Anda di halaman 1dari 4

Parlementaria edisi 122, TH.

XLV, 2015)

Sistem parlemen di Belanda hampir sama dengan Indonesia, Belanda menganut sistem bikameral
yakni Tweede Kamer (Majelis Rendah/House of Representative/Second Chamber) dan Earste Kamer
(Majelis Tinggi/Senat/First Chamber). Earste Kaamer merupakan lembaga yang beranggotakan
perwakilan dari daerah-daerah semacam propinsi, Tweede Kaamer yang merupakan lembaga
perwakilan yang anggotanya berasal dari parpol. Tweede Kamer beranggotakan 150 orang, dipilih
untuk masa 4 tahun dan dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui perwakilan partai politik.
Sedangkan Earste Kamer beranggotakan 75 orang yang dipilih oleh perwakilan provinsi untuk masa 6
tahun. Tweede Kamer memiliki kewenangan yang lebih dominan yakni melakukan pembahasan dan
pengusulan undang-undang serta kebijakan pemerintah lainnya, sedangkan Earste Kamer
mempunyai kewenangan untuk menerima atau menolak undang-undang yang akan disampaikan
kepada eksekutif, anggota Earste Kamer hanya melakukan rapat satu kali dalam seminggu.

Tweede Kamer memiliki struktur-struktur diantaranya adalah standing commitee yang bersifat tetap
yang di dalamnya adalah anggota parlemen yang mempunyai ketertarikan pada sebuah
subjek/pembahasan tertentu dalam konteks Indonesia standing committee ini bisa dikategorikan
sama seperti komisi. yang dilakukan oleh standing committee ini adalah tidak sekedar melakukan
rapat saja, namun mereka juga menyelenggarakan rapat dengar/debat publik untuk mendapatkan
gambaran opini dari masyarakat. selain itu secara berkala mereka juga melakukan kunjunan kerja
untuk mempelajari beberapa masalah yang perlu dibahas. hal-hal terkait dengan teknis pembahasan
di dalam sebuah undang-undang akan diselesaikan dalam committee meeting ini, yang selanjutnya
akan dibawa dalam plenary sitting/meeting untuk dibahas secara bersama-sama. Selain membahas
tentang undang-undang anggota Tweede Kamer juga bisa mengadakan rapat dengan eksekutif
untuk menanyakan kebijakan strategis yang dilakukan oleh eksekutif. pertanyaan yang diajukan oleh
anggota Tweede Kamer akan langsung dijawab oleh menteri terkait.

Apabila dalam sistem parlemen Indonesia dikenal istilah rapat paripurna, di Tweede Kamer istilah
plenary sitting/meeting digunakan untuk paripurna tersebut. plenary sitting harus memenuhi
quorum yakni dihadiri oleh minimal 76 anggota parlemen (atau setengah plus satu). selain itu ada
dikenal juga istilah join sitting dimana diadakan rapat antara Earst Kamer dengan Tweede Kamer.
Join sitting ini diselenggarakan tiap hari Selasa pada Minggu ke tiga bulan september yang juga
bertepatan dengan sidang pembukaan parlemen setiap tahunnya.

Proses pengambilan keputusan dalam committee meeting dilakukan dengan cara debate yang
terlaksana dalam beberapa tahap. tahap pertama atau biasa disebut sesi pertama diberikan kepada
kelompok politik (semacam fraksi) untuk menyampaikan pertanyaan atau pernyataan yang
kemudian ditanggapi oleh menteri yang bersangkutan atau sekretaris negara. apabila pada tahap
pertama dirasa kurang maka pembahasan dilanjutkan pada tahap berikutnya yakni dari masing-
masing anggota parlemen memberi pertanyaan yang kemudian akan dijawab oleh menteri yang
bersangkutan. tahapan itu akan terus berlanjut sampai ditemukan kesepemahaman antara anggota
parlemen dengan eksekutif.
Apabila dalam sebuah debat tidak terjadi titik temu maka keputusan diambil melalui voting, ada tiga
metode voting yakni: voting terbuka berdasarkan preferensi politik anggota parlemen, jadi, dalam
mengambil keputusan pimpinan sidang bersasumsi setiap anggota perlemen mewakili partai politik.
Yang kedua, voting terbuka berdasarkan masing-masing anggota, dalam voting dengan metode ini,
anggota parlemen bisa jadi mempunyai keputusan yang berbeda dengan partai politiknya. Yang
ketiga adalah voting tertutup yang dilakukan secara rahasiaProses Legislasi: Dari RUU menjadi UU

Apabila eksekutif ingin mengajukan undang-undang tertentu maka mereka dapat mengajukan draft
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibuat oleh departemen masing-masing yang sebelumnya
sudah dibahas dalam Council of Ministers. Dari Council of Ministers tersebut kemudian diajukan
kepada Council Of State yang bertugas untuk memberikan masukan yang detilnya akan dijelaskan
nanti. Selain eksekutif, Apabila Anggota parlemen ingin menginisiasi RUU, anggota parlemen
tersebut bisa meminta kepada eksekutif untuk mengajukan RUU, dalam kasus apabila eksekutif
menolak permintaan tersebut, maka anggota parlemen baik secara individu maupun berkelompok
bisa menginisiasi sebuah RUU yang nantinya disebut RUU inisiatif. Dalam proses pembuatan
rancangan undang-undang inisiatif dibantu oleh Legislation Office atau juga bisa dibantu oleh
Departemen (eksekutif) yang bersangkutan.

Setelah pembahasan oleh Council of Minister, RUU selanjutnya diajukan kepada Council Of State
untuk dimintakan masukan/saran/koreksi, masukan dari Council Of State ini berupa pengecekan dan
harmonisasi apakah sebuah RUU bertentangan dengan undang-undang yang lain atau tidak dan
sekaligus meneliti bagaimana dampak RUU tersebut terhadap masyarakat. Namun, meskipun
demikian, sang inisiator RUU tidak harus mengikuti saran dan masukan dari Council of State.
Tercatat selama ini, apabila sebuah RUU tidak mengikuti saran dari Council Of State peluang berubah
akan sangat besar karena dianggap tidak sesuai dengan ketentuan.

Sistem pemerintahan di Belanda adalah monarki konstitusional, oleh karena itu, sebelum RUU
diserahkan kepada Tweede Kamer untuk dibahas, eksekutif menyampaikan RUU tersebut dulu
kepada Raja dengan disertakan hasil masukan dari Council Of State tadi. Proses ini dinamai dengan
istilah “The Royal Message” dimana Raja menambahkan sebuah catatan menyertai RUU tersebut
untuk diserahkan kepada tweede kamer. berikut adalah contoh catatan Raja:The Royal Message

We send you herewith, for consideration, a proposal for law (judul RUU). The explanatory notes that
accompany the proposal for law specify the grounds on which it is based.

We commend you to God’s Holy Protection.

The Hague (Hari)

Willem-Alexander
Setelah sebuah RUU mendapatkan “The Royal Message”, kemudian RUU tersebut akan dipelajari
oleh Standing Committee, dalam pembahasannya semua kelompok politik bisa mengajukan
perubahan, pertanyaan ataupun catatan atas RUU tersebut. Standing committee bisa mengundang
para pakar/ahli dan juga stakeholder dari masyarakat untuk dilibatkan dalam pembahasan RUU.
Hasil pembahasan Standing Committee akan menjadi sikap resmi Tweede Kamer atas sebuah RUU
yang kemudian disampaikan kepada Eksekutif yakni pihak yang mengajukan RUU. kemudian
Eksekutif/Pemerintah yang bersangkutan akan menjawab melalui Memorandum Of Reply. proses ini
dilakukan secara terbuka dimana masyarakat juga bisa memantau.

Setelah disepakati oleh Standing Committee, RUU tersebut diajukan ke Plenary Debate yang
bertujuan untuk menerima atau merubah RUU sebuah RUU (amending and adopting). proses
Plenary Debate adalah pihak yang mengajukan RUU mencoba mempertahankan RUU tersebut untuk
disahkan, sedangkan para anggota Tweede Kamer mengkritisi, menyetujui atau mengusulkan
perubahan pada RUU tersebut. Apabila RUU tersebut hanya disetujui sebagiannya saja maka
anggota Tweede Kamer bisa mengajukan amendments (perubahan).

Apabila sebuah RUU sudah mendapatkan persetujuan dari Tweede Kamer, selanjutnya sebuah RUU
diajukan kepada Earste Kamer untuk disetujui atau tidak. Earste Kamer kemudian melakukan
pembahasan secara globalnya saja dan hanya berwenang untuk menerima atau menolak sebuah
RUU, mereka tidak mempunyai kewenangan untuk merubah atau mengusulkan perubahan sebuah
RUU. Dalam praktiknya Earste Kamer ini selalu mendukung kebijakan eksekutif, jadi penolakan atau
penerimaan sebuah RUU didasarkan pada kepentingan eksekutif. Dalam kasus apabila terdapat
indikasi bahwa sebuah RUU akan ditolak oleh Earste Kamer maka pemerintah bisa mengajukan
perubahan RUU yang diistilahkan dengan “novelleSetelah mendapatkan persetujuan dari earste
kamer, Raja akan mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang yang kemudian akan
diperkuat dengan pengesahan oleh kementerian terkait. dalam praktiknya bukan lah Raja secara
literally yang mengesahkan undang-undang namun, kementerian terkait lah yang mengesahkan
undang-undang tersebut, setelah semua proses terlalui selanjutnya kementerian Hukum akan
mengesahkan undang-undang tersebut dan akan menyebarkannya kepada masyarakat.

Pengawasan dan Anggaran di Parlemen Belanda

Mekanisme monarki konstitusional dengan sistem parlementer yang dijalankan oleh Kerajaan
Belanda berdampak model pengawasan yang dilakukan oleh Parlemen (States General). Sesuai
dengan pasal 42 Konstitusi Kerajaan Belanda, bahwa pemerintahan harus terdiri dari Raja dan para
Menteri. Para menteri ini dipimpin oleh Perdana Menteri dan bertanggungjawab kepada Parlemen
dalam menjalankan pemerintahan (Andeweg dan Irwin: 2002). Dalam menjalankan fungsi
pengawasan, Parlemen memiliki hak untuk bertanya kepada Pemerintah, dimana Pemerintah tidak
boleh menolak kecuali dengan alasan raison d’etat atau kepentingan negara. Pertemuan dengan
Pemerintah ini dilakukan setiap minggu, biasanya setiap hari Selasa, dan didahului dengan
memberikan pertanyaan tertulis kepada Parlemen, setelah Parlemen menjawab, biasanya akan diisi
debat kecil antara kedua belah pihak.
Kedua kamar di States General secara umum memiliki hak yang sama, mereka berhak untuk
menyatakan pendapat, melakukan investigasi (hak angket), mengajukan pertanyaan dan
mengajukan interpelasi (ProDemos: 2013). Tetapi, Tweede Kamer akan berperan lebih dominan,
karena merekalah yang membawahi komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan Pemerintah.
Mengenai hak-hak States General ini, terlihat banyak kemiripan dengan praktik yang dewasa ini
terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam hal mengajukan pertanyaan atau
pengajuan pendapat, Parlemen boleh menyampaikannya secara lisan maupun tulisan. Jika ada
kegentingan yang mendesak, Parlemen sewaktu-waktu dapat memanggil Menteri atau Perdana
Menteri untuk melakukan emergency debate yang harus mendapatkan persetujuan mayoritas
(Netherlands Institute of Multiparty Democracy: 2003).

Parliamentary Inquiry menjadiinstrumen kontrol paling efektif di Parlemen Kerajaan Belanda.


Konsep Parliamentary Inquiry ini mirip dengan Panitia Angket di DPR RI, dimana anggota Parlemen
memiliki hak untuk melakukan investigasi mendalam terkait suatu hal, dan anggota Parlemen
memiliki hak untuk bertanya kepada semua pemangku kepentingan dibawah sumpah. Hasil dari
Parliamentary Inquiry ini kemudian disampaikan secara tertulis kepada Tweede Kamer dan Earst
Kamer dalam bentuk rekomendasi kebijakan. Meskipun Parliamentary Inquiry merupakan instrumen
yang kuat, mereka tidak memiliki hak untuk memberikan hukuman atas sebuah kebijakan
(Parliamentary Inquriy: The Dutch House of Representatives, 2015).

Selain fungsi legislasi dan pengawasan, Parlemen Kerajaan Belanda juga memiliki fungsi anggaran.
Kedua kamar di Parlemen Kerajaan Belanda memiliki hak yang sama terkait dengan fungsi anggaran
ini, mereka berhak untuk menerima maupun menolak besaran anggaran yang diajukan oleh Perdana
Menteri. Kuasa atas anggaran ini menjadi penting, karena tanpa persetujuan dari Parlemen maka
kabinet tidak akan dapat menjalankan Pemerintahan. Rancangan anggaran ini kemudian
disampaikan dalam bentuk Budget Memorandum, dan National Budget kepada States General pada
Prince’s Day. Prince’s Day jatuh setiap hari Selasa ketiga bulan September. Pada Prince’s Day ini Raja
Belanda akan memberikan pidatonya selaku kepala negara dihadapan States General (Prince’s Day:
The Dutch House of Representatives, 2015). Parlemen kemudian akan melakukan pembahasan
terhadap rancangan anggaran ini yang dilakukan oleh Tweede dan Earst Kamer. Dalam perdebatan
yang dilakukan, dimungkinkan adanya perubahan baik penambahan ataupun pengurangan anggaran
selama hal tersebut dibutuhkan (ProDemos, 2013). Konsep ini juga mirip dengan terjadi di Indonesia
melalui pengantar nota keuangan dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI setiap tanggal 16 Agustus.

Anda mungkin juga menyukai