ABSTRAK
Ketersediaan sumber energi konvensional seperti minyak bumi dan batubara mengalami penurunan
dikarenakan penggunaan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama. Disamping itu, penggunaan
sumber energi ini menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa emisi gas rumah kaca. Conference
of the Parties ke-26 (COP26) menghasilkan keputusan bahwa negara-negara di dunia, termasuk Indonesia,
sepakat untuk mengurangi penggunaan batubara sebagai bahan bakar fosil secara bertahap. Dengan demikian,
perlu adanya pemanfaatan sumber energi alternatif yang dapat diperbarui sebagai sumber energi baru dan
terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan seperti biomassa. Salah satu potensi biomassa di Indonesia
adalah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang merupakan hasil samping dari industri pengolahan kelapa
sawit dengan kapasitas besar. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan tantangan pemanfaatan
limbah industri sawit berupa tandan kosong kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan yang ramah
lingkungan. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode review berbagai literatur
terkait dengan pemanfaatan data sekunder. Hasil tinjauan menunjukkan bahwa TKKS berpotensi menjadi
bahan bakar pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), bioethanol, biodiesel, biopelet, briket dan karbon
aktif. Tantangan pemanfaatan TKKS sebagai sumber energi terbarukan antara lain adalah biaya administrasi
dan prosedur perijinan, tingginya kandungan air TKKS, kemunculan kalium pada pipa boiler dan polusi yang
dihasilkan saat pembakaran. Strategi dan kebijakan pemerintah untuk mendukung pemanfaatan biomassa
sebagai sumber energi terbarukan sangat diperlukan.
Kata kunci: biomassa, EBT, potensi, tantangan, TKKS
ABSTRACT
The availability of conventional energy sources such as oil and coal has decreased due to continuous and long-
term use. In addition, the use of this energy source lead to negative impact on the environment such as
greenhouse gases emissions. The 26th Conference of the Parties (COP26) resulted in a decision that most
countries, including Indonesia, agreed to reduce the use of coal as fossil fuel gradually. Thus, it is necessary to
use alternative energy sources as new and renewable energy sources (EBT) that are more environmentally
friendly, such as biomass. One of the potentials of biomass in Indonesia is palm oil empty bunch (TKKS) which
is a by-product with a large capacity from palm oil processing industry. This paper aims to determine the potential
and challenges of utilizing palm oil industry waste in the form of palm oil empty bunches as an environmentally
friendly renewable energy source. The method used in this writing paper was a review of various related
literatures using secondary data. The results of the review showed that TKKS has the potential to be utilized as
fuel for biomass power plants (PLTBm), bioethanol, biodiesel, biopellets, briquettes and activated carbon. The
challenges of utilizing TKKS as a renewable energy source included administrative costs and licensing
procedures, the high water content of TKKS, the appearance of potassium in boiler pipes and the pollution
generated during combustion. Government strategies and policies to support the utilization of biomass as a
renewable energy source are urgently needed.
Keywords: biomass, challenges, empty bunch, potential, renewable energy
PENDAHULUAN
Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan penduduk, dan pesatnya
perkembangan sektor industri berakibat pada semakin meningkatnya kebutuhan akan energi.
Namun demikian, konsumsi energi seringkali berbanding terbalik dengan ketersediaan sumber
energi khususnya sumber energi konvensional yang berasal dari bahan bakar fosil. Laju penggunaan
sumber energi konvensional yang jauh lebih tinggi daripada laju ketersediaannya menyebabkan
penurunan jumlah sumber energi konvensional secara signifikan. Apabila hal ini terjadi secara terus
menerus, maka dikhawatirkan terjadi krisis energi yang pada akhirnya akan mengakibatkan habisnya
sumber energi konvensional.
Gunawan Priambodo, Yani Kartika Pertiwi, dan Endang Susiani
Potensi dan Tantangan Biomassa Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi Terbarukan
1
Hasil Conference of the Parties ke-26 (COP 26) menyebutkan bahwa negara-negara di dunia,
termasuk Indonesia, sepakat untuk mulai menghentikan pemakaian batu bara sebagai bahan bakar
secara bertahap dalam rangka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari proses
pembakarannya paling lambat tahun 2030 bagi negara-negara yang tergabung dalam OECD
(Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) dan tahun 2040 bagi negara-negara non-
OECD (World Health Organization, 2021). Batubara termasuk jenis bahan bakar yang tidak dapat
diperbarui (non-renewable) sehingga pada penggunaan yang terus menerus dalam jangka waktu
lama akan berakibat pada semakin menipisnya ketersediaan batu bara, disamping juga berdampak
terhadap kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya pemanfaatan sumber energi alternatif
yang dapat diperbarui (renewable) yang berasal dari lingkungan sekitar dan mudah diperoleh.
Diantara berbagai macam sumber energi alternatif yang tersedia, biomassa merupakan salah satu
sumber alternatif yang menarik perhatian karena sifatnya yang dapat diperbarui dan ramah
lingkungan. Berbeda dengan bahan bakar fosil, bahan bakar biomassa memiliki keunggulan dalam
mempertahankan siklus karbon tertutup tanpa menimbulkan efek terhadap kesetimbangan CO2 di
atmosfer (Pradana, Kurniawan, & Budiman, 2014).
Berdasarkan laporan The Renewable Energy Policy Network for The 21st Century (REN21)
2021 menunjukkan bahwa biomassa menyuplai energi bahan bakar untuk industri dan bangunan,
transportasi dan produksi listrik. Secara keseluruhan, bioenergi menyumbang sekitar 11,6%, atau
44 exajoule (EJ) dari total konsumsi energi pada tahun 2019. Lebih dari 50% dari total bioenergi ini
berasal dari penggunaan biomassa secara tradisional, yang menyediakan sekitar 24,6 EJ energi di
negara – negara berkembang (Renewables 2021 Global Status Report, 2021). Hal ini menunjukkan
bahwa biomassa merupakan sumber daya yang potensial untuk menggantikan sumber energi
konvensional seperti minyak bumi, gas alam dan batubara. Bioenergi, energi yang berasal dari
biomassa, merupakan penyumbang terbesar untuk pasokan energi terbarukan.
Secara umum, semua senyawa organik yang berasal dari tanaman/hewan, produk, limbah
industri (pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan dan perikanan) yang dapat diproses
menjadi bionergi disebut dengan biomassa. Material yang termasuk biomassa adalah sisa hasil
hutan dan perkebunan, hasil samping pertanian, limbah kayu, limbah hewan, limbah industri serta
limbah padat dari pemukiman (Suryani & Setyaningsih, 2012). Keuntungan penggunaan biomassa
sebagai sumber energi adalah terjaminnya ketersediaan sumber biomassa yang stabil dan harga
yang ditentukan oleh kondisi lokal sehingga menjadi lebih kompetitif.
Indonesia, sebagai negara yang terletak disekitar garis khatulistiwa, memiliki kekayaan
keanekaragaman hayati (biodiversitas) nomor dua setelah Brazil yang dapat dilihat dari berbagai
macam ekosistem yang ada, baik berupa tumbuhan, hewan, maupun jasad renik yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi biomassa yang sangat besar
untuk dimanfaatkan terutama sebagai sumber energi, baik yang berasal dari limbah hewan maupun
tumbuhan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dengan lebih baik.
Potensi biomassa sebagai bioenergi diperkirakan mencapai 49,8 GW dari sumberdaya
bioenergi yang melimpah di Indonesia, tetapi hanya sekitar 3,25% yang termanfaatkan (Abimanyu,
2014). Biomassa dengan nilai ekonomis rendah, yaitu berupa limbah dari produk primer, merupakan
biomassa yang paling sesuai digunakan sebagai bahan baku energi. Jenis biomassa ini dapat
diproses menjadi bahan bakar cair sebagai substitusi bahan bakar fosil yang semakin berkurang
ketersediaannya. Proyeksi ketersediaan energi baru terbarukan di Indonesia disajikan pada Gambar
1 dibawah ini yang menunjukkan bahwa bauran EBT di tahun 2019 baru mencapai 9,3% dari total
penyediaan energi primer. Pada tahun 2025, pangsa EBT diperkirakan hanya sebesar 15,2% dan
tahun 2050 sebesar 18,0% yang masih cukup jauh dari target Kebijakan Energi Nasional (PPIPE,
2021).
Produk samping sektor perkebunan yang berupa limbah kelapa sawit merupakan salah satu
potensi besar biomassa di Indonesia yang dapat digunakan sebagai bioenergi untuk menghasilkan
bahan bakar alternatif. Biomassa hasil samping dari kelapa sawit pada umumnya dapat diperoleh
dalam bentuk pelepah daun, cangkang, serat, tandan kosong kelapa sawit, dan limbah cair industri
(Hermawati, 2014). Indonesia, sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, menunjukan
tren pertumbuhan luas areal kelapa sawit yang cukup tinggi (Gambar 2) pada kurun waktu 2010-
2019, dimana rata-rata pertumbuhan luas arealnya mencapai 6,63% per tahun atau mengalami
penambahan 0,68 juta ha per tahun (Setjen Kementerian Pertanian, 2019).
Produksi CPO Indonesia juga mengalami kenaikan produksi sejalan dengan tren perkembangan
luas areal kelapa sawit pada periode 2010 – 2019 (Gambar 3) dengan rata-rata pertumbuhan
produksi mencapai 8,41%.
METODE
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode review atau tinjauan dari
berbagai literatur yang terkait dengan pemanfaatan limbah industri pengolahan sawit berupa tandan
kosong kelapa sawit (TKKS) sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Data –
data yang digunakan dalam makalah ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai
artikel, jurnal, dan literatur ilmiah yang terkait.
TKKS dapat diolah menjadi bahan bakar pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm). Pembangkit
listrik yang menggunakan TKKS sebagai feed, mempunyai biaya pembangkitan yang relatif lebih
rendah dibanding dengan PLTU batubara. Industri kelapa sawit di Jambi memanfaatkan limbah
TKKS sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik tenaga biomassa. TKKS digunakan untuk
memanaskan air di dalam boiler, sehingga menghasilkan suhu uap dan tekanan untuk memutar
turbin uap menghasilkan sekitar 18.867,84 MWh per tahun (Djufri, 2016 ). Limbah TKKS di Distrik
Jair, Papua dapat membangkitkan listrik sebesar 7,33 MW (Haryanti, Norsamsi, Sholiha, & Putri,
2014) sedangkan PLTU Biomassa di Sumatera Utara dapat menghasilkan 15 MW dari 29.375 kg
TKKS/jam (Erivianto, 2018). Namun demikian, potensi pemanfaatan TKKS sebagai bahan bakar
PLTBm juga tergantung pada pretreatment TKKS itu sendiri misalnya pada desain alat pengering
TKKS untuk menurunkan kadar air dalam TKKS dibawah 30% sehingga siap sebagai feed di boiler
PLTBm. Saat ini pemanfaatan TKKS sebagai bahan bakar PLTBm baru dikembangkan di beberapa
wilayah dan masih dalam skala kecil karena ketersediaan biomassa TKKS lebih terkonsentrasi di
beberapa tempat di Sumatera dan Kalimantan serta beberapa wilayah di Sulawesi dan Papua.
Pengumpulan biomassa TKKS karena lokasinya yang tersebar akan menjadi salah satu tantangan
Gunawan Priambodo, Yani Kartika Pertiwi, dan Endang Susiani
Potensi dan Tantangan Biomassa Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi Terbarukan
5
tersendiri dalam pemanfaatan TKKS sebagai bahan bakar PLTBm karena akan menimbulkan
penambahan biaya operasional selain itu juga karakteristik dari biomassa yang tidak homogen.
TKKS dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bioethanol melalui proses hidrolisis dan
fermentasi bakteri karena kandungan selulosa yang tinggi. Tahapan pertama adalah pemisahan
lignin dari komponen holoselulosa. Tahap kedua adalah hidrolisis holoselulosa TKKS menjadi gula
reduksi. Tahap berikutnya adalah fermentasi untuk mengkonversi glukosa menjadi etanol. Tahap
terakhir adalah pemurnian bioethanol (Herdiningrat, Mardawati , Putri, & Yuliani, 2020). Beberapa
penelitian telah dilakukan terkait pemanfaatan TKKS untuk produksi bioethanol seperti pemurnian
secara adsorpsi menggunakan zeolite (Herdiningrat, Mardawati , Putri, & Yuliani, 2020), fermentasi
menggunakan bakteri Zymomonas mobilis yang mampu menghasilkan etanol sebesar 56,44%
(Haryanti, Norsamsi, Sholiha, & Putri, 2014), pre-treatment menggunakan NaOH pada proses
konversi lignoselulosa menjadi bioethanol (Muryanto, Sudiyani, & Abimanyu, 2016).
Potensi lain berupa energi terbarukan dari TKKS adalah biodiesel yang dibuat melalui
proses gasifikasi. Kelebihan biodiesel dibanding bahan bakar diesel dari minyak bumi antara lain
tidak beracun dan dapat terbiodegradasi, mengurangi emisi karbon monoksida, hidrokarbon dan
NOx, terdapat dalam fase cair (Atmawinata, 2011). Emisi gas buang partikulat dari biodiesel
diperkirakan 30% lebih rendah dari keseluruhan emisi partikulat dari minyak solar (Dolah, Karnik, &
Hamdan, 2021). Pemanfaatan limbah sebagai bahan bakar nabati (bioetanol dan biodiesel)
menjanjikan kelebihan berupa efisiensi energi, penghematan biaya, mengurangi tempat penimbunan
sampah (Leko, Noor, & Usman, 2021).
Pirolisis TKKS dilakukan dalam reaktor batch, dimana hasil bio-oil optimum adalah 10,83%wt
diperoleh pada 500 °C, maksimum arang adalah 35,39%wt, diperoleh pada pirolisis suhu 400 0C,
sedangkan hasil maksimum gas adalah 37,71%wt pada suhu pirolisis 450 0C (Pradana, Kurniawan,
& Budiman, 2014). Penelitian lain menghasilkan nilai densitas dan viskositas Bio-oil secara berurutan
yaitu 0,9938-1,0083 g/cm3 dan 3,8407-5,7456 Cst. Nilai kalor bio-char sebesar (5,5069x10-6-
5,7859x10-6) Kcal/Kg. Selain itu, berdasarkan uji GCMS komposisi Bio-oil didominasi oleh senyawa
fenol dan dekanoit (Febriyanti, Fadila, Sanjaya, Bindar, & Irawan, 2019).
Bentuk energi terbarukan dari limbah tandan kosong kelapa sawit juga dapat berupa biopelet.
Pembuatannya diawali dengan sortasi TKKS kemudian dicacah, diperkecil ukurannya, diayak lalu
dicampur dengan perekat amilum dan menghasilkan biopelet dengan nilai kalor 4151,67 kal/g ( Falah
& Nelza, 2019). Arang TKKS digunakan sebagai bahan bakar alternative dalam bentuk briket
menggunakan campuran perekat, dimana nilai kalor, volatil meter dan kadar fix karbon yang baik
menggunakan perekat kanji (Amalia , Kurniawan, & Jalaluddin, 2020). Pembuatan briket TKKS
diawali dengan proses pirolisis kemudian dihancurkan dan diayak sebelum dicampur dengan perekat
untuk kemudian dicetak dan dilakukan pengeringan (Putra & Yuriandala, 2012). Arang TKKS juga
memiliki potensi menghasilkan karbon aktif. Proses pembuatan karbon aktif dari TKKS dilakukan
melalui pengecilan ukuran, pengeringan, pirolisisis atau karbonasi, aktivasi, pencucian dan
pengeringan (Budianto, Kusdarini, Amrullah, & Aidawiyah, 2020). Sebelum dimanfaatkan menjadi
sumber energi dapat juga dilakukan ekstraksi terhadap kandungan lignin dari TKKS namun harganya
sangat mahal.
KESIMPULAN
Permintaan sumber energi konvensional seperti minyak bumi dan batu bara yang lebih tinggi
daripada ketersediaannya serta efek samping yang ditimbulkan berupa emisi gas rumah kaca
memacu negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, sepakat untuk mulai menghentikan
pemakaian sumber energi konvensional secara bertahap dalam rangka mengurangi emisi gas rumah
kaca. Biomassa merupakan sumber daya yang potensial untuk menggantikan sumber energi
konvensional. Indonesia memiliki potensi biomassa yang sangat besar untuk dimanfaatkan. Produk
samping dari sektor perkebunan berupa limbah kelapa sawit merupakan salah satu potensi besar
biomassa di Indonesia karena rata-rata pertumbuhan luas areal serta produksi CPO menujukkan
kecenderungan untuk meningkat tiap tahun.
TKKS (tandan kosong kelapa sawit) merupakan limbah padat terbesar (23%) dari industri
pengolahan kelapa sawit. Biomassa TKKS dapat dikonversi menjadi cairan, gas, dan arang. TKKS
dapat diolah menjadi bahan bakar boiler pada pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm),
pembuatan bioethanol melalui proses hidrolisis dan fermentasi, biodiesel yang dibuat melalui proses
gasifikasi, serta biopelet, briket dan karbon aktif. Tantangan pemanfaatan TKKS menjadi sumber
energi terbarukan antara lain biaya administrasi dan prosedur perijinan, rendahnya kesadaran
produsen untuk memanfaatkan limbah menjadi biomassa serta tarif feed-in PLTBm hanya berlaku
untuk proyek yang lebih rendahdari 10 MW. Selain itu, tingginya kandungan air TKKS, rendahnya
efisiensi dari pembakaran langsung, potensi muncul kalium pada pipa boiler dan polusi yang
dihasilkan saat pembakaran juga merupakan tantangan dalam menggunakan TKKS sebagai EBT.