Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) merupakan masalah penting
dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi
korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas
perinatal dan menyebabkan infeksi ibu.1
Ketuban pecah sebelum waktunya atau Premature Rupture of Membrane
(PROM) merupakan keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan.
Namun, apabila ketuban pecah sebelum waktunya sebelum usia kehamilan 37
minggu, maka disebut sebagai ketuban pecah sebelum waktunya pada kehamilan
prematur atau Preterm Premature Rupture of Membrane (PPROM). Pecahnya
selaput ketuban tersebut diduga berkaitan dengan perubahan proses biokimiawi
yang terjadi dalam kolagen matriks ekstraseluler amnion, korion dan apoptosis
membran janin.1
Menurut Survey demografi dan kesehatan Indonesia SDKI (2007) penyebab
langsung kematian ibu oleh karena infeksi sebesar 11% dari seluruh kematian.
Penyebab lain kematian ibu diantaranya perdarahan 28% dan eklampsia 24%.
Angka kejadian KPSW di BPS Titi S Wonsobo termasuk tinggi. Angka kejadian
KPSW selama satu bulan yaitu bulan januari 2010 sampai dengan bulan februari
2010 dari 17 persalinan terdapat 3 kasus KPSW dan dua diantaranya
menimbulkan komplikasi pada bayi yaitu terjadinya kelahiran payi premature.
Kelahiran premature adalah salah satu penyebab kematian bayi selain dari infeksi.
Ketuban pecah sebelum waktunya merupakan komplikasi kebidanan pada
kehamilan yang menempati urutan 6 tersering dijumpai. Ketuban pecah sebelum
waktunya merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas perinatal.
Neonatal yang dilahirkan dari wanita dengan rupture membrane preterm dan
persalinan yang terlambat, paling tidak 30 persen meninggal atau mengalami cacat
neurologis.

1
Ketuban pecah sebelum waktunya belum diketahui penyebab pastinya,
namun terdapat beberapa kondisi internal ataupun eksternal yang diduga terkait
dengan ketuban pecah sebelum waktunya. Yang termasuk dalam faktor internal
diantaranya usia ibu, paritas, polihidramnion, inkompetensi serviks dan presentasi
janin. Sedangkan yang termasuk dalam faktor eksternal adalah infeksi dan status
gizi. Beberapa penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan dengan infeksi
pada ibu. Infeksi dapat mengakibatkan ketuban pecah sebelum waktunya karena
agen penyebab infeksi tersebut akan melepaskan mediator inflamasi yang
menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini dapat menyebabkan perubahan dan
pembukaan serviks, serta pecahnya selaput ketuban.2

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Ketuban Pecah Sebelum Waktunya (KPSW) adalah pecahnya ketuban
sebelum waktu melahirkan yang terjadi pada saat akhir kehamilan maupun jauh
sebelumnya (Nugroho, 2010). KPSW adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat
tanda-tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu.
Sebagian ketuban pecah sebelum waktunya terjadi pada kehamilan aterm lebih
dari 37 minggu sedangkan kurang dari 36 minggu tidak terlalu banyak.3
Ketuban pecah sebelum waktunya atau spontaneus/early/premature
rupture of membrans (PROM) merupakan pecahnya selaput ketuban secara
spontan pada saat belum menunjukkan tanda-tanda persalinan / inpartu (keadaan
inpartu didefinisikan sebagai kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang
menyebabkan terjadinya efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu jam
kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan atau secara klinis bila
ditemukan pembukaan kurang dari 3 cm pada primigravida dan kurang dari 5 cm
pada multigravida. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada
kehamilan aterm maupun preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm
prematur rupture of membrans atau ketuban pecah sebelum waktunya aterm. Bila
terjadi sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah sebelum
waktunya preterm / preterm prematur rupture of membran (PPROM) dan bila
terjadi lebih dari 12 jam maka disebut prolonged PROM.2

2.2 Etiologi
Penyebab KPSW meliputi:3,4
1. Serviks inkompeten menyebabkan dinding ketuban paling bawah
mendapatkan tekanan yang semakin tinggi.
2. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan
genetik).
3. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban seperti infeksi genitalia
dan meningkatnya enzim proteolitik. Masa interval sejak ketuban pecah

3
sampai terjadi kontraksi disebut fase laten. Makin panjang fase laten,
makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda kehamilan, makin sulit
upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbidiats janin dan
komplikasi ketuban pecah sebelum waktunya makin meningkat.
4. Multipara, grandemultipara. Pada kehamilan yang terlalu sering akan
mempengaruhi proses embriogenesis sehingga selaput ketuban yang
terbentuk akan lebih tipis yang akan menyebabkan selaput ketuban
pecah sebelum tanda-tanda inpartu.
5. Overdistensi uterus pada hidramnion, kehamilan ganda dan sefalopelvik
disproporsi. Hidramnion atau kadang-kadang disebut polihidramnion
adalah keadaan di mana banyaknya air ketuban melebihi 2000 cc 11
.
Hidramnion dapat terjadi pada kasus anensefalus, atresia esophagus,
gemeli dan ibu yang mengalami diabetes mellitus gestasional (DMG).
Ibu dengan DMG akan melahirkan bayi dengan berat badan berlebihan
pada semua usia kehamilan sehingga kadar cairan amnion juga akan
berlebih.5
6. Kelainan letak yaitu letak lintang sungsang.
7. Pendular abdomen (perut gantung).
8. Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat
daripada ibu muda.
9. Riwayat KPSW sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih.
10. Merokok selama kehamilan.

2.3 Patofisiologi
2.3.1 Struktur Selaput Janin
Janin dibentuk oleh lapisan amnion di sebelah dalam dan lapisan
chorion di sebelah luar. Lapisan amnion tidak mengandung pembuluh darah
maupun syaraf. Nutrisi diperoleh dari cairan amnion melalui proses difusi-
osmosis. Lapisan amnion terdiri dari 5 lapisan :
1. Epitel amnion. Merupakan lapisan yang paling dalam yang paling dekat
dengan janin. Lapisan ini memproduksi kolagen tipe III, IV, dan

4
glikoprotein yang ketiganya ini akan membentuk lapisan berikutnya yaitu
membrana basalis.
2. Membrana basalis
3. Lapisan jaringan ikat padat / kompakta. Lapisan ini melekat pada
membrana basalis dan merupakan kerangka utama dari lapisan amnion
sekaligus kerangka dari selaput janin. Lapisan ini terutama memproduksi
kolagen interstitial (kolagen tipe I dan III), selain itu juga kolagen tipe V
dan VI.
4. Lapisan fibroblast. Merupakan lapisan yang paling tebal dari amnion.
Lapisan ini mengandung makrofag-makrofag yang berperan dalam
respon terhadap adanya inflamasi.
5. Lapisan intermediet / spongiosa. Merupakan perbatasan antara amnion
dan chorion. Lapisan ini terutama mengandung kolagen tipe III dan
berfungsi untuk meredam adanya gangguan fisika seperti tekanan
maupun gesekan.6

Gambar 2.1 Struktur Selaput Janin6

Sedangkan lapisan chorion yang lebih tebal dari lapisan amnion terdiri
dari 3 lapisan :

5
1. Lapisan retikuler
2. Membrana basalis
3. Lapisan trofoblast
Kekuatan selaput janin bervariasi di setiap tempat, bila terjadi
perubahan – perubahan dalam komposisinya maka dapat terjadi KPSW.
Biasanya selaput janin ruptur secara fokal, tidak secara menyeluruh menjadi
lemah atau menipis. Daerah di sekitar rupturnya selaput janin secara
mikroskopis ditandai dengan adanya pembengkakan, dan terputusnya
jaringan kolagen pada lapisan kompakta, fibroblast, dan spongiosa.6

Gambar 2.2 Gambaran chorion dan Amnion6

2.3.2 Perubahan-perubahan Pada Selaput Janin


Rupturnya selaput janin berhubungan dengan perubahan – perubahan
yang terjadi pada selaput janin, terutama kolagen, antara lain adalah
menurunnya komposisi kolagen, perubahan struktur kolagen, dan
meningkatnya degradasi kolagen. Hal ini terjadi akibat beberapa hal yang
berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko, yaitu :
1. Kelainan pada jaringan ikat dan defisiensi nutrisi
Kelainan jaringan ikat berhubungan dengan melemahnya selaput
janin, seperti terjadi pada Ehlers – Danlos syndrome, yaitu kumpulan

6
gejala-gejala yang terutama ditandai oleh hiperelastisitas dari kulit dan
sendi akibat struktur kolagen yang abnormal. Menurut penelitian dengan
18 ibu hamil yang menderita Ehlers – Danlos syndrome, sebanyak 13 di
antaranya lahir prematur setelah terjadi KPSW6.
Defisiensi nutrisi juga meningkatkan resiko terjadinya KPSW.
Jembatan-jembatan kolagen yang dibentuk dengan bantuan enzim lysyl
oxidase meningkatkan elastisitas selaput janin terhadap regangan. Enzim
lysyl oxidase ini diproduksi oleh sel-sel mesenkim pada lapisan kompakta
pada amnion. Selain itu enzim ini juga bekerja dengan bantuan tembaga.
Pada ibu hamil dengan KPSW ditemukan kadar tembaga yang rendah
pada serum maternalnya6.
Pada ibu hamil yang mengalami defisiensi asam askorbat juga
meningkatkan resiko terjadinya KPSW sebab asam askorbat ini
diperlukan dalam pembentukan struktur triple helix dari kolagen6.
Kebiasaan merokok dapat menurunkan absorbsi dari asam
askorbat, selain itu unsur Cadmium dalam tembakau meningkatkan
aktivitas enzim pengikat logam pada lapisan trofoblast sehingga kadar
tembaga dalam serum maternal berkurang6.
2. Peningkatan degradasi kolagen
Degradasi kolagen terjadi dengan bantuan enzim matrix
metalloproteinase (MMP). Enzim ini menghidrolisis matrix ekstraselular
terutama kolagen. Aktivitas enzim ini dihambat oleh enzim lain yang
disebut enzim protease inhibitor6,7. Terdapat beberapa jenis MMP yaitu:
- MMP-1 dan MMP-8 : membuka untaian triple helix pada kolagen
tipe I dan III
- MMP-2 dan MMP-9 : membuka untaian triple helix pada kolagen
tipe IV
MMP-1 dan MMP-9 terutama terdapat pada sel epitel amnion,
lapisan fibroblast dari amnion, dan lapisan trofoblast dari chorion.
Dengan demikian, lapisan kompakta dari amnion yang merupakan
kerangka dari selaput janin dikelilingi oleh lapisan-lapisan yang
memproduksi MMP7.

7
Enzim penghambat dari MMP yaitu tissue inhibitor of
metalloproteinase (TIMP) menghambat aktivitas proteolitik dari MMP.
Jenis dari TIMP :
- TIMP-1 berikatan dengan MMP-1, MMP-8, dan MMP-9
- TIMP-2 berikatan dengan MMP-2
Aktivitas MMP dan TIMP yang seimbang sangat diperlukan untuk
remodelling dan menjaga integritas dari selaput janin. Namun mendekati
akhir kehamilan keseimbangan tersebut seringkali bergeser dan
didapatkan aktivitas MMP yang meningkat (terutama MMP-9), tidak
diikuti dengan meningkatnya aktivitas TIMP 6,7.
Menurut penelitian yang lain didapatkan aktivitas kolagenase yang
meningkat terutama pada jaringan cervix selama terjadinya dilatasi dari
cervix. Selain itu didapatkan pula bahwa pada penyakit-penyakit
periodontal terdapat peningkatan aktivitas enzim-enzim MMP pada gusi
yang secara tidak langsung juga menyebabkan peningkatan dari MMP
dan dihubungkan dengan terjadinya KPSW6.
3. Keadaan klinik yang berhubungan dengan peningkatan degradasi
kolagen
- Infeksi.
Adanya infeksi masih menjadi suatu pertanyaan apakah infeksi
tersebut menjadi penyebab dari KPSW atau sebaliknya terjadinya KPSW
menjadi penyebab terjadinya infeksi. Identifikasi mikro-organisme
patogen dari saluran reproduksi ibu hamil mendukung pendapat bahwa
infeksi bakteri berperan dalam terjadinya KPSW6.
Terdapat data epidemiologis yang menunjukkan bahwa kolonisasi
dari Streptococcus β haemolyticus, Chlamydia trachomatis, Neisseria
gonorrhoeae, Staphylococcus aureus, dan Gardnerella vaginalis
meningkatkan resiko terjadinya KPSW. Bakteri-bakteri tersebut
mengeluarkan protease yang menyebabkan degradasi dari kolagen dan
melemahkan selaput janin. Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi
bakteri-bakteri tersebut menurunkan insidensi dari KPSW6. Akibat
adanya infeksi dan inflamasi maka tubuh ibu memberikan respon dengan:

8
 Mengaktivasi sel-sel PMN dan makrofag. Sel-sel ini akan
mengeluarkan mediator-mediator kimia seperti sitokin, MMP, dan
prosraglandin. Sitokin-sitokin tersebut antara lain adalah Interleukin-1
(IL-1) dan Tumor Necrosis Factor α (TNF α). Sitokin-sitokin ini akan
meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan
pembentukan prostaglandin E2 oleh sel-sel pada chorion6.
 Menyebabkan pengeluaran prostaglandin pada selaput janin melalui
jalur cyclooxygenase. Beberapa bakteri vagina mengeluarkan enzim
phospholipase A2 yang kemudian akan membentuk asam arakidonat
yang merupakan prekursor dari prostaglandin. Pembentukan
prostaglandin dari asam arakidonat terjadi melalui aktivitas enzim
cyclooxygenase-2 (COX-2). Prostaglandin yang terbentuk akan
menyebabkan iritabilitas dari uterus dan menyebabkan kontraksi dari
uterus6.

Gambar 2.3 COX Pathway 6

 Menyebabkan pelepasan glukokortikoid. Hormon ini memiliki


aktivitas anti inflamasi dengan menekan produksi prostaglandin,
namun secara paradoksa ternyata pada lapisan amnion glukokortikoid
ini malah merangsang pembentukan prostaglandin, bahkan pemberian

9
dexamethasone menyebabkan menurunnya produksi kolagen tipe III
pada kultur sel amnion in vitro6.
- Hormonal.
Hormon progesteron dan estradiol menekan terjadinya proses
remodelling pada matrix ekstraseluler. Pada kelinci kedua hormon ini
menurunkan kadar MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan kadar TIMP.
Pada marmut, konsentrasi progesteron yang tinggi juga menurunkan
kadar kolagenase di jaringan cervix6.

Hormon yang lain yaitu relaxin merupakan hormon yang mengatur


proses remodelling pada jaringan ikat terutama terdapat pada decidua dan
placenta. Hormon ini mempunyai efek yang berlawanan dengan
progesteron dan estradiol dengan meningkatkan kadar MMP-3 dan
MMP-9 pada selaput janin. Kadar hormon relaxin meningkat sebelum
persalinan dan pada usia kehamilan aterm6.
- Apoptosis.
Proses apoptosis terjadi pada setiap sel dalam tubuh manusia
termasuk dalam selaput janin. Secara molekuler, apoptosis ditandai
dengan fragmentasi DNA dan katabolisme subunit RNA. Kematian sel
secara normal ini mengikuti degradasi dari matrix ekstraseluler6.
Pada pemeriksaan lapisan amnion dan chorion setelah terjadinya
KPSW ternyata didapatkan banyak sel-sel yang mengalami apoptosis.
Pada kasus chorioamnionitis ternyata sel-sel epitel amnion yang
mengalami apoptosis mengandung sel-sel granulosit. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya proses infeksi mempercepat kematian sel /
apoptosis pada selaput janin6.
- Peregangan selaput janin.
Distensi uterus yang berlebihan seperti pada polihidramnion
maupun kehamilan ganda akan menyebabkan peregangan selaput janin
dan meningkatkan resiko terjadinya KPSW6. Peregangan selaput janin
secara mekanik akan meningkatkan produksi dari prostaglandin E2
(PGE2) dan Interleukin-8 (IL-8). Seperti telah diuraikan di atas bahwa
PGE2berefek :

10
 Meningkatkan iritabilitas uterus
 Menurunkan sintesis kolagen pada selaput janin
 Meningkatkan produksi MMP-1 dan MMP-3
Sedangkan IL-8 yang diproduksi oleh sel-sel di amnion dan
chorion merupakan zat kemotaktik yang menarik netrofil dan
meningkatkan aktivitas kolagenase. Produksi dari IL-8 sendiri dihambat
oleh hormon progesteron6.

Gambar 2.4 Rangkuman Patofisiologi Terjadinya KPSW 6

2.4 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium.

11
Anamnesis
Dari anamnesis bisa menegakkan 90% dari diagnosis. Kadangkala cairan
seperti urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa
basah pada vagina atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari
jalan lahir 8.
Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina,
bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini
akan lebih jelas.
Pemeriksaan inspekulo
Merupakan langkah pertama dalam mendiagnosis KPSW karena
pemeriksaan dalam seperti vaginal toucher dapat meningkatkan risiko infeksi.
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH-
nya. Yang dinilai adalah :
1. Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan pendataran dari
serviks. Dilihat juga dari prolaps dari tali pusat atau ekstremitas bayi. Bau
dari amnion yang khas juga diperhatikan.
2. Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung diagnosis
KPSW. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien batuk untuk
mempermudah melihat pooling.
3. Cairan amnion dikonfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test. Kertas
nitrazin akan berubah menjadi biru jika pH cairan diatas 6.0 – 6.5. Sekret
vagina ibu hamil memiliki pH 4 – 5, dengan kertas nitrazin tidak
memberikan perubahan warna. Tes nitrazin ini bisa memberikan hasil positif
palsu bila tersamarkan dengan cairan seperti darah, semen atau vaginitis
seperti trichomoniasis.
4. Mikroskopis (tes pakis). Jika dengan pooling dan tes nitrazin masih samar
dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang diambil dari
forniks posterior. Cairan di swab kemudian dikeringkan di atas gelas objek
dan dilihat dibawah mikroskop. Gambaran ‘ferning’ menandakan cairan
amnion.

12
5. Dilakukan juga kultur dari swab untuk Chlamydia, gonnorhea dan group B
Streptococcus.
Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan alpha-fetoprotein (AFP). Konsentrasinya tinggi di dalam cairan
amnion tetapi tidak di semen dan urin.
2. Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisis.
3. Tes pakis
Pemeriksaan mikroskopis dari cairan vagina dapat dilakukan, dapat
ditemukan gambaran pakis (ferning appearance) yang terjadi karena
estrogen dan cairan amnion bersatu membentuk kristalisasi garam, juga
dapat ditemukan adanya lanugo serta vernix caseosa dari janin 9.
Namun, adanya kumpulan cairan di vagina merupakan hal yang paling
tepat untuk menegakkan diagnosis ketuban pecah sebelum waktunya karena
ada beberapa hal yang dapat menyebabkan pemeriksaan menjadi positif
palsu. Kontaminasi darah, infeksi bakteri dan post coitus dapat
meningkatkan pH vagina. Gambaran pakis juga terdapat pada mukus serviks
dan dapat menyebabkan hasil pemeriksaan mikroskopis yang positif palsu 9.

Gambar 2.5 Gambaran pakis (ferning appearance) pada cairan amnion9

4. Tes lakmus (Nitrazine test).


Pemeriksaan dengan lakmus dari bahan pemeriksaan cairan amnion
yang berada di vagina untuk mengetahui apakah cairan tersebut alkalis atau

13
asidik. pH normal pada cairan vagina antara 4,5 dan 5,5, dan pH normal dari
cairan amnion antara 7,0 dan 7,5. pH yang alkalis akan memberikan hasil
warna merah berubah menjadi warna biru, apabila hasilnya alkalis, maka
dapat ditentukan bahwa telah terjadi pecahnya ketuban dan adanya cairan
amnion pada vagina 10.
Tes nitrazin dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan
vagina ke atas strip nitrazin. Reaksi kimia akan menunjukkan perubahan
warna dan mengindikasikan pH pada cairan vagina. Apabila warna
menunjukkan bahwa pH lebih tinggi dari 6,5 maka dapat ditentukan bahwa
telah terjadi pecahnya ketuban10.

Gambar 2.6 Pemeriksaan dengan kertas nitrazine 6

Pemeriksaan ultrasonography (USG)


Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Pada kasus KPSW terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit
(oligohidramnion atau anhidramnion). Oligohidramnion ditambah dengan
anamnesis dari pasien bisa membantu diagnosis tetapi bukan menegakkan
diagnosis rupturnya membran fetal. Selain itu dinilai Amniotic Fluid Index (AFI),
presentasi janin, berat janin, dan usia janin. Ultrasonografi dapat
mengidentifikasikan kehamilan ganda, janin yang tidak normal atau melokalisasi
kantong cairan amnion pada amniosentesis dan sering digunakan dalam
mengevaluasi janin. Pemeriksaan USG berguna untuk menegakkan diagnosis
ketuban pecah sebelum waktunya 8.

14
2.5 Tatalaksana
 Konservatif
Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau
eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7
hari). Jika umur kehamilan < 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban
masih keluar atau sampai air ketuban tidak lagi keluar. Jika usia kehamilan
32 – 37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif beri
deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin.
Terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32 -37 minggu,
sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol),
deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamilan 32 – 37
minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda
infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan
32 -37 minggu berikan steroid untuk memacu kematangan paru janin, dan
bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu.
Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason
IM 5 mg setiap 6 jam selama 4 kali 1.
 Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio
sesarea. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan
persalinan diakhiri. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks,
kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio
sesarea. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan 1.
Penatalaksanaan ketuban pecah sebelum waktunya menurut
Rahmawati, 2011 yaitu :
1. Penatalaksanaan ketuban pecah sebelum waktunya tergantung pada
umur kehamilan dan tanda infeksi intrauterin.
2. Pada umumnya lebih baik untuk membawa semua pasien dengan
KPSW ke rumah sakit dan melahirkan bayi yang berumur > 37 minggu
dalam 24 jam dari pecahnya ketuban untuk memperkecil risiko infeksi
intrauterin.

15
3. Tindakan konservatif (mempertahankan kehamilan) diantaranya
pemberian antibiotik dan cegah infeksi (tidak melakukan pemeriksaan
dalam), tokolisis, pematangan paru amnioinfusiepitelisasi (vit C dan
trace element, masih kontroversi), fetal and maternal monitoring.
Tindakan aktif (terminasi/mengakhiri kehamilan) yaitu dengan sectio
caesarea atau pun partus per vaginam.
4. Dalam penetapan langkah pelaksanaan tindakan yang dilakukan apakah
langkah konservatif ataukah aktif, sebaiknya perlu mempertimbangkan
usia kehamilan, kondisi ibu dan janin, fasilitas perawatan intensif,
kondisi, waktu dan tempat perawatan, fasilitas/kemampuan monitoring,
kondisi/status imunologik ibu dan kemampuan finansial keluarga.
5. Untuk usia kehamilan < 37 minggu dilakukan penanganan konservatif
dengan mempertahankan kehamilan sampai usia kehamilan matur.
6. Untuk usia kehamilan 37 minggu atau lebih, lakukan terminasi dan
pemberian profilaksis Streptococcus grup B. untuk kehamilan 34-36
minggu lakukan penatalaksanaan sama halnya dengan aterm.
7. Untuk kehamilan 32-33 minggu lengkap lakukan tindakan konservatif /
expectant management kecuali jika paru-paru sudah matur (maka perlu
dilakukan tes pematangan paru), profilaksis Streptococcus grup B,
pemberian kortikosteroid (belum ada konsensus namun
direkomendasikan oleh para ahli), pemberian antibiotik selama fase
laten.
8. Untuk previable preterm (usia kehamilan 24-31 minggu lengkap)
lakukan tindakan konservatif, pemberian profilaksis Streptococcus grup
B, single-course kortikosteroid, tokolisis (belum ada konsensus), dan
pemberian antibiotik selama fase laten (jika tidak ada kontraindikasi).
9. Untuk non viable preterm (usia kehamilan < 24 minggu) lakukan
konseling pasien dan keluarga, lakukan tindakan konservatif atau
induksi persalinan. Tidak direkomendasikan profilaksis Streptococcus
grup B dan kortikosteroid. Pemberian antibiotik tidak dianjurkan karena
belum ada data untuk pemberian yang lama.

16
10. Rekomendasi klinik untuk KPSW yaitu pemberian antibiotik karena
pada periode fase laten yang panjang, kortikosteroid harus diberikan
antara 24-32 minggu (untuk mencegah terjadinya risiko perdarahan
intraventrikuler, respiratory distress syndrome, dan necrotizing
examinations). Tidak boleh dilakukan digital cervical examinations jadi
pilihannya adalah dengan spekulum, tokolisis untuk jangka waktu yang
lama tidak diindikasikan sedangkan untuk jangka pendek dapat
dipertimbangkan untuk memungkinkan pemberian kortikosteroid,
antibiotik dan transportasi maternal, pemberian kortikosteroid setelah
34 minggu dan pemberian multiple course tidak direkomendasikan.
11. Pematangan paru dilakukan dengan pemberian kortikosteroid yaitu
deksametason 2 x 6 mg selama 2 hari atau betametason 1 x 12 mg
selama 2 hari.
12. Agentokolisis yaitu β2 agonis (terbutalin, ritodrine), kalsium antagonis
(nifedipine), prostaglandin sintase inhibitor (indometasin), magnesium
sulfat, oksitosin antagonis (atosiban).
13. Tindakan epitelisasi masih kontroversial, walaupun vitamin C dan trace
element terbukti berhubungan dengan terjadinya ketuban pecah
terutama dalam metabolisme kolagen untuk maintenance integritas
membran korio-amniotik, namun tidak terbukti menimbulkan epitelisasi
lagi setelah terjadi KPSW.
14. Tindakan terminasi dilakukan jika terdapat tanda-tanda korioamnionitis,
terdapat tanda-tanda tali pusat/janin (fetal distress) dan pertimbangan
antara usia kehamilan, lamanya ketuban pecah dan lamanya menunda
persalinan.
15. KPSW dengan usia kehamilan < 37 minggu tanpa infeksi, berikan
antibiotik eritromisin 3 x 250 mg, amoksisilin3 x 500 mg dan
kortikosteroid.
16. KPSW dengan usia kehamilan > 37 minggu tanpa infeksi (ketuban
pecah > 6 jam) berikan ampisilin 2 x 1 gr IV dan penisilin G 4 x 2 juta
IU, jika serviks matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin,
jika serviks tidak matang lakukan sectio caesarea.

17
17. KPSW dengan infeksi (kehamilan < 37 minggu ataupun > 37 minggu)
berikan antibiotik ampisilin 4 x 2 gr IV, gentamisin 5 mg/ kgBB, jika
serviks matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika
serviks tidak matang lakukan sectio caesarea.
Berikut tabel yang menjelaskan tentang skor kematangan serviks.

Tabel 2.1 Skor Bishop12


TABEL SKOR BISHOP

SKOR 0 1 2 3

Pembukaan 0 1-2 3-4 5-6

Pendataran 0-30% 40-50% 60-70% 80%

Station -3 -2 -1 +1,+2

Konsistensi Keras Sedang Lunak Amat lunak

Posisi ostium Posterior Tengah Anterior Anterior

CARA PEMAKAIAN :

Tambah 1 angka untuk : Kurangi 1 angka untuk :

Preeklampsia Post date


Setiap partus normal Nullipara
Ketuban negatif/lama

Bila total KEMUNGKINAN :


skor
BERHASIL GAGAL

0–4 50-60% 40-50%

5–9 90% 10%

10 – 13 100% 0%

Skor Bishop adalah suatu cara untuk menilai kematangan serviks dan
responsnya terhadap suatu induksi persalinan, karena telah diketahui bahwa
serviks dengan skor bishop rendah memberikan angka kegagalan yang lebih tinggi
dibandingkan serviks yang matang (ripened) 12.

18
Gambar. 2.7 Alur penatalaksanaan ketuban pecah sebelum waktunya.8

2.6 Komplikasi
a. Komplikasi Terhadap Ibu
Komplikasi terhadap ibu dapat terjadi baik antepartum, intrapartum,
maupun postpartum. Pada ibu dapat terjadi infeksi berupa chorioamnionitis
(infeksi dan peradangan pada selaput janin), endometritis, bahkan infeksi
sistemik yang lebih berat seperti sepsis. Akibat psikososial yang diderita ibu

19
antara lain disebabkan meningkatnya lama perawatan di rumah sakit dengan
perasaan yang tidak tenang karena prognosis janin yang dikandung tidak
menentu1,4.
Akibat intrapartum antara lain terjadinya induksi persalinan yang
seringkali berakhir dengan kelahiran prematur dan segala akibatnya serta
meningkatnya proses kelahiran dengan sectio caesarea dengan komplikasi
maternal yang lebih besar akibat kemajuan persalinan yang buruk. Pada
masa postpartum didapatkan kejadian perdarahan postpartum yang
meningkat akibat insidensi dari solutio plasenta ternyata meningkat 4-7%
pada kehamilan dengan KPSW1,2,4.
b. Komplikasi Terhadap Janin
Akibat dari KPSW terhadap janin sangat bergantung pada usia
kehamilan. Seperti telah dikemukakan pada Bab I bahwa lamanya periode
laten berbanding terbalik dengan usia kehamilan. 90% bayi aterm akan lahir
dalam 24 jam setelah terjadinya KPSW. Pada usia kehamilan 28-34 minggu
50% dari pasien akan bersalin dalam 24 jam dan 80% akan bersalin dalam
waktu 1 minggu. Sedangkan pada usia kehamilan 24-26 minggu hanya 50%
pasien yang bersalin dalam 1 minggu setelah terjadinya KPSW 1,2,4,7. Dengan
demikian maka persalinan dan kelahiran prematur menjadi meningkat1,2,3,5.
Pada preterm PROM juga terdapat bukti bahwa peningkatan mortalitas dan
morbiditas neonatal sangat berhubungan dengan komplikasi dari
prematuritas itu sendiri seperti penyakit membran hyalin, sindrom gawat
nafas, perdarahan intraventricular, dan necrotizing enterocolitis (NEC)
apalagi bila diperberat oleh adanya chorioamnionitis.
Seperti ibunya, bayi pun akan mudah mengalami infeksi. Infeksi
terutama terjadi pada ketuban pecah lama atau pada preterm PROM kira-
kira mencapai 40% pada KPSW yang terjadi sebelum usia kehamilan
mencapai 24 minggu2. Penjelasannya adalah semakin lama janin dengan
selaput janin yang sudah ruptur dan berkurangnya air ketuban memberikan
kesempatan bagi bakteri patogen untuk masuk dan terjadilah infeksi
ascenden apalagi apabila klinisi menganggap perlu untuk dilakukan
pemeriksaan dalam. Infeksi yang paling sering adalah pneumonia,

20
meningitis, ISK, bacteriemia, bahkan sepsis neonatorum walaupun dapat
juga hanya terjadi infeksi fokal seperti konjungtivitis. Sepsis dapat terjadi
sebelum munculnya tanda-tanda infeksi pada ibu2.
Gawat janin dapat timbul akibat solutio plasenta, tali pusat
menumbung, maupun kompresi tali pusat. Insidensi dari tali pusat
menumbung maupun kompresi tali pusat ini dipengaruhi oleh presentasi
janin. Menurut penelitian ternyata letak puncak kepala memiliki resiko yang
paling kecil1. Kompresi tali pusat dapat terjadi pada tali pusat menumbung
atau sebagai akibat dari oligohidramnion 1,2. Oligohidramnion berat (dengan
tinggi cairan amnion pada vertical pocket<1cm) selama >14 hari yang
terjadi pada usia kehamilan <24 minggu menyebabkan mortalitas >90%.
Hal ini berhubungan dengan hipoplasia dari paru-paru2,5.
Sindroma deformitas janin yang disebut juga sindrom Potter sering
terjadi pada preterm PROM1,2,3. Sindrom ini meliputi restriksi pertumbuhan
intrauterin, deformitas akibat kompresi pada muka dan ekstremitas, dan
yang paling penting adalah hipoplasia paru-paru. Mekanisme terjadinya
hipoplasia paru-paru mungkin disebabkan oleh kompresi rongga thorax
janin dan restriksi pernafasan janin dalam cairan ketuban. Atau karena
cairan dalam paru-paru janin yang mengisi alveoli berkurang sehingga
sebagian atau seluruh alveoli menjadi kolaps1.

2.7 Pencegahan
Diskusikan pengaruh merokok selama kehamilan dan dukung usaha untuk
mengurangi atau berhenti, motivasi untuk menambah berat badan yang cukup
selama hamil, anjurkan pasangan agar menghentikan koitus pada trimester akhir
bila ada predisposisi 4.

2.8 Prognosis
Prognosis pada ketuban pecah sebelum waktunya sangat bervariatif
tergantung pada :
 Usia kehamilan
 Adanya infeksi / sepsis

21
 Faktor resiko / penyebab
 Ketepatan Diagnosis awal dan penatalaksanaan
Prognosis dari KPSW tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat
kehamilan, lebih sedikit bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun, umumnya bayi
yang lahir antara 34 dan 37 minggu mempunyai komplikasi yang tidak serius dari
kelahiran premature.

22
BAB III
PENUTUP

Ketuban Pecah Sebelum Waktunya (KPSW) adalah pecahnya ketuban


sebelum waktu melahirkan yang terjadi pada saat akhir kehamilan maupun jauh
sebelumnya. KPSW dibedakan menjadi dua yaitu premature rupture of
membranes (PROM) dan Preterm premature rupture of membrane (PPROM)..
Diagnosis ketuban pecah sebelum waktunya ditegakkan berdasarkan usia
kehamilan dan adanya gejala klinis di sertai dengan pemeriksaan penunjang.
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi ibu dan janin dan partus preterm
yang menyebabkan kematian janin/neonatus. Penanganan umumnya tergantung
usia kehamilan saat KPSW terjadi, dapat berupa penanganan secara konservatif
maupun aktif.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetomo Soewarto. Ketuban pecah dini. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi


keempat. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 677-81.
2008.
2. Sualman, K (2009). Penatalaksanaan ketuban pecah dini kehamilan preterm.
Pekanbaru: Universitas Riau
3. Manuaba Chandranita Ida Ayu et all, 2009, Buku Ajar Patologi Obstetri untuk
Mahasiswa Kebidanan, Cetakan pertama, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
4. Morgan Geri, Hamilton Carole, 2009, Panduan Praktik Obstetri dan
Ginekologi, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
5. Saifuddin, AB, 2002, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal, Edisi pertama, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta.
6. Parry, S. and Strauss, J. F. 1998. Review Articles. Mechanisms of Disease :
Premature Rupture of The Fetal Membranes.
http://content.nejm.org/cgi/content/full/338/10/663
7. Garite, T. J. 2004. Premature Rupture of The Membranes. In :Maternal –
Fetal Medicine Principles and Practice. 5th Edition. Philadelphia : Saunders.
723-736.
8. Chan Paul D, Johnson Susan M, 2006, Current Clinical Strategies Gynecology
and Obstetrics, Current Clinical Strategies Publishing, California
9. Jazayeri A. Premature Rupture of Membranes. Diakses tanggal 20 Agustus
2018 dari http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview. 2010.
10. Stuebe A. Premature rupture of membranes. Diakses tanggal 20 Agustus 2018
dari http://www.healthline.com/yodocontent/pregnancy/premature-rupture-
risk-factors.html. 2006
11. Prawirohardjo , Sarwono et al, 2007, Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Yayasan
Bina Pustaka Prawirohardjo, Jakarta.
12. Achadiat,Chrisdiono M. 2004. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta : EGC.

24

Anda mungkin juga menyukai