal
dengan istilah gender role models ini disosialisasikan oleh lembaga sosial primer seperti
keluarga, hal ini menyebabkan stereotip gender antara laki – laki dan perempuan akan
tetap subur perkembangannya. Alasan mengapa konstruksi peran gender ini negatif
adalah karena adanya kesenjangan antara peran – peran yang di delegasikan kepada laki
– laki dan kepada perempuan, peran laki – laki cenderung lebih dominan dan peran
perempuan cenderung lebih subordinat, berkembangnya konstruksi peran seperti ini akan
berakibat pada terinternalisasikannya budaya patriarki dari segala aspek kehidupan
terutama kehidupan perempuan, tak terkecuali sistem peradilan pidana.

Dalam proses melakukan tindak kejahatan, berdasarkan stereotip gender,


perempuan akan cenderung melakukan kejahatan yang tidak terlalu berat, kecil dan tidak
berbahaya seperti penipuan, pencurian kecil – kecilan dan prostitusi. Akan tetapi akan
menjadi dilema jika perempuan melakukan kejahatan yang tidak sesuai denagn ekspetasi
peran gendernya. Dalam sistem peradilan pidana khususnya pada tahapan pengadilan,
stereotip gender berperan dalam pemberian putusan berupa vonis dan pembebasan
bersyarat. Pengaruh yang ditimbulkan berupa bias – bias yang berkaitan dengan peran
gender yang ekspetasinya. Ada dua hipotesis yang berkembang berkaitan dengan isu ini
yaitu chivalry hypothesis atau paternalisme dan evil woman hypothesis.

Hipotesis pertama menyatakan bahwa perempuan akan mendapatkan hukuman


yang lebih lunak jika dibandingkan dengan laki – laki jika menjadi pelaku kekerasan
dikarenkan hakim dan juri terpengaruh oleh stereotip gender yang memandang
perempuan sebagai maklhluk yang feminim dan lemab lembut, dan jika melakukan
kekerasan pasti dilakukan karena faktor lain yang memaksa mereka melakukan hal
tersebut. Sedangkan hipotesis kedua beranggapan bahwa pengadilan cenderung

14
memberikan vonis yang lebih berat terhadap perempuan pelaku kekerasan, dikarenakan
selain telah melanggar norma hukum ia juga telah melanggar ekspetasi gendernya sebagai
makhluk yang lemah lembut dan feminim. Melalui riset yang dilakukan oleh oleh Embry
dan Lyons pada tahun 2012 menunjukkan bahwa kecendrungan pengadilan dalam
memberikan vonis lebih dipengaruhi oleh chivalry hypothesis dibandingkan dengan evil
women hypothesis.

15
DAFTAR PUSTAKA

Carlem, Pat. (1990). Women, Crime, Feminism, and Realism. Staffordshire: Social

Justice/Global Options.

Chase, Megan. (2008) . The Chivalry Hypothesis & Filicide: Are There Categorical

Differences Between Mothers and Fathers Who Kill Their Children?.


Bridgewater: Undergraduate Review.

CNN Wire Staff. (2011). Jury Decides On Death Penalty for Woman Who Headed

Vigilante Squad. Arizona: CNN.

http://edition.cnn.com/2011/CRIME/02/22/arizona.double.killing/index.html?hp

t=Sbin

Eller, J. D. (2015). Culture and Diversity in the United States: So Many Ways to Be

American. Routledge.

Embry, Randa & Phillip M. Lyons, Jr. (2012). Sex-Based Sentencing: Sentencing

Discrepancies Between Male and Female Sex Offenders. Warrensburg: Sage


Publications.

Fineman, Martha A. (2015). Feminist Legal Theory. Journal of Gender, Social Policy

and the Law.

Fitzroy, Lee. (2001). Violent Women: Questions for Feminist Theory, Practice and

Policy. London: Sage Publications.

Freiburger, Tina L .(2016). Women in the Criminal Justice System: Tracking the Journey

of Females and Crime. Boca Raton: CRC Press.

Hall, Martin T et al. (2012). Designing Programming and Interventions for Women in the

Criminal Justice System.Louisville: Springer.

Kelsh, Chaz. (2015). Are criminal courts more lenient on women?. Journalist Resources.

16
https://journalistsresource.org/studies/government/criminal-justice/courts-
lenient- sentencing-bond-women.

Kubiak, Sheryl et al. (2012). Assessing Short-Term Outcomes of an Intervention for

Women Convicted of Violent Crimes. Chicago: University of Chicago Press.

Stpehen Hicks. (2008 ). Gender Role Model… who needs’em?. London: Sage

Publications.

Udry, J. Richard. (1994). The Nature of Gender. Carolina : Demography.

17

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai