Defisit APBD merupakan selisih kurang antara Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah pada
tahun anggaran yang sama. Defisit terjadi bila jumlah pendapatan lebih kecil daripada jumlah
belanja.
Apabila APBD mengalami defisit, defisit tersebut dapat dibiayai dengan penerimaan
pembiayaan, termasuk dalam penerimaan pembiayaan tersebut misalnya Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, penggunaan cadangan, penerimaan
pinjaman, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan kembali
pemberian pinjaman atau penerimaan piutang. SiLPA merupakan dana milik daerah yang
bersangkutan, sehingga tidak menimbulkan risiko fiskal seperti halnya pinjaman. Dalam hal
APBD mengalami defisit, tidak ada pendanaan khusus yang disalurkan dari APBN kepada
daerah untuk menutup defisit tersebut.
Memang, oleh berbagai hal, defisit sulit dihindari. Namun, harus disiasati
dengan benar dan tepat. Adapun siasat saya mengatasi defisit selama
menjadi bupati dari 13 April 2011 s/d 13 April 2016, antara lain
mengefesienkan penggunaan silpa yang bersumber dari, pertama, sisa
tender. Pagu anggaran yang sudah ditetapkan dalam DPA unit kerja tidak
semuanya habis. Contoh, pengadaan barang/jasa konstruksi jalan pagu
anggaran Rp 1 miliar, tetapi pemenang pengadaan jasa/barang tersebut
dapat melaksanakannya dengan memberi nilai penawaran sebesar Rp 950
juta. Sisa Rp 50 juta menjadi sumber silpa. Sisa tender pada ratusan
pengadaan barang/jasa dalam satu tahun bisa mencapai puluhan miliar.
Kedua, ada pengadaan barang/jasa pada unit kerja tidak dapat dilaksanakan
karena belum keluar petunjuk pelaksanaan (juklak) dari pusat. Dapat juga
terjadi selama pelelangan tidak ada penyedia barang/jasa menawar
pengadaan barang/jasa tersebut. Contoh, program PLTS di dinas PU tahun
2014 sebesar lebih kurang Rp 3 miliar, tidak bisa dilaksanakan karena sudah
dua kali dilelang tidak ada rekanan yang menawar. Biaya PLTS tersebut
menjadi silpa.