Anda di halaman 1dari 53

MASUKAN PEMERINTAH

ATAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN 2011 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI

Kementerian Pendidikan Nasional Juni 2011

RANCANGAN
1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN 2011 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimban g : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; b. bahwa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia; c. bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi dalam segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri, kritis, inovatif, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional; d. bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pem-bangunan berkelanjutan, diperlukan pendidikan tinggi untuk mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni, bagi kemajuan, kemandirian, dan daya saing bangsa; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi; : Pasal 20 dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
2

Mengingat

Menetapk an

: UNDANG-UNDANG TENTANG PENDIDIKAN TINGGI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal setelah pendidikan menengah yang merupakan kesatuan upaya pembudayaan dan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa, sehingga mampu menghasilkan sumber daya manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, kompeten, dan berbudaya, serta mampu menghasilkan karya dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, kemajuan bangsa dan Negara, peradaban, dan kemashlahatan umat manusia. 2. Pendidikan akademik adalah jenis pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan dengan kompetensi atau capaian pembelajaran dalam penguasaan, pengembangan, dan/atau penemuan di bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni. 3. Pendidikan profesi adalah adalah jenis pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan dengan kompetensi khusus dalam bidang pekerjaan tertentu setelah strata sarjana. 4. Pendidikan vokasi adalah jenis pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan dengan keterampilan dan keahlian terapan tertentu dapat setara dengan strata sarjana atau lebih. 5. Program Studi adalah program yang mencakup kegiatan pendidikan tinggi berdasarkan kurikulum dan metode pembelajaran tertentu pada satu strata dalam suatu jenis pendidikan akademik, profesi, dan vokasi. 6. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan formal yang mengelola pendidikan tinggi. 7. Perguruan Tinggi Negeri, selanjutnya disingkat PTN, adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan dikelola oleh Kementerian. 8. Perguruan Tinggi Negeri Khusus, selanjutnya disingkat PTN Khusus, adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan dikelola oleh Kementerian bersama Kementerian lain, dan/atau LPNK.
3

9. PTN berbadan hukum adalah PTN yang memiliki otonomi dalam bidang akademik dan nonakademik melalui pendirian badan hukum oleh Pemerintah. 10. PTN mandiri adalah PTN yang memiliki otonomi dalam bidang akademik dan nonakademik melalui pendelegasian wewenang dari Menteri. 11. Perguruan Tinggi Swasta, selanjutnya disingkat PTS, adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat melalui pendirian badan hukum nirlaba berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Statuta Perguruan Tinggi, selanjutnya disebut Statuta, adalah peraturan dasar bagi Perguruan Tinggi yang digunakan sebagai landasan untuk merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, dan mengembangkan kegiatan akademik dan nonakademik Perguruan Tinggi. 13. Organ Perguruan Tinggi, selanjutnya disebut Organ, adalah unit organisasi Perguruan Tinggi yang menjalankan fungsi Perguruan Tinggi, baik sendiri maupun bersama-sama. 14. Majelis Pemangku adalah Organ yang menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum dan pengawasan non akademik. 15. Pemimpin adalah pejabat yang memimpin Organ yang menjalankan fungsi pengelolaan dengan sebutan rektor untuk universitas atau institut, ketua untuk sekolah tinggi, dan direktur untuk politeknik atau akademi. 16. Pimpinan adalah Pemimpin dan sekelompok pejabat di bawahnya yang diangkat dan diberhentikan berdasarkan Statuta untuk secara bersama-sama menjalankan fungsi pengelolaan. 17. Senat Akademik adalah Organ yang menjalankan fungsi perencanaan dan pengawasan kebijakan akademik. 18. Komite Audit adalah Organ yang menjalankan fungsi pengawasan nonakademik yang bertanggung jawab kepada Majelis Pemangku atau Menteri. 19. Sivitas Akademika adalah kelompok masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa. 20. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu, teknologi, dan/atau seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 21. Mahasiswa adalah warga perguruan tinggi yang mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jenis dan strata pendidikan tertentu.
4

22. Pemerintah adalah pemerintah pusat yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 23. Pemerintah provinsi adalah pemerintah daerah yang memegang kekuasaan pemerintahan provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 24. Pemerintah kabupaten adalah pemerintah daerah yang memegang kekuasaan pemerintahan kabupaten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 25. Pemerintah kota adalah pemerintah daerah yang memegang kekuasaan pemerintahan kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 26. Kementerian adalah kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pendidikan nasional. 27. Kementerian lain adalah kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang selain pendidikan nasional. 28. Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, selanjutnya disingkat LPNK, adalah badan atau lembaga Pemerintah yang melaksanakan tugas dan fungsi yang tidak termasuk dalam tugas dan fungsi Kementerian atau kementerian lain. 29. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional. 30. Menteri lain adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang selain pendidikan nasional. 31. Pemimpin LPNK adalah Kepala atau Ketua lembaga pemerintah nonkementerian. Pasal 2 Pendidikan Tinggi berasaskan: a. kebenaran ilmiah; b. otonomi keilmuan; c. kebebasan akademik; d. kebebasan mimbar akademik. e. kejujuran; dan f. keadilan. Pasal 3 Pendidikan Tinggi bertujuan: a. menghasilkan sumberdaya manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, kompeten dan berbudaya, serta memiliki sikap toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional;
5

b. menghasilkan lulusan yang menguasai bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang dipelajari untuk memenuhi kepentingan nasional dalam rangka peningkatan daya saing bangsa; c. menghasilkan karya penelitian dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, kemajuan bangsa dan Negara, peradaban dan kemaslahatan umat manusia; dan d. menghasilkan karya pengabdian kepada masyarakat yang inovatif dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa. Pasal 4 (1) Pendidikan Tinggi berfungsi membentuk dan mengembangkan kemampuan kognitif dan psikomotorik, serta sikap inovatif, afektif, responsif dan kooperatif mahasiswa melalui pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu: a. dharma pendidikan; b. dharma penelitian; dan c. dharma pengabdian kepada masyarakat. (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi pelaksanaan ketiga dharma, sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan setiap jenis pendidikan vokasi, profesi, atau akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Menteri. BAB II PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1) Menteri bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi. (2) Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan, evaluasi, pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pendidikan tinggi. (3) Fungsi dan tugas Menteri meliputi: a. mengembangkan pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional; b. menetapkan arah kebijakan pengembangan dan menyusun rencana pengembangan jangka panjang, menengah, dan tahunan pendidikan tinggi;
6

c. menyehatkan

d. e. f.

g.

h. i.

dan meningkatkan kapasitas pengelolaan akademik dan manajemen sumber daya perguruan tinggi sesuai dengan otonomi perguruan tinggi dalam pengelolaan pendidikan tinggi; menghimpun dan mendayagunakan seluruh potensi masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tinggi; mengembangkan sistem evaluasi dan penjaminan mutu untuk meningkatkan standar pendidikan tinggi; memperluas dan meningkatkan akses pendidikan tinggi yang bermutu agar terjangkau oleh masyarakat di seluruh wilayah Negara; melakukan koordinasi penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan Menteri lain dan Pemimpin LPNK yang mengelola pendidikan tinggi; memberikan ijin atau mandat pendirian perguruan tinggi; memberikan ijin atau mandat penyelenggaraan program studi.

Pasal 6 Dalam melaksanakan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Menteri berwenang untuk: a. mengubah mandat atau mencabut ijin pendirian perguruan tinggi; b. mengubah mandat atau mencabut ijin program studi yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan; c. mendelegasikan atau memberikan kewenangan pengelolaan akademik kepada perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. mendelegasikan pelaksanaan fungsi dan tugas tertentu kepada badan atau lembaga yang dapat dibentuk untuk melaksanakannya; e. membentuk dewan, majelis, atau komisi yang melibatkan masyarakat untuk melaksanakan fungsi: 1. perumusan arah kebijakan pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni, serta perumusan kebijakan penyelenggaran pendidikan tinggi; 2. perumusan kebijakan pendanaan pendidikan tinggi; dan 3. pengkajian untuk pemantauan, dan evaluasi pendidikan tinggi. Pasal 7 Prinsip penyelenggaraan Pendidikan Tinggi: a. berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai budaya dan kemajemukan bangsa;
7

b. komunitas belajar yang berkelanjutan dan pembelajaran

yang berpusat kepada mahasiswa; dan c. pendidikan dengan sistem terbuka. Bagian Kedua Pengembangan Perguruan Tinggi
(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Pasal 8 Pemerintah mendirikan paling sedikit 1 (satu) Perguruan Tinggi berbentuk universitas atau institut di setiap provinsi. Pada kota atau kabupaten yang belum terdapat perguruan tinggi, pemerintah kota atau kabupaten mendirikan akademi atau akademi komunitas dalam bidang yang sesuai dengan kemampuan, potensi, dan kebutuhan daerah. Pemerintah dapat memberikan mandat khusus kepada perguruan tinggi untuk menjadi unggul dalam pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni yang berkontribusi secara khusus pada pembangunan nasional. Pemerintah memberikan mandat khusus kepada perguruan tinggi yang unggul dalam bidang pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni, serta pengelolaan perguruan tinggi pada tingkat nasional, regional, provinsi untuk membina perguruan tinggi lainnya. Pemerintah mengembangkan sistem pengelolaan informasi pendidikan tinggi, serta sistem jaringan penelitian dan pendidikan tinggi. Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Jenis dan Strata Pendidikan Tinggi

Pasal 9 Jenis Pendidikan Tinggi terdiri atas: a. akademik; b. profesi; dan/atau c. vokasi. Pasal 10 (1) Jenis pendidikan tinggi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a memiliki strata: a. sarjana; b. magister; dan
8

c. doktor. (2) Jenis pendidikan tinggi profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b memiliki strata: a. profesi; dan b. spesialis. (3) Jenis pendidikan tinggi vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c memiliki strata: a. diploma satu; b. diploma dua; c. diploma tiga; d. sarjana terapan; e. magister terapan; dan f. doktor terapan. Bagian Keempat Bentuk Perguruan Tinggi Pasal 11 Dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi, Tinggi dapat berbentuk: a. universitas; b. institut; c. sekolah tinggi; d. politeknik; e. akademi; atau f. akademi komunitas. Perguruan

Pasal 12 (1) Organisasi Perguruan Tinggi sekurangnya terdiri atas: a. Unsur penyusun kebijakan terdiri atas Senat Akademik, dan Pimpinan. b. Unsur pelaksana akademik terdiri atas fakultas/sekolah, lembaga/pusat, jurusan/departemen/bagian yang yang mengelola satu atau beberapa program studi dalam 1 (satu) rumpun disiplin ilmu, teknologi, dan/atau seni. c. Unsur penunjang akademik terdiri atas antara lain laboratorium/kebun percobaan/rumah sakit pendidikan, pusat, perpustakaan. d. Unsur pelaksana administrasi; dan e. Unsur pelaksana kegiatan usaha. (2) Unsur dalam organisasi PTS ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya.
(1)

Pasal 13 Universitas dan Institut menyelenggarakan jenis pendidikan tinggi akademik dan jenis pendidikan tinggi
9

profesi, dan dapat menyelenggarakan jenis pendidikan tinggi vokasi apabila dibutuhkan oleh pemangku kepentingan dan diselenggarakan oleh lembaga terpisah setingkat fakultas. (2) Sekolah tinggi menyelenggarakan jenis pendidikan tinggi akademik dalam 1 (satu) bidang keilmuan. (3) Politeknik menyelenggarakan jenis pendidikan tinggi vokasi dalam strata diploma satu sampai dengan strata diploma tiga, dan dapat menyelenggarakan jenis pendidikan tinggi vokasi dalam strata sarjana terapan sampai dengan strata doktor terapan di bidang rekayasa teknologi apabila memenuhi persyaratan sumber daya yang diperlukan, atau yang diselenggarakan bekerjasama dengan perguruan tinggi yang menyelenggarakan strata sarjana sampai dengan strata doktor di bidang yang sama. (4) Akademi menyelenggarakan jenis pendidikan tinggi vokasi dalam strata diploma satu sampai dengan strata diploma tiga. (5)Akademi Komunitas menyelenggarakan jenis pendidikan tinggi vokasi dalam strata diploma satu dan diploma dua.

Bagian Kelima Dosen Pasal 14 (1) Dosen adalah pendidik yang memiliki tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu, teknologi, dan/atau seni melalui pendidikan, serta penelitian, dan/atau pengabdian kepada masyarakat pada perguruan tinggi yang bersangkutan. (2) Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dan kualifikasi lain yang disyaratkan oleh perguruan tinggi tempat bertugas. (3) Dosen memiliki kualifikasi akademik sebagai berikut: a. pada strata diploma satu dan strata diploma dua, paling sedikit sarjana atau sarjana terapan atau yang disetarakan; b. pada strata diploma tiga, strata sarjana atau sarjana terapan, paling sedikit magister atau magister terapan atau yang disetarakan;
10

c. pada strata magister, strata magister terapan, strata

doktor, atau strata doktor terapan, paling sedikit doktor atau doktor terapan atau yang disetarakan; d. pada strata profesi, paling sedikit magister atau magister terapan atau yang disetarakan; e. pada strata spesialis, paling sedikit doktor atau doktor terapan atau yang disetarakan. (4) Setiap orang yang memiliki keahlian dan ketrampilan yang memadai dan sesuai dapat diangkat sebagai dosen. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetaraan serta pengakuan keahlian dan ketrampilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 15 Dosen adalah jabatan fungsional akademik pada perguruan tinggi. (2) Jenis jabatan fungsional akademik dan persyaratan untuk diangkat dalam jabatan fungsional akademik di perguruan tinggi diatur dalam Peraturan Menteri bersama dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pemberdayaan aparatur negara. (1) Bagian Keenam Mahasiswa Pasal 16 (1)Mahasiswa merupakan insan dewasa yang atas kesadaran dan minatnya mengikuti pembelajaran di Perguruan Tinggi. (2) Setiap mahasiswa berhak untuk: a. mendapatkan pelayanan pendidikan tinggi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan; b. mendapatkan pelayanan pendidikan tinggi sesuai dengan bakat, minat, dan sesuai dengan kemampuan Perguruan Tinggi untuk menyediakan; c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi; d. mendapatkan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi; e. pindah program studi, strata, atau jenis pendidikan tinggi baik dalam satu Perguruan Tinggi maupun ke Perguruan Tinggi lain, sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi tujuan; f. menyelesaikan program studi sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak
11

menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi. (3) Setiap mahasiswa berkewajiban: a. menjaga etika dan norma Perguruan Tinggi untuk menjamin keberlangsungan proses pembelajaran dan keberhasilan pendidikan; b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi, kecuali bagi mahasiswa yang dibebaskan dari kewajiban tersebut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (1) (2) (3) (4) Pasal 17 Syarat calon mahasiswa baru pendidikan tinggi adalah minimum berijasah SMA atau SMK atau sederajat. Penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional, atau bentuk lain. Penerimaan mahasiswa baru PTS untuk setiap program studi diatur oleh PTS yang bersangkutan. Pola penerimaan mahasiswa secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas prinsip kemampuan akademik, keadilan, keterjangkauan, dan pemerataan. PTN memprioritaskan penerimaan mahasiswa baru melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional. Pemerintah memberikan bantuan pada calon mahasiswa PTN yang tidak mampu secara ekonomi, yang ingin mengikuti pola penerimaan mahasiswa secara nasional. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan pola penerimaan mahasiswa, serta pemberian bantuan calon mahasiswa PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan mahasiswa baru PTS diatur oleh badan hukum nirlaba yang bersangkutan.

(5) (6)

(7)

(8)

Pasal 18 (1) Warga negara asing dapat menjadi mahasiswa pada Perguruan Tinggi yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud ayat (1) berhak mendapatkan visa mahasiswa yang masa berlakunya sesuai dengan program yang diikuti.
12

Ketentuan mengenai visa mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur bersama dengan kementerian lain yang terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mahasiswa warga negara asing diatur dengan Peraturan Menteri.
(3)

Pasal 19 (1) Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra kurikuler, yaitu wadah yang tidak terpisahkan dari proses pendidikan untuk meningkatkan kemampuan, kepemimpinan, penalaran, minat, bakat, kegemaran, dan kesejahteraan mahasiswa dalam kehidupan kemahasiswaan. (2) Organisasi kemahasiswaan di Perguruan Tinggi diselenggarakan oleh, dari, dan untuk mahasiswa. (3) Organisasi kemahasiswaan dibentuk berdasarkan statuta.

Bagian Ketujuh Program Studi dan Kurikulum


(1)

(2) (3) (4) (5)

Pasal 20 Jenis dan strata pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilaksanakan melalui suatu program studi. Program Studi dikelola oleh suatu unit sumber perguruan tinggi yang dapat berbentuk jurusan/departemen/fakultas atau oleh perguruan tinggi. Program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada setiap strata pendidikan. Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan dengan sistem terbuka. Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan dengan sistem pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

Pasal 21 (1) Program Studi diselenggarakan di domisili Perguruan Tinggi. (2) Dalam hal terdapat kebutuhan, program studi dapat diselenggarakan di luar domisili Perguruan Tinggi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
13

(1)

(2)

(3)

(4)

Pasal 22 Kurikulum disusun untuk setiap program studi oleh masing-masing perguruan tinggi berdasarkan standar nasional pendidikan tinggi. Standar nasional pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan oleh suatu badan standar nasional pendidikan tinggi yang dibentuk oleh Menteri. Standard nasional pendidikan tinggi tentang kurikulum pendidikan tinggi profesi dirumuskan oleh badan standar nasional pendidikan tinggi bekerjasama dengan masyarakat profesi dan/atau Kementerian lain dan/atau LPNK yang bertanggungjawab atas profesi yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut tentang kurikulum diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Bagian Kedelapan Perpindahan dan Penyetaraan

(1) (2)

(3)

(4) (5)

(6)

Pasal 23 Perpindahan mahasiswa dapat dilakukan antar program studi pada strata yang sama, antar jenis pendidikan tinggi, dan antar perguruan tinggi. Perpindahan mahasiswa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan ketentuan lain yang ditetapkan oleh perguruan tinggi tujuan. Penyetaraan kompetensi atau capaian pembelajaran dalam perpindahan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Pengakuan Pembelajaran Lampau. Perguruan tinggi dapat mengakui kompetensi atau capaian pembelajaran yang diperoleh dari pendidikan non formal dan/atau pengalaman kerja. Penyetaraan capaian pembelajaran yang diperoleh dari pendidikan non formal dan/atau pengalaman kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan Pengakuan Pembelajaran Lampau dan mengacu pada kerangka kualifikasi nasional. Ketentuan lebih lanjut mengenai perpindahan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan Pengakuan Pembelajaran Lampau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan peraturan Menteri
14

Pasal 24 Lulusan pendidikan tinggi vokasi atau lulusan pendidikan tinggi profesi dapat melanjutkan pendidikan pada pendidikan tinggi akademik melalui proses penyetaraan. (2) Lulusan pendidikan tinggi akademik dapat melanjutkan pendidikan pada pendidikan tinggi vokasi atau profesi melalui proses penyetaraan.
(1)

Pasal 25 (1) Lulusan perguruan tinggi asing dapat mengikuti pendidikan tinggi di Indonesia setelah melalui proses penyetaraan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyetaraan dan lembaga yang melakukan penyetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri Bagian Kesembilan Ijazah dan Gelar Pasal 26 Perguruan Tinggi memberikan ijazah dan gelar pada lulusan pendidikan tinggi akademik dan pendidikan tinggi vokasi. (2) Perguruan Tinggi dapat memberikan sertifikat dan sebutan pada lulusan pendidikan tinggi profesi; (3) Dalam memberikan sertifikat dan sebutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perguruan Tinggi bekerja sama dengan masyarakat profesi dan/atau Kementerian lain dan/atau LPNK. (4) Perguruan Tinggi memberikan ijazah/sertifikat dan gelar/sebutan kepada lulusan dari suatu program studi yang terakreditasi.
(1)

Pasal 27 Perguruan Tinggi dilarang memberikan ijazah/sertifikat dan gelar/sebutan untuk lulusan program studi yang tidak terakreditasi. (2) Perguruan Tinggi wajib menutup program studi yang tidak terakreditasi; (3) Ketentuan lebih lanjut tentang penutupan program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.
(1)

Pasal 28
15

Ketentuan mengenai bentuk dan singkatan gelar/sebutan diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Kesepuluh Penelitian
(1) (2)

(3)

(4) (5)

(6)

Pasal 29 Perguruan Tinggi menyelenggarakan penelitian. Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sivitas akademika sesuai dengan norma, etika akademik, dan otonomi keilmuan untuk: a. mencari dan menemukan kebenaran; b. mencari dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat; c. mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni; d. memperkuat inovasi nasional, meningkatkan daya saing bangsa, dan memajukan budaya dan peradaban bangsa. Penelitian dapat berbentuk: a. penelitian dasar; b. penelitian terapan dan/atau c. penelitian pengembangan. Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa penelitian empirik atau teoritik. Perguruan Tinggi mendorong dan mengembangkan hasil penelitian untuk mendapatkan hak atas kekayaan intelektual. Hasil penelitian dijadikan pengayaan bahan ajar bagi mahasiswa.

Pasal 30 (1) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat mendayagunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat penelitian atau pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni. (2) Perguruan tinggi dapat mendayagunakan fasilitas penelitian di Kementerian lain, dan/atau LPNK. Bagian Kesebelas Pengabdian Kepada Masyarakat Pasal 31 Perguruan Tinggi menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat secara institusional. (2) Pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka mengaplikasikan
(1)
16

ilmu, teknologi, dan/atau seni yang bermanfaat untuk memberdayakan dan/atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (3) Pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan norma, etika akademik, otonomi keilmuan, dan kondisi sosial budaya masyarakat. (4) Pengabdian kepada masyarakat dapat berbentuk: a. Penerapan ilmu, teknologi, dan/atau seni di masyarakat; b. Penyuluhan; c. Pendampingan; d. kuliah kerja; dan e. bentuk lain yang dibutuhkan masyarakat, pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. Bagian Keduabelas Pendanaan Pendidikan Tinggi Pasal 32 (1) Pendanaan pendidikan tinggi adalah penyediaan anggaran Pemerintah dan anggaran pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, serta upaya memobilisasi bantuan dana masyarakat untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi. (2) Anggaran pendidikan tinggi yang disediakan oleh Pemerintah dan pemerintah provinsi, kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pasal 33 (1) Anggaran pendidikan tinggi yang disediakan oleh Pemerintah terdiri atas: a. Anggaran Kementerian; b. Anggaran Kementerian, Kementerian lain dan LPNK yang digunakan untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang wajib direncanakan bersama dengan Menteri; c. Anggaran bantuan penyelenggaraan PTS. (2) Anggaran pendidikan tinggi yang disediakan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialokasikan kepada perguruan tinggi dalam bentuk antara lain: a. Belanja pegawai, operasional, perjalanan dinas, dan biaya modal perguruan tinggi;
17

dan biaya investasi, serta pengembangan perguruan tinggi; c. Program hibah kompetisi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat perguruan tinggi; d. Subsidi biaya pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat perguruan tinggi; e. Bantuan sosial pelaksanaan pendidikan tinggi oleh perguruan tinggi; f. Bentuk pembiayaan lain yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. (3) Subsidi biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi antara lain subsidi bunga kredit mahasiswa untuk pembayaran biaya pendidikan dan biaya hidup, serta subsidi biaya satuan pendidikan tinggi mahasiswa; (4) Bantuan sosial pelaksanaan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e meliputi antara lain beasiswa biaya pendidikan dan beasiswa biaya hidup mahasiswa; (5) Menteri Keuangan menetapkan keringanan pajak dan bea masuk bagi penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi. Pasal 34 (1) Anggaran pendidikan tinggi yang disediakan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota merupakan bantuan dana yang disediakan untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi di daerah masing-masing. (2) Bantuan dana untuk pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota dalam bentuk: a. Hibah investasi dan hibah pengembangan untuk penyediaan sarana dan prasarana, serta peralatan pendidikan tinggi; b. Bantuan sosial beasiswa biaya pendidikan dan beasiswa biaya hidup mahasiswa; c. Kerjasama pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, untuk menjawab tantangan pembangunan daerah dan menyelesaikan masalah masyarakat. d. Bentuk bantuan sumber daya dan pembiayaan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(1)

b. Hibah

Pasal 35 Bantuan dana masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) terdiri atas:
18

a. Biaya pendidikan yang dibayarkan oleh mahasiswa

mampu kepada perguruan tinggi; b. Bantuan dana masyarakat lainnya yang dapat berupa hibah, wakaf, zakat, sumbangan perusahaan, dan atau penerimaan lain yang sah. (2) Sumbangan dan/atau bantuan dana yang berasal dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak. (3) Menteri Keuangan memberikan insentif perpajakan yang dapat berbentuk antara lain pembebasan pajak (tax exemption) dan/atau pengurangan pajak (tax deduction) bagi perusahaan atau anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut tentang pendanaan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 35 diatur dengan peraturan Menteri. BAB III PENDIRIAN, PERUBAHAN DAN PENUTUPAN PERGURUAN TINGGI Pasal 37 (1) Perguruan Tinggi didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat. (2) Pendirian Perguruan Tinggi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh: a. Kementerian; dan b. Kementerian bersama dengan Kementerian lain dan/atau LPNK; c. Kementerian bersama dengan pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota (3) Pendirian Perguruan Tinggi oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum nirlaba. (4) Pendirian Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin Menteri. Pasal 38 Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a disebut PTN. (2) Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b dan huruf c disebut PTN Khusus. (1)
19

(3) Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) disebut PTS. Pasal 39 (1) PTN, PTN Khusus, dan PTS yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 harus memiliki Statuta. (2) Statuta PTN, PTN Khusus, dan PTS paling sedikit memuat: .a nama dan tempat kedudukan; .b visi, misi, dan tujuan; .c ciri khas dan ruang lingkup kegiatan; .d jangka waktu berdiri; .e struktur organisasi serta nama dan fungsi setiap organ; .f susunan, tata cara pembentukan organ, kriteria dan persyaratan, pengangkatan dan pemberhentian, serta pembatasan masa jabatan pimpinan dan keanggotaan organ; .g jumlah kekayaan yang dipisahkan atau yang dikelola oleh pendiri sebagai kekayaan awal; .h sumber daya; .i tata cara penggabungan atau pembubaran; .j perlindungan terhadap pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik; dan .k tata cara pengubahan statuta. Pasal 40 Perubahan Perguruan Tinggi terdiri atas: a. perubahan nama dan/atau bentuk Perguruan Tinggi; b. penggabungan 2 (dua) Perguruan Tinggi atau lebih menjadi 1 (satu) Perguruan Tinggi baru; c. 1 (satu) Perguruan Tinggi atau lebih menggabungkan diri ke Perguruan Tinggi lain; d. pemecahan dari 1 (satu) bentuk Perguruan Tinggi menjadi 2 (dua) bentuk Perguruan Tinggi atau lebih; atau e. pengalihan Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pasal 41 (1) Penutupan Perguruan Tinggi dapat dilakukan Menteri dengan mencabut izin pendirian.
20

oleh

(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila: a. Perguruan Tinggi tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan pendirian Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau b. proses penyelenggaraan Perguruan Tinggi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. terjadi sengketa antar organ perguruan tinggi yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak; atau d. Perguruan tInggi membubarkan diri. Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian, perubahan, dan penutupan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 diatur dalam peraturan Menteri. BAB IV PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI Bagian Kesatu Umum Pasal 43 Pengelolaan Perguruan Tinggi berdasarkan prinsip: a. penjaminan mutu; b. nirlaba; c. otonomi; d. transparansi; e. akuntabilitas; dan f. efektivitas dan efisiensi. Pasal 44 (1) Perguruan Tinggi dapat diberikan otonomi dalam bidang akademik dan/atau bidang non akademik untuk mengelola lembaganya secara mandiri. (2) Ruang lingkup bidang akademik dan bidang non akademik yang diotonomikan kepada Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kemampuan Perguruan Tinggi dalam mengelola lembaganya secara mandiri. (3) Ruang lingkup bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma, kebijakan, dan pelaksanaan: a. bidang pendidikan tinggi: b. bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
21

(4) Ruang lingkup bidang non akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma, kebijakan, dan pelaksanaan: a. bidang organisasi; b. bidang keuangan; c. bidang kemahasiswaan; d. bidang sumber daya manusia; e. bidang sarana dan prasarana. Pasal 45 (1) Menteri, Menteri lain dan/atau Pemimpin LPNK sesuai dengan kewenangan masing-masing berwenang menetapkan, mengubah ruang lingkup otonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). (2) Badan hukum nirlaba yang mendirikan dan mengelola PTS berwenang menetapkan dan mengubah ruang lingkup otonomi bidang non akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4). Pasal 46 Berdasarkan ruang lingkup otonomi Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Menteri menetapkan status Perguruan Tinggi yang terdiri atas: a. PTN berbadan hukum; b. PTN mandiri; c. PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis Pemerintah; dan d. PTS. (2) Organisasi, jumlah dan jenis fungsi serta organ pada Perguruan Tinggi ditetapkan berdasarkan status Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(1)

Bagian Kedua PTN Berbadan Hukum Paragraf 1 Umum Pasal 47 PTN berbadan hukum memiliki otonomi untuk mengelola perguruan tingginya secara mandiri, baik dalam bidang akademik maupun bidang nonakademik. (2) Otonomi akademik pada PTN berbadan hukum diberikan oleh Menteri.
(1)
22

(3) (4)

(5)

(6)

(7)

Otonomi nonakademik dalam bidang keuangan pada PTN berbadan hukum diberikan oleh Menteri Keuangan. Otonomi nonakademik dalam bidang tata kelola dan sumber daya manusia pada PTN berbadan hukum diberikan oleh Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang pemberdayaan aparatur negara. Otonomi nonakademik dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi tugas dan wewenang untuk: a. menetapkan tarif layanan dan standar biaya satuan; b. menetapkan rencana alternatif perolehan dana; c. menetapkan sistem dan besaran remunerasi di lingkungan PTN; d. melakukan pinjaman dana jangka pendek dan jangka panjang; e. melakukan investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha dan atau portofolio; f. pengelolaan aset yang telah dipisahkan; g. menggunakan standar akuntansi yang berlaku umum dalam menyusun laporan keuangan. Otonomi nonakademik dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh Menteri setelah memperoleh persetujuan tertulis dari Menteri Keuangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PTN berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Menteri.

Pasal 48 (1) PTN berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) memiliki organ: a. Majelis Pemangku; b. Pimpinan; c. Senat Akademik; dan d. Komite Audit. (2) Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum dan melakukan pengawasan bidang non akademik. (3) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjalankan fungsi pengelolaan. (4) Senat Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menjalankan fungsi perencanaan dan pengawasan bidang akademik. (5) Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memiliki fungsi pengawasan bidang nonakademik untuk dan atas nama Majelis Pemangku.
23

Paragraf 2 Majelis Pemangku Pasal 49 (1) Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf a beranggotakan: a. Menteri atau yang mewakili; b. Menteri Keuangan atau yang mewakili; d. Gubernur atau yang mewakili; e. Pemimpin; f. wakil dari dosen; g. wakil dari Tenaga Kependidikan; dan h. wakil dari masyarakat. (2) Anggota Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Pasal 50 Menteri mendelegasikan tugas dan wewenangnya dalam bidang akademik dan nonakademik kepada Majelis Pemangku. (2) Menteri Keuangan mendelegasikan tugas dan wewenangnya dalam bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) kepada Majelis Pemangku. (3) Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang pemberdayaan aparatur negara mendelegasikan tugas dan wewenangnya kepada Majelis Pemangku dalam bidang: a. susunan organisasi PTN berbadan hukum beserta perubahannya; b. pengelolaan pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah yang diperbantukan pada PTN berbadan hukum. (1) Pasal 51 (1) Tugas dan wewenang Majelis Pemangku: a. Menetapkan statuta dan perubahannya atas usul Senat Akademik; b. Menetapkan rencana pengembangan jangka panjang 25 tahun, rencana strategis 5 tahun, rencana kerja dan anggaran tahunan atas usul pimpinan setelah mendapat pertimbangan Senat Akademik; c. Mengangkat dan memberhentikan pemimpin PTN berbadan hukum atas usul Senat Akademik; d. Melakukan pengawasan umum dan pengelolaan PTN berbadan hukum; e. Melakukan evaluasi tahunan kinerja pimpinan PTN berbadan hukum;
24

f. Mengangkat dan memberhentikan ketua serta anggota

Komite Audit; g. Melakukan penilaian laporan pertanggungjawaban tahunan Pimpinan, Senat Akademik, danKomite Audit. (2) Ketentuan tentang pengangkatan, dan pemberhentian pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c diatur dalam peraturan Menteri. Paragraf 3 Pimpinan Pasal 52 Pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b terdiri atas 1 (satu) orang Pemimpin dan paling sedikit 2 (dua) orang Wakil Pemimpin. (2) Wakil Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. wakil Pemimpin bidang akademik; dan b. wakil Pemimpin bidang nonakademik. (1) Pasal 53 (1) Pemimpin dilarang merangkap: a. jabatan pada Perguruan Tinggi lain; b. jabatan pada lembaga Pemerintah atau pemerintah daerah; atau c. jabatan lain yang ditetapkan oleh Senat Akademik. (2) Pemimpin yang mempunyai jabatan rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi pemberhentian dari jabatan. Pasal 54 Tugas dan wewenang pemimpin: a. menyusun rencana strategis 5 tahun, rencana kerja dan anggaran tahunan untuk diusulkan kepada Majelis Pemangku setelah mendapat pertimbangan dari Senat Akademik; b. menyusun dan menetapkan kebijakan akademik setelah mendapat persetujuan dari Senat Akademik; c. mengangkat dan memberhentikan wakil pemimpin, dosen, dan tenaga kependidikan berdasarkan statuta serta ketentuan peraturan perundang-undangan; d. menjatuhkan sanksi kepada sivitas akademika yang melakukan pelanggaran terhadap norma, etika, dan atau peraturan akademik berdasarkan rekomendasi Senat Akademik;
25

e. menjatuhkan

sanksi kepada dosen dan tenaga kependidikan yang melakukan pelanggaran, selain sebagaimana yang dimaksud pada huruf (d), berdasarkan statuta serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Senat Akademik

Pasal 55 Senat Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf c beranggotakan: a. wakil dari dosen berjabatan akademik profesor setiap fakultas dan/atau jurusan atau nama lain yang sejenis; b. wakil dari dosen berjabatan akademik bukan profesor setiap jurusan atau nama lain yang sejenis. Pasal 56 Tugas dan wewenang senat akademik: a. memberi pertimbangan atas rencana pengembangan jangka panjang 25 tahun, rencana strategis 5 tahun, rencana kerja dan anggaran tahunan yang diusulkan oleh Pemimpin PTN berbadan hukum; b. memberi persetujuan atas kebijakan akademik yang disusun oleh Pemimpin PTN berbadan hukum; c. mengusulkan calon dan pemberhentian pemimpin PTN berbadan hukum kepada Majelis Pemangku; d. memberikan pertimbangan kepada Majelis Pemangku atas kinerja pemimpin PTN berbadan hukum dalam bidang akademik; e. memberikan rekomendasi sanksi atas pelanggaran norma, etika dan atau peraturan akademik; f. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik sivitas akademika; g. mengawasi pelaksanaan kebebasan akademik, mimbar akademik , dan otonomi keilmuan; h. memutuskan pemberian atau pencabutan sebutan, gelar, dan penghargaan akademik. Paragraf 5 Komite Audit Pasal 57 Komite audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf d paling sedikit memiliki kemampuan untuk menjalankan audit bidang keuangan, manajemen organisasi, hukum, dan manajemen aset.
26

Pasal 58 Ketentuan mengenai tugas dan wewenang, dan masa jabatanKomite Audit diatur dalam Statuta PTN berbadan hukum. Bagian Ketiga PTN Mandiri Paragraf 1 Umum
(1)

(2) (3) (4)

(6)

Pasal 59 PTN mandiri memiliki otonomi untuk mengelola perguruan tingginya secara mandiri, baik dalam bidang akademik maupun bidang nonakademik. Otonomi akademik pada PTN mandiri diberikan oleh Menteri. Otonomi nonakademik dalam bidang keuangan pada PTN mandiri didelegasikan oleh Menteri Keuangan. Otonomi nonakademik dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi tugas dan wewenang untuk: a. menetapkan tarif layanan dan standar biaya satuan; b. menetapkan rencana alternatif perolehan dana; c. menetapkan sistem dan besaran remunerasi di lingkungan PTN; d. melakukan pinjaman dana jangka pendek dan jangka panjang; e. melakukan investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha dan atau portofolio; f. pengelolaan aset yang berada di Perguruan Tinggi; g. menggunakan standar akuntansi yang berlaku umum dalam menyusun laporan keuangan. (5) Otonomi nonakademik dalam bidang tata kelola dan sumber daya manusia pada PTN mandiri didelegasikan oleh Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang pemberdayaan aparatur negara. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PTN mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Menteri.

Pasal 60 (1) PTN mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) memiliki organ: a. Majelis Pemangku; b. Pimpinan;
27

(2)

(3) (4)

(5)

c. Senat Akademik; dan d. Komite Audit. Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum dan melakukan pengawasan bidang non akademik. Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjalankan fungsi pengelolaan. Senat Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menjalankan fungsi perencanaan dan pengawasan bidang akademik. Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memiliki fungsi pengawasan bidang nonakademik untuk dan atas nama Majelis Pemangku. Paragraf 2 Majelis Pemangku

Pasal 61 (1) Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a beranggotakan: a. Menteri atau yang mewakili; b. Gubernur atau yang mewakili; c. Pemimpin; d. wakil dari dosen; e. wakil dari Tenaga Kependidikan; dan f. wakil dari masyarakat. (2) Anggota Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Pasal 62 Menteri mendelegasikan tugas dan wewenangnya dalam bidang akademik kepada Majelis Pemangku. Pasal 63 (1) Tugas dan wewenang Majelis Pemangku: a. Menyetujui rancangan statuta atau perubahannya atas usul Senat Akademik untuk diusulkan kepada Menteri; b. Menetapkan rencana pengembangan jangka panjang 25 tahun, rencana strategis 5 tahun, rencana kerja dan anggaran tahunan atas usul pimpinan setelah mendapat pertimbangan Senat Akademik; c. Mengangkat dan memberhentikan pemimpin PTN mandiri atas usul Senat Akademik; d. Melakukan pengawasan umum dan pengelolaan PTN mandiri;
28

evaluasi tahunan kinerja pimpinan PTN mandiri; f. Mengusulkan anggota Dewan Pengawas untuk melaksanakan pola pengelolaan badan layanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; g. Melakukan penilaian laporan pertanggungjawaban tahunan Pimpinan dan Senat Akademik. (2) Ketentuan tentang pengangkatan, dan pemberhentian pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c diatur dalam peraturan Menteri. Paragraf 3 Pimpinan Pasal 64 (1) Pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b terdiri atas 1 (satu) orang Pemimpin dan paling sedikit 2 (dua) orang Wakil Pemimpin. (2) Wakil Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. wakil Pemimpin bidang akademik; dan b. wakil Pemimpin bidang nonakademik. Pasal 65 (1) Pemimpin dilarang merangkap: a. jabatan pada Perguruan Tinggi lain; b. jabatan pada lembaga Pemerintah atau pemerintah daerah; atau c. jabatan lain yang ditetapkan oleh Senat Akademik. (2) Pemimpin yang mempunyai jabatan rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi pemberhentian dari jabatan. Pasal 66 Tugas dan wewenang pemimpin: a. menyusun rencana strategis 5 tahun, rencana kerja dan anggaran tahunan untuk diusulkan kepada Majelis Pemangku setelah mendapat pertimbangan dari Senat Akademik; b. menyusun dan menetapkan kebijakan akademik setelah mendapat persetujuan dari Senat Akademik; c. mengangkat dan memberhentikan wakil pemimpin, dosen, dan tenaga kependidikan berdasarkan statuta serta ketentuan peraturan perundang-undangan; d. menjatuhkan sanksi kepada sivitas akademika yang melakukan pelanggaran terhadap norma, etika, dan atau
29

e. Melakukan

peraturan akademik berdasarkan rekomendasi Senat Akademik; e. menjatuhkan sanksi kepada dosen dan tenaga kependidikan yang melakukan pelanggaran, selain sebagaimana yang dimaksud pada huruf (d), berdasarkan statuta serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Senat Akademik Pasal 67 Senat Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf c beranggotakan: a. wakil dari dosen berjabatan akademik profesor setiap fakultas dan/atau jurusan atau nama lain yang sejenis; b. wakil dari dosen berjabatan akademik bukan profesor setiap fakultas dan/atau jurusan atau nama lain yang sejenis. Pasal 68 Tugas dan wewenang senat akademik: a. memberi pertimbangan atas rencana pengembangan jangka panjang 25 tahun, rencana strategis 5 tahun, rencana kerja dan anggaran tahunan yang diusulkan oleh Pemimpin PTN mandiri; b. memberi persetujuan atas kebijakan akademik yang disusun oleh Pemimpin PTN mandiri; c. mengusulkan calon dan pemberhentian pemimpin PTN mandiri kepada Majelis Pemangku; d. memberikan pertimbangan kepada Majelis Pemangku atas kinerja pemimpin PTN mandiri dalam bidang akademik; e. memberikan rekomendasi sanksi atas pelanggaran norma, etika dan atau peraturan akademik; f. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik sivitas akademika; g. mengawasi pelaksanaan kebebasan akademik, mimbar akademik , dan otonomi keilmuan; h. memutuskan pemberian atau pencabutan sebutan, gelar, dan penghargaan akademik. Paragraf 5 Komite Audit Pasal 69 Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf d melakukan pengawasan nonakademik terhadap
30

PTN mandiri, berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan tentang pola pengelolaan badan layanan umum. Pasal 70 Ketentuan mengenai tugas dan wewenang, dan masa jabatan Komite Audit diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pola pengelolaan badan layanan umum. Bagian Keempat PTN dan PTN Khusus Unit Pelaksana Teknis Paragraf 1 Umum Pasal 71 PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis dapat diberikan otonomi untuk mengelola perguruan tingginya secara mandiri dalam bidang akademik. (2) Otonomi akademik pada PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis diberikan oleh Menteri bersama Menteri lain atau Pemimpin LPNK. (3) Pengelolaan bidang nonakademik pada PTN khusus merupakan kewenangan Menteri lain atau Pemimpin LPNK sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis untuk memperoleh otonomi bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Menteri.
(1)

Pasal 72 PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) memiliki organ: a. Pimpinan; b. Senat Akademik. (2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki fungsi pengelolaan; (3) Senat Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memiliki fungsi perencanaan dan pengawasan akademik.
(1)

Paragraf 2 Pimpinan
31

Pasal 73 (1) Pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf a terdiri atas 1 (satu) orang Pemimpin dan paling sedikit 2 (dua) orang Wakil Pemimpin. (2) Wakil Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. wakil Pemimpin bidang akademik; dan b. wakil Pemimpin bidang nonakademik. Pasal 74 (1) Pemimpin dilarang merangkap: a. jabatan pada Perguruan Tinggi lain; b. jabatan pada lembaga Pemerintah atau pemerintah daerah; atau c. jabatan lain yang ditetapkan oleh Senat Akademik. (2) Pemimpin yang mempunyai jabatan rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi pemberhentian dari jabatan. Pasal 75 Tugas dan wewenang pemimpin: a. menyusun statuta serta perubahannya untuk diusulkan kepada Menteri, Menteri lain atau Pemimpin LPNK sesuai kewenangan masing-masing, setelah mendapat pertimbangan dari senat akademik; b. menyusun rencana strategis 5 tahun, rencana kerja dan anggaran tahunan untuk diusulkan kepada Menteri, Menteri lain atau Pemimpin LPNK sesuai kewenangan masing-masing, setelah mendapat pertimbangan dari senat akademik; c. menyusun dan menetapkan kebijakan akademik setelah mendapat persetujuan dari senat akademik; d. mengangkat dan memberhentikan wakil pemimpin, dosen, dan tenaga kependidikan berdasarkan statuta serta ketentuan peraturan perundang-undangan; e. menjatuhkan sanksi kepada sivitas akademika yang melakukan pelanggaran terhadap norma, etika, dan atau peraturan akademik berdasarkan rekomendasi senat akademik; f. menjatuhkan sanksi kepada dosen dan tenaga kependidikan yang melakukan pelanggaran, selain sebagaimana yang dimaksud pada huruf (d), berdasarkan statuta serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Senat Akademik
32

Pasal 76 Senat Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b beranggotakan: a. wakil dari dosen berjabatan akademik profesor setiap fakultas dan/atau jurusan atau nama lain yang sejenis; b. wakil dari dosen berjabatan akademik bukan profesor setiap fakultas dan/atau jurusan atau nama lain yang sejenis. Pasal 77 (1) Tugas dan wewenang senat akademik: a. memberi pertimbangan kepada Menteri, Menteri lain atau Pemimpin LPNK sesuai kewenangan masing-masing atas usul statuta atau perubahannya yang disusun oleh Pemimpin PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis; b. memberi pertimbangan atas rencana pengembangan jangka panjang 25 tahun, rencana strategis 5 tahun, rencana kerja dan anggaran tahunan yang diusulkan oleh Pemimpin PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis; c. memberi persetujuan atas kebijakan akademik yang disusun oleh Pemimpin PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis; d. mengusulkan calon dan pemberhentian pemimpin PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis kepada Menteri, Menteri lain atau Pemimpin LPNK sesuai kewenangan masing-masing; e. memberikan pertimbangan kepada Menteri, Menteri lain atau Pemimpin LPNK sesuai kewenangan masing-masing atas kinerja pemimpin PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis dalam bidang akademik; f. memberikan rekomendasi sanksi atas pelanggaran norma, etika dan atau peraturan akademik; g. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik sivitas akademika; h. mengawasi pelaksanaan kebebasan akademik, mimbar akademik , dan otonomi keilmuan; i. memutuskan pemberian atau pencabutan sebutan, gelar, dan penghargaan akademik. (2) Ketentuan tentang pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian pimpinan PTN & PTN Khusus diatur dalam peraturan Menteri.

Bagian Kelima
33

PTS Paragraf 1 Umum


(1)

(2) (3)

(4)

Pasal 78 PTS dapat diberikan otonomi untuk mengelola perguruan tingginya secara mandiri dalam bidang akademik sesuai dengan standar nasional pendidikan tinggi. Otonomi akademik pada PTS diberikan oleh Menteri. Pengelolaan bidang nonakademik pada PTS merupakan kewenangan badan hukum nirlaba yang mendirikannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PTS untuk memperoleh otonomi bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Menteri. Paragraf 2 Senat Akademik

(1)

(2)

(3)
(4)

(5)

Pasal 79 PTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) memiliki organ sebagaimana ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya sekurang-kurangnya terdiri dari senat akademik, pimpinan, dan unsur pelaksana akademik. Senat Akademik beranggotakan dosen dan menjalankan fungsi perencanaan dan pengawasan akademik wajib dibentuk oleh badan hukum nirlaba yang mendirikan PTS. Organ PTS yang ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya dan Senat Akademik ditetapkan dalam statuta. Statuta PTS sekurang-kurangnya mengatur tentang organisasi dan tata kerja, prosedur pemilihan dan penetapan pimpinan perguruan tinggi, tugas pokok dan fungsi organisasi, dan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Statuta PTS atau perubahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya atas usul Senat Akademik.

Pasal 80 Tugas dan wewenang senat akademik:


34

a. memberi pertimbangan kepada badan hukum nirlaba

b.

c. d. e.

f. g. h.

i.

yang mendirikan PTS atas usul statuta atau perubahannya yang disusun oleh Pemimpin PTS; memberi pertimbangan atas rencana pengembangan jangka panjang 25 tahun, rencana strategis 5 tahun, rencana kerja dan anggaran tahunan yang diusulkan oleh Pemimpin PTS; memberi persetujuan atas kebijakan akademik yang disusun oleh Pemimpin PTS; mengusulkan calon dan pemberhentian pemimpin PTS kepada badan hukum nirlaba yang mendirikan PTS; memberikan pertimbangan kepada badan hukum nirlaba yang mendirikan PTS atas kinerja pemimpin PTS dalam bidang akademik; memberikan rekomendasi sanksi atas pelanggaran norma, etika dan atau peraturan akademik; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik sivitas akademika; mengawasi pelaksanaan kebebasan akademik, mimbar akademik , dan otonomi keilmuan; memutuskan pemberian atau pencabutan sebutan, gelar, dan penghargaan akademik. BAB V KETENAGAAN

Pasal 81 (1) Ketenagaan Perguruan Tinggi terdiri atas dosen dan tenaga kependidikan. (2) Dosen dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berstatus pegawai negeri sipil, pegawai pemerintah yang diperbantukan ke Perguruan Tinggi atau pegawai perguruan tinggi. Pasal 82 (1) Ketentuan pengangkatan dan pemberhentian dosen dan tenaga kependidikan berstatus pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah yang diperbantukan ke Perguruan Tinggi, ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan pengangkatan dan pemberhentian dosen dan tenaga kependidikan berstatus selain pegawai negeri sipil ditetapkan berdasarkan Statuta. Pasal 83
35

Dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai pemerintah yang diperbantukan ke Perguruan Tinggi atau pegawai Perguruan Tinggi membuat perjanjian kerja dengan pemimpin Perguruan Tinggi berdasarkan Statuta. Pasal 84 Hak dan kewajiban dosen dan tenaga kependidikan pada Perguruan Tinggi ditetapkan berdasarkan Statuta dan perundang-undangan yang terkait. Pasal 85 (1) Gaji dan tunjangan bagi dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai negeri sipil atau pegawai pemerintah pada Perguruan Tinggi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Gaji dan tunjangan bagi dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai perguruan tinggi pada Perguruan Tinggi dibebankan pada anggaran Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Pasal 86 (1) Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah pada PTN berbadan hukum memperoleh remunerasi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Selain remunerasi dari Pemerintah, Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh remunerasi dari PTN berbadan hukum berdasarkan Statuta. BAB VI PERGURUAN TINGGI ASING DAN KERJASAMA INTERNASIONAL Pasal 87 (1) Perguruan Tinggi Asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Penyelenggara Perguruan Tinggi Asing wajib: a. bekerja sama dengan penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia; dan b. mengikutsertakan pendidik dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia. Pasal 88
36

(1)

Perguruan Tinggi dapat melaksanakan kerjasama internasional dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia atau membuka perguruan tinggi di negara lain. (2) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain dapat mencakup bidang: a. pendidikan; b. penelitian; c. pengabdian kepada masyarakat; d. pengembangan kelembagaan. (3) Kerjasama internasional bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mencakup kegiatan pendidikan bergelar atau kegiatan pendidikan non gelar. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama internasional diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 89 Ketentuan lebih lanjut mengenai perguruan tinggi asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan kerjasama internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 diatur dengan peraturan Menteri. BAB VII PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI Pasal 90 (1) Penjaminan mutu pendidikan tinggi dilakukan secara sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan. (2) Penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui penetapan, pelaksanaan, pengendalian, dan peningkatan standar pendidikan tinggi. Pasal 91 (1) Menteri bertanggungjawab atas penyelenggaraan penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. (2) Untuk melaksanakan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi untuk menjamin mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia Pasal 92 (1) Standar pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) terdiri atas: a. Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah;
37

b. standar pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi. (2) Standar Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan satu kesatuan standar yang meliputi: a. standar isi; b. standar proses yang meliputi: 1) proses pembelajaran; 2) proses penelitian; dan 3) proses pengabdian kepada masyarakat. c. standar luaran yang meliputi: 1) lulusan; 2) hasil penelitian; dan 3) hasil pengabdian kepada masyarakat. d. standar tenaga kependidikan; e. standar sarana dan prasarana; f. standar pengelolaan; g. standar pembiayaan; dan h. standar penilaian. (3) Standar pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas sejumlah standar dalam bidang akademik maupun bidang nonakademik selain standar yang merupakan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. (4) Standar kompetensi lulusan atau capaian pembelajaran untuk setiap jenjang dan jalur pendidikan tinggi harus mengacu pada kerangka kualifikasi nasional yang diatur dalam Peraturan Presiden. Pasal 93 (1) Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) terdiri atas: a. Sistem Penjaminan Mutu Internal; dan b. Sistem Penjaminan Mutu Eksternal. (2) Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi didasarkan pada sistem Pangkalan Data Pendidikan Tinggi. (3) Hasil evaluasi dan penilaian berkala terhadap pemenuhan standar pendidikan tinggi diumumkan kepada masyarakat oleh Menteri. Pasal 94 (1) Penyelenggaraan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dilaksanakan oleh: a. badan yang bertugas untuk menyusun dan mengembangkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
38

Perguruan Tinggi yang bertugas melaksanakan sistem penjaminan mutu internal; c. badan dan/atau lembaga akreditasi mandiri yang diakui oleh pemerintah setelah mendapat rekomendasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang bertugas melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal; d. unit yang bertugas mengelola Pangkalan Data Pendidikan Tinggi. (2) Badan, lembaga atau unit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan koordinasi dalam melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. (3) Penyelenggaraan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dipimpin dan dikoordinasikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 95 (1) Menteri dapat membentuk unit penjaminan mutu pendidikan tinggi wilayah untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di wilayah secara berkelanjutan. (2) Menteri secara berkala mengevaluasi kinerja unit penjaminan mutu pendidikan tinggi wilayah. BAB VIII PENDANAAN PERGURUAN TINGGI Bagian Kesatu Umum Pasal 96 (1) Pengelolaan dana PTN berbadan hukum, PTN mandiri; PTN dan PTN Khusus terdiri atas: a. pengelolaan keuangan berdasarkan pemberian otonomi dari Menteri Keuangan untuk PTN berbadan hukum; b. pengelolaan berdasarkan pendelegasian dari Menteri Keuangan untuk PTN mandiri; dan c. pengelolaan keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang keuangan negara atau pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum untuk PTN dan PTN Khusus sebagai unit pelaksana teknis. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola pengelolaan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
39

b.

dengan peraturan Menteri atas persetujuan tertulis Menteri Keuangan. Bagian Kedua Pendanaan PTN Berbadan Hukum Pasal 97 (1) Pendanaan PTN berbadan hukum merupakan tanggung jawab Pemerintah, masyarakat, dan PTN berbadan hukum yang bersangkutan. (2) PTN berbadan hukum dapat menyelenggarakan badan usaha berbadan hukum atau portofolio berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dana hasil penyelenggaraan badan usaha atau portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kekayaan PTN berbadan hukum yang wajib digunakan untuk pengembangan PTN berbadan hukum. (4) Dalam menyelenggarakan badan usaha atau portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PTN berbadan hukum dilarang menggunakan aset dan kekayaan dari PTN berbadan hukum yang bersangkutan sebagai jaminan bagi hutang badan usaha atau portofolio usaha yang didirikannya. Pasal 98 (1) Kekayaan PTN berbadan hukum wajib digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. biaya investasi; b. biaya operasional; c. beasiswa; dan d. bantuan biaya pendidikan. Pasal 99 (1) PTN berbadan hukum wajib menerima calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa baru. (2) PTN berbadan hukum wajib mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa.
40

(3) Mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional PTN berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) huruf b. (4) Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membayar biaya pendidikan sesuai dengan kemampuannya dan dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan biaya pendidikan diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 100 (1) PTN berbadan hukum yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pendanaan; c. pembekuan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; atau d. pencabutan izin PTN berbadan hukum. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Pendanaan PTN Mandiri Pasal 101 (1) Pendanaan PTN mandiri merupakan tanggung jawab Pemerintah dan masyarakat. (2) PTN mandiri dapat menyelenggarakan badan usaha berbadan hukum atau portofolio berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dana hasil penyelenggaraan badan usaha atau portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kekayaan negara yang dapat dikelola secara mandiri oleh PTN mandiri yang wajib digunakan untuk pengembangan PTN mandiri. (3) Dalam menyelenggarakan badan usaha atau portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PTN mandiri dilarang menggunakan aset dan kekayaan dari PTN mandiri yang pengelolaanya diserahkan kepada PTN mandiri yang bersangkutan sebagai jaminan bagi hutang badan usaha atau portofolio usaha yang didirikannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dana hasil penyelenggaraan badan usaha atau portofolio diatur
41

dengan peraturan Menteri atas persetujuan tertulis Menteri Keuangan. Pasal 102 (1) Pengelolaan kekayaan PTN mandiri wajib digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. biaya investasi; b. biaya operasional; c. beasiswa; dan d. bantuan biaya pendidikan. (1) Pasal 103 PTN mandiri wajib menerima calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa baru. PTN mandiri wajib mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa. Mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional PTN mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) huruf b. Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membayar biaya pendidikan sesuai dengan kemampuannya dan dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan. Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan biaya pendidikan diatur dengan peraturan Menteri.

(2)

(3) (4)

(5)

Pasal 104 (1) PTN mandiri yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pendanaan; c. pembekuan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; atau d. pencabutan izin PTN mandiri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat
42

Pendanaan PTN dan PTN Khusus Pasal 105 (1) Pendanaan PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis merupakan tanggung jawab Pemerintah dan masyarakat. (2) Selain dari Pemerintah, pendanaan PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis, dapat berasal dari hasil kerja sama antara PTN dan PTN Khusus dengan pemerintah daerah dan/atau dengan dunia usaha. (3) Bantuan dana yang berasal dari masyarakat dan hasil kerja sama dengan pemerintah daerah dan/atau dengan dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan kekayaan negara. Pasal 106 (1) PTN dan PTN khusus unit pelaksana teknis dapat memperoleh sumbangan pendidikan dari: a. mahasiswa; b. orang tua mahasiswa; dan/atau c. donatur. (2) PTN dan PTN khusus unit pelaksana teknis dapat memperoleh bantuan dana yang tidak mengikat dari masyarakat untuk biaya operasional, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan. (3) Bantuan dana dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: a. hibah; b. wakaf; c. zakat; d. sumbangan perusahaan; dan/atau e. penerimaan lain yang sah. (4) Sumbangan dana dari perorangan dan dunia usaha untuk pendidikan dan penelitian dengan persetujuan tertulis Menteri Keuangan, dapat diperhitungkan sebagai insentif pajak bagi perorangan dan dunia usaha yang bersangkutan. Pasal 107 (1) Pengelolaan kekayaan PTN dan PTN khusus unit pelaksana teknis wajib digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. biaya investasi; b. biaya operasional; c. beasiswa; dan d. bantuan biaya pendidikan.
43

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Pasal 108 PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis wajib menerima calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa baru. PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis wajib mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa. Mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf b. Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membayar biaya pendidikan sesuai dengan kemampuannya dan dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan. Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan biaya pendidikan diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 109 (1) PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pendanaan; c. pembekuan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; atau d. pencabutan izin PTN berbadan hukum. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Pendanaan PTS Pasal 110 (1) Pendanaan PTS merupakan tanggung jawab badan hukum nirlaba dan masyarakat. (2) PTS dapat menerima bantuan biaya investasi dan biaya operasional untuk melaksanakan program tertentu dari:
44

a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah; dan/atau c. instansi atau lembaga lain yang tidak mengikat. (2) PTS dapat menerima bantuan dosen yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil yang dipekerjakan dan/atau pegawai pemerintah yang diperbantukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Mahasiswa PTS yang memenuhi syarat berhak memperoleh beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dari: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah; dan/atau c. Instansi atau lembaga lain yang tidak mengikat. (4) Ketentuan mengenai persyaratan bantuan biaya investasi dan biaya operasional, bantuan dosen, serta perolehan beasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 111 (1) PTS yang mendapatkan bantuan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) huruf a dan huruf b harus membuat laporan keuangan yang diperiksa oleh badan yang berwenang atau lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah. (2) PTS yang mempunyai mahasiswa penerima beasiswa atau bantuan pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (3) huruf a dan huruf b harus membuat laporan keuangan yang diperiksa oleh badan yang berwenang atau lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah. Pasal 112 PTS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 dikenakan sanksi administratif oleh Menteri berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian bantuan pendanaan; c. penutupan sementara PTS; atau d. pencabutan izin PTS. BAB IX PENGAWASAN Bagian Kesatu Pengawasan PTN Berbadan Hukum
45

Pasal 113 (1) Akuntabilitas publik PTN berbadan hukum terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas nonakademik. (2) Akuntabilitas publik PTN berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain diwujudkan melalui keseimbangan jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dengan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, pelayanan, serta sumber daya pendidikan lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akuntabilitas publik PTN berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 114 (1) Pengawasan PTN berbadan hukum dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan. (2) Sistem pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Statuta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 115 (1) Laporan tahunan PTN berbadan hukum terdiri atas laporan bidang akademik dan laporan bidang nonakademik. (2) Laporan bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas laporan penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Laporan bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas laporan manajemen dan laporan keuangan. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Majelis Pemangku. Pasal 116 Pemimpin pada PTN berbadan hukum menyusun dan menyampaikan laporan tahunan PTN berbadan hukum kepada Majelis Pemangku untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan. Pasal 117 (1) Majelis Pemangku mengevaluasi laporan tahunan PTN berbadan hukum dalam rapat pleno Majelis Pemangku. (2) Hasil evaluasi rapat pleno Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi
46

Majelis Pemangku dalam memberikan persetujuan dan pengesahan laporan tahunan PTN berbadan hukum. Pasal 118 (1) Laporan keuangan tahunan PTN berbadan hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan PTN berbadan hukum dan dibuat sesuai dengan standar akuntansi. (2) Laporan keuangan tahunan PTN berbadan hukum diaudit oleh akuntan publik. (3) Badan Pemeriksa Keuangan, Inspektorat Jenderal Kementerian terkait, atau badan pengawasan daerah sesuai kewenangan masing-masing melakukan audit terhadap laporan keuangan tahunan PTN berbadan hukum. (4) Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terbatas pada bagian penerimaan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (5) Laporan keuangan tahunan PTN berbadan hukum harus diumumkan kepada masyarakat. (6) Administrasi dan laporan keuangan tahunan PTN berbadan hukum merupakan tanggung jawab Pemimpin pada PTN berbadan hukum. Pasal 119 Ketentuan mengenai laporan keuangan dan audit PTN berbadan hukum dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Pengawasan PTN Mandiri Pasal 120 (1) Akuntabilitas publik PTN mandiri terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas nonakademik. (2) Akuntabilitas publik PTN mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan antara lain melalui keseimbangan jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dengan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, pelayanan, serta sumber daya pendidikan lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akuntabilitas publik PTN mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
47

Pasal 121 (1) Pengawasan PTN mandiri dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan. (2) Sistem pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Statuta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 122 (1) Laporan tahunan PTN mandiri terdiri atas laporan bidang akademik dan laporan bidang nonakademik. (2) Laporan bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas laporan penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Laporan bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas laporan manajemen dan laporan keuangan. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri. Pasal 123 Pemimpin pada PTN mandiri menyusun dan menyampaikan laporan tahunan PTN mandiri kepada Majelis Pemangku untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan. Pasal 124 (1) Majelis Pemangku mengevaluasi laporan tahunan PTN mandiri dalam rapat pleno Majelis Pemangku. (2) Hasil evaluasi rapat pleno Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Majelis Pemangku dalam memberikan persetujuan dan pengesahan laporan tahunan PTN PTN mandiri. (3) Majelis Pemangku memberitahukan secara tertulis laporan PTN mandiri hasil evaluasi rapat pleno Majelis Pemangku kepada Menteri. Pasal 125 (1) Laporan keuangan tahunan PTN mandiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan PTN mandiri dan dibuat sesuai dengan standar akuntansi. (2) Ketentuan mengenai laporan keuangan dan audit PTN mandiri dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang pola pengelolaan keuangan badan layanan umum. Bagian Ketiga
48

Pengawasan PTN dan PTN Khusus Pasal 126 (1) Akuntabilitas publik PTN dan PTN Khusus terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas nonakademik. (2) Akuntabilitas publik PTN dan PTN Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan melalui keseimbangan jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dengan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, pelayanan, serta sumber daya pendidikan lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akuntabilitas publik PTN dan PTN Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 127 (1) Pengawasan PTN dan PTN Khusus dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan. (2) Sistem pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Statuta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 128 (1) Laporan tahunan PTN dan PTN Khusus terdiri atas laporan bidang akademik dan laporan bidang nonakademik. (2) Laporan bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas laporan penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Laporan bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas laporan manajemen dan laporan keuangan. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri, Menteri lain atau Pemimpin LPNK sesuai kewenangan masing-masing. Pasal 129 Pemimpin pada PTN dan PTN Khusus menyusun dan menyampaikan laporan tahunan PTN kepada Menteri, Menteri lain atau Pemimoin LPNK sesuai kewenangan masing-masing untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan. Pasal 130
49

(1) Menteri, Menteri lain atau Pemimpin LPNK sesuai kewenangan masing-masing mengevaluasi laporan tahunan PTN dan PTN Khusus. (2) Hasil evaluasi Menteri, Menteri lain atau Pemimpin LPNK sesuai kewenangan masing-masing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Menteri, Menteri lain atau Pemimpin LPNK sesuai kewenangan masing-masing, dalam memberikan persetujuan dan pengesahan laporan tahunan PTN dan PTN Khusus. Pasal 131 (1) Laporan keuangan tahunan PTN dan PTN Khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan PTN dan PTN Khusus dan dibuat sesuai dengan standar akuntansi. (2) Ketentuan mengenai laporan keuangan dan audit PTN dan PTN Khusus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara. Bagian Keempat Pengawasan PTS (1) (2) Pasal 132 Akuntabilitas publik PTS terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas nonakademik. Akuntabilitas publik PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan antara lain melalui keseimbangan jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dengan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, pelayanan, serta sumber daya pendidikan lainnya. Ketentuan tentang akuntabilitas akademik PTS diatur dalam Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai akuntabilitas nonakademik dan akuntabilitas publik PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya. BAB X PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 133 (1) Masyarakat mempunyai tanggungjawab, hak, dan kewajiban untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Tinggi melalui peran sertanya sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil Pendidikan Tinggi.
50

(3) (4)

(2)

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara antara lain: a. ikut menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi atau organisasi pelaku usaha; b. memberikan beasiswa dan bantuan pendidikan bagi mahasiswa dan dosen; c. ikut mendanai Pendidikan Tinggi; d. mengawasi penyelenggaraan Pendidikan Tinggi melalui organisasi profesi atau lembaga swadaya masyarakat; e. mendirikan PTS; f. berpartisipasi dalam lembaga semi-Pemerintah yang dibentuk oleh Menteri; g. berpartisipasi di dalam pengembangan karakter, minat, dan bakat mahasiswa; h. berpartisipasi sebagai sponsor dalam kegiatan akademik dan sosial dosen dan mahasiswa; i. menyediakan tempat magang dan praktek bagi mahasiswa; j. memberikan berbagai bantuan melalui tanggung jawab sosial perusahaan; k. mendukung kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; l. berbagi sumberdaya untuk pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi.

BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 134 (1) Setiap orang yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi tanpa memperoleh izin pendirian dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Pendiri Perguruan Tinggi yang tidak menutup perguruan tingginya setelah izin pendiriannya dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 135
51

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengalihkan kepemilikan kekayaan perguruan tinggi secara langsung atau tidak langsung untuk kepentingan pribadi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 136 (1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, izin pendirian Perguruan Tinggi yang sudah diterbitkan dinyatakan tetap berlaku. (2) Perguruan Tinggi harus menyesuaikan tata kelolanya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 137 (1) Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. (2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang diundangkan. ini Pasal 139 mulai berlaku pada tanggal

Disahkan di Jakarta Pada tanggal... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


52

ttd. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta Pada tanggal... MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR, SH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR... Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

53

Anda mungkin juga menyukai