Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh


tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama, yang
ditandai adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sebagai akibat langsung dari
tingginya tekanan darah tersebut1. Sebab utama penyakit jantung hipertensi
adalah tekanan darah yang meningkat dan berlangsung kronik. Tekanan darah
tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan berjalannya
waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung
memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah,
ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap
menitnya (cardiac output) berkurang. Tanpa adanya terapi, gejala gagal
jantung akan semakin terlihat2.
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gagal
jantung kongestif adalah keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal
jantung dan mekanisme kompensatoriknya3. Gagal jantung kongestif lebih
banyak terjadi pada usia lanjut. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa
gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari
mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85
tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, maka jumlah
orang yang didiagnosis gagal jantung juga meningkat. Di Amerika Serikat,
hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000
kasus baru setiap tahunnya4.
Berdasarkan data-data yang telah ada, penyakit jantung kongestif yang
disebabkan oleh penyakit jantung hipertensi akan menyebabkan permasalahan
yang signifikan bagi masyarakat global dan bukan tidak mungkin dalam kurun
beberapa tahun kedepan angka statistik ini akan bergerak naik apabila para
praktisi medis tidak segera memperhatikan faktor risiko utama yang menjadi

1
awal mula penyakit ini. Penanganan penyakit gagal jantung kongestif ditinjau
dari segala aspek, baik secara biomedik maupun biopsikososial. Oleh karena
itu, penulis melaporkan kasus gagal jantung kongestif ec penyakit jantung
hipertensi + hipertensi derajat 2 + hiperuremia asimptomatik sebagai bentuk
tanggung jawabnya sebagai praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini
lebih mendalam sebelum dapat mengaplikasikan penatalaksanaan secara tepat.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI
 Nama : Tn. AM
 Umur : 60 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Alamat : Jln. Rasid Sidik Gg. Pelita no.1188,
Seberang Ulu 1, Kota Palembang
 Status : Menikah
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Pedagang
 MRS : 14 Mei 2011

B. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 14 Mei


2011)
Keluhan Utama
Sesak nafas yang semakin berat sejak ± 1 hari SMRS.

Riwayat perjalanan penyakit


± 7 hari SMRS, os mengeluh sesak nafas. Sesak nafas dipengaruhi posisi,
sesak bila berbaring, berkurang bila os duduk, dan sering terbangun di malam hari
karena sesak. Sesak juga berkurang apabila os tidur dengan bantal tinggi (2
bantal). Sesak tidak disertai bunyi mengi. Sesak tidak dipengaruhi cuaca ataupun
emosi. Os juga mengeluh batuk berdahak berwarna putih @ 1 sendok makan.
Keluhan demam dan nyeri dada disangkal. Kaki kanan dan kaki kiri os mulai
membengkak. Nafsu makan berkurang. Mual (-), muntah (-). BAB dan BAK
biasa. Os lalu berobat ke dokter spesialis dan diberi 4 macam obat namun os lupa
nama dan warna obatnya. Setelah meminum obat tersebut, keluhan sesak
dirasakan berkurang.

3
± 1 hari SMRS, os mengeluh sesak nafas yang semakin berat. Sesak nafas
dipengaruhi posisi, sesak bila berbaring dan berkurang bila os duduk. Os tidak
bisa tidur karena sesak. Os tidur dengan bantal tinggi, 2-3 bantal. Os mengeluh
sering bangun di tengah malam karena sesak. Sesak tidak disertai bunyi mengi.
Sesak tidak dipengaruhi cuaca ataupun emosi. Os juga mengeluh batuk berdahak
berwarna putih @ 1 sendok makan. Keluhan demam dan nyeri dada disangkal.
Kaki kanan dan kiri os masih membengkak. Nafsu makan berkurang. Mual dan
muntah tidak ada, BAK dan BAB biasa. Os kemudian berobat ke RS
Muhammadyah, kemudian dirujuk ke RSMH Palembang. Os dirawat di IRD
RSMH Palembang selama 5 hari, kemudian os dirawat di bangsal RSMH
Palembang.

Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat penyakit paru disangkal
- Riwayat minum obat yang diminum selama 6 bulan disangkal
- Riwayat merokok (+) sejak 15 tahun yang lalu, 1 bungkus rokok per hari
- Riwayat darah tinggi (+), tidak terkontrol. Tekanan darah sistolik tertinggi
180 mmHg

Riwayat penyakit keluarga


- Adik kandung dan anak os juga mengidap penyakit darah tinggi

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sesak
Keadaan sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Dehidrasi : (-)
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 100x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 28x/menit, thorakoabdominal, reguler

4
Suhu : 36,5° C
Berat Badan : 52 kg
Tinggi Badan : 162 cm
IMT : 19,8

Keadaan Spesifik
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-),scar (-), ikterus pada kulit (-), sianosis (-),
spider nevi (-), pucat pada telapak tangan dan kaki (-), pertumbuhan rambut
normal.

KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula
serta tidak ada nyeri penekanan.

Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, deformasi (-).

Mata
Eksophtalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra
pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, reflek cahaya normal, pergerakan mata ke
segala arah baik.

Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung (-).

Telinga
Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus (-), pendengaran baik.

5
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah
(-), stomatitis (-), rhageden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan.
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP (5+2) cmH 2O, kaku kuduk (-),
pembesaran m.sternocleidomastoideus (-)

Dada
Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)

Paru-paru
I : Statis, dinamis simetris kanan = kiri, sela iga tidak melebar
P : Stemfremitus kanan = kiri
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A: Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) pada kedua basal paru,
wheezing (-)

Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis tidak teraba
P : Batas jantung atas ICS II
Batas jantung kanan linea sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Batas bawah jantung ICS VI
A : HR = 100x/menit reguler, murmur (-), gallop (-)

6
Perut
I : Datar, venektasi (-)
P : Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae tepi
tumpul permukaan rata konsistensi kenyal, lien tidak teraba
P : timpani, nyeri ketok (-), shifting dullness (-)
A : Bising Usus (+) normal

Alat kelamin : tidak ada kelainan

Extremitas atas
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan
parut (-), pigmentasi normal, akral hangat, jari tabuh (-), turgor kembali cepat,
clubbing finger (-).

Extremitas bawah
Eutoni, eutrophi, gerakan extremitas inferior sinistra terbatas, kekuatan +5, nyeri
sendi (-), edema pretibial (+), pitting edema (+), jaringan parut (-), pigmentasi
normal, akral hangat, clubbing finger (-), turgor kembali cepat.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (12 Mei 2011)
Darah rutin:
Hb : 10,1 gr/dl (N=14-18 g/dl)
Ht : 30 vol% (N=40-48 vol%)
LED : 20 mm/jam (N=<10 mm/jam)
Leukosit : 15000/mm3 (N=5000-10000/mm3)
Trombosit : 488000/mm3 (N=200.000-500.000/mm3)
Basofil : 0 % (N=0-1%)
Eosinofil : 5% (N=1-3%)
Batang : 7% (N=2-6%)
Segmen : 75% (N=50-70%)

7
Limposit : 10% (N=20-40%)
Monosit : 8% (N=2-8%)
Kimia Klinik:
Kolesterol Total : 178 mg/dl (N<200 mg/dl)
HDL- Kolesterol : 38 mg/dl (N>65 mg/dl)
LDL- Kolesterol : 107 mg/dl (N<130 mg/dl)
Trigliserida : 161 mg/dl (N<150 mg/dl)
Asam Urat : 11,5 mg/dl (N=2,6-6,0 mg/dl)
Ureum : 144 mg/dl (N=15-39 mg/dl)
Kreatinin : 2,4 mg/dl (N=0,9-1,3 mg/dl)
Protein Total : 6,5 g/dl (N=6,0-7,0 g/dl)
Albumin : 7,7 g/dl (N=3,5-5,0 g/dl)
Globulin : 3,8 g/dl (N=2-3,5 g/dl)
SGOT : 24 U/I (N=<40 U/I)
SGPT : 21 U/I (N=<41 U/I)
Natrium : 146 mmol/l (N=135-145 mmol/l)
Kalium : 4,7 mmol/l (N=3,5-5,5 mmol/l)

EKG

Kesan : Sinus Tachicardia + Left Axis Deviation + Left Ventricle Hipertrophy

8
Rontgen Thorax

Kesan: kardiomegali + edema paru

E. RESUME
Seorang laki-laki berinisial Tn.AM, berumur 60 tahun, MRS tanggal 14
Mei 2011 dengan keluhan utama sesak nafas yang semakin berat sejak ± 1 hari
SMRS.
± 7 hari SMRS, os mengeluh sesak nafas. Sesak nafas dipengaruhi posisi,
sesak bila berbaring, berkurang bila os duduk, dan sering terbangun di malam hari
karena sesak. Sesak juga berkurang apabila os tidur dengan bantal tinggi (2
bantal). Os juga mengeluh batuk berdahak berwarna putih @ 1 sendok makan.
Kaki kanan dan kaki kiri os mulai membengkak. Nafsu makan berkurang. Os lalu
berobat ke dokter spesialis dan diberi 4 macam obat, namun os lupa nama dan
warna obatnya. Setelah meminum obat tersebut, keluhan dirasakan berkurang.
± 1 hari SMRS, os mengeluh sesak nafas yang semakin berat. Sesak nafas
dipengaruhi posisi, sesak bila berbaring dan berkurang bila os duduk. Os tidak
bisa tidur karena sesak. Os tidur dengan bantal tinggi, 2-3 bantal. Os mengeluh
sering bangun di tengah malam karena sesak. Os juga mengeluh batuk berdahak

9
berwarna putih @ 1 sendok makan. Kaki kanan dan kiri os masih membengkak.
Nafsu makan berkurang. Os kemudian berobat ke RS Muhammadyah, kemudian
dirujuk ke RSMH Palembang. Os dirawat di IRD RSMH Palembang selama 5
hari, kemudian os dirawat di bangsal RSMH Palembang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 160/100 mmHg, nadi
100x/menit, pernafasan 28x/menit, tekanan vena jugularis (5+2) cmH2O. Pada
pemeriksaan paru ditemukan statis, dinamis simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, sonor pada kedua lapangan paru, vesikuler (+) normal, ronkhi basah
halus (+) pada kedua basal paru.
Pada pemeriksaan jantung didapatkan ictus cordis tidak terlihat dan tidak
teraba. Batas atas jantung ICS II, batas kanan linea sternalis dextra, batas kiri linea
axilaris anterior sinistra setinggi ICS VI, batas bawah ICS VI.
Pada pemeriksaan abdomen, hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae tepi
tumpul permukaan rata konsistensi kenyal. Pada pemeriksaan ekstremitas inferior
didapatkan edema, pada ekstremitas dextra et sinistra, pitting edema (+).
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10,1 g/dl, Ht 30 vol%, LED
20 mm/jam, leukosit 15000/mm3, hitung jenis 0/5/7/75/10/8, HDL-Kolesterol 38
mg/dl, trigliserida 161 mg/dl, asam urat 11,5 mg/dl, ureum 144 mg/dl, kreatinin
2,4 mg/dl, dan albumin 7,7 g/dl.

F. DIAGNOSIS KERJA
CHF ec HHD + Hipertensi stage 2 + Hiperuremia asimptomatik

G. DIAGNOSIS BANDING
CHF ec ASHD + Hipertensi stage 2 + Hiperuremia asimptomatik

10
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Nonfarmakologis
- Istirahat, posisi ½ duduk
- O2 3-5 liter/menit
- Diet jantung III
- Diet rendah garam
- Balance cairan

Penatalaksanaan Farmakologis
- IVFD D5 gtt X/menit (mikro)
- Furosemid i.v. 1x1 amp
- Captopril 2x12,5 mg
- OBH syr. 3x1 c

I. RENCANA PEMERIKSAAN
- Cek ulang : - ureum dan kreatinin
- natrium dan kalium
- asam urat
- Cek Urinalisa
- Echocardiography

J. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam

11
K. FOLLOW UP
Tanggal 15 Mei 2011
S Sesak berkurang
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 150/100 mmHg
Nadi 100x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan 26x/menit, thorakoabdominal, reguler
Temperatur 36,6° C

Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-), Sklera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O, Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Jantung HR=100x/menit, murmur (-), gallop(-)
Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) pada
kedua basal paru, wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di
bawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata
konsistensi kenyal, lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ekstremitas Edema pretibial (+)
A CHF ec HHD + Hipertensi stage 1 + Hiperuremia
asimptomatik dengan perbaikan
P Istirahat, posisi ½ duduk
O2 3-5 liter/menit
Diet jantung III
Diet rendah garam
IVFD D5 gtt X/menit (mikro)
Furosemid i.v. 1x1 amp
Captopril 2x12,5 mg
OBH syr. 3x1 c

12
Balance cairan Selisih -1100 cc

Tanggal 16 Mei 2011


S Sesak berkurang
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 160/90 mmHg
Nadi 90x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan 24x/menit, thorakoabdominal, reguler
Temperatur 36,4° C

Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-), Sklera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O, Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Jantung HR=90x/menit, murmur (-), gallop(-)
Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) pada
kedua basal paru, wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di
bawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata
konsistensi kenyal, lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ekstremitas Edema pretibial (+)
A CHF ec HHD + Hipertensi stage 2 + Hiperuremia
asimptomatik dengan perbaikan
P Istirahat, posisi ½ duduk
O2 3-5 liter/menit
Diet jantung III
Diet rendah garam
IVFD D5 gtt X/menit (mikro)
Furosemid i.v. 1x1 amp

13
Captopril 2x12,5 mg
OBH syr. 3x1 c
Balance cairan Selisih -950 cc

Tanggal 17 Mei 2011


S Sesak berkurang
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 150/100 mmHg
Nadi 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan 24x/menit, thorakoabdominal, reguler
Temperatur 36,6° C

Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-), Sklera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O, Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Jantung HR=88x/menit, murmur (-), gallop(-)
Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) pada
kedua basal paru, wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di
bawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata
konsistensi kenyal, lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ekstremitas Edema pretibial (+)
A CHF ec HHD + Hipertensi stage 1 + Hiperuremia
asimptomatik dengan perbaikan
P Istirahat, posisi ½ duduk
O2 3-5 liter/menit
Diet jantung III
Diet rendah garam

14
IVFD D5 gtt X/menit (mikro)
Furosemid i.v. 1x1 amp
Captopril 2x12,5 mg
OBH syr. 3x1 c
Balance cairan Selisih – 600 cc

Tanggal 18 Mei 2011


S Sesak berkurang
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 140/80 mmHg
Nadi 80x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan 20x/menit, thorakoabdominal, reguler
Temperatur 36,5° C

Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-), Sklera ikterik (-)
Leher JVP (5+2) cmH2O, Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Jantung HR=80x/menit, murmur (-), gallop(-)
Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) pada
kedua basal paru, wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di
bawah arcus costae tepi tumpul permukaan rata
konsistensi kenyal, lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ekstremitas Edema pretibial (+)
A CHF ec HHD + Hipertensi stage 1 + Hiperuremia
asimptomatik dengan perbaikan
P Istirahat, posisi ½ duduk
O2 3-5 liter/menit

15
Diet jantung III
Diet rendah garam
IVFD D5 gtt X/menit (mikro)
Furosemid i.v. 1x1 amp
Captopril 2x12,5 mg
OBH syr. 3x1 c
Balance cairan Selisih – 100 cc

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. HIPERTENSI
1. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah arterial tinggi
(meningkat) atau tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 140 mmHg
dan tekanan diastolik lebih besar atau sama dengan 90 mmHg5.

2. Klasifikasi
a. Hipertensi Berdasarkan Etiologinya
1) Hipertensi primer atau essensial adalah hipertensi yang
penyebabnya tidak diketahui2. Hipertensi primer sekitar 90-95%6.

16
2) Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh
adanya penyakit lain2,7.
b. Hipertensi Berdasarkan Derajatnya
Hipertensi diklasifikasikan menurut The Seventh Report of The Joint
National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure, 20035.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Dewasa Usia 18 tahun atau
lebih

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah


Sistolik Diastolik
Normal <120 mmHg <80 mmHg
Prehipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi tingkat 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Hipertensi tingkat 2 ≥160 mmHg ≥100 mmHg

Sumber : JNC 7

3. Faktor Risiko Hipertensi


Faktor-faktor risiko hipertensi, antara lain:
a. Usia (>60 tahun)8.
b. Faktor genetik8.
c. Jenis kelamin8.
d. Stress6.
e. Asupan garam8
f. Obesitas2,7
g. Gaya hidup yang kurang sehat: 1) Kebiasaan merokok6, 2) Minum
minuman beralkohol, 3) Kurangnya aktivitas fisik2,8.

4. Patofisiologi

17
Di dalam tubuh, terdapat empat sistem yang mengendalikan tekanan
darah, yaitu baroreseptor, pengaruh volume cairan tubuh, sistem renin-
angiotensin, dan autoregulasi pembuluh darah. Menurut persamaan hidrolik,
tekanan darah arterial (BP) adalah berbanding langsung dengan hasil perkalian
antara aliran darah (curah jantung, CO) dan tahanan lewatnya darah melalui
arteriol prekapiler (tahanan vaskular perifer, PVR)6.

TEKANAN DARAH = CURAH JANTUNG X TAHANAN PERIFER6

Hipertensi akan terjadi apabila ada perubahan pada persamaan tekanan


darah karena adanya perubahan salah satu faktor yaitu resistensi pembuluh
darah perifer (tahanan perifer) maupun curah jantung. Beberapa faktor penting
yang dapat mempengaruhi perubahan dua hal tersebut, antara lain faktor
genetik, stres, asupan garam yang berlebihan, obesitas, nefron yang berkurang
dan bahan-bahan yang berasal dari endotel9.

5. Diagnosis
Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan pengukuran tekanan darah
secara berulang-ulang. Tekanan darah diukur saat seorang duduk selama 5
menit, dengan kaki berada di lantai dan lengan setinggi posisi jantung 5.
Setelah dilakukan ≥2 kali pengukuran tekanan darah pada waktu yang berbeda
(berselang minimal 1 minggu)5,8, didapatkan nilai tekanan darah rata-rata
≥140/90 mmHg, maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan8.

6. Komplikasi
Pada penderita hipertensi yang tidak diobati akan terjadi peningkatan
morbiditas dan mortalitas. Komplikasi – komplikasi hipertensi, antara lain:
a. Penyakit jantung : 1) Hipertrofi ventrikel kiri, 2) Angina, 3) Infark
miokardium, 4) Gagal jantung, 5) Penyakit jantung koroner5,3. Jumlah
kematian akibat hipertensi yang disebabkan oleh infark miokardium
dan gagal jantung sebesar 50 %.
b. Stroke atau transient ischemic attack.

18
c. Gagal ginjal.
d. Peripheral arterial disease3.
e. Retinopathy5.

7. Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan pengobatan penderita hipertensi essensial adalah untuk mencapai
tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg5,3 dan mengendalikan setiap faktor
risiko kardiovaskular melalui perubahan gaya hidup5,3,10. Langkah-langkah
yang termasuk perubahan gaya hidup, antara lain:

a. Penderita hipertensi yang memiliki berat badan berlebihan dianjurkan


untuk menurunkan berat badannya sampai batas ideal (Body Mass Index
(BMI) 18,5-24,9 kg/m2)5
b. Mengadopsi DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) eating
plan.5
c. Mengurangi garam dalam diet. Konsumsi garam harus dibatasi sampai
kurang dari 2,4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida sehari 8,11.
Berhenti merokok8.
d. Membatasi minum kopi sampai maksimum 3 cangkir sehari8.
e. Membatasi minum alkohol tidak lebih dari 2 konsumsi untuk laki-laki dan
1 konsumsi untuk wanita8.
f. Cukup istirahat dan tidur adalah penting, karena selama periode itu
tekanan darah menurun8.
g. Olahraga secara teratur dapat menurunkan tekanan darah yang tinggi5,8.

Terapi Farmakologis
Berikut ini macam-macam golongan obat antihipertensi yang dapat
langsung diberikan secara sendiri-sendiri maupun kombinasi :
a. Diuretika
Diuretika menurunkan tekanan darah dengan cara mengosongkan
simpanan natrium tubuh.6

19
b. Beta Blocker
Beta Blocker memblokade reseptor β1 di jantung (juga di Sistem saraf
pusat (SSP) dan ginjal) sehingga menyebabkan melemahnya daya
kontraksi jantung, penurunan frekuensi jantung, dan penurunan volume-
menitnya. Beta Blocker juga memblokade reseptor β2 di bronkus yang
menyebabkan vasokontriksi bronkus.8
c. ACE Inhibitor
ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan jalan mengurangi
daya tahan pembuluh perifer dan vasodilatasi tanpa menimbulkan refleks
takikardia atau retensi garam.8
d. Angiotensin II Antagonist / Angiotensin II Receptor Blocker
Angiotensin II Antagonist menghalangi penempelan zat angiotensin II
pada reseptornya sehingga tidak terjadi vasokonstriksi dan tidak terjadi
retensi air dan garam.6,8
e. Calsium Channel Blocker
Calsium Channel Blocker melebarkan arteriol perifer dan mengurangi
tekanan darah. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat infulks
kalsium ke dalam sel otot polos arteri sehingga dapat mengurangi
penyaluran impuls dan kontraksi miokard serta dinding pembuluh darah 6,8.
Contoh obatnya yaitu nifedipin, diltiazem dan verapamil6.

Perubahan gaya hidup

Tidak mencapai tekanan darah yang diharapkan


(<140/90 mmHg atau <130/80 mmHg bagi penderita diabetes atau penyakit ginjal kronis)

Mulai terapi farmakologis

Tanpa indikasi Dengan indikasi


pemaksa pemaksa

20
Obat antihipertensi
Hipertensi tingkat 1 Hipertensi tingkat 2 lainnya (Diuretika ,
(TDS 140–159 mmHg atau (TDS ≥ 160 ACE Inhibitor, ARB,
TDD 90–99 mmHg) mmHg atau BB, CCB) sesuai
mempertimbangkan ACE dua macam obat paling
Inhibitor, ARB, BB, CCB, sering dipakai ( Biasanya
atau kombinasi diuretika tipe tiazid dan
ACE Inhibitor, atau
ARB, atau BB, atau
CCB)

Tidak mencapai tekanan darah yang diharapkan

Optimalkan dosis atau beri obat tambahan sampai tercapai tekanan


darah yang diharapkan. Konsultasi dengan ahli hipertensi.

Gambar 2. Algoritma Pengobatan Hipertensi5

Sumber : JNC 7
B. PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
1. Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh
tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama, yang
ditandai adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sebagai akibat langsung dari
tingginya tekanan darah tersebut1.

2. Etiologi
Sebab utama penyakit jantung hipertensi adalah tekanan darah yang
meningkat dan berlangsung kronik. Tekanan darah tinggi meningkatkan beban
kerja jantung, dan seiring dengan berjalannya waktu hal ini dapat
menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung memompa darah
melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah, ventrikel kiri
membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap menitnya (cardiac
output) berkurang.2

3. Patofisiologi

21
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi berjalan cukup kompleks,
karena berhubungan dengan berbagai faktor, seperti hemodinamik, struktural,
neuroendokrin, selular, dan molekular. Di satu sisi, faktor-faktor ini
memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi
lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor
tersebut. Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan struktur dan
fungsi jantung melalui 2 cara: secara langsung melalui peningkatan afterload
dan secara tidak langsung melalui neurohormonal dan perubahan vaskular
terkait2,12.

4. Komplikasi penyakit hipertensi yang tidak terkontrol


a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Abnormalitas atrium kiri
c. Penyakit katup jantung
d. Penyakit jantung koroner
e. Gagal jantung2

5. Diagnosis
Diagnosis penyakit jantung hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesisnya sesuai dengan
anamnesis riwayat penyakitnya sekarang dan adanya riwayat penyakit
hipertensi yang tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik kemungkinan
didapatkan:
a. Batas-batas jantung melebar
b. Impuls apeks prominen
c. Bunyi jantung S2 meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta
d. Kadang-kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta
e. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat peninggian
tekanan atrium kiri
f. Bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri

22
g. Suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau kering
h. Pemeriksaan perut untuk pembesaran hati, limpa, ginjal, dan ascites1,12,13

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan


diagnosis penyakit jantung hipertensi, antara lain:
a. Pemeriksaan laboratorium awal (pemeriksaan darah dan urinalisa)
b. Analisis gas darah
c. Elektrokardiografi untuk menemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri
jantung
d. Foto thorax untuk menemukan adanya pembesaran jantung atau tanda-
tanda bendungan paru
e. Echocardiography, dilakukan karena dapat menemukan HVK lebih dini
dan lebih spesifik (spesifisitas sekitar 95-100%)1,12,13

6. Penatalaksanaan
Penatalaksaan penyakit jantung hipertensi sesuai dengan penatalaksanaan
hipertensi2.

C. GAGAL JANTUNG KONGESTIF


1. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gagal
jantung kongestif adalah keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal
jantung dan mekanisme kompensatoriknya.3

2. Epidemiologi
Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah satu
penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk
usia 50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25%
dari mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Di Amerika Serikat, hampir 5
juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru

23
setiap tahunnya. Kondisi ini lebih sering pada penduduk Amerika Afrika
daripada penduduk kulit putih.4

3. Penyebab gagal jantung kongestif


a. Kelainan mekanik
1) Peningkatan beban tekanan
a) Sentral (stenosis aorta, dll)
b) Perifer (hipertensi sistemik, dll)
2) Peningkatan beban volume (regurgitasi katup, pirau, peningkatan
beban awal, dll )
3) Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitral atau
trikuspidal)
4) Tamponade perikardium
5) Pembatasan miokardium atau endokardium
6) Aneurisma ventrikel
7) Dissinergi ventrikel4
b. Kelainan miokardium (otot)
1) Primer
a) Kardiomiopati
b) Miokarditis
c) Kelainan metabolik
d) Toksisitas (alkohol, kobalt)
e) Pesbikardia4
2) Kelainan disdinamik sekunder (akibat kelainan mekanik)
a) Deprivasi oksigen (penyakit jantung koroner)
b) Kelainan metabolik
c) Peradangan
d) Penyakit sistemik
e) Penyakit Paru Obstruksi Kronis4
c. Perubahan irama jantung atau urutan hantaran
1) Tenang
2) Fibrilasi

24
3) Takikardia atau bradikardia ekstrim
4) Asinkronitas listrik, gangguan konduksi4

4. Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif


Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya
abnormalitas struktur, fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Di negara-
negara maju, disfungsi ventrikel merupakan penyebab mayor dari kasus ini.3,14
Faktor-faktor komorbid menyebabkan mekanisme kompensasi sehingga
terjadi gagal jantung. Mekanisme kompensasi yang dapat terjadi antara lain
adalah mekanisme kompensasi pada jantung, syaraf otonom, dan hormon.
Pada jantung, dapat terjadi mekanisme Frank Starling, hipertrofi dan dilatasi
ventrikel, dan takikardi. Pada syaraf otonom, terjadi peningkatan aktifitas
syaraf simpatis. Sedangkan pada mekanisme kompensasi yang terjadi pada
hormon adalah berupa sistem renin-angiotensi-aldosteron, vasopressin, dan
natriuretik peptida3,14
a. Mekanisme Kompensasi pada Jantung
Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang
berhubungan dengan gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas.
Ketika terjadi penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan
adanya kontraksi paksaan yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output.
Pada gagal jantung kongestif, kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi
jantung menjadi kurang efisien. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan
stroke volume yang kemudian menyebabkan peningkatan denyut jantung
untuk dapat mempertahankan cardiac output. Peningkatan denyut jantung ini
lama-kelamaan berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi miokardium, yang
disebabkan peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk mempertahankan
kontaktilitas jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung masih belum
dapat mencapai stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu
kompensasi terminal berupa peningkatan volume ventrikel.3,14
Preload seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolik akhir atau
volume pada ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan
atrium kanan. Walaupun demikian, preload tidak hanya tergantung pada

25
volume intravaskular, tetapi juga dipengaruhi oleh keterbatasan pengisian
ventrikel. Pompa otot jantung akan memberikan respon pada volume output.
Jika volume meningkat, maka jumlah darah yang mampu dipompa oleh otot
jantung secara fisiologis juga akan meningkat, hubungan ini sesuai dengan
hukum Frank-Starling.3,14
Tolak ukur akhir pada stroke volume adalah afterload. Afterload adalah
volume darah yang dipompa oleh otot jantung, yang biasanya dapat dilihat
dari tekanan arteri rata-rata. Afterload tidak hanya menunjukkan resistensi
vaskular tetapi juga menunjukkan tekanan dinding thoraks dan intrathoraks
yang harus dilawan oleh miokardium. Ketiga variabel ini terganggu pada
pasien gagal jantung kongestif. Gagalnya jantung pada gagal jantung kongestif
dapat dievaluasi dengan menilai ketiga variabel tersebut. Jika cardiac output
turun, maka denyut jantung dan stroke volume akan berubah untuk
mempertahankan perfusi jaringan. Jika stroke volume tidak dapat
dipertahankan, denyut jantung ditingkatkan untuk mempertahankan cardiac
output.3,14
b. Mekanisme Kompensasi pada Syaraf Otonom dan Hormon
Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem renin-
angiotensin, dan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan
peptida natriuretik atrium.3,14 Sistem syaraf simpatis dan renin-angiotensin
adalah respon mayor yang dapat terjadi. Secara bersamaan, kedua sistem ini
menyebabkan vasokonstriksi sistemik, takikardi, meningkatkan kontraktilitas
miokardium, dan retensi air dan garam untuk mempertahankan tekanan darah
sehingga perfusi jaringan menjadi lebih adekuat. Namun jika berlangsung
lama, hal ini dapat menurunkan cardiac output dengan meningkatkan
resistensi vaskular sistemik. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas
miokardium dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi air dan garam
dapat menyebabkan kongesti vena.14
Selain itu, faktor neurohormonal lain yang berperan dalam gagal jantung
kongestif adalah sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal
dideteksi oleh reseptor sensorik pada arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan

26
renin dari ginjal. Hal ini dapat meningkatkan tekanan filtrasi hidraulik
glomerulus yang disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi pada ginjal.
Angiotensin II akan menstimulasi sintesis aldosteron, yang akan menyebabkan
retensi air dan garam pada ginjal. Awalnya, kompensasi ini merupakan usaha
tubuh untuk mempertahankan perfusi sistemik dan ginjal. Namun, aktivasi
yang lama pada sistem ini dapat menyebabkan edema, peningkatan tekanan
vena pulmonal, dan peningkatan afterload. Hal ini dapat memperberat kondisi
gagal jantung.14
Mediator sistemik lainnya yang dapat dikenali adalah peningkatan
konsentrasi endothelin sistemik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi
perifer dan kemudian menyebabkan hipertrofi miosit dan terjadilah
remodelling. Peptida natriuretik pada atrium dan otak yang dilepaskan dari
atrium dapat menyebabkan peningkatan tekanan atrium. Peningkatan ini
berkorelasi positif dengan tingginya angka mortalitas dan aritmia ventrikel,
walaupun korelasi ini tidak sekuat korelasi yang ditimbulkan oleh peningkatan
level norepinephrin plasma.14
Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi
(untuk mempertahankan tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan
tekanan vena), dan meningkatkan volume darah. Umumnya, respon
neurohormonal ini dapat dilihat dari mekanisme kompensasi, tetapi dapat juga
meningkatkan afterload pada ventrikel (yang menurunkan stroke volume) dan
meningkatkan preload sehingga menyebabkan edema dan kongesti pulmonal
ataupun sistemik. Ada juga teori yang menyatakan bahwa faktor lain yang
dapat terjadi pada gagal jantung kongestif ini adalah nitrit oksida dan
endotelin (keduanya dapat meningkat pada kondisi gagal jantung) yang juga
berperan dalam patogenesis gagal jantung.14

5. Klasifikasi Gagal Jantung


Berdasarkan waktunya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal
jantung akut dan kronik. Berdasarkan tipe gangguannya, gagal jantung
diklasifikasikan menjadi gagal jantung sistolik dan diastolik. Berdasarkan

27
letak jantung yang terkena, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal
jantung kanan dan kiri.15

6. Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif


Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung
kongestif. Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor.
Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain:
a. Paroksismal nokturnal dispnea
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peningkatan tekanan vena jugularis (>16 cmH2O)
h. Refluks hepatojugular positif

Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain:


a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)

Kriteria mayor atau minor, antara lain penurunan berat badan ≥4,5 kg selama
5 hari pemberian terapi.
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1
kriteria mayor dan 2 kriteria minor15.

7. Penegakkan Diagnosis Gagal Jantung Kongestif

28
a. Anamnesis lengkap mengenai riwayat kardiopulmonal
b. Pemeriksaan fisik: hasil temuan berupa tanda klinis yang ada di criteria
Framingham
c. Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan darah lengkap, kimia klinik,
elektrolit, urinalisis, hormon stimulasi tiroid, dan BUN)
d. Rontgen Thoraks: kardiomegali, edema paru
e. Elektrokardiografi: sesuai dengan hasil elektrokardiografi penyakit
penyebab

8. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif


a. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan
medis adalah dengan mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan
gaya hidup ditujukan untuk kesehatan penderita dan untuk mengurangi
gejalanya, memperlambat progresifitas gagal jantung kongestif, dan
memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini berdasarkan rekomendasi
American Heart Association dan organisasi jantung lainnya.15
1) Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
kardiomiopati khususnya pada laki-laki dan usia 40 ke atas. Walaupun jumlah
alkohol yang dapat menyebabkan kardiomiopati tidak dapat ditegaskan,
namun konsumsi alkohol lebih dari 11 unit per hari lebih dari 5 tahun dapat
menjadi faktor risiko terjadinya kardiomiopati. Semua penderita gagal jantung
kongestif harus diberikan masukan untuk menghindari konsumsi alkohol.15
2) Merokok
Tidak ada penelitian prospektif yang menunjukkan adanya efek merokok
terhadap gagal jantung kongestif. Namun, merokok dapat memperburuk

29
keadaan gagal jantung kongestif pada beberapa kasus. Dengan demikian,
penderita dengan gagal jantung kongestif harus menghindari rokok.15
3) Aktifitas fisik
Pada salah satu penelitian, dibuktikan bahwa penderita gagal jantung
kongestif yang melakukan aktifitas fisik memberikan outcome yang lebih baik
daripada penderita gagal jantung kongestif yang hanya ditatalaksana seperti
biasa. Penderita gagal jantung kongestif yang sudah stabil perlu dilakukan
motivasi untuk dapat melakukan aktifitas fisik dengan intensitas yang rendah
secara teratur.15
4) Pengaturan diet
a) Membatasi konsumsi garam dan cairan
Pembatasan konsumsi garam pada penderita gagal jantung kongestif
memiliki efek baik terhadap tekanan darah. Penderita gagal jantung
kongestif harus membatasi garam yang dikonsumsi tidak boleh lebih dari 6
gram per hari.15
b) Monitor berat badan per hari
Belum ada percobaan klinis yang membuktikan adanya keterkaitan
antara monitor berat badan per hari dan penatalaksanaan gagal jantung
kongestif. Namun, monitor terhadap berat badan ini perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi perolehan berat badan atau kehilangan berat badan per
hari pada penderita gagal jantung kongestif.15

b. Penatalaksanaan Farmakologis
1) Diuretik
Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya
terjadi pada gagal jantung kongestif. Diuretik menyebabkan ginjal
mengeluarkan kelebihan garam dan air dari aliran darah sehingga
mengurangi jumlah volume darah dalam sirkulasi. Dengan volume darah
yang rendah, jantung tidak akan bekerja keras. Dalam hal ini, jumlah sel
darah merah dan sel darah putih tidak berubah.3
Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis
perlahan-lahan ditingkatkan sampai output urine meningkat dan berat

30
badan menurun, biasanya 0.5 hingga 1 kg per hari. Dosis pemeliharaan
diuretik digunakan untuk mempertahankan diuresis dan penurunan berat
badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan dengan pembatasan
konsumsi natrium.3,6
Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi
furosemid, bumetanid, hidroklortiazid, spironolakton, torsemid, atau
metolazon, atau kombinasi agen-agen tersebut. Spironolakton dan
eplerenon tidak hanya merupakan diuretik ringan jika dibandingkan
dengan diuretik kuat seperti furosemid, tetapi juga jika digunakan dalam
dosis kecil dan dikombinasikan dengan ACE Inhibitor akan
memperpanjang harapan hidup. Hal ini disebabkan karena kombinasi obat
ini mampu mencegah progresifitas kekakuan dan pembesaran jantung.3,6
2) Angiotensin Converting Enzym (ACE) Inhibitor
ACE Inhibitor dapat memperbaiki kondisi penderita gagal jantung
kongestif, penyakit jantung koroner, dan penyakit vaskular aterosklerosis,
maupun nefropati diabetikum. ACE Inhibitor tidak hanya akan
mempengaruhi sistem renin-angiotensin, tetapi juga akan meningkatkan
aksi kinin dan produksi prostaglandin. Keuntungan penggunaan ACE
Inhibitor ini berupa mengurangi gejala, memperbaiki status klinis, dan
menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif
ringan, sedang, maupun berat, dengan atau tanpa penyakit jantung
koroner.3,6
3) Inotropik
Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang
dapat meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan
sebagai pengobatan pada kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan
tidak berespon terhadap pengobatan standar gagal jantung kongestif. Salah
satu contohnya adalah digoksin. Obat ini digunakan untuk memperbaiki
kemampuan jantung dalam memompakan darah. Karena obat ini
menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini disebut sebagai
inotropik positif. Namun demikian, digoksin merupakan inotropik yang

31
sangat lemah dan hanya digunakan untuk terapi tambahan selain ACE
Inhibitor dan beta blocker.3,6
4) Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB)
Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB) bekerja dengan mencegah efek
angiotensin II di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain
candesartan, irbesartan, olmesartan, losartan, valsartan, telmisartan, dan
eprosartan. Obat-obatan ini biasanya digunakan pada penderita gagal
jantung kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE Inhibitor karena
efek sampingnya. Keduanya efektif, namun ACE Inhibitor dapat
digunakan lebih lama dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pada
data percobaan klinis dan informasi pasien.3,6

5) Beta Blocker
Beta Blocker dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan
tekanan darah, dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga
menurunkan beban kerja jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung
dan di dalam dinding arteri. Sistem syaraf simpatis memproduksi zat kimia
yang disebut sebagai norepinefrin yang bersifat toksik terhadap otot
jantung jika digunakan dalam waktu lama dan dengan dosis yang tinggi.3,6
6) Hidralazin
Hidralazin merupakan vasodilator yang dapat digunakan pada
penderita gagal jantung kongestif namun tidak memiliki efek yang sedikit
terhadap tonus vena dan tekanan pengisian jantung. Namun efek
pemberian hidralazin tunggal tanpa kombinasi dengan obat lain terhadap
gagal jantung kongestif belum dapat dibuktikan secara klinis. Pemberian
hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat menurunkan angka kematian
penderita gagal jantung kongestif.3,6

9. Prognosis Gagal Jantung Kongestif


Secara umum, mortalitas pasien gagal jantung rawat inap sebesar 5-20%
dan pada pasien rawat jalan sebesar 20% pada tahun pertama setelah

32
diagnosis. Angka ini dapat meningkat sampai 50% setelah 5 tahun pasca
diagnosis. Mortalitas pasien gagal jantung dengan NYHA kelas IV,
ACC/AHA tingkat D sebasar lebih dari 50% pada tahun pertama.17

BAB IV
ANALISA KASUS

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa


tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gagal
jantung kongestif adalah keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal
jantung dan mekanisme kompensatoriknya.3 Diagnosis gagal jantung kongestif
dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, rontgen
thoraks, ekokardiografi. Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal
jantung kongestif. Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor.
Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain:
a. Paroksismal nokturnal dispnea
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peningkatan tekanan vena jugularis (>16 cmH2O)

33
h. Refluks hepatojugular positif
Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain:
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)
Kriteria mayor atau minor, antara lain penurunan berat badan ≥4,5 kg selama 5
hari pemberian terapi.
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1
kriteria mayor dan 2 kriteria minor15.
Hipertensi yang tidak terkendali dan berkepanjangan dapat menyebabkan
berbagai perubahan dalam struktur miokard, pembuluh darah koroner, dan sistem
konduksi jantung. Perubahan ini pada gilirannya dapat menyebabkan
perkembangan hipertrofi ventrikel kiri (LVH), penyakit arteri koroner, penyakit
sistem konduksi, disfungsi sistolik dan diastolik dari miokardium dan gagal
jantung kongestif. Dengan demikian, penyakit jantung hipertensi adalah istilah
yang diterapkan secara umum untuk penyakit jantung, seperti LVH, penyakit
arteri koroner, aritmia jantung, dan CHF, yang disebabkan oleh efek langsung
atau tidak langsung dari hipertensi.
Dari anamnesis, didapatkan seorang laki-laki berinisial Tn.AM, berumur
60 tahun, MRS tanggal 14 Mei 2011 dengan keluhan utama sesak nafas yang
semakin berat sejak ± 1 hari SMRS. Kaki kanan dan kaki kiri kiri os juga
membengkak. Keluhan sesak nafas dan bengkak pada kaki dapat disebabkan oleh
kelainan pada organ jantung, paru, ginjal dan hati. Sesak nafas timbul bila os
berjalan dan berkurang bila duduk. Os juga merasa sesak bila berbaring sehingga
os baru bisa tidur dengan menggunakan 2 bantal. Os juga sering terbangun tengah
malam karena sesak dan batuk. Sesak nafas seperti ini khas pada sesak nafas oleh
karena kelainan pada organ jantung. Hal ini merupakan proses dari perjalanan

34
penyakitnya yang sudah sampai ke tahap gagal jantung kongestif (terjadinya gagal
jantung kanan dan kiri). Sesak yang dialami os disebabkan oleh edema yang
dialaminya akibat gagal jantung kanan. Os juga mengeluh batuk berdahak
berwarna putih @ 1 sendok makan dan nafsu makan berkurang. Os juga memiliki
riwayat penyakit darah tinggi yang tidak terkontrol. Ini semakin menguatkan
kelainan pada organ jantung. Disini dapat dilihat bahwa penyakit jantung yang
dialami os memiliki faktor pencetus yaitu riwayat infeksi dari batuk yang
dialaminya yang menimbulkan peningkatan hemodinamik tubuhnya. Ditambah
lagi dengan riwayat darah tinggi yang tidak terkontrol. Kedua faktor tersebut
memperberat hipertensinya dan sangat berperan dalam proses terjadinya penyakit
jantung kongestif yang dialami os. Dan gejala-gejala di atas memenuhi 1 kriteria
mayor Framingham (paroxysmal nocturnal dyspnea) dan 2 kriteria minor
Framingham (batuk di malam hari dan sesak nafas waktu berjalan).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 100x/menit, pernafasan 28x/menit,
dan tekanan vena jugularis (5+2) cmH2O yang merupakan akibat dari
dekompensasi jantung kanan. Pada pemeriksaan paru ditemukan ronkhi basah
halus (+) pada kedua basal paru akibat dari edema paru yang dialaminya. Pada
pemeriksaan jantung didapatkan ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba dan
batas kiri linea axilaris anterior sinistra setinggi ICS VI. Dari hasil pemeriksaan
dapat ditemukan adanya pembesaran jantung pada os. Hal ini disebabkan proses
perjalanan penyakit os yang sudah kronis sehingga menyebabkan jantung
mengalami pembesaran. Pada pemeriksaan abdomen, hepar teraba 2 jari di bawah
arcus costae tepi tumpul permukaan rata konsistensi kenyal. Hepatomegali pada
os disebabkan oleh dekompensasi jantung kanan yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan vena porta. Pada pemeriksaan ekstremitas inferior
didapatkan edema, pada ekstremitas dextra et sinistra, pitting edema (+).
Berdasarkan pemeriksan fisik, os mengalami hipertensi derajat 2, peningkatan
tekanan vena jugularis, cairan pada paru, hipertrofi ventrikel kiri, hepatomegali,
dan pitting edema pretibial. Tanda klinis ini memenuhi 3 gejala mayor

35
Framingham (peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi basah halus, dan
kardiomegali) dan 2 kriteria minor (extremity edema, dan hepatomegali).
Dari pemeriksan laboratorium didapatkan peningkatan nilai asam urat,
ureum dan kreatinin. Dari pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan sinus
tachicardia + left axis deviation + left ventricle hipertrophy. Dari pemeriksaan
rontgen thoraks didapatkan kardiomegali dan edema paru. Pada pasien ini
didapatkan 4 kriteria mayor dan 4 kriteria minor. Jadi, dapat disimpulkan bila
pasein ini menderita gagal jantung kongestif karena telah memenuhi syarat
kriteria minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Berdasarkan anamnesis,
adanya riwayat darah tinggi yang tidak terkontrol dan memiliki keluarga yang
menderita hipertensi, tekanan darahnya 160/100 mmHg sekarang, dan
pemeriksaan penunjang maka dapat disimpulkan diagnosis gagal jantung
kongestif ec penyakit jantung hipertensi + hipertensi derajat 2 + hiperuremia
asimptomatik. Namun, masih diperlukan pemeriksaan penunjang lain berupa
echocardiography.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini berupa penatalaksanaan
farmakologis dan non-farmakologis15. Penatalaksanaan nonfarmakologis meliputi
istirahat dengan posisi ½ duduk, pemberian O2 3-5 liter/menit, diet jantung III
(berupa bubur), diet rendah garam, dan balance cairan. Penatalaksanaan ini
diberikan untuk mencukupi kebutuhan oksigen optimal pasien dan mengurangi
beban jantung. Sedangkan penatalaksanaan farmakologis diberikan IVFD D5 gtt
X/menit (mikro) untuk melengkapi kebutuhan nutrisi pasien khususnya
karbohidrat; furosemid i.v. 1x1 amp untuk mengurangi cairan yang ada dalam
tubuh sehingga dapat mengurangi beban kerja jantung; captopril 2x12,5 mg untuk
menurunkan tekanan darah tinggi; dan sirup OBH 3x1 c untuk mengatasi batuk.
Prognosis ditegakkan berdasarkan dari kemampuan pompa jantung untuk
kompensasi serta perbaikan gejala klinik setelah di terapi. Secara klinis, pada
pasien ini terdapat perbaikan sehingga prognosis quo ad vitam adalah dubia ad
bonam. Tetapi secara fungsional, prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad
malam.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Yogiantoro M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I: Hipertensi Esensial.


Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI, 2006:599

2. Brown CT. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price SA, Wilson LM,
penyunting. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Volume 1.
Edisi VI. Jakarta: EGC, 2006; 582-585.

37
3. O’Donnell MM. Disfungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Sirkulasi . Dalam:
Price SA, Wilson LM, penyunting. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses
Penyakit. Volume 1. Edisi VI. Jakarta: EGC, 2006; 632-640.

4. AHA. Heart disease and stroke statisticsâ€"2004 update. Dallas: American


Heart Association, 2004.

5. Chobanian AV. The Seventh Report of The Joint National Committee on


Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA 2003.

6. Katzung BG. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC, 1998.

7. August P. Initial Treatment of Hypertension. New England Journal of


Medicine 2003; 348:610-617.

8. Tan HT, Rahardja K. Obat – Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek –
Efek Sampingnya. Edisi V. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002. h. 528 –
532.

9. Kaplan NM. Kaplan’s Clinical Hypertension 9th edition. Lippincott Williams


dan Wilkins: 2006.

10. Rahmouni K, Correia MLG, Haynes WG, Mark AL. Obesity-Associated


Hypertension. American Heart Association Journal of Hypertension 2005;
45:9-14.

11. Pimenta E, Gaddam KK, Oparil S, et al. Effects of Dietary Sodium Reduction
on Blood Pressure in Subjects With Resistant Hypertension. Results From a
Randomized Trial. American Heart Association Journal of Hypertension 2009.

12. Berk BC, Fujiwara K. ECM Remodelling in Hypertensive Heart Disease.


2007, (http://www.jci.org/articles/view/31044, diakses pada tanggal 13 Mei
2011).

13. Fisher NDL, Williams GH. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th


Edition: Hypertensive Vascular Disease. The McGraw-Hill Company: 2005;
1463.

14. Figueroa, Michael S. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology,


herapy, and Implications for Respiratory Care. San Antonio: University of
Texas Health Science, 2006; 403–412.

15. Anonim. Heart Failure. California: UCSF Medical Center. 2008,


(http://www.ucsfhealth.org/adult/medical_services/heart_care/heart_failure/co
nditions/failure/signs.html, diakses pada tanggal 13 Mei 2011).

38
16. Behavioural Modification. In: Management of chronic heart failure: A
national clinical guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines
Network, 2007; 10-13.

17. Dumitru I. Heart Failure. April 2011,


(http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview#aw2aab6b2b5aa,
diakses pada tanggal 13 Mei 2011).

39

Anda mungkin juga menyukai