Anda di halaman 1dari 4

Nama : Agus Susanto

NIM : 043042338

Resume Modul 2
Pertanian Indonesia
Dinamika perkembangan pertanian Indonesia menunjukkan kecenderungan yang
memprihatinkan. Dalam kurun waktu tahun 2001-2003 sebanyak 610.596 ha sawah berganti
menjadi kawasan pemukiman dan kegiatan lain. Meski lahan pertanian menyempit, jumlah
petani justru meningkat dari 20,8 juta (tahun 1993) menjadi 25,4 juta (Sensus Pertanian 2003).
Akan tetapi, dalam suatu studi ditemukan bahwa 80 persen pendapatan rumah tangga petani
kecil berasal dari kegiatan luar sektor pertanian dikarenakan pendapatan petani tidak berubah
secara signifikan. Situasi diperburuk dengan terancamnya ekologis (lingkungan) yang
menjadi basis produksi pertanian. Hal ini sebagian diakibatkan kegiatan eksplorasi
industrialisasi yang merambah di wilayah-wilayah perhutanan.
Pembangunan pertanian yang belum mampu mengangkat kesejahteraan petani,
bahkan terjadi bencana kelaparan dan gizi buruk di berbagai daerah, merupakan indikasi
belum dipecahkan masalah-masalah struktural yang membelit pertanian Indonesia. Hal ini
dikarenakan pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen sedangkan pengeluaran
harus diadakan setiap hari bahkan dalam waktu yang mendesak sebelum panen. Kemlaratan
petani juga karena keterlibatan mereka pada utang dan sistem ijon. Selain itu karena
penduduk di Indonesia yang sangat padat dengan persebaran penduduk yang tidak merata
antar daerah.
Kepemilikan lahan yang sempit dan dan makin menurun merupakan masalah
struktural pertanian Indonesia yang krusial. Di sisi lain masalah yang cukup pelik adalah
belum meratanya distribusi modal dalam sektor pertanian, baik modal dalam bentuk material,
intelektual, maupun institusional. Modal material berupa kredit murah tanpa agunan masih
sulit diperoleh petani kecil karena minimnya ketersediaan dana dan prosedur yang cenderung
konvensial. Modal intelektual berupa peningkatan wawasan dan keahlian petani dan akses
pendidikan yang murah dan berkualitas bagi keluarga (anak-anak) mereka pun masih sulit
ditingkatkan. Di sisi lain modal institusional berupa pemberdayaan organisasi-organisasi tani
sebagai kekuatan kolektif untuk meningkatkan daya tawar mereka pun sulit diwujudkan.
Selain itu petani harus menyangga kebutuhan pokok masyarakat perkotaan dengan
kontraprestasi yang sangat minimal, dengan memberlakukan harga komoditi pertanian
(terutama beras) yang rendah sehingga para petani tidak mengalami kesejahteraan.
Peranan pemerintah dalam pembangunan pertanian Indonesia adalah berupa
pembuatan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk memperbaiki kesejahteraan petani.
Bidang-bidang kebijakan pertanian yang spesifik meliputi kebijakan harga, kebijakan
pemasaran, dan kebijakan struktural. Bidang kebijakan yang lebih khusus lainnya
menyangkut pengaturan-pengaturan kelembagaan baik yang langsung terdapat di sektor
pertanian maupun di sektor-sektor lain yang ada hubungannya dengan sektor pertanian,
misalnya landreform, penyuluhan pertanian dan lain-lain. Akan tetapi kebijakan ini belum
sepenuhnya mampu memecahkan masalah struktural pertanian yang terkait intensifnya
liberalisasi pertanian yang merugikan petani dalam negeri. Liberalisasi pertanian meliputi
pengurangan dukungan domestik, pengurangan subsidi ekspor, dan perluasan akses pasar.
Kebijakan pembangunan pertanian yang berorientasi pada kesejahteraan petani hrus
berisi kebijakan-kebijakan tentang penanggulangan kemiskinan, karena dalam kenyataan
petani yang lahan garapannya sangat sempit selalu berpola nafkah ganda yaitu tidak mungkin
menggantungkan pendapatannya hanya dari usaha tani saja tetapi juga dari usaha-usaha lain
di luar usaha tani. Program P4K (Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil dan
Nelayan) diseluruh Indonesia dilaporkan telah berhasil mengembangkan pola usaha dan pola
nafkah ganda usaha tani. Program-program semacam ini harus ditingkatkan oleh pemerintah
agar senantiasa dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Upaya untuk mensejahterkan petani dilakukan dengan mewujudkan kebijakan
swasembada beras, meningkatkan produksi komoditi pertanian palawija, pembaruan
kebijakan usaha tani tebu dan industri gula yang bersifat menyeluruh dan nasionalistik,
sehingga pemerintah harus merevitalisasi kebijakan harga dasar padi sekaligus dalam
kaitannya dengan harga-harga gula, jagung, kedelai, dan harga tertinggi bagi sarana produksi
pupuk dan obat-obatan (pestisida dan insektisida).

Industrialisasi di Indonesia
Industrialisasi di Indonesia mulai berkembang pada pemerintahan rejim Orde Baru
yaitu setlah UU No.1 Tahun 1967 tentang investasi asing ditetapkan. Sejak awal dekade 1970
an hingga pertengahan dekade 1980 an pemerintah mengembangkan strategi Industri
Substitusi Impor (ISI). Meski strategi ISI diharapkan mampu menghemat devisa, namun yang
terjadi justru sebaliknya karena pemerintah justru menekankan pada produksi barang mewah
yang berteknologi tinggi dan padat modal serta sangat tergantung pada pasokan input dari
negara maju.
Didorong oleh keadaan tersebut dan jatuhnya harga minyak pada awal tahun 1980 an,
pemerintah mengubah strategi industrialisasi dari Industri Substitusi aiampor (ISI) menjadi
Industri Promosi Ekspor (IPE). Sejak saat itu, pemerintah berusaha memacu pertumbuhan
industri berorientasi ekspor dengan memberi kemudahan permodalan dan izin investasi untuk
PMA dan PMDN.
Struktur industri di Indonesia masih belum dalam (shallow) dan belum seimbang
(unbalanced). Kaitan ekonomi antara industri skala besar, menengah dan kecil masih minim,
kecuali sub sektor makanan, produk kayu dan kulit. Ini diperparah dengan struktur industri
yang masih kuasi-monopolistik dan oligopolistik. Industri besar di Indonesia masih dikuasai
oleh perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh sedikit orang. Mereka mendapatkan
berbagai fasilitas yang menguntungkan dari pemerintah. Sebaliknya industri rakyat yang
dikerjakan oleh lebih banyak orang tidak mendapatkan fasilitas yang memadai. Padahal tidak
ada kaitan ekonomis yang berarti antara industri besar dan industri rakyat tersebut.
Pertumbuhan industrialisasi di Indonesia relatif masih rendah dibanding beberapa
negara di ASEAN. Perhitungan tersebut didasarkan pada kemampuan ekspor di pasar
internasional, nilai tambah industri, dan penggunaan teknologi dalam kegiatan industri. Hal
ini menyebabkan kelesuan sektor industri dan sektor lain pun akan terhambat karena sulitnya
investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Padahal keseimbangan antara human
capital dan capital investment sangat diperlukan untuk kondisi Indonesia.
Ada lima faktor untuk meningkatkan pertumbuhan industri yaitu peningkatan
kemampuan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur yang memadai,
investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI), pembayaran yang dihasilkan
dari investasi menarik dan peningkatan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang memadai.
Perkembangan negara-negara di wilayah ASEAN yang memiliki percepatan industri
yang baik ditandai dengan kemudahan birokrasi dalam pelaksanaan izin pendirian dan
sebagainya. Sedangkan birokrasi perizinan di Indonesia tergolong memakan waktu lama bila
dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN. Sehingga menyebabkan investasi di
Indonesia menjadi tidak menarik lagi dan banyak modal yang akan mengalir ke negara yang
lebih menjanjikan.
Dalam hal aturan kepemilikan terhadap suatu perusahaan, di Indonesia tidak aturan
yang tegas. Ketidakjelasan tentang kepemilikan dan aturan yang memadai menyebabkan
kerugian yang dialami oleh negara dan swasta akibat krisis sangat besar. Bank-bank yang
tidak sehat keuangannya diserahkan kepada BPPN untuk dilakukan restrukturisasi dan
disehatkan. Saat krisis inilah International Monetary Fund (IMF) masuk dan memberikan
berbagai persyaratan untuk memberikan pinjaman di Indonesia. Salah satu syaratnya adalah
penjualan aset-aset negara kepada swasta atau dalam kata lain mengurangi kepemilikan
pemerintah dalam perusahaan. Apabila perusahaan yang penting dikuasai bukan oleh
pemerintah akan menyebabkan sulitnya pengendalian harga yang dapat terjangkau oleh
masyarakat, terutama untuk barang-barang kebutuhan pokok.
Upaya untuk meningkatkan investasi berbasis lokal merupakan langkah untuk
meningkatkan pertumbuhan industri di Indonesia. Dengan demikian harus ada kebijakan
yang mendorong peningkatan pertumbuhan industri di dalam negeri. Banyak hal yang bisa
dilakukan pemerintah dengan membantu kebutuhan bagi para pelaku industri. Usaha mikro
dan kecil sangat membutuhkan modal dan keterampilan untuk mengembangkan usahanya.
Penciptaan iklim yang kondusif dalam berinvestasi dan mengembangkan ekonomi akan
menumbuhkan pertumbuhan industri domestik.
Beberapa hal yang bisa ditawarkan sebagai solusi terhadap permasalahan
industrialisasi yaitu membuat regulasi yang jelas terkait kebijakan industri dan teknologi di
Indonesia, membuat regulasi baru agar setiap industri memberikan sharing minimal 15
persen dan asetnya baik berupa SDM maupun dana untuk kegiatan new development dan
design produk dengan keharusan menyertakan tenaga kerja lokal dan manikkan iklim
penelitian baik di instansi pemerintah maupun di berbagai perguruan tinggi dalam koridor
kerja sama R&D pada teknologi terapan (applied technology) yang dibiayai oleh industri.
Selama ini industri besar yang dianggap pelaku industri di Indonesia mendapatkan
banyak proteksi yang membuat mereka bekerja tidak efisien.Proteksi yang selama ini
dilakukan terhadap industri besar terbukti membuat mereka rentan terhadap gejolak eksternal.
Industri besar Indonesia memiliki karakter yang negatif seperti rendahnya kandungan
teknologi, ketergantungan yang tinggi pada industri modal dan input luat negeri. Sedangkan
di era globalisasi industri rakyat yang selama ini tidak mendapatkan fasilitas berarti dari
pemerintah terbukti tangguh menghadapi gejolak eksternal. Melalui industri rakyat tersebut
indonesia akan memiliki keunggulan yang spesifik karena berbasis pada kekuatan diri sendiri
dan tidak bergantung pada bantuan modal asing dan pemerintah. Di masa mendatang untuk
menghadapi era globalisasi pemerintah perlu memberikan berbagai fasilitas yang dapat
mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri rakyat.

Sumber: ESPA4314. Perekonomian Indonesia. Modul 2. Hal 2.3-2.32.

Anda mungkin juga menyukai