Anda di halaman 1dari 36

TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN


CIDERA KEPALA

Disusun oleh

Sunarno G2A221023

Agustina Wulandari Putri G2A221028

Titis Purwanti G2A221029

PROGRAM SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa,

karena atas limpahan kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas

keperawatan medikal bedah dengan topik Asuhan Keperawatan pada Klien dengan

Cidera Kepala. Dalam penyusunan tugas ini tentunya banyak hambatan yang dialami

oleh penulis. Akan tetapi, karena bimbingan, masukan, dan arahan dari banyak pihak,

hambatan tersebut dapat diatasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sangat

mendalam ke beberapa pihak.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sekaligus

meminta maaf atas ketidaksempurnaan tugas ini. Penulis menyadari bahwa masih ada

kesalahan dan kekhilafan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan yang

positif dari berbagai pihak agar bisa berkarya lebih baik lagi. Akhir kata, semoga kita

semua senantiasa diberkahi oleh Allah SWT.

Semarang, 01 April 2022

ii
DAFTAR ISI

KataPengantar.................................................................................................................2
Daftar Isi...........................................................................................................................3
BAB I TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................4
A. Anatomi dan Fisiologgi Otak...................................................................................4
B. Definisi Trauma Kepala ..........................................................................................5

C. Etiologi.....................................................................................................................5

D. Morfologi Trauma Kepala........................................................................................7

E. Patofisiologi.............................................................................................................7

F. Tanda dan Gejala.....................................................................................................9

G. Komplikasi.............................................................................................................10

H. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................10

I. Penatalaksanaan.....................................................................................................11
BAB II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.........................................................14
A. Pengkajian Keperawatan........................................................................................14

B. Pathway Keperawatan............................................................................................22

C. Diagnosa Keperawatan..........................................................................................23

D. Rencana Tindakan Keperawatan............................................................................24


BAB III ANALISIS ARTIKEL....................................................................................31

Daftar Pustaka...............................................................................................................32
Lampiran

iii
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Otak


Otak terletak dalam rongga cranium , terdiri atas semua bagian system saraf pusat (SSP)
diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari cerebrum cerebellum, brainstem, dan limbic
system (Derrickson, B. H., & Tortora, 2013). Otak merupakan organ yang sangat mudah
beradaptasi meskipun neuron-neuron telah di otak mati tidak mengalami regenerasi,
kemampuan adaptif atau plastisitas pada otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak
mengambil alih fungsi dari bagianbagian yang rusak. Otak belajar kemampuan baru, dan ini
merupakan mekanisme paling penting dalam pemulihan stroke (Feign, 2006). Secara garis
besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf
pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut
sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara
SSP dengan bagian tubuh lainnya (Noback, 2005)

Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen bagiannya adalah:
1) Cerebrum Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer kanan dan kiri dan
tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus (celah) dan girus (Ganong, 2003)
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a) Lobus Frontalis Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih
tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer
kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan
volunter di gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi motorik

1
(area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicara,
lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan
inisiatif (Purves, 2004).
b) Lobus Temporalis Mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari
fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis (White, 2008).
Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan
berperan dlm pembentukan dan perkembangan emosi.
c) Lobus parietalis Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran (White, 2008).
d) Lobus oksipitalis Lobus Oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area
asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain &
memori (White, 2008).
e) Lobus Limbik Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi
dan bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan otonom (White, 2008).
2) Cerebellum Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron
dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang penting dalam
fungsi motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima, inputnya 40
kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk
keseimbangan dan tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal
(Purves, 2004).
3) Brainstem Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar. Berhubungan
dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis dibawahnya. Struktur-struktur
fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden traktus
longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12
pasang saraf cranial.

B. Definisi Trauma Kepala


Trauma kepala menurut M. Clevo Rendi, Margareth (2012) yaitu adanya
deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang
tengkorak, merupakan perubahan bentuk yang dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada factor percepatan percepatan dan perlambatan (accelerasi-deceleasi)
serta Rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan(Rendy, M.C, and TH, 2012). Trauma kepala
menurut Morton dalam Arif Muttaqin (2011), merupakan cedera yang meliputi

2
trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Trauma kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial
dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Penderita cedera
kepala seringkali mengalami edema serebri yaitu akumulasi kelebihan cairan di
intraseluler atau ekstraseluler ruang otak atau perdarahan intrakranial yang
mengakibatkan meningkatnya tekanan intrakranial.(Muttaqin, 2011)

C. Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi
akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera
yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang
terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi
(Hickey, 2003)
Penyebab utama terjadinya cedera kepala menurut Taqiyyah Bararah & M Jauhar
(2013) adalah:
1. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan
dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.(Bararah, T dan Jauhar, 2013)
2. Jatuh
Jatuh menurut KBBI didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakkan turun
turun maupun sesudah sampai ke tanah . (Bararah, T dan Jauhar, 2013)
3. Kekerasan
Kekerasan menurut KBBI di defenisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksa).
(Bararah, T dan Jauhar, 2013)

D. Mekanisme Cedera Kepala


Beberapa mekanisme yang timbul terjadi cedera kepala adalah seperti translasi

3
yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu
arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan
kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.
Mekanisme cidera kepala menurut NANDA (2013) meliputi Cedera Akselerasi,
Deselersi, Akselerasi-Deselerasi, Coup-Countre Coup, dan Cedera Rotasional.
(NANDA, 2013)

1. Cedera Akselerasi
Tejadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak, missal, alat
pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala.
2. Cedera Deselerasi
Terjadi jika kepala bergerak membentur objek diam, seperti pada kasus jatuh atau
tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.
3. Cedera Akselerasi-Deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan fisik.
4. Cedera Coup-Countre Coup
Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang
cranial dan denga kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta
area kepala yang pertamakali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul dibagian
belakang kepala.
5. Cedera Rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar di dalam rongga
tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansi
alba serta robeknya pembuluh darah yang menfiksasi otak dengan bagian dalam
rongga tengkorak.

E. Morfologi Cedera Kepala


Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur Kranium
a. Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, dibedakan menjadi
fraktur calvaria dan fraktur basis cranii.
b. Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur
dengan luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur
dengan fragmen tengkorak yang masih intak (Sjamsuhidajat, 2010)

4
2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya
berbentuk bikonveks atau menyerupailensa cembung. Biasanya terletak di area temporal
atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur
tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010)
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Robeknya vena-
vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan penyebab dari perdarahan subdural.
Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan otak
lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan
epidural (Sjamsuhidajat, 2010)
4. Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak
rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi
apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat
terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral
yang membutuhkan tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010)
5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang berlangsung kurang
dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien
mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat
(Sjamsuhidajat, 2010)
6. Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada
dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun,
bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat
tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik.
Gejala tergantung letak frakturnya:
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius
sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri

5
carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan
antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).

c. Fraktur fossa posterior


Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen
magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika
(Ngoerah I Gst.Ng.Gd., 1991)

F. Klasifikasi Cedera Kepala


Cedera kepala dibagi menjadi tiga berdasarkan tingkat keparahannya yaitu cedera
kepala ringan, sedang, berat. Cedera kepala ringan dapat menyebabkan gangguan
sementara pada fungsi otak. Penderita dapat merasa mual, pusing, linglung, atau
kesulitan mengingat untuk beberapa saat. Penderita cedera kepala sedang juga dapat
mengalami kondisi yang sama, namun dalam waktu yang lebih lama. Bagi penderita
cedera kepala berat, potensi komplikasi jangka panjang hingga kematian dapat terjadi
jika tidak ditangani dengan tepat.
Perubahan perilaku dan kelumpuhan adalah beberapa efek yang dapat dialami
penderita dikarenakan otak mengalami kerusakan, baik fungsi fisiologisnya maupun
struktur anatomisnya. Selain itu, cedera kepala juga dapat dibedakan menjadi cedera
kepala terbuka dan tertutup. Cedera kepala terbuka adalah apabila cedera
menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak sehingga mengenai jaringan
otak.Sedangkan cedera kepala tertutup adalah bila cedera yang terjadi tidak
menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak, dan tidak mengenai otak secara
langsung (Muttaqin, 2011)
Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013), ada 2 macam cedera
kepala yaitu:
1. Trauma tajam
Merupakan trauma oleh benda tajam yang menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom
serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.(Andra Saferi Wijaya & Yessie Mariza Putri, 2013)
2. Trauma tumpul
Merupakan trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh

6
(difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk: cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral,
batang otak atau kedua-duanya. (Andra Saferi Wijaya & Yessie Mariza Putri,
2013)
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun
1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran
seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi
membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan
serta tungkai (motor respons). Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok
berdasarkan nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan kriteria:
a. GCS > 13
b. Tidak terdapat kelainan berdasarkan CT scan otak
c. Tidak memerlukan tindakan operasi
d. Lama dirawat di rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan kriteria:
a. GCS 9-13
b. Ditemukan kelainan pada CT scan otak
c. Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intracranial
d. Dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) dengan kriteria:
a. Bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS < 9
(George D, 2009)

G. Patofisiologi
Trauma kranio serebral menyebabkan cedera pada kulit, tengkorak dan jaringan
otak. Ini bisa sendiri atau secara bersama-sama. Beberapa keadaan yang dapat
mempengaruhi luasnya cedera kepala pada kepala antara lain lokasi dari tempat
benturan lansung, kecepatan dan energi yang dipindahkan, daerah permukaan energy
yang dipindahkan, dan keadaan kepala saat benturan.(Widagdo, 2006)
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya.
Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat

7
digerakkan dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal
diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang
mengandung pembuluh- pembuluh besar. Bila robek pembuluh-pembuluh ini sukar
mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah bermakna pada
penderita laserasi kulit kepala. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan
terkoyaknya salah satu dari arteri, perdarahan arteri yang diakibatkan tertimbun dalam
ruang epidural bisa mengakibatkan fatal. Kerusakan neurologik disebabkan oleh suatu
benda atau serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan otak oleh pengaruh
kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan oleh efek akselerasi - deselerasi
pada otak (Bararah, T dan Jauhar, 2013)
Derajat kerusakan yang disebabkan bergantung pada kekuatan yang menimpa,
semakin besar kekuatan maka semakin parah kerusakan yang terjadi. Kerusakan yang
tejadi karena benda tajam berkecepatan rendah dengan sedikit tenaga. Kerusakan
fungsi neurologik terjadi pada tempat tertentu dan disebabkan oleh benda atau
fragmen tulang yang menembus duramater pada tempat serangan. Cedera menyeluruh
sering dijumpai pada trauma tumpul kepala. Kerusakan terjadi waktu energi atau
kekuatan diteruskan ke otak. Banyak energi yang diserap oleh lapisan pelindung yaitu
rambut, kulit kepala dan tengkorak, tetapi pada trauma hebat penyerapan ini tidak
cukup untuk melindungi otak. Bila kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar (pada kecelakaan) kerusakan tidak hanya terjadi akibat cedera setempat pada
jaringan saja tetapi juga akibat akselerasi dan deselerasi (Bararah, T dan Jauhar,
2013)
Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan bergeraknya isi dalam tengkorak
sehingga memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dengan benturan. Apabila bagian otak yang kasar bergerak melewati
daerah krista sfenoidalis, bagian ini akan dirobek dan mengoyak jaringan. Kerusakan
akan diperparah lagi bila trauma juga menyebabkan rotasi tengkorak. Bagian otak
yang akan mengalami cedera yaitu bagian anterior lobus frontalis dan temporalis,
bagian posterior lobus oksipitalis, dan bagian atas mesonfalon. Kerusakan sekunder
terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang
menyebabkan timbulnya efek kaskade yang barakibat merusak otak (Price, 2012)
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran

8
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang
dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25%
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral (Bararah, T dan
Jauhar, 2013)

H. Gejala Cedera Kepala


Gejala yang dialami penderita cedera kepala berbeda-beda, tergantung pada
keparahan kondisi dan lokasi benturan. Tidak semua gejala akan langsung dirasakan
sesaat setelah cedera terjadi. Terkadang gejala baru muncul beberapa hari hingga
beberapa minggu kemudian.
1. Gejala cedera kepala ringan
a. Benjolan atau bengkak di kepala
b. Luka kulit kepala yang tidak dalam
c. Linglung atau memiliki pandangan kosong
d. Pusing berputar atau sakit kepala
e. Mual
f. Mudah merasa lelah
g. Mudah mengantuk dan tidur lebih lama dari biasanya
h. Sulit tidur
i. Kehilangan keseimbangan
j. Sensitif terhadap cahaya atau suara
k. Penglihatan kabur
l. Telinga berdenging
m. Kemampuan mencium atau merasakan berubah
n. Kesulitan mengingat atau berkonsentrasi
o. Depresi
p. Perubahan suasana hati
2. Gejala cedera kepala sedang dan berat
a. Kehilangan kesadaran selama beberapa menit hingga jam
b. Terdapat luka pada kepala yang dalam
c. Terdapat benda asing yang menancap di kepala
d. Sakit kepala parah yang berkepanjangan

9
e. Mual atau muntah secara berkelanjutan
f. Kehilangan koordinasi tubuh
g. Kejang
h. Pelebaran pupil mata
i. Terdapat cairan yang keluar melalui hidung atau telinga
j. Sulit dibangunkan saat tidur
k. Jari-jari tangan dan kaki melemah atau kaku
l. Merasa sangat bingung
m. Perubahan perilaku yang drastis
n. Berbicara cadel
o. Koma
Gejala cedera kepala pada anak dapat terlihat berbeda dan terkadang sulit untuk
dideteksi. Berikut ini adalah beberapa gejala yang dapat menunjukkan kemungkinan
terjadinya cedera kepala pada anak:
1. Menangis secara terus-menerus
2. Kejang
3. Mudah murah
4. Tidak nafsu makan
5. Sulit berkonsentrasi
6. Pola tidur berubah
7. Sering merasa sedih atau depresi
8. Tidak aktif

I. Komplikasi Cedera Kepala


Jika tidak ditangani dengan baik, penderita cedera kepala sedang hingga berat
sangat rentan mengalami komplikasi, baik sesaat setelah trauma atau beberapa minggu
setelahnya. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah:
1. Penurunan kesadaran
2. Vertigo
3. Kejang berulang atau epilepsi setelah trauma
4. Kerusakan saraf dan pembuluh darah
5. Stroke
6. Infeksi, seperti meningitis

10
7. Penyakit degenerasi otak, seperti demensia, penyakit Alzheimer, dan penyakit
Parkinson

J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien cedera kepalayaitu
(Bendinelli, Bivard, Nebauer, & Parsons, 2013, Hurst,2016)
1. Computed Tomography(CT-Scan)
Peran CT scan kepala pada pasien cedera kepala merupakan salah satu
informasi tambahan yang bisa digunakan untuk menentukan kondisi pasien
menggunakan teknologi imaging. CT scan memperlihatkan perbedaan densitas
antara struktur-struktur intrakranial. Densitas serebrum pada CT adalah isodens.
Hematoma epidural dan subdural keduanya hiperdens tetapi seringkali memiliki
bentuk yang berbeda. Hematoma epidural berbentuk lentikular karena kerekatan
dura mater dengan tabula dalam tulang tengkorak pada kedua tepi/ujung lesi.
Hematoma epidural dapat menggeser sistem ventrikuler dan kelenjar pineal.

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI merupakan pemeriksaan structural yang paling sensitive. MRI, sesuai
yang diindikasikan oleh namanya, penggunaan bidang magnet untuk
menggambarkan jaringan otak, yang bertentangan dengan radiasi sinar-X dari
pemindaian CT. MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater.
MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan
salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

11
3. EEG (elektroensafa-logram)
Memantau gelombang otak yang dihasilkan oleh aktivitas listrik, area
kerusakan diotak akan menghasilkan penurunan aktivitas listrik.
4. Angiografi selebral
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sinar X pada sirkulasi serebral.
a. Sebuah kateter dimasukkan melalui arteri femoralis dan naik ke akrteri di
leher
b. Pewarna (berbahan iodin) diinjeksikan kedalam arteri untuk menggambarkan
pembuluh darahserebral.

K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada
tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Terapi
medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat
berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid,
furosemid, barbiturat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera
kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi(Nasution L.F.,
2013)
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan traumatic brain injury menurut Dash
& Chavali (2018), dijelaskan sebagai berikut:
1. Manajemen cairan
Saline adalah kristaloid yang paling umum digunakan pada pasien cedera
kepala, dan yang paling sering menjadi alternatif adalah Ringer Laktat. Solusi

12
kristaloid seimbang mungkin merupakan alternatif yang baik. Namun, pemberian
cairan ini perlu diperhatikan, karena pemberian dalam normal salin dalam jumlah
volume besar dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik yang
merugikanpasien.(Dash, H. and Chavali, 2018)
2. Osmoterapi
Osmoterapi dengan manitol telah digunakan sejak tahun 1960-an
sebagai pengobatan utama untuk peningkatan ICP dan tetap menjadi komponen
pedoman manajemen TBI. Manitol meningkatkan CBF (cerebralblood
flow/aliran darah otak) oleh ekspansi plasma, mengurangi viskositas darah
melalui eritrosit yang terdeformasi, dan meningkatkan diuresis osmotik.(Dash, H.
and Chavali, 2018)
3. Terapi anti konvulsan
Setelah mengalami cedera kepala, aktivitas kejang menghasilkan
peningkatan ICP dan pasokan oksigen yang berubah ke otak yang terluka. Untuk
mencegah cedera otak sekunder, profilaksis kejang perlu diketahui. Pengobatan
dengan phenytoin efektif dalam menurunkan tingkat kejang pasca trauma dalam
7 hari pertama cedera, tetapi tidak peran penting dalam pencegahan kejang pasca
trauma setelah minggu pertama cedera. Perbandingan klinis levetiracetam dan
phenytoin dalam pencegahan profilaksis kejang posttraumatic awal telah
ditemukan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat kejang pasca-
trauma awal di antara pasien yang diobati dengan fenitoin dibandingkan dengan
pasien yang diobati dengan levetiracetam(Dash, H. and Chavali, 2018)
4. Managemen suhu
Dalam praktik klinis, hipertermia dikaitkan dengan prognosis yang lebih
buruk, yang mungkin menyebabkan peningkatan edema dan peradangan.(Dash,
H. and Chavali, 2018)
5. Pembedahan (kraniektomi)
Kraniektomi dekompresi adalah prosedur pembedahan yang melibatkan
pengangkatan sebagian besar tengkorak. Craniectomy dapat mengurangi ICP
dengan memberi ruang ekstra pada otak yang mengalami edema dan mencegah
terjadinya herniasi batang otak.(Dash, H. and Chavali, 2018)
6. Terapi antibiotik
Pasien dengan cedera kepala lebih banyak menerima tindakan invasif dan
perawatan terapeutik, termasuk ventilasi mekanis, sehingga lebih rentan terhadap

13
risiko berkembangnya infeksi. Sumber infeksi perlu untuk diidentifikasi dan
terapi yang tepat yang akan digunakan. Sumber infeksi yang umum adalah
tindakan invasif ICP berkisar dari 1% hingga 27%.(Dash, H. and Chavali, 2018)

14
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal
lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status
perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat.
2. Identitas penanggung jawab
Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir,
pekerjaan, alamat.
3. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran (Muttaqin, 2011) Biasanya klien akan
mengalami penurunan kesadaran dan adanya benturan serta perdarahan
pada bagian kepala klien yang disebabkan oleh kecelakaan ataupun
tindaka kejahatan.
4. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi,
mual dan muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah,
paralysis, perdarahan, fraktur, hilang keseimbangan, sulit
menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bias beristirahat,
kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit system
persyarafan, riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah,
riwayat penyakit sistemik/pernafasan cardiovaskuler, riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol (Arif,

15
2008).
c. Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit menular seperti
hipertensi, diabetes mellitus, dan lain sebagainya.

5. Permeriksaan fisik
a. Tingkat Kesadaran
1) Kuantitatif dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
Tabel 1. Penilaian GCS

No Komponen Nilai Hasil


Verbal 1 Hasil berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, ritihan
1 3 Bicara ngawur/ tidak nyambung
4 Bicara membingungkan
5 Orientasi baik

Motorik 1 Tidak berespon


2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
2 4 Menghindari area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Ikut perintah

Reaksi 1 Tidak berespon


membuka 2 Dengan rangsangan nyeri
3 mata (Eye) 3 Dengan perintah (sentuh)
4 Spontan

(Sumber: Wijaya dan Yessi. 2013, Padila. 2012, NANDA NIC NOC. 2013)

16
2) Kualitatif
1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal,
sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya, nilai GCS: 15 - 14.
2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh,
nilai GCS: 13 - 12.
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi,
kadang berhayal, nilai GCS: 11-10.
4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun,
respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi
jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap,
tetapi ada respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon
kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada
respon pupil terhadap cahaya), nilai GCS: ≤ 3
(Satyanegara, 2010)

b. Fungsi Motorik

17
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang
digunakan secara internasional:
Tabel 2. Kekuatan Otot

Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, bisa terangkat, bisa melawan
gravitasi, namun tidak mampu melawan tahanan
4
pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, terangkat sedikit < 450 , tidak mampu 3
melawan gravitasi
Kelemahan berat, dapat digerakkan, mampu terangkat 2
sedikit
Gerakan trace/ tidak dapat digerakkan, tonus otot ada 1
Tidak ada gerakan 0
(Sumber: Wijaya dan Yessi, 2013)
Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya berkisar
antar 0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera kepala yang dialami
klien.

c. Pemeriksaan Reflek Fisiologi


1) Reflek Bisep
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, dengan
membiarkan lengan untuk beristirahat di pangkuan pasien, atau
membentuk sudut sedikit lebih dari 900 di siku, minta pasien memflexikan
di siku sementara pemeriksa mengamati dan meraba fossa antecubital,
tendon akan terlihat dan terasa seperti tali tebal, ketukan pada jari
pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps brachii, posisi lengan
setengah diketuk pada sendi siku, normalnya terjadi fleksi lengan pada
sendi siku.

18
2) Reflek Trisep
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, secara
perlahan tarik lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk sudut
kanan di bahu atau lengan bawah harus menjuntai ke bawah langsung di
siku, ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi siku
dan sedikit pronasi, normalnya terjadi ekstensi lengan bawah pada sendi
siku.
3) Reflek Patella
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi duduk atau berbaring
terlentang, ketukan pada tendon patella, respon: plantar fleksi kaki karena
kontraksi m.quadrisep femoris.
4) Reflek Achiles
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, kaki
menggantung di tepi meja ujian atau dengan berbaring terlentang dengan
posisi kaki melintasi diatas kaki di atas yang lain atau mengatur kaki
dalam posisi tipe katak, identifikasi tendon mintalah pasien untuk plantar
flexi, ketukan hammer pada tendon achilles. Respon: plantar fleksi kaki
karena kontraksi m.gastroenemius (Arif, 2010).

d. Reflek Patologis
Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus tertentu.
1) Reflek babynski
Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki diluruskan,
tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki tetap
pada tempatnya, lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari
posterior ke anterior, respon: posisitif apabila terdapat gerakan dorsofleksi
ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya.
2) Reflek chaddok
Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis
dari posterior ke anterior, amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari,
disertai mekarnya(fanning) jari-jari kaki lainnya.

19
3) Reflek oppenheim
Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke distal, amati
ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.
4) Reflek Gordon
Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis), amati ada tidaknya
gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki
lainnya.
5) Reflek hofmen tromen
Melakukan petikan pada kuku jari, perhatikan jari yang lain. Normalnya
jari-jari lain tidak bergerak (Arif, 2010).
6. Aspek neurologis
a. Kaji GCS (cedera kepala ringan 14-15, cedera kepala sedang 9-13, cedera
kepala berat 3-8).
b. Disorientasi tempat/waktu
c. Reflek patologis dan fisiologis
d. Perubahan status mental
e. Nervus Cranial XII (sensasi, pola bicara abnormal)
f. Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia, fotophobia, kehilangan sebagian
lapang pandang
g. Perubagan tanda-tanda vital
h. Gangguan pengecapan dan penciuman, serta pendengaran
i. Tanda-tanda peningkatan TIK
1) Penurunan kesadaran
2) Gelisah letargi
3) Sakit kepala
4) Muntah proyektil
5) Pupil edema
6) Pelambatan nadi
7) Pelebaran tekanan nadi
8) Peningkatan tekanan darah systole
7. Aspek kardiovaskuler
a. Perubahan tekanan darah (menurun/meningkat)
b. Denyut nadi (bradikardi, tachi kardi, irama tidak teratur)

20
c. TD naik, TIK naik
8. Sistem pernafasan
a. Perubahan poa nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi
stridor, tersedak
b. Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas
c. Ronki, mengi positif
9. Kebutuhan dasar
a. Eliminasi: perubahan pada BAB/BAK (inkontinensia, obstipasi, hematuri)
b. Nutrisi: mual, muntah, gangguan pencernaan/menelan makanan, kaji bising
usus
c. Istirahat: kelemahan, mobilisasi, kelelahan, tidur kurang
10. Pengkajian psikologis
a. Gangguan emosi/apatis, delirium
b. Perubahan tingkah laku atau kepribadian
11. Pengkajian sosial
a. Hubungan dengan orang terdekat
b. Kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,
disartria, anomia
12. Nyeri/kenyamanan
a. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda
b. Gelisah
13. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan diagnostic
1) X-ray/CT scan
a) Hematom serebral
b) Edema serebral
c) Perdarahan intracranial
d) Fraktur tulang tengkorak
2) MRI: Dengan/tanpa mempengaruhi kontras.
3) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4) EEG: memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
5) BAER (Brain Auditory Evoked Respons): menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
6) PET (Positron Emission Tomograpfy): menunjukan perubahan aktivitas

21
metabolism pada otak.
2. Pemeriksaan laboratorium
1) AGD, PO2, PH, HCO3: untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normaluntuk menjamin aliran
darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat
meningkatkan TIK.
2) Elektrolit serum: cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan
regulasi natrium, retensi Na dapat berakhir beberap hari, diikuti dengan
dieresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
3) Hematologi: leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
4) CSS: menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid (warna,
komposisi, tekana).
5) Pemeriksaan toksikologi: mendeteksi obat yang
mengakibatkan penurunan kesadaran.
6) Kadar Antikonvulsan darah: untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.

22
B. Pathway Keperawatan

Kecelakaan Tembakan Jatuh Kekerasan

Cedera Kepala

Trauma Tajam Trauma Tumpul

Trauma tulang tengkorak


Ruptur Vena Cerebral

Arteri meningen media Otak


Hematoma Subdural rusak
Hematoma Epidural

Hematoma Subdural Hematoma Subdura Hematoma Subdural kronis

Tekanan Intra kranial meningkat Gangguan neurologis


l Vena Ruang subdural Robek Lobus Frontalis Lobus Parietalis Lobus Temporalis Lobus Occipitalis Herniasi
Tentorium
Perubahan Kesadaran,  Gangguan Cerebri
 Gangguan
perubahan Pupil Ketidakefektifan Hematoma dan kerusakan Sel darah  Gangguan Memori,  Gangguan Perabaan penglihatan,
Pendengaran,
Pola nafas  berpikir,  Sensori  Luas lapang
 Bahasa,
 Bicara,  Motorik pandang,
Herniasi Batang Otak Kalsifikasi  Komunikasi
 Motorik,  Pandangan ganda
 Menelan,
Gangguan Pernafasan Tekanan Intra kranial meningkat Merobek membran dan sel darah  Inkontinensia Urine

Gangguan Persepsi sensori


Sesak Nafas, Apnea Kompensasi tubuh Vasokontriksi Hematoma bertambah

Lidah turun, Obstruksi Gangguan autoregulasi Kerusakan Sel saraf Otak


Jalan Nafas
Hematoma Meningkat Kelemahan Motorik
Iskemik Reflex Babinsky (+)
Hemiparese
ketidakefektifan Bersihan
jalan nafas Hipoksia, hipoksemia Tekanan Intra kranial meningkat
Risiko cedera
Hambatan Mobilitas Fisik
PH, PO2 menutrun  Nyeri kepala Progresif
PCO2 mneningkat Risiko Kekurangan volume cairan,  Muntah Proyektil
Risiko Nutrisi kurang dari kebutuhan  Tekanan Darah Meningkat
 Penurunan Kesadaran
Ketidakefektifan Perfusi Jaringan
Cerebral

Sumber: Wijaya, 2013

23
C. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien
dengan cedera kepala antara lain:
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d gangguan
serebrovaskular, edema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak
(TIK).
2. Hipertermia b/d proses penyakit
3. Nyeri akut b/d cedera fisik, peningkatan tekanan intrakranial, dan alat
traksi.
4. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d akumulasi cairan, trauma.
5. Gangguan persepsi sensori b/d penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra cranial.
6. Hambatan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf
motorik.
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.
8. Resiko cedera b/d penurunan tingkat kesadaran, gelisah, agitasi,
gerkan involunter dan kejang.
9. Resiko Ketidakefektifan pola nafas b/d kerusakan neurovaskuler,
obstruksi trakeobronkial, kerusakan medula oblongata.
10. Resiko infeksi b/d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
(NANDA, 2013)

24
D. Intervensi Keperawatan
Tabel 3. Intervensi keperawatan

N DIAGNOSA NOC NIC


O KEPERA
WATAN
1 Ketidakefektifan Dalam jangka waktu a. Kaji tingkat kesadaran
perfusi jaringan 2x24 jam, diharapkan dengan rasional mengetahui kestabilan
serebral b/d perfusi jaringan klien.
gangguan serebral kembali normal b. Pantau status neurologis
serebrovaskular, dengan criteria hasil: secara teratur
edema cerebri, a. Klien melaporkan c. Catat adanya nyeri kepala dan pusing,
meningkatnya aliran tidak dengan tujuan
darah ke otak (TIK). ada pusing atau sakit mengkaji adanya kecenderungan pada
kepala tingkat kesadaran dan risiko
b. Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial (TIK).
peningkatan tekanan d. Tinggikan posisi kepala 15-30 ̊
intracranial dengan tujuan untuk menurunkan
c. Peningkatan tekanan vena jugularis. Pantau tanda-
kesadaran, GCS ≥ 13 tanda vital (TTV); tekanan darah (TD),
d. Fungsi sensori dan suhu, nadi, input dan output, lalu
motorik membaik catat hasilnya dengan tujuan
e. Tidak mual dan peningkatan tekanan darah sistemik
muntah yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah
diastolic serta napas yang tidak
teratur merupakan tanda peningkatan
tekanan intracranial (TIK).
Kolaborasi pemberian oksigen dengan
tujuan mengurangi keadaan
hipoksia. Anjurkan orang terdekat untuk
berbicara dengan klien dengan
tujuan ungkapan keluarga yang
menyenangkan klien tampak
mempunyai efek relaksasi pada klien
yang akan menurunkan tekanan
intracranial (TIK)
2 Nyeri akut b/d Setelah dilakuan a. Kaji keluhan nyeri, catat intensitasnya,
cedera fisik, tindakan keperawatan lokasinya dan lamanya dengan tujuan
peningkatan tekanan selama 2x24 jam rasa mengidentifikasi karakteristik
intrakranial, dan alat nyeri dapat berkurang/ nyeri merupakan faktor yang penting
traksi. hilang dengan kriteria untuk menentukan terapi yang
hasil: cocok serta mengevaluasi keefektifan
a. Skala nyeri dari terapi.
berkurang 3-1 b. Catat kemungkinan
b. Klien mengatakan patofisiologi yang khas, misalnya
nyeri mulai adanya infeksi, trauma servikal

25
berkurang dengan tujuan pemahaman terhadap
c. Ekspresi penyakit yang mendasarinya
wajah klien rileks. membantu dalam memilih intervensi
yang sesuai.
c. Berikan tindakan
kenyamanan, misal pedoman imajinasi,
visualisasi, latihan nafas dalam,
berikan aktivitas hiburan, kompres
dengan tujuan menfokuskan kembali
perhatian, meningkatkan rasa kontrol
dan dapat meningkatkan koping,
tindakan alternatif mengontrol nyeri.
d. Kolaborasi dengan pemberian obat
anti nyeri, sesuai indikasi misal, dentren
(dantrium) analgesik;
antiansietas missal diazepam (valium)
dengan tujuan dibutuhkan untuk
menghilangkan spasme/nyeri otot atau
untuk menghilangkan ansietas
dan meningkatkan istirahat.
3 Ketidakefektifan Jalan nafas efektif, a. Kaji fungsi napas
bersihan jalan nafas dibuktikan dengan auskultasi bunyi suara nafas.
b/d akumulasi kriteria hasil: b. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea,
cairan, trauma a. Mendemontatrasikan penghisapan
batuk efektif dan sesuai keperluan.
suara nafas yang c. Berikan oksigen untuk memenuni
bersih, tidak ada kebutuhan oksigen
sianosis dan dyspneu d. Gunakan
(mampu alat yang steril setiap melakukan
mengeluarkan tindakan
sputum, mampu e. Anjurkan pasien untuk istirahat dan
bernafas dengan napas
mudah tidak ada f. Ajarkan keluarga pentingnya untuk
pursed lips). tidak meroko dalam ruang perawatan
b. Menunjukkan g. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
jalan nafas yang ventilasi
paten (klien tidak h. Keluarkan sekret dengan batuk
merasa tercekik, atau suction
irama nafas, i. Auskultasi suara nafas,catat adanya
frekuensi suara tambahan.
pernafasan dalam j. Berikan pelembab udara
rentang normal, tidak kassa basah NaCl lembab
ada suara nafas k. Atur intake untuk cairan
abnormal). mengoptimalkan keseimbangan
c. Mampu dan pemberian obat sesuai indikasi.
mengindentifikasikan
dan mencegah faktor
yang dapat
menghambat jalan
nafas.

26
4 Gangguan persepsi Fungsi persepsi sensori a. Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan,
sensori b/d kembali normal setelah panas/
penurunan dilakukan dingin, benda tajam/tumpul dan
kesadaran, perawatan selama 3x 24 kesadaran terhadap gerakan dengan
peningkatan tekanan jam dengan kriteria tujuan semua sistem sensori dapat
intra cranial hasil: terpengaruh dengan adanya
a. Mampu mengenali perubahan yang melibatkan peningkatan
orang dan atau penurunan sensitivitas
lingkungan sekitar atau kehilangan sensasi untuk menerima
b. Mengakui adanya dan berespon sesuai dengan
perubahan dalam stimuli.
kemampuannya. b. Evaluasi secara teratur perubahan
orientasi, kemampuan berbicara, alam
perasaan, sensori dan proses pikir dengan
tujuan fungsi
cerebral bagian atas biasanya terpengaruh
lebih dahulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi, perubahan
persepsi sensori motorik dan
kognitif mungkin akan berkembang dan
menetap dengan perbaikan
respon secara bertahap.
c. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan,
gunakan kalimat pendek dan sederhana,
pertahankan kontak mata
dengan tujuan pasien mungkin mengalami
keterbatasan perhatian atau
pemahaman selama fase akut dan
penyembuhan. Dengan tindakan ini
akan membantu pasien untuk memunculkan
komunikasi.
d. Berikan
lingkungan terstruktur rapi, nyaman dan
buat jadwal untuk klien jika mungkin dan
tinjau kembali dengan tujuan pasien
mungkin mengalami
keterbatasan perhatian atau pemahaman
selama fase akut dan
penyembuhan. Dengan tindakan ini akan
membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
e. Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi
okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif
dengan tujuan pendekatan
antar disiplin ilmu dapat menciptakan
rencana panatalaksanaan
terintegrasi yang berfokus pada masalah
klien.
5 Hambatan mobilitas Pasien dapat melakukan a. Periksa kembali kemampuan dan
fisik b/ d spastisitas mobilitas fisik setelah keadaan secara fungsional pada
kontraktur, mendapat kerusakan yang terjadi dengan tujuan
kerusakan saraf perawatan dengan kriteri mengidentifikasi kerusakan secara
motorik hasil: fungsional dan mempengaruhi pilihan

27
a. Tidak adanya intervensi yang akan dilakukan.
kontraktur, footdrop, b. Berikan bantuan untuk latihan rentang
b. Ada gerak dengan tujuan
peningkatan mempertahankan mobilitas dan fungsi
kekuatan dan fungsi sendi/ posisi normal ekstrimitas
bagian tubuh yang dan menurunkan terjadinya vena statis.
sakit c. Bantu pasien dalam program
c. Mampu latihan dan penggunaan alat mobilisasi,
mendemonstrasikan tingkatkan aktivitas dan
aktivitas yang partisipasi dalam merawat diri sendiri
memungkinkan sesuai kemampuan dengan tujuan
dilakukannya. proses penyembuhan yang lambat
seringkali menyertai trauma kepala
dan pemulihan fisik merupakan bagian
yang sangat penting, keterlibatan
pasien dalam program latihan sangat
penting untuk meningkatkan kerja
sama atau keberhasilan program.
6 Ketidakseimbangan Pasien tidak mengalami a. Kaji kemampuan
nutrisi kurang dari gangguan nutrisi setelah pasien untuk mengunyah dan menelan,
kebutuhan tubuh b/d dilakukan batuk dan mengatasi sekresi
kelemahan otot perawatan selama 3 x 24 dengan tujuan faktor ini menentukan
untuk menguyah jam dengan kiteria hasil: terhadap jenis makanan sehingga
dan menelan a. Tidak mengalami pasien harus terlindung dari aspirasi.
tanda- tanda mal b. Auskultasi bising usus, catat
nutrisi dengan nilai adanya penurunan/hilangnya atau suara
laboratorium dalam hiperaktif dengan tujuan bising usus
rentang normal membantu dalam menentukan respon untuk
dan peningkatan makan atau
berat badan sesuai berkembangnya komplikasi seperti paralitik
tujuan. ileus.
c. Jaga keamanan saat
memberikan makan pada pasien, seperti
meninggikan kepala selama
makan atau selama pemberian makan lewat
nasogastric tube (NGT)
dengan tujuan menurunkan regurgitasi dan
terjadinya aspirasi.
d. Berikan
makan dalam porsi kecil dan sering dengan
teratur dengan tujuan
meningkatkan proses pencernaan dan
toleransi pasien terhadap nutrisi
yang diberikan dan dapat meningkatkan
kerjasama pasien saat makan,
dan kolaborasi dengan ahli gizi dengan
tujuan metode yang efektif
untuk memberikan kebutuhan kalori.
7 Resiko cedera b/d Knowledge : Personal Environmental Management safety
penurunan tingkat Safety 1) Sediakan lingkungan yang aman untuk
kesadaran, gelisah, b. Safety Behavior : Fall pasien.
agitasi, gerkan Prevention 2) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,

28
involunter dan c. Safety Behavior : Fall sesuai dengan kondisi
kejang occurance fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat
d. Safety Behavior : penyakit terdahulu
Physical Injury pasien.
e. Tissue Integrity: Skin 3) Menghindarkan lingkungan yang
and Mucous Membran berbahaya (misalnya
Kriteria hasil : memindahkan perabotan).
a. Pasien terbebas dari 4) Memasang side rail tempat tidur.
trauma fisik 5) Menyediakan tempat tidur yang nyaman
b. Lingkungan rumah dan bersih.
aman 6) Menempatkan saklar lampu ditempat
c. Perilaku pencegahan yang mudah dijangkau
jatuh pasien.
d. Dapat mendeteksi 7) Membatasi pengunjung.
resiko 8) Memberikan penerangan yang cukup.
e. Pengendalian resiko : 9) Menganjurkan keluarga untuk menemani
penggunaan alkohol, pasien.
penggunaan 10) Mengontrol lingkungan dari
narkoba, pencahayaan kebisingan.
sinar matahari 11) Memindahkan barang-barang yang
f. Pengetahuan dapat membahayakan.
keamanan terhadap anak 12) Berikan penjelasan pada pasien dan
keluarga atau pengunjung
adanya perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.
8 Resiko Setelah dilakukan a. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi,
Ketidakefektifan tindakan keperawatan irama nafas,
pola nafas b/d selama 2x24 jam adanya sianosis.
kerusakan diharapkan pola nafas b. Kaji suara nafas tambahan (rongki,
neurovaskuler, efektif dengan kriteria mengi, krekels)
obstruksi hasil: dengan tujuan hipoventilasi biasanya
trakeobronkial, a. Klien tidak terjadi atau menyebabkan
kerusakan medula mengatakan sesak akumulasi/atelektasi atau pneumonia
oblongata nafas, retraksi (komplikasi yang sering terjadi).
dinding dada tidak c. Atur posisi klien dengan posisi semi
ada, dengan tidak fowler 30 derajat
ada otot-otot dinding d. Berikan posisi
dada, pola nafas semiprone lateral/miring, jika tak ada
reguler, kejang selama 4 jam pertama.
b. Respiratory rate e. Rubah posisi miring atau terlentang tiap
(RR) 16-24 x/menit 2 jam dengan tujuan
c. Ventilasi adekuat meningkatkan ventilasi semua bagian
bebas sianosis dengan paru, mobilisasi serkret
gas darah mengurangi resiko komplikasi, posisi
analisis (GDA) dalam tengkulup mengurangi kapasitas
batas normal pasien vital paru, dicurigai dapat menimbulkan
d. Kepatenan jalan nafas peningkatan resiko terjadinya
dapat gagal nafas.
dipertahankan.
f. Anjurkan pasien untuk minum hangat
(minimal 2000

29
ml/hari) dengan tujuan membantu
mengencerkan sekret, meningkatkan
mobilisasi sekret/ sebagai ekspektoran.
g. Kolaborasi terapi oksigen sesui
indikasi dengan tujuan memaksimalkan
bernafas dan menurunkan kerja
nafas, mencegah hipoksia, jika pusat
pernafasan tertekan, biasanya
dengan menggunakan ventilator
mekanis.
h. Lakukan section dengan hati-
hati (takanan, irama, lama) selama 10-15
detik, catat, sifat, warna dan
bau secret dengan tujuan penghisapan
yang rutin, beresiko terjadi
hipoksia, bradikardi (karena respons
vagal), trauma jaringan oleh
karenanya kebutuhan penghisapan
didasarkan pada adanya
ketidakmampuan untuk mengeluarkan
secret.
i. Kolaborasi dengan
pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
dan tekanan oksimetri dengan
tujuan menyatakan keadaan ventilasi
atau oksigen, mengidentifikasi
masalah pernafasan, contoh:
hiperventilasi (PaO2 rendah/ PaCO2
mengingkat) atau adanya komplikasi
paru, menentukan kecukupan
oksigen, keseimbangan asam-basa dan
kebutuhan akan terapi.
9 Resiko infeksi b/d Tidak terjadi infeksi a. Berikan perawatan aseptic dan
jaringan trauma, setelah dilakukan antiseptic.
kerusakan kulit tindakan keperawatan b. Pertahankan teknik cuci tangan dengan
kepala selama 3x 24 jam tujuan cara pertama untuk
dengan kiteria hasil: menghindari nosokomial infeksi,
a. Bebas tanda-tanda menurunkan jumlah kuman pathogen.
infeksi, c. Observasi daerah kulit yang mengalami
mencapai kerusakan, kaji keadaan luka
penyembuhan luka d. Catat adanya kemerahan, bengkak, pus
tepat waktu dan daerah yang terpasang alat invasi
suhu tubuh dalam dan tanda-tanda vital (TTV) dengan
batas tujuan deteksi dini perkembangan
normal (36,5- infeksi memungkinkan untuk melakukan
37,5OC). tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya
e. Monitoring adanya
infeksi.

30
f. Anjurkan klien untuk memenuhi nutrisi
dan hidrasi yang
adekuat dengan tujuan meningkatkan
imun tubuh terhadap infeksi.
g. Batasi pengunjung yang dapat
menularkan infeksi dengan tujuan
menurunkan pemajanan terhadap
pembawa kuman infeksi.
h. Pantau hasil
pemeriksaan lab, catat adanya
leukositosis dengan tujuan leukosit
meningkat pada keadaan infeksi
i. Kolaborasi pemberian atibiotik
sesuai indikasi dengan tujuan menekan
pertumbuhan kuman pathogen.

(Sumber: NOC. 2013; NIC. 2013)

31
BAB III
ANALISIS ARTIKEL

A. Judul
Pengaruh Posisi Head Up 30 Derajat terhadap Nyeri Kepala pada Pasien Cedera Kepala Ringan
B. Tujuan
Mengetahui pengaruh posisi head up 30 derajat terhadap nyeri kepala pada pasien cedera
kepala ringan.
C. Desain Penelitian
Quasi Experimental dengan pendekatan Pretest Post test One Group Design
D. Tempat Penelitian
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
E. Jumlah Responden
22
F. Hasil Uji Statistik
Uji statistik menggunakan uji dependen t-test menunjukkan ada pengaruh posisi head up 30
derajat terhadap nyeri kepala pada cedera kepala ringan (P value = 0,002; α<0,05)
G. Kesimpulan
Penelitan ini dapat menjadi salah satu intervensi keperawatan yang dilakukan oleh perawat
untuk mengatasi nyeri pada pasien cedera kepala ringan.

32
DAFTAR PUSTAKA

Andra Saferi Wijaya & Yessie Mariza Putri. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah
Keperawatan Dewasa. Nuha Medika.
Bararah, T dan Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat
Profesional. Prestasi Pustakaraya.
Dash, H. and Chavali, S. (2018). Management of traumatic brain injury patients. Korean
Journal of Anesthesiology, 71(1), 12.
Derrickson, B. H., & Tortora, G. J. (2013). Principle of anatoomy and physiology (14th ed.).
Wiley.
Feign, V. (2006). Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke. PT.
Bhuana Ilmu Populer.
Ganong, W. F. (2003). Fisiologi Saraf & Sel Otot Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (H. M.
Djauhari & Widjajakusuma (eds.); 20th ed.). EGC.
George D. (2009). Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. EGC.
Hickey, V. J. (2003). The Clinical Practice Of Neurological and Neurosurgical Nursing (4th
ed.).
Muttaqin, A. (2011). Asuhan keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
Salemba Medika.
NANDA, N. N. (2013). Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional (Edisi
Revi). Mediaction publishing.
Nasution L.F. (2013). Stroke Non Hemoragik pada Laki-Laki Usia 65 Tahun. Medula Unila,
1(3), 1–9.
Ngoerah I Gst.Ng.Gd. (1991). Dasar Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga University Press.
Noback, R. C. (2005). The Human Nervous System - Structure and Function (6th ed.).
Humana Press.
Price, W. (2012). Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. EGC.
Purves. (2004). Neuroscience: Third Edition. Sinauer Associates, Inc.
Rendy, M.C, and TH, M. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam.
Nuha Medika.
Satyanegara. (2010). Ilmu Bedah Syaraf. Edisi ke-4. (4th ed.). PT Gramedia Pustaka Umum.
Sjamsuhidajat, R.-D. J. e. al. (2010). Buku Ajar Bedah (3rd ed.). EGC.
Widagdo, W. (2006). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Persyarafan. WK.

33

Anda mungkin juga menyukai