Anda di halaman 1dari 3

Feminis Anarkis Bikin Meringis

Tuhan telah menciptakan berbagai jenis makhluk hidup untuk saling berinteraksi
membentuk kehidupan di muka bumi. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna
dengan kemampuan berpikirnya, diciptakan berpasangan antara pria dan wanita. Keduanya
memiliki peran masing- masing dalam kehidupan untuk saling mengisi satu sama lain. Wanita
yang diciptakan Tuhan dengan rahimnya, kelak akan menjadi seorang Ibu yang mengurus anak-
anaknya. Sedangkan pria bertugas untuk mencari nafkah bagi keluarga kecil yang akan
dibentuknya kelak.
Namun berbagai ketidakadilan terhadap kaum wanita di Indonesia mulai bermunculan
sejak abad 18. Di Yogyakarta pada masa itu, wanita dilarang keras untuk bersekolah dan
mendapatkan pendidikan. Masyarakat beranggapan bahwa wanita hanya lahir untuk kelak
melahirkan anak lagi tanpa harus mendapatkan pendidikan apapun. Akibatnya, kaum wanita
pada masa itu didera kebodohan, buta huruf dan banyak ditindas oleh kaum pria yang tidak
bertanggungjawab. Bahkan lebih dari itu, pernikahan dini dan kehamilan usia remaja
menyebabkan maraknya kasus kematian calon ibu. Hal ini kemudian memunculkan tokoh
pergerakan wanita pribumi yang kini dikenal sebagai Raden Ajeng Kartini.
Kartini telah memperkenalkan feminisme yaitu paham yang memperjuangkan kesetaraan
bagi perempuan dalam segala aspek kehidupan di Indonesia. Paham ini bukanlah sebuah paham
yang menyerukan kebencian terhadap kaum pria. Pada awalnya, paham ini hanya bertujuan
untuk menyuarakan hak dan keadilan bagi kaum wanita yang tertindas. Seiring waktu, feminisme
semakin berkembang dan banyak mempengaruhi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Wanita
kini bebas meraih cita-citanya dan mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.
Sayangnya, feminisme berkembang semakin jauh hingga melupakan tujuan awalnya.
Banyak wanita yang terus menerus menuntut hak dan persamaan dalam segala aspek. Bahkan
tidak tanggung-tanggung, pada bulan Maret lalu kaum feminis yang diwakili oleh salah seorang
aktris cantik membuat sebuah gerakan bertajuk ‘Aurat Gue Bukan Urusan Lo’. Gerakan ini
menuntut hak kebebasan bagi kaum wanita untuk berpenampilan sesuai dengan apa yang ia
inginkan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun untuk menutup aurat.
Gerakan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh kasus pelecehan seksual yang kerap kali
memicu Victim Blaming, yaitu suatu kondisi di mana korban dituduh sebagai sumber penyebab
tindak kejahatan. Umumnya, victim blaming yang menyerang korban pelecehan seksual
menyebut korban sebagai penyebab dari perlakuan pelecehan. Korban biasanya dicap tidak
menjaga diri. Atas dasar permasalahan tersebut, para wanita penganut feminisme kemudian
menggelar aksi Women’s March pada 3 Maret 2018 lalu. Dalam aksi itu, terlihat seorang aktris
membawa poster besar bertuliskan “Aurat Gue Bukan Urusan Lo! Stop Victim Blaming, Stop
Pelecehan Seksual”.
Ditilik dari segi sosiologi, kasus ini sebenarnya timbul dari konflik gender antara kaum
pria dan kaum wanita. Menurut Karl Max, konflik gender muncul dalam bentuk prasangka dan
diskriminasi oleh laki-laki terhadap perempuan yang menimbulkan keyakinan bahwa wanita
lebih rendah daripada laki-laki. Konsekuensinya, wanita ditindas, dikendalikan dan dilecehkan
oleh laki-laki yang mendominasi masyarakat. Wanita dibatasi oleh norma dalam berpenampilan
dan dianggap rendah jika berpenampilan tidak tertutup. Konflik gender inilah yang kemudian
memunculkan kelompok penekan dari kalangan wanita. Para wanita feminis akhirnya berusaha
memperjuangkan hak dan kebebasan kaum wanita dalam berpenampilan sesuai keinginannya
sendiri tanpa adanya tuntutan untuk menutup diri.
Konflik ini diperparah dengan perbedaan pandangan antara kaum pria dan kaum wanita.
Kaum pria beranggapan bahwa kasus pelecehan seksual diakibatkan oleh wanita yang
berpenampilan tak senonoh dan memancing pria untuk melakukan pelecehan. Sedangkan kaum
wanita beranggapan bahwa kasus pelecehan seksual diakibatkan oleh pria yang tidak bisa
menjaga pikiran, pandangan serta hawa nafsunya. Anggapan kaum wanita inilah yang pada
akhirnya melahirkan aksi “Aurat Gue Bukan Urusan Lo!”.
Dilihat dari alasan yang dikemukakan oleh kaum feminis hal ini sebenarnya wajar
mengingat banyaknya masyarakat yang seringkali terlalu mencecar korban pelecehan seksual
tanpa mempertimbangkan apa yang telah diperbuat pelaku terhadap korban. Namun jika melihat
pemaparan lebih lanjutnya, gerakan ini juga tidak bisa sepenuhnya dibenarkan. Jika para wanita
penggagas gerakan ini menggunakan alasan, “Korban pelecehan seksual kebanyakan
berpenampilan sopan dan tertutup.” Maka logikanya adalah, pintu yang sudah ditutup
sedemikian rupa saja masih bisa kebobolan pencuri, apalagi pintu yang dibiarkan terbuka begitu
saja? Kaum wanita juga berkewajiban memenuhi norma dan berpenampilan tertutup demi
mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual.
Pun begitu bagi kaum pria. Tak salah jika pria merasa keberatan dengan penampilan
wanita yang terlalu terbuka dan terkesan tidak senonoh. Namun sebenarnya, pria juga
berkewajiban menjaga pandangan, pemikiran dan nafsunya agar tak terpancing untuk melakukan
perbuatan yang melecehkan.
Jadi, terlihat jelas bahwa kedua pihak tak sepenuhnya dapat dibenarkan dan tak
sepenuhnya dapat disalahkan. Mendikte salah satu pihak hanya akan membuat gerakan
pemberontakan dan tak menyelesaikan masalah apapun. Dalam kasus ini, baik pria maupun
wanita sama-sama memiliki andil dalam mencegah pelecehan seksual. Pria bertugas menjaga
pandangan dan nafsunya sementara wanita bertugas menjaga diri dari tindak pelecehan seksual
dengan berpenampilan sesuai norma. Begitu juga ketika kasus pelecehan telah terjadi,
masyarakat yang menjadi pengamat seharusnya tidak menghakimi dan mencela salah satu pihak
secara berlebihan. Komentar-komentar negatif yang ditujukan kepada salah satu pihak tanpa
adanya pemahaman lebih tentang kasus pelecehan hanya akan memicu masalah baru seperti
gerakan pemberontakan dan depresi dari korban victim blaming. Dengan adanya kerja sama dari
berbagai pihak tersebut, maka pelecehan seksual dapat diminimalisir dan korban depresi akibat
victim blaming dapat ditekan jumlahnya.

Anda mungkin juga menyukai