Anda di halaman 1dari 1

Jarum pendek jam menunjukkan angka empat. Aku menghela napasku.

Kenapa dia belum kunjung


pulang, waktu sekolah hanya sampai pukul tiga, dia juga seharusnya tidak ada kegiatan
ekstrakurikuler hari itu. Aku mengambil telepon genggamku, ya, sepertinya berdering namun tidak
dijawab. Dimanakah dia? Dia, Jenisa Nababan. Dia merupakan orang Papua sepertiku, dengan
rambut keritingnya yang cantik dan senyumnya yang manis. Ku tak dapat mengalihkan pandanganku
darinya dan segala hal tentangnya. Jenisa, ya nama yang selalu ada di dalam benakku. Dan aku,
Yohanes Liben, seorang murid biasa yang sama-sama duduk di bangku SMA kelas 11.

Tak lama aku mendengar ketukan di pintu. “Yohanes, elu belum pulang?” tak salah lagi suara itu dari
temanku Keisha, “nungguin pacarlu ya?” “Engga kok,” ujarku. “Ah masa sih?” tanyanya kembali.
Benar saja, sepertinya rumorku dengannya sudah tersebar luas “Jeni lagi di ruangan gue sama Pak
Herman,” ucapannya memotong alur pikirku. Aku segera bangkit dari tempat duduk dan melangkah
keluar kelas. Aku berjalan pelan menuju kelas Keisha, dan aku melihat Jeni sedang duduk di hadapan
Pak Herman. Wah,sepertinya dia mendapatkan penawaran lomba. Benar saja, tak lama Jeni keluar.
“Hai,” sapanya. “Oh hai,” sapaku kembali, “lagi ngapain?” “Ditawarin KSN,” ujarnya. “Wuih keren
banget,” jawabku. Seperti hari-hari lain aku mengantarnya pulang. Untungnya, orang tuanya masih
menganggap kami sebatas teman, karena kami satu-satunya murid pindahan Papua di sekolah itu.
Keesokan harinya ketika aku hendak menjemput Jenisa, bapaknya keluar dari rumah dengan raut
muka marah. “Karena kamu, anak saya tak berhenti menangis dari tadi pagi!” Aku terkejut, “lho, ada
apa Pak?” tanyaku.

Anda mungkin juga menyukai