Anda di halaman 1dari 5

Nama : Marsa Amira Yafi’ Prasojo

NIM : 201910110311418
Kelas : AIK 4 (J)
Pertemuan 2
Tentang
Materi 1 : akhlaq dalam keluarga

JURNAL
Al-Syakhshiyyah
Nurul Fadillah S.Pdi, Nahda Husain, Madina Munawwaroh S.Ag, “Al-Syakhshiyyah”, 2019,
Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan, Vol, 1, No. 1 Tahun 2019, Kampus I IAIN
BONE: Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum Islam Institut
Agama Islam Negeri Bone, jurnal.iain-bone.ac.id, 2 Desember 2021.

BEBERAPA PERSOALAN SEPUTAR PERNIKAHAN


AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-
UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Pendahuluan
Indonesia adalah Negara yang dikenal dengan beraneka ragam budaya adat
istiadat yang sudah ada dari sejak zaman nenek moyang dan juga agama dan
kepercayaan yang beraneka ragam. Dan masing-masing mempunyai aturan yang
bermacam-macam juga. Begitu juga dengan pemasalahan perkawinan, yang mana di
dalam perkawinan terdapat budaya perkawinan yang beraneka ragam, dan juga aturan
yang ada di dalamnya tidak terlepas dengan pengaruh agama, kepercayaan, dan
pengetahuan dari para masyarakat juga dari para pemuka agama yang ada pada
lingkungan yang mana masyarakat yang berada.
Indonesia sudah mengatur undang-undang tentang perkawinan yaitu undang-
undang No.1 tahun 1974 dalam pasal 2 ayat 1 yang sudah mengatur tentang
keabasahan suatu perkawinan yaitu perkawinan merupakan sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama yang dipercayai. Apabila undang-undang
No.1 tahun 1974 sudah mengatur bahwa sahnya suatu perkawinan yaitu apabila
perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing yang ada pada agama
yang dianut.
Perkawinan adalah suatu hal yang religious yang mana terjalin suatu hubungan
Antara dua insan manusia yaitu laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dan
mempunyai hasrat untuk bersama dan berjanji di dalam ikatan yang suci sebagai
suami dan isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan juga
memperbanyak keturunan.
Dalam perkawinan bukan merupakan suatu persoalan yang rumit apabila
pasangan memeluk agama yang tidak berbeda akan tetapi memeluk agam yang sama
dengan pasangan. Akan tetapi, akan menjadi sebuah persoalan yang lumayan rumit
apabila pasangan yang ingin menjalankan sebuah perkawinan tersebut memiliki
agama yang berbebda. Permaslasahan tersebut akan menjadi hal yang bermasalah
karena adanya perbedaan agama yang ada sehingga pelakasanaan perkawinan akan
menjadi terhalang atau akan berjalan sangat sulit.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa bagaimana dengan pasangan yang
mempunyai keinginan untuk melakukan perkawinan dengan agama yang berbeda dan
bagaiamana akibat hukum yang akan terjadi apabila perkawinan beda agama tersebut
tetap dilakasnakan.
B. Pembahasan
1. Perkawinan yang dilaksanakan akan tetapi dengan beda agama menurut
pandangan dalam agama dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Dalam perkawinan beda agama yaitu menjadi salah satu permasalahan
yang terus-menerus ada dalam kehidupan dan belum ada penyelesaian yang jelas
untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Walaupun di Indonesia telah
mempunyai undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menjadi
perlindungan hukum pada masalah perkawinan. Akan tetpi dalam pelaksanaannya
tetap banyak kekurangnya. Seperti yang sedang dibahas yaitu perkawinan beda
agama yang belum diatur dengan cara tegas di dalam undang-undang tersebut.
Akan tetap pada kenyataan yang ada pada kehidupan masyarakat, yang mana di
Indonesia yang banyak akan agama yang artinya dalam Negara Indonesia ini tidak
hanya mengakui satu agama saja sebagai agama yang ada di Negara Indonesia ini,
akan tetapi terdapat 6 (enam) agama yang sudah diakui yakni: agama islam,
agama Kristen Khatolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Kemudian
akan dibahas lebih mendalam mengenai bermacam pandanagan dari 6 (enam)
agama yang ada di indonesia dan pada undang-undang perkawinan No.1 Tahun
1974 dihubungkan dengan masalah perkawinan beda agama.
Adapun menurut 6 (enam) agama yaitu :
a. Agama islam
dalam hal larangan perkawinan beda agama Antara wanita muslim dengan
pria non-muslim, dikarenakan menimbulkan kekhawatiran yang mana
dikhawatirkan wanita muslim akan meninggalkan agama islam dan memilih
untuk mengikuti agama pria pilihannya yang akan dikawininya. Sebab pria
akan menjadi kepala rumah tangga, oleh sebab itu akan berpotensi pria non-
muslim akan mengajak istrinya untuk mengikuti agamanya atau keyakinannya
yang sedang diikuti.
b. Agama Kristen Khatolik
Dalam hal yang termasuk kedalam larangan perkawinan menurut agama
khatolik adalah yang mana salah satu dari calon mempelai tersebut tidak
beragama khatolik. Sehingga, bagi agama khatolik dalam perbedaan agama
bisa menyebabkan perkawinan menjadi tidak sah dan gereja khatolik juga
berpendapat bahwa perkawinan Antara seorang yang memiliki agama khatolik
dengan yang bukan memeluk agama khatolik juga itu bukanlah bentuk
perkawinan yang termasuk kedalam kriteria ideal, sebab perkawinan dianggap
sebagai sakramen.
c. Agama Kristen Prostestan
Dalam agama Kristen telah diajarkan bahwa umatnya supaya saling
menyayangi dengan cinta kasih dan mengajarkan supaya menjaga kekudusan
tuhan, dengan cara tidak kawin dengan berbeda agama melainkan kawin
dengan yang memiliki agama sama.
d. Agama hindu
Dalam perkawinan beda agama, maka salah satu dari kedua belah pihak yang
beragama non-hindu tersebut sebelum melaksanakan upacara ritual
perkawinan maka pria atau wanita yang memiliki agama non-hindu harus
bersedia di-hindukan terlebih dahulu dengan melaksanakan upacara sudhi
waddani yang memiliki arti bahwa upacara ini diperuntukkan bagi mereka
yang akan menganut kepervayaan hindu sebagai pengesahan status agama
seseoranmg yang sebelumnya tidak menganut agama hindu, kemudian
menganut agama hindu dan yang menajdi upacara sydhu waddani itu harus
siap lahir dan batin tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dalam
menganut agama hindu.
e. Agama budha
Menurut umat budha dalam perkawinan beda agama tidak menjadi masalah,
dengan syarat pihak non-budha mau mengikuti adat perkawinan budha tanpa
menganut agama busha. Karena mneurut keputusan sang agung itu
perkawinan agama diamana salah seorang mempelai yang tidak memeluk
agama budha dierbolehhkan menikah asalakan pengesahan perkawinannya
dilaukan menurut tata cara budha.
f. Agama konghucu
Dalam agama konghucu berpendapat bahwa perkainan Antara seorang laki-
laki dan perempuan merupakan firman tian, perbedaan faham, golongan,
bangsa, budaya, etnis, sosial politik maupun agama tidak menjadi
pengahalang untuk dilaksankannya perkawinan.
Adapun menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu
a. Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 Pasal 66, dijelaskan bahwa semua
peraturan yang mengatur mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No.1
Tahun 1974 yang dinyatakan bahwa tidak berlaku lagi. Dalam UU No.1
Thaun 1974 tentang perkawinan, sistemnya tidak mengatur secara tegas
dan tidak ada hukum yang mengatur tentang adanya perkawinan beda
agama. Sebab yang diatur di dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan tersebut hanyalah mengatur tentang perkawinan campuran
mengenai pasangan yang berbeda kewarganegaraan.
b. Pada perkawinan beda agama hanya berdasar pada Undang-Undang
perkawinan Pasal 2 ayat 1 dan 2. Jika dilihat kembali pada pasal 2 ayat 1
undang-undang perkawinan, maka sahnya suatu perkawinan yaitu menurut
hukum agamanya atau keyakinannya masing-masing. Dan pada pasal 2
ayat 2 menjelaskan bahwa setap perkawinan dicaatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Sehingga bisa dipahami bawah dalam melangsungkan perkawinan,
diharuskan untuk seagama supaya dalam pelaksanaannya tidak terapat
hambatan apapun dan juga penyelewengan agama, sebab dalam
pelaksanaannya menurut undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 ini
menjelaskan bahwa perkawinan beda agama tidak boleh dilakasnakan, dan
tidak sah menurut hukum kecuali salah satu pihak mengikuti agama
pasangannya. Dan apabila kedua pasangan telah mempunyai agama yang
sama maka perkawinan baru bisa dilaksnakaan dan data dianggap sah jika
dicatat dalam pencatatan perkawinan yang sesuai dengan ketentuan yang
telah diatur di dalam pasal 2 ayat 2 undang-undang perkawinan.
2. Akibat Hukum dari Perkawinan Beda Agama
a. Akibat hukum terhadap status dan kedudukan anak
Anak sah dalam pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan
demikian pula dengan ketentuan pada pasal 99 KHI yang mengatakan bahwa
anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah. Maka dari ketentuan-ketentuan tersebut bisa dinyatakan bahwa untuk
menentukan sah atau tidaknya anak itu tergantung pada sah atau tidaknya
suatu perkawinan yang dilakasnakan tersebut.
b. Akibat hukum terhadap status perkawinan
Dalam UU No.1 Tahun 1974 pada Pasal 2 ayat 1, menjelaskan bahwa
perkawinan cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama
masing-masing untuk menentukan boleh atau tidaknya perkawinan yang
berbeda agama. Sebab semua agama yang ada di Indonesia ini melarang
perkawinan berbeda agama, bagi umat islam setelah dikeluarkannya inpres
No.1 Tahun 1991 tentang KHI, pada Pasal 44 yang menyatakan bahwa
perkawinan campuran berbeda agama, baik itu laki-laki muslim dengan
perempuan non-muslim, sudah dilarang secara penuh.
c. Akibat hukum dalam status administrasi kependudukan
Menurut UU No.1 Tahun 1974 menjelaskan mengenai urusan perkawinan
lebih diserahkan kepada hukum masing-masing agama yang mengaturnya.
Menurut hukum agama, dalam perkawinan berbeda agama yaitu tidak sah,
maka anak yang dilahirkan juga merupakan anak yang tidak sah. Akan tetapi
meskipun begtu setiap anak yang lahir tetap harus dicatatkan pada catatan
sipil untuk dapat memperoleh akta kelahiran. Hal tersebut diatur di dalam
Pasal 27 Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan.
C. Penutup
Sehingga dapat disimpulkan bahwa akibat hukum yang teradapat dalam perkawinan
beda agama yaitu status perkawinan beda agama itu tidak sah apabila dilihat dari
peraturan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Maka adanya perkawinan yang
tidak sah ini dapat membawa akibat juga terhadap status dan kedudukan anak. Sebab
anak yang dilahirkan di dalam perkawinan beda agama ini merupakan anak tidak sah
karena perkawinan kedua orangtuanya tersebut bukan merupakan perkawinan yang
sah. Dengan demikian, akibatnya yaitu anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum
dengan yahanya, akan tetapi dengan ibu dan keluarga ibunya saja anak memiliki
hubungan hukum. Dan hal itu sesuai dengan Pasal 43 ayat 1 UU perkawinan dan
Pasal 100 KHI. Akan tetapi, meskipun begitu tetap saja setiap anak yang lahir tetap
harus dicatatatkan pada catatan sipil agar dapat memperoleh akta kelahiran.

Anda mungkin juga menyukai