Anda di halaman 1dari 109

HUBUNGAN DUKUNGAN OKLUSAL DAN KLASIFIKASI

KENNEDY DENGAN TINGKAT KEPARAHAN


GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULA
PADA PASIEN RSGM USU

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkaspi syarat


guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:
HANNY NATASYA ANSARI
NIM: 130600059

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Prostodonsia

Tahun 2018

Hanny Natasya Ansari


Hubungan Dukungan Oklusal dan Klasifikasi Kennedy Dengan Tingkat Keparahan
Gangguan Sendi Temporomandibula Pasien RSGM USU
xiii + 92 Halaman
Gigi merupakan bagian penting pada tubuh manusia yang berfungsi untuk
mastikasi, estetik, fonetik, dan stomatognatik. Kehilangan gigi merupakan masalah
gigi dan mulut yang sering ditemukan karena memiliki berbagai faktor penyebab.
Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karies, penyakit
periodontal dan trauma. Secara langsung gigi berperan dalam fungsi pengunyahan
yang berguna untuk mempertahankan kestabilan hubungan vertikal dan distal antara
mandibula dengan maksila. Kehilangan satu atau beberapa gigi dapat mengganggu
keseimbangan susunan gigi geligi pada lengkung rahang. Keadaan ini akan
mengakibatkan terganggunya aktivitas fungsional, seperti mengunyah dan bicara,
mengganggu estetis serta berdampak pada kesehatan tubuh secara umum. Kehilangan
gigi juga akan mengakibatkan disharmonisasi oklusi yang mengakibatkan adanya
tekanan berlebih pada sendi temporomandibula sehingga menimbulkan pergeseran
kondilus pada keadaan yang patologis. Hilangnya sejumlah besar gigi mengakibatkan
bertambah beratnya beban oklusal pada gigi yang masih tinggal sehingga kehilangan
gigi pada tahap lanjut dapat mengganggu fungsi sendi temporomandibular. Pada saat
ini, adanya hubungan antara kehilangan gigi dengan gangguan pada sendi
temporomandibula merupakan masalah yang masih diperdebatkan dalam bidang
kedokteran gigi. Hal ini disebabkan oleh etiologi terjadinya gangguan sendi
temporomandibula adalah multifaktorial, dimana banyak faktor resiko yang sering
dikaitkan terhadap terjadinya tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi tingkat keparahan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


gangguan sendi temporomandibular berdasarkan usia, jenis kelamin, dukungan
oklusal dan klasifikasi Kennedy serta melihat hubungan antara dukungan oklusal dan
klasifikasi Kennedy dengan tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular.
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan rancangan cross
sectional. Penelitian ini dilakukan melalui wawancara langsung dengan
menggunakan kuesioner dan pemeriksaan klinis. Subjek yang diteliti adalah sebanyak
50 orang yang berusia diatas 17 tahun dengan kehilangan gigi sebagian. Hasil
penelitian ini menunjukkan prevalensi gangguan sendi temporomandibula dengan tingkat
keparahan ringan dan sedang paling banyak pada usia 17-25 tahun, dan keparahan berat
dialami pada usia 17-25, 46-55 dan 56-65. Setiap variasi tingkat keparahan gangguan
sendi temporomandibula paling banyak dialami oleh perempuan. Berdasarkan dukungan
oklusal, tingkat keparahan ringan dan sedang paling banyak dialami oleh subjek dengan
dukungan oklusal kelas A, dan keparahan berat paling banyak dialami oleh subjek
dengan dukungan oklusal kelas C. Berdasarkan klasifikasi Kennedy pada rahang atas,
tingkat keparahan ringan dan sedang paling banyak dialami oleh subjek dengan
klasifikasi Kennedy klas III, dan keparahan berat paling banyak dialami oleh subjek
dengan klasifikasi Kennedy klas I, II, dan III. Sedangkan pada klasifikasi Kennedy
rahang bawah, tingkat keparahan ringan dan sedang paling banyak dialami oleh subjek
dengan klasifikasi Kennedy klas III, dan keparahan berat paling banyak dialami oleh
subjek dengan klasifikasi Kennedy klas I. Penelitian ini menunjukkan tidak adanya
hubungan antara dukungan oklusal dan klasifikasi Kennedy dengan tingkat keparahan
gangguan sendi temporomandibula, namun tingkat keparahan berat ditemukan pada
dukungan oklusal kelas C dan klasifikasi Kennedy pada klas I.
Daftar Rujukan: 71 (2001-2017)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan


di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 18 Mei 2018


Pembimbing: Tanda tangan

Ricca Chairunnisa, drg., Sp.Pros


NIP : 19800924 200501 2 003 ........................................

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan


di hadapan tim penguji pada tanggal 18 Mei 2018

TIM PENGUJI

KETUA : Syafrinani, drg., Sp. Pros (K)

ANGGOTA : 1. Ika Andryas, drg., MSc

2. Ricca Chairunnisa, drg., Sp. Pros

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini selesai disusun sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Gigi Universitas
Sumatera Utara.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada kedua orang tua tercinta, yaitu ayahanda Al Ansari dan ibunda Sri
Azneini yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang, doa, nasehat, semangat
dan dukungan moril maupun materil kepada penulis sehingga penulis tetap
termotivasi dan mampu menyelesaikan penulisan ini. Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada abang penulis Hasmi Farhandani Ansari dan adik penulis Hadid
Fachriansyah Ansari serta segenap keluarga yang senantiasa memberikan semangat
dan dukungan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih
kepada Ricca Chairunnisa, drg., Sp.Pros selaku pembimbing skripsi atas kesabaran
dan waktu yang diberikan untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan saran
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Selanjutnya
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp.RKG (K) selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Syafrinani, drg., Sp.Pros (K) selaku Ketua Departemen Prostodonsia
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan Ketua tim penguji skripsi
yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
3. Prof. Haslinda Z. Tamin, drg., M.Kes., Sp. Pros (K) selaku Koordinator
Skripsi Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara.

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Ika Andryas, drg, MSc selaku anggota penguji, yang telah memberikan
saran dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Putri Welda Utami Ritonga, drg., M.DS.c., Sp. Pros selaku penasehat
akademik atas motivasi dan nasehat selama masa pendidikan di Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh staff pengajar serta pegawai Departemen Prostodonsia Fakultas
Kedokteran Gigi Univeristas Sumatera Utara atas motivasi dan bantuan dalam
menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.
7. Direktur RSGM Universitas Sumatera Utara beserta staf yang telah
memberikan izin dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.
8. Pasien RSGM Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia sebagai
subjek dalam penelitian ini.
9. Prana Ugiana Gio, M.Si yang telah meluangkan waktu untuk membantu
penulis dalam analisis statistik.
10. Sahabat – sahabat terdekat penulis yang telah banyak memberikan
dukungan serta senatiasa menemani penulis selama ini : Qorry Ulfah Lasia, Putri
Junita Rahmi Pasaribu, Siti Khairunnisa Br. Bangun dan Rizky Naulina Ritonga.
Terima kasih telah menjadi saudara, keluarga dan penyemangat dari awal hingga
akhir penulisan skripsi ini.
11. Sahabat sewaktu SMA penulis : Tri Agus Rini Ritonga, Retno Ayustira,
Adinda Khoiruddin, Halfi Zulfan Siregar, Lailatus Shifa, Hafni Silfiza Hsb dan
Nopiyanti atas segala perhatian, dukungan, dan dorongan semangat yang diberikan
dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
12. Teman-teman terdekat penulis di FKG USU : Rasyidah Sofriani Yusma,
Afrina Fadhillah, Fariza Yamami Rizal, Amalia Khoiri Silalahi, Nurul Amalia
Anggraini, M. Rizky Fauzi Lubis, M. Shaleh Koto, Leylan Syahputra Ikhsan Lubis,
Arif Ahmad Pasaribu, dan serta teman-teman angkatan 2013 yang tidak dapat
disebutkan satu per satu atas segala bantuan, perhatian, dukungan, dan dorongan
semangat yang diberikan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13. Teman-teman seperjuangan yang melaksanakan penulisan skripsi di
Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokeran Gigi Unversitas Sumatera Utara :
Huswatun Hasanah, Yudi Setiawan, Mira Ginta, Karin Hypatia, Sri Handayani, Riri
Harliani, Bayu Panca Nugraha, Saima Putri Hasibuan, Raudhatul Husna, Rintan
Permata Sari, Allya Nurul L, Tri Rizki, Tasya Estu, Nafsani Fauzia, Naro Ida Sari
Manihuruk, Fitra Pratiwi, Jeewena AP, Jasspreet Kaur, Ulita Khairunnisa, Dinda
Talita dan Hafisafriani atas dukungan dan bantuannya selama penulisan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.
Akhir kata, penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat berguna bagi pengembangan
ilmu Prostodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, dan bagi
kita semua.

Medan, 18 Mei 2018


Penulis

(Hanny Natasya Ansari)


NIM: 130600059

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Permasalahan..................................................................... 5
1.3 Rumusan Masalah ............................................................. 6
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................. 7
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................ 7
1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................... 7
1.5.2 Manfaat Praktis ..................................................... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kehilangan Gigi ................................................................ 9
2.1.1 Etiologi .................................................................. 9
2.1.1.1 Faktor Penyakit .......................................... 10
2.1.1.2 Faktor Bukan Penyakit .............................. 11
2.1.2 Klasifikasi Kehilangan Gigi .................................. 12
2.1.2.1 Jumlah Kehilangan Gigi ............................ 13
2.1.2.2 Jumlah Kuadran Kehilangan Gigi ............. 14
2.1.2.3 Dukungan Oklusal ..................................... 14
2.1.2.4 Klasifikasi Kennedy .................................. 15
2.1.3 Dampak ................................................................. 16
2.1.3.1 Dampak Emosional.................................... 16
2.1.3.2 Dampak Sistemik ....................................... 17
2.1.3.3 Dampak Fungsional ................................... 18
2.1.3.3.1 Gangguan Berbicara ................... 18
2.1.3.3.2 Gangguan Pengunyahan ............. 18
2.2 Sendi Temporomandibula ................................................. 19
2.2.1 Anatomi ................................................................. 19

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.2.1.1 Kondilus Mandibula .................................. 20
2.2.1.2 Fossa Mandibula ........................................ 21
2.2.1.3 Ligamen ..................................................... 21
2.2.1.4 Diskus Artikularis ...................................... 22
2.2.1.5 Otot ............................................................ 23
2.2.1.6 Persyarafan ................................................ 24
2.2.2 Fisiologi ................................................................ 24
2.3 Gangguan Sendi Temporomandibula ................................ 26
2.3.1 Etiologi .................................................................. 26
2.3.2 Faktor yang Memengaruhi Gangguan Sendi
Temporomandibula ............................................... 28
2.3.2.1 Usia ............................................................ 28
2.3.2.2 Jenis Kelamin ............................................ 29
2.3.3 Tanda dan Gejala................................................... 30
2.3.4 Diagnosis ............................................................... 30
2.3.4.1 Riwayat Pasien .......................................... 31
2.3.4.2 Pemeriksaan Klinis .................................... 31
2.3.4.3 Pemeriksaan Radiografi ............................. 33
2.3.5 Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula ............................................... 34
2.3.6 Mekanisme Dukungan Oklusal dan Klasifikasi
Kennedy dengan Tingkat Keparahan Gangguan
Sendi Temporomandibula ..................................... 35
2.3.6.1 Dukungan Oklusal ..................................... 35
2.3.6.2 Klasifikasi Kennedy .................................. 36
2.4 Kerangka Teori.................................................................. 37
2.5 Kerangka Konsep .............................................................. 38
2.6 Hipotesis Penelitian........................................................... 39

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Rancangan Penelitian ........................................................ 40
3.2 Populasi ............................................................................. 40
3.3 Sampel ............................................................................... 40
3.3.1 Kriteria Inklusi ..................................................... 41
3.3.2 Kriteria Eksklusi................................................... 42
3.4 Variabel Penelitian ............................................................ 42
3.4.1 Klasifikasi Variabel Penelitian............................. 42
3.4.1.1 Variabel Bebas ......................................... 42
3.4.1.2 Variabel Terikat ....................................... 42
3.4.1.3 Variabel Terkendali .................................. 42
3.4.1.4 Variabel Tidak Terkendali ....................... 43
3.4.2 Definisi Operasional ............................................ 43
3.5 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................... 46
3.5.1 Tempat ................................................................. 46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.5.2 Waktu .................................................................. 46
3.6 Prosedur Penelitian........................................................... 46
3.6.1 alat dan Bahan Penelitian ..................................... 46
3.6.1.1 Alat ........................................................... 46
3.6.1.2 Bahan........................................................ 47
3.6.2 Cara Penelitian ..................................................... 47
3.6.2.1 Persiapan .................................................. 47
3.6.2.2 Pelaksanaan .............................................. 48
3.6.2.2.1 Wawancara ................................ 48
3.6.2.2.2 Pemeriksaan Klinis.................... 49
3.6.2.3 Pengolahan Data....................................... 54
3.7 Analisis Data .................................................................... 54
3.8 Kerangka Operasional ...................................................... 55

BAB 4 HASIL PENELITIAN


4.1 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU Berdasarkan
Usia dan Jenis Kelamin ..................................................... 56
4.1.1 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU
Berdasarkan Usia ................................................. 56
4.1.2 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU
Berdasarkan Jenis Kelamin .................................. 57
4.2 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU Berdasarkan
Dukungan Oklusal ............................................................. 60
4.3 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM Berdasarkan
Klasifikasi Kennedy .......................................................... 63
4.4 Hubungan Dukungan Oklusal dengan Tingkat Keparahan
Gangguan Sendi Temporomandibula ................................ 66
4.5 Hubungan Klasifikasi Kennedy dengan Tingkat
Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula ............. 68

BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU Berdasarkan
Usia dan Jenis Kelamin ..................................................... 72
5.1.1 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU
Berdasarkan Usia ................................................. 72

xi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5.1.2 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU
Berdasarkan Jenis Kelamin .................................. 73
5.2 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU Berdasarkan
Dukungan Oklusal ............................................................. 74
5.3 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU Berdasarkan
Klasifikasi Kennedy .......................................................... 76
5.4 Hubungan Dukungan Oklusal dengan Tingkat Keparahan
Gangguan Sendi Temporomandibula ................................ 78
5.5 Hubungan Dukungan Oklusal dengan Tingkat Keparahan
Gangguan Sendi Temporomandibula ................................ 80

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan ....................................................................... 83
6.2 Saran .................................................................................. 85

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 87

LAMPIRAN

xii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Definisi Operasional Variabel Bebas................................................. 43


2 Definisi Operasional Variabel Terikat ............................................... 45
3 Definisi Operasional Variabel Terkendali ......................................... 46
4 Definisi Operasional Variabel Tidak Terkendali ............................... 46
5 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula
Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Pada Pasien RSGM USU ....... 59

6 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula


Berdasarkan Dukungan Oklusal Pada Pasien RSGM USU ............... 62

7 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula


Berdasarkan Klasifikasi Kennedy Pada Pasien RSGM USU ............ 65

8 Hubungan Dukungan Oklusal dengan Tingkat Keparahan


Gangguan Sendi Temporomandibula Pada Pasien RSGM USU ....... 67

9 Hubungan Dukungan Oklusal dengan Tingkat Keparahan


Gangguan Sendi Temporomandibula Pada Pasien RSGM USU....... 68

10 Hubungan Klasifikasi Kennedy dengan Tingkat Keparahan


Gangguan Sendi Temporomandibula Pada Pasien RSGM USU ....... 69

11 Hubungan Klasifikasi Kennedy dengan Tingkat Keparahan


Gangguan Sendi Temporomandibula Pada Pasien RSGM USU ....... 71

xiii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Kuadran gigi.................................................................................. 14

2 Eichner index ................................................................................ 15

3 Klasifikasi Kennedy ...................................................................... 16

4 Anatomi sendi temporomandibula ................................................ 20

5 Bentuk kepala mandibula kondilus .............................................. 21

6 Ligamen sendi temporomandibula ................................................ 22

7 Diskus artikularis .......................................................................... 23

8 Otot .............................................................................................. 24

9 Pemeriksaan klinis sendi temporomandibula................................ 33

10 Transcranial oblique lateral view ................................................. 34

11 Pengukuran batas pembukaan mulut maksimal ............................ 50

12 Pemeriksaan fungsi sendi .............................................................. 50

13 Palpasi otot temporalis ................................................................. 51

14 Palpasi otot masseter ..................................................................... 51

15 Pemeriksaan otot pterygoid........................................................... 52

16 Palpasi STM bagian lateral dan posterior ..................................... 52

17 Pergerakan mandibula ke lateral kanan dan kiri ........................... 53

xiv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian

2 Surat Pernyataan Persetujuan Subjek Penelitian (Informed Consent)

3 Kuesioner Penelitian

4 Surat Pengantar Komisi Etik

5 Surat Persetujuan Komisi Etik

6 Surat Pengantar Izin Penelitian di RSGM USU

7 Surat Persetujuan Penelitian di RSGM USU

8 Surat Pengantar Izin Penelitian di Departemen Prostodonsia FKG USU

9 Analisis Statistik

xv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gigi merupakan bagian penting pada tubuh manusia yang berfungsi untuk
mastikasi, estetik, fonetik, dan stogmatognatik. Idealnya setiap individu akan
mempertahankan gigi permanennya.1 Masalah kehilangan gigi sering ditemukan dan
dapat disebabkan oleh dua faktor secara umum yaitu, faktor penyakit seperti karies
dan penyakit periodontal, faktor bukan penyakit seperti trauma, atau kegagalan
perawatan dan faktor sosiodemografi serta terbatasnya pemanfaatan pelayanan
kesehatan gigi dan mulut.2,3 Secara langsung gigi berperan dalam fungsi pengunyahan
yang berguna untuk mempertahankan kestabilan hubungan vertikal dan distal antara
mandibula dengan maksila.4 Kehilangan satu atau beberapa gigi dapat mengganggu
keseimbangan susunan gigi geligi pada lengkung rahang. Keadaan ini akan
mengakibatkan terganggunya aktivitas fungsional, seperti mengunyah dan bicara,
mengganggu estetis serta berdampak pada kesehatan tubuh secara umum.1,2
Kehilangan gigi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada sendi
temporomandibula (STM).3
Selama ini banyak sekali ragam klasifikasi yang diciptakan dan digunakan
untuk mengelompokkan kehilangan gigi sebagian.6 Klasifikasi yang ideal untuk
kehilangan gigi sebagian harus mencakup informasi mengenai semua aspek klinis dan
harus dapat diterima secara universal, memvisualisasikan lengkung gigi dan dapat
menjadi panduan desain gigi tiruan.6,7 Beberapa dekade belakangan banyak klinisi
yang telah mengemukakan berbagai tipe klasifikasi. Beberapa metode dalam
mengklasifikasikan kehilangan gigi pertama sekali dikemukakan oleh Kennedy pada
tahun 1923 berdasarkan daerah tidak bergigi berujung bebas (free end). Klasifikasi
kehilangan gigi sebagian juga telah dikemukakan oleh Costa pada tahun 1974
berdasarkan lokasi dan jumlah kehilangan gigi.6 Selain itu, Eichner index
mengelompokkan kehilangan gigi sebagian berdasarkan keberadaan daerah dukungan
oklusal yang berasal dari kontak antagonis gigi geligi maksila dan mandibula.8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

Hilangnya sejumlah besar gigi mengakibatkan bertambah beratnya beban oklusal


pada gigi yang masih tinggal sehingga kehilangan gigi pada tahap lanjut dapat
mengganggu fungsi sendi temporomandibula.3,5
Gangguan sendi temporomandibula adalah suatu gangguan sistem
stomatognatik yang disebabkan karena satu atau lebih komponen sistem
stomatognatik tidak dalam keadaan baik atau tidak berfungsi dengan baik. 9 Gangguan
sendi temporomandibula merupakan kumpulan gejala klinis yang melibatkan otot
pengunyahan di daerah orofasial, sendi atau keduanya.10 Gejala yang paling sering
ditemukan pada gangguan STM ialah rasa nyeri dari ringan sampai berat pada sendi
temporomandibula dan sekitarnya, timbul suara pada saat sendi bergerak dan terjadi
ketegangan otot-otot pergerakan rahang.9,10 Penelitian yang dilakukan Daroewati
(2003) menunjukkan bahwa 79,3% masyarakat dewasa di Indonesia memiliki
kelainan sendi, dari ringan hingga berat.11 Selain itu, berdasarkan penelitian Shetty R
(2010) di India ditemukan sebesar 59% individu menunjukkan satu atau lebih tanda-
tanda kelainan sendi temporomandibula.12
Hubungan antara kehilangan gigi dengan gangguan sendi temporomandibula
masih kontroversial.5,11,13 Kehilangan gigi posterior akan diikuti dengan hilangnya
kontak oklusal.4 Pada kehilangan gigi sebagian keberadaan dukungan oklusal dapat
diklasifikasikan dengan menggunakan Eichner Index. Pengelompokan klasifikasi
eichner ini berdasarkan zona dukungan oklusal, yaitu daerah kontak gigi premolar
dan atau molar dengan gigi antagonisnya pada setiap sisi. Klasifikasi ini membagi
ada tidaknya dukungan oklusal kedalam 3 kelas yaitu, kelas A, kelas B dan kelas C.14
Kehilangan kontak oklusal mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan oklusi yang
akan mengganggu kestabilan lengkung gigi, keadaan ini menyebabkan struktur sendi
temporomandibula menerima beban yang lebih besar sehingga mengganggu fungsi
pengunyahan.3,4,13,15 Kehilangan gigi posterior juga dapat terjadi overclosure
mandibula yang mengakibatkan kondilus menyimpang dari posisi sentrik normal
sehingga menyebabkan dislokasi sendi temporomandibula.15 Kehilangan gigi di
bagian posterior diindikasikan sebagai penyebab gangguan STM karena kelainan
oklusal yang menyebabkan gangguan fungsi sendi.10 Berdasarkan penelitian Okeson

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

(2008) melaporkan bahwa dari 13 penelitian yang dilakukannya, tercatat dua kali
lebih banyak yang menyatakan adanya hubungan antara oklusi dengan gangguan
sendi temporomandibula. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Luder HU (2002) yang menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara
kehilangan gigi dan sendi temporomandibula.3 Selain itu, berdasarkan penelitian yang
dilakukan Dulcic (2003) ditemukan lebih banyak yang mengalami gangguan STM
pada Eichner kelas B dibandingkan kelas C.8 Saat ini pengaruh dukungan oklusal
sebagai salah satu etiologi gangguan STM juga masih diperdebatkan.8,13,16,17
Berdasarkan penelitian Mundt T dkk (2005) ditemukan adanya hubungan yang
signifikan antara penurunan dukungan oklusal terhadap terjadinya nyeri pada sendi
temporomandibula.16 Hal ini juga didukung oleh Quaker A (2011) yang dalam
penelitiannya juga menunjukkan adanya peningkatan frekuensi tanda dan gejala
gangguan sendi dengan terjadinya penurunan jumlah oklusal dari gigi geligi
posterior.15
Kehilangan gigi sebagian juga diklasifikasikan menurut Klasifikasi Kennedy
pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Edward Kennedy pada tahun 1923.6 Kennedy
mengklasifikasikan kedalam empat macam klas keadaan tidak bergigi, yaitu klas I
Kennedy (posterior bilateral free-end), klas II (posterior unilateral free-end), klas III
dan klas IV (anterior).18 Beberapa penelitian menyatakan bahwa hilangnya dukungan
molar dikaitkan dengan keberadaan dan tingkat keparahan osteoarthritis terhadap
gangguan STM.8,13,15 Berdasarkan penelitian Uhac dkk (2002) yang menyatakan
bahwa risiko terjadinya bunyi pada sendi temporomandibula meningkat secara
signifikan pada individu yang telah kehilangan gigi lebih banyak.19 Bunyi ini terjadi
karena adanya perubahan letak, bentuk, dan fungsi dari komponen sendi
temporomandibula. Bunyi yang dihasilkan dapat bervariasi, mulai dari lemah dan
hanya terasa oleh pasien, hingga keras dan tajam.11 Tingkat keparahan gejala
gangguan STM meningkat seiring dengan berkurangnya jumlah gigi bagi kebanyakan
individu. Nyeri pada sendi juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada sisi dengan
gigi yang paling banyak hilang dan peningkatan risiko gangguan sendi ditemukan
pada individu tanpa dukungan molar.15 Tanda dan gejala gangguan STM menurut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

penelitian Vinita Ved (2017) lebih banyak pada klas III Kennedy.19 Selain itu,
perubahan pada bagian anterior akan berdampak pada bagian posterior, yang secara
tidak langsung mempengaruhi kesehatan STM. Tepi insisal gigi anterior mandibula
yang tertahan dengan permukaan lingual gigi anterior maksila dan permukaan lingual
ini menentukan jumlah gerakan vertikal dari mandibula. Panduan anterior ditentukan
oleh tumpang tindih vertikal dan horizontal di antara gigi-gigi anterior. Kehilangan
gigi anterior dapat menimbulkan gangguan pada bagian posterior dengan waktu
disoklusi yang lama.20
Gangguan sendi temporomandibula memiliki etiologi multifaktorial sering
dikaitkan terhadap terjadinya tanda dan gejala gangguan STM,13,21,22 termasuk usia,
jenis kelamin, hilangnya sebagian gigi posterior, gangguan dan ketidakharmonisan
oklusal, beban yang berlebihan, adanya trauma, sistemik, kebiasaan parafungsional,
gangguan emosional, psikosomatik dan psikososial.8,13,16,21 Tanda dan gejala
gangguan STM juga ditemukan pada semua kelompok usia dalam suatu studi
epidemiologi yang mungkin bisa setinggi 88% dan 55% dengan prevalensi rendah
pada anak kecil dan meningkat seiring bertambahnya usia remaja sampai usia dewasa
muda.23 Gangguan STM mempengaruhi semua kelompok usia. Gejala dari gangguan
STM juga lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki.16 Studi
epidemiologi mendokumentasikan frekuensi dan tingkat keparahan gangguan STM
lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki. Akibatnya, gangguan STM empat
kali lebih sering pada perempuan.24
Tingkat keparahan yang terjadi pada sendi temporomandibula dapat diukur
menggunakan kuesioner Fonseca. Kuesioner ini mengelompokkan tingkat keparahan
pada gangguan STM menjadi tidak ada, ringan, sedang dan berat sebanyak 10
pertanyaan yang diberikan pilihan jawaban; tidak pernah, kadang-kadang dan sering.
Kuesioner ini dinilai efisien dan dapat mengelompokkan gangguan dalam tingkat
keparahan STM.17,25 Melakukan pemeriksaan klinis pada sendi temporomandibula
dengan menggunakan dysfunction index yaitu berdasarkan hasil evaluasi lima tanda
klinis gangguan fungsi sendi dan modified mobility index (Helkimo 1974).26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

Berdasarkan uraian penelitian-penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa


hubungan antara faktor kehilangan gigi dengan gangguan sendi temporomandibula
merupakan hal yang masih diperdebatkan dalam bidang kedokteran gigi. Oleh karena
itu, penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara kehilangan gigi dengan tingkat
keparahan gangguan sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU ditinjau dari
dukungan oklusal dan klasifikasi Kennedy.

1.2 Permasalahan
Gigi merupakan bagian penting pada tubuh manusia yang berfungsi untuk
mastikasi, estetik, fonetik, dan stogmatognatik. Kehilangan gigi merupakan masalah
gigi dan mulut yang sering ditemukan karena memiliki berbagai faktor penyebab.
Kehilangan satu atau beberapa gigi dapat mengganggu keseimbangan susunan gigi
geligi pada lengkung rahang. Keadaan ini akan mengakibatkan terganggunya
aktivitas fungsional, seperti mastikasi, fonetik dan estetik. Kehilangan gigi juga akan
mengakibatkan disharmonisasi oklusi yang mengakibatkan adanya tekanan berlebih
pada sendi temporomandibula sehingga menimbulkan pergeseran kondilus pada
keadaan yang patologis. Hilangnya sejumlah besar gigi mengakibatkan bertambah
beratnya beban oklusal pada gigi yang masih tinggal sehingga kehilangan gigi pada
tahap lanjut dapat mengganggu fungsi sendi temporomandibula. Berdasarkan
penelitian Okeson (2008) melaporkan bahwa dari 13 penelitian yang dilakukannya,
tercatat dua kali lebih banyak yang menyatakan adanya hubungan antara oklusi
dengan gangguan sendi temporomandibula. Hal ini juga sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Luder HU (2002) yang menunjukkan adanya korelasi
yang kuat antara kehilangan gigi dan sendi temporomandibula. Saat ini pengaruh
dukungan oklusal sebagai salah satu etiologi gangguan STM juga masih
diperdebatkan. Berdasarkan penelitian Mundt T dkk (2005) ditemukan adanya
hubungan yang signifikan antara penurunan dukungan oklusal terhadap terjadinya
nyeri pada sendi temporomandibula. Hal ini juga didukung oleh Quaker A (2011)
yang dalam penelitiannya juga menunjukkan adanya peningkatan frekuensi tanda dan
gejala gangguan sendi dengan terjadinya penurunan jumlah oklusal dari gigi geligi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

posterior. Berdasarkan penelitian Uhac dkk (2002) yang menyatakan bahwa risiko
terjadinya bunyi pada sendi temporomandibula meningkat secara signifikan pada
individu yang telah kehilangan gigi lebih banyak. Tanda disfungsi sendi
temporomandibula menurut Shet RGK (2013) menunjukkan bahwa klasifikasi kelas I
Kennedy (bilateral free-end) lebih banyak ditemukan tanda-tanda gangguan STM.
Sedangkan menurut penelitian Vinita Ved (2017) lebih banyak pada klas III
Kennedy. Tingkat keparahan gejala gangguan STM meningkat seiring dengan
berkurangnya jumlah gigi bagi kebanyakan individu. Gejala yang paling sering
ditemukan pada gangguan STM ialah rasa nyeri dari ringan, sedang sampai berat
pada sendi temporomandibula dan sekitarnya. Penelitian yang dilakukan Daroewati
(2003) menunjukkan bahwa 79,3% masyarakat dewasa di Indonesia memiliki
kelainan sendi, dari ringan, sedang hingga berat. Namun, adanya hubungan antara
kehilangan gigi dengan tingkat keparahan gangguan STM masih belum jelas. Hal ini
disebabkan oleh etiologi terjadinya gangguan STM adalah multifaktorial, yakni
banyak faktor resiko yang sering dikaitkan terhadap terjadinya tanda dan gejala
gangguan STM seperti usia dan jenis kelamin. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
melakukan penelitian untuk melihat hubungan dukungan oklusal dan klasifikasi
Kennedy dengan tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula pada pasien
RSGM USU. Alasan memilih RSGM USU sebagai tempat penelitian karena
merupakan tempat yang banyak dikunjungi oleh masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang dibutuhkan.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang akan di
teliti adalah:
1. Berapakah prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula
berdasarkan usia dan jenis kelamin pada pasien RSGM USU?
2. Berapakah prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula
berdasarkan dukungan oklusal pada pasien RSGM USU?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

3. Berapakah prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula


berdasarkan klasifikasi Kennedy pada pasien RSGM USU?
4. Apakah ada hubungan dukungan oklusal dengan tingkat keparahan
gangguan sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU?
5. Apakah ada hubungan klasifikasi Kennedy dengan tingkat keparahan
gangguan sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula
berdasarkan usia dan jenis kelamin pada pasien RSGM USU.
2. Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula
berdasarkan dukungan oklusal pada pasien RSGM USU.
3. Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula
berdasarkan klasifikasi Kennedy pada pasien RSGM USU.
4. Hubungan dukungan oklusal dengan tingkat keparahan gangguan sendi
temporomandibula pada pasien RSGM USU.
5. Hubungan klasifikasi Kennedy dengan tingkat keparahan gangguan sendi
temporomandibula pada pasien RSGM USU.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada dokter gigi
dan dokter gigi spesialis tentang hubungan kehilangan gigi sebagian dengan tingkat
keparahan gangguan sendi temporomandibula.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan penerapannya, khususnya di bidang
Prostodonsia.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi
untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

1.5.2 Manfaat Praktis


1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada dokter gigi
dan dokter gigi spesialis dalam membuat perencanaan pencegahan dan
penatalaksanaan yang tepat bagi pasien yang mengalami kehilangan gigi sebagian
yang disertai dengan gangguan sendi temporomandibula.
2. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum untuk
mengetahui adanya hubungan antara kehilangan gigi dengan gangguan sendi
temporomandibula, sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan sendi
temporomandibula dan lebih mengerti usaha yang dilakukan untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang sesuai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Gigi merupakan salah satu bagian rongga mulut untuk pengunyahan. Jumlah
gigi geligi sangat menentukan efektifitas pengunyahan dan penelanan yang
merupakan langkah awal proses pencernaan.27 Idealnya setiap individu akan
mempertahankan gigi permanennya, tetapi gigi akan lepas atau perlu dilakukan
pencabutan sesuai dengan indikasinya.1

2.1 Kehilangan Gigi


Kehilangan satu sampai lima belas gigi pada lengkung rahang disebut
edentulous.7,28 Kehilangan gigi merupakan suatu keadaan lepasnya satu atau lebih
gigi dari soket atau tempatnya yang merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut dan
banyak muncul di masyarakat.1 Hilangnya satu gigi atau lebih dapat menyebabkan
rasa tidak nyaman sehingga dapat mengganggu berbagai aspek kehidupan sehari-hari
seperti bicara, makan, minum, sosialisasi dan rasa percaya diri serta berpengaruh
pada fungsi sendi temporomandibula.26,29 Hilangnya gigi menyebabkan penurunan
tulang alveolar, migrasi gigi tetangga dan memengaruhi jaringan pendukung gigi
tiruan yang adekuat.30

2.1.1 Etiologi
Kehilangan gigi pada satu atau kedua rahang atas dan bawah terjadi akibat
berbagai faktor.28,31 Secara umum kehilangan gigi merupakan hasil dari proses
penyakit sehingga dapat diklasifikasikan sebagai masalah rongga mulut. Kehilangan
gigi geligi lebih sering disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan penyakit
periodontal. Faktor lain seperti trauma, sikap dan karakteristik terhadap pelayanan
kesehatan gigi, faktor sosiodemografi serta gaya hidup juga turut memengaruhi
hilangnya gigi.28,32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

2.1.1.1 Faktor Penyakit


Sebuah studi di kedokteran gigi menunjukkan bahwa karies gigi dan penyakit
periodontal adalah penyebab paling umum yang memengaruhi kesehatan rongga
mulut.33 Penyebab utama dari kehilangan gigi adalah karies dan penyakit
periodontal.32 Penelitian di Ghana oleh Bruce menyatakan bahwa faktor utama
penyebab kehilangan gigi yang paling banyak adalah karies gigi yaitu 83% dan
penyakit periodontal yaitu 17%.31
Karies gigi merupakan penyebab utama dari berbagai penyebab kehilangan
gigi pada semua kelompok usia.28 Karies merupakan penyakit infeksi gigi yang
ditandai dengan adanya kerusakan jaringan, dimulai dari permukaan gigi (pit, fisur
dan daerah interproksimal) meluas ke arah pulpa. Karies dapat terjadi pada satu
permukaan gigi dan meluas ke bagian yang lebih dalam seperti enamel yang
kemudian meluas ke dentin atau ke pulpa.34 Karies gigi didefinisikan sebagai
penyakit multifaktorial yang menyebabkan demineralisasi pada permukaan gigi.
Proporsi ekstraksi tertinggi akibat karies terjadi antara usia 21-30 tahun.28 Karies gigi
yang tidak dirawat dapat bertambah buruk sehingga akan menimbulkan rasa sakit dan
berpotensi menyebabkan hilangnya gigi.34
Disisi lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit periodontal juga
merupakan alasan paling umum yang menyebabkan hilangnya gigi.33 Penyakit
periodontal adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang terakumulasi
dalam plak yang menyebabkan peradangan pada gingiva.35 Penyakit periodontal
merupakan penyakit infeksi pada jaringan yang mengelilingi dan mendukung gigi
lainnya. Terdapat dua tipe penyakit periodontal yang biasa dijumpai yaitu gingivitis
dan periodontitis.35,36 Gingivitis merupakan bentuk penyakit periodontal dengan
proses inflamasi yang memengaruhi jaringan lunak sekeliling gigi tanpa adanya
kerusakan tulang. Tanda pertama dari inflamasi yaitu adanya hiperemia, warna
gingiva berubah dari merah muda menjadi merah tua, disebabkan dilatasi kapiler,
sehingga jaringan menjadi lunak karena banyak mengandung darah. Kelainan
tersebut muncul perlahan-lahan dalam jangka lama dan tidak terasa nyeri kecuali bila
ada komplikasi dengan keadaan akut. Bila peradangan ini dibiarkan dapat berlanjut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

menjadi periodontitis. Periodontitis merupakan lanjutan dari gingivitis yang tidak


ditangani. Periodontitis adalah penyakit inflamasi yang akan memengaruhi
periodonsium yaitu jaringan yang mengelilingi serta mendukung gigi. Periodontitis
akan melibatkan hilangnya progresif dari tulang alveolar pada sekitar gigi, dan bila
tidak diobati maka dapat menyebabkan melonggarnya perlekatan jaringan ikat dan
menyebabkan hilangnya gigi. Penyakit periodontal akan meningkat dengan
meningkatnya umur, dari 6% pada umur 25–34 tahun menjadi 41% pada umur 65
tahun keatas.35,36 Berdasarkan penelitian Hirschfeld and Wassermann (2003)
menunjukkan dari 600 pasien, 300 pasien tidak mengalami kehilangan gigi dari
penyakit periodontal, 199 pasien kehilangan 1-3 gigi, 76 pasien kehilangan 4-9 gigi,
dan 25 pasien kehilangan 10-23 gigi.37

2.1.1.2 Faktor Bukan Penyakit


Kehilangan gigi juga dapat disebabkan oleh trauma.31 Trauma atau injuri baik
yang langsung mengenai gigi maupun jaringan sekitarnya dapat membuat gigi
terlepas dari soketnya.31,36 Kehilangan gigi karena trauma banyak disebabkan oleh
benturan keras atau pukulan, yang ditandai dengan terputusnya kontinuitas normal
suatu struktur jaringan. Hilangnya kontinuitas pada gigi dapat menyebabkan gigi
mengalami nekrosis pada jaringan periodontal sehingga berpotensi infeksi dan
apabila dibiarkan akan mengakibatkan kehilangan gigi.38 Kehilangan gigi akibat
trauma dapat terjadi karena kecelakaan seperti kecelakaan bermotor, bersepeda,
serangan pada wajah, dan kontak ketika berolahraga.36
Pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan penggunaan fasilitas pelayanan
yang disediakan. Pelayanan kesehatan merupakan faktor penting dari kesehatan,
pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tersedia dan optimal adalah sarana penting
untuk meningkatkan status kesehatan seseorang. Pemanfaatan pelayanan kesehatan
merupakan upaya pencegahan yang dapat memengaruhi jumlah gigi yang tinggal
dalam rongga mulut.40 Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan dasar (RISKESDAS)
tahun 2013, pada responden umur diatas 12 tahun mengalami kerusakan gigi rata-rata
5 gigi per orang, rata-rata 4 gigi per orang sudah dicabut akibat kunjungan ke

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

pelayanan kesehatan gigi sudah terlambat, sehingga gigi tidak dapat dipertahankan
lagi dan harus dicabut. Sesuai dengan laporan hasil pencatatan dan pelaporan
penderita pengunjung puskesmas (SP2TP) pada akhir pelita V, terlihat tingginya
persentase pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi untuk pencabutan yaitu 79,6%.3,41
Dapat dikatakan bahwa masih rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat
akan pentingnya kesehatan gigi dan mempertahankan fungsi gigi.3,41
Faktor sosiodemografi seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan
tingkat penghasilan merupakan faktor yang juga memengaruhi kehilangan gigi.28,32
Beberapa penelitian menyatakan bahwa umur memiliki hubungan terhadap terjadinya
kehilangan gigi.28,32 Jumlah rata-rata gigi hilang meningkat seiring bertambahnya
umur.28 Berdasarkan data Oral Health US (2002) menunjukkan prevalensi kehilangan
gigi pada usia 25-44 tahun adalah 2%, prevalensi kehilangan gigi pada usia 45-60
tahun adalah 10% dan prevalensi kehilangan gigi pada usia 65-74 tahun adalah
25%.34 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Departemen kesehatan
Republik Indonesia tahun 2013 telah dilaporkan bahwa kehilangan gigi ditemukan
kelompok umur 25-34 tahun sebesar 0,1%, 35-44 tahun sebesar 0,4 %, 45-54 tahun
sebesar 1,8%, 55-64 tahun 5,9% dan pada kelompok umur diatas 65 tahun 17,6%.41
Selain itu, jenis kelamin juga merupakan faktor penyebab kehilangan gigi,28,32
berdasarkan penelitian Anyanechi C, dkk (2012) yang menunjukkan bahwa
perempuan (62.3%) lebih banyak mengalami kehilangan gigi dibandingkan laki-laki
(37.7%).28 Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, berdasarkan RISKESDAS tahun
2013 insiden kehilangan gigi pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.3,41
Selain itu, terdapat hubungan antara kehilangan gigi dengan tingkat
pendidikan. Masyarakat dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki kesadaran
untuk memperbaiki kesehatan rongga mulut, menggunakan fasilitas kesehatan gigi
dan mulut serta gaya hidup yang lebih baik untuk memperhatikan kesehatan rongga
mulut.32

2.1.2 Klasifikasi Kehilangan Gigi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

Selama ini banyak sekali ragam klasifikasi yang diciptakan dan digunakan
untuk mengelompokkan kehilangan gigi sebagian.6 Klasifikasi yang ideal untuk
kehilangan gigi sebagian harus mencakup informasi mengenai semua aspek klinis dan
klasifikasi tersebut harus memberikan informasi yang sesuai mengenai keadaan gigi
yang tersisa, gigi antagonisnya, daerah edentulous dan perawatan yang optimal.7
Selain itu, tujuan utama klasifikasi ini agar dokter gigi dapat berkomunikasi sejelas
mungkin, tentang keadaan rongga mulut yang akan dibuatkan gigi tiruan. Pembuatan
klasifikasi dapat membantu mempermudah pemahaman terhadap dasar-dasar atau
prinsip pembuatan desain gigi tiruan.6,7 Sejumlah penelitian juga mengelompokkan
kehilangan gigi berdasarkan jumlah kehilangan gigi, jumlah kuadran kehilangan gigi,
dukungan oklusal dan klasifikasi Kennedy untuk melihat hubungan kehilangan gigi
dengan gangguan sendi temporomandibula (STM).

2.1.2.1 Jumlah Kehilangan Gigi


Jumlah gigi geligi sangat menentukan efektifitas pengunyahan dan penelanan
yang merupakan langkah awal dari proses pencernaan. Jumlah gigi geligi yang sedikit
akan menghasilkan bolus yang kasar sehingga dapat menyebabkan gangguan
pencernaan dan nutrisi. Selain itu, jumlah gigi geligi dalam rongga mulut akan
memengaruhi distribusi tekanan dan fungsi pengunyahan, penampilan, berbicara serta
kenyamanan seseorang sehingga kehilangan gigi memiliki banyak dampak negatif
yang memengaruhi banyak aspek.42
Kehilangan gigi lebih dari 3 gigi posterior dalam satu lengkung rahang dapat
menganggu sistem mastikasi. Menurut penelitian Gilang dkk. (2015) individu lanjut
usia yang memiliki kehilangan gigi posterior ≥ 3 gigi menyebabkan kesulitan
berbicara. Individu juga cenderung untuk memilih makanan yang lembut karena
kesulitan saat makan makanan yang keras dan bila dipaksakan akan menyebabkan
rasa sakit pada rongga mulut mereka. Individu lanjut usia dengan kehilangan ≥ 3
posterior memiliki kemungkinan yang besar terjadinya penurunan kualitas hidup
yang berhubungan dengan kesehatan rongga mulut sedangkan individu lanjut usia
dengan kehilangan ≤ 3 posterior memiliki kemungkinan yang kecil terjadinya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

penurunan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan rongga mulut. Selain
itu, individu lanjut usia dengan kehilangan gigi ≤ 3 gigi posterior tidak mengalami
gangguan, keterbatasan maupun rasa sakit pada fungsi dari rongga mulut maupun gigi
geliginya sedangkan rata-rata individu dengan kehilangan ≥ 3 gigi posterior
mengalami gangguan, keterbatasan dan rasa sakit.43

2.1.2.2 Jumlah Kuadran Kehilangan Gigi


Kuadran gigi merupakan istilah yang digunakan dalam pembagian rahang
menjadi empat bagian yang sama, dimulai dari garis tengah lengkung gigi atau titik
kontak insisivus sentralis dan meluas menuju gigi terakhir di belakang mulut.
Susunan gigi dalam mulut terdiri atas empat kuadran yaitu, kuadran kanan atas, kiri
atas, kiri bawah dan kanan bawah.44
Penelitian Wang dkk. (2009) dan Shet RGK (2010) menyatakan jumlah
kuadran kehilangan gigi lebih berpengaruh terhadap terjadinya gangguan STM
dibandingkan dengan jumlah kehilangan gigi dimana semakin besar jumlah kuadran
13,45
kehilangan gigi maka insiden terjadinya gangguan STM akan meningkat. Hasil
penelitian Wang dkk. (2009) dapat disimpulkan bahwa resiko lebih rendah pada
individu yang mengalami kehilangan gigi posterior hanya pada 1 kuadran
dibandingkan dengan kehilangan gigi posterior pada kuadran yang berbeda.13

Gambar 1. Kuadran gigi.44

2.1.2.3 Dukungan Oklusal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

Kehilangan gigi sebagian keberadaan dukungan oklusal diklasifikasikan


dengan menggunakan Eichner index. Eichner (1955) mengembangkan sistem baru
untuk mengklasifikasikan kehilangan gigi sebagian.14 Pengelompokan klasifikasi
Eichner ini berdasarkan zona dukungan oklusal, yaitu daerah kontak gigi premolar
dan atau molar dengan gigi antagonisnya pada setiap sisi. Klasifikasi ini membagi
ada tidaknya dukungan oklusal kedalam 3 kelas yaitu, kelas A, kelas B dan kelas C.
Kelas A terdiri atas 4 zona dukungan oklusal yaitu kontak gigi premolar dan molar
dengan gigi antagonisnya pada setiap sisi. Kelas B dibagi kedalam 4 kelompok yaitu
B1, B2, B3 dan B4. Kelas B1 terdapat 3 zona dukungan oklusal yaitu kontak gigi
premolar atau molar dengan gigi antagonisnya, kelas B2 yang terdiri dari 2 zona
dukungan oklusal yaitu kontak gigi premolar atau molar dengan gigi antagonisnya,
kelas B3 yang hanya memiliki 1 zona dukungan oklusal yaitu kontak gigi premolar
atau molar dengan gigi antagonisnya dan kelas B4 merupakan kelas yang tidak
terdapat dukungan oklusal namun masih terdapat gigi anterior yang berkontak
antagonis. Kelas C adalah kelas yang sama sekali tidak ditemukan gigi yang
berkontak baik gigi anterior maupun gigi posterior.14,16

Gambar 2. Indeks Eichner14

2.1.2.4 Klasifikasi Kennedy


Berdasarkan berbagai macam faktor kehilangan gigi, para ahli
mengklasifikasikan daerah kehilangan gigi sebagian, salah satunya Kennedy.18
Klasifikasi Kennedy pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Edward Kennedy pada
tahun 1923. Klasifikasi Kennedy merupakan metode klasifikasi yang paling umum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

digunakan saat ini karena sederhana, mudah diaplikasikan pada seluruh kondisi
kehilangan gigi sebagian, dapat segera menentukan tipe kehilangan gigi sebagian, dan
dapat menentukan tipe dukungan GTSL (dukungan gigi atau dukungan gigi dan
mukosa).6 Kennedy membagi kehilangan gigi sebagian menjadi empat macam kelas
keadaan gigi secara umum. Daerah edentulus diluar klasifikasi yang telah ditentukan,
dikategorikan sebagai modifikasi.6,18,46
Klasifikasi Kennedy diuraikan sebagai berikut:6,18,46
1. Klas I : daerah tidak bergigi terletak di bagian posterior dari gigi yang
masih ada dan berada pada kedua sisi rahang (bilateral free-end).
2. Klas II : daerah tidak bergigi terletak di bagian posterior dari gigi yang
masih ada tetapi berada hanya pada salah satu sisi rahang saja (unilateral free-end).
3. Klas III : daerah tidak bergigi terletak di antara gigi-gigi yang masih ada di
bagian posterior maupun anterior dan unilateral.
4. Klas IV : daerah tidak bergigi terletak pada bagian anterior dari gigi-gigi
yang masih ada dan melewati garis tengah rahang.

Gambar 3. Klasifikasi Kennedy: A. Klas I; B. Klas II; C. Klas III; D. Klas IV.18

2.1.3 Dampak
Kehilangan gigi sebagian memiliki dampak emosional, sistemik dan
fungsional. Hilangnya satu atau beberapa gigi dapat mengakibatkan terganggunya
keseimbangan susunan gigi geligi. Bila hal tersebut tidak segera diatasi, maka akan
mengganggu fungsi bicara, pengunyahan maupun estetik serta dapat memengaruhi
kesehatan tubuh secara umum.2,3,32,39

2.1.3.1 Dampak Emosional

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

Prinsipnya fungsi dari gigi geligi adalah memungkinkan kita untuk


mengunyah makanan, memudahkan berbicara dan menyempurnakan penampilan
wajah. Semua fungsi tersebut dapat terganggu akibat kehilangan gigi.48 Kehilangan
gigi dapat menimbulkan dampak emosional dalam kehidupan sehari-hari. Kehilangan
gigi terutama di regio depan dapat mengganggu estetis yang memengaruhi aspek
psikologis individu.3,32,49 Penelitian yang dilakukan oleh McMillan dkk di Hongkong
menemukan bahwa 22% populasi mengalami kesulitan untuk menerima kehilangan
gigi.50 Hal ini juga didukung oleh sebuah studi tentang pengaruh emosional dari
kehilangan gigi sebagian di Inggris menemukan bahwa 49% populasi mengalami
kesulitan untuk menerima kehilangan gigi dan 35% dari mereka merasa tidak siap
untuk menerima kehilangan gigi yang dialaminya.49
Adanya perubahan-perubahan membuat individu merasa sangat terganggu,
kehilangan percaya diri, sadar akan penampilan dan menganggap kehilangan gigi
sesuatu yang tidak patut dibicarakan sehingga pasien akan merahasiakannya.2,3,39
Selain itu, dampak yang terjadi yaitu penurunan interaksi sosial karena merasa malu
dan tidak percaya diri. Penelitian di Inggris membuktikan bahwa banyak orang
merasa kesulitan saat mengalami kehilangan gigi, mereka cenderung membatasi
kegiatan sosial mereka dan menghindari berhubungan dengan orang.50 Hal tersebut
dapat menurunkan tingkat kepercayaan diri individu sehingga akan cenderung
menarik diri dari masyarakat. Oleh karena itu,faktor estetis menjadi motivasi utama
pasien dan penting untuk melakukan perawatan prostodonsia.2,3

2.1.3.2 Dampak Sistemik


Kehilangan gigi dapat memengaruhi kesehatan rongga mulut dan kesehatan
umum.3,15,32 Kehilangan gigi sering dihubungkan dengan penyakit sistemik serta
penyakit kronis pada orang tua dan merupakan faktor resiko terjadinya penurunan
berat badan.32 Terdapat tantangan untuk menjaga keseimbangan asupan makanan
pada orang tua akibat kehilangan gigi yang diderita.51 Sebuah penelitian tentang
hubungan antara status kesehatan rongga mulut dan defisiensi nutrisi pada responden
yang berusia 85 tahun keatas di Switzerland, menunjukkan terjadi penurunan Body

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

Mass Index (BMI) dan konsentrasi serum albumin pada usia tua dengan status
gangguan fungsi rongga mulut. Hal ini terjadi karena jumlah dan distribusi gigi dalam
rongga mulut sangat memengaruhi efisiensi fungsi pengunyahan.32 Kehilangan gigi
pada orang tua menyebabkan mereka cenderung memilih makanan, dengan
kecenderungan kurangnya mengkonsumsi buah, sayuran yang keras, daging,
makanan rendah serat dan makanan yang mengandung lemak yang tinggi. 2,51 Akibat
dari pemilihan makanan tersebut akan menyebabkan penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular dan yang lainnya.51

2.1.3.3 Dampak Fungsional


Dampak fungsional yang diakibatkan oleh kehilangan gigi dapat berupa
gangguan berbicara dan ganguan pengunyahan.2,4,32

2.1.3.3.1 Gangguan Berbicara


Kehilangan gigi dapat menurunkan fungsi bicara karena gigi memiliki
peranan yang penting dalam proses berbicara. Selain itu, kehilangan gigi juga
berdampak terhadap fungsi bicara karena dapat mengganggu pengucapan.2 Melalui
bantuan bibir dan lidah yang berkontak dengan gigi geligi dihasilkan beberapa
pengucapan huruf tertentu. Huruf-huruf yang dibentuk melalui kontak antara lidah
dan gigi-geligi adalah huruf konsonan seperti s, z, x, d, n, l, j, t, th, ch dan sh.
Sedangkan huruf yang dibentuk melalui kontak antara bibir dan gigi-geligi yaitu f dan
v. Individu yang telah mengalami kehilangan gigi akan kesulitan dalam mengucapkan
huruf-huruf tersebut. Hal inilah yang akan mengganggu proses bicara dan komunikasi
dengan orang lain.52 Menurut Palmer, pada individu yang masih memiliki gigi-geligi
yang lengkap maka gigi posterior berperan dalam membantu pergerakan lidah saat
berbicara.32,46

2.1.3.3.2 Gangguan Pengunyahan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

Sistem pengunyahan merupakan suatu unit fungsional yang terdiri dari gigi,
jaringan pendukung gigi, sendi temporomandibula, otot-otot termasuk bibir, pipi,
lidah, palatum, sekresi saliva dan peredaran darah serta persarafan. Proses
pengunyahan merupakan fenomena yang melibatkan otot-otot rahang.53 Proses
pengunyahan yang baik dipengaruhi oleh hubungan gigi geiligi rahang atas dan
rahang bawah, sendi temporomandibula, jaringan otot dan persarafannya. Bila
hubungan fungsional semua sistem ini berlangsung baik maka secara keseluruhan
setiap komponen maupun sistem akan berfungsi dengan baik. Sebaliknya, bila salah
satu komponen dalam keadaan tidak baik akan mengakibatkan gangguan sistem
stomatognatik.9 Makanan diteruskan ke rongga mulut setelah dikunyah oleh gigi.
Gigi tersebut mengubah makanan yang tadinya keras menjadi agak lembut dan
lunak.53 Gigi anterior berfungsi untuk memotong makanan, sedangkan gigi posterior
digunakan untuk mengunyah atau menghaluskan makanan.52 Kehilangan gigi juga
merupakan penyebab paling sering pada gangguan fungsi pengunyahan.46 Jumlah gigi
yang sedikit akan menurunkan efisiensi pengunyahan makanan sehingga akan
memengaruhi status makan dan status nutrisi. Kida dkk (2008) melaporkan bahwa
pada individu yang kehilangan gigi posterior akan memiliki empat kali lebih banyak
masalah dalam pengunyahan.32

2.2 Sendi Temporomandibula


Sendi temporomandibula adalah sendi engsel yang menghubungkan
mandibula dengan tulang temporal yang berada tepat di depan telinga. Sendi
temporomandibula terdiri atas ligamen dan tendon. Ligamen merupakan jaringan ikat
yang berbentuk seperti pita. Ligamen, tendon dan otot mendukung persendian serta
bertanggung jawab atas pergerakan kondilus. Sendi temporomandibula merupakan
sendi yang kompleks yang dapat melakukan gerakan meluncur dan rotasi pada saat
mandibula berfungsi. Mekanismenya unik karena sendi kiri dan kanan harus bergerak
secara sinkron pada saat berfungsi.54,55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

2.2.1 Anatomi
Sendi temporomandibula (STM), juga dikenal sebagai sendi /artikulasi
kraniomandibular yang sangat khas pada mamalia. Artikulasi ini antara bagian
squamous dari tulang temporal dan kepala kondilus mandibular (Gambar 4).
Artikulasi mandibula disebut sebagai sendi bilateral diarthroidial atau sendi bebas
bergerak. Hal ini juga dianggap sebagai sendi kompleks, karena melibatkan dua sendi
sinovial yang terpisah (kanan dan kiri), di mana terdapat adanya diskus intrakapsular
atau meniskus dan kedua persendian harus berfungsi dalam koordinasi. Artikulasi
STM terdiri dari glenoid atau fossa mandibula, eminensia atau tuberkulum, kondilus,
diskus terpisah, kapsul sendi fibrous dan ekstrakapsul ligamen.

Gambar 4. Anatomi sendi


temporoman-dibula.56

2.2.1.1 Kondilus Mandibula


Bagian artikular dari mandibula adalah prosesus kondilar ovoid (kepala)
dengan leher mandibular yang sempit. Hal ini luas secara lateral dan sempit secara
medial. Dimensi mediolateral bervariasi antara 13 sampai 25 mm dan lebar
anteroposterior bervariasi antara 5,5 sampai 16 mm. Mayoritas kondilus manusia
(58%) sedikit cembung lebih tinggi, dengan radius kelengkungan yang lebih besar
daripada jarak dari medial ke kutub lateral. Dua puluh lima persen kondilus datar dan
sekitar 12 persen berbentuk runcing atau sudut dan 3 persen berbentuk bulat atau
bundar (Gambar 5). Permukaan keunggulan artikular yang paling mendekati condilus
secara konsisten sesuai dengan permukaan kondilus. Kedua condilus pasien mungkin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

asimetris. Kombinasi condilus datar di satu sisi dengan condilus konveks di sisi lain
adalah yang paling umum. Bagian artikular kondilus ditutupi oleh jaringan
fibrokartilaginosa dan bukan dengan tulang rawan hialin, seperti pada kebanyakan
sendi lainnya di tubuh manusia.56

Gambar 5. Bentuk dari kepala mandibula kondilus.56

2.2.1.2 Fossa Mandibula


Batas : Anterior, artikular eminensia atau tuberkulum, dan posterior,
tuberkulum postglenoid berbentuk kerucut kecil.
Artikular eminensia : Ini adalah keunggulan kecil pada lengkungan zygomatic. Ini
sangat cembung pada anteroposterior dan agak cekung pada mediolateral.
Postglenoid tuberkel : Ini memisahkan permukaan artikular fossa secara lateral dari
lempengan timpani. Dan plat timpani memisahkan STM dari bagian tulang dari
saluran pendengaran eksternal.
Fosa Glenoid : Ini memiliki daerah artikular anterior yang dibentuk oleh aspek
inferior squad temporal. Permukaannya halus, lonjong dan sangat melengkung keluar
dan tulangnya sangat tipis di kedalaman fosa. Atap fosa glenoid ini menciptakan
partisi antara fosa kranial tengah dan sendi. Fosa dilapisi oleh fibrocartilage avaskular
padat. Dalam bagian melintang, fosa dan eminensi membentuk poster 'lazy S' di
posteroanterior. Fisur squamotympanic memisahkannya dari plat timpani, yang
membentuk dinding posterior fosa glenoid.56

2.2.1.3 Ligamen
Ligamen ini memanjang ke bawah dan ke belakang dari artikular eminensia
ke sisi luar dan bagian posterior dari leher kondilus. Serabut posteriornya disatukan
dengan serabut kapsular. Ligamen ini terdiri dari serabut kolagen yang memiliki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

panjang yang spesifik dan kemampuan yang tidak baik untuk meregang, karena
mempertahankan integritas dan membatasi pergerakan STM. Ini terutama membatasi
perjalanan rahang depan dan mencegah dislokasi posterior, oleh karena itu disebut
'ligamentum cek' STM. Tapi dalam situasi tertentu, jika gerakan sendi secara
konsisten berfungsi melawan ligamen, maka ligamen memanjang dan ini bisa
menciptakan perubahan pada biomekanik sendi dan dapat menyebabkan perubahan
patologis tertentu.56

Gambar 6. Ligamen sendi


temporomandibula.56

2.2.1.4 Diskus Artikularis


Diskus artikularis memiliki peranan yang penting dalam pergerakan
mandibula. Diskus ini tersusun atas jaringan ikat fibrous dengan serabut-serabut
kolagen yang berjalan ke segala arah untuk memberikan fleksibilitas pada sendi.
Diskus artikularis terletak diantara dua membran sinovial sendi temporomandibula.
Permukaan atas diskus berbentuk cembung untuk menyesuaikan bentuk fossa
mandibula dan permukaan bawahnya cekung untuk menyesuaikan kondilus. Diskus
artikularis mengarah ke depan melewati eminensia artikularis. Posisi dan pergerakan
diskus diatur oleh perlekatan ligamen kapsular dan pada bagian anterior oleh tendon
otot pterygoid lateral. Diskus artikularis hanya bergerak sedikit ketika awal membuka
mulut karena kondilus hanya sedikit berotasi. Akan tetapi, pergerakan kondilus
semakin membesar saat mulut terbuka lebih lebar atau saat pergerakan protrusif atau
lateral. Pada sendi yang sehat diskus akan bergerak bersama kondilus karena diskus
melekat erat pada tepi lateral dan medial kondilus. Diskus dapat bergerak ke depan
dan ke belakang kondilus tetapi tidak dapat bergerak dalam arah lateral.54,62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

Gambar 7. Diskus artikularis.54

2.2.1.5 Otot
Pergerakan dari sendi temporomandibula dan rahang dikontrol oleh otot
terutama otot pengunyahan yang terletak di sekitar rahang dan sendi
temporomandibula, seperti otot masseter, otot temporalis, otot pterigoideus medialis
dan otot pterigoideus lateralis. Otot maseter terletak pada lengkung zigomatikus
kearah sudut mandibular. Otot masseter terbagi dua bagian, yaitu bagian superfisial
dan bagian dalam. Fungsi utama otot ini ada pada proses mastikasi dan menutup
mandibular. Otot temporalis terletak pada permukaan lateral tulang temporal ke arah
prosesus koronoideus, dan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu anterior, tengah dan
posterior. Bagian posterior otot temporalis berfungsi dalam retrusi mandibula. Bagian
tengah dari otot temporalis berfungsi dalam elevasi dan retrusi mandibula. Sedangkan
bagian anterior otot temporalis berfungsi dalam membuka mandibula. Otot
pterygoideus medial terletak pada fossa pterygoideus dan meluas ke permukaan
medial dan sudut mandibula yang berfungsi dalam penutupan, protrusi, dan
pergerakan kontralateral dari mandibula. Otot pterigoideus lateral dibagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian inferior dan bagian superior. Otot pterygoideus lateralis inferior
yang terletak pada fossa pterygoideus lateralis ke kondilus yang berfungsi untuk
protrusi dan pembukaan mandibula, sedangkan otot pterygoideus lateralis superior

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

terletak pada dasar temporal diatas tulang sphenoid ke arah kapsul sendi, diskus
artikularis dan kondilus yang berfungsi dalam retrusi dan penutupan mandibula.54

Gambar 8.Otot. A. otot masseter, B. Otot temporal, C. Otot pterygoid


medial, D. Otot pterygoid lateral.54

2.2.1.6 Persyarafan
Sendi temporomandibula dipersarafi oleh nervus mandibula yang merupakan
cabang ketiga dan terbesar dari nervus trigeminus. Nervus ini memberi persyarafan
sensori pada sendi temporomandibula. Cabang-cabang dari saraf mandibula
merupakan persarafan aferen. Ada tiga saraf yang mempersarafi sendi rahang
diantaranya adalah saraf aurikulotemporal, saraf posterior temporal dan saraf maseter.
Saraf aurikulotemporal merupakan yang terbesar mempersarafi bagian posterior,
medial dan lateral dari sendi. Selain saraf aurikulotemporal, saraf temporal dan saraf
masseter juga menginervasi sendi pada bagian anterior. Kedua saraf ini merupakan
saraf motorik tetapi juga mengandung serabut sensori yang terdistribusi pada bagian
anterior dari kapsul sendi temporomandibula.54,56

2.2.2 Fisiologi
Sendi tempromandibula mempunyai peranan penting dalam fungsi fisiologis
pada tubuh manusia. Sendi temporomandibula berfungsi pada saat pengunyahan,
berbicara dan menelan.54 Mandibula mampu melakukan enam gerakan dasar melalui
sendi temporomandibula, yaitu:65
1. Menarik ke Atas/ Menutup Mulut
Gerakan saat dagu berayun ke atas dan ke depan, kondilus bergerak ke
belakang dan ke atas sepanjang artikular eminensia. Sebagaimana permukaan oklusal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

mendekati satu sama lain, sendi mandibula ke atas pada sumbu condylar untuk
mencapai oklusi sentris.65 Menarik ke atas/menutup mulut (elevasi) oleh m.maseter,
m. pterigoideus medialis, dan m.temporalis (serabut vertikal).63
2. Menekan ke Bawah/ Membuka Mulut
Gerakan mandibula perlahan-lahan kebawah. Permukaan oklusal gigi
menyimpang, dan dagu berayun ke bawah. Kondilus mengalami sedikit rotasi di
bagian bawah selama pembukaan awal 20 sampai 27 mm. Kemudian kondilus dan
diskus mulai bergerak ke bawah dan ke depan sepanjang eminensia. Saat pembukaan
maksimal tercapai, kondilus menghentikan artikular eminensia. Sumbu rotasi kira-
kira melalui foramina mandibula.65 Menekan ke bawah/membuka mulut oleh gaya
berat, m. milohioideus, m. digastrikus venter anterior, dan m. pterigoideus lateralis
(ketika otot ini menarik kepala mandibula di atas dataran menurun tuberkulum
artikularis).
3. Protrusi/ Proyeksi ke Anterior
Gerakan ketika gigi di oklusi sentris, geser mandibula ke depan, pertahankan
kontak gigi sampai gigitan gigi insisivus end-to-end. Protrusi yang maksimal
menghasilkan gigi seri bawah yang beberapa milimeter di anterior gigi insisivus
rahang atas. Kondilus bergerak ke arah anterior dan inferior di sepanjang kemiringan
posterior artikular eminensia. Gerakan ini terjadi di daerah atas: yaitu, diskus dan
kondilus bersama-sama ke bawah dan ke depan sepanjang artikular eminensia.65
Protusi/proyeksi ke anterior oleh m.pterigoideus lateralis (serabut pterigoideus dapat
juga membantu karena otot ini mempunyai arah anterosuperior).63
4. Retrusi/ Gerakan ke Posterior
Dari posisi protuded, perlahan pindahkan mandibula posterior sambil tetap
menjaga kontak gigi sampai gigi sekali lagi berada dalam posisi sentris. kondilus dan
diskus bergerak ke atas dan ke belakang pada artikular eminensia dan menempati lagi
fosa mandibula.65 Retraksi/gerakan ke posterior oleh m. temporalis (serabut
horisontal).63
5. Gerakan ke Lateral Kiri dan Lateral Kanan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

Gerakan dari posisi oklusi sentris, geser gigi ke kanan sambil tetap menjaga
kontak oklusal. lalu geser kembali ke sentrik dan seterusnya ke sisi kiri. Ini adalah
gerakan dasar sisi-ke-sisi, yang memungkinkan kita menggiling makanan.65
Dalam gerakan ke kanan, kondilus kanan bergeser sedikit ke medial dan
kemudian berputar melalui sumbu vertikal. kondilus kiri bergerak ke bawah dan ke
depan sepanjang artikular eminensia. Gerakan lateral yang ekstrem secara fisik tidak
mungkin dilakukan karena gerakan diblokir oleh ramus sisi kontralateral yang
membentur ke segmen bukal maksilaris kontralateral.65

2.3 Gangguan Sendi Temporomandibula


Gangguan sendi temporomandibula (STM) adalah sekelompok kondisi yang
ditandai dengan rasa sakit atau disfungsi pada STM dan atau otot pengunyahan.
Gangguan sendi temporomandibula telah menjadi topik yang menarik dalam
kedokteran gigi selama dua dekade terakhir.45 Gangguan STM merupakan
sekumpulan gejala dan tanda yang melibatkan otot mastikasi, sendi
temporomandibula dan struktur yang terkait. Gangguan STM merupakan masalah
yang sering terjadi secara global yang pada umumnya mencakup sejumlah
etiologi.12,16,21,54 Kelainan sendi temporomandibula sering terjadi pada semua
kelompok usia.16,22
Proses patologi gangguan STM ditandai oleh adanya kerusakan dan abrasi
tulang artikular serta penebalan lokal dan remodelling pada dasar tulang. Kerusakan
internal pada sendi temporomandibula digambarkan sebagai posisi hubungan diskus
artikularis dengan kondilus mandibular, fossa glenoidalis dan eminensia artikularis
yang tidak normal dan identik dengan adanya perpindahan diskus artikularis.29,57

2.3.1 Etiologi
Etiologi dari gangguan STM adalah multifaktorial.19,20,25 Karena etiologi
yang kompleks dan bervariasinya tanda dan gejala yang mungkin menunjukan
patologi yang lain, penampakan dan diferensiasi dari gangguan STM tidak begitu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

jelas bagi profesional.17 Namun, sejumlah studi menyimpulkan bahwa mencakup


oklusal dan faktor psikologi lebih penting daripada variabel lain dalam memberikan
penjelasan untuk kelainan sendi temporomandibula yang masih dalam perdebatan.23
Adapun faktor penyebab terjadinya antara lain :57
1. Oklusi
Maloklusi dapat menyebabkan ketidakseimbangan neuromuskular dan
menyebabkan iskemik yang dapat menjadi faktor predisposisi dari gangguan STM.62
Akan tetapi dari beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan, peran oklusi
dalam menimbulkan gangguan STM masih belum jelas.24,62
2. Trauma
Makro trauma merupakan tekanan yang terjadi secara langsung sehingga
menyebabkan perubahan pada bagian discus articularis dan processus condylaris.
Trauma besar yang tiba–tiba dapat mengakibatkan perubahan struktural, seperti
pukulan pada wajah atau kecelakaan. Sedangkan pada mikro trauma, posisi discus
articularis dan processus condylaris dapat berubah secara perlahan–lahan. Trauma
ringan tapi berulang dalam jangka waktu yang lama, seperti bruxism dan clenching
dapat menyebabkan mikrotrauma pada jaringan yang terlibat seperi gigi, sendi
rahang, atau otot.24,59
3. Stres emosional
Stres emosional dapat menyebabkan peningkatan aktifitas otot pada posisi
istirahat atau bruxism atau keduanya, yang dapat menimbulkan kelelahan yang
berakibat pada spasme otot. Spasme otot yang terjadi nantinya akan menimbulkan
kontraktur, ketidakseimbangan oklusal dan degeneratif atritis. Stres emosional juga
dapat meningkatkan respon saraf simpatis yang menyebabkan nyeri pada otot
mastikasi.24,62
4. Deep pain
Deep pain input yang dapat merangsang SSP menghasilkan respon
protective co-contraction untuk melindungi bagian yang terluka dengan cara
membatasi fungsi kerja organ. Hal ini menjelaskan mengapa sakit pada gigi, telinga,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

sinus atau bahkan sumber sakit yang jauh dari mulut dapat menyebabkan timbulnya
respons keterbatasan buka mulut.62
5. Aktifitas parafungsional.
Aktifitas parafungsional adalah semua aktifitas diluar fungsi normal
(seperti mengunyah, bicara, menelan) dan tidak mempunyai tujuan fungsional.
Contohnya adalah bruxism dan kebiasaan–kebiasaan lain seperti menggigit kuku,
pensil, bibir, mengunyah satu sisi, tongue thrust, dan bertopang dagu. Aktifitas yang
paling berat dan sering menimbulkan masalah adalah bruxism termasuk clenching
dan grinding. Bruxism adalah mengerat gigi atau grinding terutama pada malam hari,
sedangkan clenching adalah mempertemukan gigi atas dan bawah dengan keras yang
dapat dilakukan pada siang ataupun malam hari. Pasien yang melakukan clenching
atau grinding pada saat tidur sering melaporkan adanya rasa nyeri pada sendi rahang
dan kelelahan pada otot–otot wajah saat bangun tidur.24,59,62

2.3.2 Faktor yang Memengaruhi Gangguan Sendi Tempromandibula


2.3.2.1 Usia
Gangguan sendi temporomandibula (STM) mempengaruhi semua kelompok
16,62
usia. Suatu studi epidemiologi mengatakan bahwa tanda dan gejala gangguan
STM sering terjadi pada orang dewasa dari segala umur.16,22 Tanda dan gejala
gangguan STM telah dicatat terdapat pada individu muda dan remaja namun
prevalensinya lebih rendah daripada orang dewasa. Namun demikian, pada populasi
umumnya gejala paling sering dirasakan antara usia 17 dan 30 tahun, sedangkan pada
pasien gejalanya lebih terasa antara usia 20 dan 40 tahun. Anak-anak dan remaja
jarang mengeluhkan gejala apapun walaupun selama masa hidupnya mereka
menunjukkan peningkatan jumlah tanda gangguan STM. Pasien berusia di atas 60
juga jarang mengeluhkan gejalanya.62 Schmitter dkk. melaporkan bahwa pasien
geriatri mengalami suara sendi pada 38% kasus dan nyeri otot pada 12%, meski tanpa
rasa sakit atau nyeri sendi. Ini kontras dengan kelompok pasien muda dengan suara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

sendi hanya 7% kasus, namun dengan kejadian gejala yang jauh lebih tinggi: nyeri
wajah pada 7%, nyeri sendi pada 16%, dan nyeri otot pada 25%.24
Usia menjadi faktor resiko, karena frekuensi dan tingkat keparahan penyakit
tampaknya meningkat seiring bertambahnya usia. Misalnya, kandungan kalsium dari
sendi manusia meningkat secara progresif seiring bertambahnya usia. Kenaikan
kalsifikasi ini bisa disebabkan oleh penuaan seperti itu, atau dengan perubahan
tegangan mekanis. Dengan demikian, sifat material sendi juga bisa diperkirakan
terkait dengan usia. Ini menyiratkan bahwa sendi menjadi lebih kaku dan rapuh,
mengurangi kemampuannya untuk menangani kelebihan beban. Kartilago artikular
juga bisa berubah seiring bertambahnya usia. Berat molekul asam hialuronat pada
kartilago artikular manusia menurun dari 2000 menjadi 300 kDa antara usia 2,5 dan
86 tahun. Asam hialuronat pada tulang rawan artikular sangat penting untuk
mempertahankan viskositasnya, dan penurunan berat molekul dapat menyebabkan
berkurangnya sifat biorheologisnya pada tulang rawan.59

2.3.2.2 Jenis Kelamin


Peran jenis kelamin pada gangguan STM juga telah dibahas secara luas dalam
literatur.23 Gejala dari gangguan STM telah ditemukan lebih sering terjadi pada
perempuan daripada laki-laki.16 Rasio antara perempuan dan laki-laki yang
mengalami gangguan STM adalah 4:1.24,62 Gangguan STM dianggap 1,5 sampai 2
kali lebih banyak terjadi pada perempuan daripada pada laki-laki dan 80% pasien
yang dirawat karena kelainan ini adalah perempuan.23 Telah dicatat bahwa
perempuan lebih sering menderita sakit kepala, kliking pada sendi temporomandibula
dan sensitivitas sendi dan otot.62
Dalam penelitian yang dilakukan Nomura (2012) mengatakan lebih dari 50%
dari mahasiswa kedokteran gigi yang diwawancarai memiliki gangguan STM.
Perempuan (63,11%) lebih banyak terkena daripada laki-laki (40,62%). Mengingat
hanya gangguan STM yang parah, perempuan sekitar 9 kali lebih banyak terkena
daripada laki-laki. Tingginya prevalensi gangguan STM pada perempuan mungkin
terkait dengan karakteristik fisiologisnya yang berbeda, seperti variasi hormonal,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

struktur otot dan karakteristik yang berbeda dari jaringan ikat.25 Selain itu, diduga
karena reseptor estrogen di persendian temporomandibula pada perempuan
memodulasi fungsi metabolik sehingga menyebabkan kelemahan dari ligamen. Selain
itu, diduga estrogen ini juga meningkatkan stimulasi nyeri.24

2.3.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula (STM) pertama kali
dikenalkan oleh Costen pada tahun 1934 dan sejak itu sejumlah besar istilah telah
digunakan secara bergantian untuk menggambarkan gangguan STM . Ini termasuk
sindrom Costen, sindrom disfungsi sendi temporomandibula, sindrom disfungsi nyeri
dan arthromyalgia wajah. Selama 80 tahun berikutnya, terminologi tersebut telah
berubah dan telah direvisi beberapa kali. Sampai gangguan STM kolektif telah
diterima.58 Gejala ini telah ditemukan lebih sering pada perempuan daripada pada
laki-laki tapi temuan ini belum pernah dikonfirmasi.16 Gangguan STM didefenisikan
sebagai serangkaian kondisi fungsional dan patologis yang memengaruhi sendi
temporomandibula, otot mastikatori serta jaringan lain disekitarnya. Hal ini ditandai
dengan beberapa tanda dan gejala yang diantaranya adalah :9,11,12,20,21,29,39,54
 Sakit atau nyeri pada daerah wajah, sendi rahang, leher dan bahu, dan atau di
sekitar telinga saat mengunyah, berbicara atau pembukaan mulut yang maksimal.
 Kesulitan menelan atau perasaan tidak nyaman ketika menelan.
 Rahang terkunci, kaku, sehingga sulit untuk membuka atau menutup mulut.
 Bunyi kliking pada sendi rahang saat membuka atau menutup mulut yang
mungkin atau tidak disertai dengan nyeri.
 Sakit kepala.
 Gigitan yang rasanya tidak pas
 Bahkan dapat juga ditandai dengan muka yang asimetri.

2.3.4 Diagnosis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

Sebagian besar diagnosis gangguan STM didapatkan pada pemeriksaan


riwayat pasien dan pemeriksaan klinis.60 Penyebab dan gejala yang kompleks
menyebabkan belum adanya patokan yang jelas dalam menentukan diagnosis dan
perawatan yang tepat.11 Gejala gangguan STM sering dikaitkan dengan gerakan
rahang (mis., membuka, menutup mulut dan mengunyah) dan nyeri di daerah
preaurikular, masseter, atau bagian pelipis. Sumber lain dari nyeri orofacial harus
dicurigai jika rasa sakit tidak terpengaruh oleh gerakan rahang. Berbagai suara rahang
(mis., kliking, benturan, gesekan, krepitus) dapat terjadi pada gangguan STM, tetapi
juga terjadi pada hingga 50% pasien asimtomatik.60

2.3.4.1 Riwayat Pasien


Dalam mencari penyebab gangguan STM, diperlukan beberapa tindakan
seperti anamnesis yang intensif untuk mengetahui keluhan utama, riwayat gangguan
dan kebiasaan yang tidak lazim.9 Tujuan anamnesis dan pemeriksaan penyaring
adalah untuk identifikasi pasien dengan tanda dan gejala subklinis dimana pasien
mungkin tidak berhubungan dengan gangguan yang diderita, namun umumnya terkait
dengan gangguan fungsional sistem pengunyahan (contohnya sakit kepala, telinga).
Anamnesis penyaring terdiri dari beberapa pertanyaan yang akan membantu orientasi
klinisi pada gangguan STM.63 Anamnesis dengan menggunakan Fonseca kuesioner
yang terdiri dari sepuluh pertanyaan mengenai sulit atau tidaknya membuka mulut,
sulit atau tidaknya menggerakkan rahang ke lateral, nyeri pada otot saat mengunyah,
frekuensi sakit kepala, nyeri pada leher atau bahu, nyeri pada area telinga atau sendi
kraniomandibular, bunyi pada daerah sendi, frekuensi menggertakkan gigi, artikulasi
serta perasaaan gugup atau tegang yang dialami. Sepuluh pertanyaan tersebut harus
dijawab oleh pasien dengan jawaban “ya”, “kadang-kadang”, ”tidak”. Setiap nilai
yang terkumpul dari pilihan jawaban dalam pertanyaan tersebut dilakukan
penjumlahan, sehingga setiap lembar kuisioner yang dijawab oleh pasien akan
menghasilkan kriteria gangguan, yang dibagi dalam 4 kriteria gangguan, yaitu: tidak
ada gangguan, ringan, sedang, dan berat.25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

2.3.4.2 Pemeriksaan Klinis


Setelah riwayat diperoleh melalui diskusi mendalam dengan pasien, maka
dilanjutkan dengan pemeriksaan klinis melalui pemeriksaan STM.63 Pemeriksaan
klinis sangat penting dilakukan untuk menentukan diagnosis gangguan STM,
terutama dalam mengevaluasi sendi temporomandibula.54 Pemeriksaan klinis pada
sendi temporomandibula dengan menggunakan helkimo index yaitu berdasarkan hasil
evaluasi lima tanda klinis gangguan fungsi sendi yang terdiri dari: pengukuran jarak
pembukaan mulut maksimal, fungsi dari STM, nyeri pada otot mastikasi, gangguan
pada STM dan nyeri pada pergerakan mandibula.26
Lakukan pemeriksaan sendi dengan gerakan. Periksa subjek dan mintalah
untuk membuka rahang secara perlahan hingga maksimal. Rentang normal (inter-
insisal) adalah 35 sampai 40 mm. Jika pembukaan rahang dianggap kurang, tanyakan
apakah faktor pembatasnya adalah rasa sakit atau penyumbatan. Catat garis
pembukaan dan deviasi lateral.56
Auskultasi menggunakan stetoskop yang dilakukan dengan benar. Namun,
kliking mungkin terdengar tanpa stetoskop.56 Auskultasi stetoskop pada sendi
memungkinkan penentuan sifat dan waktu timbulnya bunyi abnormal secara lebih
tepat. Penentuan kliking dan besar pembukaan insisal dipermudah dengan
auskultasi.54 Kliking menyiratkan perpindahan diskus yang mereduksi ke posisi
normal saat pembukaan.61 Kliking yang terjadi pada awal fase membuka mulut
menunjukkan dislokasi diskus anterior ringan. Kliking kedua saat penutupan mulut
menghasilkan penarikan kembali dislokasi diskus. Kondisi ini disebut sebagai
perpindahan diskus dengan reduksi. Ketika perpindahan diskus berlangsung dan pasien
tidak dapat membuka mulut sepenuhnya (seperti: diskus menghambat kondilus), kondisi
ini disebut sebagai kunci tertutup/closed lock. Krepitasi (cracking/grating noise)
ditunjukkan melalui bunyi kemeretak merupakan tanda kemungkinan terjadinya
disfungsi sendi degeneratif atau terkadang peradangan akut. Krepitasi berhubungan
dengan gangguan permukaan artikular yang sering terjadi pada penderita
osteoarthritis.60,61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

Palpasi dilakukan perkutan maupun peroral dan melibatkan jaringan lunak dan
25
keras. Pada pemeriksaan otot-otot yang dipalpasi diantaranya, otot maseter,
temporalis, pterygoideus lateral, pterygoideus medial dan bagian anterior dari
digastrikus. Otot-otot yang dipalpasi pada ekstra-oral adalah otot temporalis, dan
digastrikus sedangkan otot medial pterygoid dengan palpasi intraoral.12,61 Bagian
lateral dari sendi temporomandibula dipalpasi pada ekstra oral yaitu sekitar 5 mm
anterior dari saluran akustik luar. Palpasi sisi lateral kedua persendian dan palpasi
melalui meatus auditorius eksternal dilakukan untuk mendapatkan kelenturan. Amati
subjek untuk tanda-tanda rasa sakit saat pembukaan atau penutupan mulut.12 Bagian
posterior dari sendi temporomandibula dipalpasi dengan jari kelingking di saluran
akustik dengan meminta pasien untuk membuka dan menutup rahang dalam
mencapai lokasi kepala kondilus yang tepat. Nyeri pada pergerakan mandibula dicatat
dengan meminta subjek untuk membuka mulut secara maksimal serta melakukan
gerakan mandibula ke lateral dan gerakan protusif. Reaksi sakit yang dialami pasien
langsung dilaporkan dan dicatat.12,61

Gambar 9. Pemeriksaan klinis sendi temporomandibula.


A. Pengukuran batas pembukaan mulut, B.
Auskultasi sendi temporomandibula, C. Pengukuran
jarak deviasi, D. Palpasi otot masseter, E. Palpasi
otot temporalis, F. Palpasi sendi bagian lateral, G.
Palpasi sendi bagian posterior, H. Pergerakan
mandibular kelateral kanan & kiri.12

2.3.4.3 Pemeriksaan Radiografi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

Gambaran radiografi dapat membantu untuk mendukung dan memperkuat


diagnosis gangguan STM saat hasil pemeriksaan riwayat pasien dan klinis tidak
jelas.60 Sebagian besar masalah klinis yang berkaitan dengan STM disebabkan oleh
fungsi otot (misalnya bruxism) atau gangguan internal. Tidak ada kemungkinan
terkait dengan kelainan tulang yang relevan. Sehingga, radiografi biasanya tidak
diindikasikan kecuali ada dugaan kelainan tulang, seperti yang terjadi pada
rheumatoid arthritis atau osteoarthrosis. Banyak mesin X-ray panoramik
mendapatkan gambar spesifik kondilus yang harus diambil tanpa radiografi yang
tidak perlu dari rahang-rahang lainnya. Satu-satunya proyeksi radiografi untuk
menunjukkan keseluruhan sendi adalah transcranial oblique lateral view (Gambar 6).
Diagnosis klinis menduga gangguan internal mungkin mengarah pada persyaratan
gambar pada diskus. Hal ini dilakukan dengan menggunakan magnetic resonance
imaging atau arthrography STM.61

Gambar 10. Transcranial oblique


lateral view menunjukkan
seluruh sendi temporoman
dibula.61

2.3.5 Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula


Kejadian dan prevalensi gangguan STM pada kelompok populasi yang
berbeda telah menjadi subjek sejumlah besar studi epidemiologi. Hasilnya
menunjukkan bahwa sekitar 40-75% kasus pada populasi umumnya orang dewasa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

menunjukkan setidaknya satu tanda disfungsi artikular (kebisingan, gangguan


gerakan mandibula, dll.) dan sekitar 33% kasus tersebut subjek setidaknya ada satu
gejala disfungsi (nyeri wajah, nyeri artikularis, dll). Beberapa tanda yang relatif
umum terjadi pada populasi, yakni, suara bising atau pembukaan mulut asimetris
sekitar sebesar 50% individu. Gejala lainnya sangat jarang terjadi, seperti kesulitan
dalam pembukaan mulut yang hanya ada sekitar 5% kasus. Pada populasi umum,
gangguan artikular hadir pada 19% individu, bentuk gangguan otot pada 23% dan
kombinasi keduanya pada 27% individu.62
Penelitian yang dilakukan Syed (2010), hasil yang diperoleh dalam
penelitiannya dari indeks anamnestik menunjukkan bahwa persentase perempuan
(55,22%) dengan gejala gangguan STM lebih tinggi dibandingkan laki-laki (50,86%).
Persentase laki-laki (35,34%) yang terkait dengan tingkat gangguan STM ringan
setara dengan perempuan (35,07%). Persentase perempuan (16,42%) berhubungan
dengan derajat gangguan STM sedang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (10,34%).
Persentase laki-laki (5,19%) yang terkait dengan tingkat gangguan STM yang parah
lebih tinggi dibandingkan perempuan (3,73%).23 Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Malheiros mengenai tingkat keparahan gangguan STM, menujukkan
bahwa 18,7% tidak memiliki gangguan STM; 46,7% pasien mengalami gangguan
STM ringan; 28,7% memiliki gangguan STM sedang, dan 6.0% punya gangguan
STM yang parah.47

2.3.6 Mekanisme Pengaruh Dukungan Oklusal dan Klasifikasi Kennedy


dengan Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula
2.3.6.1 Dukungan Oklusal
Kehilangan dukungan oklusal yaitu gigi posterior telah ramai dibahas sebagai
faktor risiko terjadinya gangguan STM.16 Kehilangan gigi posterior akan disertai
dengan hilangnya dataran oklusal, sehingga akan memengaruhi keseimbangan oklusi
yang akan mengganggu kestabilan lengkung gigi, keadaan ini menyebabkan struktur
sendi temporomandibula menerima beban yang lebih besar sehingga mengganggu
fungsi pengunyahan.3,4,13,15 Oleh karena itu, sejumlah penelitian menyatakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

dukungan oklusal sebagai faktor predisposisi terjadinya gangguan STM.15,21,66


Keparahan dari gejala gangguan sendi temporomandibula akan meningkat seiring
berkurangnya dukungan oklusal karena kondilus mandibula akan mencari posisi yang
nyaman pada saat menutup mulut dan memicu perubahan letak kondilus pada fosa
glenoidalis atau overclosure pada mandibula yang kemudian menyebabkan gangguan
sendi temporomandibula.13 Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Mundt T, dkk (2005) menyatakan bahwa hilangnya dukungan oklusal akan
meningkatkan resiko terjadinya gangguan STM. Dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa laki-laki dengan kehilangan dukungan oklusal memiliki resiko lebih tinggi
mengalami gangguan STM dibandingkan pada perempuan.16 Hasil penelitian oleh
Hatim NA dkk (2011) menunjukkan bahwa terdapat gangguan STM pada pasien
yang mengalami kehilangan dukungan oklusal.4 Hasil yang sama juga didapat oleh
penelitian Shet RGK dkk (2013) bahwa terdapat hubungan antara kehilangan
dukungan oklusal dengan terjadinya gangguan STM.45

2.3.6.2 Klasifikasi Kennedy


Kehilangan gigi di bagian posterior diindikasikan sebagai penyebab gangguan
STM oleh karena kelainan oklusal yang menyebabkan ganguan fungsi sendi.10
Sebuah literatur menunjukkan bahwa dalam kasus tidak adanya gigi posterior,
kemungkinan perubahan degeneratif dan perkembangan kelainan temporomandibula
meningkat.47 Beberapa penelitian menyatakan bahwa kehilangan dukungan molar
dikaitkan dengan kehadiran dan tingkat keparahan dari gangguan STM. Resiko
terjadinya bunyi di STM meningkat secara signifikan pada individu yang kehilangan
lebih banyak gigi.19 Bunyi terjadi karena adanya perubahan letak, bentuk, dan fungsi
dari komponen sendi temporomandibula. Bunyi yang dihasilkan dapat bervariasi,
mulai dari lemah dan hanya terasa oleh pasien, hingga keras dan tajam.11 Tingkat
keparahan gejala gangguan STM meningkat seiring dengan berkurangnya jumlah gigi
bagi kebanyakan individu. Nyeri pada sendi juga telah dilaporkan lebih sering terjadi
pada sisi dengan gigi yang paling banyak hilang dan peningkatan risiko gangguan
sendi ditemukan pada individu tanpa dukungan molar.15 Berdasarkan penelitian yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

dilakukan Kopp menunjukkan bahwa hilangnya gigi posterior merupakan faktor


resiko dengan adanya gangguan internal pada sendi temporomandibula.19 Tanda
disfungsi sendi temporomandibula sehubungan dengan klasifikasi Kennedy
menunjukkan bahwa klasifikasi kelas I Kennedy lebih banyak ditemukan tanda-tanda
gangguan STM.45 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ulpa (2015) menunjukkan
terdapat pengaruh kehilangan gigi posterior bilateral free-end terhadap timbulnya
clicking pada sendi temporomandibula pada lansia adalah 1,83 kali lebih tinggi
daripada lansia tanpa kehilangan gigi posterior bilateral free end.29 Sedangkan
menurut penelitian Vinita Ved (2017) ditemukan lebih banyak gangguan STM pada
klas III Kennedy.19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

2.4 Kerangka Teori


Kehilangan Gigi Sebagian
Sendi
Temporomandibula

Etiologi Klasifikasi Dampak


Anatomi

Faktor Faktor Jumlah Emosional Sistemik Fungsional Fisiologi


Jumlah Dukungan Klasifikasi
Penyakit bukan
kehilangan kuadran oklusal Kennedy
Penyakit
gigi
kehilangan
Gangguan sendi
gigi Gangguan Gangguan temporomandibula
- Kelas A - Klas I berbicara Pengunyahan
- Karies -Injury - ≤3
- Penyakit -Pemanfaatan - Kelas B1 - Klas II
- ≥3
periodontal kesehatan - 1 - Kelas B2 - Klas III
-Sosio- - 2 - Kelas B3 - Klas IV
demografi - 3 - Kelas B4
- 4 - Kelas C

Etiologi Faktor yang Tanda dan Diagnosis Tingkat


mempengaruhi gejala keparahan
gangguan STM
-Riwayat Pasien
- Pemeriksaan
Usia
klinis
- Pemeriksaan
Jenis kelamin radiografi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.5 Kerangka Konsep

Kehilangan Gigi Sebagian

Jumlah dukungan oklusal Klasifikasi Kennedy


- Kelas A
- Kelas B - Klas I
- B1 - Klas II
- B2 - Klas III
- B3 - Klas IV
- B4
- Kelas C

Kestabilan gigi pada lengkung Resiko keparahan yang


Semakin banyak dukungan rahang terganggu terjadi pada sendi
oklusal yang hilang maka temporomandibula akan
resiko keparahan yang Ketidakseimbangan oklusi semakin meningkat pada
terjadi pada sendi klasifikasi kehilangan gigi
temporomandibula akan Peningkatan beban biomekanik pada STM yang lebih banyak
semakin meningkat ditemukan, yaitu pada klas I
Gangguan sendi temporomandibula Kennedy dan klas III
Kennedy
Tingkat keparahan gangguan
sendi temporomandibula

Ringan Sedang Berat

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

2.6 Hipotesis
1. Ho = Tidak ada hubungan dukungan oklusal dengan tingkat keparahan
gangguan sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU.
Ha = Ada hubungan dukungan oklusal dengan tingkat keparahan gangguan
sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU.
2. Ho = Tidak ada hubungan klasifikasi Kennedy dengan tingkat keparahan
gangguan sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU.
Ha = Ada hubungan klasifikasi Kennedy dengan tingkat keparahan
gangguan sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik
dengan menggunakan rancangan cross sectional, dimana sampel kasus hanya
diobservasi satu kali tanpa diberi perlakuan dan variabel-variabel diukur menurut
keadaan atau status sewaktu diobservasi. Penelitian ini dilakukan melalui wawancara
langsung dengan menggunakan kuesioner dan pemeriksaan klinis.

3.2 Populasi
Populasi penelitian adalah pasien Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM)
Universitas Sumatera Utara.

3.3 Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah nonprobability sampling
dengan teknik purposive sampling. Pengambilan sampel secara purposive didasarkan
pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat peneliti berdasarkan ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Penentuan jumlah sampel menggunakan rumus data proporsi pada satu
populasi. Jumlah sampel yang dibutuhkan berdasarkan hasil perhitungan dengan
melihat proporsi yang digunakan pada kasus ini sebesar 86% dengan tingkat
kemaknaan (α) 0,05.

Rumus besar sampel data proporsi pada satu populasi:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

Keterangan :
n = besar sampel minimum
Z2 1 - α / 2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu
(96% Z α score =1,96)
P = proporsi dari penelitian yang telah ada
(bila tidak ada dianggap 50% atau (0,5)
d = kesalahan yang dapat ditolerir (10%)

Hasil perhitungan :

n = (1,96)2 0,86 (1 - 0,86)


(0,01)2
= 46

Jadi jumlah sampel minimal adalah 46 orang pasien yang kehilangan gigi sebagian.
Untuk menghindari terjadinya drop out sampel penelitian maka jumlah
sampel ditambahkan sebesar ±10% dari sampel yang ditentukan. Oleh karena itu
jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 50 orang.

3.3.1 Kriteria Inklusi


Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian yang memenuhi
kriteria penelitian. Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini, yaitu:
1. Pasien RSGM USU yang kehilangan sebagian gigi.
2. Pasien yang bersedia menjadi subjek penelitian.
3. Pasien yang bersikap koperatif untuk mengikuti kegiatan penelitian.
4. Pasien yang sehat jasmani dan rohani.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

3.3.2 Kriteria Eksklusi


Kriteria eksklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian yang tidak
memenuhi kriteria penelitian. Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini, yaitu:
1. Pasien yang memiliki gigi lengkap
2. Pasien yang telah kehilangan seluruh giginya.
3. Pasien yang menggunakan gigi tiruan.
4. Pasien yang sedang atau pernah menggunakan ortodonti.
5. Pasien yang mengalami atrisi gigi yang berat sehingga mengubah vertikal
dimensi.
6. Pasien yang memiliki riwayat trauma pada daerah wajah atau kepala.
7. Pasien yang memiliki kebiasaan parafungsional.

3.4 Variabel Penelitian


3.4.1 Klasifikasi Variabel Penelitian
3.4.1.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah :
Pasien Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) USU yang mengalami
kehilangan gigi sebagian berdasarkan :
1. Dukungan oklusal
2. Klasifikasi Kennedy

3.4.1.2 Variabel Terikat


Variabel terikat pada penelitian ini adalah tingkat keparahan gangguan sendi
temporomandibula yang terdiri dari: ringan, sedang dan berat.

3.4.1.4 Variabel Terkendali


1. Peneliti yang sama
2. Alat ukur yang digunakan sama.
3. Teknik pemeriksaan yang sama.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

3.4.1.5 Variabel Tidak Terkendali


Kejujuran dan keakuratan subjek penelitian dalam menjawab pertanyaan.

3.4.2 Definisi Operasional


Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Bebas
No Variabel Definisi Operasional Cara Hasil Skala
Bebas Pengukuran Pengukuran Pengukuran
1. Dukungan Kelas A: terdiri atas 4 Pemeriksaan -
oklusal zona dukungan oklusal 1. A
yaitu kontak gigi 2. B1
premolar dan molar
dengan gigi antagonisnya 3. B2
pada setiap sisi. 4. B3
5. B4
6. C

Kelas B1: terdapat 3


zona dukungan oklusal
yaitu kontak gigi
premolar atau molar
dengan gigi
antagonisnya.

Kelas B2: yang terdiri


dari 2 zona dukungan
oklusal.

Kelas B3: hanya terdapat


1 zona dukungan oklusal.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

No Variabel Definisi Operasional Cara Hasil Skala


Bebas Pengukuran Pengukuran Pengukuran
Kelas B4: tidak terdapat
dukungan oklusal namun
masih terdapat gigi
anterior yang berkontak
antagonis.

Kelas C: tidak ditemukan


gigi yang berkontak
antagonis baik gigi
anterior maupun gigi
posterior.

2. Klasifikasi Klas I : Daerah tidak Pemeriksaan -


Kennedy bergigi bilateral pada 1. Klas I
bagian posterior
(bilateral free-end). 2. Klas II
3. Klas III
4. Klas IV

Klas II : Daerah tidak


bergigi unilateral pada
bagian posterior
(unilateral free-end).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

No Variabel Definisi Operasional Cara Hasil Skala


Bebas Pengukuran Pengukuran Pengukuran
Klas III : Daerah tidak
bergigi unilateral dengan
dibatasi gigi asli yang
tertinggal pada bagian
anterior dan posterior.

Klas IV : Daerah tidak


bergigi pada daerah
anterior saja.

Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Terikat


No Variabel Definisi Operasional Cara Hasil Skala
Terikat Pengukuran Pengukuran
Pengukuran
1. Tingkat Keparahan gejala dan 1. Kuesioner 1. Ringan : Ordinal
keparahan tanda yang melibatkan 2. Pemeriksaan skor 20-40
gangguan otot mastikasi, sendi klinis Sedang :
sendi temporomandibula dan skor 45-65
temporoman struktur lainnya yang Berat : skor
dibula dievaluasi dengan 70-100
kuesioner dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

pemeriksaan klinis 2. Ringan :


sehingga terbagi ke skor 1-4
dalam 3 kategori yaitu Sedang :
ringan, sedang, dan skor 5-9
berat berdasarkan Berat : skor
Fonseca’s 10-25
Questionnaire dan
Helkimo index.
Tabel 3. Definisi Operasional Variabel Terkendali
No Variabel Definisi Operasional Cara Hasil Skala
Terkendali Pengukuran Pengukuran Pengukuran
1. Peneliti yang Peneliti yang telah - - -
sama dikalibrasi.
2. Alat ukur Alat ukur yang telah Kuesioner - -
yang dikalibrasi
digunakan
sama
3. Teknik Teknik pemeriksaan - - -
pemeriksaan yang telah dikalibrasi
yang sama

Tabel 4. Definisi Operasional Variabel Tidak Terkendali


No Variabel tidak Definisi Cara Hasil Skala
terkendali Operasional Pengukuran Pengukuran Pengukuran
1 Kejujuran dan Hasil jawaban - - -
keakuratan subjek subjek penelitian
penelitian dalam terhadap
menjawab kuesioner yang
pertanyaan. diberikan.

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian


3.5.1 Tempat
1. Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas Sumatera Utara.
2. Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara.

3.5.2 Waktu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

Penelitian dilakukan pada November - Desember 2017

3.6 Prosedur Penelitian


3.6.1 Alat dan Bahan Penelitian
3.6.1.1 Alat
1. Alat tulis (pulpen, pensil, penggaris)
2. Tiga serangkai (kaca mulut, sonde, pinset)
3. Dental unit
4. Stetoskop (Geamedical)
5. Kaliper digital (Krisbow)
6. Dental floss
7. Hand scoone
8. Masker
9. Alat pengolah data yaitu komputer dan kalkulator

3.6.1.2 Bahan
Bahan pada penelitian ini adalah lembar kuesioner

3.6.2 Cara Penelitian


3.6.2.1 Persiapan
1. Peneliti terlebih dahulu melakukan observasi terhadap populasi yaitu pasien
di Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) USU untuk memperoleh gambaran subjek
penelitian yang akan digunakan.
2. Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengurus surat Ethical Clearance
dari Komisi Etik Bidang Kesehatan dan izin melakukan penelitian di Departemen
Prostodonsia ke Ketua Departemen Prostodonsia.
3. Setelah surat izin penelitian diperoleh, peneliti mulai melakukan penelitian
dengan mengunjungi Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) USU untuk mendapatkan
subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

4. Peneliti menjelaskan mengenai penelitian yang akan dilakukan kepada


subjek penelitian dan menyampaikan Informed Consent yaitu surat persetujuan
setelah memperoleh penjelasan sebagai sampel kepada subjek penelitan.

3.6.2.2 Pelaksanaan
1. Subjek penelitian dibawa ke klinik prostodonsia dan didudukkan di dental
unit.
2. Peneliti mencatat identitas subjek dan melakukan pemeriksaan terhadap
rongga mulut subjek.
3. Peneliti memberi penjelasan kepada subjek penelitian mengenai kuesioner
yang akan digunakan pada saat pemeriksaan.
4. Peneliti menjelaskan pada subjek penelitian apa yang akan dilakukan dan
menunjukkan tahap-tahap penelitian.

3.6.2.2.1 Wawancara
1. Peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah
disediakan untuk memperoleh data yang diperlukan.
2. Kuesioner terdiri dari sepuluh pertanyaan mengenai sulit atau tidaknya
membuka mulut, sulit atau tidaknya menggerakkan rahang ke lateral, nyeri pada otot
saat mengunyah, frekuensi sakit kepala, nyeri pada leher atau bahu, nyeri pada area
telinga atau sendi kraniomandibular, bunyi pada daerah sendi, frekuensi
menggertakkan gigi, artikulasi serta perasaaan gugup atau tegang yang dialami.
Setiap pertanyaan pada kuesioner ini terdiri atas 3 pilihan jawaban yaitu; tidak
mengalami, kadang-kadang, dan sering mengalami kelainan. Adapun nilai untuk
penilaian dari ketiga pilihan jawaban tersebut menurut Fonseca’s Questionnaire
sebagai berikut:25,47
- Tidak :0
- Kadang-kadang :5
- Ya : 10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

Setiap nilai yang terkumpul dari pilihan jawaban dalam pertanyaan tersebut
dilakukan penjumlahan, sehingga setiap lembar kuisioner yang dijawab oleh sampel
akan menghasilkan kriteria gangguan, yang dibagi dalam 4 kriteria gangguan.
Adapun nilai untuk kriteria kelainan menurut Fonseca’s Questionnaire, sebagai
berikut:
- Tidak ada gangguan sendi temporomandibula : 0−15
- Gangguan sendi temporomandibula ringan : 20−40
- Gangguan sendi temporomandibula sedang : 45−65
- Gangguan sendi temporomandibula berat : 70−100
Oleh karena itu, pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa jika total
skor yang didapat subjek penelitian sebesar 0–15 menunjukkan bahwa subjek
penelitian tidak mengalami gangguan sendi temporomandibula. Namun, apabila
ditemukan total skor yang didapat subjek penelitian sebesar 20–100, maka subjek
penelitian dinyatakan mengalami gangguan sendi temporomandibula.

3.6.2.2.2 Pemeriksaan Klinis


1. Peneliti melakukan pemeriksaan klinis pada sendi temporomandibula
dengan menggunakan dysfunction index yaitu berdasarkan hasil evaluasi lima tanda
klinis gangguan fungsi sendi dan Helkimo index (1974) yang terdiri dari:26
a. Pengukuran jarak pembukaan mulut maksimal
Penentuan batas pembukaan mulut maksimal dalam penelitian ini
menggunakan modified mobility index yaitu pembukaan mulut diukur dari tepi insisal
I1 rahang atas ke tepi insisal I1 rahang bawah. Pada keadaan yang normal, jarak
pembukaan mulut maksimal ≥40 mm. Jika subjek penelitian mengalami jarak
pembukaan mulut maksimal sebesar 30 mm – 39 mm menandakan bahwa subjek
penelitian mengalami gangguan pembukaan ringan dan jika jarak pembukaan mulut
maksimal <30 mm menandakan bahwa subjek penelitian mengalami gangguan
pembukaan parah.26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

Gambar 11. Pengukuran batas


pembukaan mulut
maksimal

b. Penurunan fungsi sendi temporomandibula


Pemeriksaan fungsi sendi temporomandibula dilakukan dua jenis
pemeriksaan, yaitu auskultasi untuk mengetahui adanya bunyi pada sendi dengan
menggunakan stetoskop dan pengukuran jarak deviasi yang diukur pada saat pasien
melakukan gerakan membuka atau menutup mulut.26

B
A A
Gambar 12. Pemeriksaan fungsi sendi. A. Auskultasi sendi
temporomandibula; B. Jarak deviasi saat
menutup mulut.67

c. Pemeriksaan pada otot


Pemeriksaan pada otot mastikasi di sekitar wajah dengan palpasi otot
maseter, otot temporal dan otot pterigoid. Palpasi pada otot mastikasi:12,26
1. Otot temporalis posterior : berada disamping telinga.
2. Otot temporalis medial : berada 4-5 cm disebelah lateral alis mata.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

3. Otot temporalis anterior : berada pada daerah infratemporal fossa


atau diatas prosesus zygomatikus.
4. Origo of masseter : berada 1 cm di depan STM dan di bawah
prosesus zygomatikus.
5. Body of masseter : mulai dari prosessus zygomatikus sampai ke
angulus mandibular.
6. Insersi of masseter : berada 1 cm diatas (superior) angulus
mandibular pada bagian anterior.
7. Regio submandibular (pterigoid medial) : berada 2 cm dari bagian
anterior angulus mandibular.
8. Pterigoid lateral : berada pada bagian lateral alveolar ridge di atas
molar maksila kemudian arahkan kearah distal.

A A B B C
C B. Daerah tengah;
Gambar 13. Palpasi otot temporalis. A. Daerah anterior;
C. Daerah posterior

A A B B
Gambar 14. Palpasi Otot Masseter. A. Daerah
Origo;
B. Daerah Body

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

A A B B
Gambar 15. Pemeriksaan otot pterigoid. A. Medial
pterigoid; B. Lateral pterigoid

d. Pemeriksaan pada sendi temporomandibula


Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya nyeri sendi
dengan melakukan palpasi. Palpasi pada daerah STM dilakukan pada daerah latera
(lateral pole) dan posterior (posterior attachment).
1. Lateral Pole : berada di anterior tragus atau sekitar 5 mm dari
depan lubang telinga
2. Posterior Attachment: dipalpasi dengan memposisikan jari
kelingking ke dalam lubang telinga pada daerah external meatus kemudian
memposisikannya ke depan sehingga akan terasa pergerakan saat terjadi pembukaan
mulut.26

A A B B
Gambar 16. A. Palpasi pada bagian lateral dan
B. Posterior sendi temporomandibula

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

e. Pergerakan mandibula ke lateral


Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat ada tidaknya nyeri pada sendi
dan jarak pergerakan lateral pada saat pasien menggerakkan mandibula ke lateral
kanan dan lateral kiri.26

A A B B
Gambar 17. Pergerakan mandibula ke lateral kanan (A)
dan pergerakan mandibula ke lateral kiri (B)

Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang dilakukan, peneliti akan


memberikan penilaian pada setiap tanda klinis yang ditemukan pada subjek
penelitian. Penilaian yang diberikan didasarkan pada Helkimo index. Penilaian ini
dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu:64
- Normal : skor 0
- Ringan : skor 1
- Berat : skor 5
Setiap nilai yang terkumpul akan dijumlahkan dan diperoleh total nilai dan
kemudian disesuaikan dengan kriteria gangguan fungsi sendi, yang terbagi ke dalam
4 kriteria gangguan, yaitu:64
- Tidak ada gangguan : skor 0
- Disfungsi sendi ringan : skor 1-4
- Disfungsi sendi sedang : skor 5-9
- Disfungsi sendi berat : skor 10-25
Berdasarkan pemeriksaan klinis menurut Helkimo index dapat ditarik
kesimpulan pada penelitian ini bahwa jika total skor yang didapat subjek penelitian
sebesar 0 menunjukkan bahwa subjek penelitian tidak mengalami gangguan sendi
temporomandibula. Namun, jika total skor yang didapat subjek penelitian sebesar 1-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

25, maka subjek penelitian dinyatakan mengalami gangguan sendi


64
temporomandibula.

3.6.2.3 Pengolahan Data


Setelah data hasil wawancara dan pemeriksaan klinis dari semua subjek
penelitian telah diperoleh, peneliti melakukan tabulasi data. Data diolah dengan
bantuan program komputerisasi.

3.7 Analisis Data


Data yang bersifat deskriptif:
- Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula
berdasarkan usia, jenis kelamin, jumlah dukungan oklusal dan klasifikasi Kennedy
pada pasien RSGM USU (analisis univarian).
Data bersifat analitik:
- Hubungan kehilangan dukungan oklusal dan klasifikasi Kennedy dengan
tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU akan
diuji dengan uji chi-square untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara variable
bebas dengan variable terikat (p>0,05).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

3.8 Kerangka Operasional

Mengurus surat izin penelitian dari FKG USU dan mengurus


surat Ethical Clearance dari Komisi Etik Bidang Kesehatan

Menentukan subjek penelitian berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi

Mendatangi subjek penelitian ke RSGM USU

Menjelaskan mengenai penelitian yang akan dilakukan kepada


subjek penelitian

Penjelasan kuesioner dan memberikan Informed Consent yaitu surat


persetujuan setelah memperoleh penjelasan kepada subjek penelitian

Mencatat identitas subjek penelitian

Pemeriksaan klinis rongga mulut


- Dukungan oklusal
- Klasifikasi Kennedy

Wawancara dan pengisian kuesioner

Pemeriksaan sendi temporomandibula

Pencatatan hasil pemeriksaan

Pengolahan data

Analisis data

Kesimpulan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula


Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Pada Pasien RSGM USU
4.1.1 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Berdasarkan Usia Pada Pasien RSGM USU
Penelitian ini dilakukan melalui wawancara langsung dengan menggunakan
kuesioner dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan Helkimo Index. Berdasarkan
hasil pengumpulan data dari kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan tanda dan
gejala gangguan sendi temporomandibula, diperoleh hasil penelitian bahwa
berdasarkan usia, Depkes RI (2009) membagi pasien ke dalam 6 kelompok, yaitu
dimana tingkat keparahan gangguan STM pada masa remaja akhir (17-25 tahun)
terdapat 2 orang (10%) pasien yang tidak mengalami gangguan STM, 16 orang (80%)
pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 2 orang (10%) pasien yang
mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami gangguan STM
berat. Pada masa dewasa awal (26-35 tahun) tidak terdapat pasien yang tidak
mengalami gangguan STM, 2 orang (66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM
ringan, 1 orang (33,3%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada
yang mengalami gangguan STM berat. Pada masa dewasa akhir (36-45 tahun)
terdapat 1 orang (11,1%) pasien yang tidak mengalami gangguan STM, 7 orang
(77,8%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang (11,1%) pasien yang
mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami gangguan STM
berat. Pada masa lansia awal (46-55 tahun) terdapat 1 orang (8,3%) pasien yang tidak
mengalami gangguan STM, 8 orang (66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM
ringan, 3 orang (25,0%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada
yang mengalami gangguan STM berat. Pada masa lansia akhir (56-65 tahun) terdapat
1 orang (20,0%) yang tidak mengalami gangguan STM, 3 orang (60,0%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, 1 orang (20,0%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

masa manula (>65 tahun) tidak terdapat pasien yang tidak mengalami gangguan
STM, 1 orang (100%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak ada yang
mengalami gangguan STM sedang dan berat. (Tabel 5)
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang terdiri dari pemeriksaan
pembukaan mulut maksimal, pemeriksaan bunyi pada sendi temporomandibula dan
pengukuran besar deviasi, palpasi pada otot, palpasi pada sendi temporomandibula
dan nyeri pada saat pergerakan mandibula diperoleh hasil penelitian bahwa
berdasarkan usia, Depkes RI (2009) membagi pasien ke dalam 6 kelompok, yaitu
dimana tingkat keparahan gangguan STM pada masa remaja akhir (17-25 tahun)
terdapat 13 orang (65,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 6 orang
(30,0%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang (5,0%) pasien
yang mengalami gangguan STM berat. Pada masa dewasa awal (26-35 tahun)
terdapat 2 orang (66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang
(33,3%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang
mengalami gangguan STM berat. Pada masa dewasa akhir (36-45 tahun) terdapat 7
orang (77,8%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 2 orang (22,2%)
pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami
gangguan STM berat. Pada masa lansia awal (46-55 tahun) terdapat 9 orang (75,0%)
pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang (8,3%) pasien yang
mengalami gangguan STM sedang dan 2 orang (16,7%) pasien yang mengalami
gangguan STM berat. Pada masa lansia akhir (56-65 tahun) terdapat 4 orang (80,0%)
pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak ada pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan 1 orang (20,0%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada masa manula (>65 tahun) terdapat 1 orang (100%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, tidak ada yang mengalami gangguan STM sedang
dan berat. (Tabel 5)

4.1.2 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi


Temporomandibula
Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pasien RSGM USU

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

Berdasarkan hasil pengumpulan data dari kuesioner yang terdiri dari 10


pertanyaan tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula, diperoleh hasil
penelitian bahwa berdasarkan jenis kelamin, diperoleh hasil penelitian bahwa pada
perempuan terdapat 2 orang (7,1%) pasien yang tidak mengalami gangguan STM, 20
orang (71,4%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, dan 6 orang (21,4%)
pasien yang mengalami gangguan STM sedang, dan tidak ada yang mengalami
gangguan STM berat. Sedangkan pada laki-laki terdapat 3 orang (13,6%) pasien yang
tidak mengalami gangguan STM, 17 orang ( 77,3%) pasien yang mengalami
gangguan STM ringan, 2 orang (9,1%) pasien yang mengalami gangguan STM
sedang, dan tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. (Tabel 5)
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang terdiri dari pemeriksaan
pembukaan mulut maksimal, pemeriksaan bunyi pada sendi temporomandibula dan
pengukuran besar deviasi, palpasi pada otot, palpasi pada sendi temporomandibula
dan nyeri pada saat pergerakan mandibula diperoleh hasil penelitian bahwa
berdasarkan jenis kelamin, diperoleh hasil penelitian bahwa pada Perempuan terdapat
17 orang (60,7%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, dan 8 orang
(28,6%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang, dan 3 orang (10,7%) pasien
yang mengalami gangguan STM berat. Sedangkan pada laki-laki terdapat 19 orang (
86,4%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 2 orang (9,1%) pasien yang
mengalami gangguan STM sedang, dan 1 orang (4,5%) pasien mengalami gangguan
STM berat. (Tabel 5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 5. Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula berdasarkan usia dan jenis kelamin pada pasien
RSGM USU
Berdasarkan Kuesioner Fonseca Berdasarkan Pemeriksaan Klinis Helkimo
Karakteristik Tidak ada Ringan Sedang Berat Jumlah Ringan Sedang Berat Jumlah
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Usia (Menurut DEPKES RI 2009)
Masa Remaja
Akhir = 17-25 2 (10.0) 16 (80,0) 2 (10,0) 0 (0) 20 (100) 13 (65,0) 6 (30,0) 1 (5,0) 20 (100)
tahun
Masa Dewasa
Awal = 0 (0) 2 (66,7) 1 (33,3) 0 (0) 3 (100) 2 (66,7) 1 (33,3) 0 (0) 3 (100)
26-35 tahun
Masa Dewasa
Akhir = 1 (11,1) 7 (77,8) 1 (11,1) 0 (0) 9 (100) 7 (77,8) 2 (22,2) 0 (0) 9 (100)
36-45thn
Masa Lansia
Awal = 1 (8,3) 8 (66,7) 3 (25,0) 0 (0) 12 (100) 9 (75,0) 1 (8,3) 2 (16,7) 12 (100)
46-55 tahun
Masa Lansia
Akhir = 1 (20,0) 3 (60,0) 1 (20,0) 0 (0) 5 (100) 4 (80,0) 0 (0) 1 (20,0) 5 (100)
56-65 tahun
Masa Manula = 0 (0) 1 (100) 0 (0) 0 (0) 1 (100) 1 (100) 0 (0) 0 (0) 1 (100)
>65 tahun
Jumlah 5 (10,0) 37 (74,0) 8 (16,0) 0 (0) 50 (100) 36 (72,0) 10 (20,0) 4 (8,0) 50 (100)
Jenis kelamin
Laki-laki 3 (13,6) 17 (77,3) 2 (9,1) 0 (0) 22 (100) 19 (86,4) 2 (9,1) 1 (4,5) 22 (100)
Perempuan 2 (7,1) 20 (71,4) 6 (21,4) 0 (0) 28 (100) 17 (60,7) 8 (28,6) 3 (10,7) 28 (100)
Jumlah 5 (10,0) 37 (74,0) 8 (16,0) 0 (0) 50 (100) 36 (72,0) 10 (20,0) 4 (8,0) 50(100)

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

4.2 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula


Berdasarkan Dukungan Oklusal Pada Pasien RSGM USU
Penelitian ini dilakukan melalui wawancara langsung dengan menggunakan
kuesioner dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan Helkimo Index. Berdasarkan
hasil pengumpulan data dari kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan tanda dan
gejala gangguan sendi temporomandibula, diperoleh hasil penelitian bahwa pada
kelompok dukungan oklusal kelas A terdapat 3 orang (12,5%) pasien yang tidak
mengalami gangguan STM, 18 orang (75,0%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan, 3 orang (12,5%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan
tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada kelas B1 terdapat 1 orang
(12,5%) pasien yang tidak mengalami gangguan STM, 6 orang (75,0%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, 1 orang (12,5%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada
kelas B2 terdapat tidak ada yang tidak mengalami gangguan STM, 5 orang (83,3%)
pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang (16,7%) pasien yang
mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami gangguan STM
berat. Pada kelas B3 tidak terdapat pasien yang tidak mengalami gangguan STM, 4
orang (100%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak ada yang
mengalami gangguan STM sedang dan berat. Pada kelas B4 terdapat 1 orang (20,0%)
pasien yang tidak mengalami gangguan STM, 3 orang (60,0%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, 1 orang (20,0%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada
kelas C tidak terdapat pasien yang tidak mengalami gangguan STM, 1 orang (33,3%)
pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 2 orang (66,7%) pasien yang
mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami gangguan STM
berat. (Tabel 6)
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang terdiri dari pemeriksaan
pembukaan mulut maksimal, pemeriksaan bunyi pada sendi temporomandibula dan
pengukuran besar deviasi, palpasi pada otot, palpasi pada sendi temporomandibula
dan nyeri pada saat pergerakan mandibula diperoleh hasil penelitian bahwa pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

kelompok dukungan oklusal kelas A terdapat 17 orang (70,8%) pasien yang


mengalami gangguan STM ringan, 6 orang (25,0%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan 1 orang (4,2%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada kelas B1 terdapat 6 orang (75,0%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan, 2 orang (25,0%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan
tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada kelas B2 terdapat 4 orang
(66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang (16,7%) pasien yang
mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang (16,7%) pasien yang mengalami
gangguan STM berat. Pada kelas B3 terdapat 4 orang (100%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, tidak ada yang mengalami gangguan STM sedang
dan berat. Pada kelas B4 terdapat 4 orang (80,0%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan, 1 orang (20,0%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan
tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada kelas C terdapat 1 orang
(33,3%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak ada yang mengalami
gangguan STM sedang dan 2 orang (66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. (Tabel 6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 6. Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula berdasarkan dukungan oklusal pada pasien
RSGM USU
Berdasarkan Kuesioner Fonseca Berdasarkan Pemeriksaan Klinis Helkimo
Variabel Tidak Ada Ringan Sedang Berat Jumlah Ringan Sedang Berat Jumlah
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Kelas A 3 (12.5) 1 8 (75.0) 3 (12.5) 0 (0) 24 (100) 17(70,8) 6 (25,0) 1 (4,2) 24 (100)
Kelas B1 1 (12.5) 6 (75,0) 1 (12,5) 0 (0) 8 (100) 6 (75,0) 2 (25,0) 0 (0) 8 (100)
Dukungan Kelas B2 0 (0) 5 (83,3) 1 (16,7) 0 (0) 6 (100) 4 (66,7) 1 (16,7) 1 (16,7) 6 (100)
Oklusal Kelas B3 0 (0) 4 (100) 0 (0) 0 (0) 4 (100) 4 (100) 0 (0) 0 (0) 4 (100)
Kelas B4 1 (20,0) 3 (60,0) 1 (20,0) 0 (0) 5 (100) 4 (80,0) 1 (20,0) 0 (0) 5 (100)
Kelas C 0 (0) 1 (33,3) 2 (66,7) 0 (0) 3 (100) 1 (33,3) 0 (0) 2 (66,7) 3 (100)
Jumlah 5 (10,0) 37(74,0) 8 (16,0) 0 (0) 50 (100) 36(72,0) 10(20,0) 4 (8,0) 50 (100)

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

4.3 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula


Berdasarkan Klasifikasi Kennedy Pada Pasien RSGM USU
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari kuesioner yang terdiri dari 1tidak
adapertanyaan tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula, menunjukkan
dari 5tidak adaorang yang diperiksa ditemukan 33 orang (66%) yang kehilangan gigi
pada rahang atas. Sehingga diperoleh hasil penelitian pada rahang atas berdasarkan
klasifikasi Kennedy klas I tidak terdapat pasien yang tidak mengalami gangguan
STM, 6 orang (75,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 2 orang
(25,0%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang
mengalami gangguan STM berat. Pada klas II terdapat 1 orang (10,0%) pasien yang
tidak mengalami gangguan STM, 8 orang (80,0%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan, 1 orang (10,0%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan
tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas III terdapat 2 orang
(14,3%) pasien yang tidak mengalami gangguan STM, 9 orang (64,3%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, 3 orang (21,4%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada
klas IV tidak terdapat pasien yang tidak mengalami gangguan STM, 1 orang (100%)
pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak ada yang mengalami gangguan
STM sedang dan berat. Sedangkan pada rahang bawah rmenunjukkan dari 50 orang
yang diperiksa ditemukan 48 orang (96%) yang kehilangan gigi pada rahang bawah.
Sehingga diperoleh hasil penelitian pada rahang bawah berdasarkan klasifikasi
Kennedy klas I terdapat 2 orang (10,5%) pasien yang tidak mengalami gangguan
STM, 13 orang (68,4%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 4 orang
(21,1%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang
mengalami gangguan STM berat. Pada klas II terdapat 1 orang (11,1%) pasien yang
tidak mengalami gangguan STM, 7 orang (77,8%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan, 1 orang (11,1%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan
tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas III terdapat 2 orang
(10,0%) pasien yang tidak mengalami gangguan STM, 15 orang (75,0%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, 3 orang (15,0%) pasien yang mengalami

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada
klas IV tidak terdapat pasien baik yang tidak mengalami gangguan STM, gangguan
STM ringan, sedang dan berat. (Tabel 7)
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang terdiri dari pemeriksaan
pembukaan mulut maksimal, pemeriksaan bunyi pada sendi temporomandibula dan
pengukuran besar deviasi, palpasi pada otot, palpasi pada sendi temporomandibula
dan nyeri pada saat pergerakan mandibula, menunjukkan dari 50 orang yang
diperiksa ditemukan 33 orang (66%) yang kehilangan gigi pada rahang atas. Sehingga
diperoleh hasil penelitian pada rahang atas berdasarkan klasifikasi Kennedy klas I
terdapat 6 orang (75,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang
(12,5%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang (12,5%) pasien
yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas II terdapat 7 orang (70,0%) pasien
yang mengalami gangguan STM ringan, 2 orang (20,0%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan 1 orang (10,0%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada klas III terdapat 11 orang (78,6%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan, 2 orang (14,3%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1
orang (7,1%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas IV terdapat 1
orang (100%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak ada pasien yang
mengalami gangguan STM sedang dan berat. Sedangkan pada rahang bawah
rmenunjukkan dari 50 orang yang diperiksa ditemukan 48 orang (96%) yang
kehilangan gigi pada rahang bawah. Sehingga diperoleh hasil penelitian pada rahang
bawah berdasarkan klasifikasi Kennedy klas I terdapat 14 orang (73,7%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, 3 orang (15,8%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan 2 orang (10,5%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada klas II terdapat 6 orang (66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM
ringan, 2 orang (22,2%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang
(11,1%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas III terdapat 14
orang (70,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 5 orang (25,0%)
pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang (5,0%) pasien yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

mengalami gangguan STM berat. Pada klas IV tidak terdapat pasien baik yang tidak
mengalami gangguan STM, gangguan STM ringan, sedang dan berat. (Tabel 7)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 7. Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula berdasarkan klasifikasi Kennedy pada pasien
RSGM USU
Berdasarkan Kuesioner Fonseca Berdasarkan Pemeriksaan Klinis Helkimo
Variabel Tidak Ada Ringan Sedang Berat Jumlah Ringan Sedang Berat Jumlah
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Klasifikasi Kennedy Rahang Atas
Klas I 0 (0) 6 (75,0) 2 (25,0) 0 (0) 8 (100) 6 (75,0) 1 (12,5) 1 (12,5) 8 (100)
Klas II 1 (10,0) 8 (80,0) 1 (10,0) 0 (0) 10 (100) 7 (70,0) 2 (20,0) 1 (10,0) 10 (100)
Klas III 2 (14,3) 9 (64,3) 3 (21,4) 0 (0) 14 (100) 11 (78,6) 2 (14,3) 1 (7,1) 14 (100)
Klas IV 0 (0) 1 (100) 0 (0) 0 (0) 1 (100) 1 (100) 0 (0) 0 (0) 1 (100)
Jumlah 3 (9,1) 24 (72,7) 6 (18,2) 0 (0) 33 (100) 25 (75,8) 5 (15,2) 3 (9,1) 33 (100)
Klasifikasi Kennedy Rahang Bawah
Klas I 2 (10,5) 13 (68,4) 4 (21,1) 0 (0) 19 (100) 14 (73,7) 3 (15,8) 2 (10,5) 19 (100)
Klas II 1 (11,1) 7 (77,8) 1 (11,1) 0 (0) 9 (100) 6 (66,7) 2 (22,2) 1 (11,1) 9 (100)
Klas III 2 (10,0) 15 (75,0) 3 (15,0) 0 (0) 20 (100) 14 (70,0) 5 (25,0) 1 (5,0) 20 (100)
Klas IV 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)
Jumlah 5 (10,4) 35 (72,9) 8 (16,7) 0 (0) 48 (100) 34 (70,8) 10 (20,8) 4 (8,3) 48 (100)

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

4.4 Hubungan Dukungan Oklusal Dengan Tingkat Keparahan Gangguan


Sendi Temporomandibula Pada Pasien RSGM USU
Berdasarkan hasil penelitian ini dari 50 orang yang diperiksa, kelompok
dukungan oklusal kelas A terdapat 17 orang (70,8%) pasien yang mengalami
gangguan STM ringan, 6 orang (25,0%) pasien yang mengalami gangguan STM
sedang dan 1 orang (4,2%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada kelas
B1 terdapat 6 orang (75,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 2 orang
(25,0%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang
mengalami gangguan STM berat. Pada kelas B2 terdapat 4 orang (66,7%) pasien
yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang (16,7%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan 1 orang (16,7%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada kelas B3 terdapat 4 orang (100%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan, tidak ada yang mengalami gangguan STM sedang dan berat. Pada kelas
B4 terdapat 4 orang (80,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang
(20,0%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang
mengalami gangguan STM berat. Pada kelas C terdapat 1 orang (33,3%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, tidak ada yang mengalami gangguan STM sedang
dan 2 orang (66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM berat.
Berdasarkan dukungan oklusal diperoleh frekuensi pasien yang mengalami
gangguan STM baik ringan, sedang, dan berat paling tinggi terdapat pada kelas A
dengan gejala gangguan STM ringan (70,8%) sedangkan frekuensi yang paling
rendah terdapat pada kelas B3 dan kelas C dengan gangguan STM sedang (0%) dan
kelas B1,B3 dan B4 dengan gangguan STM berat (0%). Berdasarkan hasil uji chi-
square tidak ada hubungan antara dukungan oklusal dengan tingkat keparahan
gangguan STM yang ditunjukkan dengan nilai p=0,051 (p>0,05). (Tabel 8)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

Tabel 8. Hubungan Dukungan Oklusal Dengan Tingkat Keparahan Gangguan Sendi


Temporomandibula Pada Pasien RSGM USU
Dukungan Tingkat Keparahan Gangguan STM
oklusal Ringan Sedang Berat Jumlah p
n % n % n %
Kelas A 17 70,8 6 25,0 1 4,2 24
Kelas B1 6 75,0 2 25,0 0 0 8
Kelas B2 4 66,7 1 16,7 1 16,7 6
Kelas B3 4 100 0 0 0 0 4 0,051
Kelas B4 4 80,0 1 20,0 0 0 5
Kelas C 1 33,3 0 0 2 66,7 3
Total 36 72,0 10 20,0 4 8,0 50

Namun, apabila kategori tingkat keparahan gangguan STM diperkecil menjadi


ringan dan berat, maka berdasarkan hasil uji chi-square terdapat hubungan yang
signifikan antara dukungan oklusal dengan tingkat keparahan gangguan STM yang
ditunjukkan dengan nilai p=0,016 (p<0,05). (Tabel 9) Dimana kelompok dukungan
oklusal kelas A terdapat 23 orang (95,8%) pasien yang mengalami gangguan STM
ringan dan 1 orang (4,2%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada kelas
B1 terdapat 8 orang (100%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan dan tidak
ada pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada kelas B2 terdapat 5 orang
(83,3%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan dan 1 orang (16,7%) pasien
yang mengalami gangguan STM berat. Pada kelas B3 terdapat 4 orang (100%)
pasien yang mengalami gangguan STM ringan dan tidak ada pasien yang mengalami
gangguan STM berat. Pada kelas B4 terdapat 5 orang (100%) pasien yang mengalami
gangguan STM ringan dan tidak ada pasien yang mengalami gangguan STM berat.
Pada kelas C terdapat 1 orang (33,3%) pasien yang mengalami gangguan STM
ringan dan 2 orang (66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. (Tabel 9)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

Tabel 9. Hubungan Dukungan Oklusal Dengan Tingkat Keparahan Gangguan Sendi


Temporomandibula Pada Pasien RSGM USU
Dukungan Tingkat Keparahan Gangguan STM
Oklusal Ringan Berat Jumlah p
n % n %
Kelas A 23 95,8 1 4,2 24
Kelas B1 8 100 0 0 8
Kelas B2 5 83,3 1 16,7 6
Kelas B3 4 100 0 0 4 0,016
Kelas B4 5 100 0 0 5
Kelas C 1 33,3 2 66,7 3
Total 46 92,0 4 8,0 50

4.5 Hubungan Klasifikasi Kennedy Dengan Tingkat Keparahan


Gangguan Sendi Temporomandibula Pada Pasien RSGM USU
Berdasarkan hasil penelitian ini, menunjukkan dari 50 orang yang diperiksa
ditemukan 33 orang (66%) yang kehilangan gigi pada rahang atas. Sehingga
diperoleh hasil penelitian pada rahang atas berdasarkan klasifikasi Kennedy klas I
terdapat 6 orang (75,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang
(12,5%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang (12,5%) pasien
yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas II terdapat 7 orang (70,0%) pasien
yang mengalami gangguan STM ringan, 2 orang (20,0%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan 1 orang (10,0%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada klas III terdapat 11 orang (78,6%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan, 2 orang (14,3%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1
orang (7,1%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas IV terdapat 1
orang (100%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak ada pasien yang
mengalami gangguan STM sedang dan berat. Sedangkan pada rahang bawah
rmenunjukkan dari 50 orang yang diperiksa ditemukan 48 orang (96%) yang
kehilangan gigi pada rahang bawah. Sehingga diperoleh hasil penelitian pada rahang
bawah berdasarkan klasifikasi Kennedy klas I terdapat 14 orang (73,7%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, 3 orang (15,8%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan 2 orang (10,5%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada klas II terdapat 6 orang (66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

ringan, 2 orang (22,2%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang
(11,1%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas III terdapat 14
orang (70,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 5 orang (25,0%)
pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang (5,0%) pasien yang
mengalami gangguan STM berat. Pada klas IV tidak terdapat pasien baik yang tidak
mengalami gangguan STM, gangguan STM ringan, sedang dan berat.
Berdasarkan tabel ini, diketahui kebanyakan pasien mengalami gangguan
STM ringan, baik pasien dengan klasifikasi Kennedy rahang atas klas I, II, III dan IV.
Berdasarkan hasil uji chi-square tidak ada hubungan antara klasifikasi Kennedy
rahang atas dengan tingkat keparahan gangguan STM yang ditunjukkan dengan nilai
p=0,993 (p>0,05). (Tabel 10)
Berdasarkan tabel ini, diketahui kebanyakan pasien mengalami gangguan
STM ringan, baik pasien dengan klasifikasi Kennedy rahang bawah klas I, II, dan III.
Berdasarkan hasil uji chi-square tidak ada hubungan antara klasifikasi Kennedy
rahang bawah dengan tingkat keparahan gangguan STM yang ditunjukkan dengan
nilai p=0,923 (p>0,05). (Tabel 10)

Tabel 10. Hubungan Klasifikasi Kennedy Dengan Tingkat Keparahan Gangguan


Sendi Temporomandibula Pada Pasien RSGM USU
Klasifikasi Tingkat Keparahan Gangguan STM
Kennedy Ringan Sedang Berat Jumlah p
n % n % n %
Rahang Atas
Klas I 6 75,0 1 12,5 1 12,5 8
Klas II 7 70,0 2 20,0 1 10,0 10
Klas III 11 78,6 2 14,3 1 7,1 14 0,993
Klas IV 1 100 0 0 0 0 1
Total 25 75,8 5 15,2 3 9,1 33
Rahang Bawah
Klas I 14 73,7 3 15,8 2 10,5 19
Klas II 6 66,7 2 22,2 1 11,1 9
Klas III 14 70,0 5 25,0 1 5,0 20 0,923
Klas IV 0 0 0 0 0 0 0
Total 34 70,8 10 20,8 4 8,3 48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

Apabila kategori tingkat keparahan gangguan STM diperkecil menjadi ringan


dan berat, maka berdasarkan hasil uji chi-square juga tidak ada hubungan antara
klasifikasi Kennedy rahang atas dan rahang bawah dengan tingkat keparahan
gangguan STM yang ditunjukkan dengan nilai p=1,00 (p>0,05) dan nilai p=0,83
(p>0,05). (Tabel 11) Dimana dari 50 orang yang diperiksa ditemukan 33 orang (66%)
yang kehilangan gigi pada rahang atas. Sehingga diperoleh hasil penelitian pada
rahang atas berdasarkan klasifikasi Kennedy klas I terdapat 7 orang (87,5%) pasien
yang mengalami gangguan STM ringan dan 1 orang (12,5%) pasien yang mengalami
gangguan STM berat. Pada klas II terdapat 9 orang (90,0%) pasien yang mengalami
gangguan STM ringan dan 1 orang (10,0%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada klas III terdapat 13 orang (92,9%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan dan 1 orang (7,1%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada
klas IV terdapat 1 orang (100%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak
ada pasien yang mengalami gangguan berat. Sedangkan pada rahang bawah
rmenunjukkan dari 50 orang yang diperiksa ditemukan 48 orang (96%) yang
kehilangan gigi pada rahang bawah. Sehingga diperoleh hasil penelitian pada rahang
bawah berdasarkan klasifikasi Kennedy klas I terdapat 17 orang (89,5%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan dan 2 orang (10,5%) pasien yang mengalami
gangguan STM berat. Pada klas II terdapat 8 orang (88,9%) pasien yang mengalami
gangguan STM ringan dan 1 orang (11,1%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada klas III terdapat 19 orang (95,0%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan dan 1 orang (5,0%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada
klas IV tidak terdapat pasien baik yang tidak mengalami gangguan STM, gangguan
STM ringan dan berat.
Berdasarkan tabel ini, diketahui kebanyakan pasien mengalami gangguan
STM ringan, baik pasien dengan klasifikasi Kennedy rahang atas klas I, II, III dan IV
dan kebanyakan pasien mengalami gangguan STM ringan, baik pasien dengan
klasifikasi Kennedy rahang bawah klas I, II, dan III.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

Tabel 11. Hubungan Klasifikasi Kennedy Dengan Tingkat Keparahan Gangguan


Sendi Temporomandibula Pada Pasien RSGM USU
Klasifikasi Tingkat keparahan Gangguan STM Jumlah p
Kennedy Ringan Berat
n % n %
Rahang Atas
Klas I 7 87,5 1 12,5 8
Klas II 9 90,0 1 10,0 10 1,00
Klas III 13 92,9 1 7,1 14
Klas IV 1 100 0 0 1
Total 30 90,9 3 9,1 33
Rahang Bawah
Klas I 17 89,5 2 10,5 19
Klas II 8 88,9 1 11,1 9
Klas III 19 95,0 1 5,0 20 0,83
Klas IV 0 0 0 0 0
Total 44 91,7 4 8,3 48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

BAB 5
PEMBAHASAN

5.1 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula


Pasien RSGM USU Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
5.1.1 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU Berdasarkan Usia
Berdasarkan usia, pada tabel 5 dapat dilihat klasifikasi gangguan STM yang
diderita oleh subjek penelitian berdasarkan wawancara dan pemeriksaan klinis yang
dilakukan menunjukkan prevalensi tertinggi subjek penelitian mengalami gangguan
STM ringan berdasarkan kuesioner Fonseca sebesar 74% dan pemeriksaan klinis
Helkimo Index sebesar 72%. Berdasarkan semua kelompok usia pada pemeriksaan
klinis Helkimo diperoleh prevalensi pasien yang mengalami gangguan STM paling
banyak ditemukan pada kelompok ringan. Pada usia 17-25 tahun terdapat 13 orang
(65,0%), usia 26-35 tahun terdapat 2 orang (66,7%), usia 36-45 tahun terdapat 7
orang (77,8%), usia 46-55 tahun terdapat 9 orang (75,0%), usia 56-65 tahun terdapat
4 orang (80,0%), dan usia >65 tahun terdapat 1 orang (100%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan.
Pada penelitian ini, berdasarkan pemeriksaan klinis Helkimo pada usia
diperoleh prevalensi pasien yang mengalami gangguan STM paling banyak
ditemukan pada usia 17-25 tahun sebanyak 20 orang. Pada 20 orang pasien usia 17-
25 tahun yang mengalami gangguan STM tersebut, sebanyak 13 orang (65%)
mengalami gangguan ringan, 6 orang (30%) mengalami gangguan sedang dan 1
orang (5%) mengalami gangguan berat. Sedangkan gangguan STM berat hanya
ditemukan pada kelompok usia 46-55 tahun sebesar 16,7% dan 56-65 tahun sebesar
20%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Syed (2012) yang meneliti
prevalensi gangguan STM pada pasien di rumah sakit, menunjukkan bahwa remaja
usia 18-25 tahun lebih banyak mengalami tanda dan gejala gangguan STM dengan
tingkat keparahan ringan.23 Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Nomura pada mahasiswa universitas di Brazil yang menunjukkan remaja usia 20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

tahun tergolong memiliki gangguan STM ringan lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat keparahan gangguan STM lainnya, seperti sedang dan berat.25 Hal ini
dikarenakan adanya faktor utama berupa faktor psikologis stress yang tinggi pada
usia tersebut, kehilangan gigi, dan restorasi gigi yang disimpulkan menjadi faktor
pemicu terjadinya gangguan STM. Faktor psikologis diketahui berperan dalam
etiologi gangguan STM. Secara khusus, tingginya insiden kehidupan yang stress dan
tingginya tingkat kecemasan dan gejala yang terkait stres telah dilaporkan ada pada
pasien dengan gangguan STM.68
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mazzetto (2013) yang menunjukkan
gejala gangguan STM paling banyak ditemukan pada individu yang berusia 20-40
tahun. Pasien yang berada dalam kategori dewasa muda 20-40 tahun merupakan
individu yang produktif dan cenderung labil sehingga ketika mengalami suatu
masalah, stres dapat memicu terjadinya penurunan kualitas hidup. Hal inilah yang
dapat memicu terjadinya gangguan STM. Peningkatan usia akan merubah standar
hidup dan kapasitas adaptif seorang individu. Mereka yang telah memasuki masa
lansia akhir akan lebih bisa menerima keadaan dalam suatu masalah dan dengan
tenang berusaha mencari solusi yang terbaik sehingga tanda dan gejala TMD menjadi
subklinis (tidak jelas) dan merasakan intensitas yang lebih kecil atau bahkan tidak
terdeteksi, menyebabkan tingkat keparahan yang menjadi tidak jelas.69 Hal ini sesuai
dengan penelitian epidemiologi yang dilakukan Okeson (2013) menunjukkan gejala
TMD paling banyak ditemukan pada individu yang berusia 20-40 tahun54 dan
penelitian yang dilakukan oleh Hiltunen (2004) menyatakan bahwa gejala TMD akan
berkurang sesuai peningkatan umur.26

5.1.2 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi


Temporomandibula Pasien RSGM USU Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin pemeriksaan klinis diperoleh prevalensi pasien
yang mengalami gangguan STM pada laki-laki sebanyak 22 orang dan perempuan
sebanyak 28 orang. Sehingga, berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini
prevalensi pasien yang mengalami gangguan STM paling banyak ditemukan pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

perempuan sebanyak 28 orang. Prevalensi terjadinya gangguan STM yang lebih


tinggi pada perempuan dapat disebabkan oleh faktor perilaku, hormonal, anatomi dan
psikososial.24,69 Selain itu, prevalensi gangguan STM yang lebih tinggi pada
perempuan dapat disebabkan oleh sensitivitas biologis yang lebih tinggi terhadap
stimulus dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian terbaru menunjukkan pengaruh
yang signifikan dari siklus menstruasi terhadap terjadinya rasa sakit pada
mukoskeletal.16 Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nomura (2007)
yang mengatakan perempuan cenderung lebih banyak mengalami gejala gangguan
STM daripada laki-laki.25
Pada 28 orang perempuan yang mengalami gangguan STM tersebut, terdapat
3 orang (10,7%) mengalami gangguan berat. Sedangkan dari 22 orang laki-laki hanya
1 orang (4,5%) yang mengalami gangguan berat. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian oleh Mazzetto (2014) yang menyatakan bahwa tingkat keparahan gangguan
STM lebih signifikan pada perempuan daripada laki-laki.69 Telah dicatat bahwa
perempuan lebih sering menderita sakit kepala, kliking pada sendi temporomandibula
dan sensitivitas sendi dan otot.62 Selain itu, diduga karena reseptor estrogen di
persendian temporomandibula pada perempuan memodulasi fungsi metabolik
sehingga menyebabkan kelemahan dari ligamen. Estrogen ini juga diduga
meningkatkan stimulasi nyeri.16,24 Perempuan dapat mendeteksi sinyal yang mungkin
tidak dikenali oleh laki-laki. Selain itu, perbedaan sosial membuat perempuan lebih
bisa diterima untuk mengemukakan pengalaman rasa sakitnya.16

5.2 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula


Pasien RSGM USU Berdasarkan Dukungan Oklusal
Hasil pengumpulan data menunjukkan adanya perbedaan hasil yang
didapatkan berdasarkan kuesioner dan pemeriksaan klinis. Hal ini disebabkan karena
ketidakakuratan pasien sebagai subjek penelitian dalam menjawab pertanyaan
kuesioner merupakan faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti. Pada
penelitian ini, terdapat 5 orang pasien yang merasa tidak mengalami gangguan STM
berdasarkan kuesioner Fonseca, namun saat dilakukan pemeriksaan klinis didapati

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

pasien-pasien tersebut mengalami gangguan fungsi keterbatasan membuka mulut dan


atau adanya bunyi pada sendi temporomandibula.
Gangguan sendi temporomandibula merupakan sekumpulan tanda dan gejala
yang melibatkan otot mastikasi, sendi temporomandibula dan struktur terkait yang
digambarkan dengan adanya nyeri pada area preauricular, nyeri pada sendi
temporomandibula, nyeri pada otot-otot pengunyahan, keterbatasan atau deviasi pada
pergerakan mandibula dan bunyi pada sendi selama mandibula berfungsi. Pada
umumnya keluhan pasien yang mengalami gangguan STM diantaranya sakit kepala,
nyeri di sekitar leher, nyeri pada wajah dan sakit pada telinga sehingga sering
dianggap bukan berasal dari keadaan gigi geligi dan sendi. Oleh karena itu, pasien
sering tidak menyadari adanya tanda dan gejala gangguan STM seperti deviasi dan
bunyi sendi.21,22,45 Pada umumnya gejala diketahui dari keluhan pasien sedangkan
tanda ditemukan dari pemeriksaan klinis.54 Hal ini menyebabkan gangguan STM
lebih banyak ditemukan pada pemeriksaan klinis dibandingkan kuesioner. Selain itu
berdasarkan penelitian Gaphor dan Hameed (2010) menyatakan bahwa individu malu
untuk mengakui adanya gangguan dikarenakan lingkungan saat menanyakan keluhan
tanpa privasi.22 Berdasarkan adanya faktor-faktor yang menyebabkan ketidakakuratan
pasien sebagai responden dalam menjawab pertanyaan kuesioner, oleh karena itu
pemeriksaan klinis dianggap sebagai metode yang lebih objektif dalam mendiagnosis
tanda dan gejala sendi temporomandibula.
Pengelompokkan tingkat keparahan gangguan STM didasarkan pada Helkimo
(1974) yang membagi tingkat keparahan menjadi normal, ringan, sedang, dan berat.
Pengelompokkan dilakukan bertujuan untuk melakukan perawatan yang sesuai
terhadap tingkat keparahan gangguan STM.64 Pada tabel 6 dapat dilihat klasifikasi
gangguan STM yang diderita oleh subjek penelitian berdasarkan wawancara dan
pemeriksaan klinis yang dilakukan menunjukkan prevalensi tertinggi subjek
penelitian mengalami gangguan STM ringan berdasarkan kuesioner Fonseca sebesar
74% dan pemeriksaan klinis Helkimo Index sebesar 72%.
Persentase pasien yang mengalami gangguan STM pada penelitian ini
berdasarkan pemeriksaan klinis Helkimo paling banyak ditemukan pada kelompok

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


76

dukungan oklusal kelas A sebanyak 24 orang. Dari 24 orang tersebut, 17 orang


(70,8%) mengalami gangguan ringan, 6 orang (25,0%) mengalami gangguan sedang,
dan 1 orang (4,2%) mengalami gangguan berat. Kehilangan gigi di bagian posterior
diindikasikan sebagai penyebab gangguan STM karena kelainan oklusal yang
menyebabkan gangguan fungsi sendi.10 Kehilangan kontak oklusal mengakibatkan
terjadinya ketidakseimbangan oklusi yang akan mengganggu kestabilan lengkung
gigi, keadaan ini menyebabkan struktur sendi temporomandibula menerima beban
yang lebih besar sehingga mengganggu fungsi pengunyahan.3,4,13,15 Berdasarkan
penelitian Dulcic (2013) yang menunjukkan kejadian dan intensitas gangguan STM
lebih tinggi pada subjek dengan kehilangan gigi di daerah posterior.8 Tallents et al.
(2002) juga melaporkan bahwa hilangnya gigi posterior pada mandibula dapat
mempercepat terjadi degeneratif pada sendi.70 Hal ini juga didukung oleh Quaker A
(2011) yang dalam penelitiannya juga menunjukkan adanya peningkatan frekuensi
tanda dan gejala gangguan sendi dengan terjadinya penurunan jumlah oklusal dari
gigi geligi posterior.15 Berdasarkan penelitian Takayama Y (2008) yang menunjukkan
bahwa tanda dan gejala gangguan STM banyak terjadi pada kelas A. Hasil ini juga
didukung oleh fakta bahwa yang mengalami gejala gangguan STM banyak pasien
yang masih muda. Gejala gangguan STM terlihat pada banyak pasien yang tidak
memiliki kelainan. Dalam survei yang dilakukannya, gejala gangguan STM
cenderung terjadi pada pasien dengan sedikit kehilangan gigi dan zona pendukung
oklusal. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa hubungan kondisi gigi dan oklusal
mungkin merupakan faktor etiologi yang memicu otot pengunyahan dan nyeri, dan
disfungsi pada STM. Oleh karena itu, rasa sakit diasumsikan telah menjadi gejala
utama pasien yang mengalami gangguan STM.70

5.3 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula


Pasien RSGM USU Berdasarkan Klasifikasi Kennedy
Hasil pengumpulan data menunjukkan adanya perbedaan hasil yang
didapatkan berdasarkan kuesioner dan pemeriksaan klinis. Hal ini disebabkan karena

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

ketidakakuratan pasien sebagai subjek penelitian dalam menjawab pertanyaan


kuesioner merupakan faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti.
Pada penelitian ini, dari 50 orang yang diperiksa ditemukan 33 orang yang
kehilangan gigi pada rahang atas dan 48 orang yang kehilangan gigi pada rahang
bawah. Sehingga pada penelitian ini menunjukkan kehilangan gigi lebih banyak
ditemukan pada rahang bawah dibandingkan rahang atas. Berdasarkan hasil
pengumpulan data berdasarkan kuesioner Fonseca terdapat pasien yang merasa tidak
mengalami gangguan STM sebanyak 3 orang pasien dengan kehilangan gigi pada
rahang atas dan 5 orang pasien dengan kehilangan gigi pada rahang bawah, namun
saat dilakukan pemeriksaan klinis didapati pasien-pasien tersebut mengalami
gangguan fungsi keterbatasan membuka mulut dan atau adanya bunyi pada sendi
temporomandibula.
Pada tabel 7 dapat dilihat klasifikasi gangguan STM yang diderita oleh subjek
penelitian berdasarkan wawancara dan pemeriksaan klinis yang dilakukan
menunjukkan prevalensi tertinggi subjek penelitian mengalami gangguan STM ringan
berdasarkan kuesioner Fonseca sebesar 72,7% pada rahang atas dan 72,9% pada
rahang bawah dan pemeriksaan klinis Helkimo Index sebesar 75,8% pada rahang atas
dan 70,8% pada rahang bawah. Pengelompokkan tingkat keparahan gangguan STM
didasarkan pada Helkimo (1974) yang membagi tingkat keparahan menjadi normal,
ringan, sedang, dan berat. Pengelompokkan dilakukan bertujuan untuk melakukan
perawatan yang sesuai terhadap tingkat keparahan gangguan STM.64
Pada penelitian ini, persentase pasien yang mengalami gangguan STM
berdasarkan pemeriksaan klinis Helkimo paling banyak ditemukan pada kelompok
klasifikasi Kennedy rahang atas pada klas III sebanyak 14 orang (42,4%). Dari 14
orang tersebut, 11 orang (78,6%) mengalami gangguan ringan, 2 orang (14,3%)
mengalami gangguan sedang, dan 1 orang (7,1%) mengalami gangguan berat. Pada
rahang bawah pada klas III sebanyak 20 orang (41,7%). Dari 20 orang tersebut, 14
orang (70,0%) mengalami gangguan ringan, 5 orang (25,0%) mengalami gangguan
sedang, dan 1 orang (5,0%) mengalami gangguan berat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


78

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Vinita Ved (2017) yang
menunjukkan tanda dan gejala gangguan STM lebih banyak pada klas III Kennedy.19
Hal ini juga didukung oleh penelitian Shubata M (2015) yang menyatakan bahwa
Kennedy klas III paling sering ditemukan pada kedua rahang.71 Beberapa penelitian
juga menunjukkan bahwa ada peningkatan perubahan degeneratif STM pada pasien
muda dengan hilangnya gigi molar dan perpindahan diskus.19 Sebuah literatur
menunjukkan bahwa dalam kasus tidak adanya gigi posterior, kemungkinan
perubahan degeneratif dan perkembangan kelainan temporomandibula meningkat.47
Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Luder HU (2002)
yang menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara kehilangan gigi dan sendi
temporomandibula.3 Beberapa penelitian menyatakan bahwa kehilangan dukungan
molar dikaitkan dengan kehadiran dan tingkat keparahan dari gangguan STM. Resiko
terjadinya bunyi di STM meningkat secara signifikan pada individu yang kehilangan
lebih banyak gigi.19 Hal ini didukung oleh Mundt T, dkk (2005) yang menemukan
bahwa hilangnya gigi posterior akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan
STM.16 Hasil penelitian yang dilakukan Shet RGK (2013) juga menunjukkan adanya
gejala dan tanda gangguan STM dengan hilangnya gigi posterior.45 Nyeri sendi serta
suara sendi akan meningkat secara signifikan dengan penurunan jumlah gigi
posterior. Oleh sebab itu kehilangan gigi, terutama hilangnya gigi posterior dikaitkan
dengan peningkatan gejala gangguan STM.15

5.4 Hubungan Dukungan Oklusal dengan Tingkat Keparahan Gangguan


Sendi Temporomandibula Pasien RSGM USU
Dalam penelitian ini, pada kehilangan gigi sebagian keberadaan dukungan
oklusal diklasifikasikan dengan menggunakan Eichner Index. Klasifikasi Eichner ini
berdasarkan daerah kontak oklusal gigi geligi yang berantagonis pada maksila dan
mandibula. Klasifikasi ini membagi dukungan oklusal kedalam 3 kelas yaitu, kelas A,
kelas B dan kelas C. Kelas A terdiri atas 4 zona dukungan oklusal yaitu kontak gigi
premolar dengan gigi antagonisnya pada setiap sisi. Kelas B dibagi kedalam 4
kelompok yaitu B1, B2, B3 dan B4. Kelas B1 terdapat 3 zona dukungan oklusal,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


79

kelas B2 yang terdiri dari 2 zona dukungan oklusal dan kelas B3 yang hanya
memiliki 1 zona dukungan oklusal serta kelas B4 yang mana dukungan hanya berada
pada daerah gigi anterior sedangkan pada kelas C adalah tidak ditemukan gigi yang
berkontak antagonis baik anterior maupun posterior.14,66
Dari hasil uji analisis chi-square didapati tidak ada hubungan antara dukungan
oklusal terhadap tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula dengan nilai
p= 0,051 (p>0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hiltunen K (2004)
yang juga menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan oklusal
berdasarkan Eichner Index dengan gangguan sendi temporomandibula. Hal ini
disebabkan kehilangan gigi tidak selalu dapat menggambarkan efektifitas fungsi
sistem mastikasi namun dapat dijadikan indikator kesehatan gigi dan mulut.26 Hal ini
tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mundt T, dkk (2005) menyatakan
bahwa hilangnya dukungan oklusal akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan
STM. Dalam penelitiannya menjelaskan bahwa laki-laki dengan kehilangan
dukungan oklusal memiliki resiko lebih tinggi mengalami gangguan STM
dibandingkan pada perempuan. Perbedaan ini terjadi disebabkan oleh interaksi antara
jenis kelamin dan dukungan oklusal yang saling memengaruhi terhadap timbulnya
tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula.16
Hal ini disebabkan oleh karena etiologi gangguan sendi temporomandibula
merupakan multifaktorial yakni banyak faktor resiko yang sering dikaitkan terhadap
timbulnya tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula. Faktor yang sering
dikaitkan diantaranya adalah jenis kelamin, usia dan kebiasaan parafungsional. Selain
itu, adanya pengaruh emosional yang turut berpengaruh terhadap sensitifitas nyeri
juga merupakan salah satu tanda dan gejala timbulnya gangguan STM.4,13,53 Hal ini
juga didukung oleh Farid (2012) yang menyatakan bahwa gangguan sendi
temporomandibula sendiri adalah multifaktorial. Salah satu faktornya adalah oklusi
yang tidak tepat. Bisa diartikan gangguan sendi temporomandibula bukan hanya
disebabkan oleh hilangnya gigi posterior yang mengakibatkan tidak adanya kontak
oklusal dan dimensi vertikal.29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


80

Namun, apabila kategori tingkat keparahan gangguan STM diperkecil menjadi


ringan dan berat, maka hasil uji analisis chi-square didapati ada hubungan signifikan
antara dukungan oklusal terhadap tingkat keparahan gangguan sendi
temporomandibula dengan nilai p= 0,016 (p<0,05). Kehilangan gigi di bagian
posterior diindikasikan sebagai penyebab gangguan STM karena kelainan oklusal
yang menyebabkan gangguan fungsi sendi.10 Gigi posterior yaitu gigi molar dan
premolar merupakan area pendukung oklusal dan memainkan peran penting dalam
menentukan posisi rahang bawah terhadap rahang atas dan akan berdampak pada
hubungan topografi serta fungsi sendi temporomandibula. Kontak oklusal gigi
posterior berfungsi menjaga stabilitas mandibula secara maksimal dan meminimalkan
tekanan pada masing-masing gigi sehingga rahang mampu menerima beban yang
berat tanpa mengganggu gigi dan struktur pendukungnya.20
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Shet RGK dkk (2013) yang
menunjukkan adanya hubungan antara kehilangan dukungan oklusal dengan
terjadinya gangguan STM yaitu terdapat peningkatan insiden dan intensitas gangguan
STM pada kehilangan gigi yang lebih besar didaerah dukungan oklusal. Hilangnya
gigi posterior dapat mempercepat terjadinya gangguan pada sendi.45 Tidak adanya
gigi posterior akan menyebabkan gigi yang masih tersisa di rongga mulut menerima
beban yang lebih besar dari sebelumnya, dimana hal ini menyebabkan abrasi lebih
cepat dan penurunan dataran oklusal sehingga rahang bawah mendekati rahang atas.
Perubahan posisi rahang bawah terhadap rahang atas akan mengganggu biomekanika
sendi dan dapat menghasilkan berbagai gangguan sendi temporomandibula.20

5.5 Hubungan Klasifikasi Kennedy dengan Tingkat Keparahan


Gangguan Sendi Temporomandibula Pasien RSGM USU
Dalam penelitian ini, pada kehilangan gigi sebagian diklasifikasikan menurut
Klasifikasi Kennedy. Kennedy mengklasifikasikan kedalam empat macam klas
keadaan tidak bergigi, yaitu klas I Kennedy (posterior bilateral free-end), klas II
(posterior unilateral free-end), klas III dan klas IV (anterior).18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


81

Dari hasil uji analisis chi-square didapati pada kedua rahang tidak ada
hubungan antara klasifikasi Kennedy terhadap tingkat keparahan gangguan sendi
temporomandibula dengan nilai p masing-masing pada rahang atas sebesar p= 0,993
(p>0,05) dan pada rahang bawah p= 0,923 (p>0,05). Apabila kategori tingkat
keparahan gangguan STM diperkecil menjadi ringan dan berat, maka didapati hasil
uji analisis chi-square pada kedua rahang tidak ada hubungan antara klasifikasi
Kennedy terhadap tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula dengan nilai
p masing-masing pada rahang atas sebesar p= 1,00 (p>0,05) dan pada rahang bawah
p= 0,833 (p>0,05).
Kehilangan gigi posterior akan diikuti dengan hilangnya kontak oklusal yang
dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan oklusi yang akan mengganggu
kestabilan lengkung gigi, keadaan ini menyebabkan struktur sendi temporomandibula
menerima beban yang lebih besar dan apabila terjadi terus menerus dapat
mengganggu sendi temporomandibula sehingga tidak dapat berfungsi secara efektif.
Jika pada keadaan ini gigi atau sendi mendapat tekanan yang besar maka dapat
memicu kerusakan sendi, gigi dan struktur pendukungnya3,4,13,15
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Ulpa (2015) yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kehilangan gigi
posterior bilateral free-end dengan terjadinya clicking pada sendi
12
temporomandibula. Sebuah literatur menunjukkan bahwa dalam kasus tidak adanya
gigi posterior, kemungkinan perubahan degeneratif dan perkembangan kelainan
temporomandibula meningkat.47 Kehilangan gigi posterior juga dapat terjadi
overclosure mandibula yang mengakibatkan kondilus menyimpang dari posisi sentrik
normal sehingga menyebabkan dislokasi sendi temporomandibula.15,20
Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan dengan penelitian Vinita Ved
(2017) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kehilangan gigi dengan
gangguan STM, dimana kehilangan gigi berdasarkan klasifikasi Kennedy klas III
yang banyak ditemukan pada penderita gangguan STM.19 Hal ini juga didukung oleh
penelitian Shet (2013) yang menemukan adanya hubungan gangguan STM terhadap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


82

kehilangan gigi berdasarkan klasifikasi Kennedy yang menunjukkan Kennedy klas I


terdapat lebih banyak tanda dan gejala gangguan STM.45
Tingkat keparahan gejala gangguan STM meningkat seiring dengan
berkurangnya jumlah gigi bagi kebanyakan individu.15 Hal ini didukung penelitian
Uhac dkk (2002) yang menyatakan bahwa risiko terjadinya bunyi pada sendi
temporomandibula meningkat secara signifikan pada individu yang telah kehilangan
gigi lebih banyak.19 Bunyi ini terjadi karena adanya perubahan letak, bentuk, dan
fungsi dari komponen sendi temporomandibula. Bunyi yang dihasilkan dapat
bervariasi, mulai dari lemah dan hanya terasa oleh pasien, hingga keras dan tajam. 11
Nyeri pada sendi juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada sisi dengan gigi yang
paling banyak hilang dan peningkatan risiko gangguan sendi ditemukan pada individu
tanpa dukungan molar.15
Hasil penelitian dapat berbeda dengan hasil penelitian yang lainnya
dikarenakan oleh metode penelitian yang berbeda dan jumlah sampel yang belum
mencukupi sehingga distribusi tidak merata. Hal ini dapat menjadi faktor yang
menyebabkan perbedaan hasil penelitian dengan penelitian-penelitian yang lain.
Selain itu, hasil penelitian yang berbeda dapat juga dikarenakan etiologi dari
gangguan STM yang multifakorial.22,60-63 Ada beberapa bukti yang menunjukkan
kecemasan, stress, dan gangguan emosional lainnya dapat memperburuk gangguan
STM.22 Faktor lainnya antara lain adanya tekanan psikologik, sering kali sulit
diidentifikasi karena penderita bukan suatu kelompok homogen dalam segi
karakteristiknya, adanya kebiasaan parafungsional seperti bruxism yang dapat
menyebabkan spasme otot kunyah yang memicu terjadinya kelainan gangguan
STM.63 Meskipun demikian, penyebab tanda dan gejala gangguan STM tidak
dipahami secara jelas dan berbagai pendapat mengenai etiologinya telah banyak
dikemukakan.22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


83

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular pasien
RSGM USU berdasarkan usia dan jenis kelamin
A. Berdasarkan usia:
- Pada usia 17-25 tahun persentase terbesar adalah 65,0% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan
- Pada usia 26-35 tahun persentase terbesar adalah 66,7% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan.
- Pada usia 36-45 tahun persentase terbesar adalah 77,8% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan.
- Pada usia 46-55 tahun persentase terbesar adalah 75,0% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan.
- Pada usia 56-65 tahun persentase terbesar adalah 80,0% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan.
- Pada usia >65 tahun persentase terbesar adalah 100% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan
Gangguan STM berat hanya ditemukan pada kelompok usia 17-25 sebesar
5,0%, usia 46-55 tahun sebesar 16,7% dan usia 56-65 tahun sebesar 20,0%.
B. Berdasarkan jenis kelamin:
- Pada laki-laki persentase terbesar adalah 86,4% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Pada perempuan persentase terbesar adalah 60,7% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan.
Gangguan STM berat ditemukan pada laki-laki sebesar 4,5% dan pada
perempuan sebesar 10,7%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


84

2. Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular pasien


RSGM USU berdasarkan dukungan oklusal.
- Kelas A persentase terbesar adalah 70,8% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Kelas B1 persentase terbesar adalah 75,0% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Kelas B2 persentase terbesar adalah 66,7% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Kelas B3 persentase terbesar adalah 100% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Kelas B4 persentase terbesar adalah 80,0% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Kelas C persentase terbesar adalah 66,7% yaitu yang mengalami
gangguan STM berat.
Gangguan STM berat hanya ditemukan pada dukungan oklusal kelas A
sebesar 4,2%, kelas B2 sebesar 16,7% dan kelas C sebesar 66,7%.
3. Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular pasien
RSGM USU berdasarkan klasifikasi Kennedy.
Pada rahang atas:
- Klas I persentase terbesar adalah 75,0% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Klas II persentase terbesar adalah 70,0% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Klas III persentase terbesar adalah 78,6% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Klas IV persentase terbesar adalah 100% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
Gangguan STM berat ditemukan pada klas I sebesar 12,5%, klas II sebesar
10,0% dan klas III sebesar 7,1%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


85

Pada rahang bawah:


- Klas I persentase terbesar adalah 73,7% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Klas II persentase terbesar adalah 66,7% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Klas III persentase terbesar adalah 70,0% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
Gangguan STM berat ditemukan pada klas I sebesar 10,5%, klas II sebesar
11,1% dan klas III sebesar 5,0%.
4. Tidak terdapat hubungan antara dukungan oklusal dengan tingkat
keparahan gangguan sendi temporomandibula dengan nilai p=0,051 (p>0,05).
Namun, apabila kategori tingkat keparahan diperkecil menjadi ringan dan berat maka,
terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan oklusal dengan tingkat keparahan
gangguan sendi temporomandibula dengan nilai p=0,016 (p<0,05).
5. Tidak terdapat hubungan antara klasifikasi Kennedy dengan tingkat
keparahan gangguan sendi temporomandibula dengan nilai p=0,993 pada rahang atas
dan p=0,923 pada rahang bawah (p>0,05), baik pada kategori keparahan ringan,
sedang dan berat maupun kategori yang diperkecil menjadi ringan dan berat.
Hasil penelitian ini menunjukkan meskipun tidak ada hubungan antara
klasifikasi Kennedy dengan tingkat keparahan gangguan STM, namun tingkat
keparahan berat banyak ditemukan pada klasifikasi Kennedy klas I.

6.1 Saran
Tidak adanya hubungan antara gangguan sendi temporomandibula dengan
dukungan oklusal dan klasifikasi Kennedy kemungkinan disebabkan faktor etiologi
gangguan STM adalah multifaktorial sehingga banyak faktor risiko yang dapat
berkontribusi terhadap terjadinya gangguan STM. Selain itu, hasil uji statistik yang
kurang valid diakibatkan distribusi jumlah subjek penelitian tidak merata di setiap
kelompok variabel. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh,
maka dapat disarankan :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


86

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah


sampel penelitian yang lebih banyak dan distribusi yang lebih merata untuk setiap
kelompok variabel.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui frekuensi
distribusi setiap tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula sehingga dapat
diketahui tanda dan gejala yang paling banyak dialami pasien yang mengalami
gangguan sendi temporomandibula.
3. Pada penelitian yang lebih lanjut diharapkan peneliti memperhatikan faktor
– faktor resiko lain yang turut berpengaruh terhadap timbulnya tanda dan gejala sendi
temporomandibula seperti lamanya kehilangan gigi dan keadaan psikologi responden
agar hasil yang diperoleh secara akurat mampu menunjukkan ada tidaknya hubungan
kehilangan gigi terhadap gangguan sendi temporomandibula.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


87

DAFTAR PUSTAKA

1. Wahab S, Adhani R, Widodo. Perbandingan karakteristik pengguna gigi tiruan


yang dibuat di dokter gigi dengan tukang gigi di Banjarmasin. Dentino J
Kedokteran Gigi. 2017; 1(1): 50-55.
2. Putranti D, Chandra H. Rendahnya Presepsi Masyarakat Terhadap Pemakaian
Gigitiruan di Desa Ujung Rambung, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten
Serdang Bedagai. Dentofasial J Kedokteran Gigi. 2011; 10(2): 79-85 2.
3. Agtini M. Persentase Pengguna Protesa di Indonesia. Media Litbang Kesehatan.
2010; 20(2): 50-58.
4. A Hatim, G Jameel, M Shebab. Temporomandibular Joint Assesment of Pre and
Post Prosthetic Treatment of Partially Edentulous Patient (Radiographic
Examination). Al-Rafidain Dent J. 2011; 11(1): 13-21.
5. Yanikoglui N, Guldag U. Analysis of The Condyle/Fossa Relationship in Kennedy
Class I and Class II Partially Edentulous Subjects. OHDMBSC. 2006; 5(1): 50-
56.
6. Galagali G, Mahoorkar S. Critical Evaluation of Classification Systems of
Partially Edentulous Arches. Internasional Journal of Dental Clinics. 2010; 2(3):
45-52.
7. Bratu E, Bratu D, Antonie S. Classification systems for partial edentulism.
OHDMBSC. 2007; 6(4): 50-55.
8. Dulcic N, Panduric J, et al. Incidence of Temporomandibular Disorder at Tooth
Loss in the Supporting Zone. Coll Antropol. 2003; 2: 61-7.
9. Koesmaningati H, Himawan L. Penalatalaksaan kasus gangguan sendi
temporomandibula pada pasien dengan dimensi vertikal yang rendah dan gigitan
anterior yang dalam. IJD; Edisi khusus KPPIKG XIV Universitas Indonesia.
2006; 155-8.
10. Gabrilla J, Tendean L, Zuliari K. Gambaran temporomandibular disorders pada
lansia di kecamatan wanea. J e-GiGi. 2016; 4(2): 90-5.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


88

11. Marpaung C, Himawan L, et al. Hubungan antara tingkat keparahan Gangguan


sendi temporomandibula dan Perbedaan karakteristik bunyi sendi
Temporomandibula. JKGUI. 2003; 10: 644-651.
12. Shetty Rajesh. Prevalence of Signs Temporomandibular Joint Dysfunction in
Asymptomatic Edentoulus Subjects: A Cross-Sectional Study. J Indian Prosthodont
Soc. 2010; 10(2): 96-101.
13. Shet M, Xue F, et al. Missing Posterior Teeth and Risk of Temporomandibular
Disorders. J Dent Res. 2009; 88(10): 942-5.
14. Yoshino K, Kikukawa I, et al. Relationship between Eichner Index and Number of
Present teeth. Bull Tokyo Dent Coll. 2012; 53(1): 37-40.
15. Quaker A. Consequences of Tooth Loss on Oral Function and Need for
Replacement of Missing Teeth among Patient Attending Muhimbili Dental
Clinic.Disertation.2011; 1-39.
16. Mundt T, dkk. Gender Differences in Association Between Occlusal Support and
signs of Temporomandibular Disorders: Result of Population-Based Study of
Health in Pomerania (SHIP). International J of Pros. 2005; 18(3): 233-9.
17. Costa M, Junior G, Santos C. Evaluation of Occlusal Factors in Patient with
Temporomandibular Joint Disorders. Dental Press J Orthod. 2010; 17(6): 61-8.
18. Rahmayani L, Andriany P. Distribusi Frekuensi Kehilangan Gigi Berdasarkan
Klasifikasi Kennedy Ditinjau Dari Tingkat Pendapatan Masyarakat Kelurahan
Peuniti Banda Aceh. Odonto Dent J. 2015; 2(1): 8-13.
19. Ved V, Arora A, et al. The incidence of temporomandibular joint disorders and its
association with missing posterior teeth - a cross sectional study. Ejbps. 2017;
4(4): 428-31.
20. Gupta S, Gupta R, Garg R. Partial edentulism and temporomandibular joint
disorder. J of Dent and Med Sciences. 2014; 13(12): 60-3.
21. Grossi D, Chaves T, Oliveira A, Pedro V. Anamnestic Index Severity and Sign and
Symptoms of TMD. The J of Craniomandibular Practice. 2006; 24(2): 1-7.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


89

22. Gaphor S, Hameed S. Prevalence of Severity and Sex Distribution of


Temporomandibular Disorders and Other Related Factors among a Sample of
Sulaimani University Students. J Bagh College Dent. 2010; 22(1): 43-9.
23. Syed RA, Syeda AA, et al. Prevalence of temporomandibular joint disorder in
outpatients at al-badar dental college and hospital and its relationship to age,
gender, occlusion and psychological factors. Jaypee Journals; 2010: 10: 261-268.
24. Roda RP, Bagan JV, et al. Review of temporomandibular joint pathology. Part I:
Classification, epidemiology and risk factor. Medicina Oral. 2007; 12: E295-7.
25. Nomura K, Vitti M, Oliveira AS, et al. Use of The Fonseca’s Questionaire to
Asses the Prevalence and Severity of Temporomandibular Disorders in Brazilian
Dental Undergraduate. Braz Dent J. 2007; 18(2): 163-7
26. Hiltunen K. Temporomandibular Disorders in the Elderly. Academic
Disertation.2004: 29-33.
27. Adiatman M, Ueno M, et al. Functional tooth units and nutritional status of older
people in care homes in Indonesia. Gerondotology 2012.
28. Kamau M. Causes and effects of tooth loss among patients visiting the university
of nairobi dental hospital. Thesis of University of Nairobi. 2010; 5-12.
29. Ulpa J, Priyanto D, Benyamin B. Hubungan kehilangan gigi posterior bilateral
free end Terhadap timbulnya clicking pada sendi temporomandibular. Medali J.
2015. 2(1): 14-7.
30. McGarry TJ, Nimmo A, et al. Classification System for Partial Edentulism. J of
Prost. 2002; 11(3): 181-93.
31. Sanya BO, Ng’Ang’A PM, Ng’Ang’A RN. Cause and Pattern of Missing
Permanent Teeth Among Kenyans. East Am Med J. 2004; 81: 322-325.
32. Kida I. Examining tooth loss, Oral Impacts on Daily Performances and
Satisfaction with Chewing Ability. Thesis of University of Bergen. 2007; 5-17.
33. Montandon A, Zuza E, Toledo B. Prevalence and Reasons for Tooth Loss in a
Sample from a Dental Clinic in Brazil. Int J of Dentistry. 2012; 1-5.
34. Vargas CM, Kramarow EA,Yellowitz JA. The Oral Health of Older Americans.
National Centre For Health Statistic. 200; 1-8.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


90

35. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat : pencegahan dan
pemeliharaan. Medan : USU Press, 2008.
36. Siagian K. kehilangan sebagian gigi pada rongga mulut. Jurnal e-GiGi (eG).
2016; 4(1): 1-6.
37. Nicholls C. Periodontal disease incidence, progression and rate of tooth loss in a
general dental practice: The results of a 12-year retrospective analysis of patient’s
clinical records. British Dent J. 2003; 194(9): 485-8.
38. Maulana E, Adhani R, Heriyani F. Faktor yang mempengaruhi kehilangan gigi
pada usia 35-44 tahun di kecamatan juai kabupaten balangan tahun 2014.
Dentino J Ked. Gigi. 2016; 1(1): 98-103.
39. Zarb GA, Bolender CL. Prosthodontic Treatment for Edentulous Patient Complete
Dentures and Implant-Supported Prosthese. India : Elseiver, 2013; 13th (ed): 1-21
40. Tasya N, Andriany P et al. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Gigi Dan Mulut di Rumah Sakit Gigi Dan
Mulut (RSGM) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. J Caninus Dent. 2016; 1(4):
54-62.
41. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Nasional Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2008: 110-9.
42. Knezovic-Zlataric D, Celebic A, Valentic-Peruzovic M, et al. The Influence of
Kennedy’s Classification, Partial Denture Material and Construction on Patient’s
Satisfaction. Acta Stomatol Croat. 2001; 35(1): 77-81.
43. Wardhana SG, Baehaqi M, Amalina R. Pengaruh Kehilangan Gigi Posterior
Terhadap Kualitas Hidup Individu Lanjut Usia Studi Terhadap Individu Lanjut
Usia Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Dan Panti Wredha Harapan Ibu
Semarang. ODONTO Dent J. 2015; 2(1): 40-5.
44. Online military medical books : Dentist training manual for military dentists
Volume 1. Dental Quadrants (medical.tpub.com/14274/css/14247_63html) (03
Agustus 2017)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


91

45. Shet RGK, Rao S, Patel R, et al. Prevalence of temporomandibular joint


dysfunction and its signs among the partially edentulous patients in a village of
North Gujarat. The J of Contem Dent Practice. 2013; 14(6): 1151-5.
46. Carr AB, McGivney GP, Brown DT. McCracken's Removable Partial
Prosthodontics. 12th Ed. St. Louis: Elsevier Mosby, 2011: 19-23.
47. Malheiros A, Carvalhal S, et al. Association between tooth loss and degree of
temporomandibular disorder: a comperative study. The J of Cont Dent Practice.
2016; 17(3): 235-9.
48. Allen PF, McMillan AS. A Review of the Functional and Pshycosocial Outcomes
of Edentolousness Treated with Complete Replacement Dentures. J Can Dent
Assoc 2003; 69(10) : 662.
49. Leung KC, Pow EH. Oral Rehabilitation with Removable Partial Dentures in
Advanced Tooth Loss Situation. HongKong Dent J. 2009;6:39-45.
50. McMillan AS, Wong MCM. Emotional Effect of Tooth loss in Community-
Dwelling Elderly People in Hongkong. Int J Prosthodont 2004;17:172-6.
51. Perera R, Ekanayake L. Relationship between nutritional status and tooth loss in
an older population from Sri Lanka. Gerodontology 2012: 566-70.
52. Wikipedia. Edentulism. <http:www.wikipedia/edentulism.html> (28 July 2017).
53. Soboleva U, Laurina L, Slaidina A. Masticatory system-an overview. Baltic Dent
Maxillofacial J 2005; 7(3):77-80.
54. Okeson J. Management of Temporomandibular Disorders and Occlusion. 6th(Ed).
2008:7-19, 81-88, 112-113, 140-154, 185-187, 195, 236-240.
55. Norton N S. Temporomandibular joint. In: Netter’s head and neck anatomy for
dentistry. Nebraska: Saunders Elsevier. 2007: 256-65.
56. Malik NA. Textbook of oral and maxillofacial surgery. India: Jaypee Brothers
Medical Publishers Ltd. 2008; 2nd ed: 205-18.
57. Hirakil A, Matsuol K, et al. Teeth Loss and Risk of Cancer at 14 Commons Site in
Japanese. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2008: 17(5); 1222-7.
58. Durham J. Temporomandibular disorders (TMD): an overview. Journal
compilation Blackwell Munksgaard. 2008; 60-8.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


92

59. Tanaka E, et al. Degenerative Disorders of Temporomandibular Joint: Etiology,


Diagnosis, Treatment. J Dent Rest. 2008; 87(4): 296-307.
60. Gauer L, Semidey M. Diagnosis and Treatment of Temporomandibular Disorders.
American Family Physician. 2015; 91(6): 378-86.
61. Coulthard P, et al. Oral and Maxillofacial Surgery, Radiology, Pathology and
Oral Medicine. 1st ed. Elsevier Science Limited. 2003: 229-35.
62. Jerolimov V. Temporomandibular disorders and orofacial pain. Medical Sciences.
2009; 33(2009): 53-73.
63. Suhartini. Kelainan pada temporo mandibular joint (tmj). J.K.G Unej. 2011; 8(2):
78-85.
64. Da Cunba S, et al. Analysis of helkimo and craniomandibular indexes for
temporomandibular disorder diagnosis on rheumatoidarthritis patients. Rev Bras
Otorrinolaringol. 2007; 73(1): 19-26.
65. Liebgott B. The Anatomical Basis Of Dentistry. Mosby Elsevier. 2011; 3rd ed: 269-
91.
66. Gracia A, Gallo A, Zuim P, et al. Evaluation of Temporomandibular Joint Noise
in Partially Edentulous Patients. Acta odontol Latinoam. 2008; 21(1): 21-27.
67. Orbach R, Gonzales Y, et al. Diagnostic Criteria for Temporomndibular Disorder
Clinical Protocol and Assessment Instrument. 2014; 64, 70-76.
68. Habib RS, et al. prevalence and Severity of Temporomandibular Disorder Among
University Students in Riyadh. The Saudi Dent J. 2015; 27: 125-30.
69. Mazzetto MO, Rodrigues CA, et al. severity of Tmd Related To Age, Sex And
Electromyographic Analysis. Braz Dent J. 2014; 25(1): 54-8.
70. Takayama Y, Miura E, et al. Comparison of occlusal condition and prevalence of
bone change in the condyle of patients with and without temporomandibular
disorders, Mosby, Inc. 2008; 105 (1): 106-12.
71. Shubita M. Evaluation Of Partial Edentulism Based On Kennedy's Classification
And Its Relation With Age And Gender. Pakistan Oral & Dent J. 2015; 35(4):750-
2.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai