Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis,
masyarakat, dan sebagainya) yang memiliki prinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Hasil perundingan dalam World
Summit 2005 menyebutkan bahwa sustainable development mencakup tiga lingkup
kebijakan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan.
Ketiga lingkup kebijakan tersebut saling terikat dan merupakan pilar pendorong bagi
pembangunan berkelanjutan.
Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2011) menyatakan bahwa
pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat
untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual. Maka dari itu, dapat
disimpulkan bahwa keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan
pembangunan berkelanjutan.
Data PBB menunjukkan bahwa jumlah penduduk dunia mencapai sembilan milyar
pada pertengahan abad ke-21 dan sekarang telah mencapai sekitar 7,3 milyar jiwa.
Peningkatan jumlah penduduk dunia tersebut mengakibatkan permintaan bahan makanan dan
bahan bakar semakin meningkat. Hal ini juga ditandai dengan dengan distribusi 54%
penduduk yang bermukim di perkotaan akan berkemungkinan melonjak menjadi 66% pada
tahun 2050. Disisi lain, peningkatan jumlah penduduk juga akan ikut meningkatkan tingkat
kesenjangan antar penduduk.
Dapat disadari bahwa pengangguran dan kemiskinan masih menjadi masalah umum di
berbagai belahan dunia. Ketidaksetaraan di berbagai bidang seperti pendidikan, gender, etnik
dan kelompok-kelompok ras masih mewarnai tatanan sosial pada saat ini. Diperkirakan
sekitar 1,2 miliar penduduk dunia masih hidup tanpa listrik; 2,8 miliar orang masih mengolah
makanan dengan menggunakan bahan bakar padat; 748 juta orang masih belum memiliki
akses jalan. Perubahan iklim semakin cepat terjadi dan kita masih belum mendapatkan solusi
yang paling efektif untuk mengatasinya. Bahkan, kerusakan dan kepunahan keanekaragaman
hayati dan penurunan sumber daya alam termasuk energi dan air sedang berada dalam fase
mengkhawatirkan.

1
Seiring dengan kepadatan penduduk yang terus bertambah, dapat kita sadari bahwa
hal tersebut akan sangat berdampak pada keanekaragaman hayati terutama lingkungan hidup.
Bertambahnya jumlah penduduk berarti bertambah pula kebutuhan manusia yang perlu
didapatkan, dimulai dari tempat tinggal, makanan, dan hal-hal primer lainnya untuk bertahan
hidup. Manusia bisa saja menebang hutan atau membakar lingkungan hidup untuk menambah
lahan untuk tempat hidup manusia (komplek) dan berbagai hal lainnya yang dapat
mengancam keberadaan lingkungan hidup maupun hutan. Dalam makalah ini, kami akan
membahas dampak pembangunan berkelanjutan dalam kehidupan hutan dan
pembangunannya serta upaya dan respon pemerintah Indonesia dalam mengatasi kerusakan
dan kepunahan hutan seiring bertambahnya kebutuhan lahan di berbagai sektor –baik tempat
tinggal maupun industri–.
Dari sisi ketenagakerjaan, Simangunsong (2004) mencatat jumlah tenaga kerja pada
sektor kehutanan pada tahun 1980 sekitar 113 ribu orang, yang meningkat dari tahun ke tahun
dan mencapai puncaknya pada tahun 1997 menjadi 388 ribu orang ketika produksi kayu lapis
mencapai puncaknya. Namun bisa jadi tenaga kerja yang diserap oleh sektor kehutanan jauh
lebih besar dari angka di atas, karena angka-angka di atas hanya menggambarkan orang yang
bekerja pada industri skala sedang dan besar saja belum memasukkan jumlah orang yang
bekerja pada industri kecil dan jumlah orang yang kehidupannya tergantung pada kegiatan
agroforestry dan pemanenan hasil hutan non-kayu. Sementara Soewarni dalam Suhermanto
(2009) mencatat jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung di kehutanan adalah 2.345.150
jiwa dan tenaga kerja tidak langsungnya mencapai lebih kurang 1,5 juta jiwa. Dengan asumsi
setiap tenaga kerja menanggung 2 anak dan 1 istri diperkirakan sektor kehutanan menghidupi
15,4 juta jiwa, atau paling tidak sepertiga dari penduduk pedesaan bergantung pada
ketersediaan bahan baku kayu bakar, tanaman obat, makanan, dan pupuk organic dari sampah
hutan dan sekaligus sebagai sumber penghasilan.

Meskipun sektor kehutanan memberikan sumbangan pada devisa negara cukup


signifikan, namun hal ini tidak diikuti dengan perkembangan peningkatan PDB dari sektor
kehutanan yang hanya 1,2 % selama 10 tahun terakhir. Kontribusi pertumbuhan ekonomi
sektor kehutanan terhadap perekonomian menyeluruh yang ditunjukkan dari PDB nasional
relatif kecil. Dalam perhitungan PDB, kehutanan dimasukkan sebagai salah satu subsektor
perekonomian dari sektor pertanian. Sebagai bagian dari sektor pertanian, dalam periode
tersebut kehutanan menyumbang sekitar 10,01% per tahun kepada pembentukan PDB
pertanian. Sektor pertanian sendiri menyumbang rata-rata 16,15% per tahun kepada

2
pembentukan PDB nasional. Seharusnya dalam melihat share kehutanan terhadap
perekonomian nasional jangan hanya melihat dari nilai kontribusi terhadap pembentukan
PDB saja, namun harus memperhatikan juga multiplier effect sektor tersebut baik terhadap
output, pendapatan dan tenaga kerja, serta harus dilihat pula nilai keterkaitan sektor
kehutanan terhadap sektor-sektor produksi lainnya. Selama ini sistem yang dianut dalam
perhitungan PDB sub-sektor kehutanan hanyalah kegiatan sektor hulu dan industri primer
pengolahan hasil hutan sementara sektor hilir dan industri pengolahan lanjutannya tidak
termasuk nilai tambah yang diperhitungkan dalam sub-sektor kehutanan sehingga masih
belum menggambarkan kontribusi riil sektor kehutanan terhadap penerimaan negara. Selain
itu kajian yang selalu dilakukan lebih berfokus pada peranan suatu sektor secara parsial.
Padahal ada keterkaitan dari output dari sektor kehutanan yang digunakan sebagai input oleh
sektor-sektor ekonomi lainnya dalam proses produksi. Dengan demikian penting pula untuk
diketahui bagaimana posisi sektor kehutanan secara riil pada proses produksi dalam
penciptaan output, tenaga kerja dan nilai tambah dalam kurun waktu 1995-2008, mengingat
pada periode tersebut perekonomian Indonesia cukup mengalami fluktuasi dengan adanya
krisis ekonomi 1997, keruntuhan regim orde baru, perubahan paradigma pembangunan dari
sentralistik ke desentralisasi melalui penetapan otonomi daerah serta reformasi pembangunan
di segala bidang, tak terkecuali sektor kehutanan. Disisi lain, kondisi hutan Indonesia yang
telah mengalami eksploitasi besar-besaran pada tahun-tahun sebelumnya sehingga
menghasilkan deforestasi dan degradasi lingkungan yang cukup parah, menarik untuk dikaji
apakah mempengaruhi kinerja sektor kehutanan dalam perekonomian nasional.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pentingnya pembangunan berkelanjutan dalam lingkungan hidup?
2. Bagaimana pembangunan berkelanjutan lingkungan hidup di indonesia?
3. Adakah partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui alasan pentingnya pembangunan berkelanjutan dalam lingkungan hidup.
2. Mengetahui perkembangan pembangunan berkelanjutan di Indonesia terutama dalam
bidang lingkungan hidup.

3
3. Mengetahui contoh nyata partisipasi masyarakat Indonesia dalam mengelola
kehutanan di Indonesia.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kebutuhan atas Pembangunan Berkelanjutan dalam Lingkungan Hidup


Teori ekonomi politik lingkungan global memiliki beberapa pandangan yang
menjelaskan fenomena permasalahan lingkungan yang dikaitkan dengan aspek ekonomi dan
politik seperti pasar liberal (liberal market), institusionalis (institutionalists), bio-
environmentalists, dan social green. Pasar liberal memandang bahwa pertumbuhan ekonomi
dan pendapatan per kapita yang tinggi adalah suatu hal yang esensial bagi kelestarian
lingkungan hidup karena dapat mendorong kesadaran politik dan kapasitas ekonomi untuk
meningkatkan kondisi lingkungan. Teori ini menekankan bahwa dalam mengatasi
permasalahan lingkungan, sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
membuat kebijakan dan aturan untuk konteks tersebut. Salah satu bentuk kebijakan yang
diimplementasikan adalah pengaturan pajak lingkungan untuk menanggulangi kegagalan
pasar atau memberlakukannya melalui pasar lingkungan inovatif seperti skema global jual-
beli emisi karbon serta manajemen lingkungan dengan hanya memperjualbelikan kayu dari
sumber yang mendukung keberlangsungan lingkungan.
Menurut pandangan institusionalis, institusi dan norma global merupakan suatu hal
yang sangat penting. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa sumber dari degradasi
lingkungan adalah kurangnya kerjasama di tingkat global. Maka dari itu, solusi yang
ditawarkan adalah peningkatan kerjasama dalam kerangka organisasi atau rezim internasional
untuk menjaga kelestarian lingkungan. Institusi hasil dari organisasi kerjasama internasional
tersebut akan memiliki akses krusial untuk melakukan transfer teknologi dan bantuan bagi
negara-negara yang secara ekonomi belum memiliki kapasitas mencukupi dalam mengatasi
permasalahan lingkungan. Kebijakan ekonomi global merupakan suatu hal penting yang
mampu meningkatkan standar hidup sekaligus dapat menjaga kelestarian lingkungan.
Kebijakan ini harus dapat mengontrol di seluruh tingkat pemerintahan –baik dalam tingkat
lokal, nasional, maupun global–, sehingga dapat membawa dampak positif pada peningkatan
keuntungan ekonomi dan mengurangi dampak negatif yang mungkin terjadi. Kehadiran
institusi tersebut mampu mengatasi permasalahan lingkungan dengan menginternalisasikan
prinsip-prinsip pertumbuhan berkelanjutan pada proses pembuatan keputusan yang dilakukan
oleh berbagai pemangku kepentingan.
Indonesia membutuhkan adanya pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam
lingkungan hidup seperti hutan. Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia di lingkungan

5
internasional karena keberadaan hutannya. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa
keberadaan hutan di Indonesia begitu penting bagi masyarakat Indonesia dan internasional.
Keberadaan hutan di Indonesia harus terus dilestarikan, terutama apabila ingin melakukan
pengelolaan hutan, maka harus diperhatikan pula keberlanjutan ekosistem hutan tersebut.
Perlindungan kawasan hutan yang dilakukan dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan
hutan yang bisa saja terjadi baik oleh manusia maupun bencana alam.
Hutan merupakan salah satu lingkungan hidup yang dapat dimanfaatkan dan diambil
hasilnya, namun kegiatan tersebut dapat menimbulkan kerusakan –atau bahkan kepunahan–
bagi hutan. Maka dari itu, pengelolaan hutan diperlukan agar keberadaan hutan dan berbagai
ekosistem yang berada di dalamnya dapat terus berkelanjutan.
Salah satu bentuk pembangunan berkelanjutan yang dapat kita lakukan untuk
memenuhi kebutuhan kita pada saat ini tanpa harus mengorbankan kebutuhan pada generasi
yang akan mendatang adalah revitalisasi hutan. Revitalisasi hutan merupakan suatu upaya
untuk mengembalikan dan menghidupkan kembali vitalitas hutan yang telah rusak akibat
manajemen dan perbuatan manusia yang kurang baik dalam aktivitas pengelolaan hutan.
Dengan adanya kegiatan ini, maka diharapkan produktivitas hutan dapat terjaga dan
meningkat kembali baik dalam segi nilai ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.

2.2 Kinerja Pemerintah atas Pembangunan Berkelanjutan dalam Lingkungan Hidup


Pembangunan berkelanjutan dalam lingkungan hidup sangat dibutuhkan di Indonesia,
seperti yang sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya. Namun, pembangunan berkelanjutan
ini tidak akan dapat terealisasi dengan baik apabila tidak ada kinerja dari pemerintah pula.
Maka dari itu, pemerintah pun ikut turut serta dalam merealisasikan pembangunan
berkelanjutan agar lingkungan hidup di Indonesia dapat terus berkelanjutan dan
meminimalisir kerusakan dalam pemanfaatannya. Salah satu yang disorot oleh pemerintah
adalah kehutanan di Indonesia. Hutan merupakan salah satu lingkup lingkungan hidup yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena memiliki berbagai macam sumber daya yang
dapat digunakan untuk bertahan hidup.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan program
nasional Perhutanan Sosial sebagai salah satu wujud dari tema “Membangun Indonesia dari
Pinggiran” berdasarkan poin ketiga dari Nawacita Presiden Joko Widodo. Tujuan dari
program ini adalah melakukan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi
melalui tiga pilar, yaitu lahan, kesempatan usaha, dan sumber daya manusia (SDM).
Perhutanan Sosial menjadi benda legal untuk masyarakat sekitar kawasan hutan untuk

6
mengelola kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektar. Menurut Pasal 1 PP No. 23 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, “Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan
Hutan Lestari yang dilakukan dalam kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat
yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku
utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial
budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan
Adat, dan Kemitraan Kehutanan.
Pemerintah melalui KLHK membuat lima skema pengelolaan kawasan hutan, yaitu;
● Hutan Desa (HD) → hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada
lembaga desa untuk kesejahteraan desa.
● Hutan Kemasyarakatan (HKm) → hutan negara yang pemanfaatan utamanya
ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat
● Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS) → hutan tanaman pada hutan produksi
yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka
menjamin kelestarian sumber daya hutan.
● Hutan Adat (HA) → hutan ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah
masyarakat hutan adat.
● Kemitraan Kehutanan → kerjasama antara masyarakat setempat dengan
pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, jasa hutan, izin
pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil
hutan.1
Perhutanan Sosial didengungkan pertama kali pada tahun 1999, pada saat itu sedang
berada di fase pasca reformasi, sehingga menjadi agenda yang kurang diperhatikan. Pada
akhirnya, program ini mulai dilaksanakan pada tahun 2007 hingga tahun 2014, tetapi program
ini berjalan kurang lancar. Setelah tahun 2014, sesuai dengan Nawacita Presiden Joko
Widodo, program ini dilakukan percepatan-percepatan. Selama kurang lebih tiga tahun masa
Kabinet Kerja, telah tercatat seluas 604.373,26 Ha kawasan hutan yang secara legal dibuka
untuk dikelola oleh masyarakat.
Peserta program Perhutanan Sosial adalah kesatuan masyarakat secara sosial yang
terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di kawasan hutan atau di dalam
kawasan hutan negara yang keabsahannya dibuktikan lewat Kartu Tanda Penduduk. Selain
1 Perhutanan Sosial, Kini Masyarakat Legal Mengelola Hutan, diakses dari
https://www.kominfo.go.id/content/detail/10564/perhutanan-sosial-kini-masyarakat-legal-mengelola-hutan/0/
artikel_gpr pada 4 April 2022

7
itu, masyarakat peserta program Perhutanan Sosial juga memiliki komunitas sosial berupa
riwayat penggarapan kawasan hutan dan tergantung pada hutan dan aktivitasnya berpengaruh
terhadap ekosistem hutan. Hingga 2017, terdapat 239.341 Kepala Keluarga (KK) yang sudah
berpartisipasi dalam program ini dan telah memiliki akses legal untuk mengelola kawasan
hutan nusantara. Sampai pada tahun 2019, sudah tercatat 2.640 kelompok yang telah
mendapat sosialisasi dan fasilitas dari program ini. Bentuk fasilitas yang diberikan kepada
kelompok-kelompok tersebut adalah fasilitas dalam bidang pengembangan usaha perhutanan
sosial.
Akses legal mengelola kawasan hutan diharapkan menjadi jembatan yang mampu
memberikan bentuk nyata dari kehadiran negara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia
dan memberi kesejahteraan bagi masyarakat daerah terdepan Indonesia. Selain Nawacita
ketiga, Perhutanan Sosial juga merupakan salah satu bentuk implementasi dari Nawacita
keenam yang memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat serta daya saing
di tingkat internasional sehingga dapat bersaing dengan negara-negara di tingkat ASEAN
lainnya. Selain itu, salah satu landasan program Perhutanan Sosial adalah mewujudkan
masyarakat mandiri secara ekonomi melalui sektor-sektor ekonomi strategis domestik.

2.3 Peran Nyata Masyarakat Terhadap Pengelolaan Hutan Berkelanjutan


Partisipasi nyata masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan bidang kehutanan
berkelanjutan menjadi bagian yang sangat vital. Masyarakat bisa menjadi mitra atau malah
menjadi pihak yang berpotensi berkonflik dengan pemerintah. Karena itu, keterlibatan
masyarakat sering dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu program.
Interaksi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan
dapat dipahami melalui berbagai pendekatan dan metodologi. Terkait itu, Edwin Martin,
Peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan Balai Litbang LHK Palembang mengusulkan konsep
yang dinamakannya sebagai Blusukan Lanskap (BL). Kegiatan yang dilakukan dalam BL
antara lain mengamati kehidupan masyarakat lokal (participant observation), mengamati
jalur transek (biofisik), wawancara mendalam sambil berjalan (walking interview), dan
melakukan analisis diakronis-sinkronis. Komitmen menjaga kelestarian hutan masih sangat
kental dirasakan di masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat mengelola hutan dengan
kearifan lokal/aturan adatnya.
Namun demikian, masyarakat adat perlu menyusun rencana pengelolaan hutan adat secara
lebih komprehensif, sehingga mampu memperkuat kapasitas dan peran masyarakat adat
dalam menjaga hutan atau upaya konservasi hutan.

8
Salah satu kelompok adat yang keberadaannya diakui oleh pemerintah adalah Suku
Anak Dalam (SAD) atau orang Rimbo. Satu kelompok SAD dipimpin oleh seorang
Temenggung, yang berperan dalam menentukan tatanan sosial. Dulunya, mereka sangat bijak
dalam memanfaatkan sumber daya hutan sehingga terjaga keseimbangannya.
Perkembangan zaman dan keterbukaan akses dapat berimplikasi positif namun juga bisa
berimplikasi negatif. Nilai-nilai sosial yang dulu dijunjung tinggi mulai berubah. Ketaatan
terhadap Temenggung berangsur-angsur luntur, akibatnya banyak hukum adat yang
dilanggar. Resin jernang (dragon blood) memiliki banyak manfaat dan digunakan sebagai
bahan baku industri obat, kosmetik maupun industri pewarna. Hal ini menyebabkan
kebutuhan ekspor resin jernang sangat tinggi. Namun pemanfaatannya yang kurang lestari
dan tanpa aturan, menurut Sahwalita bisa mengancam keberadaan rotan jernang.
Masyarakat memiliki keterlibatan besar dalam keberhasilan merehabilitasi lahan.
Menurut peneliti di bidang ekonomi sosial kehutanan, bila masyarakat ikut berpartisipasi
menanam pohon, bukan manfaat ekonomi saja yang bisa diperoleh, namun juga bernilai
ekologi bagi lingkungan.
Dalam program rehabilitasi, masyarakat perlu diberikan pengetahuan dan pemahaman
mengenai pentingnya menanam pohon dan bagaimana menumbuhkan kepedulian, rasa cinta
dan rasa membutuhkan akan kelestarian lingkungan yang hijau.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu aktivitas proses pembangunan lahan
yang memiliki prinsip untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini tanpa harus
mengorbankan atau mengeksploitasi simpanan kebutuhan untuk generasi yang akan
mendatang. Lingkungan hidup merupakan salah satu lingkungan yang memiliki lingkup luas
yang dapat dimanfaatkan, salah satunya adalah hutan. Hutan adalah bagian penting dari
Indonesia, bahkan hutan di Indonesia sudah dikenal sebagai paru-paru dunia oleh masyarakat
internasional. Maka dari itu, sudah sepatutnya kita dapat memperhatikan keberlanjutan dan
kelestarian hutan beserta ekosistem yang berada di dalamnya. Hal ini dapat
diimplementasikan dengan cara melakukan revitalisasi hutan sebagai bentuk pembangunan
berkelanjutan dalam konteks kehutanan. Dengan melakukan revitalisasi hutan, kerusakan
hutan dapat diatasi dan produktivitas hutan dapat meningkat.
Sebagai pemenuhan untuk pembangunan berkelanjutan dalam konteks kehutanan,
pemerintah telah menjalankan program Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial ini dilakukan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai salah satu wujud dari
“Membangun Indonesia dari Pinggiran” berdasarkan poin ketiga dari Nawacita Presiden Joko
Widodo. Terdapat lima skema yang dijalankan dalam program ini, antara lain Hutan Desa,
Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.
Perhutanan Sosial sudah didengungkan sejak tahun 1999, namun baru dijalankan pada tahun
2007 hingga 2014 dengan sedikit masalah dalam pelaksanaannya sehingga berjalan dengan
kurang lancar. Namun, setelah tahun 2014, program ini mulai dilakukan dengan percepatan
dan mengimplementasikan nilai Nawacita Presiden Joko Widodo.
Pelestarian telah menjadi isu penting dalam pembangunan, karena telah disadari
bahwa eksploitasi sumber daya alam bisa mengakibatkan degradasi lingkungan.
Meningkatnya kasus-kasus dalam sektor kehutanan, semakin menyadarkan kita bahwa
melestarikan hutan memberikan banyak manfaat dalam kehidupan ini. Berbagai upaya telah
ditempuh dalam rangka pelestarian sumber daya hutan, salah satu diantaranya adalah
Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). PHBM adalah partisipasi atau
keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan ikut serta dalam
pengamanan dan perlindungannya untuk mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan
masyarakat. PHBM terbukti mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat

10
melalui peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan mulai dari perencanaan hingga
evaluasi. Dampak positif tersebut dapat berupa peningkatan penghasilan masyarakat,
meningkatkan kelestarian lingkungan hutan, menurunkan kasus pembalakan liar, dan
berkurangnya lahan kosong karena peran aktif masyarakat dalam mengolah lahan dan
melakukan reboisasi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Pembangunan berkelanjutan, diakses dari


https://bappeda.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/pembangunan-berkelanjutan-1 pada
4 April 2022.

Perhutanan Sosial, Kini Masyarakat Legal Mengelola Hutan, diakses dari


https://www.kominfo.go.id/content/detail/10564/perhutanan-sosial-kini-masyarakat-legal-
mengelola-hutan/0/artikel_gpr pada 4 April 2022.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan


Kehutanan

Rengganis, Maria. (2019). Pengaruh Pengungkapan Environmental, Social, Dan Governance


(ESG) Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Di Indonesia. (Skripsi). Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, DI Yogyakarta.

Sari, Suwarti., Nirmala, Mira Puspa. (2019). Kerjasama Indonesia-Uni Eropa Dalam
Mengoptimalkan Implementasi Reducing Emissions From Deforestation And Forest
Degradation (REDD+). Jurnal Dinamika Global, 4 (02), 253-254.
https://doi.org/10.36859/jdg.v4i02.133

Wibisana, Andri G. (2013) Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya.


Jurnal Hukum & Pembangunan, 43 (1), 55; 57-59.
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1503/1417

Wilujeng, Etik. (2015). Implementasi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat


(PHBM) Dalam Rangka Pelestarian Hutan Di KPH Blora. (Skripsi). Universitas Airlangga,
Surabaya.

Humas KLHK(2020). Kontribusi KLHK dalam Upaya Mencapai Tujuan Pembangunan


Berkelanjutan
https://www.menlhk.go.id/site/single_post/2937

12
13

Anda mungkin juga menyukai