OLEH:
Dr. Ridwan, SH., M.Hum.
1. Pengantar
2. Eksistensi PTUN
3. Tindakan Pemerintahan
4. Asas-asas dan Filosofi Hukum Acara PTUN
5. Pangkal/Objek Sengketa TUN
6. Para Pihak dalam Sengketa TUN
7. Jalur Penyelesaian Sengketa TUN
8. Upaya Administratif
9. Penyelesaian Sengketa di PTUN berdasarkan UU
PTUN dan UUAP
10. Alasan Mengajukan Gugatan dan Tuntutannya
11. Acara Pemeriksaan
12. Pembuktian
13. Putusan
14. Upaya Hukum dan Eksekusi
15. Kendala-kendala Eksekusi
Pengantar
Peradilan Administrasi atau PTUN merupakan salah satu sarana
untuk menegakkan Hukum Administrasi, khususnya untuk
menguji keabsahan keputusan dan/atau tindakan
pemerintahan, atas dasar Hukum Administrasi tersebut. Oleh
karena itu, diskursus tentang Sistem Peradilan Administrasi
atau Hukum Acara PTUN itu harus pula dikaitkan dengan
keberadaan, fungsi, karakteristik, dan konsekuensi hukum
penyelenggaraan pemerintahan.
Penyelenggaraan pemerintahan seperti membuat kebijakan,
mengatur, dan menjalankan urusan publik suatu negara
merupakan aktifitas rutin dan kontinu serta berkorelasi dengan
hak dan kewajiban warga negara. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan ini dimungkinkan adanya tindakan pemerintahan
yang tidak sesuai hukum dan menimbulkan kerugian bagi
warga negara. Terhadap tindakan pemerintahan itu disediakan
sarana “koreksi” yaitu Upaya Administratif dan PTUN.
Eksistensi PTUN
Konsep rechtsstaat:
a) Perlindungan hak-hak asasi manusia;
b) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk
menjamin hak-hak itu;
c) Pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan; dan
d) Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Eksistensi Peradilan Administrasi (PTUN) berkenaan
dengan adanya entitas (bestuursorgaan) yang diatur
dan tunduk pada hukum spesifik (HAN) yang
penegakannya melalui sistem peradilan tersendiri.
Tindakan Pemerintahan
(Bestuurshandeling)
1. Tindakan Faktual (feitelijk handeling)
2. Tindakan Hukum (rechtshandeling)
a) tindakan keperdataan (materiale daad)
b) tindakan publik
- regeling
- beleid
- beschikking (KTUN)
Kompetensi absolut PTUN berkenaan dengan pengujian
terhadap tindakan pemerintahan yang dituangkan
dalam bentuk keputusan (beschikking).
Catatan: setelah berlaku UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Adpem, kompetensi absolut PTUN diperluas, termasuk
tindakan faktual.
Asas-asas dan Filosofi Hukum Acara
PTUN
1. Penetapan tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
3. Berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
4. Bersifat konkret, individual, dan final;
5. Menimbulkan akibat hukum
6. Seseorang atau badan hukum perdata.
Penggugat Tergugat
Seseorang atau
Badan atau
badan hukum
perdata VS Pejabat TUN
Berdasarkan Pasal 1 angka (6) UU PTUN; tergugat
adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang
atau badan hukum perdata. Adapun yang
dimaksud Badan atau Pejabat TUN adalah Badan
atau Pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
1. Kompetensi PTUN
Setelah berlaku UU Adpem, kompetensi PTUN itu
meliputi:
a) Memeriksa dan menilai KTUN;
b) Menguji ada atau tidak ada penyalahgunaan
wewenang (Perma No. 4/2015);
c) Memeriksa permohonan penetapan keputusan
fiktif positif; (Perma No. 5/2015) tidak berlaku
setelah terbit UU Cipta Kerja
d) Memeriksa dan menguji tindakan faktual;
e) Memeriksa dan menguji perbuatan melawan
hukum oleh pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad) Perma No. 2/2019.
2. Syarat-syarat Gugatan
Syarat-syarat gugatan ke PTUN secara tegas
ditentukan dalam Pasal 56 UU PTUN:
1) Gugatan harus memuat:
a) nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan
pekerjaan penggugat, atau kuasanya;
b) nama, jabatan, dan tempat kedudukan
tergugat;
c) dasar gugatan dan hal yang diminta untuk
diputuskan oleh Pengadilan;
2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani
oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan
harus disertai surat kuasa yang sah.
3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai KTUN
yang disengketakan oleh Penggugat.
Ketentuan tentang gugatan ini diatur lebih lanjut dalam
SEMA No. 2 Tahun 1991:
a) Surat gugatan tidak perlu dibubuhi materai tempel;
b) Di dalam kepala surat, alamat kantor PTUN atau
PTTUN harus ditulis secara lengkap termasuk kode
posnya, walaupun mungkin kotanya berbeda;
c) Identitas penggugat harus dicantumkan secara
lengkap dalam surat gugatan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 56 UU PTUN;
d) Untuk memudahkan penangangan kasus-kasus dan
demi keweragaman model surat gugatan, maka
dalam surat gugatan harus disebutkan terlebih
dahulu nama dari pihak penggugat pribadi dan
baru disebutkan nama kuasa yang
mendampinginya, sehingga dalam register perkara
akan tampak jelas siapa pihak-pihak yang
berperkara senyatanya.
3. Alasan Pengajuan Gugatan
Berdasarkan Pasal 53 ayat 2) UU 5 Tahun 1986
a) KTUN bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (baik
formal prosedural maupun material
substansial);
b) Penyalahgunaan Wewenang (detournament de
pouvair);
c) Sewenang-wenang (willikeur / a bus de droit).
1. Dismisal Proses
Pemeriksaan perkara di PTUN didahului
dengan prosedur dismissal atau dismissal
proses, yakni penelitian yang meliputi segi
administratif dan segi elementer. Hasil
penelitian ini selanjutnya dituangkan di dalam
suatu formulir laporan singkat sebagai
informasi kepada ketua melalui panitera dan
dilampirkan bersama-sama dengan gugatan
yang telah didaftarkan, untuk dinilai dalam
rapat permusyawaratan.
Secara teknis dismissal proses ini diatur SEMA No. 2 Tahun 1991 sebagai
berikut:
1. Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar
keterangan para pihak sebelum menentukan Penetapan Dismissal
apabila dipandang perlu. Tenggang waktu yang ditentukan
menurut Pasal 55 sejak tanggal diterimanya KTUN oleh
penggugat, atau sejak diumumkannya keputusan tersebut,
dengan ketentuan bahwa tenggang waktu itu ditunda (schors)
selama proses peradilan masih berjalan menurut Pasal 62 jo Pasal
63. Dalam pada itu diminta agar Ketua Pengadilan tidak terlalu
mudah menggunakan Pasal 62 tersebut, kecuali mengenai Pasal
62 ayat (1) butuir a dan e.
2. Pemeriksaan dismissal dilakukan oleh Ketua dan Ketua dapat
juga menunjuk seorang hakim sebagai raporteur (raporter).
3. Penetapan dismissal ditandatangani oleh Ketua dan Panitera
Kepala/Wakil Panitera (Wakil Ketua dapat pula menandatangani
penetapan dismissal dalam hal Ketua berhalangan). Pemeriksaan
dismissal dilakukan secara singkat dalam rapat
permusyawaratan. Pemeriksaan gugatan perlawanan terhadap
penetapan dismissal juga dilakukan dengan acara singkat (Pasal
62 ayat 4).
4. Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat
dikabulkan, maka dimungkinkan ditetapkan dismissal terhadap
bagian petitum gugatan tersebut.
2. Rapat Permusyawaratan
Rapat permusyawaratan ini diselenggarakan oleh Ketua
Pengadilan sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai
atau sebelum majelis hakim pemeriksa pokok perkara
ditunjuk.
Dalam Pasal 62 ayat (1) UU PTUN disebutkan; “Dalam rapat
permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang
memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi
dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang
diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar,
dalam hal-hal sebagai berikut:
1. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam
wewenang Pengadilan;
2. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak
dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan
diperingatkan;
3. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang
layak;
4. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah
terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
Terhadap penetapan Ketua PTUN, penggugat dapat
mengajukan perlawanan dalam rentang waktu
empat belas hari setelah diucapkan. Jika
perlawanan yang diajukan oleh penggugat ini
diterima, maka dilakukan pemeriksaan dengan
acara singkat. Hasil dari pemeriksaan ini akan
melahirkan putusan dengan dua kemungkinan;
diterima atau ditolak. Jika diterima atau dikabulkan
oleh hakim, maka penetapan Ketua Pengadilan itu
menjadi gugur demi hukum dan pokok gugatan
akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut
Acara Biasa. Sedangkan jika perlawanan terhadap
penetapan itu ditolak, maka tidak tersedia upaya
hukum. Konsekuensinya adalah penggugat harus
membuat gugatan baru jika masih ingin
melanjutkan gugatan terhadap KTUN yang
bersangkutan.
Dismissal Proses
Rapat Permusyawaratan
Perlawanan Penggugat
Acara Singkat
Putusan
diterima ditolak
Dismissal Proses
Pemeriksaan Persiapan
Majelis Hakim
Musyawarah
Putusan
Gugatan
Dismissal Proses
Hakim Tunggal
Sidang
Putusan
Pembuktian di PTUN
Keterangan Saksi
Dalam Pasal 104 UU PTUN disebutkan bahwa,
“Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti
apabila keterangan itu berkenaan dengan hal
yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi
sendiri”.
Beban Pembuktian
Dalam pembuktian dikenal ada tiga teori:
a) teori pembuktian bebas;
b) teori pembuktian negatif;
c) teori pembuktian positif.
Teori pembuktian bebas adalah teori yang tidak
menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian
seberapa dapat diserahkan kepadanya.
Teori pembuktian negatif adalah teori yang
mengharuskan adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa
ketentuan ini harus membatasi pada larangan
kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan pembuktian.
Teori pembuktian positif menghendaki adanya
perintah kepada hakim, di samping adanya
larangan. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan
syarat.
3. Kasasi
Berdasarkan ketentuan Pasal 131 UU PTUN, acara pemeriksaan
kasasi dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara ini
diberlakukan undang-undang tentang Mahkamah Agung. Pihak
yang dapat mengajukan kasasi ini adalah (a) penggugat atau
wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu; (b) tergugat
atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 UU PTUN, putusan
yang dapat dimintakan kasasi adalah “putusan tingkat
terakhir Pengadilan”. Adapun yang dimaksud dengan
“putusan tingkat terakhir Pengadilan” adalah putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, karena dalam
lingkungan PTUN hanya dikenal dua tingkatan
pengadilan.
Permohonan kasasi diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Agung melalui panitera PTUN yang telah
memutus perkara. Pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung membatalkan putusan pengadilan dari semua
lingkungan peradilan, dengan alasan:
1. itu dengan batalntidak berwenang atau melampaui
batas wewenang;
2. salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku;
3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian ya putusan yang bersangkutan.
4. Peninjauan Kembali
Berdasarkan Pasal 132 UU PTUN disebutkan sebagai
berikut: “(1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung; (2) Acara pemeriksaan peninjauan kembah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
77 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung”.