Anda di halaman 1dari 2

Hukum Islam (Al-Syarii'ah)

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Mohon agar materi ajar dibaca dengan seksama.

Setelah membaca dan analisa, silahkan tuangkan pemikiran untuk mendapatkan pemahaman
FILOSOFIS pengertian syari'ah yang berasal dari makna literal (kebahasaan) sumber
(mata) air menjadi "Sejumlah hukum syari' amaliah (praktis) yang diistimbat dari Al-Kitab
(Al-Qur 'an) dan Sunnah atau dari ra'yu dan ijma".

Selamat belajar, berfikir dan bekerja, dan Sukses Selalu buat kalian semua.

Jawab:

Dijelaskan dulu apa itu syariah atau hukum islam dan diberi dalil atau dasar hukum dari Al-
Quran Surat Al-Maidah ayat 48, Al-Syura ayat 13, dan Al-Jatsiyah ayat 18. Kemudian
masukan HR. DAUD mengenai percakapan Rasululullah SAW dengan Muadz Bin Jabal.

Jadi, secara filosofis pengertian syaria’ah adalah jalan ke sumber mata air, dimana kata
syariah ini digunakan oleh orang Arab dahulu untuk jalan setapak menuju sumber mata air,
dimana mata air tersebut digunakan untuk minum dan membersihkan diri.

Sealnjutnya, seperti yang sudah dijelaskan dalam Al-Mausuatul Arabiyah Al-Muyassarah,


dikutip dari seorang yang bernama Muhammadiyah Jafar, dijelaskan bahwa pengertian
syari’ah adalah ajaran-ajaran Islam yang terdiri dari akidah dan hukum-hukum amaliah,
dimana dibatasi dengan istilah yang artinya sejumlah hukum syar’i yang amaliah (praktis)
yang diistinbath dari Al-Quran, sunnah atau dari ra’yu (akal pkiran) dan ijma’(kesepakatan
para ulama).

Selanjutnya terdapat istilah syari’ah Islam yaitu suatu peraturan agama yang sudah ditetapkan
oleh Allah SWT. Peraturan tersebut ditujukkan untuk umat Islam, dimana sumbernya berasal
dari kitab Al-Quran dan sunnah Rasullah SAW yang berupa perbuatan serta perkataan
(sabda) beliau.

Kemudian, dalil mengenai syari’ah terdapat dalam Q. S Al-Jasiyah [45] : ayat 18, yang
artinya : “Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari
agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang
yang tidak mengetahui”.

Secara praktis, entitas Allah swt sebagai penetap hukum yang haqiqi kemudian tewujud
dalam firman-Nya yaitu Al-Qur’an. Sedangkan legitimasi Allah diberikan kepada dua pihak.
Yang pertama, kepada Rasulullah saw yang terwujud dalam Sunnah-sunnahnya. Dan yang
kedua, kepada para ulama yang terwujud dalam ijtihad dan ra’yu (akal pikiran) mereka.

Adapun landasan ketentuan di atas adalah hadits yang diriwatkan oleh Abu Daud, dimana
hadits tersebut menceritakan dialog antara Rasulullah SAW dengan Muadz bin Jabal ra,
disaat Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli/hakim. Berikut adalah
arti dari hadits yang dimaksud tersebut.
“Dari Muadz bin Jabal ra berkata: bahwa Nabi bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau
memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?”

Muadz menjawab, “Saya akan putuskan dengan kitab Allah.”

Nabi bertanya kembali, “Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah?”.

Muadz menjawab, “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah.”

Rasulullah bertanya kembali, “Jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan
tidak pula dalam Kitab Allah?”

Muazd menjawab, ”Saya akan berijtihad dengan akal saya (ra’yu) dan saya tidak akan
lalai.”

Lalu Rasulullah saw menepuk dadanya seraya bersabda, ”Segala puji bagi Allah yang telah
menganugrahkan taufiq-Nya kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai
Rasulullah. (HR. Abu Daud).

Hadits tersebut intinya menjelaskan bahwa, jika terdapat suatu perkara, maka perkara tersebut
harus diselesaikan sesuai dengan syari’ah (hukum Islam) yang sudah ada dan yang sudah
ditetapkan baik itu dari kitab Allah (Al-Quran), dari sunnah-sunnah Rasulullah SAW,
berijtihad dengan akal pikiran (ra’yu), maupun dengan cara ijma’ (berdasarkan kesepakatan
dari para ulama). Dan hal tersebut juga menandakan bahwa syari’ah ini sangat penting
sekali dalam kehidupan umat Islam, maupun dalam kehidupan umat manusia yang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai