Anda di halaman 1dari 4

UTS

MEDIASI

1. Ada beberapa lembaga mediasi di Indonesia yang di khususkan untuk penyelesaian sengketa
antara kedua belah pihak, yaitu: LAPSPI (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan
Indonesia) Lembaga ini bertujuan menjadi alternatif konsumen yang memiliki mah adalah
sengketa besarBAMPI (Badan Arbitrase dan Mediasi Penjamin Indonesia) Lembaga ini
bertujuan membantu masalah konsumen yang berkaitan dengan pegadaian dan pembiayaan.
Termasuk jika konsumen memiliki pengaduan atas tindakan debt collector saat meminta
pembayaran cicilan kredit. BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia) lembaga yang
membantu mengatasi masalah sengketa yang berkaitan dengan pasar modal. BMAI (Badan
Mediasi Arbitrase Indonesia) lembaga yang berada di bawah payung Asosiasi Asuransi Jiwa
Indonesia (AAJI), Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), dan Asosiasi Asuransi Jaminan
Sosial Indonesia (AAJSI).

2. Peran mediator yang sering ditemukan ketika proses mediasi berjalan. Peran tersebut antara
lain: Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diri antara para pihak, Menerangkan
proses dan mendidik para pihak dalam hal komunikasi dan menguatkan suasana yang baik,
Membantu para pihak untuk mengahadapi situasi atau kenyataan, Mengajar para pihak dalam
proses dan ketrampilan tawar menawar, Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting,
dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.

Mediator sebagai penengah dalam suatu proses mediasi mempunyai fungsi tersendiri sebagai
seorang mediator. Fungsi yang dimaksud adalah sebagai berikut:, Memperbaiki kelemahan
komunikasi antara para pihak yang biasanya ada hambatan dan sekat-sekat pikologis,
Mendorong terciptanya suasana yang kondusif untuk memulai negosiasi yang fair, Secara tidak
langsung mendidik para pihak atau memberi wawasan tentang proses dan substansi negosiasi
yang sedang berlangsung., Mengklarifikasi masalah-masalah substansial dan kepentingan
masing-masing para pihak.

3. Langkah-Langkah yang harus dilakukan seorang mediator ketika dihadapkan dengan pihak
yang terkait dengan suasana, spirit dan Logitasi adalah:Menyelenggarakan pertemuan,
Memimpin diskusi, Memelihara atau menjaga aturan agar proses perundingan berlangsung
secara baik, Mengendalikan emosi para pihak, Mendorong para pihak yang kurang mampu atau
segan dalam mengemukakan pandangannya. mediator harus bisa menampilkan peran kuat, yaitu
dengan melakukan:

a. Mempersiapkan dan membuat notulensi pertemuan


b. Merumuskan titik temu atau kesepakatan dari para pihak

c. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukanlah sebuah pertarungan untuk
dimenangkan, tetapi sengketa harus diselesaikan

d. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah

e. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah


f. Membujuk para pihak untuk menerima ususlan tertentu dalam rangka penyelesaian sengketa.

4. Perlu adanya terobosan dalam sistem peradilan pidana untuk mengupayakan adanya mediasi
penal. Adapun latar belakang pemikirannya ada yang dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan
hukum pidana (penal reform), dan ada yang dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar
belakang ide-ide ”penal reform” itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide
restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide
menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini,
khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/alter-
native to custody). Latar belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau
penumpukan perkara (“the problems of court case overload”), untuk penyederhanaan proses
peradilan.

Menurut pemikiran saya bahwa mediasi dapat saja dilakukan pada tingkat penuntutan maupun
pada sidang pengadilan dengan pertimbangan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan
keadilan hukum dengan argumentasi adalah jika mediasi penal dilakukan pada tingkat
penuntutan, asas yang dapat digunakan adalah asas oportunitas yang merupakan ajaran yang
memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk mengenyampingkan perkara, walaupun telah
cukup bukti-buktinya, demi kepentingan umum baik dengan syarat maupun tanpa syarat.
Asas oportunitas secara normatif diatur padal Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan rumusan; Jaksa Agung mempunyai tugas
dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, yang terkenal dengan
sebutan seponering. Sedangkan pada sidang pengadilan mediasi penal dimungkinkan dapat
dilakukan dengan pertimbangan para pihak benar-benar menyadari pentingnya menyelesaikan
konflik melalui musyawarah dengan kesadaran akan manfaat dari perdamaian dan saling
memaafkan, ini pernah dilakukan oleh Hakim Bismar Siregar.

5 (a). Dalam sebuah proses persidangan yang hanya mempertimbangkan fakta hukum dan
tindakan kriminal yang telah dilakukan, maka mediasi penal memiliki tujuan untuk kepentingan
keluarga dan menjaga keluarga bersama terutama untuk kepentingan anak-anak, agama juga
mengajarkan penyelesaian sengketa secara damai. Proses mediasi dilakukan secara tertutup
dan hanya dihadiri oleh pihak terkait dan mediator, yang terikat dengan etika dan kode etik
untuk menjaga kerahasiaan. Proses ini dapat membuat pelaku menghindari hukuman,
stigmatisasi, dan kehidupan penjara, yang cenderung membuat orang menjadi residivis.
Mediasi penengah belum banyak digunakan untuk kasus-kasus KDRT karena tidak ada
perlindungan hukum formal yang memberikan landasan kuat bagi penggunaan mediasi
pemasyarakatan dalam penyelesaian kasus-kasus KDRT. Oleh karena itu akan ada kebutuhan
untuk mengevaluasi kembali dan mengorientasikan kembali undang-undang, yang akan
mengarah pada perlunya reformasi hukum pidana terutama mengenai KDRT.

Restorative justice dapat diimplementasikan dalam penyelesaian perkara melalui Alternative


Dispute Resolution (ADR). ADR merupakan tindakan memberdayakan penyelesaian alternatif di
luar pengadilan melalui upaya damai yang lebih mengedepankan prinsip win-win solution, dan
dapat dijadikan sarana penyelesaian sengketa disamping penyelesaian sengketa melalui proses
pengadilan.

Implementasinya membutuhkan suatu konsep yang memiliki legitimasi dalam aplikasinya,


sebagai wujud aktualisasi dari filosofi tersebut maka konsep tersebut harus dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Dengan adanya pengaturan tentang diskresi kepolisian dalam
Pasal 18 UU Polri sebenarnya telah memberikan pijakan yuridis kepada penyidik Polri untuk
menerapkan filosofi restorative justicedalam penanganan perkara pidana. Karena dengan
diskresi penyidik Polri dapat memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana
yang ditanganinya, salah satu tindakan yang dapat diambil dalam mengimplementasikan
restorative justiceadalah dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

5 (b). Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku KDRT, negara dan masyarakat
wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa
segala bentuk kekerasan, terutama KDRT, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 UndangUndang Dasar Negara RI Tahun
1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
menentukan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi". Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
menentukan bahwa "Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan".

Anda mungkin juga menyukai