Anda di halaman 1dari 3

ISU-ISU ITB 2011

Berikut adalah isu-isu hangat yang menjadi perhatian utama para anggota MWA pada pertemuan silaturahmi tanggal 13 Januari 2011 di Jakarta :

1. PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN TUITION FEE 2. PENDIDIKAN TEKNIK (ENGINEERING) DAN RELEVANSINYA
3. ZAMAN MULTI-KUTUB DAN MASA DEPAN ITB 4. TATA KELOLA FINANSIAL BHMN VERSUS BLU 5. GUC (GOOD UNIVERSITY GOVERNANCE), BENTUK APA YG TERBAIK UNTUK ITB ? Menurut saya isu-isu tersebut sangat penting untuk pengembangan dan governance ITB di masa depan dan perlu dibahas lebih lanjut. Saya mencoba menuliskan pandangan saya yang akan saya kirimkan secara bertahap via e-mail. Tujuan saya adalah untuk memberi masukan agar masa transisi Otonomi ITB 1.0 (PT-BHMN) ke Otonomi ITB 2.0 (PP66/BLU atau UU Perguruan Tinggi yang baru) berjalan dengan baik dan sebagai pesan dari akhir masa kerja saya di MWA-ITB.

ISU No.1 PENERIMAAN MAHASISWA BARU DAN TUITION FEE Isu komersialisasi dan kasta-nisasi pendidikan perlu mendapat perhatian kita semua. Saya berpendapat bahwa sudah terjadi kesalahan mendasar dari pengertian dan praktek pemungutan uang sekolah atau tuition fee yang perlu diluruskan kembali, bukan hanya untuk ITB tetapi juga untuk pendidikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada prinsipnya kompetensi dan prestasi calon mahasiswa harus menjadi basis penerimaan mahasiswa di suatu perguruan tinggi. ITB sampai saat ini memegang teguh prinsip ini dan masih beruntung mendapatkan mahasiswa dengan potensi terbaik dari seluruh Indonesia. Cara tesnya saja yang harus diperbaiki dan tidak hanya dengan ujian tulis multiple choices. Seleksi yang dilakukan oleh tim BIUS (Beasiswa ITB untuk Semua) dengan menilai esai dari calon mahasiswa dan bila perlu wawancara perlu dipertimbangkan supaya dapat memperoleh calon yang berbakat dan cocok dengan program studinya. Hasil yang baik memang memerlukan biaya dan dana serta perhatian yang besar. Sudah waktunya, walau terlambat, kita menyelenggarakan pendidikan (yang bisa dimaknai sebagai langkah kecil) ini dengan cinta yang besar1. Prinsip apa yang menjadi acuan untuk menentukan uang sekolah atau tuition fee? Pajak adalah mekanisme finansial dari negara untuk memungut dana dari warga negaranya. Peraturan yang telah disetujui dalam sistem pajak individu adalah pajak progresif untuk mereka yang lebih kaya melalui PBB-Pajak Bumi dan Bangunan maupun PPH-Pajak Penghasilan ( property and income taxes). Jadi sebenarnya sudah tidak ada hak untuk suatu institusi negara seperti Perguruan Tinggi negeri (BHMN atau PTN) untuk membedakan uang sekolah bagi warga negara yang kaya atau miskin. Prinsip ini yang juga harus dipegang teguh dan dianut oleh ITB supaya menjadi contoh untuk semua perguruan tinggi/sekolah negeri. Kebijakan pembedaan uang sekolah bagi yang kaya dan miskin merupakan kebijakan yang salah, apabila sistem perpajakan sudah dijalankan dengan benar. Sebagai contoh perguruan tinggi negeri di Amerika Serikat membedakan tuition fee atas dasar tempat tinggalnya yaitu apakah penduduk negara bagian (pembayar pajak langsung), penduduk di luar negara bagian atau warga negara asing.

________________
Palgunadi T. Setyawan, Menapaki Jalan Mendaki, 2009. 1

Idealnya alokasi APBN atau APBD untuk program pendidikan harus dihitung dengan cermat dan dialokasikan dengan benar oleh pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Kemdiknas atau Pemda harus bertindak sebagai pengatur dan pengontrol alokasi pendanaan tersebut. Sebagai gambaran, saat ini biaya rutin untuk proses pendidikan di ITB (rata rata) adalah 30 juta/tahun/mahasiswa (perlu dipelajari lebih cermat lagi dan dibedakan antara program-program studi supaya perencanaan pendanaannya bisa dilakukan dengan tepat). Bila uang sekolah mahasiswa 10 juta/tahun maka pemerintah harus mengalokasikan dana sebesar 20 juta/tahun/mahasiswa. Dengan sistem ini, model bisnis proses pendidikan menjadi sederhana dan mudah untuk dikelola. Pimpinan eksekutif ITB dan pimpinan Fakultas hanya fokus pada proses dan perbaikan kualitas pendidikan, serta memikirkan relevansinya dengan community of practice. Penggunaan dana dipertangung jawabkan dengan cermat dan tidak digunakan untuk keperluan lain. Saat ini untuk masyarakat kelas menengah Indonesia, tuition fee 10 juta/tahun merupakan besaran yang wajar (walaupun untuk golongan miskin biaya tersebut masih terlalu mahal). Menurut data ADB (Asian Development Bank), kelas menengah Indonesia adalah keluarga yang tingkat pengeluaran per kapitanya sebesar Rp 2,16 juta sampai Rp 21,6 juta per bulan 2. Jumlah kelas menengah saat ini sudah mendekati 100 juta (93 juta pada tahun 2009), namun 74% adalah keluarga menengah bawah dengan tingkat pengeluaran antara Rp 2,16 sd Rp 4,4 juta yang menurut saya masih termasuk miskin. Sebagian besar keluarga Indonesia lainnya termasuk golongan miskin yang tingkat pengeluarannya dibawah Rp 2,16 juta per bulan dan mungkin hanya 30-40 juta penduduk (saya tidak mempunyai datanya yang akurat) yang termasuk golongan kaya. Sebagai perbandingan, di negara maju prosentase golongan menengah biasanya sangat besar (80-90%) dan sisanya terbagi ke golongan kaya atau miskin. Kebijakan seperti apa yang harus dijalankan oleh ITB menghadapi situasi seperti ini tanpa harus melanggar prinsip prinsip yang sudah dibahas? Pada kenyataannya Indonesia belum mampu menjalankan sistem perpajakan yang adil sesuai dengan peraturan perundangan yang sudah disepakati. Kasus Gayus yang sangat memalukan memberi gambaran betapa kita tidak mampu mengelola negara ini dengan baik. ITB sebagai perguruan tinggi, yang salah satu misinya adalah menyelenggarakan pendidikan, akan menjadi korban dari fenomena yang sedang berjalan saat ini (dan sedang atau sudah menjadi korban). ITB dan institusi pendidikan yang lain akan mengalami degradasi dan tidak akan mampu menghasilkan generasi masa depan yang lebih baik apabila tidak mendapat dukungan pendanaan yang memadai. Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita akan melanjutkan kebijakan pembedaan uang sekolah bagi keluarga kaya dan miskin ? Apakah kita tidak bisa memberi contoh cara cara yang lebih etis 3 ? Bagaimana kalau dana dari negara tidak mencukupi untuk menjalankan proses pendidikan seperti yang sudah kita alami selama ini, sehingga kesejahteraan dosen dan karyawan tidak memadai dan kita tidak bisa memperoleh dosen dan karyawan dengan kualitas yang baik ? Jawaban atas pertanyaan pertanyaan tersebut tidak mudah dan berikut adalah masukan saya untuk dipertimbangkan lebih lanjut : ITB tetap memegang prinsip menerima mahasiswa yang mempunyai potensi dan kualitas yang baik serta cocok dengan bidang studinya. ITB tidak membedakan uang sekolah untuk golongan kaya dan miskin.

________________
2 Harian Kompas, Kelas Menengah, Baru Sebatas Jumlah. Jumat 14 Januari 2011

Eksekutif ITB berunding dengan pemerintah untuk menentukan unit pembiayaan yang wajar dengan cermat dan pemerintah tidak melepaskan tanggung jawab dalam hal pembiayaan pendidikan perguruan tinggi negeri. Melakukan kampanye besar-besaran untuk memperoleh dana bagi beasiswa mahasiswa miskin dan juga melakukan pendekatan ke orang tua mahasiswa golongan menengah dan kaya (tingkat pengeluaran > 8 juta per bulan) untuk ikut menyumbang dengan iklas bagi proses pendidikan sesuai dengan kemampuan masing masing. Dana sumbangan ini sebaiknya dikelola dulu oleh SKD (Satuan Kekayaan dan Dana) sebelum disalurkan ke SA (Satuan Akademik). Cara yang saya usulkan ini merupakan solusi sementara sebelum sistem perpajakan di Indonesia bisa dijalankan dengan baik. Tujuannya supaya ITB mendapat pendanaan yang memadai sehingga bisa menghasilkan alumni yang berkualitas dan memberi kesejahteraan yang wajar bagi karyawan dan dosennya. Saya bisa membayangkan kesulitan dalam pelaksanaannya, namun bila berhasil ITB akan menjadi pioner dalam arsitektur pembiayaan pendidikan dan akan dihormati.

Anda mungkin juga menyukai