Anda di halaman 1dari 13

1

KONSEP NEGARA
(Kuliah I)

Pendahuluan

Dalam menentukan konsep dan bentuk Negara, memiliki imbas balik terhadap warna
kebijakan politik suatu negara. Negara merupakan perwujudan historis sebuah kolektivitas sosial,
dalam memenuhi tuntutan harkat manusia pada sebuah negara (Balandier, 1986:161).
Eksistensinya, Negara merupakan sistem pelaksanaan tata aturan yang telah disepakati oleh
komunitas manusia dalam sebuah wilayah teritorial tertentu. Negara di sini merupakan institusi
yang berupaya mengakomodasi kepentingan individu dalam sebuah tatanan kehidupan
kemasyarakatan menjadi kepentingan kolektif. Wujudnya paling tidak merupakan rangkaian tiga
pilar utama syarat pokok sebuah negara, yaitu: wilayah atau teritorial, komunitas masyarakat, dan
struktur pemerintahan (Sukardja, 1995:88). Kriteria tersebut tidak bersifat spesifik dalam
menunjuk konsep Negara, dan spesifikasi tersebut muncul dari interaksi dan konsensus masyarakat
suatu negara yang ikut dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya factor politik baik secara
internal maupun eksternal (Budiardjo, 2008).
Spesifikasi keinginan kolektif tersebut, kemudian membedakan bentuk dan konsep negara
yang satu dengan yang lain, yaitu liberal, otokrasi, parlementer, hukum, dan lain sebagainya.
Dalam komunitas tertentu, persoalan bentuk dan konsep negara merupakan kajian yang sering
mengundang perdebatan dan perbedaan pendapat. Hal ini muncul karena tidak tidak ada penjelasan
secara khusus bagaimana bentuk dan konsep negara yang harus dikembangkan, tetapi hanya
memberikan prinsip-prinsip dasar sebuah negara ideal (Wheare, 1966). Oleh karena itu, para
ilmuan kemudian mencoba menafsirkan prinsip-prinsip dasar tersebut dalam sebuah rumusan
konsep kenegaraan.

Pembahasan

Secara umum, negara mengalami tahapan yang berbentuk spiral kekuasaan, yaitu: pertama,
tahap suksesi, penggulingan seluruh oposan yang memihak pada kekuasaan sebelumnya,
kemudian mendirikan sebuah sistem kekuasaan yang baru. Pada tahap ini, model kekuasaan
pemimpin sangat ideal dan sesuai dengan keingan masyarakat (rakyat) yang dipimpinnya. Upaya
ini pada sisi politis merupakan upaya untuk menarik simpatik rakyat, sehingga akan membentuk
kekuatan yang memerkuat kedinastian yang sedang dibangun. Ke dua. Tahap penguasa mulai
menampakkan tindakan kesewenang-wenangannya dengan menjadikan seluruh keputusannya
sebagai hukum yang berlaku (otoriter absolut). Ke tiga, tahap kesentosaan, terciptanya
pembangunan di segala bidang kehidupan. Pada tahap ini, kekuasaan monarkhi-absolut mulai
pudar, karena berbagai faktor internal dan eksternal dan menuju pada kehidupan yang demokratis-
harmonis. Ke empat, tahap ketenteraman dan keharmonisan sebagai konsekuensi dari penataan
kehidupan bernegara yang demokratis-harmonis, tanpa anarkhis. Ke lima, tahap penguasa mulai
menunjukkan pada pola hidup secara boros dan berlebihan (Rahman, 1992).
2

Fenomena di atas terjadi, karena pembangunan yang dicapai telah mencapai titik maksimal,
sehingga menyebabkan penguasa seringkali lengah dan hidup secara mewah, tanpa mau
memerhatikan nasib rakyat jelata. Tahap ini merupakan awal kemunduran sebuah peradaban
(negara), lemah, dan ahirnya jatuh. Sebuah fenomena yang membutuhkan biaya sosial yang sangat
mahal. (Khaldun, 1986:214-6). Secara esensial, perlunya sebuah negara bagi manusia, paling tidak
dilatarbelakangi dua faktor, yaitu: pertama, menjamin rakyat untuk hidup berdampingan, tenteram,
tenang, serta bersama-sama berusaha saling melengkapi dalam rangka menciptakan berbagai
bentuk kebudayaan bagi memertahankan kehidupannya. Ke dua, memertahankan diri dan
komunitasnya dari serangan pihak luar.
Agar diferensiasi agresifitas manusia tidak merugikan komunitasnya dan terlaksananya tata
aturan yang telah disepakati secara maksimal, diperlukan seseorang (kepala negara) yang memiliki
kemampuan, baik intelektual maupun kepribadian yang dapat mengatur, menangkal,
menetralisasi, dan mediator berbagai kepentingan individual menjadi kepentingan kolektif (Natsir,
1958 :112-3), sehingga memiliki kesatuan tujuan dan cita-cita yaitu terciptanya tatanan kehidupan
sosial yang harmonis. Sosok pemimpin ideal, misalnya adalah sosok seorang filosuf. Sosok
individu yang demikian merupakan sosok ideal sebagai seorang kepala negara. Dalam konteks ini,
negara dipandang sebagai sebuah institusi yang memiliki hak, tugas, dan tujuan khusus yang
memiliki alat material, serta peraturan-peraturan yang diakui oleh seluruh rakyatnya. Negara
seyogyanya menarik simpatik, dan kepercayaan menjadi dukungan rakyat. Jika hal ini tidak
mampu direalisasikan, maka suatu negara akan mengalami stagnasi, runtuh, bahkan kemudian
hancur.
Kondisi ideal sebuah negara akan muncul, manakala terciptanya suatu tatanan interaksi sosial
antara warga negara yang memiliki kesatuan visi dalam memandang komunitasnya sebagai sub
sistem dari sistem kenegaraan. Sikap yang demikian diistilahkan dengan sikap solidaritas
golongan. Dalam tataran ini, konsep tersebut yang dikembangkannya, pada proses awal dimaknai
sebagai perasaan nasab, baik karena pertalian darah atau pertalian kesukuan. Perasaan yang
demikian akan mengikat mereka dalam sebuah solidaritas kolektif. Proses ini muncul secara
alamiah. Dengan adanya solidaritas dalam komunitas manusia, maka akan timbul rasa cinta, dan
kepedulian yang tinggi terhadap komunitasnya, bahkan berupaya untuk senantiasa
mempertahankannya. Melalui perasaan cinta dalam komunitasnya tersebut, maka akan tumbuh
perasaan senasib sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, dan saling membantu antara satu dengan
yang lain. Pertalian ini akan menimbulkan persatuan dan pergaulan yang harmonis antar komunitas
yang ada. Pertalian dalam komunitas yang demikian, pada tahap selanjutnya membentuk nasab
umum; perasaan yang mengikat berbagai nasab dalam sebuah persaudaraan atau solidaritas
kolektif. Perasaan ini diikat oleh kesatuan visi, misi, sejarah, tanah air, dan bahasa (Thaib, 2009).
Hubungan harmonis antara kedua macam nasab di atas, akan menimbulkan kesatuan cita-cita
dan tujuan, sikap demikian pada gilirannya akan melahirkan suatu sikap positif terhadap eksistensi
sebuah negara. Dalam hal ini, lebih mengelaborasi pengertian komunitas dalam bentuk makna ke
dua, yaitu komunitas yang tidak lagi sebatas hubungan nasab, akan tetapi hubungan antar
kelompok manusia yang memiliki kesatuan tujuan bernegara. Interaksi antar nasab ini secara luas
terjadi melalui berbagai bentuk, melalui perjanjian atau kesepakatan, proses penaklukan, dan lain
sebagainya. Dalam konteks ini, terlihat bahwa konsep komunitas yang dibangun telah melampaui
batas terminologis yang difahami masyarakat sebelumnya (Pulungan, 1997:277). Tatkala sikap ini
3

terbentuk secara harmonis, maka pada waktu bersamaan eksistensi kepala negara diperlukan. Hal
ini diwujudkan sebagai konsekuensi terhadap tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya
perlindungan, keamanan, dan terpeliharanya berbagai kepentingan masyarakat lainnya.
Untuk mewujudkan tuntutan kolektivitas di atas, seorang kepala negara dituntut untuk
memiliki superioritas intelektual dan kepribadian yang lebih dari rakyatnya. Dengan sikap ini,
seorang kepala negara akan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien,
objektif, adil (dengan melaksanakan supremasi hukum), dan amanah. Jika sikap ini justeru
terabaikan pada seorang pemimpin, maka eksistensinya akan menjadi bumerang bagi
terlaksananya roda pemerintahan yang seyogyanya mengayomi masyarakat luas (Pulungan,
1997:278). Hanya negara yang memiliki komunitas yang kuat, akan mampu menciptakan sebuah
peradaban umat manusia yang tinggi. Akan tetapi, jika rasa komunitas pudar dan hanya dipahami
secara sempit, maka yang ada hanyalah nepotisme-absolut yang membuat hancurnya sebuah
negara (Zainuddin, 1992:196). Konsep komunitas yang dimaksud adalah dalam makna luas, bila
ditarik pada tataran kehidupan berbangsa-bernegara disebut dengan solidaritas dan dukungan
rakyat terhadap pemerintahan. Semakin besar dukungan rakyat, maka akan semakin kuat suatu
Negara, tetapi bila dukungan rakyat semakin kecil, maka semakin lemah bahkan terpecahlah suatu
negara.
Menyadari, bahwa eksistensi negara merupakan sebuah institusi yang memiliki tanggung
jawab yang cukup besar dalam mengayomi seluruh kepentingan rakyatnya, maka hal ini
merupakan konsep negara dalam pemikiran politik secara universal dan fleksibel. Ada pun bentuk
negara secara riil dan transparan, dalam konteks ini, diberikan kebebasan kepada setiap komunitas
untuk menentukan bentuk negaranya, sesuai dengan cita-cita suatu bangsa yang bersangkutan.
Dalam konteks demikian, yang diperlukan adalah bagaimana konsep tersebut mampu mewujudkan
cita-cita dan menjamin terciptanya kemakmuran bagi seluruh rakyat (Kelsen, 1971). Batasan ini
memberikan makna, bahwa kepala negara di samping sebagai pemimpin yang berfungsi
memelihara kesejahteraan kehidupan duniawi seluruh rakyat, eksistensinya juga merupakan
pemimpin (imam) yang seluruh tindakannya (moralitas) merupakan pedoman dan contoh tauladan
yang senantiasa menjadi acuan bagi seluruh rakyatnya. Mencermati prototipe pemimpin ideal di
atas, sepertinya akan terwakili bila pemimpin memiliki kepribadian filosof yang memiliki sisi
kebijaksanaan yang maksimal (Muhsin, 1971).
Pendekatan idealistik di atas, merupakan sebuah konsep negara ideal, yaitu negara yang
dipimpin oleh seorang pemimpin yang berkepribadian filosuf. Dengan kepribadian tersebut, maka
seorang pemimpin akan mampu memenuhi kriteria pemimpin ideal, yaitu pemimpin yang mampu
menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dunia. Untuk itu, agar penguasa mampu menjadi
seorang politikus dan kepala negara yang baik, maka ia harus berusaha terlebih dahulu menjadi
filosuf yang mampu terhindar atas kemewahan dan keserakahan duniawiyah (Mahdi, 1971:286-
9). Agar pemilihan kepala negara benar-benar mampu mengayomi fungsi ideal di atas secara serasi
dan seimbang, maka proses pemilihan harus proporsional. Proses tersebut dilakukan melalui
lembaga yang independen, objektif dan adil, tanpa bias subjektivitas kelompok (partai) mana pun.
Dalam kapasitasnya, baik keluasan ilmu, kehartawanan, kedudukan di tengah-tengah masyarakat,
seorang kepala Negara memiliki akhlaq al-karimah, dan lain sebagainya. Pada umumnya ia
merupakan kelompok yang lebih mengedepankan proses musyawarah dalam rangka mengangkat
kepala Negara, dan komunitasnya bukan merupakan wakil dari masing-masing kelompok (partai)
4

atau daerah. Eksistensinya merupakan perwujudan dari kemudian melimpahkan amanah


operasional kenegaraan kepada kepala Negara, untuk menerapkan semua kebijaksanaan
pemerintahan dalam kehidupan berbangsa-bernegara (Valina, 2008).
Secara vertikal, lembaga ini merupakan pemegang amanah Allah untuk mampu memilih
pemimpin yang terbaik bagi umat, di bahu mereka warna dan bentuk negara ditentukan. Ada pun
kriteria kepala begara yang ideal, di antaranya adalah memiliki pengetahuan yang luas, adil dan
objektif, memiliki kemampuan manajemen pemerintahan, berbadan sehat, berakhlaq al-karimah.
Dalam memaknai syarat terakhir tersebut, perlu dianalisis lebih mendalam. Akhlaq al-karimah,
sesungguhnya tidak memaknai syarat tersebut secara etimologis-dogmatis. Ia memaknai syarat
tersebut secara historis, bahwa di era awal pemerintahan, sosok pemimpin ideal yang memiliki
kesanggupan sebagai pemimpin yang adil, amanah, jujur, intelek, dan bertanggung jawab. Oleh
karena itu, tidaklah berlebihan bila di era tertentu ini prototipe seseorang merupakan sosok ideal
seorang pemimpin umat. Namun dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, persyaratan
tersebut tidak bisa dipertahankan. Hanya saja, nilai esensinya tetap sama dan masih bisa
dipergunakan sebagai indiktor dalam memilih sosok pemimpin ideal (Sjadzali,1993).
Terkait hal ini, apabila persyaratan kepribadian tersebut telah dimiliki seseorang, maka ia
berhak untuk memperoleh kepercayaan sebagai pemimpin. Bahkan lebih ekstrim, bagi kelompok
tertentu kepala negara tidak mesti seorang muslim. Andaikata ia mampu memenuhi kriteria ideal
sebagai seorang pemimpin, dan selama ia mampu menciptakan kebijaksanaan bagi kemashlahatan
umat manusia, maka ia bisa diangkat menjadi kepala negara. Namun demikian, dalam rangka
menciptakan masyarakat yang diinginkan (misal masyarakat madani), maka secara ideal kepala
negara hendaknya seorang muslim. Hal ini disebabkan, secara normatif, Islam memiliki konsep
ideal tersebut (Khaldun, 1986:65-9; Raliby, 1965:171). Bagi Khaldun, kepala negara bukan
seorang diktator yang dengan kekuasaannya berusaha untuk memerkaya diri dan memaksakan
kehendaknya atas orang lain. Kepala negara merupakan pemimpin umat yang bertugas
melaksanakan tanggung jawab sosial dan agama, agar manusia bisa hidup tenteram, harmonis, dan
sejahtera.
Kepala negara yang baik, adalah kepala negara yang menyadari hakikat eksistensinya sebagai
pemegang amanah rakyat dan Allah. Untuk itu, seorang pemimpin akan senantiasa bersikap adil,
lemah lembut, bijaksana, jujur, dan memberlakukan hukum sebagaimana mestinya. Bila pemimpin
memiliki sikap yang demikian, maka mereka akan bisa hidup bersama rakyat secara harmonis dan
bersama-sama membangun negara dan peradabannya (Zainuddin, 1992:94). Acuan moral,
merupakan pedoman bagi pemimpin dalam melaksanakan kebijakan politik kenegaraan. Dengan
pijakan tersebut, negara akan mampu berfungsi secara ideal. Menurut Montgomery Watt,
pandangan Khaldun di atas merupakan pandangan yang sangat brilyan dari seorang pemikir dunia,
bukan saja untuk masa itu, akan tetapi bahkan untuk masa modern. Pemikirannya muncul dari
sebuah eksperimen langsung yang demikian panjang dan telah diuji secara alamiah (Watt,
1972:143). Dengan kemampuan jelajah rasionalnya yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dan praktis, mengantarkan Khaldun sebagai pemikir keagamaan dan politik ulung yang
dimiliki Islam dan dunia pada abad pertengahan. Bahkan kepiawaiannya yang demikian, sulit
untuk ditandingi para politikus modern, baik dunia Barat maupun dunia Timur (Hitti, 1971:255).
Menurut Khaldun, terciptanya sebuah negara yang ideal, paling tidak perlu ditunjang 4
(empat) kriteria sosiologis yaitu pertama, lingkungan yang sehat, udara, air, maupun tata letak
5

bangunannya. Ke dua, secara geografis terletak pada tempat yang strategis serta menjadi lalu lintas
perdagangan dan perkembangan kebudayaan. Ke tiga, terciptanya solidaritas sosial yang kental;
ikatan suku, agama, bahasa, wilayah, maupun rasa kebersamaan senasib. Ke empat, terletak pada
geografis yang subur dan kaya akan hasil buminya (Khaldun, 1986: 401-405). Bila ke empat
kriteria tersebut didukung oleh kepemimpinan kepala negara yang ideal, telah dimiliki pada suatu
negara, maka kondisi tersebut akan memercepat munculnya kemakmuran rakyat dan terbinanya
kebudayaan yang tinggi. Tindakan yang dilakukan sesungguhnya mencerminkan kejeniusan dan
kearifannya. Hal ini dapat dilihat, dalam melakukan politiknya, secara sosiologis mengacu pada
teori sosial (logika realistik). Konsepnya tentang negara merupakan pemikiriannya yang genuine
dan sekaligus membedakan pemikiran politiknya dengan pemikiran ilmuan lain, baik sebelum
maupun sesudahnya. Misal, ide negara hukum telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari
zaman Yunani Kuno.
Plato, pada awalnya dalam “the Republic” berpendapat, bahwa mungkin mewujudkan negara
ideal untuk mencapai kebaikan, yang berintikan kebaikan. Untuk itu kekuasaan harus dipegang
oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (the philosopher king), namun dalam
bukunya “the Statesmen” dan ”the Law”, Plato menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah
bentuk paling baik ke dua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum. Pemerintahan
yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum.
Senada dengan Plato, tujuan Negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang
paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah
wujud kebijaksanaan kolektif warga Negara (collective wisdom), sehingga peran warga Negara
diperlukan dalam pembentukannya. Jadi, sebagai sebuah konsep bernegara, negara hukum
bukanlah sesuatu yang baru dalam pembicaraan mengenai bagaimana negara dibentuk, dijalankan,
dan dikelola (Asshiddiqie, Jimly, 2006).
Pada abad 19 muncul gagasan tentang pembatasan kekuasaan pemerintah melalui pembuatan
konstitusi, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, selanjutnya diketahui tertuang dalam apa yang
disebut konstitusi. Konstitusi tersebut memuat batas-batas kekuasaan pemerintah dan jaminan atas
hak-hak politik rakyat, serta prinsip check and balances antar kekuasaan yang ada (Hoeve, 1972).
Pembatasan konstitusi atas kekuasaan negara ini selanjutnya dikenal dengan istilah
konstitusionalisme. Konstitusionalisme kemudian memunculkan konsep rechstaat (dari kalangan
ahli hukum Eropa Kontinental) atau rule of law (dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon) yang di
Indonesia diterjemahkan dengan Negara Hukum. Negara yang memiliki peran terbatas tersebut,
juga sering kali dijuluki sebagai nachtwachterstaat (negara penjaga malam). Menjelang
pertengahan abad ke-20, konsep Negara hukum formal (klasik) yang dicirikan dengan peran
negara yang terbatas, digeser ke arah gagasan baru, bahwa pemerintah tidak hanya menjadi
nachtwachterstaat, namun harus aktif melakukan upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan
(Sabine, dalam Jimly Asshiddiqie (1999).
Moh. Mahfud MD (1999) menegaskan bahwa tugas dan peranan Negara, kemudian menjadi
dinamis dan meluas jauh melewati batas-batas yang pernah diatur dalam demokrasi konstitusional
abad ke-19. Gagasan demokrasi abad 20 ini lazim disebut welvaarstaat/ welfare state (negara
kesejahteraan) atau “negara hukum material” (negara hukum modern). Indonesia sebagai sebuah
negara yang lahir pada abad ke-20, mengadopsi konsep bernegara hukum sesuai prinsip
konstitusionalisme. Hal ini dapat dilihat dari kesepakatan (consensus) bangsa Indonesia sejak
6

UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia ditetapkan. Kesepakatan tersebut yang pada
perkembangannya menjelma menjadi cita-cita bersama yang biasa juga disebut falsafah
kenegaraan atau staatsidee (cita negara), yang berfungsi sebagai filosofische grondslag, dan
common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks
kehidupan bernegara. Namun, apakah konsep negara hukum yang diatur dalam konstitusi tersebut
mengalami perkembangan atau bahkan pergantian arah perwujudannya seiring dengan pergantian
dan perubahan konstitusi yang berlaku di Indonesia, dan bagaimanakah konsep negara hukum
Indonesia tersebut.
Pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law, merupakan pemikiran mengenai “Negara
Hukum Modern” yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International Commission of
Jurists di Bangkok pada tahun 1965 yang menekankan pemahaman "the dynamic aspects of the
Rule of Law in the modern age" (aspek-aspek dinamika Rule of Law dalam abad modern). Terdapat
ada 6 (enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah
Rule of Law, yaitu Perlindungan Konstitusional, Peradilan atau badan-badan kehakiman yang
bebas dan tidak memihak, Pemilihan Umum yang bebas, Kebebasan menyatakan pendapat,
Kebebasan berserikat/ berorganisasi dan beroposisi, dan Pendidikan kewarganegaraan. Undang-
Undang Dasar Negara RI menyebutkan, bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah Negara
Hukum yang demokrasi (democratische rechtstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang
berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Sebagaimana disebutkan dalam naskah perubahan UUD 1945 yang menyebutkan, bahwa paham
negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (3) berkaitan erat dengan
paham negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materiil sesuai dengan
bunyi alenia ke empat Pembukaan dan Ketentuan Pasal 34 UUD 1945.
Pelaksanaan paham negara hukum materiil, akan mendukung dan memercepat terwujudnya
negara kesejahteraan di Indonesia. Konsep Negara Hukum, selain bermakna bukan Negara
Kekuasaan (Machtstaat) juga mengandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip
supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut
sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak
asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak
memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan
bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dalam
paham negara hukum yang demikian itu, pada hakikatnya hukum itu sendiri yang menjadi penentu
segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi dan doktrin ‘the rule of Law, and not of Man’. Dalam
kerangka ‘the rule of law’ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai
kedudukan tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah
(equality before the law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan
praktek (due process of law).
Prinsip negara hukum, idealnya dibangun dan dikembangkan bersama prinsip-prinsip
demokrasi atau kedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat), sehingga hukum yang dimaksud
tidak dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan
belaka. Prinsip negara hukum, tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip
demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Puncak kekuasaan hukum itu diletakkan
pada konstitusi, yang pada hakikatnya merupakan dokumen kesepakatan tentang sistem
7

kenegaraan tertinggi. Hubungan antara demokrasi dan negara hukum, dapat tercermin dalam
penjabaran bahwa yang dapat menjamin secara konstitusional terselenggaranya pemerintah yang
demokratis adalah adanya hukum yang menaunginya. Dengan kata lain, demokrasi yang berada di
bawah Rule of Law. Sedangkan syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang
demokratis di bawah Rule of Law ialah: 1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa
konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk
memeroleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin. 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak
memihak (independent and impartial tribunals). 3. Pemilihan umum yang bebas. 4. Kebebasan
untuk menyatakan pendapat. 5. Kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi. 6.
Pendidikan kewarganegaraan (Civic Education).
Jika merujuk pada ke enam hal tersebut, dengan mengidentifikasi keberadaan dan prakteknya
dalam negara Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia telah memenuhi syarat sebagai
negara hukum yang melaksanakan demokrasi berdasarkan konstitusi. Namun negara hukum
seperti apakah yang dianut oleh Indonesia, belumlah terjabarkan secara eksplisit dalam UUD 1945.
Apakah Indonesia menganut negara hukum aktif/ dinamis (dalam hal ini peran pemerintah sangat
besar dalam penyelenggaraan negara), atau menganut negara hukum formil dalam artian klasik,
yang mengandung konsep bahwa semakin kecil peran pemerintah semakin baik, atau bahkan
secara ekstrim hanya menjadi negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Konsep
nachtwachterstaat dalam hal ini, pada prakteknya hanya memberikan ruang kewenangan bagi
negara untuk menyelesaikan masalah yang menyangkut kepentingan umum, sedangkan untuk
kesejahteraan atau kepentingan pribadi diserahkan kepada pribadi masing-masing anggota
masyarakat tanpa campur tangan negara.
Sejak kemerdekaannya, Indonesia punya pengalaman dalam pergantian dan perubahan
konstitusi. UUD 1945 sebagai konstitusi negara, di tahun 1949 pernah digantikan Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS), yang kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) 1950 hingga 1959. Setelah UUD 1945 kembali diberlakukan, hingga saat ini
telah berubah sebanyak empat kali dalam rentang waktu 1999-2002. Pergantian dan Perubahan
konstitusi ini, pada kenyataannya tidak pernah menghilangkan klausul tujuan bernegara dan cita
negara hukum yang dicantumkan dalam Mukaddimah/ Preambule/ Pembukaan dan Batang Tubuh
(Pasal-Pasal) Konstitusi. Konsep Negara Hukum Indonesia dalam UUD 1945 (kurun waktu
pertama), bahwa pada Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945
memuat Paragraf yang mengatur konsep bernegara yang berbunyi: “Kemoedian dari pada itoe
oentoek membentoek suatoe Pemerintah negara Indonesia jang melindoengi segenap bangsa
Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia dan oentoek memadjoekan kesedjahteraan
oemoem, mencerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet melaksanakan ketertiban doenia jang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disoesoenlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itoe dalam soeatoe Oendang-Oendang Dasar Negara
Indonesia, jang terbentoek dalam soeatoe soesoenan Negara Republik Indonesia jang
berkedaoelatan rakjat dengan berdasarkan kepada Ketoehanan Jang Maha Esa, Kemanoesiaan
Jang Adil dan Beradab, Persatoean Indonesia dan Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat
kebidjaksanaan dalam Permoesyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewoedjoedkan soeatoe
Keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia” (A.B Kusuma, RM., 2009).
8

Ada pun mengenai ketentuan bernegara Indonesia yang berdasarkan hukum, UUD 1945
(kurun waktu pertama) tidak menyebutkannya dalam Pasal-Pasal. Aturan mengenai hal ini diatur
dalam Penjelasan Otentik UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia berdasar atas Hoekoem
(Rechstaat), tidak berdasarkan atas kekoesaan belaka (Machstaat). Ketentuan dalam Penjelasan
tersebut bersifat perbandingan, bahwa penyelenggaraan negara Indonesia yang dicita-citakan para
founding fathers adalah rechstaat bukan machstaat. Dengan demikian, cita-cita negara hukum
sudah terkonsepkan dalam Konstitusi Pertama yang berlaku di Indonesia, meski letak substansinya
hanya ada dalam Penjelasan Otentik. Hal ini menjelaskan bahwa pemikiran awal pembentukan
pemerintahan negara Indonesia diarahkan kepada penyelenggaraan pemerintahan yang
mengedepankan hukum sebagai panglima, agar tidak terjebak pada dominasi otoritas pemerintah
sebagai pribadi yang menjalankan kekuasaan bernegara tanpa mendasarkan pada hukum. Dengan
demikian, harapan terwujudnya supremasi hukum di atas yang realitas sosial yang lain menjadi
ruh perdana yang disematkan pada penyelenggara pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Fakta ini juga menjelaskan, bahwa pendapat umum tentang keadaan terbalik yang terjadi pada
masa Orde Lama dan Orde Baru yang lebih mengedepankan dominasi pribadi Presiden sebagai
“Penguasa Tunggal” penyelenggaraan Negara, adalah personal fault dari Presiden itu sendiri yang
tidak menjalankan amanat konstitusi. Sedangkan konsep Negara Hukum Indonesia dalam KRIS
1945, pada Mukaddimah KRIS 1949 memuat Paragraf yang mengatur konsep penyelenggaraan
negara berdasarkan hukum yang berbunyi: “Kami bangsa Indonesia semendjak berpuluh-puluh
tahun lamanja bersatu-padu dalam perdjuangan kemerdekaan, dengan senantiasa berhati-teguh
berniat menduduki hak-hidup sebagai bangsa jang merdeka berdaulat. Kini dengan berkat dan
rahmat Tuhan telah sampai kepada tingkatan sedjarah jang berbahagia dan luhur. Maka demi ini
kami menjusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara jang berbentuk republik-
federasi, berdasarkan pengakuan keTuhanan Jang Maha-Esa, perikemanusiaan, kebangsaan,
kerakjatan dan keadilan sosial. Untuk mewudjudkan kebahagiaan kesedjahteraan perdamaian dan
kemerdekaan dalam masjarakat dan Negara hukum Indonesia Merdeka jang berdaulat sempurna.”
Ketentuan di atas menjelaskan bahwa dalam konsepsi negara Republik Indonesia Serikat pun,
penyelenggaraan negara diarahkan pada cita negara hukum dengan klausa “...Untuk mewujudkan
... negara hukum Indonesia Merdeka jang berdaulat sempurna”. Klausa tersebut selanjutnya
ditegaskan dalam penjabaran mengenai Bentuk Negara dan Kedaulatan, pada Pasal 1 ayat (1) yang
berbunyi: “Republik Indonesia Serikat jang merdeka dan berdaulat jalah suatu negara-hukum jang
demokrasi dan berbentuk federasi.” Pasal ini menjelaskan bahwa bentuk negara hukum yang
dicita-citakan pada masa berlakunya KRIS adalah negara hukum yang menganut dan
mempraktekkan demokrasi sebagai pilihan penyelenggaraan negara. Dengan kata lain, konsep
negara hukum pada masa ini adalah Negara Hukum Demokratis. Lebih lanjut dalam tataran
implementasinya, KRIS bahkan memberi penegasan bahwa dalam rangka membentuk supremasi
hukum, diatur bahwa “Setiap orang jang ada di daerah Negara harus patuh kepada Undang-
Undang, termasuk aturan hukum jang taktertulis, dan kepada penguasa jang sah dan jang bertindak
sah”.
Konsep Negara Hukum Indonesia dalam UUD 1950, pada Mukaddimah UUDS 1950 yang
ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada 15 Agustus 1950 memuat Paragraf yang mengatur konsep
bernegara hukum yang berbunyi: “Maka demi ini kami menjusun kemerdekaan kami itu dalam
suatu piagam Negara jang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan ke-Tuhanan Jang Maha Esa,
9

peri-kemanusiaan, kebangsaan, kerakjatan dan keadilan sosial, untuk mewudjudkan kebahagiaan,


kesedjahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masjarakat dan negara-hukum Indonesia
Merdeka jang berdaulat sempurna”. Secara redaksional klausul cita negara hukum dalam UUDS
1950 masih sama dengan KRIS 1949 yakni “Negara-hukum Indonesia Merdeka jang berdaulat
sempurna”. Namun dalam penjabaran Pasalnya disebutkan sebuah bentuk konsepsi bernegara
yang berbeda sesuai dengan semangat zaman untuk mengembalikan bentuk negara kepada
kesatuan, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) “Republik Indonesia jang
merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hukum jang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Klausa ini berubah seiring perubahan bentuk negara dari federasi kepada kesatuan. Namun
demikian, cita-cita supremasi hukum dalam tataran implementasinya, sebagaimana diatur dalam
KRIS 1949 tetap dijiwai UUDS 1950 dengan Pasal 32 “Setiap orang jang di daerah Negara harus
patuh kepada undang-undang termasuk aturan-aturan hukum jang tak tertulis, dan kepada
penguasa-penguasa.” Kesamaan yang dimiliki ketentuan dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950, yaitu
bahwa meski memiliki kesamaan cita untuk membentuk negara hukum yang demokratis, namun
dalam pengaturan konsepsi implementasinya masih menunjuk kepatuhan yang dilakukan oleh
“setiap orang dalam Negara Indonesia” di samping kepada Undang-Undang sebagai suatu produk
hukum, juga kepada penguasa, dalam hal ini pemerintah. Sehingga dapat diartikan bahwa meski
Undang-Undang tidak dapat dikatakan mewakili hukum sebagai ruh cita mewujudkan negara
hukum, namun kepatuhan terhadapnya menjadi salah satu tolok ukur perwujudan semangat negara
hukum.
Penyandingan antara kepatuhan kepada Undang-Undang dan kepatuhan kepada Penguasa
mengaburkan supremasi hukum, yang merupakan salah satu unsur penting guna berjalannya
konsep negara hukum. Dualisme kepatuhan yang cenderung bertolak belakang antara undang-
undang di satu sisi, dengan penguasa di sisi lain, tidak dapat berlaku di suatu negara hukum kecuali
kepatuhan kepada penguasa tersebut berlandaskan pada ketentuan hukum. Dengan kata lain tidak
ada kepatuhan kepada selain hukum, kecuali kepatuhan tersebut atas dasar kepatuhan pada
ketentuan hukum. Konsep Negara Hukum Indonesia dalam UUD 1945 Pasca Perubahan
Perubahan UUD 1945 pada 1999-2002, diawali dengan konsensus tentang hal-hal yang tidak akan
diubah dari UUD, di antaranya adalah Pembukaan/ Preambule yang tetap dipelihara sesuai dengan
teks asli.
Dengan demikian, cita-cita bernegara yang dituangkan dalam Alenia IV Pembukaan UUD
tidak diubah dengan tetap berbunyi: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia (Farida, 2007).
Dengan demikian, cita-cita bernegara tetap mengandung empat tujuan yang meliputi;
perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan, ditambah dengan ketertiban dunia yang berdasar pada
10

prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (sebagai bingkai politik luar negeri
Indonesia). Konsep negara hukum Indonesia yang sebelum perubahan, hanya disebutkan dalam
Penjelasan UUD, diletakkan dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Penempatan klausul tersebut dalam Pasal/ Batang Tubuh UUD sesuai dengan
salah satu kesimpulan rapat PAD (Panitia Ad Hoc) I yang membahas perubahan bab I UUD 1945
tentang bentuk dan kedaulatan, yang berbunyi ”sepakat menempatkan Indonesia sebagai negara
hukum (rechtstaat)”. Penggunaan istilah rechtstaat, tidak diartikan bahwa konsep negara hukum
yang dijalankan Indonesia merupakan penyesuaian terhadap ciri negara hukum yang terkandung
dalam istilah tersebut. Istilah rechtstaat dalam hal ini merupakan lawan kata dari machstaat, suatu
istilah yang menggambarkan pengelolaan negara berdasarkan kekuasaan.
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, dapat dilihat
bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan
hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan
dengan hukum (due process of law). Juga ditemukan bahwa, pada setiap negara hukum akan
terlihat ciri-ciri adanya: 1. Jaminan perlindungan HAM; 2. Kekuasaan kehakiman atau peradilan
yang merdeka; 3. Legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/ negara maupun warga
negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum. Ada pun konsep negara hukum
Indonesia memiliki ciri tersendiri. Ciri tersebut sejalan dengan tujuan berdirinya negara Indonesia,
yang mencakup: 1. Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; 2. Pemajuan kesejahteraan umum; 3. Pencerdasan kehidupan bangsa; dan 4.
Keikutsertaan dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Di samping itu, konsep negara hukum Indonesia juga dipengaruhi oleh Pancasila sebagai
kumpulan nilai-nilai dasar yang diakui bersama bangsa Indonesia, dan menjadi landasan praktek
kedaulatan rakyat, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab;
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan; serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan
demikian, negara hukum Indonesia yang dijalankan haruslah senantiasa memerhatikan aspek
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan. Penegasan konsep negara
hukum Indonesia menjadi penting, agar ciri khas yang dimiliki bangsa ini tetap terpelihara. Hal ini
sejalan dengan pendapat seorang founding father, Soepomo, bahwa konsep negara hukum
dilandasi oleh suatu Cita Negara Integralistik. Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mengatakan: Jikalau
kita hendak membicarakan tentang dasar sistem pemerintahan yang hendak kita pakai untuk
Negara Indonesia, maka dasar sistem pemerintahan yang hendak kita pakai untuk Negara
Indonesia, maka dasar sistem pemerintahan itu tergantung pada Staatsidee yang hendak kita pakai
untuk pembangunan Negara Indonesia. Menurut dasar apa Negara Indonesia akan didirikan.
Pendapat Soepomo tentang cita-cita Negara Integralistik tersebut disetujui oleh rapat
BPUPKI, yang kemudian dituangkan dalam pokok pikiran pertama Pembukaan UUD1945.
Berdasarkan pendapat Soepomo tersebut, dapat diketahui bahwa latar belakang penentuan konsep
negara hukum didahului dengan penentuan cita-cita bernegara, yaitu cita-cita negara integralistik,
atau dalam istilah A. Hamid S. Attamimi diganti dengan ‘cita negara kekeluargaan’/ cita negara
persatuan’. Maka, dapatlah disimpulkan bahwa konsep negara hukum sebagaimana tercantum
11

dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) terkait erat dengan negara kesejahteran (welvaarstaat) atau paham
negara hukum materiil sesuai dengan bunyi alenia ke empat. Dalam hal ini, paham negara hukum
tidak hanya mencakup penyelenggaraan negara saja, melainkan juga menyentuh kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Oleh karena itu dalam tataran implementasinya, semakin aktif
negara dalam melaksanaan konsep negara hukum akan mendukung dan mempercepat terwujudnya
negara kesejahteraan di Indonesia. Sebaliknya, implementasi konsep negara hukum yang tidak
sempurna atau setengah-setengah dapat menjauhkan Indonesia dari cita-cita pembentukannya
sebagai sebuah negara.

Penutup

Konsep negara yang ideal adalah terwujudnya sistem tata nilai keadilan (supremasi hukum),
tanggung jawab (vertikal dan horizontal), kemampuan pemimpin (intelektual dan strategis), serta
moralitas-religius. Ke semua syarat tersebut seyogyanya dimiliki oleh setiap pemimpin dan unsur
aparatur negara. Bila konsep ini telah dimiliki pada setiap individu, maka mereka secara bersama-
sama akan berupaya mengendalikan warna kebijakan kenegaraan dalam rangka terciptanya
ketertiban, keharmonisan sosial, serta tumbuhnya peradaban umat yang dinamis dan kondusif.
Konsep negara hukum yang dianut dalam UUD 1945 adalah negara hukum yang aktif/
dinamis. Model negara hukum seperti ini menjadikan negara sebagai pihak yang aktif berorientasi
pada pemenuhan dan perwujudan kesejahteraan rakyat sesuai dengan prinsip welvaarstaat¸ yang
merupakan kebalikan konsep dan prinsip dari nachtwachternstaat atau negara penjaga malam.
Sebab ciri yang melekat pada negara hukum Indonesia sejalan dengan tujuan berdirinya negara
Indonesia, yaitu Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; Pemajuan kesejahteraan umum; Pencerdasan kehidupan bangsa; dan Keikutsertaan
dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Di samping itu, konsep negara hukum Indonesia juga dipengaruhi oleh Pancasila sebagai
kumpulan nilai-nilai dasar yang diakui bersama bangsa Indonesia, dan menjadi landasan praktek
kedaulatan rakyat, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab;
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan; serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan
demikian, negara hukum Indonesia yang dijalankan haruslah senantiasa memerhatikan aspek
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan.
Merujuk pada pendapat Hamid S. Attamimi yang menyarikan pendapat Soepomo atas paham
negara integralistik, menunjukkan bahwa konsep negara hukum yang diberlakukan di Indonesia
harus sejalan dengan cita-cita memelihara persatuan bangsa. Maka akan cukup mudah untuk
melakukan penilaian apakah implementasi konsep negara hukum di Indonesia sudah berjalan
dengan baik atau belum, yaitu dengan melihat kesejajaran prakteknya dengan ketercapaian
integritas bangsa Indonesia. Dengan demikian, arah perwujudan konsep negara hukum Indonesia
hendaknya mengupayakan kesejahteraan rakyat sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan
UUD 1945, dengan tetap memelihara integritas bangsa dalam NKRI.
12

Daftar Pustaka

Buku:
A.B Kusuma, RM., (2009). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Memuat Salinan Dokumen
Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan. Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Asshiddiqie, Jimly (2006). HTN dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.
_______, (2010). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Budiardjo, Miriam (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Farida, Maria (2007). Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius.
Firdaus, Mahdi, Muhsin (1971). Ibn Khaldun Philosophy of History, Chicago, The University of
Chicago Press.
Kelsen, Hans (1971). General Theory of Law and State. New York: Russel and Russel.
Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara.
Bandung: Nusamedia & Nuansa.
Khaldun, Ibn., (1986). Muqaddimah Ibn Khaldun, Terj. Ahmadie Thaha, Jakarta, Pustaka.
Mahfud MD, Moh (1999). Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media.
________, (2003). Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhammad Hardani (2003). Konstitusi-konstitusi Modern. Surabaya: Pustaka Eureka.
Natsir, Mohammad (1985). Dalam pidato tentang Dasar Negara RI dalam Konstituante, Jilid I,
Bandung, Tp.
Pulungan, J. Suyuthi (1997). Fiqh Siyasah; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta, LsiK.
Singka Subekti, Valina (2008). Menyusun Konstitusi Transisi, Pergulatan Kepentingan dan
Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Sjadzali, Munawir (1993). Islam dan Tata Negara, Jakarta, UI Press.
Sukardja, Ahmad (1995). Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, UI Press.
Thaib, Dahlan (2009). Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Total Media, 2009.
Van Hoeve. Watt, W. Montgomery (1972). Islamic Philosophy and Theology, Edinburg, Edinburg
University Press.
Wheare, K.C., (1966). Modern Constitutions. Oxford University Press. 1966.
Zainuddin, A. Rahman (1992). Kekuasaan dan Negara, Jakarta, Gramedia Widia Sarana.

Makalah:
Asshiddiqie, Jimly (2003). Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Ke empat UUD
1945, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema
Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar, 2003.
Attamimi, Hamid S., (1991). Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraaan Pemerintahan Negara: Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden
yang berfungsi Pengaturan dalam kurun Pelita I – Pelita IV, Disertasi Doktor Ilmu
Hukum Tata Negara, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 1991.
13

Dokumen:
Republik Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat (2005). Hasil Perubahan dan Naskah Asli
UUD 1945, dalam Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
_______, (2008). Panduan Pemasyarakatan UUD 1945, Cetakan ke lima. Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI.

Anda mungkin juga menyukai