Anda di halaman 1dari 14

Analisis Struktur Modal

Kelompok 10 :
- Dyah Amalia Nugraheni/ 2000012137
- Surya Eka Rohman / 2000012149
- Anita Permata A A / 2000012159
- Marchielo Refanza G / 2000012171
- Fahad Muhamad Ahlam / 2000012181
Pengertian Struktur Modal

Struktur modal (capital structure) adalah perbandingan atau imbangan pendanaan jangka
panjang perusahaan yang ditunjukkan oleh perbandingan utang jangka panjang terhadap modal
sendiri. Pemenuhan kebutuhan dana perusahaan dari sumber modal sendiri berasal dari modal
saham, laba ditahan, dan cadangan. Jika dalam pendanaan perusahaan yang berasal dari modal
sendiri masih mengalami kekurangan (defisit) maka perlu dipertimbangkan pendanaan
perusahaan yang berasal dari luar, yaitu dari hutang (debt financing). Namun dalam pemenuhan
kebutuhan dana, perusahaan harus mencari alternatif-alternatif pendanaan yang efisien yang akan
terjadi bila perusahaan mempunyai struktur model yang optimal. Struktur modal yang optimal
dapat diartikan sebagai struktur modal yang dapat meminimalkan biaya penggunaan modal
keseluruhan atau biaya modal rata-rata (ko), sehingga akan memaksimalkan nilai perusahaan.
Struktur modal optimal terlihat pada gambar berikut:

Struktur modal yang optimal terjadi pada leverage keuangan sebesar x, di mana ko (tingkat

kapitalisasi perusahaan atau biaya modal keseluruhan) minimal yang akan memberikan harga
saham tertinggi. Leverage keuangan merupakan penggunaan dana di mana dalam penggunaan
dana tersebut perusahaan harus mengeluarkan beban tetap. Leverage keuangan ini merupakan
perimbangan penggunaan hutang dengan modal sendiri dalam perusahaan.

Teori Struktur Modal

Dalam teori struktur modal diasumsikan bahwa perubahan struktur modal berasal dari penerbitan
obligasi dan pembelian kembali saham biasa atau penerbitan saham baru. Selanjutnya perlu
dikaji bagaimana pengaruh perubahan struktur modal tersebut terhadap nilai perusahaan dan
apakah ada pengaruh struktur modal terhadap harga saham perusahaan sebagai pencerminan nilai
perusahaan. Apabila ada pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan, pertanyaan
berikutnya adalah bagaimana struktur modal yang optimal bagi perusahaan. Dalam analisis
struktur modal ini digunakan beberapa asumsi yaitu:

1. Tidak ada pajak penghasilan.

2. Tidak ada pertumbuhan laba.

3. Pembayaran seluruh laba kepada pemegang saham yang berupa dividen.

4. Perubahan struktur modal terjadi dengan menerbitkan obligasi dan membeli kembali saham
biasa atau dengan menerbitkan saham biasa dan menarik obligasi.

Adapun dalam pembahasan selanjutnya, untuk menghitung besarnya biaya modal dalam
kaitannya dengan struktur modal dan nilai perusahaan digunakan beberapa rumus sebagai berikut
(perlu düngat kembali bahwa biaya modal sama dengan return yang diharapkan oleh investor,
sehingga menghitung biaya modal sebenarnya sama dengan menghitung return modalnya) :

1. Rumus pertama untuk menghitung return obligasi :

I ki = retrun dari obligasi


ki = B I = Bunga hutang obligasi tahunan
B = Nilai pasar obligasi yang beredar

2. Rumus kedua untuk menghitung return saham biasa :


ke = retrun dari saham biasa
E
ke = S E = laba untuk pemegang saham biasa
S = Nilai pasar saham yang beredar

3. Rumus ketiga untuk menghitung return bersih perusahaan :

O ko = retrun bersih dari perusahaan (sebesar biaya


ko = V modal rata-rata minimal)
O = laba operasi bersih
V = total nilai perusahaan

Perlu diketahui bahwa nilai perusahaan sama dengan nilai pasar obligasi ditambah nilai pasar
saham atau V = B + S sedangkan k o merupakan tingkat kapitalitas total

perusahaan dan diartikan sebagai rata-rata tertimbang biaya modal. Oleh karena itu k o dapat
dirumuskan sebagai berikut :

k o= k i [ ]+ [ ]
B
B+ S
ke
S
B+ S

apakah terjadi perubahan k i , k e , dan k o apabila leverage keuangan mengalami perubahan dapat
dianalisis dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan laba operasi bersih, pendekatan
tradisional, dan pendekatan – Miller.

a. Pendekatan Laba Operasi Bersih (Net Operating Income Approach)

Pendekatan laba operasi bersih dikemukakan oleh David Durand tahun 1952. Pendekatan ini
menggunakan asumsi bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan hutang
perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata- rata tertimbang bersifat konstan
berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan.

Dengan demikian, pertama, diasumsikan bahwa biaya hutang konstan. Kedua, penggunaan
hutang yang semakin besar oleh pemilik modal sendiri dilihat sebagai peningkatan risiko
perusahaan.

Artinya apabila perusahaan menggunakan hutang yang lebih besar, maka pemilik saham akan
memperoleh bagian laba yang semakin kecil. Oleh karena itu tingkat keuntungan yang
disyaratkan oleh pemilik modal sendiri akan meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko
perusahaan. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang akan berubah. Untuk melihat efek laba
operasi bersih terhadap nilai perusahaan, kita pelajari contoh berikut:

Contoh : Suatu perusahaan mempunyai hutang sebesar Rp 8.000.000,- dengan tingkat bunga
sebesar 15%, Laba operasi berşih Rp 8.000.000,- dengan tingkat kapitalisasi total sebesar 20%,
dan saham yang beredar sejumlah 10.000 lembar. Maka dari data di atas nilai perusahaan adalah:

Keterangan Nilai
Laba Operasi Bersih (O) Rp8.000.000
Tingkat kapitalisasi total (ko) 20%
Nilai total perusahaan (V) Rp40.000.000
Nilai pasar hutang (B) Rp8.000.000
Nilai pasar saham (S) Rp32.000.000

Laba untuk pemegang saham biasa (E) = O – I


= 8.000.000 – (15% x 8.000.000)

= Rp8.000.000 - Rp1.200.000 = Rp6.800.000


Sehingga tingkat retrun modal sendiri yg disyaratkan (ke) adalah :
ke = E/S
= 6.800.000/32.000.000 = 21,25%
Harga per lembar saham = 32.000.000/10.000 = Rp3.200
Misalnya perusahaan mengganti sebagian modal sahamnya dengan modal hutang sebesar
Rp16.000.0000 sehingga diperlukan saham sebanyak = 16.000.000/3.200 = 5.000 lembar saham
untuk mendapatkan hutang tersebut. Dengan demikian jumlah saham beredar sekarang
berkurang menjadi 5000 lembar (10.000 lembar – 5.000 lembar), sehingga nilai perusahaan
menjadi :

Keterangan Nilai
Laba operasi bersih (O) Rp8.000.000
Tingkat kapitalisasi total (ko) 20%
Nilai total perusahaan (V) Rp40.000.000
Nilai pasar hutang (B) Rp24.000.000
Nilai pasar saham (S) Rp16.000.000

Laba tersedia bagi pemegang saham (E) = O – I


= Rp8.000.000 – (15% x (Rp8.000.000 + Rp16.000.000)
= Rp8.000.000 – Rp3.600.000 = Rp4.400.000
Sedangkan untuk retrun modal sendiri, (ke) sebesar :
ke = E/S
= 4.400.000/16.000.000 = 27,5%
Harga per lembar saham = 16.000.000/5.000 = Rp3.200

Kesimpulan : Dari contoh di atas diketahui bahwa, peningkatan leverage, ternyata


mempengaruhi tingkat keuntungan (return) yang diayaratkan. Tingkat return yang disyaratkan
(ke) meningkat secara linear dengan leverage keuangan (financial leverage) yang diukur dengan
perimbangan antara hutang (B) dengan saham (S). Sedangkan nilai total perusahaan (V) dan
harga saham per lembar tidak berubah walaupun leverage keuangannya berubah.

b. Pendekatan Tradisional (Traditional Approach)


Pendekatan tradisional diasumsikan terjadi perubahan struktur modalyang optimal dan
peningkatan nilai total perusahan melalui penggunaan financial leverage. (hutang dibagi modal
sendiri atau B/S).

Contoh : Perusahaan ‘ABC’ pada awal mula berdirinya menggunakan modal hutang obligasi
sebesar Rp45.000.000, dengan bunga 5%, dan mendapatkan laba operasi bersih sebsar
Rp15.000.000 per tahun.Keuntungan yang disyaratkan dari pemilik sebesar 11% per tahun.
Jumlah saham yang beredar 12.750 lembar. Dari data tersebut maka nilai perusahaan akan
tampak sebagai berikut :

Keterangan Nilai
Laba operasi bersih (O) Rp15.000.000
Bunga hutang 5% (I) Rp2.250.000
Laba tersedia untuk pemegang saham (E) Rp12.750.000
Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,11
Nilai pasar saham (S) Rp115.909.090*
Nilai pasar hutang (B) Rp45.000.000
Nilai total perusahaan (V) Rp160.909.090
*Pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan (ko) = 15.000.000/160.090.090 = 9,3%

Harga per lembar saham = Rp115.909.090/12.750 = Rp9.090 (dibulatkan)

Misalnya perusahaan akan mengganti seluruh modal hutang obligasi dengan saham. Karena nilai
obligasi sebesar Rp5.000.000, dengan harga saham per lember sebesar Rp9.090, maka
diperlukan sebanyak Rp45.000.000/9.090 = Rp4950 lembar saham. Sekasang seluruh modal
perusahaan merupalan modal sendiri sehingga tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh investor
(modal sendiri) menjadi lebih rendah, misalnya dari 11% menjadi sebesar 10%. Dengan
demikian nilai perusahaan dan biaya modalnya sebagai berikut :

Keterangan Nilai
Laba operasi bersih (O) Rp15.000.000
Bunga hutang (I) 0
Laba tersedia untuk pemegang saham (E) Rp15.000.000
Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,10
Nilai pasar saham (S) Rp150.000.000
Nilai pasar hutang (B) 0
Nilai total perusahaan (V) Rp150.000.000

Tingkat kapitalisasi keseluruhan atau (ko) = 15.000.000/150.000.000 = 10%, sedangkan harga


saham menjadi 150.000.000/(12.750 + 4950) = Rp8.474,58 per lembar. Sehingga harga saham
berubah (turun) dari Rp9.090, menjadi Rp8.474,58, akibat perubahan struktur modal.

Misalkan sekarang ini perusahaan mengganti sahamnya dengan hutang sebesar Rp 45.000.000
dari keadaan semula, sehingga jumlah hutang menjadi Rp45.000.000 + Rp45.000.000
=Rp90.000.000. Dengan demikian jumlah sahamnya akan berkurang sejumlah 4950 lembar lagi.
Jadi jumlah sahamnya tinggal 7.800 lembar (12.750 lembar - 4.950 lembar). Karena sekarang
proporsi modal asing menjadi lebih besar (dengan kata lain risiko finansialnya menjadi lebih
besar), maka mungkin tingkat kapitalisasi modal sendiri menjadi lebih besar, katakanlah menjadi
14%. Dengan kata lain para pemegang saham mensyaratkan tingkat keuntungan yang lebih
tinggi karena menganggap risiko perusahaan meningkat. Tetapi karena risiko yang makin tinggi,
maka hutang (obligasi) harus membayar bunga lebih besar, katakanlah menjadi 6%. Dari data
tersebut di atas, penilaian terhadap perusahaan akan menjadi:

Keterangan Nilai
Laba operasi bersih (O) Rp15.000.000
Bunga hutang (I) Rp5.400.000
Laba tersedia untuk pemegang saham (E) Rp9.600.000
Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,14
Nilai pasar saham (S) Rp68.571.429*
Nilai pasar hutang (B) Rp90.000.000
Nilai total perusahaan (V) Rp158.571.429
*Pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan adalah = O/V = 15.000.000/158.571.429 = 9,5%.

Berarti mengalami kenaikan dibandingkan dengan struktur modal semula sebesar 9,3%.
Sedangkan harga pasar sahamnya menjadi = Rp68.571.429/7.800 = Rp8.791 per lembar, yang
berarti lebih rendah dari harga saham semula sebesar Rp 9.090.

Kesimpulannya, dengan menggunakan pendekatan tradisional, bisa diperoleh struktur modal


yang optimal yaitu struktur modal yang memberikan biaya modal keseluruhan yang terendah dan
memberikan harga saham yang tertinggi. Hal ini disebabkan karena berubahnya tingkat
kapitalisasi perusahaan, baik untuk modal sendiri maupun pinjaman setelah perusahaan merubah
struktur modalnya (leverage) melewati batas tertentu. Perubahan tingkat kapitalisasi ini
disebabkan karena adanya risiko yang berubah.

c. Pendekatan Modigliani dan Miller (MM Approach)

Franco Modigliani dan MH. Miller (disingkat MM) menentang pendekatan tradisional dengan
menawarkan pembenaran perilaku tingkat kapitalisasi perusahaan yang konstan. MM
berpendapat bahwa risiko total bagi seluruh pemegang saham tidak berubah walaupun struktur
modal perusahaan mengalami perubahan. Hal Ini didasarkan pada pendapat bahwa pembagian
struktur modal antara hutang dan modal sendiri selalu terdapat perlindungan atas nilai investasi.
Yaitu karena nilai investasi total perusahaan tergantung dari keuntungan dan risiko, sehingga
nilai perusahaan tidak berubah walaupun struktur modalnya berubah. Asumsi-asumsi yang
diguriakan MM:

1. Pasar modal adalah sempurna, dan investor bertindak rasional


2. Nilai yang diharapkan dari distribusi probabiltas semua Investor sama
3. Perusahaan mempunyai risiko usaha (business risk) yang sama
4. Tidak ada pajak

Pendapat MM didukung oleh adanya proses arbitrase, yaitu proses mendapatkan dua aktiva yang
pada dasarnya sama dan membelinya dengan harga yang termurah serta menjual lagi dengan
harga yang lebih tinggi. Untuk memperjelas proses arbitrase akan diberikan contoh sebagai
berikut:

Contoh : Ada dua perusahaan yang serupa yaitu perusahaan A yang modal seluruhnya
merupakan modal sendiri, dengan keuntungan yang disyaratkan sebesar 15%. Perusahaan kedua
adalah perusahaan B yang sebagian modalnya berupa obligasi sebesar Rp240.000.000, dengan
bunga 12% dan keuntungan yang disyaratkan pemegang saham sebesar 16%. Maka penilaian
kedua perusahaan adalah sebagai berikut:

keterangan Perusahaan A (Rp) Perusahaan B (Rp)


Laba operasi bersih (O) 80.000.000 80.000.000
Bunga hutang obligasi (I) 0 28.800.000
Laba yang tersedia untuk 80.000.000 51.200.000
pemegang saham (E)
Keuntungan yang disyaratkan 0,15 0,16
(k e )
Nilai pasar saham (S) 533.333.333* 320.000.000
Nilai hutang (B) 0 240.000.000
Nilai total perusahan (V) 533.333.333 560.000.000
*pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan (k o )


Perusahaan A = Rp80.000.000/Rp533.333.333 = 15%
Perusahaan B = Rp80.000.000/Rp560.000.000 =14,3%

Menurut MM, situasi di atas tidak dapat berlangsung terus karena akan terjadi proses arbitrase
yang menjadikan kedua nilai perusahaan, sama. Perusahaan B tidak akan memiliki nilai yang
lebih tinggi karena perusahaan tersebut memiliki struktur modal yang berbeda dengan
perusahaan A. Menurut MM investor dalam perusahaan B akan mampu memperoleh keuntungan
yang sama tanpa peningkatan risiko keuangan dengan cara menginvestasikan dananya pada
perusahaan A. Transaksi arbitrase ini terus berlangsung sampai membuat nilai total kedua
perusahaan sama. Misalnya seorang investor memiliki sejumlah 5% saham di perusahaan B,
maka langkah-langkah yang dilakukan investor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Menjual saham perusahaan B untuk mendapatkan dana sebesar Rp 16.000.000 yaitu dari
5% x Rp320.000.000
2. Meminjam dana Rp12.000.000, yaitu dari 5% x Rp240.000.000 đengan bunga 12%,
sehingga total dana = Rp16.000.000 + Rp 12.000.000 = Rp 28.000.000
3. Membeli 5% saham perusahaan A seharga 26.666.666,65 (dibulatkan 26.666.667) yaitu
dari 5% x Rp 533.333.333

Sebelum transaksi di atas dilakukan, investor tersebut mengharapkan keuntungan investasinya


dari perusahaan B sebesar 16% dari nilai investasi Rp16.000.000 yaitu sebesar = 16% x Rp
16.000.000 = Rp2.560.000. Sedangkan keuntungan yang ia harapkan dari perusahaan A sebesar
15% dari investasi sebesar Rp 26.666.667, yaitu sama dengan 15% x Rp 26.666.667 =
Rp4.000.000. Dengan keuntungan ini investor harus mengurangi sebagian keuntungannya untuk
membayar bunga pinjaman, sehingga keuntungan bersihnya adalah :

Keuntungan investasi dari perusahaan A = Rp4.000.000


Bunga yang harus dibayar (12% x 12.000.000) = Rp1.440.000
_____________
Keuntungan bersih = Rp2.560.000

Keuntungan bersih sebesar Rp2.560.000, sama dengan keuntungan investasi pada perusahaan B.
Tetapi pengeluaran kas untuk investasi perusahaan A hanya sebesar Rp14.666.667 (dari Rp
26.666.667 - Rp 12.000.000) dibandingkan pengeluaran kas untuk investasi pada perusahaan B
sebesar Rp16.000.000. Karena investor dapat memperoleh keuntungan yang sama dengan
menggunakan jumlah investasi yang lebih kecil dan risiko finansialnya juga sama, maka investor
akan melakukan langkah arbitrase tersebut. Dan apabila karena suatu alasan kemudian harga
saham perusahaan A lebih tinggi dari perusahaan B, maka proses abitrase akan berlangsung juga,
namun dalam arah yang sebalikya.

Ketidaksempurnaan Pasar dan Isu Insentif

Dengan menggunakan asumsi bahwa pasar modal adalah sempurna maka proses penyeimbangan
pasar akan menjamin kebenaran (validity) pendapat MM, yaitu bahwa biaya modal dan penilaian
keseluruhan perusahaan tidak tergantung pada struktur modalnya. Untuk memperdebatkan hal ini
haruslah digunakan dasar bahwa pasar modal sebenarnya adalah tidak sempurna, yang
menyebabkan proses penyeimbangan harga pasar tidak tergantung pada keuntungan yang
disyaratkan dan risiko sistematisnya. Dalam keadaan semacam ini leverage mungkin mempunyai
pengaruh atas nilai keseluruhan perusahaan dan biaya modalnya. Meskipun demikian,
ketidaksempurnaan ini tidak hanya harus cukup besar (materiil) tetapi juga harus searah.
Misalnya, biaya transaksi membatasi proses arbitrase yang telah dikemukakan di atas. Jadi
arbitrase hanya akan terjadi sampai dengan batas yang ditetapkan oleh biaya transaksi. Walaupun
demikian pengaruh bersih dari ketidaksempurnaan ini tidaklah dapat diduga sebagai mana
arahnya. Berikut ini adalah argumen-argumen utama yang menentang proses arbitrase
Modigliani dan Miller.

1. Adanya biaya kebangkrutan

Apabila ada kemungkinan untuk bangkrut dan apabila biaya kebangkrutan tersebut cukup besar,
maka perusahaan yang menggunakan hutang (leverage) mungkin menjadi kurang menarik bagi
para investor dibandingkan dengan perusahaan tanpa hutang. Dalam pasar yang sempurna biaya
kebangkrutan dianggap sama dengan nol. Apabila suatu perusahaan bangkrut, maka pada
hakekatnya aset perusahaan dianggap dapat dijual pada harga (nilai) ekonomisnya, dan tidak ada
biaya-biaya likuidasi. Kemudian penghasilan yang diperoleh dari penjualan kekayaan ini akan
dibagikan kepada para kreditur dan pemilik, sesuai dengan prioritas dan proporsinya. Jadi
kreditur menerima bagiannya dulu, baru pemegang saham preferen dan setelah itu sisanya untuk
pemegang saham biasa. Apabila ada biaya kebangkrutan, maka aktiva-aktiva tersebut mungkin
harus dijual pada harga yang lebih rendah daripada nilai ekonomisnya. Pengurangan ini
merupakan kemungkinan para kreditur dan pemegang saham mendapatkan claim mereka
sepenuhnya.

Dalam kejadian kebangkrutan, para pemilik saham secara keseluruhan menerima bagian kurang
dari yang seharusnya apabila tidak ada biaya kebangkrutan. Karena perusahaan yang memiliki
hutang mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kebangkrutan daripada
perusahaan yang tidak memiliki hutang, maka perusahaan tersebut menjadi kurang menarik,
apabila hak-haknya sama. Kemungkinan kebangrutan biasanya bukan merupakan fungsi linear
dari perbandingan hutang dengan modal sendiri tetapi akan meningkat dengan tingkat yang
semakin tinggi setelah mencapai tingkat leverage tertentu. Sebagai hasilnya, biaya kebangkrutan
yang diharapkan akan meningkat semakin tinggi dan mempunyai efek negatif yang sama
terhadap nilai perusahaan dan biaya modalnya. Dengan kata lain, biaya modal sendiri meningkat
dengan semakin cepat.

2. Adanya biaya agensi

Biaya agensi adalah biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk meyakinkan
bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian perusahaan dengan kreditur dan
pemegang saham. Biaya agensi memiliki hubungan cukup dekat dengan biaya kebangkrutan yaitu
berhubungan dengan pengaruh yang dimiliki atas struktur dan nilai modal. Manajemen
merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Untuk dapat melakukan
fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai.
Pengawasan dapat dilakukan dengan cara pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan
pembatasan terhadap keputusan yang dapat diambil oleh manajemen. Kegiatan pengawasan ini
tentunya membutuhkan biaya.

Jensen dan meckling telah mengembangkan suatu teori yang disebut agensi. Salah satu pendapat
dalam teori agensi adalah siapapun yang menimbulkan biaya pengawasan, maka biaya yang
timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham. Apabila kita memegang obligasi maka
dalam mengantisipasi biaya pengawasan, maka kita akan membebankan bunga yang lebih tinggi.
Jumlah pengawas yang diminta oleh pemegang obligasi akan meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah obligasi yang beredar. Biaya pengawasan seperti halnya biaya
kebangkrutan, cenderung meningkat pada tingkat kecepatan yang meningkat dengan adanya
financial leverage.

3. Hutang dan insentif bagi efisiensi manajemen

Dengan adanya tingkat hutang yang tinggi, maka manajemen berada pada proses yang terdesak
karena harus memastikan arus kas yang dihasilkan mencukupi pembayaran hutang. Oleh karena
itu manajemen memiliki insentif untuk menggunakan dana yang ada bagi investasi yang
menguntungkan dan berusaha menghindari timbulnya beban yang akan menghabiskan dana.
Caranya adalah perusahaan yang menggunakan leverage akan lebih efisien karena manajemen
berusaha menghilangkan biaya-biaya yang tidak perlu. Sedangkan, perusahaan dengan sedikit
pinjaman memiliki kecenderungan untuk tidak terlalu mengawasi pemakaian biaya-biaya yang
sebenarnya dapat dikurangi. Kekhawatiran karena tidak mampu membayar hutang merupakan
insentif bagi manajemen dalam hal efisiensi.

4. Batasan-batasan institusional

Batasan-batasan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga yang membeli saham sering membatasi
proses arbitrase. Misalnya lembaga dana pensiun, perusahaan asuransi dan lembaga pendidikan,
yang memiliki saham, tidaklah mudah untuk membuat hutang. Lembaga-lembaga tersebut harus
menjaga hutang dalam tingkat yang tetap aman. Di samping itu mereka juga tidak boleh begitu
saja membeli saham perusahaan-perusahaan yang mempunyai tingkat leverage yang tinggi.
Dengan demikian perusahaan-perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan kehilangan
pembeli saham (lembaga-lembaga tersebut).

5. Biaya-biaya transaksi

Biaya-biaya transaksi cenderung membatasi proses arbitrase. Arbitrase akan terjadi jika biaya
transaksi mencapai jumlah tertentu, di luar itu arbitrase tidak akan memberikan keuntungan lagi.
Akibatnya, perusahaan yang menggunakan leverage akan memiliki nilai total yang sedikit lebih
tinggi atau lebih rendah dari yang diperkirakan.

6. Pengaruh pajak terhadap perusahaan

Apabila dimasukkan unsur pajak, maka kita harus menilai kembali pendapat bahwa perubahan
struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan karena pembayaran
bunga atas utang bisa dipakai untuk mengurangi pajak (tax deductible). Dengan demikian hal ini
akan menurunkan rata-rata tertimbang dari biaya modal setelah pajak, tidak seperti yang
dikemukakan MM. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:

Perusahaan A dan B memiliki laba operasi bersih (net operating income) masing-masing sebesar
Rp16.000.000. Perusahaan B memiliki hutang sebesar Rp40.000.000 dengan bunga 12%,
sedangkan perusahaan A tidak memiliki hutang. Jika tarif pajak sebesar 40%, maka diperoleh :
Keterangan Perusahaan A Perusahaan B
Laba operasi bersih Rp16.000.000 Rp16.000.000
Bunga hutang 0 Rp4.800.000
Keuntungan sebelum pajak Rp16.000.000 Rp11.200.000
Pajak 40% Rp6.400.000 Rp4.480.000
Laba yang tersedia bagi Rp9.600.000 Rp6.720.000
pemegang saham
Total laba yang tersedia bagi Rp9.600.000 Rp11.520.000
pemegang saham

Perbedaan keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham antara perusahaan A dan perusahaan
B adalah = Rp11.520.000.000 - Rp9.600.000 = Rp1.920.000. Hal ini terjadi karna investor
perusahaan B (pemegang obligasi) akan menerima pembayaran bunga sebelum dikurangi pajak,
sedangkan investor perusahaan B (pemegang saham) akan menerima dividen setelah digunakan
untuk membayar pajak sehingga investor di perusahaan A menerima laba lebih kecil.

Anda mungkin juga menyukai