Oleh :
KELOMPOK 5
Robert Thomas Malthus (1766-1834) merupakan pendeta Inggris yang membuat teori
tentang hubungan antara petumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak
dipercaya oleh banyak ahli sampai saat ini. Dalam sebuah buku yang berjudul Eassay on the
Principle of Population yang terbit pada tahun 1798. Thomas Malthus Merumuskan sebuah
konsep tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns).
Teori ini merupkan teori yang menjelaskan bahwa setiap keluarga memiliki biaya dan
manfaat yang menentukan ukuran keluarga yang diinginkan. Teori ini Mengadopsi teori
perilaku konsumen konvensional. Anak dianggap sebagai barang konsumsi (tidak memberi
keuntungan). Artinya, jika anak dianggap sebagai barang konsimsi dan memasukkan factor
pendapatan, sedangkan factor lain dianggap konstan, maka jumlah anak secara langsung akan
dipengaruhi oleh pendapatan keluarga.
Sebaliknya, jumlah anak yang diinginkan berhubungan negative dengan harga relative
(biaya-biaya pemeliharaan) anak. Permintaan anak merupakan pilihan ekonomi yang rasional
bagi konsumen. Pilihan tersebut mengorbankan pilihan (barang) lain. Keinginan punya anak
dipengaruhi oleh income, harga anak (biaya hidup) dan keinginan mengkonsumsi barang lain
(efek substitusi dan pendapatan). Permintaan terhadap anak berhubungan positif dengan
pendapatan. Permintaan terhadap anak berhubungan negative terhadap harga relative (biaya
pemeliharaan) anak serta preferensi untuk barang-barang lain.
a. Permintaan Akan Anak di Negara Berkembang
Faktor makro ekonomi yang berkaitan dengan tingkat fertilitas keluarga berpijak pada
teori neo klasik tentang perilaku konsumen sebagai dasar analisis, dimana anak dapat dianggap
sebagai sebagai komoditi, seperti halnya barang-barang rumah tangga yang lain, semisal TV,
kulkas, dan sebagainya. Menurut Todaro (2000) di banyak negara berkembang anak dipandang
sebagai investasi, yaitu sebagai tambahan tenaga untuk menggarap lahan, atau sebagai
gantungan hidup, atau sebagai tabungan di hari tua. Dengan demikian penentuan fertilitas
keluarga atau `tingkat permintaan akan anak' merupakan bentuk pilihan ekonomi yang rasional
bagi konsumen (dalam hal ini keluarga).
Efek kemajuan sosial dan ekonomi dari menurunkan tingkat fertilitas di negara-negara
berkembang akan sangat besar ketika mayoritas penduduk dan khususnya orang-orang yang
sangat miskin sama-sama memperleh manfaatnya. Secara khusus, angka kelahiran di kalangan
kaum sangat miskin kemungkinan besar akan menurun apabila perubahan sosial- ekonomi
yang berikut dapat diwujudkan :
e) Pengembangan sistem tunjangan bagi para lansia dan sistem jaminan sosial lainnya.
Sementara itu, banyak pengamat dari negara kaya dan miskin menyatakan bahwa
masalah lain di balik sebuah realitas akan meningkatnya permintaan akan anak adalah :
a) Keterbelakangan wanita
Meskipun angka TFR berbeda dari hasil estimasi beberapa sumber data, tren
menunjukkan bahwa TFR menurun selama 10 tahun terakhir. Estimasi TFR dari Sensus
Penduduk (SP) tahun 2010 serta Survei Penduduk Antara Sensus (SUPAS) tahun 2015
menunjukkan angka TFR yang menurun dari 2,41 ke 2,28 anak per perempuan. Sementara itu
estimasi dari data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan bahwa
akhirnya TFR Indonesia mengalami penurunan menjadi 2,4 anak perempuan pada tahun 2017
setelah bertahan pada angka 2,6 dari tahun 2002 hingga 2012.
Pada tahun 1971-1980 pertumbuhan penduduk Indonesia masih cukup tinggi sekitar
2,31 persen. Pertumbuhan penduduk ini kemudian mengalami penurunan yang cukup tajam
hingga mencapai 1,49 persen pada kurun waktu 1990-2000. Penurunan ini antara lain
disebabkan berkurangnya tingkat kelahiran sebagai dampak peran serta masyarakat dalam
program KB. Data terakhir (2000-2017) laju pertumbuhan penduduk Indonesia kembali turun
menjadi 1,36 persen. Program Keluarga Berencana yang dijalankan Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selama ini memberikan hasil yang cukup baik
dalam mengendalikan angka kelahiran.
Hal ini terlihat dengan menurunnya angka kelahiran total atau Total Fertility Rate
(TFR) sesuai hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017. Angka fertilitas
total merupakan jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan seorang wanita pada akhir masa
reproduksinya. Tahun 2017 Total Fertility Rate di Indonesia menurun menjadi sekitar 2,4
anak per wanita, dari sebelumnya 2,6 anak per wanita pada Tahun 2013. Angka 2,4 anak per
wanita, artinya seorang wanita di Indonesia rata-rata melahirkan 2,4 anak selama hidupnya.
Dengan angka kelahiran pada wanita rentang usia 15-19 tahun mencapai 36/1000 kelahiran
dari sebelumnya 46/1000 kelahiran.
Meskipun TFR nasional sudah cukup rendah, namun TFR menurut provinsi masih
bervariasi dengan kisaran 2,1 (Jawa Timur dan Bali) sampai 3,4 anak per wanita (Nusa
Tenggara Timur). Hal ini tentunya merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah, untuk
melihat permasalahan sesuai kearifan lokal. Provinsi yang masih mempunyai TFR di atas 3
anak per wanita sebagian besar di daerah Indonesia bagian timur.
b. Usia Kawin Pertama. Menurut Davis dalam Notoatmojo (2003) usia kawin
pertama adalah usia ketika seseorang memulai atau melangsungkan pernikahan
(perkawinan pertama), wanita yang menikah pada usia muda mempunyai waktu
yang lebih panjang berisiko untuk hamil dan angka kelahiran juga lebih tinggi.
Usia kawin pertama merupakan salah satu yang dapat mempengaruhi tingkat
produktifitas pada Pasangan Usia Subur (PUS). pengaruhi tingkat produktifitas
pada Pasangan Usia Subur (PUS).