Anda di halaman 1dari 11

NILAI FILOSOFIS DARI TRADISI HAROAN BORU ADAT MANDAILING

NATAL
Abdul Majid Rangkuti
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal
E-mail: abdulmajidrangkuty@gmail.com

Zulfardi
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal
E-mail: fardibatubara@gmail.com

Abstrak
Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi antara bangsa, suku
dan kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan kadang-kadang berkaitan dengan
pernikahan, juga suatu hal yang sakral dan penting dalam kehidupan dua insan,
termasuk keluarga mereka yang akan menyatu melalu kedua mempelai. Saat
memutuskan untuk mengarungi kehidupan pernikahan, umumnya kedua orangtua
mempelai akan menyematkan harap dan doa untuk kedua mempelai. Haroan boru
adalah kedatangan mempelai wanita di rumah orang tua mempelai lelaki yang
dijemput oleh utusan keluarga orang tua mempelai laki-laki. Muda adong na haroan
boru, tentu adong na pabagas boru. Adat martahi haroan boru merupakan ide dan
gagasan dari seluruh masyarakat Angkola dalam pelaksanaan adat perkawinan.
Didasarkan atas azas gotong-royong dalam membantu pelaksanaan serta pembiayaan
mahar dan acara perkawinan yang terbilang cukup besar. Adat martahi haroan boru
merupakan musyawarah untuk menyepakati dalam pemberian bantuan dari seseorang
kepada keluarga yang memiliki anak laki-laki yang akan dinikahkan. Ada tiga alasan
utama sehingga dilaksanakannya martahi haroan boru, yaitu karena adat istiadat yang
sudah ada, ikatan solidaritas sosial diantara keluarga, serta kebutuhan dana dalam
menyelenggarakan acara pernikahan anak laki-lakinya.
Kata Kunci: nilai filosofis, haroan boru.

A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki
keberagaman suku, agama, ras, dan budaya. Kebudayaan sangat erat hubungannya
dengan masyarakat, hal ini di karenakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
Kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang
lain yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat.
Seperti halnya adat istiadat dalam perkawinan yang semua suku di Indonesia
melakukan adat istiadat perkawinan dengan berbeda-beda, begitu juga dengan suku
Mandailing, Sumatera Utara melakukan adat perkawinan yang berbeda dengan suku
lainnya.
Dalam pernikahan juga terdapat unsur budaya, makna dan kepercayaan mereka
terhadap nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun yang terdapat pada
setiap aspek kehidupan masyarakat apapun suku dan agamanya, tak terkecuali suku
Batak Mandailing juga memiliki kebudayaan, makna dan kepercayaan bagi orang
Batak Mandailing adalah aturan tata bermasyarakat atau berkehidupan sehari-hari tak
terkecuali dalam pernikahan.
Dalam masalah pernikahan adalah masalah terpenting bagi manusia untuk
melanjutkan keturunan. Oleh karena itu dalam melakukan suatu pernikahan, melalui
proses-proses tertentu yang ditentukan dalam adat dan kebudayaan. Proses ini
dilakukan apabila orang Mandailing hendak melakukan pernikahan.
Pernikahan adalah suatu cara menyatukan seorang laki-laki dan perempuan
yang bukan satu keluarga atau satu darah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua
keluarga dengan maksud meresmikan ikatan pernikahan secara hukum Agama,
Negara dan Adat.
Setiap suku memiliki kebiasaan adat masing-masing. Tak terkecuali dalam adat
Batak Mandailing. Masyarakat Mandailing masih memegang teguh dan menjalankan
adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Mandailing ada
beberapa peristiwa yang selalu diikuti dengan upacara adat tradisional, antara lain:
memasuki rumah baru, kelahiran anak, perkawinan dan kematian. Acara-acara ini
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: upacara yang bersifat kegembiraan disebut
dengan siriaon dan upacara yang bersifat kemalangan disebut siluluton.
Penelitian ini membahas tentang upacara pernikahan dalam “Haroan Boru”.
Haroan Boru sendiri adalah kedatangan mempelai wanita di rumah orang tua
mempelai lelaki yang dijemput oleh utusan keluarga orang tua mempelai laki-laki.
Haroan Boru merupakan adat perkawinan kedatangan mempelai wanita di rumah
orang tua mempelai lelaki yang dijemput oleh utusan keluarga orang tua mempelai
laki-laki dalam tradisi masyarakat Mandailing.
Adapun alasan kami mengangkat haroan boru ini dikarenakan saat ini banyak
masyarakat Mandailing sangat jarang mengetahui apa makna dari haroan boru
terutama untuk remaja, sebagian masyarakat hanya ikut melaksanakan tanpa
mengetahui apa makna yang terkadung di dalamnya, begitu juga dengan perangkat
adat yang digunakan dalam melaksanakan upacara adat tersebut. Namun jika ditinjau
dari segi pengetahuan dan pendidikan, hal ini sangat merugikan generasi muda
sekarang sebab jika mereka tidak mengetahui upacara adat tersebut mereka tidak akan
mengetahui lagi tata cara pelaksanaan upacara perkawinan (haroan boru).

B. PEMBAHASAN
1. Haroan Boru
Haroan boru adalah kedatangan mempelai wanita di rumah orang tua
mempelai lelaki yang dijemput oleh utusan keluarga orang tua mempelai laki-laki.
Muda adong na haroan boru, tentu adong na pabagas boru. Muda di na haroan
boru, martamba anggota keluarga. Setiap pertambahan anggota keluarga, baik sian
kelahiran bope sian perkawinan na haroan parumaen, sudena on mambaen godang
ni roha. Jadi anak tubu dohot na haroan boru dibagasan adat madung lazim
didongkon “dalan ni godang ni roha”.
Pada zaman dahulu, ada cara perjodohan yang di atur oleh orang tua ketika
anak-anak mereka masih kecil, bahkan ketika anak-anak itu masih berusia bayi
biasanya yang mengambil inisiatif ini adalah pihak anak boru. Perjodohan yang
paling ideal menurut orang tua adalah perjodohan seorang anak gadis dengan anak
namboru yang berarti perjodohan seorang pemuda dengan boru tulang.1

1
Fajarini, Peranan Kearifan Lokal Masyarakat Batak Angkola, (Tapanuli: Sosio Didaktika, 2014),
h. 123.
2. Manyambut Haroro Ni Boru
Dalam tradisi haroan boru dari pihak orang tua lelaki sementara menanti
kedatangan kedua mempelai bersama rombongan, telah diadakan persiapan antara
lain:
a. Kulit pisang sitabar selembar, panjang 50 cm. (pambungkus ni diingin-ingin dot
Padang togu).
b. Daun dingin-dingin, dua atau tiga lembar.(anso Borgo di Lala alai ate-ate nalai
manopotkon bgas i).
c. Padang togu (anso mabgido alai marompa marambit manjulang dohot manogu-
nogu asa marsinoan tunas dot marsinoan boyu supaya mereka mempunyai anak
laki-laki dan perempuan dan supaya Rezky mereka murah-murah).
Sebelum Pas Sanpe ijolo bagas isaburkon ma danon nai agorsingan tu
pengantin na dua sejoli dot rombongan mandkon horas tolu Noli horas Tondi
madingin pir Tondi matogu (sehat badan mereka). Dan Semua persiapan itu
ditaruh di atas tangga pertama. Diinjak mempelai wanita duluan baru mempelai
laki-laki dan Ibu menyambut mempelai perempuan. Ayah menyambut mempelai
laki-laki.
Setelah kedua mempelai menginjak kulit pisang sitabar dan langsung
dipapah duduk di tempat khusus yang dipersiapkan yaitu di juluan dipersiapkan
amak lampisan (anso marlapis-lapis akal dot bisuk Nalai dung mambolus adat
Matobang silang Sae suada mata sehat-sehat mreka tidak ada bahaya) baru di
pagigitkon Sira dot pege maksud tujuan na iras nai topotkon iras namanopot Kon.
Dan ibu dari mempelai laki-laki mengucapkan “on mada parumaen bagas ni
tondi dohot badan, sai doa magora donok parsaulian, mula adong namilas di tonga
dalan tinggal di dalan ma i, horas ma”.2

2
Ilham Harahap, Pluralisme Hukum Perkawinan di Tapanuli Selatan, Jurnal MIQOT Vol. 43 No.
1 Januari-Juni 2019. h. 223.
3. Konsep Adat Martahi Haroan Boru
Adat martahi haroan boru merupakan ide dan gagasan dari seluruh
masyarakat Angkola dalam pelaksanaan adat perkawinan. Didasarkan atas azas
gotong-royong dalam membantu pelaksanaan serta pembiayaan mahar dan acara
perkawinan yang terbilang cukup besar. Adat martahi haroan boru merupakan
musyawarah untuk menyepakati dalam pemberian bantuan dari seseorang kepada
keluarga yang memiliki anak laki-laki yang akan dinikahkan.
Tujuan adat martahi haroan boru adalah membantu agar terlaksananya
pernikahan dari sanak keluarganya serta mengharapkan akan memperoleh kembali
pemberian tersebut pada saat anaknya akan menikah kelak. Secara analogi konsep
tersebut sesuai dengan teori Mauss (Parsudi, 1992) bahwa pemberian adalah
bagian dari sistem tukar menukar yang saling mengimbangi dimana kehormatan si
pemberi dan penerima terlibat didalamnya.
Kenyataan ini berlaku bagi masyarakat Angkola, bahwa setiap pemberian
yang sudah diterima akan dikembalikan lagi pada saat acara martahi haroan boru
dilaksanakan, dan hal ini akan terus menerus dilaksanakan hingga generasi
selanjutnya. Kewajiban memberi dan menerima ini hanya dilaksanakan oleh
keluarga yang memiliki anak laki-laki, sedangkan keluarga yang tidak memiliki
anak perempuan hanya dapat memberi.3

4. Faktor Penyebab Martahi Haroan Boru


Ada tiga alasan utama sehingga dilaksanakannya martahi haroan boru, yaitu
karena adat istiadat yang sudah ada, ikatan solidaritas sosial diantara keluarga,
serta kebutuhan dana dalam menyelenggarakan acara pernikahan anak laki-
lakinya.
a. Adat Istiadat
Setiap suku bangsa memiliki adat istiadatnya tersendiri, yang bertujuan
untuk mendidik masyarakat berbudi luhur, bersopan santun, berkasih sayang,

3
Purwan Nasution, Adat Mandailing serta Tata Cara Perkawinannya, (Jakarta: Widya Press,
1994), h. 44.
dan berbuat baik terhadap sesama anggota masyarakat. Sistem patrilinier yang
dianut masyarakat Angkola merupakan sistem yang menjadi dasar pelaksanaan
perkawinan. Dalam sistem tersebut, bentuk perkawinan dilakukan dengan
memberikan uang sebagai tuhor ni boru yang wajib diberikan oleh keluarga
laki-laki yang akan menikah kepada keluarga perempuan yang akan dinikahi.
Tuhor ni boru merupakan adat untuk mempertahankan garis keturunan keluarga
laki-laki, karena setelah perkawinan, istri tidak lagi menjadi hak keluarga
perempuan, istri harus melepas kedudukan/kemargaannya secara adat dari
kekerabatan keluarga bapaknya, dan masuk menjadi satu kekerabatan dengan
keluarga suaminya.
Tuhor ni boru dipandang sebagai imbalan yang diberikan oleh pihak
keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan karena kehilangan satu anggota
keluarganya. Adapun hak-hak yang diterima keluarga laki-laki adalah bukan
hanya sekedar seksualitas dan bertambahnya anggota keluarga (istri), tetapi
juga anak-anak yang kelak akan menjadi anggota keluarganya. Barang hantaran
yang diberikan sebagai Tuhor ni boru dapat berupa uang, perlengkapan rumah,
maupun perhiasan.4

b. Ikatan Solidaritas Sosial


Masyarakat Angkola yang memegang teguh adat istiadat juga gemar
bergotong royong. Banyak adat istiadat yang juga melestarikan gotong royong,
seperti adat horja. Kaum kerabat akan dengan iklas hati dan suka rela
menyumbangkan tenaga dan sebagian hartanya untuk mensukseskan suatu
acara adat. Ada tiga jenis horja, yaitu horja siriaon (kerja dalam upacara
gembira), horja siluluton (kerja dalam upacara kematian), dan horja siulaon
(kerja kemasyarakatan). Horja siriaon terbagi atas: tubuan anak (kelahiran
anak), marbangkot bagas na imbaru (memasuki rumah baru), dan haroan boru
(mengawinkan anak). Sedangkan horja siulaon antara lain: mendirikan rumah,
membuka sawah, memperbaiki pengairan, atau memperbaiki kampung.

4
Purwan Nasution, Adat Mandailing serta Tata Cara Perkawinannya…h. 45.
Horja yang dilaksanakan secara bersama-sama akan mamunculkan ikatan
batin diantara setiap anggota masyarakat untuk saling memiliki. Haroan boru
merupakan bagian dari horja juga akan memunculkan ikatan kekeluargaan yang
kental, ikatan untuk saling membantu mereka yang mebutuhkan bantuan.
Dengan demikian, ketika suatu keluarga yang merupakan anggota masyarakat
Angkola akan mengadakan haroan boru, maka berdasarkan ikatan kekeluargaan
yang kental ini seluruh masyarakat akan secara sukarela membantunya.

c. Kebutuhan Dana
Untuk membiayai tuhor ni boru yang terbilang cukup besar, tidak semua
masyarakat angkola yang memiliki kesanggupan untuk membiayainya sendiri,
perlu adanya bantuan dari anggota masyarakat lainnya. Inilah yang mendasari
adanya adat martahi haroan boru. Dimana pihak keluarga laki-laki melalui
suhut bolon meminta bantuan kaum kerabat dekat yang termasuk ke dalam
dalihan natolu (mora, kahanggi, anak boru) atau anggota masyarakat lainnya
untuk ikut berpartisipasi dan membantu biaya yang dibutuhkan. Sebagai
imbalannya, ketika mereka juga akan melangsungkan pernikahan anaknya,
pihak suhut bolon yang telah dibantunya akan memberikan bantuan biaya
sebesar atau melebihi biaya yang telah diberikan sebelumnya.5

5. Pelaksanaan Acara Martahi Haroan Boru


Setiap individu yang merupakan anggota masyarakat Angkola selalu
menjunjung tinggi sopan santun dan memiliki sikap saling menghormati. Oleh
karenanya, untuk mengadakan suatu horja, yang punya hajat harus menyampaikan
maksudnya dengan cara terhormat, seperti mendatangi rumah kaum kerabat yang
termasuk dalam dalihan natolu atau memberikan kabar melalui undangan. Pada
masyarakat Angkola, burangir (sirih) dan perlengkapannya merupakan alat yang
ampuh untuk menghadap atau memohon sesuatu kepada orang lain.

5
Purwan Nasution, Adat Mandailing serta Tata Cara Perkawinannya…h. 46-47.
Sirih dengan segala perlengkapannya akan disodorkan kepada kaum kerabat
jika kita ingin menyampaikan suatu hajat. Bagi orang-orang yang masih
memegang teguh adat, fungsi burangir sangat penting. Sirih bersusun merupakan
tutur kata dan sopan santun yang tidak ternilai harganya. Dengan manyurdu
burangir (memberikan sirih) kepada orang lain, dianggap sebagai bujukan dan
permohonan kepada orang lain sehingga orang yang diberi sirih akan mudah
memberikan, mudah memaafkan, maupun mudah berbuat. Adapun tujuan
manyurdu burangir antara lain: memohon sesuatu tanpa imbalan, meminta tenaga
(bantuan) tanoa imbalan, meminta maaf tanpa imbalan, atau meminta obat tanpa
imbalan (bayaran).
Dalam upacara adat selalu terdapat burangir dan perlengkapannya seperti:
burangir, sontang (gambir), pining (pinang), soda (kapur sirih), dan tembakau yang
memiliki makna tersendiri dalam adat. Burangir dapat diistilahkan si rara uduk si
bontar adop- adop, dianggap sebagai pucuk pimpinan dalam menyatukan tingkah
laku sehingga menyatukan rasa dan warna. Sirih dan kelengkapannya jika
disatukan dan dihaluskan akan melahirkan warna merah yang dalam adat
diumpamakan sebagai darah. Musyawarah yang dimulai dengan manyurdu
burangir diartikan bahwa hasil mufakatnya akan dipertahankan dengan darah.6
Burangir sangkababa (sirih yang sudah dirakit dan diramu) serupa dengan
kehidupan seorang manusia. Sontang (gambir) diumpamakan sebagai paru-paru
pada manusia. Pining (pinang) diumpamakan sebagai jantung pada manusia. Soda
(kapur sirih) diumpamakan sebagai limpa pada manusia. Adapun tembakau
diumpamakan sebagai empedu pada manusia yang cepat naik darah. Jadi aktivitas
meramu burangir dan perlengkapannya diumpamakan seperti menyatukan sifat
manusia yang pintar, menyayangi turunan, tinggi hati, hati bengkok (tidak
amanah), lemah lembut, pemarah, serta sifat buruk lainnya menjadi satu ikatan
dalam musyawarah mufakat untuk mengambil satu keputusan.

6
Rahayu Sinaga, Silsilah Tradisi-Tradisi Batak, (Jakarta: Dian Utama, 1998), h. 59.
Sebelum diadakan acara martahi haroan boru, para keluarga suhut bolon
mulai dengan perjalannya mendatangi satu persatu kaum kerabat (mora, kahanggi,
anak boru) yang jauh maupun dekat, serta para kerabat dengan membawa
undangan. Para keluarga suhut bolon mengundang dengan cara menyampaikan
undangan secara langsung kepada mora, kahanggi, anak boru, dan kaum kerabat
lainnya dengan meminta kerelaan hatinya untuk hadir dalam acara martahi haroan
boru yang akan diadakan di rumah suhut bolon.
Adanya anggapan dalam masyarakat Angkola, bahwa keluarga suhut bolon
berkewajiban mengundang secara langsung kaum kerabat dan sisolkot agar
mendapat tanggapan yang lebih baik. Dalam mengotang (mengundang) perlu
adanya kerja sama dengan para kaum sisolkot. Kerja sama yang terjalin antara lain
kerja sama sosial, seleksi saudara dan azas timbal balik. Kerja sama dalam
mangotang merupakan pembagian kerja yang masing-masing pendukung individu
memiliki tanggung jawab yang jelas untuk melaksanakan berbagai fungsi
hidupnya dan masing-masing anggota terikat dengan kewajiban yang telah
disepakati bersama.
Setelah kaum sisolkot (mora, kahanggi, anak boru), kaum kerabat, harajaon,
dan hatobangan telah hadir di rumah suhut bolon untuk melaksanakan martahi
haroan boru. Umumnya acara martahi haroan boru dilaksanakan malam hari
sehingga tamu yang datang dari luar desa biasanya akan menginap di rumah suhut
bolon ataupun di rumah para jiran tetangga suhut bolon yang sebelumnya sudah
ada kata sepakat dari suhut bolon dan jiran tetangga. Hal ini sudah membudaya
dikalangan masyarakat Angkola dalam pelaksanaan adat Martahi haroan boru.7
Kaum sisolkot yang telah hadir diruangan martahi kemudian diberikan
napuran (sirihan) yang bertujuan sebagai tanda ucapan terima kasih kepada kaum
sisolkot atas kedatangannya untuk memenuhi undangan suhut bolon. Napuran ini
dibuat lengkap oleh para ibu-ibu yang hadir dibagian belakang tempat duduk kaum
bapak. Napuran tersebut kemudian diberikan oleh istri suhut bolon kepada seluruh
undangan yang hadir satu-persatu. Dalam memberikan napuran, istri suhut bolon

7
Rahayu Sinaga, Silsilah Tradisi-Tradisi Batak…h. 60-61.
bergeser dari satu tamu ke tamu lainnya tanpa diperbolehkan berjongkok, karena
dianggap kurang sopan.
Setelah napuran diberikan kepada seluruh tamu undangan, maka acara dapat
dimulai oleh pembawa acara dan dilanjutkan oleh sambutan dari keluarga suhut
bolon disertai ucapan terima kasih atas kehadirannya dan meminta izin kepada raja
Torbing balok untuk melaksanakan acara. Setelah ada kata sepakat antara
harajaon, hatibangon dan kaum sisolkot yang hadir, maka mereka satu-persatu
memberikan uang kepada utusan suhut bolon dan dicatat dalam buku catatan
martahi.8
Acara adat martahi haroan boru bersifat giliran sehingga buku catatan yang
isinya berupa nama dan jumlah uang yang diberikan tidak boleh hilang. Tujuannya
adalah untuk melihat kembali berapa jumlah uang yang diberikan pada saat
martahi di rumah suhut bolon dan apabila martahi diadakan di rumah kaum
sisolkot, maka suhut bolon harus melebihkan jumlah uang yang diberikan.
Pemberian yang sudah diterima akan dikebalikan pada saat si pemberi membuat
acara martahi haroan boru. Dalam martahi haroan boru banyaknya jumlah uang
yang diterima tergantung pada pergaulan dari suhut bolon di masyarakat.9

C. PENUTUP
Haroan boru adalah kedatangan mempelai wanita di rumah orang tua mempelai
lelaki yang dijemput oleh utusan keluarga orang tua mempelai laki-laki. Muda adong
na haroan boru, tentu adong na pabagas boru. Adat martahi haroan boru merupakan
ide dan gagasan dari seluruh masyarakat Angkola dalam pelaksanaan adat
perkawinan. Didasarkan atas azas gotong-royong dalam membantu pelaksanaan serta
pembiayaan mahar dan acara perkawinan yang terbilang cukup besar. Adat martahi
haroan boru merupakan musyawarah untuk menyepakati dalam pemberian bantuan
dari seseorang kepada keluarga yang memiliki anak laki-laki yang akan dinikahkan.

8
Rahayu Sinaga, Silsilah Tradisi-Tradisi Batak…h. 62.
9
Sibarani R. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Batak Angkola, (Medan:
Penerbit Asosiasi Tradisi, 2012), h. 71.
Tujuan adat martahi haroan boru adalah membantu agar terlaksananya
pernikahan dari sanak keluarganya serta mengharapkan akan memperoleh kembali
pemberian tersebut pada saat anaknya akan menikah kelak. Secara analogi konsep
tersebut sesuai dengan teori Mauss (Parsudi, 1992) bahwa pemberian adalah bagian
dari sistem tukar menukar yang saling mengimbangi dimana kehormatan si pemberi
dan penerima terlibat didalamnya.
Ada tiga alasan utama sehingga dilaksanakannya martahi haroan boru, yaitu
karena adat istiadat yang sudah ada, ikatan solidaritas sosial diantara keluarga, serta
kebutuhan dana dalam menyelenggarakan acara pernikahan anak laki-lakinya.
Dengan demikian adat martahi haroan boru merupakan bagian penting dalam
sistem pernikahan masyarakat Angkola, oleh sebab itu tradisi ini sangat perlu
dilestarikan dan dipelihara. Untuk itu, disarankan kepada masyarakat agar tetap
menjaga dan memelihara adat martahi haroan boru dalam menjalankan tradisi
pernikahan anak cucu untuk menyambung tradisi agar tidak hilang dimakan zaman.

REFERENSI
Fajarini, Peranan Kearifan Lokal Masyarakat Batak Angkola, Tapanuli: Sosio
Didaktika, 2014.
Ilham Harahap, Pluralisme Hukum Perkawinan di Tapanuli Selatan, Jurnal MIQOT
Vol. 43 No. 1 Januari-Juni 2019.
Purwan Nasution, Adat Mandailing serta Tata Cara Perkawinannya, Jakarta: Widya
Press, 1994.
Rahayu Sinaga, Silsilah Tradisi-Tradisi Batak, Jakarta: Dian Utama, 1998.
Sibarani R. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Batak Angkola,
Medan: Penerbit Asosiasi Tradisi, 2012.

Anda mungkin juga menyukai