Anda di halaman 1dari 3

SANGKAR EMAS

Cerpen Karangan: Riska Yunita


Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 17 February 2022

Suara tamparan keras itu terdengar nyaring di telinga. Siapa itu? Tak perlu aku
tebak. Selain kedua orangtua, rumah ini hanya berisi aku dan Mara. Kencana Asmara,
ia kakakku. Mahasiswi kedokteran di salah satu universitas ternama di Indonesia.
Aku masih berdiam diri bersembunyi di balik pintu kayu dalam kamar tidur. Terlalu
takut untuk melihat tatapan kecewa dan racauan itu. Bentakan ayah, tangisan ibu, dan
suara memohon Mara. Juga tak luput dengan suara bantingan gelas yang pecah. Ayah
begitu murka, aku mampu melihatnya dari sebuah lubang kecil di balik pintu lapuk
itu.

“BIADAB KAU MARA!”


“Mati dalam neraka aku Mara, terbakar lah ayahmu Mara!”
“Ayah! Mohon ampun ayah! Mohon ampun aku!”
Aku menangis bersandar pada pintu, tak lagi sanggup menyaksikan mereka. Hatiku
berdenyut nyeri bagaimana kecewanya ayah dan menyesalnya seorang Mara. Namun
semua salah itu kini menciptakan roh baru yang harus dihidupkan. Suara jeritan Mara
menggelegar saat aku mendengar suara tubuh jatuh diluar sana. Ibu. Itu ibu. Ia
terbaring disana. Pingsan atau mungkin hampir menemui ajal.

Setelah kejadian mengerikan itu, kini keadaan membaik. Ibu yang sudah
kembali sehat namun tetap berjaga-jaga, Mara yang sudah menikah dan kini
melahirkan seorang gadis lucu. Juga ayah yang mencoba menerima kenyataan
mengenai gadis kesayangannya dan terus mencoba menerima menantunya. Sekilas
tampak keadaan kembali normal seperti awal tapi kenyataan selalu berbanding
berbalik dengan apa yang tampak dari pandangan. Akibat kejadian itu memecahkan
kepercayaan mereka terhadap anaknya. Terkecuali Mara karena ia sudah menikah.
Dosanya itu kini menggetah padaku, Kencana Lara. Mereka sungguh mengekangku,
tidak membiarkan aku terlibat pada satu laki manapun. Hal yang dulu aku anggap
sebagai kebaikan dalam kebajikan. Namun kini makna lain dari semua itu ialah
sebuah sangkar emas. Pengekangan tiada akhir.

Mereka terus mengenali aku dengan beberapa lelaki pilihan mereka. Cerita
terakhir kali yang tak lagi kuceritakan pada ibu ialah aku hampir dilecehkan mungkin
kata yang tepat diperk*sa oleh anak kyai itu. Semenjak itu aku terus berlari setiap ada
panggilan ibu mengenai lelaki baik menurut mereka. Aku juga pernah mencoba
membawa lelaki yang dari pencarianku tapi ayah dan ibu terus mencercanya dengan
pertanyaan dan kalimat sarkastik yang membuat lelaki itu menjauh. Aku sudah
menyerah saja apabila ayah dan ibu ingin menjodohkan lagi. Umurku menginjak dua
puluh enam tahun ini, tidak ada yang mengerikan dari itu namun omelan ibu
memusingkan kepala. Perawan tua, perawan tua, ah doa jelek itu terus diracaunya
kepadaku.

Hingga sebulan kemudian setelah aku hampir menyerah, ada seseorang lelaki
yang aku kenal sebagai senior kampus. Ia terus mengejar dan berhasil memikatku.
Kami berpacaran hampir empat bulan dan ia nekat ingin datang menemui orangtuaku.
Aku selalu berkata padanya, lain kali, nanti, pasti akan kukenali.

Sore itu ketukan pintu terdengar. Aku dan ibu yang sibuk memasak menu
makan malam begitupun ayah yang duduk di meja makan ingin bangkit membukakan
pintu namun aku tolak biar aku saja kataku.

“Bara.”
“Assalamualaikum Lara, ayah dan ibu ada?”
“Pulang Bara,” ucapku dingin sambil menarik tangannya. Keributan kecil itu berhasil
menarik atensi ayah dan ibu. Ayah datang dengan wajah yang sulit diartikan.

“Siapa kamu?”
“Saya Barata Agara pak, kekasih Lara.”
“Kamu berpacaran Lara!”
“Sudah berapa kali bapak bilang jangan berpacaran Lara! Ja–”
“Tenang pak niat saya baik, saya ingin menikahinya.”
“Apa saja yang sudah kalian lakukan?!”
“Ayah!”
“Diam kau Lara!”
“Kamu ingin menikahi anakku karena sudah menidurinya, kau ingin bertanggung
jawab?!”
“AYAH CUKUP!”
“BERANI KAU MEMBENTAKKU LARA! ANAK DURHAKA!” Cetakan tangan
tercetak jelas di pipi. Keadaan hening namun tidak sampai disitu ayah terus
memberikan pertanyaan yang memalukan putrinya sendiri, mencerca Bara dengan
kata jahat dan pertanyaan yang memojokkan seakan kami ketahuan berbuat zina dan
siap digiring ke seluruh perkampungan.

Aku meraih tangan ibu meminta pertolongannya namun tatapan itu penuh
kebisuan. Tidak menenangkan apalagi memungkinkan membela. Dengan kesadaran
penuh ditengah kesakitan, aku menarik tangan Bara menjauh dari sana. Mengajaknya
pergi asal tidak disana bersama lelaki yang kucintai ini.

Sepanjang perjalanan ini kami hanya diam satu sama lain. Berhenti pada taman kota,
aku memberanikan membuka suara.
“Aku tidak bisa memberikan jawaban atas sikap ayah tersebut.”
“Aku mengerti.”
Keheningan kembali mengisi seakan Bara setuju untuk melupakan kejadian tragis
tersebut. Ia mengelus pipiku dengan tatapan rasa bersalah.

“Kita selesai sampai disini saja Bara.”


“Sungguh Lara, aku tidak apa-apa. Lain kali aku akan datang lagi membujuk ayah
dan ibumu.”
“Tidak Bara, kita selesai sudah.”
“Aku pulang.”

Aku menuju arah rumah menaiki taxi. Ingin saja lari namun aku tak tega
meninggalkan mereka berdua di rumah. Penyesalan akan merenggut nyawaku apabila
sesuatu terjadi kepada mereka. Pandanganku tertuju kepada ayah yang terus
menatapku khawatir. Aku tersenyum kepadanya, menyalaminya lalu masuk. Lalu
bertemu ibu di meja makan, memeluknya, menciumnya cukup lama. Indah. Dunia ia
tanpa trauma ibu dan ayah akan selalu indah. Setelah itu aku memutuskan mandi
ditengah suara ngaji surau sore itu. Ditemani tiga sayatan nadi dan bersimbahan darah
di lantai kamar mandi sambil menatap langit kamar mandi yang ternyata berwarna
ungu.

Anda mungkin juga menyukai