SKRIPSI
Oleh:
HANNY NATASYA ANSARI
NIM: 130600059
MEDAN 2018
Departemen Prostodonsia
Tahun 2018
ii
TIM PENGUJI
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini selesai disusun sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Gigi Universitas
Sumatera Utara.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada kedua orang tua tercinta, yaitu ayahanda Al Ansari dan ibunda Sri
Azneini yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang, doa, nasehat, semangat
dan dukungan moril maupun materil kepada penulis sehingga penulis tetap
termotivasi dan mampu menyelesaikan penulisan ini. Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada abang penulis Hasmi Farhandani Ansari dan adik penulis Hadid
Fachriansyah Ansari serta segenap keluarga yang senantiasa memberikan semangat
dan dukungan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih
kepada Ricca Chairunnisa, drg., Sp.Pros selaku pembimbing skripsi atas kesabaran
dan waktu yang diberikan untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan saran
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Selanjutnya
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp.RKG (K) selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Syafrinani, drg., Sp.Pros (K) selaku Ketua Departemen Prostodonsia
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan Ketua tim penguji skripsi
yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
3. Prof. Haslinda Z. Tamin, drg., M.Kes., Sp. Pros (K) selaku Koordinator
Skripsi Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara.
vi
vii
viii
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Permasalahan..................................................................... 5
1.3 Rumusan Masalah ............................................................. 6
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................. 7
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................ 7
1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................... 7
1.5.2 Manfaat Praktis ..................................................... 7
ix
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU Berdasarkan
Usia dan Jenis Kelamin ..................................................... 72
5.1.1 Prevalensi Tingkat Keparahan Gangguan Sendi
Temporomandibula Pasien RSGM USU
Berdasarkan Usia ................................................. 72
xi
LAMPIRAN
xii
Tabel Halaman
xiii
Gambar Halaman
1 Kuadran gigi.................................................................................. 14
8 Otot .............................................................................................. 24
xiv
Lampiran
3 Kuesioner Penelitian
9 Analisis Statistik
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
(2008) melaporkan bahwa dari 13 penelitian yang dilakukannya, tercatat dua kali
lebih banyak yang menyatakan adanya hubungan antara oklusi dengan gangguan
sendi temporomandibula. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Luder HU (2002) yang menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara
kehilangan gigi dan sendi temporomandibula.3 Selain itu, berdasarkan penelitian yang
dilakukan Dulcic (2003) ditemukan lebih banyak yang mengalami gangguan STM
pada Eichner kelas B dibandingkan kelas C.8 Saat ini pengaruh dukungan oklusal
sebagai salah satu etiologi gangguan STM juga masih diperdebatkan.8,13,16,17
Berdasarkan penelitian Mundt T dkk (2005) ditemukan adanya hubungan yang
signifikan antara penurunan dukungan oklusal terhadap terjadinya nyeri pada sendi
temporomandibula.16 Hal ini juga didukung oleh Quaker A (2011) yang dalam
penelitiannya juga menunjukkan adanya peningkatan frekuensi tanda dan gejala
gangguan sendi dengan terjadinya penurunan jumlah oklusal dari gigi geligi
posterior.15
Kehilangan gigi sebagian juga diklasifikasikan menurut Klasifikasi Kennedy
pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Edward Kennedy pada tahun 1923.6 Kennedy
mengklasifikasikan kedalam empat macam klas keadaan tidak bergigi, yaitu klas I
Kennedy (posterior bilateral free-end), klas II (posterior unilateral free-end), klas III
dan klas IV (anterior).18 Beberapa penelitian menyatakan bahwa hilangnya dukungan
molar dikaitkan dengan keberadaan dan tingkat keparahan osteoarthritis terhadap
gangguan STM.8,13,15 Berdasarkan penelitian Uhac dkk (2002) yang menyatakan
bahwa risiko terjadinya bunyi pada sendi temporomandibula meningkat secara
signifikan pada individu yang telah kehilangan gigi lebih banyak.19 Bunyi ini terjadi
karena adanya perubahan letak, bentuk, dan fungsi dari komponen sendi
temporomandibula. Bunyi yang dihasilkan dapat bervariasi, mulai dari lemah dan
hanya terasa oleh pasien, hingga keras dan tajam.11 Tingkat keparahan gejala
gangguan STM meningkat seiring dengan berkurangnya jumlah gigi bagi kebanyakan
individu. Nyeri pada sendi juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada sisi dengan
gigi yang paling banyak hilang dan peningkatan risiko gangguan sendi ditemukan
pada individu tanpa dukungan molar.15 Tanda dan gejala gangguan STM menurut
penelitian Vinita Ved (2017) lebih banyak pada klas III Kennedy.19 Selain itu,
perubahan pada bagian anterior akan berdampak pada bagian posterior, yang secara
tidak langsung mempengaruhi kesehatan STM. Tepi insisal gigi anterior mandibula
yang tertahan dengan permukaan lingual gigi anterior maksila dan permukaan lingual
ini menentukan jumlah gerakan vertikal dari mandibula. Panduan anterior ditentukan
oleh tumpang tindih vertikal dan horizontal di antara gigi-gigi anterior. Kehilangan
gigi anterior dapat menimbulkan gangguan pada bagian posterior dengan waktu
disoklusi yang lama.20
Gangguan sendi temporomandibula memiliki etiologi multifaktorial sering
dikaitkan terhadap terjadinya tanda dan gejala gangguan STM,13,21,22 termasuk usia,
jenis kelamin, hilangnya sebagian gigi posterior, gangguan dan ketidakharmonisan
oklusal, beban yang berlebihan, adanya trauma, sistemik, kebiasaan parafungsional,
gangguan emosional, psikosomatik dan psikososial.8,13,16,21 Tanda dan gejala
gangguan STM juga ditemukan pada semua kelompok usia dalam suatu studi
epidemiologi yang mungkin bisa setinggi 88% dan 55% dengan prevalensi rendah
pada anak kecil dan meningkat seiring bertambahnya usia remaja sampai usia dewasa
muda.23 Gangguan STM mempengaruhi semua kelompok usia. Gejala dari gangguan
STM juga lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki.16 Studi
epidemiologi mendokumentasikan frekuensi dan tingkat keparahan gangguan STM
lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki. Akibatnya, gangguan STM empat
kali lebih sering pada perempuan.24
Tingkat keparahan yang terjadi pada sendi temporomandibula dapat diukur
menggunakan kuesioner Fonseca. Kuesioner ini mengelompokkan tingkat keparahan
pada gangguan STM menjadi tidak ada, ringan, sedang dan berat sebanyak 10
pertanyaan yang diberikan pilihan jawaban; tidak pernah, kadang-kadang dan sering.
Kuesioner ini dinilai efisien dan dapat mengelompokkan gangguan dalam tingkat
keparahan STM.17,25 Melakukan pemeriksaan klinis pada sendi temporomandibula
dengan menggunakan dysfunction index yaitu berdasarkan hasil evaluasi lima tanda
klinis gangguan fungsi sendi dan modified mobility index (Helkimo 1974).26
1.2 Permasalahan
Gigi merupakan bagian penting pada tubuh manusia yang berfungsi untuk
mastikasi, estetik, fonetik, dan stogmatognatik. Kehilangan gigi merupakan masalah
gigi dan mulut yang sering ditemukan karena memiliki berbagai faktor penyebab.
Kehilangan satu atau beberapa gigi dapat mengganggu keseimbangan susunan gigi
geligi pada lengkung rahang. Keadaan ini akan mengakibatkan terganggunya
aktivitas fungsional, seperti mastikasi, fonetik dan estetik. Kehilangan gigi juga akan
mengakibatkan disharmonisasi oklusi yang mengakibatkan adanya tekanan berlebih
pada sendi temporomandibula sehingga menimbulkan pergeseran kondilus pada
keadaan yang patologis. Hilangnya sejumlah besar gigi mengakibatkan bertambah
beratnya beban oklusal pada gigi yang masih tinggal sehingga kehilangan gigi pada
tahap lanjut dapat mengganggu fungsi sendi temporomandibula. Berdasarkan
penelitian Okeson (2008) melaporkan bahwa dari 13 penelitian yang dilakukannya,
tercatat dua kali lebih banyak yang menyatakan adanya hubungan antara oklusi
dengan gangguan sendi temporomandibula. Hal ini juga sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Luder HU (2002) yang menunjukkan adanya korelasi
yang kuat antara kehilangan gigi dan sendi temporomandibula. Saat ini pengaruh
dukungan oklusal sebagai salah satu etiologi gangguan STM juga masih
diperdebatkan. Berdasarkan penelitian Mundt T dkk (2005) ditemukan adanya
hubungan yang signifikan antara penurunan dukungan oklusal terhadap terjadinya
nyeri pada sendi temporomandibula. Hal ini juga didukung oleh Quaker A (2011)
yang dalam penelitiannya juga menunjukkan adanya peningkatan frekuensi tanda dan
gejala gangguan sendi dengan terjadinya penurunan jumlah oklusal dari gigi geligi
posterior. Berdasarkan penelitian Uhac dkk (2002) yang menyatakan bahwa risiko
terjadinya bunyi pada sendi temporomandibula meningkat secara signifikan pada
individu yang telah kehilangan gigi lebih banyak. Tanda disfungsi sendi
temporomandibula menurut Shet RGK (2013) menunjukkan bahwa klasifikasi kelas I
Kennedy (bilateral free-end) lebih banyak ditemukan tanda-tanda gangguan STM.
Sedangkan menurut penelitian Vinita Ved (2017) lebih banyak pada klas III
Kennedy. Tingkat keparahan gejala gangguan STM meningkat seiring dengan
berkurangnya jumlah gigi bagi kebanyakan individu. Gejala yang paling sering
ditemukan pada gangguan STM ialah rasa nyeri dari ringan, sedang sampai berat
pada sendi temporomandibula dan sekitarnya. Penelitian yang dilakukan Daroewati
(2003) menunjukkan bahwa 79,3% masyarakat dewasa di Indonesia memiliki
kelainan sendi, dari ringan, sedang hingga berat. Namun, adanya hubungan antara
kehilangan gigi dengan tingkat keparahan gangguan STM masih belum jelas. Hal ini
disebabkan oleh etiologi terjadinya gangguan STM adalah multifaktorial, yakni
banyak faktor resiko yang sering dikaitkan terhadap terjadinya tanda dan gejala
gangguan STM seperti usia dan jenis kelamin. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
melakukan penelitian untuk melihat hubungan dukungan oklusal dan klasifikasi
Kennedy dengan tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula pada pasien
RSGM USU. Alasan memilih RSGM USU sebagai tempat penelitian karena
merupakan tempat yang banyak dikunjungi oleh masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang dibutuhkan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Gigi merupakan salah satu bagian rongga mulut untuk pengunyahan. Jumlah
gigi geligi sangat menentukan efektifitas pengunyahan dan penelanan yang
merupakan langkah awal proses pencernaan.27 Idealnya setiap individu akan
mempertahankan gigi permanennya, tetapi gigi akan lepas atau perlu dilakukan
pencabutan sesuai dengan indikasinya.1
2.1.1 Etiologi
Kehilangan gigi pada satu atau kedua rahang atas dan bawah terjadi akibat
berbagai faktor.28,31 Secara umum kehilangan gigi merupakan hasil dari proses
penyakit sehingga dapat diklasifikasikan sebagai masalah rongga mulut. Kehilangan
gigi geligi lebih sering disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan penyakit
periodontal. Faktor lain seperti trauma, sikap dan karakteristik terhadap pelayanan
kesehatan gigi, faktor sosiodemografi serta gaya hidup juga turut memengaruhi
hilangnya gigi.28,32
pelayanan kesehatan gigi sudah terlambat, sehingga gigi tidak dapat dipertahankan
lagi dan harus dicabut. Sesuai dengan laporan hasil pencatatan dan pelaporan
penderita pengunjung puskesmas (SP2TP) pada akhir pelita V, terlihat tingginya
persentase pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi untuk pencabutan yaitu 79,6%.3,41
Dapat dikatakan bahwa masih rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat
akan pentingnya kesehatan gigi dan mempertahankan fungsi gigi.3,41
Faktor sosiodemografi seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan
tingkat penghasilan merupakan faktor yang juga memengaruhi kehilangan gigi.28,32
Beberapa penelitian menyatakan bahwa umur memiliki hubungan terhadap terjadinya
kehilangan gigi.28,32 Jumlah rata-rata gigi hilang meningkat seiring bertambahnya
umur.28 Berdasarkan data Oral Health US (2002) menunjukkan prevalensi kehilangan
gigi pada usia 25-44 tahun adalah 2%, prevalensi kehilangan gigi pada usia 45-60
tahun adalah 10% dan prevalensi kehilangan gigi pada usia 65-74 tahun adalah
25%.34 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Departemen kesehatan
Republik Indonesia tahun 2013 telah dilaporkan bahwa kehilangan gigi ditemukan
kelompok umur 25-34 tahun sebesar 0,1%, 35-44 tahun sebesar 0,4 %, 45-54 tahun
sebesar 1,8%, 55-64 tahun 5,9% dan pada kelompok umur diatas 65 tahun 17,6%.41
Selain itu, jenis kelamin juga merupakan faktor penyebab kehilangan gigi,28,32
berdasarkan penelitian Anyanechi C, dkk (2012) yang menunjukkan bahwa
perempuan (62.3%) lebih banyak mengalami kehilangan gigi dibandingkan laki-laki
(37.7%).28 Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, berdasarkan RISKESDAS tahun
2013 insiden kehilangan gigi pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.3,41
Selain itu, terdapat hubungan antara kehilangan gigi dengan tingkat
pendidikan. Masyarakat dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki kesadaran
untuk memperbaiki kesehatan rongga mulut, menggunakan fasilitas kesehatan gigi
dan mulut serta gaya hidup yang lebih baik untuk memperhatikan kesehatan rongga
mulut.32
Selama ini banyak sekali ragam klasifikasi yang diciptakan dan digunakan
untuk mengelompokkan kehilangan gigi sebagian.6 Klasifikasi yang ideal untuk
kehilangan gigi sebagian harus mencakup informasi mengenai semua aspek klinis dan
klasifikasi tersebut harus memberikan informasi yang sesuai mengenai keadaan gigi
yang tersisa, gigi antagonisnya, daerah edentulous dan perawatan yang optimal.7
Selain itu, tujuan utama klasifikasi ini agar dokter gigi dapat berkomunikasi sejelas
mungkin, tentang keadaan rongga mulut yang akan dibuatkan gigi tiruan. Pembuatan
klasifikasi dapat membantu mempermudah pemahaman terhadap dasar-dasar atau
prinsip pembuatan desain gigi tiruan.6,7 Sejumlah penelitian juga mengelompokkan
kehilangan gigi berdasarkan jumlah kehilangan gigi, jumlah kuadran kehilangan gigi,
dukungan oklusal dan klasifikasi Kennedy untuk melihat hubungan kehilangan gigi
dengan gangguan sendi temporomandibula (STM).
penurunan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan rongga mulut. Selain
itu, individu lanjut usia dengan kehilangan gigi ≤ 3 gigi posterior tidak mengalami
gangguan, keterbatasan maupun rasa sakit pada fungsi dari rongga mulut maupun gigi
geliginya sedangkan rata-rata individu dengan kehilangan ≥ 3 gigi posterior
mengalami gangguan, keterbatasan dan rasa sakit.43
digunakan saat ini karena sederhana, mudah diaplikasikan pada seluruh kondisi
kehilangan gigi sebagian, dapat segera menentukan tipe kehilangan gigi sebagian, dan
dapat menentukan tipe dukungan GTSL (dukungan gigi atau dukungan gigi dan
mukosa).6 Kennedy membagi kehilangan gigi sebagian menjadi empat macam kelas
keadaan gigi secara umum. Daerah edentulus diluar klasifikasi yang telah ditentukan,
dikategorikan sebagai modifikasi.6,18,46
Klasifikasi Kennedy diuraikan sebagai berikut:6,18,46
1. Klas I : daerah tidak bergigi terletak di bagian posterior dari gigi yang
masih ada dan berada pada kedua sisi rahang (bilateral free-end).
2. Klas II : daerah tidak bergigi terletak di bagian posterior dari gigi yang
masih ada tetapi berada hanya pada salah satu sisi rahang saja (unilateral free-end).
3. Klas III : daerah tidak bergigi terletak di antara gigi-gigi yang masih ada di
bagian posterior maupun anterior dan unilateral.
4. Klas IV : daerah tidak bergigi terletak pada bagian anterior dari gigi-gigi
yang masih ada dan melewati garis tengah rahang.
Gambar 3. Klasifikasi Kennedy: A. Klas I; B. Klas II; C. Klas III; D. Klas IV.18
2.1.3 Dampak
Kehilangan gigi sebagian memiliki dampak emosional, sistemik dan
fungsional. Hilangnya satu atau beberapa gigi dapat mengakibatkan terganggunya
keseimbangan susunan gigi geligi. Bila hal tersebut tidak segera diatasi, maka akan
mengganggu fungsi bicara, pengunyahan maupun estetik serta dapat memengaruhi
kesehatan tubuh secara umum.2,3,32,39
Mass Index (BMI) dan konsentrasi serum albumin pada usia tua dengan status
gangguan fungsi rongga mulut. Hal ini terjadi karena jumlah dan distribusi gigi dalam
rongga mulut sangat memengaruhi efisiensi fungsi pengunyahan.32 Kehilangan gigi
pada orang tua menyebabkan mereka cenderung memilih makanan, dengan
kecenderungan kurangnya mengkonsumsi buah, sayuran yang keras, daging,
makanan rendah serat dan makanan yang mengandung lemak yang tinggi. 2,51 Akibat
dari pemilihan makanan tersebut akan menyebabkan penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular dan yang lainnya.51
Sistem pengunyahan merupakan suatu unit fungsional yang terdiri dari gigi,
jaringan pendukung gigi, sendi temporomandibula, otot-otot termasuk bibir, pipi,
lidah, palatum, sekresi saliva dan peredaran darah serta persarafan. Proses
pengunyahan merupakan fenomena yang melibatkan otot-otot rahang.53 Proses
pengunyahan yang baik dipengaruhi oleh hubungan gigi geiligi rahang atas dan
rahang bawah, sendi temporomandibula, jaringan otot dan persarafannya. Bila
hubungan fungsional semua sistem ini berlangsung baik maka secara keseluruhan
setiap komponen maupun sistem akan berfungsi dengan baik. Sebaliknya, bila salah
satu komponen dalam keadaan tidak baik akan mengakibatkan gangguan sistem
stomatognatik.9 Makanan diteruskan ke rongga mulut setelah dikunyah oleh gigi.
Gigi tersebut mengubah makanan yang tadinya keras menjadi agak lembut dan
lunak.53 Gigi anterior berfungsi untuk memotong makanan, sedangkan gigi posterior
digunakan untuk mengunyah atau menghaluskan makanan.52 Kehilangan gigi juga
merupakan penyebab paling sering pada gangguan fungsi pengunyahan.46 Jumlah gigi
yang sedikit akan menurunkan efisiensi pengunyahan makanan sehingga akan
memengaruhi status makan dan status nutrisi. Kida dkk (2008) melaporkan bahwa
pada individu yang kehilangan gigi posterior akan memiliki empat kali lebih banyak
masalah dalam pengunyahan.32
2.2.1 Anatomi
Sendi temporomandibula (STM), juga dikenal sebagai sendi /artikulasi
kraniomandibular yang sangat khas pada mamalia. Artikulasi ini antara bagian
squamous dari tulang temporal dan kepala kondilus mandibular (Gambar 4).
Artikulasi mandibula disebut sebagai sendi bilateral diarthroidial atau sendi bebas
bergerak. Hal ini juga dianggap sebagai sendi kompleks, karena melibatkan dua sendi
sinovial yang terpisah (kanan dan kiri), di mana terdapat adanya diskus intrakapsular
atau meniskus dan kedua persendian harus berfungsi dalam koordinasi. Artikulasi
STM terdiri dari glenoid atau fossa mandibula, eminensia atau tuberkulum, kondilus,
diskus terpisah, kapsul sendi fibrous dan ekstrakapsul ligamen.
asimetris. Kombinasi condilus datar di satu sisi dengan condilus konveks di sisi lain
adalah yang paling umum. Bagian artikular kondilus ditutupi oleh jaringan
fibrokartilaginosa dan bukan dengan tulang rawan hialin, seperti pada kebanyakan
sendi lainnya di tubuh manusia.56
2.2.1.3 Ligamen
Ligamen ini memanjang ke bawah dan ke belakang dari artikular eminensia
ke sisi luar dan bagian posterior dari leher kondilus. Serabut posteriornya disatukan
dengan serabut kapsular. Ligamen ini terdiri dari serabut kolagen yang memiliki
panjang yang spesifik dan kemampuan yang tidak baik untuk meregang, karena
mempertahankan integritas dan membatasi pergerakan STM. Ini terutama membatasi
perjalanan rahang depan dan mencegah dislokasi posterior, oleh karena itu disebut
'ligamentum cek' STM. Tapi dalam situasi tertentu, jika gerakan sendi secara
konsisten berfungsi melawan ligamen, maka ligamen memanjang dan ini bisa
menciptakan perubahan pada biomekanik sendi dan dapat menyebabkan perubahan
patologis tertentu.56
2.2.1.5 Otot
Pergerakan dari sendi temporomandibula dan rahang dikontrol oleh otot
terutama otot pengunyahan yang terletak di sekitar rahang dan sendi
temporomandibula, seperti otot masseter, otot temporalis, otot pterigoideus medialis
dan otot pterigoideus lateralis. Otot maseter terletak pada lengkung zigomatikus
kearah sudut mandibular. Otot masseter terbagi dua bagian, yaitu bagian superfisial
dan bagian dalam. Fungsi utama otot ini ada pada proses mastikasi dan menutup
mandibular. Otot temporalis terletak pada permukaan lateral tulang temporal ke arah
prosesus koronoideus, dan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu anterior, tengah dan
posterior. Bagian posterior otot temporalis berfungsi dalam retrusi mandibula. Bagian
tengah dari otot temporalis berfungsi dalam elevasi dan retrusi mandibula. Sedangkan
bagian anterior otot temporalis berfungsi dalam membuka mandibula. Otot
pterygoideus medial terletak pada fossa pterygoideus dan meluas ke permukaan
medial dan sudut mandibula yang berfungsi dalam penutupan, protrusi, dan
pergerakan kontralateral dari mandibula. Otot pterigoideus lateral dibagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian inferior dan bagian superior. Otot pterygoideus lateralis inferior
yang terletak pada fossa pterygoideus lateralis ke kondilus yang berfungsi untuk
protrusi dan pembukaan mandibula, sedangkan otot pterygoideus lateralis superior
terletak pada dasar temporal diatas tulang sphenoid ke arah kapsul sendi, diskus
artikularis dan kondilus yang berfungsi dalam retrusi dan penutupan mandibula.54
2.2.1.6 Persyarafan
Sendi temporomandibula dipersarafi oleh nervus mandibula yang merupakan
cabang ketiga dan terbesar dari nervus trigeminus. Nervus ini memberi persyarafan
sensori pada sendi temporomandibula. Cabang-cabang dari saraf mandibula
merupakan persarafan aferen. Ada tiga saraf yang mempersarafi sendi rahang
diantaranya adalah saraf aurikulotemporal, saraf posterior temporal dan saraf maseter.
Saraf aurikulotemporal merupakan yang terbesar mempersarafi bagian posterior,
medial dan lateral dari sendi. Selain saraf aurikulotemporal, saraf temporal dan saraf
masseter juga menginervasi sendi pada bagian anterior. Kedua saraf ini merupakan
saraf motorik tetapi juga mengandung serabut sensori yang terdistribusi pada bagian
anterior dari kapsul sendi temporomandibula.54,56
2.2.2 Fisiologi
Sendi tempromandibula mempunyai peranan penting dalam fungsi fisiologis
pada tubuh manusia. Sendi temporomandibula berfungsi pada saat pengunyahan,
berbicara dan menelan.54 Mandibula mampu melakukan enam gerakan dasar melalui
sendi temporomandibula, yaitu:65
1. Menarik ke Atas/ Menutup Mulut
Gerakan saat dagu berayun ke atas dan ke depan, kondilus bergerak ke
belakang dan ke atas sepanjang artikular eminensia. Sebagaimana permukaan oklusal
mendekati satu sama lain, sendi mandibula ke atas pada sumbu condylar untuk
mencapai oklusi sentris.65 Menarik ke atas/menutup mulut (elevasi) oleh m.maseter,
m. pterigoideus medialis, dan m.temporalis (serabut vertikal).63
2. Menekan ke Bawah/ Membuka Mulut
Gerakan mandibula perlahan-lahan kebawah. Permukaan oklusal gigi
menyimpang, dan dagu berayun ke bawah. Kondilus mengalami sedikit rotasi di
bagian bawah selama pembukaan awal 20 sampai 27 mm. Kemudian kondilus dan
diskus mulai bergerak ke bawah dan ke depan sepanjang eminensia. Saat pembukaan
maksimal tercapai, kondilus menghentikan artikular eminensia. Sumbu rotasi kira-
kira melalui foramina mandibula.65 Menekan ke bawah/membuka mulut oleh gaya
berat, m. milohioideus, m. digastrikus venter anterior, dan m. pterigoideus lateralis
(ketika otot ini menarik kepala mandibula di atas dataran menurun tuberkulum
artikularis).
3. Protrusi/ Proyeksi ke Anterior
Gerakan ketika gigi di oklusi sentris, geser mandibula ke depan, pertahankan
kontak gigi sampai gigitan gigi insisivus end-to-end. Protrusi yang maksimal
menghasilkan gigi seri bawah yang beberapa milimeter di anterior gigi insisivus
rahang atas. Kondilus bergerak ke arah anterior dan inferior di sepanjang kemiringan
posterior artikular eminensia. Gerakan ini terjadi di daerah atas: yaitu, diskus dan
kondilus bersama-sama ke bawah dan ke depan sepanjang artikular eminensia.65
Protusi/proyeksi ke anterior oleh m.pterigoideus lateralis (serabut pterigoideus dapat
juga membantu karena otot ini mempunyai arah anterosuperior).63
4. Retrusi/ Gerakan ke Posterior
Dari posisi protuded, perlahan pindahkan mandibula posterior sambil tetap
menjaga kontak gigi sampai gigi sekali lagi berada dalam posisi sentris. kondilus dan
diskus bergerak ke atas dan ke belakang pada artikular eminensia dan menempati lagi
fosa mandibula.65 Retraksi/gerakan ke posterior oleh m. temporalis (serabut
horisontal).63
5. Gerakan ke Lateral Kiri dan Lateral Kanan
Gerakan dari posisi oklusi sentris, geser gigi ke kanan sambil tetap menjaga
kontak oklusal. lalu geser kembali ke sentrik dan seterusnya ke sisi kiri. Ini adalah
gerakan dasar sisi-ke-sisi, yang memungkinkan kita menggiling makanan.65
Dalam gerakan ke kanan, kondilus kanan bergeser sedikit ke medial dan
kemudian berputar melalui sumbu vertikal. kondilus kiri bergerak ke bawah dan ke
depan sepanjang artikular eminensia. Gerakan lateral yang ekstrem secara fisik tidak
mungkin dilakukan karena gerakan diblokir oleh ramus sisi kontralateral yang
membentur ke segmen bukal maksilaris kontralateral.65
2.3.1 Etiologi
Etiologi dari gangguan STM adalah multifaktorial.19,20,25 Karena etiologi
yang kompleks dan bervariasinya tanda dan gejala yang mungkin menunjukan
patologi yang lain, penampakan dan diferensiasi dari gangguan STM tidak begitu
sinus atau bahkan sumber sakit yang jauh dari mulut dapat menyebabkan timbulnya
respons keterbatasan buka mulut.62
5. Aktifitas parafungsional.
Aktifitas parafungsional adalah semua aktifitas diluar fungsi normal
(seperti mengunyah, bicara, menelan) dan tidak mempunyai tujuan fungsional.
Contohnya adalah bruxism dan kebiasaan–kebiasaan lain seperti menggigit kuku,
pensil, bibir, mengunyah satu sisi, tongue thrust, dan bertopang dagu. Aktifitas yang
paling berat dan sering menimbulkan masalah adalah bruxism termasuk clenching
dan grinding. Bruxism adalah mengerat gigi atau grinding terutama pada malam hari,
sedangkan clenching adalah mempertemukan gigi atas dan bawah dengan keras yang
dapat dilakukan pada siang ataupun malam hari. Pasien yang melakukan clenching
atau grinding pada saat tidur sering melaporkan adanya rasa nyeri pada sendi rahang
dan kelelahan pada otot–otot wajah saat bangun tidur.24,59,62
sendi hanya 7% kasus, namun dengan kejadian gejala yang jauh lebih tinggi: nyeri
wajah pada 7%, nyeri sendi pada 16%, dan nyeri otot pada 25%.24
Usia menjadi faktor resiko, karena frekuensi dan tingkat keparahan penyakit
tampaknya meningkat seiring bertambahnya usia. Misalnya, kandungan kalsium dari
sendi manusia meningkat secara progresif seiring bertambahnya usia. Kenaikan
kalsifikasi ini bisa disebabkan oleh penuaan seperti itu, atau dengan perubahan
tegangan mekanis. Dengan demikian, sifat material sendi juga bisa diperkirakan
terkait dengan usia. Ini menyiratkan bahwa sendi menjadi lebih kaku dan rapuh,
mengurangi kemampuannya untuk menangani kelebihan beban. Kartilago artikular
juga bisa berubah seiring bertambahnya usia. Berat molekul asam hialuronat pada
kartilago artikular manusia menurun dari 2000 menjadi 300 kDa antara usia 2,5 dan
86 tahun. Asam hialuronat pada tulang rawan artikular sangat penting untuk
mempertahankan viskositasnya, dan penurunan berat molekul dapat menyebabkan
berkurangnya sifat biorheologisnya pada tulang rawan.59
struktur otot dan karakteristik yang berbeda dari jaringan ikat.25 Selain itu, diduga
karena reseptor estrogen di persendian temporomandibula pada perempuan
memodulasi fungsi metabolik sehingga menyebabkan kelemahan dari ligamen. Selain
itu, diduga estrogen ini juga meningkatkan stimulasi nyeri.24
2.3.4 Diagnosis
Palpasi dilakukan perkutan maupun peroral dan melibatkan jaringan lunak dan
25
keras. Pada pemeriksaan otot-otot yang dipalpasi diantaranya, otot maseter,
temporalis, pterygoideus lateral, pterygoideus medial dan bagian anterior dari
digastrikus. Otot-otot yang dipalpasi pada ekstra-oral adalah otot temporalis, dan
digastrikus sedangkan otot medial pterygoid dengan palpasi intraoral.12,61 Bagian
lateral dari sendi temporomandibula dipalpasi pada ekstra oral yaitu sekitar 5 mm
anterior dari saluran akustik luar. Palpasi sisi lateral kedua persendian dan palpasi
melalui meatus auditorius eksternal dilakukan untuk mendapatkan kelenturan. Amati
subjek untuk tanda-tanda rasa sakit saat pembukaan atau penutupan mulut.12 Bagian
posterior dari sendi temporomandibula dipalpasi dengan jari kelingking di saluran
akustik dengan meminta pasien untuk membuka dan menutup rahang dalam
mencapai lokasi kepala kondilus yang tepat. Nyeri pada pergerakan mandibula dicatat
dengan meminta subjek untuk membuka mulut secara maksimal serta melakukan
gerakan mandibula ke lateral dan gerakan protusif. Reaksi sakit yang dialami pasien
langsung dilaporkan dan dicatat.12,61
39
2.6 Hipotesis
1. Ho = Tidak ada hubungan dukungan oklusal dengan tingkat keparahan
gangguan sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU.
Ha = Ada hubungan dukungan oklusal dengan tingkat keparahan gangguan
sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU.
2. Ho = Tidak ada hubungan klasifikasi Kennedy dengan tingkat keparahan
gangguan sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU.
Ha = Ada hubungan klasifikasi Kennedy dengan tingkat keparahan
gangguan sendi temporomandibula pada pasien RSGM USU.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.2 Populasi
Populasi penelitian adalah pasien Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM)
Universitas Sumatera Utara.
3.3 Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah nonprobability sampling
dengan teknik purposive sampling. Pengambilan sampel secara purposive didasarkan
pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat peneliti berdasarkan ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Penentuan jumlah sampel menggunakan rumus data proporsi pada satu
populasi. Jumlah sampel yang dibutuhkan berdasarkan hasil perhitungan dengan
melihat proporsi yang digunakan pada kasus ini sebesar 86% dengan tingkat
kemaknaan (α) 0,05.
Keterangan :
n = besar sampel minimum
Z2 1 - α / 2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu
(96% Z α score =1,96)
P = proporsi dari penelitian yang telah ada
(bila tidak ada dianggap 50% atau (0,5)
d = kesalahan yang dapat ditolerir (10%)
Hasil perhitungan :
Jadi jumlah sampel minimal adalah 46 orang pasien yang kehilangan gigi sebagian.
Untuk menghindari terjadinya drop out sampel penelitian maka jumlah
sampel ditambahkan sebesar ±10% dari sampel yang ditentukan. Oleh karena itu
jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 50 orang.
3.5.2 Waktu
3.6.1.2 Bahan
Bahan pada penelitian ini adalah lembar kuesioner
3.6.2.2 Pelaksanaan
1. Subjek penelitian dibawa ke klinik prostodonsia dan didudukkan di dental
unit.
2. Peneliti mencatat identitas subjek dan melakukan pemeriksaan terhadap
rongga mulut subjek.
3. Peneliti memberi penjelasan kepada subjek penelitian mengenai kuesioner
yang akan digunakan pada saat pemeriksaan.
4. Peneliti menjelaskan pada subjek penelitian apa yang akan dilakukan dan
menunjukkan tahap-tahap penelitian.
3.6.2.2.1 Wawancara
1. Peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah
disediakan untuk memperoleh data yang diperlukan.
2. Kuesioner terdiri dari sepuluh pertanyaan mengenai sulit atau tidaknya
membuka mulut, sulit atau tidaknya menggerakkan rahang ke lateral, nyeri pada otot
saat mengunyah, frekuensi sakit kepala, nyeri pada leher atau bahu, nyeri pada area
telinga atau sendi kraniomandibular, bunyi pada daerah sendi, frekuensi
menggertakkan gigi, artikulasi serta perasaaan gugup atau tegang yang dialami.
Setiap pertanyaan pada kuesioner ini terdiri atas 3 pilihan jawaban yaitu; tidak
mengalami, kadang-kadang, dan sering mengalami kelainan. Adapun nilai untuk
penilaian dari ketiga pilihan jawaban tersebut menurut Fonseca’s Questionnaire
sebagai berikut:25,47
- Tidak :0
- Kadang-kadang :5
- Ya : 10
Setiap nilai yang terkumpul dari pilihan jawaban dalam pertanyaan tersebut
dilakukan penjumlahan, sehingga setiap lembar kuisioner yang dijawab oleh sampel
akan menghasilkan kriteria gangguan, yang dibagi dalam 4 kriteria gangguan.
Adapun nilai untuk kriteria kelainan menurut Fonseca’s Questionnaire, sebagai
berikut:
- Tidak ada gangguan sendi temporomandibula : 0−15
- Gangguan sendi temporomandibula ringan : 20−40
- Gangguan sendi temporomandibula sedang : 45−65
- Gangguan sendi temporomandibula berat : 70−100
Oleh karena itu, pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa jika total
skor yang didapat subjek penelitian sebesar 0–15 menunjukkan bahwa subjek
penelitian tidak mengalami gangguan sendi temporomandibula. Namun, apabila
ditemukan total skor yang didapat subjek penelitian sebesar 20–100, maka subjek
penelitian dinyatakan mengalami gangguan sendi temporomandibula.
B
A A
Gambar 12. Pemeriksaan fungsi sendi. A. Auskultasi sendi
temporomandibula; B. Jarak deviasi saat
menutup mulut.67
A A B B C
C B. Daerah tengah;
Gambar 13. Palpasi otot temporalis. A. Daerah anterior;
C. Daerah posterior
A A B B
Gambar 14. Palpasi Otot Masseter. A. Daerah
Origo;
B. Daerah Body
A A B B
Gambar 15. Pemeriksaan otot pterigoid. A. Medial
pterigoid; B. Lateral pterigoid
A A B B
Gambar 16. A. Palpasi pada bagian lateral dan
B. Posterior sendi temporomandibula
A A B B
Gambar 17. Pergerakan mandibula ke lateral kanan (A)
dan pergerakan mandibula ke lateral kiri (B)
Pengolahan data
Analisis data
Kesimpulan
BAB 4
HASIL PENELITIAN
masa manula (>65 tahun) tidak terdapat pasien yang tidak mengalami gangguan
STM, 1 orang (100%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak ada yang
mengalami gangguan STM sedang dan berat. (Tabel 5)
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang terdiri dari pemeriksaan
pembukaan mulut maksimal, pemeriksaan bunyi pada sendi temporomandibula dan
pengukuran besar deviasi, palpasi pada otot, palpasi pada sendi temporomandibula
dan nyeri pada saat pergerakan mandibula diperoleh hasil penelitian bahwa
berdasarkan usia, Depkes RI (2009) membagi pasien ke dalam 6 kelompok, yaitu
dimana tingkat keparahan gangguan STM pada masa remaja akhir (17-25 tahun)
terdapat 13 orang (65,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 6 orang
(30,0%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang (5,0%) pasien
yang mengalami gangguan STM berat. Pada masa dewasa awal (26-35 tahun)
terdapat 2 orang (66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang
(33,3%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang
mengalami gangguan STM berat. Pada masa dewasa akhir (36-45 tahun) terdapat 7
orang (77,8%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 2 orang (22,2%)
pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami
gangguan STM berat. Pada masa lansia awal (46-55 tahun) terdapat 9 orang (75,0%)
pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang (8,3%) pasien yang
mengalami gangguan STM sedang dan 2 orang (16,7%) pasien yang mengalami
gangguan STM berat. Pada masa lansia akhir (56-65 tahun) terdapat 4 orang (80,0%)
pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak ada pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan 1 orang (20,0%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada masa manula (>65 tahun) terdapat 1 orang (100%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, tidak ada yang mengalami gangguan STM sedang
dan berat. (Tabel 5)
60
63
gangguan STM sedang dan tidak ada yang mengalami gangguan STM berat. Pada
klas IV tidak terdapat pasien baik yang tidak mengalami gangguan STM, gangguan
STM ringan, sedang dan berat. (Tabel 7)
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang terdiri dari pemeriksaan
pembukaan mulut maksimal, pemeriksaan bunyi pada sendi temporomandibula dan
pengukuran besar deviasi, palpasi pada otot, palpasi pada sendi temporomandibula
dan nyeri pada saat pergerakan mandibula, menunjukkan dari 50 orang yang
diperiksa ditemukan 33 orang (66%) yang kehilangan gigi pada rahang atas. Sehingga
diperoleh hasil penelitian pada rahang atas berdasarkan klasifikasi Kennedy klas I
terdapat 6 orang (75,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 1 orang
(12,5%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang (12,5%) pasien
yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas II terdapat 7 orang (70,0%) pasien
yang mengalami gangguan STM ringan, 2 orang (20,0%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan 1 orang (10,0%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada klas III terdapat 11 orang (78,6%) pasien yang mengalami gangguan
STM ringan, 2 orang (14,3%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1
orang (7,1%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas IV terdapat 1
orang (100%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, tidak ada pasien yang
mengalami gangguan STM sedang dan berat. Sedangkan pada rahang bawah
rmenunjukkan dari 50 orang yang diperiksa ditemukan 48 orang (96%) yang
kehilangan gigi pada rahang bawah. Sehingga diperoleh hasil penelitian pada rahang
bawah berdasarkan klasifikasi Kennedy klas I terdapat 14 orang (73,7%) pasien yang
mengalami gangguan STM ringan, 3 orang (15,8%) pasien yang mengalami
gangguan STM sedang dan 2 orang (10,5%) pasien yang mengalami gangguan STM
berat. Pada klas II terdapat 6 orang (66,7%) pasien yang mengalami gangguan STM
ringan, 2 orang (22,2%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang
(11,1%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas III terdapat 14
orang (70,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 5 orang (25,0%)
pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang (5,0%) pasien yang
mengalami gangguan STM berat. Pada klas IV tidak terdapat pasien baik yang tidak
mengalami gangguan STM, gangguan STM ringan, sedang dan berat. (Tabel 7)
67
ringan, 2 orang (22,2%) pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang
(11,1%) pasien yang mengalami gangguan STM berat. Pada klas III terdapat 14
orang (70,0%) pasien yang mengalami gangguan STM ringan, 5 orang (25,0%)
pasien yang mengalami gangguan STM sedang dan 1 orang (5,0%) pasien yang
mengalami gangguan STM berat. Pada klas IV tidak terdapat pasien baik yang tidak
mengalami gangguan STM, gangguan STM ringan, sedang dan berat.
Berdasarkan tabel ini, diketahui kebanyakan pasien mengalami gangguan
STM ringan, baik pasien dengan klasifikasi Kennedy rahang atas klas I, II, III dan IV.
Berdasarkan hasil uji chi-square tidak ada hubungan antara klasifikasi Kennedy
rahang atas dengan tingkat keparahan gangguan STM yang ditunjukkan dengan nilai
p=0,993 (p>0,05). (Tabel 10)
Berdasarkan tabel ini, diketahui kebanyakan pasien mengalami gangguan
STM ringan, baik pasien dengan klasifikasi Kennedy rahang bawah klas I, II, dan III.
Berdasarkan hasil uji chi-square tidak ada hubungan antara klasifikasi Kennedy
rahang bawah dengan tingkat keparahan gangguan STM yang ditunjukkan dengan
nilai p=0,923 (p>0,05). (Tabel 10)
BAB 5
PEMBAHASAN
tahun tergolong memiliki gangguan STM ringan lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat keparahan gangguan STM lainnya, seperti sedang dan berat.25 Hal ini
dikarenakan adanya faktor utama berupa faktor psikologis stress yang tinggi pada
usia tersebut, kehilangan gigi, dan restorasi gigi yang disimpulkan menjadi faktor
pemicu terjadinya gangguan STM. Faktor psikologis diketahui berperan dalam
etiologi gangguan STM. Secara khusus, tingginya insiden kehidupan yang stress dan
tingginya tingkat kecemasan dan gejala yang terkait stres telah dilaporkan ada pada
pasien dengan gangguan STM.68
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mazzetto (2013) yang menunjukkan
gejala gangguan STM paling banyak ditemukan pada individu yang berusia 20-40
tahun. Pasien yang berada dalam kategori dewasa muda 20-40 tahun merupakan
individu yang produktif dan cenderung labil sehingga ketika mengalami suatu
masalah, stres dapat memicu terjadinya penurunan kualitas hidup. Hal inilah yang
dapat memicu terjadinya gangguan STM. Peningkatan usia akan merubah standar
hidup dan kapasitas adaptif seorang individu. Mereka yang telah memasuki masa
lansia akhir akan lebih bisa menerima keadaan dalam suatu masalah dan dengan
tenang berusaha mencari solusi yang terbaik sehingga tanda dan gejala TMD menjadi
subklinis (tidak jelas) dan merasakan intensitas yang lebih kecil atau bahkan tidak
terdeteksi, menyebabkan tingkat keparahan yang menjadi tidak jelas.69 Hal ini sesuai
dengan penelitian epidemiologi yang dilakukan Okeson (2013) menunjukkan gejala
TMD paling banyak ditemukan pada individu yang berusia 20-40 tahun54 dan
penelitian yang dilakukan oleh Hiltunen (2004) menyatakan bahwa gejala TMD akan
berkurang sesuai peningkatan umur.26
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Vinita Ved (2017) yang
menunjukkan tanda dan gejala gangguan STM lebih banyak pada klas III Kennedy.19
Hal ini juga didukung oleh penelitian Shubata M (2015) yang menyatakan bahwa
Kennedy klas III paling sering ditemukan pada kedua rahang.71 Beberapa penelitian
juga menunjukkan bahwa ada peningkatan perubahan degeneratif STM pada pasien
muda dengan hilangnya gigi molar dan perpindahan diskus.19 Sebuah literatur
menunjukkan bahwa dalam kasus tidak adanya gigi posterior, kemungkinan
perubahan degeneratif dan perkembangan kelainan temporomandibula meningkat.47
Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Luder HU (2002)
yang menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara kehilangan gigi dan sendi
temporomandibula.3 Beberapa penelitian menyatakan bahwa kehilangan dukungan
molar dikaitkan dengan kehadiran dan tingkat keparahan dari gangguan STM. Resiko
terjadinya bunyi di STM meningkat secara signifikan pada individu yang kehilangan
lebih banyak gigi.19 Hal ini didukung oleh Mundt T, dkk (2005) yang menemukan
bahwa hilangnya gigi posterior akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan
STM.16 Hasil penelitian yang dilakukan Shet RGK (2013) juga menunjukkan adanya
gejala dan tanda gangguan STM dengan hilangnya gigi posterior.45 Nyeri sendi serta
suara sendi akan meningkat secara signifikan dengan penurunan jumlah gigi
posterior. Oleh sebab itu kehilangan gigi, terutama hilangnya gigi posterior dikaitkan
dengan peningkatan gejala gangguan STM.15
kelas B2 yang terdiri dari 2 zona dukungan oklusal dan kelas B3 yang hanya
memiliki 1 zona dukungan oklusal serta kelas B4 yang mana dukungan hanya berada
pada daerah gigi anterior sedangkan pada kelas C adalah tidak ditemukan gigi yang
berkontak antagonis baik anterior maupun posterior.14,66
Dari hasil uji analisis chi-square didapati tidak ada hubungan antara dukungan
oklusal terhadap tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula dengan nilai
p= 0,051 (p>0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hiltunen K (2004)
yang juga menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan oklusal
berdasarkan Eichner Index dengan gangguan sendi temporomandibula. Hal ini
disebabkan kehilangan gigi tidak selalu dapat menggambarkan efektifitas fungsi
sistem mastikasi namun dapat dijadikan indikator kesehatan gigi dan mulut.26 Hal ini
tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mundt T, dkk (2005) menyatakan
bahwa hilangnya dukungan oklusal akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan
STM. Dalam penelitiannya menjelaskan bahwa laki-laki dengan kehilangan
dukungan oklusal memiliki resiko lebih tinggi mengalami gangguan STM
dibandingkan pada perempuan. Perbedaan ini terjadi disebabkan oleh interaksi antara
jenis kelamin dan dukungan oklusal yang saling memengaruhi terhadap timbulnya
tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula.16
Hal ini disebabkan oleh karena etiologi gangguan sendi temporomandibula
merupakan multifaktorial yakni banyak faktor resiko yang sering dikaitkan terhadap
timbulnya tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula. Faktor yang sering
dikaitkan diantaranya adalah jenis kelamin, usia dan kebiasaan parafungsional. Selain
itu, adanya pengaruh emosional yang turut berpengaruh terhadap sensitifitas nyeri
juga merupakan salah satu tanda dan gejala timbulnya gangguan STM.4,13,53 Hal ini
juga didukung oleh Farid (2012) yang menyatakan bahwa gangguan sendi
temporomandibula sendiri adalah multifaktorial. Salah satu faktornya adalah oklusi
yang tidak tepat. Bisa diartikan gangguan sendi temporomandibula bukan hanya
disebabkan oleh hilangnya gigi posterior yang mengakibatkan tidak adanya kontak
oklusal dan dimensi vertikal.29
Dari hasil uji analisis chi-square didapati pada kedua rahang tidak ada
hubungan antara klasifikasi Kennedy terhadap tingkat keparahan gangguan sendi
temporomandibula dengan nilai p masing-masing pada rahang atas sebesar p= 0,993
(p>0,05) dan pada rahang bawah p= 0,923 (p>0,05). Apabila kategori tingkat
keparahan gangguan STM diperkecil menjadi ringan dan berat, maka didapati hasil
uji analisis chi-square pada kedua rahang tidak ada hubungan antara klasifikasi
Kennedy terhadap tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula dengan nilai
p masing-masing pada rahang atas sebesar p= 1,00 (p>0,05) dan pada rahang bawah
p= 0,833 (p>0,05).
Kehilangan gigi posterior akan diikuti dengan hilangnya kontak oklusal yang
dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan oklusi yang akan mengganggu
kestabilan lengkung gigi, keadaan ini menyebabkan struktur sendi temporomandibula
menerima beban yang lebih besar dan apabila terjadi terus menerus dapat
mengganggu sendi temporomandibula sehingga tidak dapat berfungsi secara efektif.
Jika pada keadaan ini gigi atau sendi mendapat tekanan yang besar maka dapat
memicu kerusakan sendi, gigi dan struktur pendukungnya3,4,13,15
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Ulpa (2015) yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kehilangan gigi
posterior bilateral free-end dengan terjadinya clicking pada sendi
12
temporomandibula. Sebuah literatur menunjukkan bahwa dalam kasus tidak adanya
gigi posterior, kemungkinan perubahan degeneratif dan perkembangan kelainan
temporomandibula meningkat.47 Kehilangan gigi posterior juga dapat terjadi
overclosure mandibula yang mengakibatkan kondilus menyimpang dari posisi sentrik
normal sehingga menyebabkan dislokasi sendi temporomandibula.15,20
Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan dengan penelitian Vinita Ved
(2017) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kehilangan gigi dengan
gangguan STM, dimana kehilangan gigi berdasarkan klasifikasi Kennedy klas III
yang banyak ditemukan pada penderita gangguan STM.19 Hal ini juga didukung oleh
penelitian Shet (2013) yang menemukan adanya hubungan gangguan STM terhadap
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Prevalensi tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular pasien
RSGM USU berdasarkan usia dan jenis kelamin
A. Berdasarkan usia:
- Pada usia 17-25 tahun persentase terbesar adalah 65,0% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan
- Pada usia 26-35 tahun persentase terbesar adalah 66,7% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan.
- Pada usia 36-45 tahun persentase terbesar adalah 77,8% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan.
- Pada usia 46-55 tahun persentase terbesar adalah 75,0% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan.
- Pada usia 56-65 tahun persentase terbesar adalah 80,0% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan.
- Pada usia >65 tahun persentase terbesar adalah 100% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan
Gangguan STM berat hanya ditemukan pada kelompok usia 17-25 sebesar
5,0%, usia 46-55 tahun sebesar 16,7% dan usia 56-65 tahun sebesar 20,0%.
B. Berdasarkan jenis kelamin:
- Pada laki-laki persentase terbesar adalah 86,4% yaitu yang mengalami
gangguan STM ringan.
- Pada perempuan persentase terbesar adalah 60,7% yaitu yang
mengalami gangguan STM ringan.
Gangguan STM berat ditemukan pada laki-laki sebesar 4,5% dan pada
perempuan sebesar 10,7%.
6.1 Saran
Tidak adanya hubungan antara gangguan sendi temporomandibula dengan
dukungan oklusal dan klasifikasi Kennedy kemungkinan disebabkan faktor etiologi
gangguan STM adalah multifaktorial sehingga banyak faktor risiko yang dapat
berkontribusi terhadap terjadinya gangguan STM. Selain itu, hasil uji statistik yang
kurang valid diakibatkan distribusi jumlah subjek penelitian tidak merata di setiap
kelompok variabel. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh,
maka dapat disarankan :
DAFTAR PUSTAKA
35. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat : pencegahan dan
pemeliharaan. Medan : USU Press, 2008.
36. Siagian K. kehilangan sebagian gigi pada rongga mulut. Jurnal e-GiGi (eG).
2016; 4(1): 1-6.
37. Nicholls C. Periodontal disease incidence, progression and rate of tooth loss in a
general dental practice: The results of a 12-year retrospective analysis of patient’s
clinical records. British Dent J. 2003; 194(9): 485-8.
38. Maulana E, Adhani R, Heriyani F. Faktor yang mempengaruhi kehilangan gigi
pada usia 35-44 tahun di kecamatan juai kabupaten balangan tahun 2014.
Dentino J Ked. Gigi. 2016; 1(1): 98-103.
39. Zarb GA, Bolender CL. Prosthodontic Treatment for Edentulous Patient Complete
Dentures and Implant-Supported Prosthese. India : Elseiver, 2013; 13th (ed): 1-21
40. Tasya N, Andriany P et al. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Gigi Dan Mulut di Rumah Sakit Gigi Dan
Mulut (RSGM) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. J Caninus Dent. 2016; 1(4):
54-62.
41. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Nasional Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2008: 110-9.
42. Knezovic-Zlataric D, Celebic A, Valentic-Peruzovic M, et al. The Influence of
Kennedy’s Classification, Partial Denture Material and Construction on Patient’s
Satisfaction. Acta Stomatol Croat. 2001; 35(1): 77-81.
43. Wardhana SG, Baehaqi M, Amalina R. Pengaruh Kehilangan Gigi Posterior
Terhadap Kualitas Hidup Individu Lanjut Usia Studi Terhadap Individu Lanjut
Usia Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Dan Panti Wredha Harapan Ibu
Semarang. ODONTO Dent J. 2015; 2(1): 40-5.
44. Online military medical books : Dentist training manual for military dentists
Volume 1. Dental Quadrants (medical.tpub.com/14274/css/14247_63html) (03
Agustus 2017)