Anda di halaman 1dari 43

Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Gangguan Psikososial dan Spiritual

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Gerontik

Disusun Oleh :
Annisa Nurul Jannah AK118019
Asri Kartika Sumirat AK118024
Badru Fajar AK118028
Ellsa Nadila AK118053
Fathunnisa Imarah Nusyaibah AK118060
Hana Nabiilah AK118071
Nadia Permatasari AK118116
Nida Aulia AK118123
Tri Arieyanto H AK118193
Yuliana Nurannisa AK118208

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKT KENCANA BANDUNG
2021
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Lansia dengan Gangguan Psikososial dan Spiritual”
Dimana dalam penulisan makalah ini kami berharap kepada pembaca agar dapat
memahami dan mengerti tentang Asuhan Keperawatan pada lansia dengan gangguan
psikososial dan spiritual.
Dalam penulisan makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penulisan makalah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu
dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran, yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita. Akhir kata kami meminta maaf, apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat banyak kesalahan yang mungkin dapat kita maklumi bersama.

i
Daftar Isi
Kata Pengantar.....................................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................................ii
BAB I..................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................................1
BAB II.................................................................................................................................2
PEMBAHASAN ................................................................................................................2
2.1 Pengertian Lansia..........................................................................................................2
2.2 Pengertian Psikososial Pada Lansia...............................................................................6
2.3 Pengertian Spiritual Pada Lansia...................................................................................11
2.4 Asuhan Keperawatan ....................................................................................................18
BAB III...............................................................................................................................40
PENUTUP..........................................................................................................................40
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................40
3.2 Saran..............................................................................................................................40
Daftar Pustaka......................................................................................................................41

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lansia adalah seseorang yang telah berusia 260 tahun dan tidak berdaya mencari
nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Ratnawati, 2017).
Kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah
berusia 60 tahun, mengalami penurunan kemampuan beradaptasi, dan tidak berdaya
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seorang diri.
Angka kesehatan penduduk lansia tahun 2014 sebesar 25,05%, artinya bahwa dari
setiap 100 orang lansia terdapat 25 orang di antaranya mengalami sakit. Penyakit
terbanyak adalah penyakit tidak menular (PTM) antar lain hipertensi, artritis, strok,
diabetes mellitus (Ratnawati, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Lansia ?
2. Apa pengertian dari Psikologi pada Lansia?
3. Bagaimana Kehidupan sosial Lansia?
4. Apa pengertian spiritual pada lansia ?
5. Bagaimana Asuhan Keperawatan lansia dengan gangguan Psiko Sosial dan spiritual ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Lansia
2. Mengetahui pengertian Psikologi Lansia
3. Mengetahui bagaimana kehidupan Sosial Lansia
4. Mengetahui pengertian Spiritual pada Lansia
5. Mengetahui Asuhan Keperawatan Lansia dengan Gangguan Psiko, Sosial dan Spiritual

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Teori
1. Pengertian Lansia
Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis (Effendi, 2009).
Lansia adalah seseorang yang telah berusia 260 tahun dan tidak berdaya
mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Ratnawati,
2017). Kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang
yang telah berusia 60 tahun, mengalami penurunan kemampuan beradaptasi, dan
tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seorang diri.
Klasifikasi Lansia :
1) Young old (usia 60-69 tahun).
2) Middle age old (usia 70-79 tahun)
3) Old-old (usia 80-89 tahun)
4) Very old-old (usia 90 tahun ke atas)
Karakteristik Lansia
1) Usia
Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah
seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Ratnawati, 2017).
2) Jenis Kelamin
Data Kemenkes RI (2015), lansia didominasi oleh jenis kelamin perempuan.
Artinya, ini menunjukkan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah
perempuan (Ratnawati, 2017).
3) Status Pernikahan
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS 2015, penduduk lansia ditilik dari
status perkawinannya sebagian besar berstatus kawin (60 %) dan cerai mati (37
%). Adapun perinciannya yaitu lansia perempuan yang berstatus cerai mati
sekitar 56,04 % dari keseluruhan yang cerai mati, dan lansia laki-laki yang
berstatus kawin ada 82,84 %. Hal ini disebabkan usia harapan hidup perempuan
lebih tinggi dibandingkan dengan usia harapan hidup laki-laki, sehingga

2
presentase lansia perempuan yang berstatus cerai mati lebih banyak dan lansia
laki-laki yang bercerai umumnya kawin lagi (Ratnawati, 2017).
4) Pekerjaan
Mengacu pada konsep active ageing WHO, lanjut usia sehat berkualitas adalah
proses penuaan yang tetap sehat secara fisik, sosial dan mental sehingga dapat
tetap sejahtera sepanjang hidup dan tetap berpartisipasi dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan data Pusat
Data dan Informasi Kemenkes RI 2016 sumber dana lansia sebagian besar
pekerjaan/usaha (46,7%), pensiun (8,5%) dan (3,8%) adalah tabungan, saudara
atau jaminan sosial (Ratnawati, 2017).
5) Pendidikan Terakhir
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Darmojo menunjukkan bahwa pekerjaan
lansia terbanyak sebagai tenaga terlatih dan sangat sedikit yang bekerja sebagai
tenaga professional. Dengan kemajuan pendidikan diharapkan akan menjadi lebih
baik (Darmojo & Martono, 2006).
6) Kondisi Kesehatan
Angka kesakitan, menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2016)
merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat
kesehatan penduduk. Semakin rendah angka kesakitan menunjukkan derajat
kesehatan penduduk yang semakin baik.

Angka kesehatan penduduk lansia tahun 2014 sebesar 25,05%, artinya bahwa
dari setiap 100 orang lansia terdapat 25 orang di antaranya mengalami sakit.
Penyakit terbanyak adalah penyakit tidak menular (PTM) antar lain hipertensi,
artritis, strok, diabetes mellitus (Ratnawati, 2017).
Perubahan pada Lanjut Usia

Menurut Potter & Perry (2009) proses menua mengakibatkan terjadinya


banyak perubahan pada lansia yang meliputi:
1) Perubahan Fisiologis
Pemahaman kesehatan pada lansia umumnya bergantung pada persepsi pribadi
atas kemampuan fungsi tubuhnya. Lansia yang memiliki kegiatan harian atau
rutin biasanya menganggap dirinya sehat, sedangkan lansia yang memiliki
gangguan fisik, emosi, atau sosial yang menghambat kegiatan akan menganggap

3
dirinya sakit Perubahan fisiologis pada lansia bebrapa diantaranya, kulit kering,
penipisan rambut, penurunan pendengaran, penurunan refleks batuk, pengeluaran
lender, penurunan curah jantung dan sebagainya. Perubahan tersebut tidak
bersifat patologis, tetapi dapat membuat lansia lebih rentan terhadap beberapa
penyakit. Perubahan tubuh terus menerus terjadi seiring bertambahnya usia dan
dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya hidup, stressor, dan lingkungan.
2) Perubahan Fungsional
Fungsi pada lansia meliputi bidang fisik, psikososial, kognitif, dan sosial.
Penurunan fungsi yang terjadi pada lansia biasanya berhubungan dengan penyakit
dan tingkat keparahannya yang akan memengaruhi kemampuan fungsional dan
kesejahteraan seorang lansia. Status fungsional lansia merujuk pada kemampuan
dan perilaku aman dalam aktivitas harian (ADL). ADL sangat penting untuk
menentukan kemandirian lansia. Perubahan yang mendadak dalam ADL
merupakan tanda penyakit akut atau perburukan masalah kesehatan.
3) Perubahan Kognitif
Perubahan struktur dan fisiologis otak yang dihubungkan dengan gangguan
kognitif (penurunan jumlah sel dan perubahan kadar neurotransmiter) terjadi pada
lansia yang mengalami gangguan kognitif maupun tidak mengalami gangguan
kognitif. Gejala gangguan kognitif seperti disorientasi, kehilangan keterampilan
berbahasa dan berhitung, serta penilaian yang buruk bukan merupakan proses
penuaan yang normal.
4) Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial selama proses penuaan akan melibatkan proses transisi
kehidupan dan kehilangan. Semakin panjang usia seseorang, maka akan semakin
banyak pula transisi dan kehilangan yang harus dihadapi. Transisi hidup, yang
mayoritas disusun oleh pengalaman kehilangan, meliputi masa pensiun dan
perubahan keadaan finansial, perubahan peran dan hubungan, perubahan
kesehatan, kemampuan fungsional dan perubahan jaringan sosial.
Menurut Ratnawati (2017) perubahan psikososial erat kaitannya dengan
keterbatasan produktivitas kerjanya Oleh karena itu, lansia yang memasuki masa-
masa pensiun akan mengalami kehilangan-kehilangan sebagai berikut :
a) Kehilangan finansial (pedapatan berkurang)
b) Kehilangan status (jabatan/posisi, fasilitas)
c) Kehilangan teman/kenalan atau relasi

4
d) Kehilangan pekerjaan/kegiatan Kehilangan ini erat kaitannya dengan
beberapa hal sebagai berikut :
- Merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan bahan cara hidup
(memasuki rumah perawatan, pergerakan lebih sempit).
- Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan Biaya hidup
meningkat padahal penghasilan yang sulit, biaya pengobatan
bertambah
- Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan fisik.
- Timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.
- Adanya gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan kesulitan.
- Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
- Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
keluarga.
- Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik (perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri)
Ciri – ciri Lansia
1) Lansia Merupakan periode kemunduran, Kemunduran pada lansia sebagian
datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Motivasi memiliki peran yang
penting dalam kemunduran pada lansia Misalnya lansia yang memiliki motivasi
yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses
kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang
tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
2) Lansia memiliki status kelompok minoritas. Kondisi ini sebagai akibat dari sikap
sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat
yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang mempertahankan
pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga
lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap social
masyarakat menjadi positif.
3) Menua membutuhkan perubahan peran, perubahan peran tersebut dilakukan
karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran
pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar
tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat
sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia sebagai
ketua RW karena usianya.

5
4) Penyesuaian yang buruk pada lansia, perlakuan yang buruk terhadap lansia
membuat mereka cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga
dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. A kibat dari perlakuan yang
buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula Contoh : lansia
yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan
keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang menyebabkan
lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga
diri yang rendah (Kholifah, 2016).

Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Penuaan :


1. Hereditas atau ketuaan genetic;
2. Nutrisi atau makanan;
3. Status kesehatan;
4. Pengalaman hidup,
5. Lingkungan;
6. Stres (Kholifah, 2016).

2. Pengertian Psikologi dan Sosial Pada Lansia


a. Pengertian Psikososial
Psikososial berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek
psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial
mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya
(Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI dalam Yuanita, 2016). Psikososial
merupakan hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental
atau emosionalnya yang melibatkan aspek psikologis dan aspek sosial.
Psikososial menunjuk pada hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan
sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain.
b. Teori Perubahan Psikososial Lansia
Teori yang berkaitan dengan perubahan psikososial lansia menurut Aspiani
(2014) yaitu :
Teori Psikologi
a) Teori Tugas Perkembangan, Menurut Havigurst (1972) Teori ini
menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa tua adalah :
- Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan

6
- Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya
penghasilan
- Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
- Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya (5)
Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
- Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes Penyesuaian diri
yang dilakukan lansia yakni untuk beradaptasi dengan perubahan-
perubahan yang harus dilalui oleh seorang lansia sehingga dapat
mencapai tugas perkembangan yang sesuai.
b) Teori Individual Jung, Kepribadian individu terdiri dari Ego,
ketidaksadaran seseorang dan ketidaksadaran bersama. Kepribadian
digambarkan terhadap dunia luar atau kearah subjektif dan
pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan
antara kekuatan tersebut merupakan hal penting bagi kesehatan mental.
c) Teori Delapan Tingkat Kehidupan, Tugas perkembangan pada usia tua
yang harus dijalani adalah untuk mencapai keseimbangan hidup atau
timbulnya perasaan putus asa. Teori perkembangan menurut Erickson
tentang penyelarasan integritas diri dapat dipilih dalam tiga tingkat
yaitu pada perbedaan ego terhadap peran perkerjaan preokupasi,
perubahan tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego terhadap
ego preokupasi. Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan
preokupasi, tugas perkembangan yang harus dijalani oleh lansia adalah
menerima identitas diri sebagai orang tua dan mendapatkan dukungan
yang adekuat dari lingkungan untuk menghadapi adanya peran baru
sebagai orang tua (preokupasi). Adanya pensiun dan atau pelepasan
pekerjaan merupakan hal yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang
menyakitkan dan menimbulkan penurunan harga diri.

c. Faktor yang mempengaruhi kesehatan psikososial lansia menurut Kuntjoro


(2002), antara lain:
1) Penurunan Kondisi Fisik, Setelah orang memasuki masa lansia umumnya
mulai dihinggapi adanya penurunan kondisi fisik yang berganda (multiple
pathology). Menurut Ratnawati (2017) perubahan fisik terdiri dari:

7
- Perubahan pada kulit: kulit wajah, leher, lengan, dan tangan menjadi
lebih kering dan keriput. Kulit dibagian bawah mata berkantung dan
lingkaran hitam dibawah mata menjadi lebih jelas dan permanen.
Selain itu warna merah kebiruan sering muncul di sekitar lutut dan di
tengah tengkuk. Rambut rontok, warna berubah menjadi putih, kering
dan tidak mengkilap.
- Perubahan otot: otot orang yang berusia madya menjadi lembek dan
mengendur di sekitar dagu, lengan bagian atas dan perut.
- Perubahan pada persendian: masalah pada persendian terutama pada
bagian tungkai dan lengan yang membuat mereka menjadi agak sulit
berjalan.
- Perubahan pada gigi: gigi menjadi kering, patah, dan tanggal sehingga
lansia kadang-kadang menggunakan gigi palsu.
- Perubahan pada mata: mata terlihat kurang bersinar dan cenderung
mengeluarkan kotoran yang menumpuk di sudut mata, kebanyakan
menderita presbiopi, atau kesulitan melihat jarak jauh, menurunnya
akomodasi karena penurunan elastisitas mata.
- Perubahan pada telinga: fungsi pendengaran sudah mulai menurun,
sehingga tidak sedikit yang menggunakan alat bantu pendengaran.
- Perubahan pada sistem pernapasan: napas menjadi lebih pendek dan
sering tersengal-sengal, hal ini akibat penurunan kapasitas total paru-
paru, residu volume paru dan konsumsi oksigen nasal, ini akan
menurunkan fleksibilitas dan elastisitas paru.
2) Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual, Penurunan fungsi dan potensi
seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan
fisik seperti:
a) Gangguan jantung
b) Gangguan metabolisme
c) Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
d) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu
makan sangat kurang.
e) Penggunaan obat-obatan tertentu, seperti antihipertensi atau
golongan steroid.

8
d. Factor psikologis yang menyertai lansia lain :
1) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
2) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh
tradisi dan budaya.
3) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
4) Pasangan hidup telah meninggal.
5) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa
lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan sebagainya.

e. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat


Peran merupakan kumpulan dari perilaku yang secara relatif homogen
dibatasi secara normative dan diharapkan dari seseorang yang menempati posisi
sosial yang diberikan. Peran berdasarkan pada pengharapan atau penetapan
peran yang membatasi apa saja yang harus dilakukan oleh individu di dalam
situasi tertentu agar memenuhi pengharapan diri atau orang lain terhadap
mereka (Friedman, 2014). Peran dapat diartikan sebagai seperangkat tingkah
laku yang diharapkan oleh orang lain.
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan kabur, gerak
fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan
pada lansia, dan sebagainya sehingga menimbulkan keterasingan. Hal itu
sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak lansia melakukan aktivitas, selama
lansia masih sanggup, agar tidak merasa diasingkan. Keterasingan yang terjadi
pada lansia dapat membuat lansia semakin menolak untuk berkomunikasi
dengan orang lain dan dapat muncul perilaku regresi, seperti mudah menangis,
mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tidak berguna, dan merengek-
rengek seperti anak kecil sehingga lansia tidak bisa menjalankan peran sosialnya
dengan baik (Kuntjoro, 2007).
3. Kehidupan Sosial Lansia
Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap menghadapi dan
menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan para lanjut usia kurang dapat
menyesuaikan diri dalam memecahkan masalah yang dihadapi, padahal seorang
lanjut usia tentu mengalami perubahan besar pada seluruh aspek kehidupannya, baik

9
fisik, psikologis maupun sosial. Padahal, seiring dengan perjalanan hidup seseorang
ditandai oleh adanya tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Hal ini akan
berdampak pada kehidupan lanjut usia. Tugas-tugas ini dalam batas-batas tertentu
bersifat khas untuk masa-masa hidup seseorang. Secara umum tugas perkembangan
lanjut usia meliputi menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan
kesehatan, menyesuiakan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya pendapatan
keluarga, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup, dan membentuk
hubungan dengan orang-orang yang seusianya serta menyesuaikan diri dengan peran
sosial secara luwes.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia adalah
lingkungannya terutama lingkungan tempat tinggal. Perbedaan lingkungan tempat
tinggal lansia akan dapat mempengaruhi lansia untuk beradaptasi.
beberapa penelitian mengatakan bahwa lansia yang tinggal di panti memiliki kualitas
hidup yang rendah. Putri (2014) mengatakan bahwa lansia yang tinggal di panti dari
domain interaksi sosial memiliki kualitas hidup yang kurang karena kegagalan lansia
itu sendiri dalam lingkungannya dan perubahan peran sosial yang terjadi, sedangkan
yang tinggal bersama keluarga sebagian besar memiliki.
kualitas hidup yang cukup dari segi layanan kesehatan, aktifitas sehari-hari dan
interaksi sosialnya bersama keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitar. Perbedaan
kualitas hidup dari domain interaksi sosial ini bisa saja terjadi karena kesulitan lansia
dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru, yang mana lansia biasanya tinggal
bersama keluarga dan masyarakat luas. Keluarga dan Fungsi-fungsinya, Murdock
menguraikan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki
karekteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi, dan terjadi proses
reproduksi. Teori sistem menjadi salah satu pendekatan yang sering digunakan
dalam kajian keluarga. Teori sistem dicetuskan pertama kali oleh Minuchin. Teori
sistem memandang keluarga sebagai satu kesatuan yang mempunyai struktur,
senantiasa berkembang, dan beradaptasi dengan perubahan situasi dan kondisi untuk
mempertahankan kontinuitasnya. (Lestari, 2012)
Lanjut Usia dan Masalah Sosialnya
Lanjut usia merupakan anugerah. Menjadi tua dengan segenap
keterbatasannya pasti akan dialami oleh seseorang bila ia panjang umur. Di
Indonesia, istilah untuk kelompok lanjut usia ini belum baku, orang memiliki
sebutan yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah lanjut usia ada pula usia

10
lanjut atau jompo. Di Indonesia telah disetujui bahwa penduduk lanjut usia adalah
mereka yang berumur 60 tahun keatas. Sesuai Undang-undang nomor 13 tahun 1998
pasal 1 ada di muatkan mengenai pengertian lanjut usia yaitu seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun keatas (Menkokesra,2010).
Fungsi-fungsi Panti Jompo
Panti jompo adalah tempat merawat dan menampung jompo, dan Perda No, 15
Tahun 2002 mengenai Perubahan atas Perda No. 15 Tahun 2000 Tentang Dinas
Daerah, maka Panti Sosial Tresna Werdha berganti nama menjadi Balai
Perlindungan Sosial Tresna Werdha. Panti Jompo adalah tempat tinggal yang
dirancang khusus untuk orang lanjut usia, yang di dalamnya disediakan semua
fasilitas lengkap yang dibutuhkan orang
lanjut usia (Hurlock, 1996). Panti Jompo merupakan unit pelaksanaan teknis yang
memberikan pelayanan sosial bagi lanjut usia, yaitu berupa pemberian
penampungan, jaminan hidup seperti makanan dan pakaian, pemeliharaan kesehatan,
pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta agama,
sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir
batin (DEPSOS RI, 2003).
Hubungan Sosial Keluarga dengan Lansia
Menurut Gillin Dan Gillin, hubungan sosial adalah hubungan yang dinamis
yang menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok, antar orang dengan
kelompok. Proses hubungan sosial dapat terjadi secara langsung dengan tatap muka
maupun secara tidak langsung atau mengunakan media, misalnya telepon, televisi,
radio, surat menyurat, dan lain-lain.
Proses hubungan sosial akan terjadi pada saat ada dua individu atau lebih yang
saling mengadakan kontak sosial maupun komunikasi. Dalam penelitian ini,
hubungan sosial yang dikaitkan dengan teori ini yaitu untuk mengetahui hubungan
sosial lansia dengan keluarganya, yakni kunjungan keluarga (langsung menjenguk
lansia ke panti), komunikasi dengan lansia (baik secara lansung face to face, ataupun
dengan cara telpon, sms, surat dan alat komunikasi lainnya.)

4. Spiritual dan Religius


Spiritual didefinisikan sebagai aspek kemanusiaan yang mana hal tersebut
merujuk pada cara seseorang mencari dan mengekspresikan makna, tujuan atau
maksud, dan cara pengalaman mereka yang mana semua hal tersebut saling

11
berhubungan pada waktu atau kejadian, pada diri sendiri, pada lainnya, pada alam,
pada orang terdekat, maupun pada yang kuasa (Puchalski, 2013) definisi ini
menggaris bawahi tentang univesalitas itu sendiri, yang mana semua orang mencari
makna dan tujuan hidupnya didalam kehidupan mereka.
Spiritual distress, termasuk ketidak bemaknaan dalam hidup tau keputusasaan
sering terjadi pada pasien dengan penyakit yang semakin parah atau stadium lanjut
dengan kondisi kualitas hidup yang semakin jelek, kputusasaan mejelang akhir
hayat, atau ketidakpuasan dengan pelayanan yang diberikan (Selaman, Young,
Vermandere, Stirling & Leget, 2014).
Agama sering dibedakan dengan spiritualita, dimana agama merupakan
manifestasi perilaku dari keyakinan atau nilai agama dan social, yang saling
berhubungan dan dipersatukan oleh suatu keyakinan dan iman (Nelson-Becker, Ai,
Hopp, McCormick, Schlueter & Camp. 2015). Akan tetapi dalam studi gerontology
dan geriatric, konsep agama lebih diorintasikan secara organisas berupa system
kepercayaan dan keyakinan, praktik dan ritual yang mana akan menghubungkan
seseorang kekondisi realitas dan orang lain. Sehingga agama meliliki makna yag
lebih luas berupa pengalam dan kode etik bersama dan disampaikan kepada ke orang
lain dari waktu kewaktu.Religiusitas didefinisikan sebagai sebuah perangkat
kepercayaan yang merujuk pada aktifitas yang didasarkan atas keyakinan dan
keimanan baik yang dilakukan dengan kasat mata maupun sesuatu yang tak kasat
mata (Bjarnason, 2012). Lebih lanjut Bjarnason (2012) menjelaskan bahwa
religiusitas merupakan hal yang penting yang mana memiliki tiga focus utama yaitu
sebagai alat untuk mengidentifikasi praktek keagamaan seseorang termasuk kegiatan
ibadah, dan kepercayaan terhadap agama yang dianutnya.
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan manusia untuk menghadapi
penyimpangan social, cultural, ansietas, ketakutan, kematian, dan sekarat,
keterasingan social serta filosofi kehidupan (White House Council on Aging;1971).
Spiritualitas sebagai sumber internal dalam diri manusia, menjadi sangat penting
dalam membangun filosofi hidup, memberikan makna dalam hubungan antar diri
sendiri, orang lain, kelompok dan Tuhan. Beberapa indicator kebutuhan spiritual
terkait hubungannya dengan diri sendiri (Kozier, 2012) antar lain kebutuhan untuk
memiliki arti, makna dn tujuan hidup, mengekspresikan kreatifitas, memiliki
harapan, tantangan hidup yang lebih bermakna, memiliki martabat, penghargaan
personal, berterima kasih, memiliki visi hidup, menyiapkan dan menerima kematian.

12
Beberapa indikator terpenuhi kebutuhan spiritualnya seseorang adalah apabila ia
mampu :
a) Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaan kehidupan di
dunia.
b) Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau
penderitaan.
c) Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta
kasih yang tinggi.
d) Membina integritas personal dan merasa diri berharga.
e) Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan.
f) Mengembangkan hubungan antar manusia dengan positif.

Indikator terpenuhi kebutuhan spiritual yang lain adalah adanya rasa


keharmonisan, saling kedekatan antara diri sendiri, orang lain, alam dan hubungan
dengan yang Maha Kuasa. Spiritual Islam memberikan gambaran terpenuhinya
kebutuhan spiritual apabila seseorang mampu mengembangkan rasa syukur, sabar
dan ihlas.
Spiritualitas bukan agama, tetapi agama dapat merupakan salah satu jalan
untuk mencapai spiritualitas. Karena keterbatan pengetahuan dan kemampuan
penulis, maka pembahasan spiritualitas dalam buku ini, dibahas dengan pendekatan
spirtualitas Islam. Meskipun demikian, penulis yakin tidak akan menguranggi rasa
hormat terhadap kepercayaan agama yang lain, karena menurut Gus Dur (mantan
Presiden RI) mengatakan “Semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenarannya
sesuai keyakinan. Peran agama sesungguhnya adalah membuat orang sadar akan
fakta bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari ummat manusia dan alam
semesta”. Spiritual bersifat universial, tetapi ritual keagamaan bersifat individual.
(Yusuf, 2015).
Pola Normal Spiritual, erat hubungannya dengan kesehatan, karena dari pola
tersebut dapat menciptakan suatu bentuk perilaku adaptif maupun maladaptif.
Dimensi spiritual penting diperhatikan oleh perawat ketika memberikan asuhan
keperawatan kepada klien. Keimanan atau keyakinan religius ini sangat penting
dalam kehidupan personal individu, bahkan keimanan diketahui sebagai suatu faktor
yang sangat kuat dalam penyembuhan dan pemulihan fisik. Penting bagi perawat

13
guna meningkatkan pemahaman tentang konsep spiritual supaya dapat memberikan
asuhan spiritual dengan baik kepada klien (Susanti, 2015).
Pemenuhan aspek spiritualitas klien tidak terlepas dari pandangan terhadap
lima dimensi manusia yang harus diaplikasikan dalam kehidupan. Lima dimensi
tersebut yaitu dimensi fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Dimensi-
dimensi tersebut berada dalam suatu sistem yang saling berinteraksi sehingga adanya
gangguan pada suatu dimensi dapat mengganggu dimensi lainnya (Susanti, 2015).
Untuk memudahkan perawatan dalam memberikan asuhan keperawatan, maka
perawat mutlak perlu memiliki kemampuan mengidentifikasi atau mengenal
karakteristik spiritual sebagai berikut :
1) Hubungan dengan diri sendiri
- Kekuatan dalan dan self-relience
- Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang bisa dilakukannya)
- Sikap (percaya pada diri sendiri, menentukan fikiran, keselarasan dengan
diri sendiri)
2) Hubungan dengan alam
- Mengetahu tentang tanaman, margasatwa, iklim.
- Berkomunikasi dengan alam (mengabadikan, melindungi alam)
3) Hubungan dengan orang lain
- Berbagai waktu, mengetahui secara timbale balik
- Mengasuh anak, orang tua dan orang sakit
- Mengembangkan arti penderitaan dan keyakinan hikmah dari suatu
kejadian atau penderitaan.
4) Hubungan dengan Ketuhanan
Secara singkat dapat dinyatakan bahwa seorang terpenuhi kebutuhan
spiritualitasnya apabila mampu :
- Merumuskan arti personal yang positif, tentang keberadaannya berada
didunia.
- Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu
kejadian atau penderitaan.
- Dengan mengembangkan hubungan antara manusia yang positif dan lain-
lain.
5) Terpenuhi kebutuhan spiritual bila mampu :

14
- Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaan
didunia ini
- Mengembangkan arti penderitaan dan hikmahnya
- Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa
percaya, dan cinta.
- Membina integritas personal dan merasa diri berharga dan mempunyai
harapan.
- Merasakan kehidupan yang terarah.
- Mengembangkan HAM yang positif.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Spiritual


Menurut Taiylor, Lilis dan le Mone (1997) dan Craven dan Hirnk (1996), factor
penting yang mempengaruhi spiritualitas adalah :
Pertimbangan tahap perkembangan, Berdasarkan hasil penelitian terhadap
anak-anak dengan 4 agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai
persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks,
agama dan kepribadian anak.
Keluarga, Peran orang tua sangan menentukan dalam perkembangan spiritual
anak. Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua tapi apa yang dipelajari
anak mengenal Tuhan.
Latar belakang etnik dan budaya, Sikap keyakinan dan dipengaruhi oleh latar
belakang etnik dan social budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi
agama dan spiritual keluarga.
Pengalamna hidup sebelumnya, Pengalaman hidup baik secara positif maupun
negative dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi
oleh bagaimana seseorang mengartika secara spiritual kejadian atau pengalaman
tersebut.
Krisis dan perubahan, Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalam
spiritual seseorang (Toth 1993) dan Craven dan Hirnk (1996). Krisis sering dialami
ketika seseorang mengahadapi penyakit, penderitaan proses penuaan, kehilangan
bahkan kematian.
Terpisah dari ikatan spiritual, Menderita sakit terutama yang bersifat akut
sering kali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi
dan system dukungan social.

15
Isu moral terkait dengan terapi, Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan
dianggap sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan kebesarannya walaupun ada juga
agama yang menolak intervensi pengobatan.
Asuhan keperawatan yang kurang sesuai, Ketika memberikan asuhan
keperawatan pada klien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan
spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat justru
mengindari untuk memberikan asuhan spiritual.
Manifertasi Perubahan Fungsi Spiritual
Berbagai perilaku dan ekspresi yang dimanifestasikan klien seharusnya
diwaspadai oleh perawat karena mungkin saja klien sedang mengalami masalah
spiritual.
1) Verbalisasi distress, Individu yang mengalami gangguan spiritual biasanya
memverbalisasikan distress yang dialaminya atau mengeksporesasikan
kebutuhan untuk mendapatkan bantuan. Biasanya klien meminta perawat untuk
berdoa bagi kesembuhannya atau memeberitahukan pada pemuka agama untuk
mengunjunginya.
2) Perubahan perilaku, Perubahan perilaku juga dapat merupakan manifestasi
gangguan fungsi spiritual, klien yang merasa cemas dengan hasil pemeriksaan
atau menunjukkan kemarahan setelah mendengar hasil pemeriksaan mungkin
saja sedang menderita sisstres spiritual.
Peran keperawatan dalam meningkatkan spiritualitas lansia/harus bersifat
individual perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungan dengan Tuhan atau agama yang dianutnya terutama bila klien lanjut usia
dalam keadaan sakit atau mendekati kematian. Dalam menghadapi kematian seriap
klien lanjut usia akan memberikan reaksi yang berbeda tergantung dari kepribadian
dan cara mereka menghadapi hidup ini. Sebab itu, perawat harus meneliti dengan
cermat, dimanakah letak keramahan dan letak kekuatan klien agar perawat
selanjutnya akan terarah. Dalam hal ini peran perawat anata lain:
a) Pengkajian, Merupakan fungsi perawat yang terpenting. Pengkajian spiritual dan
status saat ini dan menganalisis signifikasi dari hasil tersebut. Data yang
diperoleh digunakan sebagai dasar bagi intervensi keperawatan berikutnya.
Pengkajin yang terampil mencangkup mendengarkan dengan penuh perhatiian,
mengajukan pertanyaanpertanyaan dengan terampil, mengobservasi dengan
penuh pemikiran dan berpikir kritis.

16
b) Teman, sejalan dengan hilangnya kontra social manusia stimulasi mentaldan
harga diri mereka juga mengalami penurunan. Perawat yang mengasuh harus
menyediakan waktu untuk lansia, membiarkan mereka menjadi diri mereka
sendiri dan mengenal nilai mereka. Keterampilan yang deperlukan adalah
menunjukkan kasih Tuhan, mendengarkan dengan penuh perhatian, memulai
percakapan yang mengarah pada topic spiritual adan menyediakan diri secara
teratur.
c) Advokat, Peran advokasi perawat untuk lansia meliputi mendapatkan sumber
spiritual berdasarkan latar belakang klien yang unik. Hal tersebut dapat
mengcangkup intervensi untukkepentingan klien bersama dokternya berkaitan
dengan perpanjangan perawatan modis. Peran advokasi perawat dapat
mencangkup menulis surat, menelepon, atau melakukan pendekatan tentang
sebab-sebab yang mempengaruhi kesejahteraan klien.
d) Pemberi asuhan, Merupakan seorang pengkaji yang cerdik yang tidak hanya
melakukan pengkajian dasar terhadap satus spiritual yang menyeluruh tapi terus
mengkaji klien melalui hubungan. Keterampilan perawat meliputi bersifat
sensitive terhadap kebutuhan yang tidaak terungkap, meningkatkan sikap
membantu, mendengarkan adanya distress spiritual dan memeberikan perawatan
fisik dan spiritual secara bersamaan.
e) Manager kasus, Manager kasus yang bekerja dengan lansia cenderung
mengkoordinasikan asuhan klien yang rentang memerlukan bantuan karena usia
lanjut, pendapatan rendah, masalah penyakit yang macam-macam, atau
keterbatasan system pendukung. Keterampilan keperawatan khusus yang
diperlukan mencangkup mengelola sumber-sumber yang terbatas untuk
mendapatkanmanfaat yang maksimal mengelola bantuan untuk klien guna
meminimalkan keletihan akan ancietas, meningkatkan penerimaan terhadap
bantuan tanpa menjadi keterganutuan dan meningkatkan ikatan asa? Komunitas
agama seseorang.
f) Peneliti, Perawat yang meneliti askep spiritual harus manjaga hak-hak asasi lansia
yang menjadi subyek penelitian. Penyelikan secara prinsip melibatkan sikap
religious organisasi, sikap religious pribadi dan korelasi aktivitas religious dengan
kesehatan, penyesuain pribadi dan paktik-praktik lain. Lebih lanjut lagi upaya
penelitian spiritualitas belum sepenuhnya dibantu oleh pemerintah atau sumber
pendanaan swasta.

17
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sitematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Pengkajian ini dilakukan dengan
tujuan menentukan kemampuan klien untuk memelihara diri sendiri, melengkapi dasar-dasar
rencana keperawatan individu, membantu menghindarkan bentuk dan pandangan klien, dan
memberi waktu kepada klien untuk menjawab.
Perawat perlu melakukan pengkajian secara lengkap dan menyeluruh dalam
memberikan asuhan keperawatan pada lansia (comprehensive geriatric assessment).
Pengkajian tersebut meliputi pengkajian biopsikososial, pengkajian kondisi fisik, pengkajian
psikososial, status fungsional (ADL), status nutrisi, dan interaksi diantara hal-hal tersebut.
Pengkajian secara komprehensife/paripurna pada lansia ini bersifat holistic; meliputi aspek
bio-psiko-sosial- spiritual; pada lingkup kuratif, rehabilitative, promotif, preventive;
pengkajian status fungsional; pengkajian status psiko-kognitif; pengkajian asset keluarga
klien (social). Berikut ini akan diurakan secara singkat tentang ligkup pengkajian
keperawatan pada lansia.
1. Anamnesis
a. Identitas klien : Sebelum memulai anamnesis, pastikan bahwa identitasnya sesuai
dengan catatan medis, guna menghindari kesalahan yang berakibat fatal karena
melakukan tindakan kepada orang yang salah. perawat hendaknya memperkenalan
diri sehingga terbentuk hubungan yang baik dan saling percaya yangakan mendasari
hubungan terapeutik selanjutnya anatar perawat dank lien dalam asuhan
keperawatan.
b. Privasi : Klien yang berhadapan dengan perawat merupakan orang terpenting saat
itu. Oleh karena itu, pastikan bahwa anamnesis dilakukan ditempat yang tertutup dan
kerahasian klien terjaga. Terlebih perawat melakukan pemeriksaan fisik pada bagain
tertentu.

18
c. Pendamping : Hadirkan pendamping klien. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari
hal-hal yang kurang baik untuk klien dan juga perawat ketika klien berkelainan jenis
kelamin. Selain itu, pendamping klien juga bisa membantu memperjelas informasi
yang dibutuhkan, terutama klien lansia yang susah diajak berkomunikasi.

2. Pemerksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis baik secara inspeksi, palpasi,
perkusi, auskultasi. Pemeriksaan fisik ini dilakukan secara head to toe (kepala ke kaki)
dan review of system (system tubuh). Secara umum, pemeriksaan fisik yang dilakukan
bertujuan:
1) Mengumpulkan data dasar tentang kesehatan klien;
2) Menambah, mengonfirmasi, atau meyangkal data yang diperoleh dalam
riwayat keperawatan, mengonfirmasi, atau menyangkal data yang diperoleh
dalam riwayat keperawatan;
3) Mengonfirmasi dan mengidentifikasi diagnosis keperawatan;
4) Membuat penilaian klinis tentang perubahan status kesehatan klien dan
penatalaksanaan;
5) Mengevaluasi hasil fisiologis dari asuahan.
Pemeriksaan fisik memiliki banyak manfaat, baik bagi perawat sendiri maupun bagi
profesi kesehatan lain, diantaranya;
1) Sebagai data untuk membantu perawat dalam menegakkan diagnosis
keperawatan;
2) Mengetahui masalah kesehatan yang dialami klien;
3) Sebagai dasar memilih intervensi yang tepat;
4) Sebagai data untuk mengevaluasi hasil asuhan keperawatan.

a. Keadaan umum
a) Tingkat kesadaran.
b) GCS
c) TTV
d) BB & TB

19
e) Bagaimana postur tulang belakang lansia :
- Tegap
- Membungkuk
- Kifosis
- Skoliosis
- Lordisi
f) Keluhan

b. Penilaian tingkat kesadaran


1) Komposmotis (kesadaran penuh)
2) Apatis (acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya)
3) Somnolen (kesadaran lebih rendah, yang ditandai klien tampak mengantuk selalu
ingin tidur, tidak responsive terhadap rangsangan ringan tetapi masih responsive
terhadap rangsangan kuat)
4) Sopor (tidak memberikan respon sedang atau ringan, trtapi masih sedikit respon
terhadap rangsangan yang kuat, reflek pipil terhadap rangsangan cahaya masih
positif
5) Koma (tidak mereaksi terhadap stimulus apapun, reflek pupil terhadap cahaya
tidak ada)
6) Derilium (tingkat kesadaran paling rendah, disorientasi, kacau, dan salah persepsi
terhadap rangsangan)

c. Penilaian kuantitatif
Diukur melalui GCS (Glasgow Coma Scale)
1. Membuka mata atau eye movement (E)
2. Respon verbal respon motoric

d. Indeks masa tubuh


1. Berat badan (kilo gram)
2. BMI :
TB (m) x TB (m)
Normal : pria (20,1-25,0) Wanita : (18,7-23,8)
Klasifikasi nilai :

20
a) Kurang : <18,5
b) Normal : 18,5-24,9
c) Berlebih : 25-29,9
d) Obesitas : >30
e. Head to Toe
1) Kepala:
a) Inspeksi; kulit kepala; warna, bekas lesi, bekas trauma, area terpajan
sinar matahari, hipopigmentasi, hygiene, penonjolan tulang yang
imobilisasi parsial atau total, sianosis, eritema. Rambut; warna, variasi
bentuk rambut, kulit kepala, area pubis, axial, botak simetris pada pria,
rambut kering atau lembab, rapuh, mudah rontok, rambut tubuh halus,
rambut pubis sedikit keriting.
b) Palpasi; kulit kepala; suhu dan tekstur kulit, turgor, ukuran lesi, adanya
kalus yang menebal, keriput, libatan-lipatan kulit, tekstur kulit kasar
atau halus, bukti perlambatan dari luka memar, laserasi, ekskoriasi.
Rambut; rambut kasar, kering dan mudah rontok.

2) Mata
a) Inspeksi; kesimetrisan, warna retina, kepekaan terhadap cahaya atau
respon cahaya, anemis atau tidak pada daerah konjungtiva, sclera
ikterus (kekuningan) atau tidak. Ditemukan strabismus (mata
menonjol keluar), riwayat katarak, kaji keluhan terakhir pada daerah
penglihatan. Kuantitas bulu mata dan tampak kelenjar lakrimalis
(kelenjar air mata), korne dengankarakteristik transparan pada
permukaan. Penggunaan alat bantu penglihatan.
b) Tes uji penglihatan dengan ukur jarak penglihatan, ukur lapang
pandang, fungsi otot ekstra ocular, struktur ocular, reaksi sinar
terhadap akomodasi, area muscular.
3) Hidung
a) Inspeksi; kesimetrisannya, kebersihannya, mukosa kering atau
lembab, terhadap peradangan atau tidak, olfaktorius.
b) Palpasi; sinus frontal dan maksilaris terhadap nyeri tekan.

21
c) Tes uji penciuman atau fungsi olfaktorius dengan melakukan tes vial
abu dengan memberikan kontras bau (missal; kopi, cengkeh, bawang
putih, merica, pala, dan lain-lain).
4) Mulut Dan Tenggorokan
a) Inspeksi; kesimetrisan bibir, warna, tekstur lesi dan kelembaban
serta karakteristik permukaan pada mukosa mulut dan lidah.
Palatum keras atau lunak gerakkan, area tonsilar terhadap ukuran
warna dan eksudat. Jumlah gigi, gigi yang karies dan penggunaaan
gigi palsu. Tampak peradangan atau stomatitis, kesulitan
mengunyah serta kesulitan menelan.
b) Palpasi; lidah dan dasar mulut terhadap nyeri tekan dan adanya masa
c) Tes uji fungsi saraf fasial dan glosofaringeal dengan memberikan
perasa manis, asam, asin, manis.

5) Telinga
a) Inspeksi; permukaan bagian luar daerah tragus dalam keadaan
normal atauu tidak. Kaji struktur-stuktur telinga dengan otoskop
untuk mengetahui adanya serumen, otorhea, obyek asing dan lesi.
Kaji membrane timpati terhadap warna, garis dan bentuk.
b) Tes uji pendengaran atau fungsi auditori dengan melakukan skrining
pendengaran, pemeriksaan pendengaran dilakukan secara kualitatif
dengan mempergunakan garputala dan kuantitatif dengan
menggunakan audiometer (Afir Mansyoer dalam kapita selekta,
1999). Tes suara, tes detik jam, tes weber, tes rine dengan
menggunakan media garpu tala.

6) Leher
a) Inspeksi; pembesaran kelenjar thyroid, gerak-gerakan halus pada
respon percakapan, secara bilateral kontraksi otot seimbang. Garis
tengah trakea pada area suprasternal, pembesaran kelenjar tiroid
terdapat masa simetris tak nampak padaa saat menelan. Tampak
penggunaan otot alat bantu nafas.
b) Palpasi; arteri temporalis iramanya teratur, amplitude agak
berkurang, lunak, lentur dan tak nyeri tekan. Area trachea adanya

22
masa pada tiroid. Raba JVP (Jugularis Vena Pleasure) untuk
menentukan tekanan pada otot jugularis.
7) Dada
a) Paru; normal chest/barrel chest/pigeon chest, kesamaan gerakan
dada kanan dan kiri, sonor, suara nafas vesikuler/wheezing/ronchi.
b) Jantung; IC tidak tampak, IC teraba di ICS V midklavikula sinistra,
pekak, suara jantung tunggal
8) Abdomen
a) Inspeksi; bentuk seperti distensi, flat, simetris. Serta kaji gerakan
pernafasan.
b) Palpasi; adanya benjolan, permukaan abdomen, pembesaran hepar
dan limfa dan kaji adanya nyeri tekan.
c) Perkusi; adanya udara dalam abdomen, kembung.
d) Auskultasi; bising usus dengan frekuensi normal 20x/menit pada
kuadran 8 periksa karaktermya, desiran pada daerah epigastrik dan
keempan kuadran.
9) Genetalia
a) Inspeksi; pada pria, Bentuk, kesimetrisan ukuran skrotum,
kebersihan, kaji adanya hemoroid pada anus. Pada wanita,
kebersihan karakter mons pubis dan labia mayora serta kesimetrisan
labia mayora. Klitoris ukuran bervarisi, tetapi biasanya lebih kecil
dari orang dewasa.
b) Palpasi; pada pria. Batang lunak, ada nyeri tekan, tanpa nodulus atau
dengan nodulus, palpasi skotum tan testis mengenai ukuran, letak,
dan warna. Pada wanita, bagian dalam labia mayora dan minora,
kaji warna, kontur kering dan kelembabannya.
10) Ekstremitas
Ekstermitas : rentang gerak terbatas, deformitas, tremor, edema, nyeri
tekan, penggunaan alat bantu, kekuatan otot berkurang.
a) Kekuatan otot (skala 1-5):
b) Kekuatan otot 0 : Lumpuh
1 : Ada kontraksi
2 : Melawan gravitasi dengan sokongan
3 : Melawan gravitasi tapi tidak ada lawanan

23
4 :Melawan gravitasi dengan tahanan sedikit
5 : Melawan gravitasi dengan kekuatan penuh
11) Integument
a) Inspeksi; kebersihan, warna dan area terpajan serta kelembaban dan
gaungguan kulit yang tidak jelas khusus pada wanita, kesimetrisan,
kontur, warna kulit,tekstur dan lesi pada payudara. Putting susu
ukuran dan bentuk, arah, warna.
b) Palapasi; kasar atau halus permukaan kulit. Khusus pada wanita
masa payudara, lakukan perabaan pada putting susu lalu putar
searah jarum jam untuk mengetahui adanya masa dan mendeteksi
kanker payudara lebih awal.

3. Pengkajian Status Fungsional


Pengkajian status fungsional ini meliputi pengukuran kemampuan seseorang
dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, penentuan kemandirian,
mengidentifikasi kemampuan, dan keterbatasan klien, seta menciptakan pemilihan
intervensi yang tepat. Pengkajian status fungsional ini melakukan pemeriksaan dengan
intrumen tertentu untuk membuat penilaian secara obyektif. Instrument yang biasa
digunakan dalam pengkajian status fungsional adalah indeks katz, Barthel indeks, dan
Sullivan indeks katz. Alat ini digunakan untuk menentukan hasil tindakan dan roknosis
pada lansia dan penyakit kronis. Lingkup pengkajian meliputi keadekuatan 6 fungsi,
yaitu mandi, berpakaian, toileting, berpindah, kontinen dan makan, yang hasilnya untuk
mendeteksi tingkat fungsional klien (mandiri atau dilakukan sendiri atau tergantung).
4. Indeks Katz
1. Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, kekamar mandi kecil,
berpakaian, dan mandi.
2. Kemandirian dalam semua hal, kecuali satu dari fungsi tersebut
3. Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan satu fungsi
4. tambahan.
5. Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian, dan satu fungsi tambahan.
6. Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi berpakaian, kekamar kecil, dan satu
fungsi tambahan
7. Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian, kekamar kecil, berpindah,
dan satu fungsi tambahan.

24
8. Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut.

Tabel Mini Mental State Exam (MMSE)

No Aspek kognitif Nilai maksimal Nilai klien Kriteria

1 Orientasi 5 Menyebutkan

1) Tahun

2) Musim

3) Tanggal

4) Hari

5) Bulan

2 Orientasi 5 Dimana sekarang kita

3 berada?

1) Negara

2) Provinsi

Registrasi 3) Kabupaten

Sebutkan 3 nama objek

(kursi, meja, kertas), kemudian tanya kan


kepada klien, menjawab:

1. Kursi

25
2. Meja

Kertas

3 Perhatian dan 5 Meminta klien berhitung mulai dari 100,


kalkulasi kemudian dikurangi 7 sampai 5 tingkat

1. 100, 92, …, …, …

4 Mengingat 3 Meminta klien untuk menyebutkan objek


pada point 3.

1. Kursi

2. Meja

3. ……

5 Bahasa 9 Menanyakan kepada klien tentang benda


(sambal menunjuk benda tersebut).

1. Jendela

2. Jam dinding

Meminta klien untuk mengulang kata


berikut “tanpa, jika, dan, atau,

tetapi”. Klien menjawab …, dan, atau,


tetapi.

Meminta klien untuk mengikuti perintah


berikut yang terdiri dari 3 langkah. Ambil
pulpen di tangan anda, ambil kertas,
menulis “saya mau tidur”.

1. Ambil pulpen

2. Ambil kertas 3. ….

26
Perintahkan klien untuk hal berikut (bila
aktivitas sesuai perintah nilai 1 poin):
“tutup mata anda”.

1. Klien menutup mata

Perintahkan pada klien untuk menulis


satu kalimat dan menyalin gambar (2
buah segi 5).

Total 30

Skor :

24-30 : Normal

17-33 : Probable gangguan kognitif

0-16 : Definitif gangguan kognitif

5. Pengkajian Aspek Spiritual


Menurut Florence Nightingale, Spirituality adalah proses kesadaran menanamkan
kebaikan secara alami, yang mana meemukan kondisi terbaik bagi kualitas
perkembangan yang lebih tinggi. Spiritualitas mewakili totalitas keberadaan seseorang
dan berfungsi sebagai perspektif pendorong yang menyatukan berbagai aspek individual.
Spiritualitas dalam keperawatan adalah konsep yang luas meliputi nilai, makna dan
tujuan, menuju inti manusia seperti kejujuran, cinta, peduli, bijaksana, penguasaan diri
dan rasa kasih; sadar akan adanya kualitas otoritas yang lebih tinggi, membimbing spirit
atau transenden yang penuh dengan kebatinan, mengalir dinamis seimbang dan
menimbulkan kesehatan tubuh-pikiran-spirit. Keterkaitan spiritualitas dengan proses
penyembuhan dapat dijelaskan dengan konsep holistik dalam keperawatan.
Konsep holistik merupakan sarana petugas kesehatan dalam membantu proses
penyembuhan klien secara keseluruhan.Pelayanan holistik yang dimaksud adalah dalam

27
memberikan pelayanan kesehatan semua petugas harus memperhatikan klien dari semua
komponen seperti biologis, psikologis, sosial,kultural bahkan spiritual. Model holistik
adalah model yang komprehensif dalam memandang berbagai respon sehat sakit. Dalam
model holistik, semua penyakit mengandung komponen psikosomatik, biologis,
psikologis, sosial, spiritual. Penyakit dapat disebabkan faktor bio-psiko-sosialspiritual,
demikian juga respons akibat penyakit (Dossey,2005 dalam Yusuf, dkk, 2016).
Karena spiritualitas sangat bersifat subyektif, ini berarti spiritualitas berbeda
untuk individu yang berbeda pula (Mc.sherry dan Ross, 2002) kemampuan untuk
mendapatkan gambaran gambaran tentang spiritualitas klien bersifat terbatas ketika
perawat memiliki keterbatasan kontak atau gagal untuk membangun hubungan atas dasar
kepercayaan dengan klien mereka. Sekali perawat berhasil membangun hubungan
kepercayaan dengan seeorang klien dan mereka mencapai inti dari pembelajaran
bersama; maka perawat spiritual dapat terjadi (Taylor, 2003). Focus pengkajian
kepercayaan pada aspek spiritualitas adalah bahwa pengalaman dan kejadian- kejadian
kehidupan akan sangat mempengaruhi. Lakukan pengkajian yang bersifat terapeutik,
karena hal tersebut menunjukkan sesuatu bentuk pelayanan dan dukungan.
Pengkajian spiritual merupakan bagian dasar dari pengkajian keperawatan.
Perawat biasanya memiliki keterbatasan waktu bersama klien mereka, Karena itulah
terkadang sulit untuk mendapatkan pengkajian spiritual yang mendalam. Kunci
suksesnya adalah mengadakan pengkajian yang terus menerus tentang cara klien tinggal
dalam tempat pelayanan kesehatan. Bangun kepercayaan dan hubungan, serta ciptakan
kesempatan untuk mengadakan diskusi yang penuh arti dengan klien sebagai suatu
prioritas. Evaluasi kesehatan spiritual klien dalam beberapa cara yang berbeda. Salah
satu cara adalah menanyakan pertanyaan langsung. Untuk mengunakan pendekatan ini,
anda harus merasa nyaman saat bertanya pada orang lain tentang spiritualitas
mereka.Banyak alat pengkajian spiritual berguna untuk membantu perawat menjelaskan
nilai-nilai dan mengkaji spiritualitas klien (Elkins dan Cavendish, 2004) alat pengkajian
B-E-L-I-E-F membantu perawat mengevaluasi klien, serta kebutuhan spiritual dan
keagamaan keluarga (McEvoy, 2003). Akrinim memiliki arti sebagai berikut :
B- Belief system (system kepercayaan)
E- Ethics or values (etika atau nilai-nilai)
L- Lifestyle (gaya hidup)
I-Involvement in a spiritual community (keterlibatan dalam kominitas spiritual)
E- Education (pendidikan)

28
F- Future events (kejadian-kejadian yang akan datang)
Skala spiritual Well-Being (SWB) memiliki 20 hal yang mengkaji pandangan
individu tentang kehidupan dan hubungan dengan kekuatan tertinggi (Gray, 2006). The
Spirit Perrpective Scale (SPS) berisi 10 poin alat yang dikembangkan oleh seseorang
perawat. Ini mengukur hubungan dengan kekuatan tertinggi, orang lain, dan diri
sendiri(Gray, 2006). Skala kesejahteraan spiritual JREL juga memberikan perawat
profesi pelayanan kesehatan lainnya alat sederhana untuk mengkaji kesejahteraan
spiritual klien (hungelmann et al., 1996). Poin dalam alat dibuat dalam tiga kunci
dimensi, yaitu : kepercayaan/keyakinan, kehidupan/tanggung jawab diri.
Alat pengkajian spiritual yang efektif seperti B-E-L-I-E-F dan skala SWB mudah
digunakan dan membantu perawat mengingat area yang penting untuk dikaji. Respons
terhadap alat pengkajian biasanya akan menunjukkan area yang memerlukan investigasi
segera. Sebagai contoh, setelah menggunakan alat pengkajian, seorang perawat
menemukan bahwa seorang klien memiliki kesulitan untuk menerima perubahan,
perawat akan memerlukan waktu untuk memahami bagaimana klien menerima dan
mengatasi penyakit baru. Apakah perawat menggunakan alat pengkajian atau
menggunakan pengkajin dengan pertanyaan yang berdasarkan prinsip spiritual, tetap
penting untuk tidak menentukan system nilai pada klien. Hal ini biasanya tepat untuk
dilakukan ketika nilai-nili dan kepercayaan klien sama dengan perawat, karena kemudian
menjadi lebih mudah untuk membuat asumsi yang salah. ketika perawat memahami
keseluruhan pendekatan terhadap pengkajian piritual, mereka dapat masuk kedalam
diskusi yang mendalam dengan klien mereka, mendapatkan kesadaran terbesar tentang
sumber daya personal klien membawa kepada suatu kondisi, dan menggabungkan
sumber daya kedalam rencana keperawatan yang efektif.
Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal yang penting, yaitu dilakukan setelah
pengkajian aspek spikososial pasien. Pengkajian aspek spiritual memerlukan hubungan
interpersonal yang baik dengan pasien. Oleh karena itu, pengkaian sebaiknya dilakukan
setelah perawat dapat membentuk hubungan yang baik dengan pasien atau dengan orang
terdekat pasien, atau perawat telah merasa nyaman untuk membicarakannya. Pengkajian
yang perlu dilakukan meliputi :

a. Pengkajian data subyektif : pedoman pengkajian ini disusun oleh Stoll (dalam Kozier,
2005), yang mencangkup konsep ketuhanan, sumber kekuatan dan harapan, praktek
agama dan ritual, dan hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan.

29
b. Pengkajian data obyektif

c. Pengkajian data obyektif dilakukan melalui pengkajian klinik yang meliputi


pengkajian afek dan sikap, dan perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal, dan
lingkungan. Pengkajian data obyektif terutama dilakukan melalui observasi.
Pengkajian tersebut meliputi :

1) Afek dan sikap. Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas, agitasi,
apatis, atau preokupasi?

2) Perilaku. Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab suci atau
buku keagamaan? Apakah pasien seringkali mengeluh, tidak dapat tidur,
bermimpi buruk, dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, serta bercanda yang
tidak sesuai atau mengekspresikan kemarahannya terhadap agama?

3) Verbalisasi. Apakah pasien menyebut Tuhan, doa, rumah ibadah, atau topic
keagamaan lainnya? Apakah pasien pernah minta dikunjungi oleh pemuka agama?
Apakah pasien mengekspresikan rasa takutnya terhadap kematian?

4) Hubungan interpersonal.

Siapa pengunjung pasien?Bagaimana pasien berespons terhadap pengunjung?


Apakah pemuka agama datang mengunjungi pasien? Bagaimana pasien
berhubungan dengan pasien lain dan juga dengan perawat?

5) Lingkungan.

Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan ibadah lainnya? Apakah
pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsure keagamaan dan apakah pasien
memakai tanda keagamaan (misalnya memakai jilbab)?.

Gangguan pada keyakinan atau sistem nilai berupa kesulitan merasakan makna
dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri, orang lain, lingkungan atau
Tuhan. Penyebab:

1) Menjelang ajal

2) Kondisi penyakit kronis

3) Kematian orang terdekat

4) Perubahan pola hidup

30
5) Kesepian

6) Pengasingan diri

7) Pengasingan sosial

8) Gangguan sosio-kultural

9) Peningkatan ketergantungan pada orang lain

10) Kejadian hidup yang tidak diharapkan

Gejala dan tanda mayor

1) Subjektif
a) Mempertanyakan makna/tujuan hidupnya
b) Menyatakan hidupnya terasa tidak/kurang bermakna
c) Merasa menderita/tidak berdaya
2) Objektif
a) Tidak mampu beribadah
b) Marah pada Tuhan

Gejala dan tanda minor

1) Subjektif
a) Menyatakan hidupnya terasa tidak/kurang tenang
b) Mengeluh tidak dapat menerima (kurang pasrah)
c) Merasa bersalah
d) Merasa terasing
e) Menyatakan telah diabaikan
2) Objektif
a) Menolak berinteraksi dengan orang terdekat/pemimpin spiritual
b) Tidak mampu berkreativitas (mis. Menyanyi, mendengarkan musik, menuliS
c) Koping tidak efektif
d) Tidak berminat pada alam/literatur spiritual

d. Kondisi klinis terkait

1) Penyakit kronis (mis. Arthritis rheumatoid, sklerosis multiple)

31
2) Penyakit terminal
3) Retardasi mental
4) Kehilangan bagian tubuh
5) Sudden infant death syndrome (SIDS)
6) Kelahiran mati, kematian janin, keguguran
7) Kemandulan
8) Gangguan psikiatrik (SDKI edisi 1, 2017).

6. Pengkajian Fungsi Sosial

Pengkajian fungsi social ini lebih ditekankan pada hubungan lansia dengan
keluarga sebagai peran sentralnya dan informasi tentang jaringan pendukung. Hal ini
penting dilakukan karena perawatan jangka panjang membutuhkan dukungan fisik dan
emosional dari keluarga. Pengkajian aspek fungsi social dapat dilakukan dengan
menggunakan alat skrining singkat untuk mengkaji fungsi social lanjut usia, yaitu
APGAR keluarga (Adaptation, Partnership, Growth, Affection, Resolve). Instrument
APGAR adalah :

a. Saya puas bisa kembali pada keluarga saya yang ada untuk membantu pada waktu
sesuatu menyusahkan saya (adaptasi).
b. Saya puas dengan cara keluarga saya membicarakan sesuatu dang mengungkapkan
masalah dengan saya (hubungan).
c. Saya puas bahwa keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk
melakukan aktivitas (pertumbuhan).
d. Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan efek dan berespons
terhadap emosi saya, seperti marah, sedih atau mencintai (afek).
e. Saya puas dengan cara teman saya dan saya menyediakan waktu bersama-sama.
Penilaian: Pertanyaan yang dijawab: selalu (poin 2), kadang- kadang (poin 1),
hampir tidak pernah (poin 0).

32
DIAGNOSIS DAN INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan pada lanjut usia dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain:
aspek fisik atau biologis dan aspek psikososial. Salah satu cara menentukan diagnosis
keperawatan dan intervensi keperawatan dikemukakan Wilkinson (2000), yaitu dengan
menggunakan NIC (Nursing Intervention Classification) dan NOC (Nursing Outcomes
Classification). Diagnosis keperawatan pada lanjut usia, dapat ditinjau dari aspek fisik atau
biologis, aspek psikososial, dan aspek spiritual. Ada beberapa diagnosis keperawatan yang
menyangkut aspek fisik atau biologis pada lanjut usia. Diagnosis tersebut, antara lain

33
Tabel 2.6 Diagnosa Dan Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA NIC NOC

1. Hambatan ReligiositasSetelah dilakukan 1. Pengurangan


berhubungn dengn krisisntervensi keperawatan kecermasan
akhir kehidupan Selama kurang lebih 7
2. Peningkatan
hari religiositas pasien
koping
dapat teratasi dengan
kriteria hasil : 3. Manajemen
energi
Definisi :
Ganggun 1. Kesehatan spiritual
kemmpun untuk melatih 4. Manajemen
2. Status
kebergantungan pada lingkungan
keyakinan dan/atau
5. Manajemen
berpartisifasi dalam ritual
kenyamanan nyeri
tradisi kepercayaan
tertentu. 6. Fasilitasi
pengembangan
spiritual

7. Dukungan
Batasan Karakteristik : spiritual

1. Distres tentang
perpisahan dari
komunitas
kepercayan

2. Keinginan untuk
berhubungan kembali
dengn pola keyakinan
sebelumnya

3. Keinginan untuk
berhubungan lagi
dengan adat istiadat
sebelumnya

34
4. Kesulitan mematuhi
keyakinan agama
yang dianut.

Faktor yang berhubungan:

Perkembangan dan situsi

1) Krisis akhir
kehidupan

2) Penuaan

3) Transisi kehidupan

Fisik

1) Nyeri

2) Penyakit/ Sakit

Psikologis

1) Ansietas

2) Dukungan social
tidak cukup

3) Krisis personal

4) Riwayat manipulsi
religiositas

5) Strategi koping
tidak efektif

6) Takut mati

7) Tidak aman

35
Sosiokultural

1) Kendala cultural
untuk
mempraktikkan
agama

2) Kurangnya
interaaksi
sosiokultural

Spiritual

1) Krisis spiritual

2) Penderitaan

36
Hubungan Antar Konsep/Pathway

37
38
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lansia adalah periode dimana organisme mencapai kemasakan dalam ukuran dan
fungsi dan juga telah menunjukan kemunduran sejalan dengan waktu. Perawat perlu
menerapkan tekni komunikasi yang bisa memlalui pendekatan asertif, responsive, focus,
supportif, klarifikasi, sabar dan ikhlas. Sedangkan untuk teknik pendekatan pada klien
lansia dapat melalui teknik pendekatan fisik, pendekatan psikologis, pendekatan social
dan pendekatan spiritual.
3.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya,karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi
yang adahubungannya dengan judul makalah ini.Penulis banyak berharap para pembaca
yang budiman sudi memberikankritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah inidan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutny

39
Daftar Pustaka
Ratnawati, E. 2017. Asuhan keperawatan gerontik.Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Andesty, Dina. 2018. Hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di unit
pelayanan terpadu (uptd) griya werdha kota surabaya. The Indonesian Jurnal .Vol 13
Amanda,Riska.2019.Asuhan Keperwatan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Spiritual
pada Lansia dengan Artitis Reumatoid di UPTD PSLU Tresna Werdha Natar Kabupaten
Lampung Selatan Tahun 2019. Lampung: Repository Poltekkes Tanjungkarang diakses
pada 30 November 2021 http://repository.poltekkes-tjk.ac.id/218/3/BAB%20II.pdf
Yusuf, Ah, dkk. 2016. Kebutuhan Spiritual: konsep dan aplikasi dalam asuhan
keperawatan. Jakarta: Mitra Wacana Media.

40

Anda mungkin juga menyukai