Anda di halaman 1dari 65

HUKUM ACARA PTUN

(Versi UU PTUN dan UU Adpem)

OLEH:
Dr. Ridwan, SH., M.Hum.

PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA)


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021
MATERI HUKUM ACARA PTUN

1. Pengantar
2. Eksistensi PTUN
3. Tindakan Pemerintahan
4. Asas-asas dan Filosofi Hukum Acara PTUN
5. Pangkal/Objek Sengketa TUN
6. Para Pihak dalam Sengketa TUN
7. Jalur Penyelesaian Sengketa TUN
8. Upaya Administratif
9. Penyelesaian Sengketa di PTUN berdasarkan UU
PTUN dan UUAP
10. Alasan Mengajukan Gugatan dan Tuntutannya
11. Acara Pemeriksaan
12. Pembuktian
13. Putusan
14. Upaya Hukum dan Eksekusi
15. Kendala-kendala Eksekusi
Pengantar
Peradilan Administrasi atau PTUN merupakan salah satu sarana
untuk menegakkan Hukum Administrasi, khususnya untuk
menguji keabsahan keputusan dan/atau tindakan
pemerintahan, atas dasar Hukum Administrasi tersebut. Oleh
karena itu, diskursus tentang Sistem Peradilan Administrasi
atau Hukum Acara PTUN itu harus pula dikaitkan dengan
keberadaan, fungsi, karakteristik, dan konsekuensi hukum
penyelenggaraan pemerintahan.
Penyelenggaraan pemerintahan seperti membuat kebijakan,
mengatur, dan menjalankan urusan publik suatu negara
merupakan aktifitas rutin dan kontinu serta berkorelasi dengan
hak dan kewajiban warga negara. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan ini dimungkinkan adanya tindakan pemerintahan
yang tidak sesuai hukum dan menimbulkan kerugian bagi
warga negara. Terhadap tindakan pemerintahan itu disediakan
sarana “koreksi” yaitu Upaya Administratif dan PTUN.
Eksistensi PTUN

Konsep rechtsstaat:
a) Perlindungan hak-hak asasi manusia;
b) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk
menjamin hak-hak itu;
c) Pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan; dan
d) Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Eksistensi Peradilan Administrasi (PTUN) berkenaan
dengan adanya entitas (bestuursorgaan) yang diatur
dan tunduk pada hukum spesifik (HAN) yang
penegakannya melalui sistem peradilan tersendiri.
Tindakan Pemerintahan
(Bestuurshandeling)
1. Tindakan Faktual (feitelijk handeling)
2. Tindakan Hukum (rechtshandeling)
a) tindakan keperdataan (materiale daad)
b) tindakan publik
- regeling
- beleid
- beschikking (KTUN)
Kompetensi absolut PTUN berkenaan dengan pengujian
terhadap tindakan pemerintahan yang dituangkan
dalam bentuk keputusan (beschikking).
Catatan: setelah berlaku UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Adpem, kompetensi absolut PTUN diperluas, termasuk
tindakan faktual.
Asas-asas dan Filosofi Hukum Acara
PTUN

1. Asas Praduga Rechtmatig;


2. Asas Gugatan tidak Menunda Pelaksa-
naan KTUN;
3. Asas Hakim Aktif;
4. Asas Putusan Bersifat Erga Omnes;
5. Asas Pemeriksanaan Segi Rechtmatig,
bukan Doelmatig.
6. Asas Persamaan di Depan Hukum
7. Asas Keterbukaan Persidangan.
Filosofi Hukum Acara PTUN

Hukum formal atau hukum acara itu dirancang dan


dibentuk secara tertulis (lex scripta) dan pasti serta
tegas (lex stricta) untuk dijadikan pedoman dan aturan
main (spelsregel) bagi hakim dan pihak-pihak yang
berkepentingan (belanghebben) dalam menyelesaikan
permasalahan hukum yang terjadi. Dalam bingkai dan
prosedur hukum acara itu organ pemerintah akan
menunjukkan dan mempertahankan bahwa tindakan
yang dilakukannya telah sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Bagi warga negara, hukum acara
menjadi acuan untuk membuktikan bahwa hak-haknya
terlanggar. Sebagai penegak hukum, Hakim PTUN
dengan mendasarkan pada hukum acara itu akan
memeriksa, menguji, dan menilai keabsahan hukum
pihak-pihak yang bersengketa.
Pangkal/Objek Sengketa TUN

Pasal 1 angka 4 UU PTUN mengatakan:


“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa
yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pangkal/Objek Sengketa TUN: KTUN dan/atau


Tindakan Pemerintahan
Beschikking: pernyataan kehendak sepihak secara tertulis
(schriftelijk-en eenzijdige wilsverklaring) organ pemerintah
berdasarkan wewenang yang berkenaan dengan hal khusus,
konkret, dan individual dengan maksud untuk menimbulkan akibat
hukum tertentu (penentuan, penghapusan, atau pengakhiran
hubungan hukum yang sudah ada, atau menciptakan hubungan
hukum baru.

KTUN: Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau


Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU PTUN)

Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut KTUN atau


Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan
adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan (Pasal
1 angka 7 UU Adpem)

Tindakan Pemerintahan: perbuatan Pejabat Pemerintahan atau


penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan.
Unsur-unsur KTUN:

1. Penetapan tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
3. Berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
4. Bersifat konkret, individual, dan final;
5. Menimbulkan akibat hukum
6. Seseorang atau badan hukum perdata.

Perkecualian: lihat Pasal 2 dan 49 UU PTUN.


KTUN Fiktif

KTUN Fiktif – Negatif : Pasal 3 UU PTUN


(... setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak
diterimnya permohonan, Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan)

KTUN Fiktif – Positif : Pasal 53 UU Adpem


(setelah lewat 10 hari kerja sejak permohonan
diajukan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut
dianggap dikabulkan secara hukum)
Pihak dalam Sengketa TUN

Penggugat Tergugat

Seseorang atau
Badan atau
badan hukum
perdata VS Pejabat TUN
Berdasarkan Pasal 1 angka (6) UU PTUN; tergugat
adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang
atau badan hukum perdata. Adapun yang
dimaksud Badan atau Pejabat TUN adalah Badan
atau Pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Dalam praktik, pihak tergugat ini tidak hanya


Badan atau Pejabat TUN tetapi juga badan-badan
swasta seperti yayasan, PT, koperasi, dan lain-
lain. Lalu apa kriteria untuk dikualifikasi sebagai
tergugat? Kualifikasinya: Fungsi yang dijalankan.
Perluasan cakupan tergugat itu ditemukan dalam
beberapa yurisprudensi.
Berdasarkan UU Adpem, tergugat itu juga tidak
terbatas pada organ eksekutif. Di dalam Pasal 87
huruf b UU Adpem disebutkan: Keputusan Badan
dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara
negara lainnya. Hal ini sejalan dengan rumusan
Badan atau Pejabat Pemerintahan yang terdapat
pada Pasal 1 angka 3 UU Adpem: Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang
melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di
lingkungan pemerintah maupun penyelenggara
negara lainnya.
Jalur Penyelesaian Sengketa TUN

1. Upaya Administratip (administratief beroep)


2. PTUN (rechtsspraak)

Upaya administratif adalah penyelesaian sengketa TUN


oleh instansi yang mengeluarkan KTUN atau instansi
atasan dari instansi yang mengeluarkan KTUN atau
instansi lain. Upaya administratif ini ada dua macam
yaitu:
Banding administratif
yaitu penyelesaian
sengketa tata usaha negara dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain dari yang
mengeluarkan ketetapan yang disengketakan.
Prosedur keberatan adalah penyelesaian
sengketa tata usaha negara dilakukan oleh
instansi yang mengeluarkan ketetapan yang
dibersangkutan.
Contoh-contoh Upaya Administratif
Pasal 159 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1),
pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial”.
Pasal 35 (1) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik; “Setiap Pemohon Informasi Publik dapat
mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi berdasarkan alasan
berikut...”.
Pasal 96 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
“Setiap orang yang dikenai Pencegahan dapat mengajukan
keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan
Pencegahan”.
Pasal 82 ayat (1) Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; “Penyedia Barang/Jasa
yang tidak puas dengan jawaban sanggahan dari ULP dapat
mengajukan sanggahan banding kepada Menteri/Pimpinan
Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi paling lambat 5
(lima) hari kerja setelah diterimanya jawaban sanggahan”.
PERADILAN ADMINISTRASI UPAYA ADMINISTRATIF

1. Yang memutus Instasi yg


1. Yang memutus Hakim
Mengeluarkan KTUN / Instansi
2. Penelitian segi rechtmatigheid lain /`Instansi yg lbh tinggi
3. Hanya dpt membatalkan KTUN 2. Segi rechtmatigheid dan
dan memberikan hukuman doelmatigheid
4. Terikat pd fakta / keadaan 3. Dpt mengganti, merubah dan
saat dikeluarkan KTUN membatalkan KTUN
(ex – tunc) (batal, berlaku surut) 4. Dpt memperhatikan perubahan
fakta / keadaan`saat
pemeriksaan (ex – nunc)
Pasal 48 ayat (1) UU PTUN: Dalam hal suatu
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk menyelesaikan
secara administratif sengketa Tata Usaha
Negara tertentu, maka sengketa tata usaha
negara tersebut harus diselesaikan melalui
upaya administratif yang tersedia.
Ayat (2) Pengadilan baru berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah
digunakan.
Dalam SEMA 2/91 disebutkan:
a. Apabila peraturan dasarnya hanya menen-
tukan adanya upaya administratif berupa
pengajuan surat keberatan, maka gugatan
terhadap KTUN yang bersangkutan diajukan
kepada PTUN;
b. Apabila peraturan dasarnya menentukan
adanya upaya administratif berupa penga-
juan surat keberatan dan atau mewajibkan
pengajuan surat banding administratif,
maka gugatan terhadap KTUN yang telah
diputus dalam tingkat banding administratif
diajukan langsung kepada PTTUN dalam
tingkat pertama yang berwenang.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Perma No. 6 Tahun
2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa
Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh
Upaya Administratif, sekarang ini semua
penyelesaian sengketa di PTUN harus
menempuh Upaya Administratif.

Berbeda dengan sebelumnya yang ditentukan


bahwa penyelesaian sengketa melalui Upaya
Administratif itu sepenjang tersedia atau
disediakan oleh instansi pemerintah.
Keharusan menempuh Upaya Administratif sebelum
mengajukan gugatan ke Peradilan Administrasi
tersebut didasarkan pada tiga paradigma; Pertama,
pengaturan Upaya Administratif dalam UU
Administrasi Pemerintahan menghendaki penyatuan
antara sistem Peradilan Administrasi dengan Upaya
Administratif; Kedua, dengan mensyaratkan semua
perkara yang mempersoalkan KTUN yang diterbitkan
pejabat tata usaha negara harus melewati
mekanisme keberatan dan banding, maka dengan
sendirinya internal aparatur harus mampu berbenah
dan menyiapkan perangkat aturan dan struktur
dalam rangka penyelesaian internal masing-masing
institusi; Ketiga, dengan terlebih dahulu harus
diselesaikan secara internal maka UU Administrasi
Pemerintahan lebih mendorong upaya-upaya
penyelesaian sengketa melalui mekanisme internal
non peradilan.
Sejak diterbitkannya Perma No. 6 Tahun 2018,
instansi-instansi pemerintahan, lebih-lebih
pada lingkungan legislatif, yudikatif, dan
penyelenggara negara lainnya, tidak
membentuk institusi Upaya Administratif.
Perlu penelitian lapangan untuk menemukan
alasan-alasan mengapa tidak membentuk
institusi Upaya Administratif ini.
Dalam praktik, biasanya penggugat atau
kuasanya mengirim surat kepada pejabat
pemerintahan yang menjadi tergugat tersebut.
Penyelesaian Sengketa di PTUN berdasarkan UU
PTUN dan UUAP

1. Kompetensi PTUN
Setelah berlaku UU Adpem, kompetensi PTUN itu
meliputi:
a) Memeriksa dan menilai KTUN;
b) Menguji ada atau tidak ada penyalahgunaan
wewenang (Perma No. 4/2015);
c) Memeriksa permohonan penetapan keputusan
fiktif positif; (Perma No. 5/2015) tidak berlaku
setelah terbit UU Cipta Kerja
d) Memeriksa dan menguji tindakan faktual;
e) Memeriksa dan menguji perbuatan melawan
hukum oleh pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad) Perma No. 2/2019.
2. Syarat-syarat Gugatan
Syarat-syarat gugatan ke PTUN secara tegas
ditentukan dalam Pasal 56 UU PTUN:
1) Gugatan harus memuat:
a) nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan
pekerjaan penggugat, atau kuasanya;
b) nama, jabatan, dan tempat kedudukan
tergugat;
c) dasar gugatan dan hal yang diminta untuk
diputuskan oleh Pengadilan;
2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani
oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan
harus disertai surat kuasa yang sah.
3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai KTUN
yang disengketakan oleh Penggugat.
Ketentuan tentang gugatan ini diatur lebih lanjut dalam
SEMA No. 2 Tahun 1991:
a) Surat gugatan tidak perlu dibubuhi materai tempel;
b) Di dalam kepala surat, alamat kantor PTUN atau
PTTUN harus ditulis secara lengkap termasuk kode
posnya, walaupun mungkin kotanya berbeda;
c) Identitas penggugat harus dicantumkan secara
lengkap dalam surat gugatan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 56 UU PTUN;
d) Untuk memudahkan penangangan kasus-kasus dan
demi keweragaman model surat gugatan, maka
dalam surat gugatan harus disebutkan terlebih
dahulu nama dari pihak penggugat pribadi dan
baru disebutkan nama kuasa yang
mendampinginya, sehingga dalam register perkara
akan tampak jelas siapa pihak-pihak yang
berperkara senyatanya.
3. Alasan Pengajuan Gugatan
Berdasarkan Pasal 53 ayat 2) UU 5 Tahun 1986
a) KTUN bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (baik
formal prosedural maupun material
substansial);
b) Penyalahgunaan Wewenang (detournament de
pouvair);
c) Sewenang-wenang (willikeur / a bus de droit).

Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) UU 9 Tahun 2004


a) KTUN bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b) Bertentangan dengan asas-asas umum
pemerin-tahan yang baik (AUPB)
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik,
sebagaimana tercantum dalam UU No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari KKN yang mencakup:
a) kepastian hukum;
b) tertib penyelenggaraan negara;
c) Keterbukaan;
d) Proporsionalitas;
e) Profesionalitas; dan
f) Kuntabilitas.
Asas-asas yang terdapat dalam UU ini sebenarnya
asas dalam Good Governance, bukan AUPB.
Pasal 10 (1) UU Adpem, AUPB meliputi asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.

AUPB lainnya di luar AUPB sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dapat diterapkan sepanjang dijadikan
dasar penilaian hakim yang tertuang dalam
putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
4. Tuntutan dalam Gugatan.

Pasal 53 Ayat (1) UU 9/04 Menyebutkan: “orang


atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan
tata usaha negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara
yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau direhabilitasi”;

Selain ketentuan pasal tsb, perlu pula dibaca


Pasal 3, dan Pasal 117 ayat (2) UU PTUN.
Berdasarkan ketentuan Pasal 53 Ayat (1), Pasal 3,
dan Pasal 117 ayat (2) UU PTUN, tuntutan dalam
gugatan ke PTUN itu adalah:
1. Tuntutan agar KTUN yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara itu dinyatakan
batal atau tidak sah;
2. Tuntutan agar Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang digugat itu mengeluarkan KTUN
yang dimohonkan penggugat;
3. Tuntutan ganti kerugian;
4. Tuntutan rehabilitasi dengan atau tanpa
kompensasi.
Ganti Kerugian adalah pembayaran sejumlah
uang kepada orang atau badan hukum perdata
atas beban Badan TUN berdasarkan putusan
PTUN karena adanya kerugian materiil yang
diderita oleh penggugat.
Rehabilitasi: pemulihan hak penggugat dalam
kemampuan kedudukan, harkat, dan
martabatnya sebagai pegawai negeri seperti
semula, sebelum ada keputusan yang
disengketakan.
Kompensasi: pemberian sejumlah uang kepada
Pegawai yang bersangkutan ketika rehabilitasi
tidak dapat dilaksanakan secara sempurna.
Dengan berlakunya UU Adpem, tuntutannya
bertambah yaitu:
a) Tuntutan agar unsur penyalahgunaan
wewenang itu dinyatakan tidak ada;
b) Tuntutan untuk memperoleh putusan
penerimaan permohonan; KTUN fiktif-positif
(Ditiadakan melalui UU Cipta Kerja)
c) Tuntutan agar tindakan faktual pemerintah
dihentikan atau dinyatakan tidak sah; (secara
teoretik, mestinya hanya ganti rugi)
d) Tuntutan ganti rugi akibat perbuatan
melawan hukum oleh pemerintah
(onrechtmatige overheidsdaad); (mestinya
menguji keabsahan dan tuntutan ganti rugi)
Acara Pemeriksaan

1. Dismisal Proses
Pemeriksaan perkara di PTUN didahului
dengan prosedur dismissal atau dismissal
proses, yakni penelitian yang meliputi segi
administratif dan segi elementer. Hasil
penelitian ini selanjutnya dituangkan di dalam
suatu formulir laporan singkat sebagai
informasi kepada ketua melalui panitera dan
dilampirkan bersama-sama dengan gugatan
yang telah didaftarkan, untuk dinilai dalam
rapat permusyawaratan.
Secara teknis dismissal proses ini diatur SEMA No. 2 Tahun 1991 sebagai
berikut:
1. Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar
keterangan para pihak sebelum menentukan Penetapan Dismissal
apabila dipandang perlu. Tenggang waktu yang ditentukan
menurut Pasal 55 sejak tanggal diterimanya KTUN oleh
penggugat, atau sejak diumumkannya keputusan tersebut,
dengan ketentuan bahwa tenggang waktu itu ditunda (schors)
selama proses peradilan masih berjalan menurut Pasal 62 jo Pasal
63. Dalam pada itu diminta agar Ketua Pengadilan tidak terlalu
mudah menggunakan Pasal 62 tersebut, kecuali mengenai Pasal
62 ayat (1) butuir a dan e.
2. Pemeriksaan dismissal dilakukan oleh Ketua dan Ketua dapat
juga menunjuk seorang hakim sebagai raporteur (raporter).
3. Penetapan dismissal ditandatangani oleh Ketua dan Panitera
Kepala/Wakil Panitera (Wakil Ketua dapat pula menandatangani
penetapan dismissal dalam hal Ketua berhalangan). Pemeriksaan
dismissal dilakukan secara singkat dalam rapat
permusyawaratan. Pemeriksaan gugatan perlawanan terhadap
penetapan dismissal juga dilakukan dengan acara singkat (Pasal
62 ayat 4).
4. Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat
dikabulkan, maka dimungkinkan ditetapkan dismissal terhadap
bagian petitum gugatan tersebut.
2. Rapat Permusyawaratan
Rapat permusyawaratan ini diselenggarakan oleh Ketua
Pengadilan sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai
atau sebelum majelis hakim pemeriksa pokok perkara
ditunjuk.
Dalam Pasal 62 ayat (1) UU PTUN disebutkan; “Dalam rapat
permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang
memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi
dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang
diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar,
dalam hal-hal sebagai berikut:
1. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam
wewenang Pengadilan;
2. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak
dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan
diperingatkan;
3. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang
layak;
4. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah
terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
Terhadap penetapan Ketua PTUN, penggugat dapat
mengajukan perlawanan dalam rentang waktu
empat belas hari setelah diucapkan. Jika
perlawanan yang diajukan oleh penggugat ini
diterima, maka dilakukan pemeriksaan dengan
acara singkat. Hasil dari pemeriksaan ini akan
melahirkan putusan dengan dua kemungkinan;
diterima atau ditolak. Jika diterima atau dikabulkan
oleh hakim, maka penetapan Ketua Pengadilan itu
menjadi gugur demi hukum dan pokok gugatan
akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut
Acara Biasa. Sedangkan jika perlawanan terhadap
penetapan itu ditolak, maka tidak tersedia upaya
hukum. Konsekuensinya adalah penggugat harus
membuat gugatan baru jika masih ingin
melanjutkan gugatan terhadap KTUN yang
bersangkutan.
Dismissal Proses

Rapat Permusyawaratan

Perlawanan Penggugat

Acara Singkat

Putusan

diterima ditolak

Acara Biasa tidak tersedia upaya hukum


3. Pemeriksaan Persiapan
Pemeriksaan persiapan dilakukan sebelum
pemeriksaan pokok sengketa dimulai. Dalam Pasal
63 UU No. 5 Tahun 1986 antara lain disebutkan
bahwa Hakim wajib mengadakan pemeriksaan
persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang
jelas. Dalam pemeriksaan persiapan ini Hakim;
a) Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk
memperbaiki gugatan dan melengkapinya
dengan data yang diperlukan dalam jangka
waktu tiga puluh hari;
b) Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau
Pejabat TUN yang bersangkutan.
Teknis pemeriksaan persiapan ini lebih detal diatur
dalam SEMA No. 2 Tahun 1991
Acara Biasa
Pemeriksaan perkara dengan cara biasa
terjadi dalam hal; pertama, tidak ada
permohonan dari penggugat untuk
penyelesaian sengketa dengan acara
cepat; kedua, ada permohonan dari
penggugat untuk penyelesaian sengketa
dengan acara cepat, akan tetapi tidak
dikabulkan oleh Ketua Pengadilan; ketiga,
ada perlawanan penggugat terhadap
penetapan Ketua Pengadilan dan
perlawanan tersebut diterima atau
dikabulkan oleh hakim, setelah melalui
pemeriksaan dengan acara singkat.
Acara Biasa
Gugatan

Dismissal Proses

Pemeriksaan Persiapan

Majelis Hakim

Musyawarah

Putusan

Ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa diatur


dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 97 UU PTUN
Acara Cepat
Ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara
cepat diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU PTUN
sebagai berikut:
1. Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup
mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-
alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya
dapat memohon kepada Pengadilan supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat.
2. Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari
setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan
atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
3. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak dapat digunakan upaya hukum.
Acara Cepat

Gugatan

Dismissal Proses

Hakim Tunggal

Sidang

Putusan
Pembuktian di PTUN

Pembuktian adalah proses pengajuan dasar-


dasar yang cukup kepada hakim yang
memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberi kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan.
Tujuan pembuktian adalah untuk
menunjukan alat-alat bukti tertentu kepada
hakim sehingga memberikan kepastian bagi
hakim akan adanya fakta-fakta hukum yang
disengketakan untuk kemudian dijadikan
sebagai dasar pertimbangan dalam
keputusannya.
Dalam hukum acara dikenal prinsip ius curia
novit; “Hakim dianggap mengetahui akan
hukumnya”, yang berarti bahwa hukumnya
tidak perlu diberitahukan kepada hakim.
Yang harus dibuktikan oleh para pihak adalah
peristiwa atau fakta hukumnya. Fakta hukum
atau peristiwa hukum adalah kejadian-
kejadian atau keadaan-keadaan yang
keadaannya tergantung pada peristiwa
hukum
Manifesta probatione non indigent.
Fakta yang jelas tidak membutuhkan pembuktian.
Misalnya; menurut peraturan kepegawian;
“pegawai yang tidak cakap dapat diberhentikan
dari pekerjaannya atau jabatannya”. Si A misalnya
berulang kali melakukan kesalahan karena tidak
cakap, lalu si A diberhentikan sebagai pegawai
dengan surat keputusan. Dari contoh ini ada dua
hal yang perlu digarisbawahi yaitu; fakta hukum
dan fakta biasa. Fakta hukumnya adalah
pernyataan pemberhentian dengan SK,
sedangkan fakta biasanya adalah kesalahan-
kesalahan yang dilakukan oleh si A. Fakta biasa
berarti kejadian-kejadian atau peristiwa-
peristiwa yang ikut menentukan adanya fakta-
fakta hukum tertentu.
Alat-alat Bukti
Alat-alat bukti adalah keterangan-keterangan
yang diajukan menurut cara tertentu dengan
jalan mana lalu terbuktinya fakta-fakta yang
sebelumnya tidak jelas, dan hanya diajukan
dalam proses persidangan di depan hakim.
Berdasarkan Pasal 100 UU PTUN, alat-alat
bukti dalam Hukum Acara PTUN adalah:
a) surat atau tulisan;
b) keterangan ahli;
c) keterangan saksi;
d) pengakuan para pihak;
e) pengetahuan hakim.
Surat atau Tulisan

Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah:


a) akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di
hadapan seorang pejabat umum, yang menurut
peraturan perundang-undangan berwenang
membuat surat itu dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti peristiwa atau
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
b) akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat
bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya.
c) surat-surat lain yang bukan akta.
Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang
diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman
dan pengetahuannya.
In judicio non creditur nisi juratis
Di pengadilan tidak ada yang dipercaya kecuali
yang disumpah

Keterangan Saksi
Dalam Pasal 104 UU PTUN disebutkan bahwa,
“Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti
apabila keterangan itu berkenaan dengan hal
yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi
sendiri”.
Beban Pembuktian
Dalam pembuktian dikenal ada tiga teori:
a) teori pembuktian bebas;
b) teori pembuktian negatif;
c) teori pembuktian positif.
Teori pembuktian bebas adalah teori yang tidak
menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian
seberapa dapat diserahkan kepadanya.
Teori pembuktian negatif adalah teori yang
mengharuskan adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa
ketentuan ini harus membatasi pada larangan
kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan pembuktian.
Teori pembuktian positif menghendaki adanya
perintah kepada hakim, di samping adanya
larangan. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan
syarat.

Dalam hukum Acara PTUN dianut teori atau


ajaran pembuktian bebas, seiring dengan asas
hakim aktif.
Dalam Penjelasan Umum angka 5 huruf a
disebutkan; “Pada Peradilan Tata Usaha Negara
Hakim berperan lebih aktif dalam proses
persidangan guna memperoleh kebenaran
materiel dan untuk itu Undang-undang ini
mengarah pada ajaran pembuktian bebas”.
Dalam Pembuktian di PTUN, Hakim dapat
menentukan sendiri:
a) Apa yang harus dibuktikan;
b) Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa
yang harus dibuktikan oleh pihak yang
berperkara dan hal apa saja yang harus
dibuktikan oleh hakim sendiri;
(tidak menerapkan Actori incumbit onus probandi; beban
pembuktian terletak di penggugat)
c) Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk
dipergunakan dalam pembuktian;
d) Kekuatan pembuktian bukti yang telah
diajukan.
Judex debet judicare secundum allegata et probata
Hakim harus memberikan penilaian sesuai dengan tuduhan dan
bukti
PUTUSAN
Berdasarkan Pasal 97 ayat (7), putusan PTUN itu
dapat berupa:
a) Gugatan Ditolak
b) Gugatan Dikabulkan
c) Gugatan Tidak Diterima
d) Gugatan Gugur

Dalam hal gugatan ditolak, berarti memperkuat


ktun yang dikeluarkan oleh tergugat. Pada
umumnya gugatan ditolak, karena alat bukti yang
diajukan oleh pihak penggugat tidak dapat
mendukung gugatannya atau alat bukti yang
diajukan oleh pihak tergugat lebih kuat
Dalam hal gugatan dikabulkan, berarti tidak
membenarkan KTUN yang dikeluarkan oleh pihak
tergugat, maka putusan PTUN dapat berupa:
A. Pencabutan KTUN
B. Pencabutan KTUN dan menerbitkan KTUN baru;
atau
C. Penerbitan KTUN yang dimohonkan oleh pihak
tergugat dalam hal gugatan didasarkan pada
pasal 3 UU PTUN atau Pasal 53 UU Adpem.
D. Pernyataan tidak ada unsur penyalahgunaan
wewenang;
E. Pernyataan adanya unsur OOD dan penetapan
ganti.
Dalam hal gugatan tidak diterima, berarti
gugatan itu tidak memenuhi persyaratan yang
ditentukan sebagaimana yang diatur dalam
prosedur dismissal (rapat permusyawaratan)
atau pemeriksaan persiapan.

Gugatan gugur terjadi dalam hal para pihak


atau kuasanya tidak hadir dalam persidangan
yang telah ditentukan padahal mereka telah
dipanggil secara patut atau perbaikan gugatan
yang diajukan oleh pihak penggugat telah
daluwarsa.
Upaya Hukum
Hasil dari proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Hakim
itu berwujud putusan (vonnis), yang isinya dapat berupa
pencabutan KTUN, pencabutan KTUN dan penerbitan KTUN
baru, atau penerbitan KTUN yang dimohon oleh seseorang
atau badan hukum perdata, pernyataan tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang, pernyataan tidakan faktual
tidak sah, ada unsur OOD dan ganti rugi.
Putusan yang telah dikeluarkan oleh hakim itu tidak serta
merta dapat dilaksanakan. Para pihak dimungkinkan tidak
puas terhadap putusan tersebut dan berhak mengajukan
keberatan atas putusan tersebut. Kesempatan
menggunakan hak mengajukan keberatan ini dikenal
dengan istilah upaya hukum, yaitu alat atau sarana hukum
untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan
pengadilan.
Dalam hukum acara PTUN, upaya hukum itu tidak hanya
ditujukan terhadap putusan hakim, tetapi juga dapat
ditujukan terhadap penetapan ketua pengadilan. Atas dasar
itu, upaya hukum dalam penyelesaian sengketa tata usaha
negara itu terdiri atas:
1. Perlawanan terhadap penetapan dismissal
Proses penyelesaian terhadap perlawanan pihak penggugat
terhadap penetapan ketua PTUN yang diselesaikan dengan proses
acara singkat. Penggugat dapat mengajukan perlawanan terhadap
penetapan ketua PTUN ini dalam tenggang waktu 14 hari setelah
penetapan dismissal diucapkan.

2. Banding kepada Pengadilan Tinggi TUN


Banding ini dapat dimohon oleh pihak tergugat maupun penggugat,
yang diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan PTUN
diberitahukan secara sah kepada Penggugat dan Tergugat.
Permohonan pemeriksaan di tingkat banding diajukan secara
tertulis kepada PTUN yang menjatuhkan putusan yang dimohonkan
pemeriksaan di tingkat banding.

3. Kasasi
Berdasarkan ketentuan Pasal 131 UU PTUN, acara pemeriksaan
kasasi dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara ini
diberlakukan undang-undang tentang Mahkamah Agung. Pihak
yang dapat mengajukan kasasi ini adalah (a) penggugat atau
wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu; (b) tergugat
atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 UU PTUN, putusan
yang dapat dimintakan kasasi adalah “putusan tingkat
terakhir Pengadilan”. Adapun yang dimaksud dengan
“putusan tingkat terakhir Pengadilan” adalah putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, karena dalam
lingkungan PTUN hanya dikenal dua tingkatan
pengadilan.
Permohonan kasasi diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Agung melalui panitera PTUN yang telah
memutus perkara. Pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung membatalkan putusan pengadilan dari semua
lingkungan peradilan, dengan alasan:
1. itu dengan batalntidak berwenang atau melampaui
batas wewenang;
2. salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku;
3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian ya putusan yang bersangkutan.
4. Peninjauan Kembali
Berdasarkan Pasal 132 UU PTUN disebutkan sebagai
berikut: “(1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung; (2) Acara pemeriksaan peninjauan kembah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
77 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung”.

Peninjauan kembali ini disebut sebagai upaya hukum


luar biasa, karena yang dimohonkan adalah putusan
pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Pemeriksaan perkara peninjauan kembali ini
merupakan wewenang eklusif Mahkamah Agung, yang
memutus permohonan peninjauan kembali pada
tingkat pertama dan terakhir.
Pelaksanaan Putusan
a) Eksekusi Otomatis; Apabila setelah 60
(enam puluh) hari kerja putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterima tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan TUN
yang disengketakan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.
Problemnya adalah asas contrarius actus dan
sifat putusan hakim PTUN yakni deklaratoir.
Berdasarkan UU Adpem, dalam hal KTUN
dinyatakan batal atau tidak sah oleh Hakim PTUN,
pejabat pemerintah wajib membatalkan atau
mencabut keputusan tersebut paling lama 21
(dua puluh satu) hari kerja sejak perintah
pengadilan dikeluarkan.
b) Eksekusi Hierarkis:
a. apabila sampai 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata
tergugat belum melaksanakan kewajibannya, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada ketua ptun
agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan PTUN;

b. apabila tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan ptun,


terhadap pejabat ybs dikenakan upaya paksa berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif;

c. pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan


diumumkan pada media massa cetak setempat oleh
panitera;

d. disamping diumumkan pada media massa, ketua pengadilan


harus mengajukan hal ini kepada presiden untuk
memerintahkan pejabat tsb melaksanakan putusan
pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan.
c) Penerapan Sanksi
Pasal 116 ayat (4): penerapan upaya paksa berupa pembayaran
sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
- Siapa yang harus menanggung uang paksa, pribadi
pejabat atau jabatan?
- Jenis putusan apa saja yang dapat dikenai hukuman uang
paksa?
- Berapa besaran uang paksa yang dapat dijatuhkan dalam
amar putusan?
- Sejak kapan uang paksa tersebut diberlakukan?

Apa yang dimaksud dengan sanksi administratif? Apakah


penurunan pangkat atau pembebasan dari jabatan atau
pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak
dengan hormat? Lalu siapa yang berwenang menjatuhkan sanksi
administratif?
Pasal 116 ayat (5): diumumkan pada media
massa cetak setempat. Siapa yang diumumkan,
nama pribadi atau nama jabatan?
Jika yang diumumkan itu nama pribadi,
masalahnya sama dengan pengenaan uang
paksa, yakni ketika pejabat yang bersangkutan
mengeluarkan KTUN, ia bertindak bukan sebagai
pribadi tetapi sebagai wakil dari jabatan. Ketika
pejabat yang bersangkutan sudah tidak
menjabat–misalnya berhenti/diberhentikan atau
berakhir masa jabatannya–pada saat akan atau
sedang diumumkan di media massa, apakah
pengumuman itu masih diteruskan?
d) Ganti Rugi
Berdasarkan PP No. 43 Tahun 1991 tentang
Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya
besarnya ganti rugi ini paling sedikit Rp.
250.000 dan paling banyak Rp. 5.000.000.
Dalam praktek, jumlah nominal seperti itu
bisa jadi tidak sesuai dengan kerugian riil
yang diderita penggugat, apalagi pada masa
sekarang ini.
Kendala-kendala Pelaksanaan Putusan
1. asas bahwa terhadap benda-benda publik tidak
dapat diletakkan sita jaminan;
2. asas “rechtmatigheid van bestuur”. Salah satu
konsekuensi asas ini adalah asas kewenangan.
Pejabat atasan tidak dibenarkan menerbitkan KTUN
yang seharusnya menjadi wewenang pejabat
tertentu di bawahnya. Dengan demikian andaikata
pejabat atasan memerintahkan pejabat di bawahnya
untuk menerbitkan sebuah KTUN dan ternyata tidak
dilakukan, pejabat atasan tidak bisa menerbitkan
KTUN tersebut;
3. asas bahwa kebebasan pejabat pemerintahan tidak
bisa dirampas. Kemungkinan dari asas ini misalnya
tidak mungkin seorang pejabat dikenai tahanan
rumah karena tidak melaksanakan putusan
pengadilan TUN;
4. asas bahwa negara (dalam hal ini) pemerintah
selalu harus dianggap “solvable” (mampu
membayar).

Anda mungkin juga menyukai