net/publication/335258570
CITATIONS READS
0 185
5 authors, including:
Riezaldo Aulia
University of Indonesia
3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Riezaldo Aulia on 20 August 2019.
PELAKU KEKERASAN
Riezaldo Aulia
Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok,
16424, Indonesia
E-mail: riezaldo.aulia@ui.ac.id
ABSTRAK
The construction of gender roles that develops in the society often affects various aspects
of life, especially women's lives and invariably influences and raises the biases that exist in the
criminal justice system, especially in the judicial process and in its judgments. This paper attempts
to examine how the role of gender construction influences the judges’ sentences against women
perpetrators of violent crime which is not a feminine crime. Departing from the evil women
hypothesis and chivalry hypothesis as a basis concept. The author seeks to analyze through the
results of researches and other secondary sources and then tries to prove that whether women
who commit criminal offenses that are not correlated with feminine gender stereotypes, in this
case the crime is violent crime, convicted or treated more harshly than men who commited the
same crime or vice versa. At the same time the author also tries to use the legal feminist theoretical
approach to analyze how the criminal justice system is perceived as a system built by men and
for men but to be used as a system to find justice for women.
Keywords : gender roles, criminal justice system, women, violent crime, court sentences.
1
PENDAHULUAN
Dalam hal vonis dan penghukuman, perempuan yang masuk dalam sistem
peradilan pidana terutama yang sedang berada dalam tahap persidangan sebagian besar
selama prosesnya juga sedikit banyak akan dipengaruhi oleh konstruksi peran gender
dalam masyarakat. Satu dari beberapa penemuan siginifikan dalam penelitian terhadap
vonis dan penghukuman dalam sistem peradilan pidana adalah perlakuan terhadap
perempuan yang lebih lunak dalam pengadilan dibandingkan dengan laki – laki. Dalam
berbagai keputusan pengadilan seperti putusan tuntutan, pelepasan pra pengadilan,
keputusan penahanan tersangka dan vonis penjara bagi terdakwa semuanya menunjukkan
bahwa keputusan – keputusan tersebut cenderung bersifat lebih lunak terhadap
perempuan3.
Akan tetapi perlakuan yang lebih lunak ini hanya berlaku pada jenis – jenis
kejahatan yang memiliki keterkaitan dengan stereotip gender perempuan seperti
prostitusi, pencurian kecil – kecilan dan penipuan. Sedangkan untuk perempuan yang
melakukan jenis kejahatan yang berkontradiksi dengan peran gender mereka seperti kasus
kekerasan dan penganiayaan, cendrung diperlakukan lebih kerasn dibandinkan dengan
1
Martin T. Hall et al. 2012. Designing Programming and Interventions for Women in the Criminal
Justice System.Louisville: Springer. Hlm.27
2
Ibid,hlm. 28
3
Tina L. Freiburger.2016. Women in the Criminal Justice System: Tracking the Journey of Females
and Crime. Boca Raton: CRC Press. Hlm. 131
2
laki – laki di dalam pengadilan. Sebagai dampaknya perempuan yang melakukan jenis
kejahatan maskulin akan memperoleh vonis yang lebih berat dibanding laki – laki4.
Salah satu kasus yang dapat menggambarkan hal ini adalah kasus penembakan
dan pembunuhan yang dilakukan oleh Shawna Forde, seorang perempuan yang
merupakan aktivis anti-imigrasi ilegal yang didakwa memimpin regu serbu untuk
membunuh dua orang di Arizona pada tahun 2009, Amerika Serikat. Juri dalam
pengadilan tanpa ragu memilih hukuman mati untuk dijatuhkan kepada Forde. Jika juri
tidak memberikan suara mereka untuk hukuman mati maka hakim akan memutuskan
hukuman antara penjara seumur hidup dengan kemungkinan bebas bersyarat setelah
menjalani hukuman selama 35 tahun atau tidak memiliki kesempatan bebas bersyarat5
KERANGKA BERPIKIR
Ada satu kekuatan sosial yang sangat memengaruhi kondisi dan nasib perempuan
yang sedang berada dalam proses sistem peradilan pidana, yaitu konstruksi sosial
mengenai peran gender dalam masyarakat. Dikenal dengan istilah gender role models,
konstruksi mengenai peran gender ini senantiasa dikonstruksikan oleh lembaga – lembaga
sosial, terutama lembaga sosial primer seperti keluarga. Proses penginternalisasian
konstruksi sosial mengenai peran gender ini dilakukan dengan cara sosialisasi 6. Laki –
laki diasumsikan secara natural untuk melakukan peran – peran khusus (seperti bekerja
di luar rumah), begitupun dengan perempuan (mengasuh anak misalnya). Peran – peran
ini dilihat sebagai peran yang saling bertolak belakang satu sama lain dan juga bersifat
fungsional. Mereka diasumsikan untuk membentuk suatu kecocokan yang alamiah,
sehingga peran – peran mereka akan saling melengkapi satu sama lain7. Parsons, dalam
penjelasannya mengatakan ‘laki – laki mendapatkan peran yang lebih instrumental,
sedangkan perempuan mendapatkan peran yang lebih ekspresif’8. Diferensiasi dua peran
4
Ibid.
5
http://edition.cnn.com/2011/CRIME/02/22/arizona.double.killing/index.html?hpt=Sbin
Diakses pada 30 Mei 2018 Pukul 15.02.
6
Stpehen Hicks.2008.Gender Role Model… who needs’em?. London: Sage Publications. Hlm. 44
7
Ibid, hlm.45
8
Ibid
3
berdasarkan jenis kelamin ini akhirnya memunculkan dua dikotomi sifat gender yakni
feminim untuk perempuan dan maskulin untuk laki – laki.
Secara tidak langsung akibat dari konstruksi dan sosialisasi peran gender ini, laki
– laki dalam masyarakat mendapatkan porsi peran yang lebih banyak, penting dan
bervariasi sedangkan bagi perempuan peran yang dikonstruksikan berdasarkan gender
cenderung lebih sedikit, bersifat komplementer dan cenderung lebih terbatas jika
dibandingkan dengan laki – laki. Sosialisasi dan kosntruksi gender juga berakibat pada
berkembangnya konstruksi terhadap sifat – sifat ‘wajib’ yang harus dimiliki oleh masing
– masing gender. Laki – laki dianggap memiliki sifat yang berani, gagah dan berperan
sebagai pemimpin sedangkan perempuan dianggap memiliki sikap yang lemah lembut,
kemayu dan telaten dalam urusan rumah tangga. Maka dari itu jika ada individu yang
berperilaku tidak sesuai dengan kosntruksi gender yang ada dalam masyarakat maka ia
akan dianggap menyimpang9.
9
Ibid, 47
10
https://journalistsresource.org/studies/government/criminal-justice/courts-lenient-
sentencing-bond-women Diakses pada 30 Mei 2018 Pukul 15.21.
11
Pat Carlem. 1990. Women, Crime, Feminism, and Realism. Staffordshire: Social Justice/Global
Options. Hlm. 107.
4
bagaimana jika ada kasus kejahatan yang merupakan ciri khas kejahatan maskulin tetapi
menempatkan perempuan sebagai pelaku dalam jenis kejahatan tersebut ?.
Perempuan yang melakukan tindak kejahatan yang tidak sesuai dengan stereotip
gendernya diistilahkan telah melakukan tindak pelanggaran yang tidak hanya melawan
hukum negara tetapi juga ekspetasi peran gender12. Disaat perempuan menjadi tersangka
atas kasus semisal pembunuhan dan penganiayaan, maka kasus tersebut akan sangat
terekspos oleh media dikarenakan wacana yang terbentuk dalam masyarakat adalah
perempuan merupakan makhluk yang perhatian dan lemah lembut serta penyayang, maka
dari itu disaat perempuan bertindak di luar dari ekspetasi – ekspetasi diatas, masyarakat
akan melihat dia sebagai orang yang lebih buruk dibandingkan jika laki – laki melakukan
tindak kejahatan yang sama.
Paradigma seperti ini terhadap perempuan pelaku kekerasan tidak bisa dipisahkan
dari perspektif dan hegemoni patriarki yang berkembang di sebagian besar masyarakat
dewasa ini. Sistem yang menaruh laki – laki yang maskulin lebih dihargai dibandingkan
feminitas. Seringkali sistem ini dianggap sebagai sebuah sistem yang ditujukan untuk
mengontrol perempuan , terutama seksualitas mereka. Dalam kasus perempuan pelaku
kekerasan dalam persidangan, wacana patriarki yang meletakkan perempuan sebagai
makhluk yang lebih lemah sedikit banyak juga berkontribusi. Bagi perempuan yang
melawan konstruksi peran gender maka hukuman yang lebih kasar akan mereka terima
sebagai ganjarannya13 .
12
Randa Embry & Phillip M. Lyons, Jr. 2012 Sex-Based Sentencing: Sentencing Discrepancies
Between Male and Female Sex Offenders. Warrensburg: Sage Publications. Hlm. 146
13
Ibid
5
REVIEW LITERATUR
Literatur 1 :
Randa Embry & Phillip M. Lyons, Jr. (2012). Sex-Based Sentencing: Sentencing
Discrepancies Between Male and Female Sex Offenders. Warrensburg: Sage
Publications.
Penelitian yang dilakukan oleh Randa Embry dan rekan ini menganalisis
mengenai evil woman hypothesis dengan cara membandingkan perbedaan antra vonis
yang diberikan kepada perempuan dan laki – laki pelaku kekerasan seksual. Hasil analisis
statistik menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara lamanya vonis antara laki
– laki dengan perempuan, akan tetapi bukan seperti hasil yang di ekspektasikan. Evil
woman hypothesis akan menunjukkan bahwa perempuan akan dihukum lebih berat , akan
tetapi data menunjukkan bahwa laki – laki memperolah hukuman penjara yang lebih lama
untuk kasus kekerasan seksual dibanding perempuan. Perebedaan inipun dapat dijelaskan
menggunakan chivalry hypothesis.
Literatur 2 :
Tina L. Freiburger & Catherine D. Marcum. (2016). Women in the Criminal Justice
System: Tracking the Journey of Females and Crime, Chapter: 8 .Boca Raton: CRC
Press.
Bab yang dibahas adalah bab yang kedelapan dengan judul Violent Women.
Berdasarkan prediksi dari Frida Adler dalam bukunya Sisters in Crime, ia
memprediksikan bahwa angka pelaku perempuan akan meningkat. Peningkatan ini
disebabkan oleh munculnya jenis pelaku perempuan baru yang akan sekeras dan sebrutal
pelaku laki – laki. Kemunculannya dipicu oleh pembebasan perempuan dan gerakan –
gerakan feminis yang memperjuangkan status perempuan agar dapat setara dengan laki –
laki. Akan tetapi argumen dari Adler akhirnya terbantahkan dengan data statistik yang
masih menunjukkan dominasi laki – laki dalam dunia kekerasan kriminal. Namun,
argumen Adler telah menyebabkan sentimen tersendiri di mata publik. Media tetap
melanggengkan argumen ini, dan melaorkan bahwa perempuan sudah “menjadi liar” dan
menjadi lebih kasar dibanding mereka pada masa lalu. Meskipun banyak pemberitaan
6
medai yang memiliki sentimen negatif, angka perempuan pelaku kekerasan masih jauh
untuk dapat menyamai laki - laki
Literatur 3 :
Martin T. Hall et al. (2012). Designing Programming and Interventions for Women in
the Criminal Justice System. Louisville: Springer.
Tujuan menyeluruh dari tulisan ini adalah untuk menyediakan kerangka berpikir
komprehensif untuk mengembangkan program dan intervensi yang berbasis bukti dan
spesifik gender untuk tujuan mengurangi angka partisipasi perempuan dalam sistem
peradilan pidana. Pada bagian pertama dari artikel ini dijelaskan bahwa angka perempuan
yang masuk kedalam sistem peradilan pidana dan pada akhirnya divonis penjara
meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Angka penangkapan perempuan
meningkat 1,5% dari tahun 2005-2009 dan sekitar 800,000 perempuan AS saat ini berada
pada masa percobaan. Meningkatnya keterlibatan perempuan berdampak jelas pada
kesehatan dan kesejahteraan di Amerika Serikat. Dari mulai sebagian besar perempuan
yang ditahan sudah memiliki atau melahirkan dalam penjara dan dalam penjara pun
meletakkan perempuan menjadi kelompok yang paling berisiko untuk terinfeksi penyakit
berbahaya seperti HIV/AIDS. Maka dari itu artikel ini berusaha menyajikan basis teoritis
dan empiris mengenai urgensi diadakannya program dan intervensi untuk dapat
mengurangi angka perempuan dalam sistem peradilan pidana.
Literatur 4 :
7
Literatur 5 :
Stephen Hicks. (2008). Gender Role Models… who needs ‘em ?!. Salford: Sage
Publications.
KERANGKA TEORI
Dikotomi peran gender dalam masyarakat tidak lepas dari pengaruh internalisasi
budaya patriarki yang subur berkembang dalam budaya masyarakat hampir di seluruh
14
J. Richard Udry. 1994. The Nature of Gender. Carolina : Demography. Hlm.561
15
Eller, J. D. 2015. Culture and Diversity in the United States: So Many Ways to Be American.
Routledge. hlm. 137
8
dunia. Asumsi dari budaya patriariki adalah sistem masyarakat yang terbentuk dibuat oleh
laki – laki dan diperuntukkan untuk laki – laki, nilai – nilai maskulintas pun juga lebih
dihargai dibanding feminitas dalam sistem masyarakat patriarki. Secara implisit sistem
ini bermaksud untuk membuat perempuan menjadi subordinat dan meletakkan laki – laki
sebagai pihak yang mengontrol dan mendominasi perempuan dalam segala aspek
kehidupan, terutama dalam hal seksualitas. Cara patriarki melakukan hal tersebut adalah
dengan kemauan dan efektivitas karakteristik feminim dibanding maskulin dalam
masyarakat16.
Dalam tataran sistem peradilan pidana terutama dalam proses persidangan, ada
dua hipotesis yang berkembang mengenai perempuan yang menjadi pelaku kejahatan.
Dua hipotesis ini memaparkan argumen mengenai bagaimana pengadilan
memperlakukan perempuan serta karakteristik vonis yang diberikan, semuanya
dibandingkan dengan kondisi laki – laki yang juga diproses dalam pengadilan. Hipotesis
pertama bernama evil woman hypothesis, Hipotesis ini berargumen bahwa perempuan
akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dibandingkan laki – laki dalam sistem
peradilan pidana, dan menyampaikan bahwa perbedaan perlakuan ini merupakan hasil
dari gagasan bahwa pelaku perempuan tidak hanya telah melanggar norma hukum tetapi
juga ekspetasi konstruksi peran gender17. Sedangkan chivalry hypothesis menyatakan
bahwa perempuan yang melakukan kejahatan seringkali diberikan hukuman yang lebih
lunak dibanding laki – laki yang melakukan kejahatan. Satu alasan yang mungkin
menyebabkan hal ini adalah perempuan dalam konstruksi gender merupakan makhluk
yang lemah baik secara fisik maupun emosional dan merupakan makhluk yang senantiasa
peduli dan penyayang18. Pertanyaannya sekarang adalah hipotesis mana yang terbukti
benar berdasarkan data ?
Beralih ke hak yang lebih makro yakni, sistem peradilan pidananya itu sendiri
terutama dalam sistem hukum. Menurut argumentasi yang ada dalam teori feminis legal,
16
Randa Embry & Phillip M. Lyons, Jr. 2012 Sex-Based Sentencing: Sentencing Discrepancies
Between Male and Female Sex Offenders. Warrensburg: Sage Publications. Hlm. 151
17
Ibid, Hlm. 146
18
Meghan Chase. 2008. The Chivalry Hypothesis & Filicide: Are There Categorical Differences
between Mothers and Fathers who kill their Children?. Bridgewater: Undergraduate Review. Hlm.
1
9
atau juga dikenal dengan feminist jurisprudence, hukum secara fundamental historis
dalam subordinasi perempuan19. Hukum dibuat dan dirancang oleh laki –laki berdasarkan
perspektif dan pengalaman laki – laki dan mengabaikan pengalaman – pengalaman
perempuan.
ANALISIS
Dalam kajian feminis, kekerasan yang dilakukan oleh perempuan secara historis
merupakan topik yang tabu untuk dibahas. Akan tetapi dalam kajian feminis kontemporer
sebagian kecil dari subpopulasi perempuan ini mulai mendapatkan tempat dalam riset
mereka20. Sebelum membahas lebih lanut, ada baiknya kita untuk mengidentifikasi
beberapa asumsi yang mendukung analisis tentang perempuan yang menggunakan
kekerasan. Pertama, adalah pengakuan atas kesulitan diskursif dan statistikal saat para
feminsi mencoba untuk menganalisis isu ini dikarenakan cukup sulit untuk
mendefinisikan perbuatan seperti apa yang dikategorikan sebagai kekerasan dan siapa
yang memiliki kewenangan untuk memberikan definisi. Hal ini menyebabkan terjadinya
definitional dillemas21.
Asumsi yang kedua adalah, pengakuan atas sulitnya proses pelaporan dan
pengukuran angka kekerasan, dikarenakan realitanya sebagian besar kekerasan yang
dilakukan oleh perempuan merupakan kekerasan interpersonal yang banyak dilakukan
oleh orang – orang terdekat, terutama dalam keluarga. Asumsi ketiga berkaitan dengan
jenis – jenis kekerasan apa saja yang dilakukan oleh perempuan dan asumsi terakhir yang
secara signifikan mendukung analisis ini adalah pandangan bahwa perempuan juga
merupakan seorang manusia yang memiliki agensi/human agents, yang membuat mereka
memiliki kemampuan untuk bertindak dan membuat rangkaian pilihan berkaitan dengan
perilaku mereka dalam berbagai peristiwa22.
19
Martha A Fineman. 2015. Feminist Legal Theory. Journal of Gender, Social Policy and the Law.
Hlm 13-32
20
Lee Fitzroy. 2001. Violent Women: Questions for Feminist Theory, Practice and Policy. London:
Sage Publications. Hlm. 8.
21
Ibid
22
Ibid, Hlm.9
10
Merupakan hal yang sulit untuk menganalisis tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh perempuan jika tindakan tersebut bersifat interpersonal dan tidak dilaporkan ke
dalam sistem peradilan pidana. Alasan inilah yang kemungkinan membuat representasi
perempuan pelaku kekerasan dalam sistem peradilan pidana memiliki angka yang tidak
terlalu siginifikan. Namun, bagaimana jika tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh
perempuan sampai kedalam proses sistem peradilan pidana ?. Saat akan menganalisis
mengenai kondisi perempuan pelaku kekerasan dalam sistem peradilan pidana, pertama
– tama perlu diketahui tren angka kasus perempuan yang ditangkap atas kasus terkait.
Selama tahun 2003 – 2012, data dari UCR menunjukkan bahwa angka perempuan yang
ditangkap atas kasus kekerasan belum menurun pada tingkat yang sama besar dengan
laki-laki23
Sumber : Ibid
Selama rentang wakti ini, angka laki – laki yang ditangkap atas tindak
pembunuhan menurun sebesar 14%; untuk perempuan penurunannya berkisar 8%. Angka
untuk perampokan bagi laki – laki berkurang 7% sedangkan perempuan meningkat 20%,
dan jenis – jenis kejahatan lainnya yang tren penurunannya tidak seimbang antar kedua
gender. Penyebab mengenai fenomena ini masih menjadi misteri, apakah hal ini
disebabkan karena perkembangan gerakan – gerakan feminis yang membuat perempuan
sudah memiliki agensi yang sama seperti laki ?, atau karena faktor – faktor eksternal lain
yang menyebabkan demikian ?.
23
Tina L. Freiburger.2016. Women in the Criminal Justice System: Tracking the Journey of Females
and Crime. Boca Raton: CRC Press. Hlm. 119
11
Dalam analisis ini, kita tidak akan fokus mengkaji hal tersebut akan tetapi lebih
menganalisis mengenai proses pengadilan yang melibatkan perempuan dan bagaimana
kosntruksi gender dan budaya patriariki memengaruhi putusan – putusan tersebut. Dalam
pengambilan keputusan dalam pengadilan, hakim maupun juri tidak terlepas dari bias –
bias gender yang berkembang dan juga pengaruh dua hipotesis yang sudah dijelaskan
pada bagian sebelumnya yakni evil woman hypothesis dan chivalry hypothesis. Akan
tetapi berdasarkan berbagai riset terdahulu hipotesis yang lebih cocok dan lebih sering
muncul dan memengaruhi proses pengadilan alah chivalry hypothesis, dimana perempuan
mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibandingkan laki – laki dikarenakan konstruksi
peran gender yang memandang bahwa perempuan merupakan makhluk lemah dan
bukanlah seorang yang kasar. Berbagai riset menunjukkan memang terdapat perbedaan
dalam vonis atau putusan yang diberikan terhadap laki – laki pelaku tindak pidana
kekerasan dengan perempuan yang juga merupakan pelaku pada kasus yang sama.
Stereotip gender berperan besar dalam putusan yang diberikan. Dalam chivalry
hypothesis dikembangkan pula konsep blamewhortiness yakni tingkat kesalahan dari
perempuan setelah melalui pertimbangan peran gender24.
Untuk benar – benar mencari tahu mengenai hipotesis manakah yang benar –
benar dapat menjelaskan disparitas hukuman yang diberikan antara laki – laki dan
perempuan dalam kasus kekerasan, ada baiknya kita menganalisis hal tersebut dari contoh
24
Randa Embry & Phillip M. Lyons, Jr. 2012 Sex-Based Sentencing: Sentencing Discrepancies
Between Male and Female Sex Offenders. Warrensburg: Sage Publications. Hlm. 149
25
Ibid.
12
kasus kekerasan yang sangat berbeda dari konstruksi gender yang telah ada yakni kasus
kekerasan seksual. Berdasarkan hasil riset yang dilakuan oleh Embry dan Lyons dari
utilisasi data yang sebelumnya telah dikumpulkan dari National Corrections Reporting
Program.
Fenomena ini ,walaupun sulit diakui, merupakan satu dari sedikit keuntungan
yang diperoleh dari adanya konstruksi peran gender di dalam masyarakat. Walaupun tak
bisa dipungkiri chivalry hypothesis sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya patriarkal
baik dalam sistem hukum yang memandang ‘rendah’ perempuan sebagai makhluk yang
26
Ibid, Hlm. 150
13
tidak mungkin melakukan kekerasan dan lemah lembut dan juga dalam sistem sosialnya
secara keseluruhan.
KESIMPULAN
14
memberikan vonis yang lebih berat terhadap perempuan pelaku kekerasan, dikarenakan
selain telah melanggar norma hukum ia juga telah melanggar ekspetasi gendernya sebagai
makhluk yang lemah lembut dan feminim. Melalui riset yang dilakukan oleh oleh Embry
dan Lyons pada tahun 2012 menunjukkan bahwa kecendrungan pengadilan dalam
memberikan vonis lebih dipengaruhi oleh chivalry hypothesis dibandingkan dengan evil
women hypothesis.
15
DAFTAR PUSTAKA
Carlem, Pat. (1990). Women, Crime, Feminism, and Realism. Staffordshire: Social
Justice/Global Options.
Chase, Megan. (2008) . The Chivalry Hypothesis & Filicide: Are There Categorical
CNN Wire Staff. (2011). Jury Decides On Death Penalty for Woman Who Headed
http://edition.cnn.com/2011/CRIME/02/22/arizona.double.killing/index.html?hp
t=Sbin
Eller, J. D. (2015). Culture and Diversity in the United States: So Many Ways to Be
American. Routledge.
Embry, Randa & Phillip M. Lyons, Jr. (2012). Sex-Based Sentencing: Sentencing
Fineman, Martha A. (2015). Feminist Legal Theory. Journal of Gender, Social Policy
Fitzroy, Lee. (2001). Violent Women: Questions for Feminist Theory, Practice and
Freiburger, Tina L .(2016). Women in the Criminal Justice System: Tracking the Journey
Hall, Martin T et al. (2012). Designing Programming and Interventions for Women in the
Kelsh, Chaz. (2015). Are criminal courts more lenient on women?. Journalist Resources.
16
https://journalistsresource.org/studies/government/criminal-justice/courts-
lenient- sentencing-bond-women.
Stpehen Hicks. (2008 ). Gender Role Model… who needs’em?. London: Sage
Publications.
17