Anda di halaman 1dari 6

RMK RPS 6

TEORI DAN KEBIJAKAN EKONOMI KEPENDUDUKAN (F1)


“KETERKAITAN EKONOMI DAN FERTILITAS MELALUI TEORI EKONOMI
FERTILITAS SERTA KEBIJAKAN MENGATASI PERMASALAHN FERTILITAS
DI INDONESIA”
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Drs. I Ketut Sudibia, S.U.

Oleh :
KELOMPOK 5

Ida Ayu Mas Pramesthi Dharma Dewi Manuaba (1907511270)


I Gusti Ayu Prili Saraswati (1907511271)
Ni Luh Putu Evi Anggreni (1907511276)
Desak Putu Diah Merta Lestari (1907511280)
I Gede Putra Widhi Guna Dharma (1907511283)
A.A Istri Agung Triana Santi (1907511287)

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021/2022
1. Teori Jebakan Populasi Malthus

Robert Thomas Malthus (1766-1834) merupakan pendeta Inggris yang membuat teori
tentang hubungan antara petumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak
dipercaya oleh banyak ahli sampai saat ini. Dalam sebuah buku yang berjudul Eassay on the
Principle of Population yang terbit pada tahun 1798. Thomas Malthus Merumuskan sebuah
konsep tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns).

Malthus menggambarkan sebuah kecenderungan universal bahwa jumlah populasi


disuatu Negara akan meningkat sangat cepat menurut deret ukur atau tingkat geometric setiap
30 atau 40 tahun, kecuali terjadi bencana kelaparan. Sementara itu, karena adanya proses
pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang jumlahnya tetap,
yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat
aritmetik. Bahkan, karena lahan yang dimiliki setiap anggota masyarakat semakin lama
semakin sempit, maka kontribusi marjinalnya terhadap total produksi pangan akan semakin
menurun. itu maka ada sebagian penduduk yang tidak mendapat bahan pangan sama sekali.

Malthus menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi masalah rendahnya


taraf hidup yang sangat kronis atau kemiskinan absolut tersebut adalah “penanaman kesadaran
moral” (moral restraint) di kalangan segenap penduduk dan kesediaan untuk membatasi jumlah
kelahiran. Dengan perumusan konsep 17 akan pentingnya pembatasan kelahiran dan jumlah
penduduk tersebut, Malthus dapat kita sebut sebagai “bapak” atau pelopor gerakan modern
pengendalian kelahiran.

2. Teori Mikro Ekonomi Fertilitas Rumah Tangga

Teori ini merupkan teori yang menjelaskan bahwa setiap keluarga memiliki biaya dan
manfaat yang menentukan ukuran keluarga yang diinginkan. Teori ini Mengadopsi teori
perilaku konsumen konvensional. Anak dianggap sebagai barang konsumsi (tidak memberi
keuntungan). Artinya, jika anak dianggap sebagai barang konsimsi dan memasukkan factor
pendapatan, sedangkan factor lain dianggap konstan, maka jumlah anak secara langsung akan
dipengaruhi oleh pendapatan keluarga.

Sebaliknya, jumlah anak yang diinginkan berhubungan negative dengan harga relative
(biaya-biaya pemeliharaan) anak. Permintaan anak merupakan pilihan ekonomi yang rasional
bagi konsumen. Pilihan tersebut mengorbankan pilihan (barang) lain. Keinginan punya anak
dipengaruhi oleh income, harga anak (biaya hidup) dan keinginan mengkonsumsi barang lain
(efek substitusi dan pendapatan). Permintaan terhadap anak berhubungan positif dengan
pendapatan. Permintaan terhadap anak berhubungan negative terhadap harga relative (biaya
pemeliharaan) anak serta preferensi untuk barang-barang lain.
a. Permintaan Akan Anak di Negara Berkembang

Faktor makro ekonomi yang berkaitan dengan tingkat fertilitas keluarga berpijak pada
teori neo klasik tentang perilaku konsumen sebagai dasar analisis, dimana anak dapat dianggap
sebagai sebagai komoditi, seperti halnya barang-barang rumah tangga yang lain, semisal TV,
kulkas, dan sebagainya. Menurut Todaro (2000) di banyak negara berkembang anak dipandang
sebagai investasi, yaitu sebagai tambahan tenaga untuk menggarap lahan, atau sebagai
gantungan hidup, atau sebagai tabungan di hari tua. Dengan demikian penentuan fertilitas
keluarga atau `tingkat permintaan akan anak' merupakan bentuk pilihan ekonomi yang rasional
bagi konsumen (dalam hal ini keluarga).

Efek kemajuan sosial dan ekonomi dari menurunkan tingkat fertilitas di negara-negara
berkembang akan sangat besar ketika mayoritas penduduk dan khususnya orang-orang yang
sangat miskin sama-sama memperleh manfaatnya. Secara khusus, angka kelahiran di kalangan
kaum sangat miskin kemungkinan besar akan menurun apabila perubahan sosial- ekonomi
yang berikut dapat diwujudkan :

a) Peningkatan pendidikan serta perubahan peran dan status perempuan.

b) Peningkatan kesempatan kerja di luar sektor pertanian bagi perempuan.

c) Kenaikan tingkat pendapatan keluarga.

d) Pengurangan tingkat kematian anak.

e) Pengembangan sistem tunjangan bagi para lansia dan sistem jaminan sosial lainnya.

f) Perluasan kesempatan memperoleh pendidikan.

Sementara itu, banyak pengamat dari negara kaya dan miskin menyatakan bahwa
masalah lain di balik sebuah realitas akan meningkatnya permintaan akan anak adalah :

a) Keterbelakangan wanita

b) Penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan

c) Penyebaran penduduk yang timpang

d) Rendahnya posisi dan status kaum wanita


Pertumbuhan penduduk perlu dikendalikan karena konsekuensi negatif dari permintaan
anak yang tinggi pada akhirnya dapat berakibat kepada :

a) Konsumsi perkapita yang rendah

b) Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan

c) Pendidikan yang rendah

d) Kesehatan yang menurun

e) Ketersediaan bahan pangan yang semakin sulit

f) Lingkungan hidup yang memburuk

g) Migrasi domestik dan internasional

3. Kondisi Fertilitas di Indonesia

Fertilitas diartikan sebagai kemampuan seorang wanita untuk menghasilkan kelahiran


hidup merupakan salah satu faktor penambah jumlah penduduk disamping migrasi masuk,
tingkat kelahiran dimasa lalu mempengaruhi tingginya tingkat fertilitas masa kini. Fertilitas
merupakan hasil reproduksi nyata dari seorang atau sekelompok wanita, sedangkan dalam
pengertian demografi menyatakan banyaknya bayi yang lahir hidup. Salah satu ukuran fertilitas
adalah total fertility rate (TFR) dan salah satu sumber data TFR adalah survei demografi dan
kesehatan Indonesia (SDKI). Angka fertilitas total atau Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia
mengalami penurunan yang cukup cepat dari 5,6 menjadi 2,6 anak per perempuan antara tahun
1971 dan 2012.

Meskipun angka TFR berbeda dari hasil estimasi beberapa sumber data, tren
menunjukkan bahwa TFR menurun selama 10 tahun terakhir. Estimasi TFR dari Sensus
Penduduk (SP) tahun 2010 serta Survei Penduduk Antara Sensus (SUPAS) tahun 2015
menunjukkan angka TFR yang menurun dari 2,41 ke 2,28 anak per perempuan. Sementara itu
estimasi dari data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan bahwa
akhirnya TFR Indonesia mengalami penurunan menjadi 2,4 anak perempuan pada tahun 2017
setelah bertahan pada angka 2,6 dari tahun 2002 hingga 2012.
Pada tahun 1971-1980 pertumbuhan penduduk Indonesia masih cukup tinggi sekitar
2,31 persen. Pertumbuhan penduduk ini kemudian mengalami penurunan yang cukup tajam
hingga mencapai 1,49 persen pada kurun waktu 1990-2000. Penurunan ini antara lain
disebabkan berkurangnya tingkat kelahiran sebagai dampak peran serta masyarakat dalam
program KB. Data terakhir (2000-2017) laju pertumbuhan penduduk Indonesia kembali turun
menjadi 1,36 persen. Program Keluarga Berencana yang dijalankan Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selama ini memberikan hasil yang cukup baik
dalam mengendalikan angka kelahiran.

Hal ini terlihat dengan menurunnya angka kelahiran total atau Total Fertility Rate
(TFR) sesuai hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017. Angka fertilitas
total merupakan jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan seorang wanita pada akhir masa
reproduksinya. Tahun 2017 Total Fertility Rate di Indonesia menurun menjadi sekitar 2,4
anak per wanita, dari sebelumnya 2,6 anak per wanita pada Tahun 2013. Angka 2,4 anak per
wanita, artinya seorang wanita di Indonesia rata-rata melahirkan 2,4 anak selama hidupnya.
Dengan angka kelahiran pada wanita rentang usia 15-19 tahun mencapai 36/1000 kelahiran
dari sebelumnya 46/1000 kelahiran.

Meskipun TFR nasional sudah cukup rendah, namun TFR menurut provinsi masih
bervariasi dengan kisaran 2,1 (Jawa Timur dan Bali) sampai 3,4 anak per wanita (Nusa
Tenggara Timur). Hal ini tentunya merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah, untuk
melihat permasalahan sesuai kearifan lokal. Provinsi yang masih mempunyai TFR di atas 3
anak per wanita sebagian besar di daerah Indonesia bagian timur.

4. Kebijakan Pengendalian Fertilitas di Indonesia


Pemerintah Indonesia berkenaan dengan Tahun Pendidikan Internasional 1970,
telah memasukkan pendidikan kependudukan sebagai komponen pendidikan di Indonesia,
karena masalah pertumbuhan penduduk yang tinggi harus ditanggulangi agar tidak menjadi
beban pembangunan. Adapun kebijakan kependudukan yang dilakukan pemerintah
Indonesia untuk mengendalikan jumlah penduduk di Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Keluarga Berencana (KB). Keluarga Berencana merupakan salah satu upaya


membangun kebahagian dan kesejahteraan keluarga. Melalui keluarga
berencana masyarakat diharuskan untuk membatasi jumlah kelahiran anak yaitu
setiap keluarga memiliki anak maksimal dua. Tidak tanggung-tanggung
keluarga berencana diberlakukan kepada seluruh lapisan masyarakat dari lapisan
bawah hingga lapisan atas dalam masyarakat.

b. Usia Kawin Pertama. Menurut Davis dalam Notoatmojo (2003) usia kawin
pertama adalah usia ketika seseorang memulai atau melangsungkan pernikahan
(perkawinan pertama), wanita yang menikah pada usia muda mempunyai waktu
yang lebih panjang berisiko untuk hamil dan angka kelahiran juga lebih tinggi.
Usia kawin pertama merupakan salah satu yang dapat mempengaruhi tingkat
produktifitas pada Pasangan Usia Subur (PUS). pengaruhi tingkat produktifitas
pada Pasangan Usia Subur (PUS).

c. Peningkatan Tingkat Pendidikan Perempuan. Pendidikan merupakan aspek


utama penentu kehidupan manusia yang lebih baik. Tingkat pendidikan
merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat fertilitas, dimana tingkat
pendidikan merupakan salah satu pendorong tingkat kesejahteraan masyarakat
dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pendidikan sebagai
variabel sosial dan ekonomi akan berpengaruh secara tidak langsung terhadap
fertilitas. Bagi seorang wanita semakin tinggi pendidikan yang ditempuhnya
akan semakin mengurangi masa reproduksi yang akan dilaluinya dan semakin
tinggi umur dalam menempuh usia kawin pertamanya. Hal ini menyebabkan
akan semakin kecil kemampuan fekunditas dari seorang wanita untuk
melahirkan.

d. Partisipasi Perempuan dalam Dunia Kerja. Partisipasi perempuan untuk turun ke


dunia kerja masih sedikit dimana masih banyak perempuan yang tidak bekerja
sehingga dapat berakibat pada produktivitas perempuan itu sendiri. Dimana jika
perempuan turun ke dunia kerja akan membantu perekonomian keluarganya
sehingga akan meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup keluarganya. Selain
itu jika perempuan juga terjun ke dunia kerja akan membuat perempuan tidak
memilih untuk memiliki anak yang banyak karena dia harus membagi waktunya
antara mengurus rumah tangga dan kesibukan kerja. Oleh karenanya partisipasi
perempuan dalam dunia kerja akan berpengaruh dalam pengendalian jumlah
kelahiran yang ada.

Anda mungkin juga menyukai