Anda di halaman 1dari 128

Penghisap Darah - Abdullah Harahap

Penghisap Darah - Abdullah Harahap


Penghisap Darah
Abdullah Harahap

Abdullah Harahap
PENGHISAP DARAH
Jakarta 1991.
Penerbit Sarana Karya
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari
Penerbit.
Cerita ini fiktif.
Penamaan nama tokoh, tempat maupun ide hanyalah kebetulan belaka.

*******
Djvu : Syauqy_Arr
(http://hana-oki.blogspot.com)
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://cerita-silat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*****

Satu

Akhir Desember, sesaat lewat tengah malam. Belum sejam hujan berhenti. Tetapi rembulan sudah
muncul dari balik sisa-sisa awan pekat kelabu. Cahayanya yang pucat menerangi jalan aspal kelas
tiga di pinggir kota. Aspal terasa basah.
Lembab.
Luapan air dari parit berlumpur di tepi jalan menerbitkan bau tak sedap. Seekor tikus besar
berenang cepat menuju semak belukar tatkala terdengar suara langkah-langkah kaki mendekat.
Arpan berjalan tertegun-tegun. Hatinya sedang diliputi kegelisahan. Sesekali ia berhenti.
Bimbang.
Lantas melangkah kembali.
Pulang ke rumah?
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Lantas minta maaf pada Saripah?
Nanti dulu!
Ipah telah meludah. Tidak ke muka Arpan, melainkan ke lantai. Namun tetap saja hal itu tidak
dapat dimaafkan. Baiklah. Arpan akan terus keluyuran sepanjang malam. Pagi-pagi, gedor saja pintu
seorang teman. Pinjam seperangkat pakaian. Lalu enyah ke mana saja selama beberapa hari.
'Biar Saripah kalang kabut!
"Sialan!"
Arpan tiba-tiba memaki. Salah satu kakinya terperosok masuk lubang.
Sandalnya terlepas.
Dan kakinya tergenang air lumpur sampai kepertengahan betis.
Dinginnya. ampun!
Arpan membungkuk memungut sandalnya. Mengenakannya kembali sambil menggerutu. Betapa
sembrono ia tadi. Menampar Saripah saking tak kuat mengendalikan emosi. Kemudian minggat begitu
saja. Lupa, ia cuma bercelana pendek. Alas kaki pun cuma sepasang sandal jepit yang terasa
semakin licin di telapak kakinya. Mana baju kaos yang ia kenakan mulai pula basah tertimpa
butir-butir air yang jatuh dari pepohonan sepanjang jalan.
Lolong anjing menggema di kejauhan.
Sayup.
Dan lirih menyayat tulang.
Arpan menggigil.
Bukan karena ratapan anjing yang menyedihkan itu. Tetapi karena udara tengah malam terasa
semakin dingin.
Semakin beku.
Apakah ia tidak lebih baik pulang saja?
Tidur di bawah selimut hangat, dan Siapa tahu Saripah lebih dulu minta maaf. Arpan bimbang
lagi.
Ah. Jangan!
Ipah akan mentertawakannya, lalu semakin menekan Arpan.
Sudah berapa lama Arpan selalu merasa tertekan bila berada di samping istrinya?
Arpan tersentak waktu terdengar suara perempuan menjerit keras. Disusul raung tangis
berkepanjangan. Ia mencari arah suara itu. Tampak lampu-lampu sebuah rumah di sebelah kanan
dinyalakan.
Oh, mereka kiranya.
Pasti Bu Endah telah dipukuli suaminya lagi.
Soal apalagi.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Kalau bukan suami pulang larut malam membawa bau parfum perempuan lain, dan menemukan
istri yang tertekan jiwanya sedang mabuk berat.
Semua orang sudah tahu.
Tak heran, kalau rumah rumah lain tetap tampak tenang.
Tak acuh.
Para tetangga sudah terbiasa. Percuma saja dinasehati karena suami istri itu sama-sama keras
kepala.
Arpan angkat bahu.
Kadang kadang ia suka juga mengalah. Sayang tidak demikian halnya dengan Saripah.
Perempuan itu sangat teguh pada pendiriannya, tidak mau menerima uluran tangan orang lain.
"Aku bisa mengurus diri sendiri."
Ipah selalu mendengus.
Tentu saja dengan tambahan yang menyakitkan hati:
"Tanpa bantuan Arpan, toh aku dapat hidup!"
Arpan menyumpah serapah dalam hati.
Kemarahannya baru agak reda ketika ia tertegun di depan sebuah rumah setengah jadi. Tak ada
penerangan sedikit pun di rumah itu. Saluran listrik telah diputuskan PLN untuk sementara. Arpan
sendiri yang meminta, ketika ia mulai membongkar bangunan lama karena ingin lebih leluasa
membentuk arsitektur rumah itu dan para pekerja bangunan terhindar dari kecelakaan yang tidak
dikehendaki.
Tanpa ragu-ragu Arpan memasuki halaman rumah setengah jadi itu. Tembok bata semua telah
terpasang. Begitu pula semua kusen dan atap. Tinggal pasang pintu-pintu, jendela-jendela kaca dan
lantai teraso. Dan justru semua bahan itu belum tersedia. Herman kehabisan uang. ibunya.... mertua
Arpan... masih menunggu hasil panen sawah sekitar bulan April. Sumarna akan menikah pula pada
bulan yang sama sehingga ibu mereka sangat hati-hati mengeluarkan persediaan uang yang masih
ada.
Dan Saripah?
Dengan kepala batunya Saripah berkata:
"Hutang Bang Herman sudah bertumpuk. Biarkan saja rumahnya terbengkalai!"
Sinar rembulan semakin terang. Tetapi di dalam rumah tetap gelap gulita. Arpanpun tidak
berminat masuk ke dalam. Ia lebih suka mengitari halaman depan, lalu pekarangan samping.
Kemudian di salah satu sudut ia berhenti. Sisa-sisa bahan bangunan yang belum terpakai dibiarkan
terlantar di sudut halaman, campur baur dengan bekas bongkaran bangunan lama yang belum sempat
disingkirkan. Tertumpuk di situ kayu-kayu rapuh barangkal dan seng bekas dak di antara pecahan
genting yang berserakan.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Dari tempatnya berdiri.
Arpan merasa tidak leluasa memandang, ia lalu berpindah ke bagian lain. Dibantu cahaya
rembulan ia amati pekarangan semrawut itu dengan cermat. ia telah lama menyusun rencana. Taman
hias, kolam kecil mungkin dengan sebuah patung di tengahnya akan merubah sudut halaman yang
kini porak poranda itu. Herman mempercayakan segala sesuatunya pada kejelian mata Arpan. Juga
abang iparnya itu telah setuju sumur tua di pojok kanan ditutup saja. Toh air ledeng sudah memasuki
daerah mereka sehingga sumur tua itu tidak lagi diperlukan.
Arpan merasa kakinya kebas.
Ia lalu berjongkok. Persis di tepi sumur. Tak ada lagi lubang yang menganga dalam. Tak ada
kilatan air bening yang tak pernah kering itu, biar musim kemarau panjang telah membuat rumah
rumah lain di dekatnya kekurangan air. Sumur tua itu telah ditutup.
Dengan sampah, tanah galian, barangkal. Pendeknya, apa saja yang dapat masuk ke dalam dan
membuat timbunan semakin tinggi. Permukaan sumur kini tampak hampir rata dengan permukaan
tanah di sekitarnya.
Iseng, Arpan melangkah ke permukaan bekas sumur tua itu.
Kaki berlapis sandal jepit dijejakkan kuat kuat, tetapi dengan hati-hati. Tanah bercampur pasir
dan baru di bawah kakinya, pelan-pelan bergerak. Cepat Arpan menghindar. Karena licin. kembali
sandal jepit yang ia pakai terlepas.
Arpan meringis ketika pecahan kaca melukai telapak kakinya.
Tidak begitu sakit. Darah pun tidak seberapa keluar.
Lupakan saja!
Ia akan memanggil seorang kuli untuk memadatkan sumur ini suatu hari kelak. Di sinilah patung
yang ia rencanakan di tempatkan. Kemudian air mancur -Tanpa menyadari darah terus menetes dari
luka di telapak kaki, Arpan bergerak ke bagian lain. Pikirannya terpusat penuh pada rencana
mengenai bentuk taman hias itu. Akibatnya, kembali ia harus meringis. Kali ini disertai pekik halus
karena kaget.
Betisnya yang telanjang, tergores pula oleh ujung seng yang tajam. Darah menetes lebih banyak.
"jadah!"
Ia mengutuk
Bayangan mengenai taman mungil yang indah perlahan mengabur. Ia bergerak ke beranda rumah,
duduk tersengal-sengal di kusen jendela. Tangan yang satu sibuk merogoh saku, tangan lain menutupi
luka pada betis.
Sial! ia tidak bawa saputangan. Lebih celaka lagi, darah terus saja merembes dari sela-sela jari
tangan yang menutupi luka. Ketika ia perhatikan. tampaklah samar samar kakinya berubah merah
.Begitu juga telapak kaki. Luka bekas tusukan kaca masih meneteskan darah.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Tanpa berpikir panjang lagi, Arpan menanggalkan baju kaos yang ia pakai. Bersusah payah ia
mencoba merobek kaos yang masih baru itu. Ketika usahanya berhasil, ia telah semakin lemah.
Terlalu banyak mengerahkan tenaga. sementara darah semakin banyak pula merembes keluar.
Sial benar, ia tidak menyuruh seseorang menyimpan kotak P3K di rumah ini. Sekarang ia sendiri
yang harus merasakan akibatnya.
Dengan sobekan baju kaosnya. Arpan membalut luka baik di betis maupun di telapak kaki.
Kemudian ia tersandar di kusen jendela. Letih dan mulai merasakan sakit pada luka-lukanya.
Pulang sekarang?
Atau pergi ke rumah terdekat?
Akal sehatnya melarang.
Pulang, berarti Saripah menang. Membangunkan tetangga, sungguh memalukan. Belum jalan
becek berkuman.
Maka ia putuskan saja bermalam di bangunan setengah jadi itu.
Arpan merangkak turun dari kusen jendela, masuk ke dalam. Udara dingin membuat sekujur
tubuhnya terasa kaku.
Entah mengapa, matanya mulai pula diserang kantuk yang hebat. Begitu punggungnya mencapai
lantai tanah, langsung saja ia rebah. Tak perduli alam sekitar. Tak perduli gerimis mulai jatuh lagi.
Juga tak mengambil perduli pada genangan darah dari lukanya ketika ia berjalan meninggalkan sumur
tua itu.
Rembulan dengan marah terpaksa menerima rangkulan awan pekat yang kian bergumpal. Malam
semakin gelap gulita. Samar-samar kembali terdengar raungan tangis yang sayup dari rumah Bu
Endah. Lolong anjing tidak mau kalah. Anjing itu terus meratapi langit hitam, lirih, mengerikan.
Gerimis digantikan hujan lebat yang jatuh disertai tiupan angin keras dengan suara berdesah bersuit
dan bersiul nyaring mendirikan bulu roma.
Tetesan darah di tanah berumput menyerap bersama air hujan.
Genangan air bercampur darah itu dengan sendirinya mencari muara yang rendah. Dan itu adalah
bekas sumur tua yang telah ditimbun segala macam sampah dan barangkal buangan, tanah dan
pasir. Genangan air kemerah-merahan itu menciptakan semacan lubang kecil ke mana air menyerap
masuk.
Waktu terus berjalan.
Arpan telah tertidur.
Dan lubang yang diciptakan genangan air tampak semakin membesar.
Menganga.
Suatu saat, kilat menyambar dari langit kelam. Halaman rumah itu terang benderang selama satu
helaan napas. Namun waktu yang pendek itu telah cukup untuk memperlihatkan, bagaimana timbunan
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
tanah pasir berbatu di bekas sumur tua, bergerak.
Timbunan itu seakan hidup.
Sekali, menggeliat di sekitar lubang tempat air masuk. Lain saat, timbunan pasir naik turun
seolah didorong kekuatan gaib. Dan ketika petir menyambar lagi,timbunan bergerak semakin tinggi
lantas jatuh berserakan di sekitar pinggiran bekas sumur. Dari lubang yang menganga semakin
lebar,sesuatu menggapai keluar.
Tangan seseorang?
Ah. Bukan.
Sesuatu yang berwarna coklat kehitaman dan licin berlendir. Hampir pula tak berbentuk.
Mula-mula besarnya seinduk jari kaki terjulur panjang keluar lubang. Ujung sesuatu yang hidup dan
ganjil itu kemudian menghunjam di rerumputan.
Diam sebentar.
Angin malam bersorak, seram. Dan hujan membadai, liar.
Dengan ujung tetap melekat di rerumputan, bagian lain dari tubuh sesuatu itu pelan-pelan
melengkung ke atas, menggeliat sebentar, lalu merayap di sekitar lubang. Benda hidup,coklat
kehitaman, basah berlendir itu melepaskan rerumputan, kemudian merayap semakin jauh dari lubang.
Gerakannya menurutkan datangnya air. Air bercampur genangan darah. Bagian ujung makhluk itu
sekali terbuka. memperlihatkan semacam mulut lebar yang gelap untuk menyerap air berbau darah,
lalu menggeliat lagi, melengkungkan tubuh bagian tengah, menarik sisa tubuh lainnya yang masih
tertinggal di sebelah dalam lubang
Pacat!
Sungguh mati, pacatlah yang keluar dari lubang itu. Namun luar biasa besar. Hampir sebesar
lengan perempuan dewasa. Bila berhenti, panjangnya cuma selengan pula. Tetapi bila mulai
melengkungkan tubuh. lalu merayap, panjangnya berubah hampir sepanjang manusia dewasa.
Satu dua kali kepalanya terangkat
Mencium.
Mengendus.
Lalu tubuh binatang menyeramkan itu bergerak maju.
Tujuannya sudah pasti.
Yakni ke bau tetes darah terakhir masih melekat. Makhluk itu menggeliat pelan ketika menaiki
beranda yang sedikit becek. Desir tubuhnya lalu begitu halus.
Arpan bermimpi buruk.
Namun terus saja mendengkur.
Gelisah.
Ia sama sekali tidak melihat, sesuatu menjulur lewat kusen jendela. Tak tampak sinar mata
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
sepercikpun jua. Hanya garis tipis sebuah mulut yang menyeringai.
Buas.
Angin malam menjerit.
Lengking.

*******

Dua

Pelayan membuka pintu.


Herman menguap. Lalu masuk.
"Ipah ada, Bi?"
Ia bertanya seraya terus saja menerobos ke ruang dalam. "Masih tidur, Den Herman."
"Pukul sembilan begini?"
Dahi Herman berkerut.
Ia menatap ke sebuah pintu tertutup.
"Dan Arpan?"
Diam.
Tak ada jawaban.
Herman berpaling mengawasi wajah si pelayan. Perempuan setengah umur itu tampak pucat,
mengkerut. Herman menarik napas panjang.
Geleng kepala.
Kemudian bersungut malas:
"Buatkan aku segelas kopi. Bi Ijah."
Pelayan seperti terbang menuju dapur. Ia telah lolos dari lubang jarum. Majikan perempuan akan
mencaci maki dia habis-habisan, sekali Bi Ijah lepas omong pada orang lain menceritakan betapa
riuh rendahnya rumah ini tadi malam. Sambil lewat, Bi Ijah melongok ke pintu kamarnya yang
terbuka. Tampak sesosok bayi mungil meringkal tenang di bawah selimut.
Bi Ijah tersenyum.
Sedih.
"Dan anak itu ikut jadi korban," keluhnya.
Di ruang dalam, Herman tidak senang menunggu.
Begitu Bi Ijah menghilang, langsung saja ia mengetuk pintu tertutup tadi.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Ipah?"
Herman memanggil.
Sepi.
Diketuknya lebih keras, berulang-ulang. "Sudah siang, Saripah!"
Ranjang berderit di dalam.
Terdengar langkah-langkah kaki mendekat, lalu pintu kamar terbuka.
Wajah Saripah kusam.
Matanya agak merah, kurang tidur.
"Kau kiranya,"
Ia memberengut. Dan bermaksud menutup pintu kembali, kalau tak keburu Herman menghalangi
dengan kaki.
"Aku mau bicara sebentar, Ipah."
"Nanti saja. Aku masih ngantuk."
"Kau kira aku tidak?"
Tanpa dapat ditahan. Herman menguap sekali lagi. Ia menyisir rambut dengan jari, memijit
bagian belakang kepala yang terasa berdenyut.
"Sepanjang malam aku tak bisa bekerja. Aku kuatir telah terjadi sesuatu. Karena itu aku
datang...."
Saripah hilang sebentar di kamarnya. Rupanya ia terus ke jamban.
Membasuh muka .
Ketika keluar lagi, ia tampak lebih segar dan cantik. Hanya matanya saja yang kelihatan masih
murung. Duduk berhadapan dengan saudaranya, ia bergumam tanpa semangat:
"Aku siap mendengarkan, Bang Herman."
"Begitukah sambutanmu, Ipah?"
Saripah angkat bahu.
Kemarahan Herman bangkit. Untung Bi Ijah muncul dari dapur. Tahu tamu mereka orang tak
sabaran, pelayan membawa pula segelas air bening untuk majikannya .Dengan biiaksana ia kemudian
menyelinap ke dapur. Meninggalkan dua orang bersaudara itu saling tatap. Herman yang mengalah.
"Aku tak melihat Arpan,"
Ia memulai, dengan suara direndahkan.
"Ia pergi. Tengah malam tadi."
"Hem. Bertengkar lagi, ya?"
Saripah diam saja.
"Pasti aku yang jadi benih keributan,"
Herman mencicipi kopinya tanpa selera.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Benar, bukan?"
"Kalau abang sudah tahu, mengapa bertanya lagi?" sahut Saripah.
Ketus.
"Karena aku ingin kalian berdamai."
"Bah!"
"Aku terlibat, Ipah. Aku tak mau dijadikan biang keladi. Karena itu tadi malam kuputuskan untuk
menghentikan saja pembangunan rumah itu. Biar begitu saja dulu, untuk setahun dua tahun. Atau
seabad, aku tak perduli. Yang penting aku ingin memberitahu suamimu, supaya melupakan saja niat
baiknya menyelesaikan pembangunan rumah itu dengan mempergunakan uangnya sendiri."
"Uangku!" potong Saripah, pendek.
"He-eh. Uangmu!"
Herman setuju, tetapi dengan nada suara jengkel. Ia bangkit dengan marah. Berjalan mundar
mandir, sambil menggerutu:
"Kau ini seperti bukan adik kandungku saja, Ipah. Baiklah. Uangmu. Pada waktunya, uangmu yang
telah terpakai, akan kuganti. Hitung saja bunganya sekalian."
"Abang menyindirku,"
Saripah mendelik.
Herman tertawa. Sumbang.
"itu pekerjaanmu, bukan? Membungakan uang, seperti dulu dilakukan ayah!"
"jangan membangkit kejelekan orang mati,"
"Oke!"
Herman menyeringai, lalu menadahkan tangan seraya berdo'a dengan suara munafik:
"Semoga Tuhan mengampuni dosa almarhum ayah kita. Dan semoga..."
Suaranya lebih lembut dan khusuk.
"Semoga kami yang masih hidup tidak bercerai berai dikarenakan uang."
"Bang Herman"
"Uang!"
Herman tidak perduli.
"Aku kehabisan uang. lalu Arpan terus saja mendesak. Ia begitu bernafsu untuk menyelesaikan
rumah itu. Tiap hari ia menemuiku. Mengajukan usul agar aku tidak menolak niatnya meminjam uang
ke bank. Padahal di rumahnya sendiri, sudah ada bank yang...."
"Hentikan, Bang Herman!"
"Diamlah, saudaraku. Sepanjang malam tadi, aku tak bisa menekuni pekerjaan. Entah mengapa,
pikiranku hanya tertuju kepada suamimu. Arpan ingin aku lekas berumah tangga. Dan
mempersembahkan rumah mungil cantik sebagai hadiah perkawinan. Dan aku, si perjaka tua yang tak
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
beruntung ini, hampir kewalahan menghadapi niat baik adik iparku. Lantas tadi malam aku berpikir,
sekali Arpan meminjam ke bank, dengan usahanya yang morat marit seperti sekarang. Dan terpaksa
uang saudaraku yang pemurah, keluar lagi dari laci."
"Kredit dari bank akan keluar besok" tukas Saripah. setengah hati. ,
"Arpan memberitahu hal itu tadi malam. Kami-kami lantas ribut dan aku beritahu dia. Biarpun
aku mencintainya, kali ini aku tak akan memberi ampun. Kelak bila bank mulai menagih dan ia
kepepet, aku tak akan sudi untuk.... Lalu ia mengucapkan sesuatu yang membuatku sangat marah dan
tanpa sadar, ia kuludahi."
"La kau:."
Herman terkejut
"Astaga apa yang telah kau perbuat, Saripah?"
"Aku tak kuat membendung emosi, Bang,"
Suara Saripah tergetar, menahan tangis
"Ucapannya itu."
"Apa yang diucapkan?"
"Ia bilang...."
Saripah tak mampu menjelaskan.
Herman mengurut dadanya yang terasa sakit. Berkata:
"Persetan dengan uangmu. Uang haram. Itukah yang ia bilang, ipah?"
Saripah manggut manggut.
Air matanya merembes keluar.
"Arpan tidak pernah berkata sekasar itu. Bang Herman. Ia... ia sebenarnya suami yang baik.
Suami yang mau mengerti bahwa _ bahwa aku harus ikut berusaha untuk menjamin kelanjutan hidup
kami, ia hanya mengomel kalau kalau aku menentukan bunga terlalu besar pada seseorang, atau
kalau terlalu Cepat melaporkan barang jaminan yang ada di tanganku. Ia juga tahu apa yang selama
ini kami makan, lebih banyak dari hasil jerih payahku sendiri. Ia tak pernah...."
Saripah terisak-isak.
Herman tercenung di jendela.
Menatap keluar. Matahari pagi bersinar terik. Sekelompok laki-laki dan perempuan berjalan
menuju ke satu arah. Herman menelan ludah. Lantas bergumam lirih: "Kau tahu ke mana orang orang
itu semua menuju, Ipah?"
Saripah yang hatinya terguncang, menyahut ak bersemangat:
"Siapa. Bang?"
"Mereka di luar sana. Semua pergi ke rumah Bu Endah."
"Oh."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Cuma oh? Tidakkah kau tahu apa yang terjadi tadi malam?"
Perhatian Saripah mulai terbangkit. Ia seka air mata di pipi.
"Apa yang terjadi? Kukira. paling-paling ia... ia dipukuli suaminya lagi. Eh. Apakah ia... mati?"
"Bukan Bu Endah. Tapi anak mereka"
"Yang mana?"
"Bayi yang lahir. Baru berumur tiga bulan. kalau tak salah,"
Herman kembali ke tempat duduknya. Mereguk kopi sampai habis. Dari belakang, terdengar
rengek bayi. Lalu suara Bi Ijah membujuk penuh kasih sayang. Dahi Herman berkerut lagi.
"Kau biarkan Noni tidur dengan pembantu, ipah?" ia bertanya.
"Terpaksa. Bang."
Saripah tampak malu.
"Noni menjerit saja sepanjang malam tadi. Aku sampai kewalahan. Baru setelah dipangku Bi Ijah,
Noni diam...."
"Kalian bertengkar di dekat Noni?"
"Tidak, Bang. Kenapa?"
"Kapan ia mulai menangis?"
"Antara pukul satu dan dua, begitu. Aku tak ingat betul. Pokoknya, tak lama setelah ayahnya
pergi."
"Tuhanku!" bisik Herman.
Gemetar.
"Ada apa. Bang?"
"Pada jam itu pulalah aku tadi malam memukul seorang pegawai percetakan. Aku teringat kau
dan Arpan. Lalu mulai gelisah, dan tiba-tiba ingin marah. Pegawai itu kupukul tanpa sebab."
"Abang toh tidak...."
Wajah Saripah berubah pucat.
Herman memperhatikan arloji di tangannya.
"Hampir tengah hari. Dan suamimu belum pulang. Pernah ia minggat selama itu. Ipah?"
"Tidak, Bang,"
Saripah mulai kuatir.
"Biasanya ia akan pulang untuk sembahyang subuh. Lantas tanpa sarapan ia pergi lagi. Tentu
saja tanpa pamit."
Saripah tersipu malu.
Sebuah pikiran muncul di benaknya. Wajah bertambah pucat dan tangan diletakkan di dada
menahan deburan jantung yang berdetak sangat keras.
"Bang?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Heh?"
"Abang jangan berpura-pura."
"Hai. Apa pula maksudmu?"
"Yang mati itu bukan... bukan anak Bu Endah. Abang mengatakan itu hanya karena..."
Herman memburu ke depan begitu ia lihat tubuh adiknya limbung mau pingsan.
"Tenangkan hatimu, Ipah. Suamimu tidak apa-apa. Paling juga ia nginap di rumah seorang teman.
Dan."
Ia membantu Saripah duduk lebih tenang.
"Memang yang meninggal bayi Bu Endah. Kebetulan aku lewat di sana sebelum ke rumah ini. Aku
sempat melayat sebentar. Kudengar, telah dua minggu anak itu sakit. Kau tahu apa yang kusaksikan.
Ipah? Mayat bayi itu demikian kering. Kurus kering. Tak berdarah. Ada yang bilang, darahnya telah
dihisap roh jahat dan.... Eh, Ipah. Ada apa dengan kau? Saripah! Saripah!"
Ternyata Saripah benar-benar pingsan.
Herman menggotongnya ke kamar. Dibaringkan di tempat tidur. Ia sudah tahu di mana letak
obat. Dalam sekejap ia telah menggosokkan minyak angin di beberapa bagian tubuh Saripah, lalu
mengendus-enduskan di lubang hidung adiknya itu. Bi Ijah datang bergegas dari dapur.
'Tak apa. Ia akan segera baik,"
Herman memberitahu.
"Ada yang perlu saya bantu. Den?"
'Tidak usah Urus saja si Noni."
Bi Ijah bimbang tetapi kemudian mundur juga. Dan memang Saripah tak lama setelahnya siuman.

Herman mendesah senang. Dan ia sudah siap menyatakan penyesalan karena telah menceritakan
sesuatu yang menakutkan mengenai bayi Bu Endah sehingga Saripah pingsan. Tetapi begitu Saripah
membuka mata, maka pertanyaan yang pertama keluar dari mulutnya adalah:
"Arpan?"
"ini aku, Ipah,"
Herman menepuk-nepuk pipi adiknya dengan sayang.
"ini aku, Abangmu."
"Arpan," ulang Saripah.
"Cari dia sampai ketemu, Bang Herman!"
"Oke. Oke. Ia akan kutemukan. Arpan baik baik saja. Kau tidurlah, Ipah."
"Aku takut, Bang."
"Alaaa..."
"Pergilah. Bang. cari dia untukku"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Yang pertama-tama dilakukan Herman, menemui Bi ijah. Perempuan itu berkata tidak tahu jelas
isi pertengkaran kedua majikannya tadi malam, ia dengar Arpan membanting pintu. Tetapi tidak tahu
apakah majikan laki-lakinya mengatakan akan pergi ke suatu tempat. Dan Bi Ijah tidak pernah tahu
ke mana pula biasanya majikannya ngelayap untuk menghindari kobaran api neraka di rumah mereka.

Herman menjangkau telepon, ia tahu beberapa alamat dan ingat satu dua alamat itu selalu
didatangi adik iparnya. Jawaban mereka semua sama. Arpan tidak mengetuk pintu rumah mereka.
Herman menelpon pula ke kantor biro bangunan. Siapa tahu Arpan memutuskan tidur di kantor malam
tadi. Tetapi pegawai yang menerima telepon berkata, majikan mereka belum datang di kantor.
Penjaga kantor juga mengatakan hal yang sama.
Jantung Herman berdetak keras.
Ia menemui Saripah lagi. Bertanya segala sesuatu dengan gaya tenang, kalem dan tidak terlalu
serius sambil menghibur adiknya dengan janji-janji kosong. Kemudian ia tahu, Arpan meninggalkan
rumah tanpa dibekali uang. Ia hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Dalam keadaan serupa itu
mustahil Arpan mempermalukan dirinya menemui orang lain.
"ia mungkin ke rumah ibu,"
Herman menyimpulkan.
"Tadi aku belum sempat pulang, jadi tidak tahu apakah ia ada di sana. Baiklah aku pergi
sekarang. Ipah-"
Saripah memegangi tangan abangnya.
Berkata, panik: "Bilanglah, Bang Herman. Arpan masih hidup!"
Bukan Herman yang menjawab.
Melainkan ketokan keras di pintu depan. Kemudian bunyi bel yang berdering-dering.
Saripah sesak nafas.
Herman menghiburnya dengan kata paling manis:
"itu Arpan tentunya,"
Lalu ia bergegas membuka pintu depan,ia mengenali wajah dua orang tetangga
Salah seorang, ketua er-te. Ketua er-te itulah yang dengan wajah murung dan suara gagap
memberitahu:
"Kami menemukan ma _ eh, menemukan Pak Arpan."
Dada Herman bergemuruh keras.
Ia menarik kedua tamu itu menjauhi rumah adiknya, lantas bertanya gelisah:
"Di mana?"
"Rumahmu. Yang sedang dibangun."
"Ia...."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Kedua orang tetangganya saling pandang. Enggan mengatakan.
Akhirnya Herman berjalan meninggalkan mereka. ketua er-te dan temannya kemudian menguntit
diam-diam di belakang, sambil berbisik-bisik prihatin.
Semakin dekat ke rumah yang dituju, semakin Herman was-was dan takut, ia mengenali
beberapa orang tetangga yang tadi ia lihat di tempat Bu Endah, kini berjalan setengah berlari ke
arah sama. Membelok di samping jalan, rumah setengah jadi itu mulai tampak di kejauhan.
Dan banyak sekali orang berkerumun.
Seperempat jam sebelum Herman diberitahu,seorang penjual sayur lewat di depan rumah itu.
Ia tertarik mendengar salak anjing yang ribut. Ketika ia menoleh, Ia lihat seekor anjing
melompat-lompat di bagian dalam rumah sambil terus menyalak dan melolong. Sedang anjing lain
mengendus-endus dari luar lewat kusen jendela.
Penjual sayur meletakkan pikulannya.
Ia masuk ke halaman sambil mengusir kedua ekor anjing itu yang segera kabur terbirit-birit
dengan ekor terlipat di paha. Mendadak si penjual sayur tertegun. Matanya menangkap sebuah kaki
telanjang, kotor dan pucat. Dengan jantung berdebar, ia terus saja mendekat meski hati kecilnya
menyuruh lari.
Lalu ia terpekik ngeri.
Di lantai tanah, terbujur kaku mayat seorang laki-laki. Wajah dan kulit mayat itu mengeriput.
Tak ada darah.
Tetapi dadanya berlubang.

*****

Tiga

Jenazah bayi Bu Endah dimakamkan pukul dua siang. Tidak begitu banyak orang hadir. Mungkin
mengingat reputasi buruk suami istri yang tertimpa musibah itu. Mungkin pula karena sebagian orang
lebih suka ikut sibuk mengerjakan apa saja untuk meringankan beban keluarga Saripah yang tengah
berkabung. Selagi para pengantar jenasah tekun mengikuti pembacaan do'a oleh seorang ustad. Dua
orang laki-laki terus saja bekerja, tidak jauh dari kuburan si bayi.
Kedua orang itu sedang menggali liang lahat baru.
Paling lambat pukul empat sore, kuburan baru itu harus siap pakai. Tetapi sampai pukul empat
lebih seperempat, jenasah Arpan belum juga diberangkatkan dari rumahnya. Di antara Suara raung
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
dan tangis, Herman sibuk bertengkar dengan seorang pejabat polisi setempat.
"Tidak!"
Ia berkata ngotot. Mukanya merah padam.
"Mayat itu tidak boleh kalian jamah."
Lawan bicaranya menerangkan dengan sabar:
"Tetapi kami harus melakukan autopsi. Kuat dugaan, adik ipar Bung Herman mati dibunuh."
"Dibunuh? Oleh siapa?"
Herman menantang.
"Terus terang, kami belum tahu,"
Pejabat polisi itu berkata, sedikit bingung.
"Memerlukan tempo untuk mengusutnya. Bung Herman sudah lihat sendiri. Hampir tak ada jejak
atau petunjuk di tempat mayat ditemukan."
"Oke. Kalian carilah pembunuh biadab itu,"
"Jadi, kami boleh mengambil mayat Arpan?"
"Tidak!"
Seorang tua datang mendekat.
"Aku lurah di daerah ini."
Ia mengenalkan diri pada si pejabat.
"Boleh saya menengahi?"
"Silahkan."
"Hiburlah adikmu, Nak Herman,"
Lurah mengusir Herman secara halus, ia menunggu sampai Herman pergi, kemudian menarik
lengan si polisi menjauhi keramaian orang di dalam rumah.
"Tengah malam tadi, Arpan masih hidup." katanya.
"Jam berapa tepatnya ia meninggal?"
Pejabat polisi membuka buku notes. Lalu:
"Menurut dokter kami, Arpan meninggal sekitar pukul satu dua puluh dinihari. Apa yang ingin
bapak ceritakan?"
"Tak banyak,"
Lurah mengelus jenggot putihnya, dengan wajah masygul.
'jadi tidak sampai dua belas jam ketika mayatnya ditemukan. Waktu yang teramat singkat untuk
membuat mayat berbau sedemikian busuk,"
Lurah ingin meludah, tetapi ia menahan diri.
"Mati karena keracunan dapat saja menimbulkan bau busuk sebelum waktu yang normal," bantah
polisi itu.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Apakah kalian menemukan darah? Walau setetes?"
"Itulah yang mengherankan!"
Yang ditanya merasa jabatannya tiba-tiba dipertaruhkan.
"Tak setetes pun yang tersisa Di sekitar mayat. Bahkan dalam tubuhnya."
"Masih ada lagi,"
Lurah menarik nafas.
"Racun apa yang membuat mayat Arpan begitu rusak mengerikan? Kulitnya kering. Berkeriput. Biji
matanya pun sangat menjorok ke dalam. Seolah sesuatu yang masuk ke tubuhnya, lewat dadanya,
ingin sekalian menyedot biji matanya itu."
"Pak lurah berlebihan,"
Mau tak mau, sang polisi bergidik.
"Aku mengatakan apa adanya. Kalian tidak akan pernah tahu, makhluk apa yang telah
membunuhnya. "
Wajah pejabat polisi itu cerah sedikit
"Jadi bapak sependapat dengan kami, Arpan telah dibunuh. Saya harap, bapak berkenan pula
membujuk keluarga almarhum supaya kami dapat mengurus mayat itu. Melalui pemeriksaan
laboratorium, sebab kematiannya pasti ditemukan."
"Menyesal sekali, saya tak dapat"
"Oh!"
Sang pejabat, kembali patah hati.
"Bapak pulang saja ke kantor. Buatlah laporan apa saja. Tetapi setelah itu, lupakanlah mayat
Arpan."
"Ini perintah?"
Sang pejabat tersinggung.
"Maafkan saya,"
Lurah membungkukkan kepala. Hormat dan menyesal.
"Saya harus pergi."
"Tidak keberatan saya ikut?"
"Saya bukan mau ke dalam rumah, Pak Letnan. Saya akan pergi Ke tempat jauh. sangat jauh." !
"Ingin menemui seseorang?"
"Persis."
"Siapa, kalau boleh saya tahu?"
Pejabat polisi itu membuka notesnya kembali, siap mencatat.
Lurah memandangi notes. Tak acuh. Katanya:
"Saya akan menemui bekas guru saya. Ia seorang ahli kebathinan,"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Lantas lurah berlalu setelah mengangguk sopan. Meninggalkan si Letnan Polisi termangu-mangu
sendirian.

*****

Seusai-upacara pemakaman Arpan, Herman pulang ke rumah ibunya sebentar untuk berganti
pakaian. Kemudian ia kembali ke rumah Saripah. Hampir semua keluarga maupun kerabat memenuhi
seisi rumah. Ratap tangis tidak lagi sehebat tadi siang,tetapi gaungnya masih tetap saja mengharu
biru. Saripah pingsan berkali-kali. Ia ditemani ibunya dan ibu Arpan di kamar. Di dapur kaum
perempuan sibuk mempersiapkan jamuan untuk tamu yang mau tahlilan.
Habis kencing di jamban, Herman berpapasan dengan seorang gadis semampai. Rambutnya yang
lebat panjang disanggul di atas kepalanya yang manis bentuknya .Wajahnya tidak begitu cantik.
Tetapi sinar matanya yang senantiasa tampak sejuk, benar-benar merupakan tempat berteduh paling
menyenangkan. Belum lagi betisnya yang panjang, memberi daya tarik tersendiri.
"Hai, Bang,"
Gadis itu yang mula-mula menyapa.
"Oh Kau. Laila,"
Jantung Herman berdetak.
"Kapan tiba?"
"Baru saja. Dijemput Sumarna."
"Uh! Mestinya Sumarna tak perlu membuatmu ikut repot,"
Herman menyesali adiknya.
"Aku toh calon istrinya, Bang Herman,"
Laila tersenyum manis.
Ucapan itu sebenarnya tidak punya maksud tersembunyi. Namun Herman diam-diam merasa
terpukul. Agak risih ia balas senyuman Laila
"Maaf ya. Aku harus menemani tamu-tamu di depan,"
Lalu Herman berlalu dengan jantung terasa meleleh.
Tetapi Herman tak mampu bertindak sebagai tuan rumah yang baik, ia tak bisa menyembunyikan
wajah murung, dan sifat pendiam yang datang tiba-tiba saja. Sampai ia berseru kaget kalau ditegur
seseorang. Raung tangis yang datang dari kamar Saripah,membuat hatinya semakin melilit. Ucapan
belasungkawa yang setiap saat ia terima dan tamu, tidak mengurangi tekanan jiwanya
Ia lalu menemui Sumarna.
"Aku pergi sebentar," katanya.
"Abang mau ke mana?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Bukan urusanmu."
Tujuannya tidak begitu jauh. Tetapi udara malam yang mengandung kabut sungguh tak enak
ditempuh berjalan kaki. Maka ia meninggalkan rumah Saripah dengan mempergunakan mobil adik
iparnya. Sepuluh menit sesudahnya, ia telah memasuki pekarangan sebuah rumah besar model lama.
Hampir sama besar dan modelnya dengan rumah ibunya.
Tahu ada tamu, tuan rumah lekas membuka pintu.
"Oh. Nak Herman kiranya," sambut seorang perempuan setengah umur.
Ramah, sambil membuka daun pintu lebar-lebar.
"Hebat, kau berhasil memukul mundur polisi yang streng itu."
"ibu kok tahu?"
"Aku dengar kalian berdebat Waktu aku mau pulang dari rumah adikmu,"
Perempuan setengah umur itu tersenyum.
"Kuharap kau baik-baik saja, Nak Herman. Ingin bertemu Rosida. ya?"
Herman manggut ,tersipu.
"Sehari ini ia tidak keluar-keluar dari kamarnya."
Si perempuan bergumam lirih. "Tak masuk dulu, Nak Herman?"
"Terimakasih, Bu. Dan eh. apakah ia... sakit?"
"Entahlah, Nak. Ida tak mau ditemui."
"Mudah-mudahan ia tidak mengusirku suka." rungut Herman kemudian meninggalkan si
perempuan yang segera menutup pintu.
Herman berjalan ke samping rumah menuju pavilyun.
Beranda gelap.
Begitu pula bagian dalam pavilyun.
Herman mengetuk.
Lama, baru terdengar sahutan:
"Siapa?"
"Aku."
"Aku Siapa?"
"Alaaa .Cepatlah buka Aku kedinginan, ida."
Herman sedikit kaget ketika lampu beranda menyala. Disusul lampu ruang depan pavilyun.
Seorang gadis membuka pintu tanpa ragu setelah mengenali suara orang yang datang.
Tanpa dipersilahkan Herman melangkah masuk. Si gadis menepi memberi jalan. Setelah pintu
ditutup kembali, Herman berbisik kasar: "Kau satu-satunya orang yang kuharap, tetapi tak hadir di
rumah adikku."
Rosida berbadan sehat dengan lekak lekuk tubuh yang tak puas sekali memandang. Tetapi pada
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
saat ia berdiri tepat di bawah lampu yang bersinar terang, kelihatanlah betapa wajahnya pucat. Bibir
atasnya tertonjol ke depan. Parit di bawah hidungnya tak tampak sedikitpun juga
"Gusimu kambuh lagi?"
Herman melembutkan suaranya.
"Ya"
Herman mengusap pipi Rosida. Usapan itu beralih ke leher, lalu pundak si gadis. Herman berkata
terkejut:
"Panas sekali!"
"Nanti juga sembuh,"
Si gadis mencoba tersenyum. Sungguh janggal dengan bibir atas menonjol tanpa parit itu.
"Sudah ke dokter?"
Herman memeluk Rosida dan membimbingnya ke kamar tidur. Karena ia sudah tahu jawaban
Rosida. Gadis itu paling enggan menemui dokter. Ia jarang sakit. Dan kalau sakit, pastilah pada
tempat yang sama Gusi bengkak, katanya Lalu sedikit demam, tetapi dengan beristirahat satu dua
hari penyakitnya akan hilang sendiri.
"Bagaimana keadaan di sana?" tanya Rosida sambil duduk berjuntai di tepi ranjang,
"Seperti neraka."
"Adik iparmu sudah dikuburkan?"
"Sudah."
"Tentu ibumu bertanya-tanya dan kecewa, karena aku tak datang."
"Tak seorang pun mengingatmu, Ida. Dalam keadaan kacau begitu, hanya aku saja yang selalu
terkenang. Aku tak tahan mendengar jerit tangis di rumah, lantas aku pergi ke mari," ia mengawasi
Rosida yang masih saja duduk, lantas bergumam:
"Kau berbaringlah." '
"Aku lebih sehat sekarang, Man. Setelah melihatmu,"
Rosida tersenyum.
Tetap janggal.
"Aku tak sesakit yang kau perkirakan. Hanya ya dengan tampang sejelek ini, tak berani aku
keluar rumah. Kuharap kau tak pula kecewa melihatku."
"Bukan sekali dua aku melihat mulut ikanmu,"
Herman tertawa. Maju selangkah, kemudian membungkuk mencium bibir Rosida. Bibir atas Rosida
terasa keras di bibir Herman. Tetapi lidahnya yang menggapai lembut, hangat dan basah.
"Aku merindukanmu, Sayangku,"
Ia berbisik di telinga gadis itu.
Rosida merangkulnya erat-erat.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Getaran tubuhnya bukanlah getaran birahi. Heran, Herman bertanya lembut:
"Kau yakin, kau akan sembuh tanpa menemui dokter?"
Rosida mengangguk
"Dekap aku lebih kuat. Man,"
Suaranya bergetar, ganjil.
"Oh. Dekap dan ciumlah aku sekali lagi."
Herman mengawasi wajah Rosida
"Kau tampaknya... ketakutan, Ida?"
"Herman"
"Apa yang kau takutkan?"
"Aku tak apa-apa. Aku...."
"jangan berdusta. ida. Sudah lama aku mengenalmu dan mengetahui apa yang tersirat di balik
mata maupun Suaramu."
Rosida melepaskan diri dari rangkulan Herman. Berbaring di ranjang dengan kelopak mata
terpejam. Dadanya naik turun, gelisah. "Aku ingin pulang, Herman," ia berkata.
Datar.
"Pulang?"
"Ya. Ke orang tuaku. Sudah bertahun tahun aku tidak melihat mereka. Aku memang selalu
mengirim uang. Atau surat. Tetapi itu tidak cukup. Tiba-tiba aku ingin sekali berkumpul lagi dengan
mereka. Dengan adik-adikku yang masih kecil. Dengan tetangga Kerabat. Teman-teman masa kecil.
Kampungku memang sangat jauh di pedalaman Sumatera, Herman. Tetapi kampung terpencil itu kini
memanggilku pulang."
"Kau tidak serius, ida,"
Herman berkata, kecut.
"Aku sungguh-sungguh."
"Tetapi kita akan menikah."
"Bila?"
"Setelah rumah kita selesai. Jangan lupa. uangmu ikut tertanam di rumah itu, Ida. Tak lama lagi
kita akan."
'Tak lama?"
Rosida memandang Herman, sedih. Ia geleng-geleng kepala, lantas mengeluh:
"Simpananku sudah habis, Sayang. Begitu pula kau. Sedang kita masih memerlukan biaya yang
tidak sedikit untuk menyelesaikan rumah itu. Tidak, Herman. Biarkan aku pulang. Biarkan aku jauh
dari tempat yang menakutkan ini. Aku....."
Herman terkesiap.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Ia naik ke ranjang. Duduk di sebelah Rosida lalu dengan lembut memegang tangan gadis itu.
"Bukan karena panggilan kampung halaman, kalau begitu."
"Apa apa maksudmu?"
Rosida membuka matanya.
"Kau takut. Takut dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Terutama, takut terhadap rumah yang
sedang kita bangun. Katakan saja terus terang, Ida."
"Herman, sayangku."
Rosida menarik tubuh Herman, merangkulnya rapat ke tubuhnya sendiri. Getaran di dadanya,
keras dan tidak teratur.
"Kau tak mengerti."
"Aku mengerti," desah Herman. getir.
"Kau percaya pada tahayul itu. Pada dongeng memuakkan tentang rumah kita!"
"Lantas, Herman. Apa pula pendapatmu? Ayahmu meninggal karena rumah itu...."
"Ia meninggal terkena arus listrik, Ida!" bentak Herman marah.
Ia kemudian duduk serentak. Marah.
"Arus listrik, benar. Tetapi kabelnya berasal dari rumah itu."
"Hanya kebetulan. Semua orang berkata demikian. Ida. Hanya kebetulan saja ayah ada di sana. Ia
mau menagih uang dari pengontrak itu. Kesalahan ayah, cuma tak pandang waktu. Tahu hujan deras
dan petir menyambar, ia pergi juga ke sana. Tetapi cobalah maklumi ayahku, Ida. "
"Pengontrak rumah itu telah menunggak satu tahun. Kalau dibiarkan terus.... Hehhh. Mestinya
ayah memilih waktu yang lain saja. Tetapi itulah takdir, Ida. Takdir menghendaki petir menyambar
saluran kabel ke rumah itu. Salah satu kabel putus, jatuh menimpa ayah. Sederhana, bukan? Tidak ada
unsur jahat dalam peristiwa itu. Apalagi, roh gentayangan."
"Bagaimana dengan para penyewa yang menempati rumah itu, Herman?"
Rosida tidak mau kalah.
"Selama sepuluh tahun, tiga keluarga telah menempatinya secara bergiliran. Dan tiap kali mereka
pindah. tiap kali salah satu anggota keluarga mereka tidak ikut pindah."
"Tak ada hubungan!"
Herman berkata jengkel.
"Kau kan sudah tahu dari cerita orang-orang. Korban pertama mati ditabrak mobil di tengah
kota. Korban kedua, mati setelah berkelahi dengan teman sekolahnya. Dan anak kecil malang, korban
terakhir mati karena tetanus."
"Ia bukan korban terakhir, Herman-.."
Seketika, Herman terdiam. Dua tahun terakhir rumah yang diwariskan untuknya tidak lagi disewa
orang. Rumah pembawa sial, begitu bunyinya promosi buruk itu. Dua tahun rumah itu kosong, tak
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
ditempati .Sesekali Herman tidur pula di sana. Tak ada gangguan apa-apa. Ia tetap hidup dan sehat.
Lalu Arpan membongkar rumah itu.
Dan Arpan mati.
"Kematiannya sangat menyeramkan bukan, Herman?" bisik Rosida, menggigil.
"Tak ada yang tahu apa penyebab kematiannya, itulah yang kudengar dari induk semangku.
Ataukah kau telah mengetahuinya, dan tidak mengatakan pada orang lain?"
Herman tidak tahu harus menjawab apa.
Ketegangan yang merayapi dirinya semenjak Arpan meninggal, kembali muncul. Ia mencengkeram
sprei tempat tidur, lalu sebagai pelarian ia berkata kesal:
"Baiklah Kita pikirkan rumah itu lain kali. Kita dapat menetap di sebuah rumah lain. Jadi kau
tidak perlu pulang kampung sekarang!"
"Mendekatlah, sayang,"
Rosida menggapai, lembut.
"Aku tahu, seperti aku, kau pun diam-diam menyimpan rasa takut. Ayolah. Peluk aku, kekasih dan
mari kita lupakan obrolan terkutuk itu!"
Herman merangkul Rosida. Gadis itu membuka mulut, dengan mata setengah terbuka. Bukan
waktu yang tepat. Bukan pula perbuatan yang pantas. Tetapi mereka berdua sama-sama tegang.
Sama sama memerlukan penyaluran untuk mengurangi ketegangan itu. Dan salurannya cuma satu.
Setengah jam berlalu.
Kemudian, baik Herman maupun Rosida sama-sama terkulai di bawah selimut. Letih tetapi
menyenangkan.
"ida?"
Herman menyeka keringat yang membasahi wajah si gadis.
"Mmm?"
Rosida membuka matanya .
Setengah mengantuk.
"Apa kata orang, kalau mereka tahu apa yang kita lakukan malam ini?"
"Aku tak perduli."
"Kau mencintaiku?"
"Melebihi segalanya,"
Rosida tersenyum.
Ia menyambar apa saja. Yang terpegang, blousenya sendiri. Blouse yang terkapar dekat kakinya
itu dipergunakan sebagai lap untuk menyeka pula peluh yang membanjiri punggung kekasihnya.
"Ingin mengatakan sesuatu?"
"Ya."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Ayolah. Tak usah malu-malu,"
Rosida mencium bibir Herman.
"Kau batal pulang."
Herman bergumam, penuh harap.
Usapan tangan Rosida di punggung kekasihnya, tertegun sebentar. Ketika ia meneruskannya,
suara Rosida terdengar bimbang:
"Aku tidak tahu."
"Aku tak bisa jauh darimu, Ida."
"Lebih-lebih aku, Herman sayang'
Mereka berciuman lagi. Dan menikmati hubungan intim seperti tadi, kali ini lebih lama.
Menjelang subuh Herman pamit, tanpa janji apa-apa dari Rosida. Ketika berjalan menuju mobil yang
terparkir di halaman, dengan cemas Herman melirik ke rumah induk. Sepi dan gelap. Belum ada
penghuni rumah induk yang bangun. Dan semoga, tidak pula ada yang nguping.
Herman menghidupkan mesin mobil.
Gerungnya lembut.
Namun toh sempat membuat Herman kembali melirik ke rumah induk.
Masih saja sepi.
Ia meluncur ke jalan, diam-diam. Sebelum tancap gas, sempat ia melihat wajah Rosida di balik
kaca jendela depan pavilyun.
Herman melambai.
Dari tempatnya berdiri, Rosida balas melambai.
Sambil bergumam, sakit:
"Bagaimana aku harus mengatakannya kepadamu, Herman?"
Ia menyeka bibirnya.
Yang atas.
Tonjolannya tidak sebesar tadi malam. Tak lama lagi, parit di bawah hidungnya akan timbul
kembali,ia akan kembali sehat Kembali lebih cantik. Lebih segar dari semula.
Tetapi hatinya,terasa bertambah sakit.

******

Empat

Salbiah menatap tamunya tak senang. Ia berkata dingin: "Bu Endah boleh saja membiarkan
kuburan anaknya digali. Tetapi kuburan menantuku, jangan coba"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Tamu itu berperawakan kecil Kurus. Pembawaannya tenang, dengan sinar mata jernih dan mulut
senantiasa memperlihatkan senyum bersahabat. Orang semacam dia biasanya tidak suka mencari
musuh namun tak akan menghindar kalau bertemu.
"Aku tidak bermaksud buruk," katanya, sabar.
"Mungkin tidak. Tetapi dapatkah bapak memahami bagaimana perasaan kami? Anak perempuanku
sedang berdukacita. Begitu ia dengar kuburan suaminya dibongkar penderitaannya akan
bertambah-tambah. Apapun yang bapak perbuat, toh suaminya tidak akan hidup kembali...."
"Paling sedikit, kita tahu penyebab kematian suaminya."
"Oh ya? Lantas cerita burung yang memalukan akan sampai di telinga semua orang. Ada
segelintir orang yang tidak menyukai Saripah. Mengungkapkan rahasia kematian suaminya. akan
membuat namanya semakin tercemar. Lalu apa pula nanti kata besanku, calon mertua Sumarna?
Belum lagi tunangan Herman. Aku sudah tua. Pak! Tak lama lagi aku pun akan mati seperti... seperti
suamiku."
Salbiah menelan ludah, pahit.
"Tetapi nama baik keturunanku, harus tetap terjaga."
Lurah yang diam saja dari tadi, membuka mulut mau mengutarakan Sesuatu. Namun keburu
dicegah orangtua yang ia antar berkunjung menemui Salbiah.
"Apa bolah buat. Saya sekedar ingin membantu."
Orang tua itu bergumam tenang. Tak ada tanda-tanda kecewa atau sakit hati baik di wajah
maupun dalam nada suaranya .Sambil bangkit dari duduknya, ia berpesan pada tuan rumah
"Kurangilah keluar malam. Sedapat mungkin, jauhi pula tempat-tempat yang basah berlumpur."
Mereka lalu pamit.
Setelah lama saling berdiam diri, di tengah perjalanan lurah bertanya: "Apa maksud eyang tadi?"
"Yang mana?"
"Mengurangi keluar malam. Menjauhi tempat...?"
"Oh. itu,"
Si tua kurus mengusap dagu.
"Aku mencium bau busuk di sekitarku."
"Mengapa harus malam?"
"Roh jahat, nak, hanya berani keluar malam."
"Lalu tempat basah berlumpur?"
"Bukankah kau sendiri yang bilang? Tak ada setetes darah pun di tubuh Arpan. Kau bilang kau
telah menyaksikan sendiri di sekujur kulit wajah maupun tubuh Arpan yang mengeriput kering,
terdapat lendir melekat. Lendir berlumpur."
"Itu tidak membuktikan apa-apa, Eyang."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Di matamu, tidak. Di bathinku, lain lagi?"
Orangtua itu tersenyum .
Lurah diam saja. Ia percaya apa yang dituturkan bekas gurunya itu. Lama waktu berselang ketika
ia masih tinggal di padepokan sang guru, ia pernah menjerat seekor celeng hutan yang kesasar.
Sewaktu ia akan menyembelih celeng tersebut, gurunya melarang.
"Manusia itu jahat. Tetapi jangan membunuhnya," ujar sang guru. Mereka kemudian menunggu
matahari terbit sementara celeng yang terjerat memperdengarkan suara mengik-mengik pilu. Begitu
matahari pagi membersit di ufuk Timur, gurunya menutup seluruh tubuh celeng dengan kain sarung.
Berdo'a sebentar, lantas berujar: "Bukalah kain sarung itu."
Ketika ia buka, bukan celeng yang dilihat lurah.
Melainkan sesosok tubuh laki-laki, yang meringkel gemetar dan wajah pucat pasi ketakutan.
"Pulanglah,"
Gurunya berkata pada laki-laki itu.
"Kalau mau cepat kaya, rajinlah berusaha. Temui istrimu, dan minta ampunlah kepada Tuhan.
Jangan coba ulangi perbuatanmu yang jahat itu. Sekali kudengar kau melakukannya lagi, kau akan
kukejar biar ke ujung langit!"
'joko?"
Lurah tersadar dari lamunan masa lalu. Mereka telah sampai di terminal bus, dekat pasar.
"Ya, eyang?"
"Tentang bayi itu...."
"Bayi Bu Endah?"
"He, eh. Bayi malang itu. Aku tak mau berdusta padamu. Karena itu baiklah kujelaskan. Kau
benar. Bayi itu bukan mati karena penyakit kekurangan darah. Kematiannya datang perlahan lahan.
Bukan penyakit. Melainkan, perbuatan roh jahat. Aku belum tahu roh macam apa. Yang aku tahu, roh
itu memuaskan dahaganya dengan menghirup darah bayi...."
Pundak Lurah Joko meremang.
"Dapat kau musnahkan, Eyang?"
"Barangkali. Dengan syarat."
"Apa?"
"Beritahu aku secepatnya, apabila kau dengar ada bayi lain mengalami nasib sama .Agar tidak
merepotkanmu. kujelaskan beberapa penanda. Umur si anak berkisar antara satu dan tiga tahun. Bila
ia terserang roh jahat seperti yang kuduga, biasanya ia menangis menjerit-jerit sejak tengah malam
sampai pagi. Mungkin lebih pendek waktunya. Tetapi selalu terjadi tengah malam. Tubuhnya panas
seperti bara api. Kulit pucat kering. Jangan cari bekas luka (gigitan atau semacamnya. Lihat saja.
Apakah jari tangan atau jari kaki bayi itu lebih kecil dari biasa."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Lurah Joko menjilati bibir.
"Kemudian, aku harus berbuat apa eyang?"
"Seperti kukatakan tadi."
Orangtua itu menjawab ramah. "Cepat hubungi aku"
"Eyang... eyang mau pulang sekarang? Tidak menginap dulu? Isteriku telah..."
"Sampaikan salam dan terimakasihku pada isterimu, Joko. Aku harus pergi. Ada beberapa orang
sakit yang membutuhkan pertolonganku. Dan eh. kau punya tembakau?"
Lurah Joko merogoh saku kemeja safarinya. Ia keluarkan sebungkus tembakau. Dan sepucuk
amplop. Di dalam amplop telah ia selipkan dua lembar uang kertas lima ribuan. Tembakau diterima
dengan senang hati. Amplop ditolak dengan ucapan:
"Biasakan untuk tidak merendahkan martabat gurumu. Joko."
Lurah Joko malu sekali.
Satu-satunya bus di terminal yang menuju keluar kota, siap berangkat. Gurunya naik
tertatih-tatih.
Mereka saling mengucapkan salam.
Kalau ada bayi lain!
'Tuhanku!"
Lurah Joko bergidik.
"Jangan lagi. Jangan cucuku!"
Disertai do'a sangat egois itu Lurah Joko melompat naik sebuah Oplet yang kebetulan lewat. Tiba
di rumah salah seorang anaknya, Lurah Joko berlari-lari masuk seraya berseru seru:
"Legoh! Cucuku begoh, mana dia hah?"
Menantu perempuannya yang sedang menanak nasi di dapur kaget setengah mati.
Tergopoh-gopoh ia menyongsong mertua yang muncul seperti hantu kesiangan itu.
"Legoh Mana dia?" ulang pak lurah, kalang kabut.
Sang menantu pergi keluar rumah dan mengambil anaknya yang berusia tiga tahun dan sedang
asyik bermain petak umpet di halaman rumah tetangga. Lurah joko segera menyambar anak itu dan
berteriak panik:
"Badannya panas!"
'Tentu saja, Pak," sahut menantunya.
'Hari sangat panas dan sejak tadi ia bermain di luar."
"Legoh, cucuku sayang!"
Lurah Joko memeluk cucunya yang kebingungan.
"Mana tangan dan kakimu. Coba kulihat."
Sebentar kemudian:
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Uh. Bau pesing. Kau menginjak apa tadi, Legoh?"
"Tahi ayam. Aki!"
Lurah ]okoh bergegas menurunkan cucunya ke lantai.
"Hayo. Pergi sana. Cuci kaki!"
Ia berteriak. Habis berteriak.Ia dekatkan tangan yang tadi memegang kaki cucunya.
Digerak-gerakkan di depan hidung lantas menggerutu:
"Sial!"
"Habis?"
Menantunya tertawa hergelak.
"Sudah tahu bau. Masih dicium!"
Sepeninggal lurah Joko dan gurunya, Salbiah bersijingkat menuju kamar tidur anaknya. Hati-hati
pintu ia buka. Sudah dua hari Saripah tidak dapat tidur. Kini tampak ia lelap sekali berkat obat
penenang yang diberikan dokter. Tangan Saripah memeluk Noni bayinya yang bulan lalu menginjak
usia satu tahun. Bayi itu menggeliat. Tetapi begitu menemukan puting Susu ibunya yang sengaja
dibiarkan terbuka. Noni mengenyot lalu tidur kembali.
Syukurlah Ipah tak mendengar kedatangan kedua tamu mereka. Pikir Salbiah. Pintu ia tutup lalu
mengambil tasnya. Pergi ke dapur.
"Bi?"
Pelayan mematikan mesin cuci.
"Ada apa. Juragan?"
"Kalau Ipah bangun. katakan ibu pulang sebentar. Nanti malam ibu kembali lagi."
"Baik, Juragan."
"Tutup pintu ini rapat-rapat. Dengung mesin cuci itu dapat membuat Ipah terbangun,"
Salbiah mengingatkan, dan masuk lagi ke dalam. Bersijingkat pelan ketika melewati kamar
anaknya. Saking hati-hati. ia terpekik sendiri waktu telepon berdering-dering. Salbiah berlari ke meja
kerja Arpan dan mengangkat telepon cepat-cepat.
"Ya?"
Ia berbisik.
Namun tetap saja percuma. Ia lupa telepon itu punya saluran di kamar Saripah. Selagi Salbiah
mendengarkan pembicaraan orang di seberang sana, terdengar bunyi detak lembut. Disusul desah
Saripah, menyela:
"Biarkan kuterima. Bu."
Terjengah, Salbiah meletakkan gagang telepon yang ia pegang.
Kemudian ia duduk. Menunggu.
Tak lama, Saripah membuka pintu kamarnya. Kelopak matanya bengkak. Mata pun merah.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Tidurlah lagi,"
Salbiah menelan ludah.
"Ibu mau pulang?"
"He, he. Tidurlah lagi."
"Nanti saja. Ada yang perlu kukerjakan,"
Saripah membuka laci meja dan mengeluarkan setumpuk map.
"Kau tidak meminum obatmu,"
Salbiah menuduh.
"Kuminum, Bu. Mataku memang mengantuk. Tetapi pikiranku terus berjalan...."
Saripah menemukan map yang ia perlukan lalu sibuk menekuni selembar daftar penuh
angka-angka yang ditulis tangan. Tercantum nama seorang di sudut atas daftar. Tentu si penelepon
tadi.
"Dagang lagi?" tanya Salbiah, kecewa.
"Aku dan anakku harus tetap hidup, Bu."
"Tetapi suamimu...?"
"Ia sudah mati, bukan?" rungut Saripah. Datar. "Yang ia tinggalkan untuk anaknya, cuma sebuah
perusahaan yang terancam bangkrut. Selama ini pun. uangku lebih banyak ia pakai, ketimbang
gajinya tiap bulan...."
"Astaga, Nak!"
"Baiklah, Bu,"
Saripah terhenyak di samping ibunya. "Aku memang tahu, Arpan orang jujur. Ia mau semuanya
berjalan bersih, tanpa setitik noda. Akan tetapi, ini bisnis, Bu. Dalam dunia bisnis diperlukan
kelihaian. Sifat jujur dan percaya pada orang lain, tak lagi dipakai. Kelihaian, Bu. Kelihaian. Main di
sini. Main di sana. Harus pula pintar sulap. Merubah angka misalnya. Semua orang sudah tahu.
Mereka menerimanya. Asal rejeki dibagi-bagi...."
Saripah menghela nafas. Lanjutnya:
"Arpan setia membagi rejeki yang ia peroleh. Tetapi main sulap? Ia tak berbakat!"
"Kau membuatku bingung. Nak. Sekaligus. takut."
Saripah menyeringai. Sumbang.
"Mestinya ibu gembira," katanya.
"Orang yang menelpon tadi akan membayar semua tunggakannya dan memesan beberapa kodi
pakaian untuk dijual kredit. Biar aku sudah janda, keuntungan tetap mengalir bukan?"
Salbiah berusaha mencerna kata-kata anaknya. Ia juga janda. Setelah suaminya meninggal, ia
terpaksa mencari kesibukan untuk mengurangi duka cita. Mengurus anak-anak, teutama si Herman
petualang yang berandalan itu. Melihat-lihat sawah dan kebuh cengkeh peninggalan si suami.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Mendatangi penyewa rumah, kalau-kalau ada yang perlu diperbaiki. Saripah benar. Usaha dagangnya
harus tetap berjalan .
Dengan perasaan terharu, Salbiah berkata:
"Kau persis ayahmu. Tak mau melepaskan setiap kesempatan."
Salbiah resah gelisah. Apalagi setelah ia tiba di rumahnya. Herman baru saja selesai mandi.
Masih berhanduk, Herman berkata pada ibunya:
"Kupikir hakku atas rumah itu lebih baik kulepaskan, Bu."
"Aduh, Nak. Mengapa?"
"Bagus dijual saja. Sebagian uangnya pergunakan membayar utangku pada si Ipah. Sebagian kecil,
mengembalikan tabungan Rosida yang sudah terpakai. Sisanya cukup banyak untuk bekal Sumarna
kawin. April, bukan?"
"Kau menyimpan sesuatu," ucap Salbiah, kuatir.
Herman terduduk. lesu.
Katanya.
"Rumah itu berhantu!"

*****

Malam itu, penyakit tak bisa tidur hinggap di kepala Salbiah. Ia melarang Sumarna pergi untuk
kencan dengan laila.
"Besok saja kau temui dia. Besok malam Minggu, bukan?"
Lalu Sumarna ia ajak ngobrol tentang apa saja. Sampai mereka berdua mengantuk.
Di percetakan, Herman sama gelisah.
Tepatkah keputusannya menjual tanah dan rumah itu?
Arpan pasti kecewa. Adik iparnya itu sampai melupakan sebuah proyek lain karena mencurahkan
perhatian pada rumah Herman.
"Aku merencanakan sebuah model paling indah yang pernah kubuat,"
Arpan pernah berkata dengan bersemangat.
"Rumah mungil tapi antik. Kau dan Rosida akan jatuh cinta pada rumah itu begitu selesai
kurampungkan."
Karena kekurangan modal, rencana Arpan terbengkalai. Namun meski demikian, rumah setengah
jadi itu sudah tampak bentuk. Belum pernah Herman melihat rumah demikian. Biar belum jadi ia telah
menyukainya. Rosida malah telah jatuh hati.
"Ditawar berapa pun, haram aku melepaskannya."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Gadis itu sampai bersumpah.
Lalu Arpan mati.
Rosida ketakutan.
Bersikeras ingin pulang kampung, Tak acuh sama sekali pada rumah mereka. Rumah pembawa
sial itu ditujukan untuk bangunan lama. Dan untuk bangunan baru lebih mengerikan: rumah berhantu!

Malam yang sama di sebuah rumah lain. Seorang perempuan berdiri gelisah di balik jendela kaca.
Matanya sedari tadi tak berkedip menatap langit biru jernih. Ia tidak sedang menghitung jumlah
bintang gumintang. Karena di bola matanya, hanya ada pantulan rembulan empat belas. Mata itu
terpentang lebar.
"Mestikah aku melakukannya lagi?"
Ia berbisik. '
Tetapi dadanya begitu kosong. Kerongkongan pun terasa kering kerontang. Menggigit, perih.
"Aku haus!"
Ia merintih.
"Haus! Haus! Haus!"
Perempuan itu kemudian bergerak mundur menuju tempat tidur. Kamarnya gelap. Cahaya
rembulan yang mengintai lewat jendela, menjilati wajahnya. Wajah yang tegang.
Kaku.
"Rembulan. Jangan biarkan aku mati karena dahaga."
Sinar rembulan semakin terang. Perempuan itu gemetar hebat. Sambil kumat kamit tak karuan ia
menyusun bantal serta guling di tempat tidur. Ditutupi sehelai selimut. Sepintas lalu tampak seperti
orang tengah tidur pulas.
Ia lalu merangkak ke bawah tempat tidur.
Di situ sudah tergelar sehelai tikar. Dengan nafas sesak, si perempuan berbaring di kegelapan
kolong ranjang. Mata dipejamkan. Mulut terus kumat kamit.Kian berisik Kian kacau balau. Lalu
pelan-pelan kedua telapak tangan bergerak ke arah leher jenjang mulus.
"Pergilah!"
Ia berkata setengah memerintah. Telapak tangan mendorong leher. Makin lama, makin kuat.
"Pergilah. Ambilkan aku minuman sejuk segar itu!"
Samar-samar, garis hitam muncul di antara batang leher dan kepalanya .Sebuah garis pemisah
yang setiap detik bertambah lebar dan lebar. Tidak ada darah tersembur keluar.
Kepala perempuan itu tanggal begitu saja lalu melayang keluar. Lewat lubang ventilasi. Di
kejauhan lolongan anjing malam berkumandang lirih. Dan di langit, rembulan tersentak kaget.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
*****

Lima

"Anakku!"
Saripah tersentak bangun. Ia telah bermimpi buruk. Waktu itu sekitar pukul tiga dinihari. Minggu
pertama bulan Januari. Kasur di sebelahnya kosong. Dan dingin.
"Tuhan. Kau kemanakan anakku? Noni. Noni!"
Saripah setengah menjerit begitu ia sadari Noni tidak pula terjatuh ke lantai.
Ia menghambur ke pintu. Pintu itu setengah terbuka. Padahal sebelum tidur ia telah menutupnya
rapat-rapat. Noni tak ada di ruang tengah, begitu pula di ruang depan. Berlari-lari Saripah menuju ke
belakang. Pintu penghubung ke situ juga terbuka. Koridor gelap. Tetapi ada nyala lampu di dapur.
Sebentuk bayangan jatuh di koridor. Hitam, dan memanjang.
Bukankah bayangan seperti itu yang ia lihat dalam mimpinya?
Bayangan-bayangan hitam yang melesat masuk ke kamarnya kemudian membawa Noni hilang
dalam kegelapan.
Saripah menahan nafas.
Bayang-bayang hitam di koridor tampak bergerak-gerak. Apa yang dikerjakan makhluk itu di
dapur?
Mencabik-cabik tubuh Noni?
Memakani daging bayinya?
Saripah dilanda ketakutan yang amat sangat. Tetapi naluri keibuannya mendesak lebih kuat.
"Makhluk terkutuk!"
Ia berteriak, lalu menyerbu ke dapur.
Pada waktu bersamaan, bayangan itu bergerak pula keluar dapur. Mereka berdua saling
bertubrukan. Tangan-tangan Saripah terangkat sudah siap mencakar. Terdengar suara gelas jatuh ke
lantai. Pecah berderai. Saripah terbelalak.
Dan, Bi Ijah ternganga.
"Ada... ada apa,juragan?"
Pelayan itu bertanya gagap setelah kejut agak reda di jantungnya.
"Apa apa kerjamu di dapur?"
"Bikin kopi. Juragan. Kopi kental pahit. Supaya saya jangan mengantuk...."
"Kau mau berjaga-jaga?"
"Ya, Juragan."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Untuk apa.?"
"Neng Noni."
Barulah Saripah teringat kembali pada anaknya. Curiga ia mengawasi dapur, lewat pundak Bi ljah.
"Mana dia?"
"Tidur, Juragan. Di kamarku."
"oh!"
Saripah menarik nafas lega. Ditemani pelayan yang setia itu ia pergi melihat anaknya .Benarlah.
Noni tertidur nyenyak di ranjang si pelayan.
"Badannya panas!"
"Sudah agak turun, Juragan. Dua jam yang lalu panasnya wah. Bagai dipanggang!"
"Apa ?"
"Aku baru mau tidur sekitar pukul satu, ketika kudengar Neng Noni menjerit-jerit. Kutunggu
sejenak, kalau-kalau juragan bangun. Tetapi Neng Noni terus saja menjerit. Makin lama makin lemah.
Parau. Aku mendatangi kamar juragan. Mengetuk. Karena tak bersahut, kubuka saja. Wah, juragan
pulas bukan main."
"Aku menelan pel tidur melebihi takaran,"
Saripah mengaku.
"Apa yang kau lihat?" ia teringat bayangan hitam mengerikan dalam mimpinya
'Tak ada, Juragan. Cuma Neng Noni. Ia setengah menggelupur. Waktu kupegang, suhu badannya
sangat tinggi. Tetapi ia segera diam setelah kubujuk. Juragan menggeliat, dan mengigaukan sesuatu
yang tak kudengar jelas. Lantas pulas lagi. Jadi kubawa saja Neng Noni ke kamarku. Kukompres.
Belum lima menit ia tidur."
Saripah dihinggapi perasaan tak enak.
Ia mengambil anaknya dari ranjang pelayan.
"Berkemaslah. Kita bawa Noni ke rumah sakit."
****
Bi Ijah duduk di jok belakang mobil dengan menggendong Noni yang terbungkus rapat dalam
selimut. Saripah memegang setir, dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi ke pusat kota. Ada
puskesmas di daerah mereka, tetapi Saripah ingin anaknya mendapat perawatan kelas satu.
Tiba di kota yang masih sunyi sepi, Saripah tiba-tiba membelokkan kendaraan dari tujuan
semula. Karena tak menduga putaran mendadak itu. Bi Ijah terpelanting. Kepalanya membentur kaca
jendela mobil. Perih, tak terkira. Tetapi ia tidak mengeluh ia hanya meraba kepala yang terasa sakit
tanpa berkata apa-apa.
Wah. benjol!
Di depan sebuah percetakan besar, mobil berhenti.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Saripah keluar. Petugas itu kemudian masuk. Waktu keluar lagi, ia sudah ditemani oleh Herman.
Bersama Saripah. Herman masuk lagi ke mobil. Herman mengambil alih setir, sedang Saripah duduk
di jok belakang dan mengambil Noni dari pangkuan Bi Ijah
"Mungkin cuma demam."
Herman bergumam. Bimbang.
Mobil melaju ke rumah sakit.
"Suhu badannya tak pernah setinggi ini. Bang."
"Memang flu Hongkong lagi musim,"
Herman masih tetap berusaha menghibur adiknya yang pucat dan panik.
"Aku tak yakin."
"Punya dugaan, Ipah?"
"Bayi Bu Endah"
Nafas Saripah sesak.
"Ceritakan lagi padaku, Bang, Apa kata mereka mengenai bayi Bu Endah yang meninggal itu?"
"Mereka bilang, perbuatan roh jahat. Alaa, Ipah. Sudah.Jangan dengar omong kosong itu. Itu cuma
cerita burung. Semata-mata melampiaskan kekesalan hati mereka terhadap perilaku orang tua si
bayi. Ayah tukang lacur. Ibu pemabuk berat. Anak itu tak terurus jadinya. lalu sakit, dan mati itu
saja."
Saripah sedikit tenang setelah mendengar penuturan saudaranya .Tidak demikian halnya Herman.
Justru terbalik. Herman yang panik diam-diam. Bayi Bu Endah mati kehabisan darah. Kulit kering.
pucat. Jari kaki dan tangan kisut. Lalu Arpan. Arpan juga mati kehabisan darah.
Kulit mengeriput. Dada berlubang.
Benarkah roh jahat sedang gentayangan di sekeliling mereka?
Mujur, kepala bagian anak di rumah sakit sedang bertugas. Ia memeriksa Noni dengan teliti.
Menyenter bola mata, rongga mulut bahkan hidung dan telinga. Sambil memeriksa ia bertanya satu
dua yang penting-penting. Kata katanya yang menghibur tidak memuaskan Herman. Dokter lalu
memeriksa denyut jantung dan tekanan darah Noni.
"Normal," katanya.
"Sedikit lebih cepat memang. Tetapi itu karena ia demam."
Dokter mempergunakan beberapa peralatan untuk memeriksa ulang atas desakan Herman.
Hasilnya tetap sama .Dengan tambahan:
"Besok juga dia sudah sembuh,"
Lalu ia menulis resep untuk ditukar di apotek.
"Tidak disuntik, Dokter?"
"Lebih baik jangan. Obat antibiotika sangat peka, apalagi anak ini masih demam."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Syukurlah,"
Saripah benar-benar lega sekarang.
"Kalian terus saja pulang. Aku akan turun di percetakan. Masih ada peekrjaan yang harus
kuselesaikan dan tak bisa ditangani orang lain," kata Herman.
"Pulang dari percetakan, aku akan langsung ke rumahmu untuk melihat-lihat apakah demam Noni
sudah turun."
Nyatanya, Herman tidak memenuhi janji.
Pukul tujuh lewat lima ia keluar dari percetakan dan heran melihat Laila menunggu dalam sebuah
mobil. Laila turun. Matahari pagi menjilati wajannya yang merah Segar, menggapai bibirnya yang
ranum basah, merah dan sangat hidup.
"Kau mencariku, laila?"
"Sengaja mencari abang," sahut Laila menegaskan.
Matanya yang teduh bersinar-sinar mengawasi Herman yang tampak letih dan agak kotor.
Memelas dalam hati: pewaris harta jutaan rupiah, tetapi memilih jadi pengawas dan tukang
mereparasi mesin-mesin cetak Dengan jumlah gaji yang pasti membuat mahasiswa fakultas tehnik
berkerut dahinya.
'Kok tidak dengan Sumarna?"
"Nyambil, Bang. Tempat kuliahku tak jauh dari sini. bukan?" laila masuk ke mobil. Duduk di
depan, tetapi mengosongkan tempat untuk pengemudi. Herman memundurkan mobil ke luar dari
pelataran parkir.
"Ada yang perlu kubantu?"
"Pertama, tolong antarkan aku ke fakultas."
"Hem. Lainnya?"
"Februari nanti papa pindah tugas ke lain kota,"
Liala menyebut nama kota dimaksud.
"Untuk itu kau menyatroni aku, Laila?"
"Jelasnya,"
Laila tersenyum manis. Senyum yang tiap kali membuat jantung Herman berdetak kencang.
"Mobil ini suka ngadat. Papa tidak sampai hati meninggalkan mobil rongsokan untuk kami.
Seorang temannya menawarkan mobil bekas tetapi masih termasuk baru dan mulus. Uang papa tak
banyak. Jadi mobil ini harus dijual."
"Begitu,"
Herman dengan cepat menangkap maksud Laila.
"Terimakasih. komisi tidak kau lempar ke tangan orang lain. Berapa lama ayahmu memberi
tempo?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Kalau dapat, hari ini juga."
"Tambahkan satu hari. Mencari pembeli, gampang. Tetapi sebelumnya. aku dan beberapa teman
harus menservis dan mereparasi dulu mobil ini. Supaya dapat dijual dengan harga tinggi. Eh, sambil
lalu. Berapa patokan harga dari ayahmu?"
"Dua setengah. Kalau bisa. tiga juta"
"Yang benar!"
"Kelewat mahal?"
"Sebaliknya. Laila,"
Herman berpikir keras. Kemudian ia bergumam dengan nada tak suka:
"Aku tak ingin menerima balas jasa yang berlebihan, Laila. Sungguh mati. Apa yang dulu
kulakukan. hanya dorongan naluri. Tanpa pamrih!"
Laila terdiam. Sebentar cuma. Kemudian, ia mengeluh:
"Papa bilang, jumlah itu harga pasaran sekarang"
"Ayahmu tahu harga jual mobil ini, laila. Jadi beritahu dia nanti. Kepada orang lain. kami minta
komisi 15 sampai 20 persen. Dari ayahmu, cukup 10 persen saja. Itu satu. Yang kedua, setelah kami
perbaiki sedikit, mobil ini laku terjual paling tidak empat juta."
Laila mau prores.
Tetapi wajah Herman yang tegang membuatnya terbungkam. Mereka tak berkata apa-apa lagi
sampai mendekati kampus fakultas yang dituju. Herman yang lebih dulu sadar ketegangan itu tidak
semestinya terjadi, ia mencoba tersenyum, lantas bertanya lembut:
"jadi papamu pindah tugas ya?" '
"He, eh."
Suara laila masih gusar.
"Kau dan ibumu tetap tinggal?"
"Aku masih kuliah. Dan mama tak mau jauh dariku."
"Hebat. Paling kurang dua atau tiga tahun kalian akan berpisah."
"Papa akan pulang tiap Sabtu siang. Berangkat ke tempat tugas lagi Senin paginya"
'Bagaimana dengan April nanti?"
Suara Herman merendah, tanpa berani melihat wajah Laila.
Lain Laila. Ia menatap wajah Herman. Tajam.
Lantas mendesah:
"Semoga tidak ada halangan,"
Laila setengah berdo'a, setengah melamun.
Jantung Herman berdetak lagi. Halangan itu tak akan ada, pikirnya dengan gundah. Aku sudah
bertemu Rosida. Sudah berbuat sangat dalam yang mengharuskan kami segera menikah.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Wahai. masa lalu!
Ketika Laila turun dari mobil di pintu gerbang fakultas, gadis itu bimbang sesaat. Kemudian:
"Bang Herman?"
Ia melongok lewat jendela
"Hem?"
"Abang mencintai Kak Ida?"
Herman terperanjat mendengar pertanyaan yang di luar dugaan itu. Gagap. ia menyahut:
"Ya, eh, kukira. ya,"
Lalu mengumpat-umpat karena jawabannya terasa ngambang
"Mengapa kau tanya?"
'Hanya ingin tahu."
Laila tersenyum, misteri.
Kemudian berlalu.
Herman masih tetap memandangi gadis itu pergi. Makin jauh, bayangan Laila makin mengabur.
Tetapi pinggulnya yang bergoyang gemulai selagi melangkah, justru makin tampak jelas.
Pinggul penuh. Padat Dengan rok warna hijau, berbercak merah. Darah.

*****

Rasanya baru kemarin terjadi .


Tetapi peristiwa penuh kenangan manis itu telah berlalu tiga tahun. Laila baru kelas dua
es-em-a, ketika itu. Harinya Selasa. Tepat tengah hari. Bubaran sekolah. Laila bermaksud pergi ke
rumah seorang famili. Honda bebeknya mogok di tengah jalan. Karena belum hafal soal seluk beluk
mesin Laila mendorong sepeda motor itu sambil mencari-cari bengkel terdekat.
Dua buah sepeda motor lain, lalu di dekatnya .
Ada tiga orang pemuda di masing-masing jok sepeda motor itu. Menyandang tas sekolah seperti
Laila. Dengan seragam sekolah yang sama pula. Bedanya, Laila kelas pagi dan tiga pemuda itu masuk
siang. Bukannya turun untuk menolong. Tiga pemuda berandalan itu tetap saja duduk di kendaraan
mereka, dengan kecepatan diturunkan agar tetap sejajar dengan Honda bebek yang didorong Laila.
Wajah gadis itu bersimbah peluh.
Sekali, ia berhenti untuk menyeka. Baru saat itulah ia tahu kehadiran tiga pemuda tadi. Mereka
tak begitu kenal satu sama lain. Diam-diam Laila mengharapkan teguran ramah dan uluran tangan
budiman. lain yang diharap, lain yang tiba..
Seraya menyeringai lebar, salah seorang pemuda itu berkata pada Laila:
"Mari kuusap, Neng."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Teman yang satu. lebih kasar lagi:
"Wah, banjir. Boleh kusumbat",
Laila yang mandi peluh. tersinggung seketika.
"Jadah!" ia memaki.
"Beraninya cuma ngomong! Ayo turun kalau kalian laki-laki!"
"Hei. Galak juga! Dan makin cantik saja,"
Dua kendaraan lain, berhenti. "Apa yang kita tunggu? Ia sudah rela kita kerjai!"
Lantas ketiganya turun berbarengan. Barulah Laila menyadari kekeliruannya. Tadi ia terpancing
emosi, dan berharap pemuda itu meninggalkannya karena malu. Ternyata tantangannya dilayani.
Gelisah, ia memandang berkeliling. Malang baginya Jalanan kebetulan sedang sepi. Kalaupun ada
orang lain lalu, tidak ada yang turun tangan. Melihat seragam Laila dan para pemuda itu, orang lain
menduga mereka berempat tentunya teman yang sedang meributkan sesuatu yang tak perlu
dicampuri.
Pikiran demikian pulalah yang ada di kepala Herman.
Ia dan beberapa temannya sedang menghadapi seorang calon pembeli mobil bekas yang mau
dijual. Tempat mereka mangkal terletak berseberangan dengan tempat keempat orang remaja itu
bertengkar. Untung besar membuat teman-teman Herman terus sibuk dengan calon pembeli. Herman
baru saja datang dengan sebuah sepeda motor, juga untuk dijual. Sebelum ke pangkalan, ia sempat
melewati para remaja itu dan mendengar sedikit pertengkaran mereka.
Ia simpan motornya di tempat motor lainnya terparkir.
Lalu melirik ke seberang jalan.
Salah seorang dari tiga pemuda tadi ia lihat menggapai lengan si gadis cantik semampai. Si
gadis menghindar. Tetapi tasnya terpegang. Terjadi saling betot dan si gadis tampak pucat menahan
marah campur takut. Tiga pemuda berandalan itu tertawa berderai seraya mengucapkan
ajakan-ajakan kotor.
Herman segera tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Dengan cepat ia menyeberangi jalan. ia pegang pemuda terdekat. Mendorongnya mundur. Pemuda
lain yang rupanya telah berhasil menjamah payudara Laila dan tengah meremasnya, ia renggut
pundaknya .Laila bebas sudah. Ia menangis terisak isak.
Tiga pemuda, naik pitam.
"Siapa kau, he?"
Seorang membentak.
Temannya menjawabnya:
"ia calo, kukira. Calo motor. Tetapi tiba-tiba berpikir untuk beralih professi. Mau jadi calo
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
perempuan. Germo!"
Mendengar gerakan yang sukar dilihat. Herman memutar tubuh dan tinjunya melayang. Pemuda
yang mencapnya germo terjungkal jatuh. Kemudian lari terbirit-birit ke sepeda motornya. Tancap gas.
Ngacir. Dua yang lain lebih berani. Bersama-sama mereka mengeroyok Herman.
Di pangkalan teman-teman Herman melihat apa yang terjadi. Mereka pun datang beramai
ramai. Tetapi belum sempat ada yang turun tangan dua pemuda berandalan itu telah jatuh terkapar di
aspal. Yang satu bangkit terhuyung huyung dengan muka pucat dan mulut meringls kesakitan.
Temannya tidak. Tidak bangun sama sekali. Anak itu jatuh oleh tendangan Herman. setelah lebih dulu
membentur tiang listrik.
Apa yang kemudian dikerjakan teman-teman Herman hanyalah sibuk mengurus pemuda yang
pingsan terluka itu lalu melarikannya ke rumah sakit. Laila tidak kelihatan batang hidungnya. Waktu
dicari Herman, tampaklah gadis itu tengah bergegas mendorong sepeda motornya tak sampai seratus
meter dari tempat kejadian .
Waktu tadi ia menyerbu si pengganggu sepintas lalu Herman telah melihat ada yang janggal
pada rok si gadis. Menatap Laila yang memunggunginya di kejauhan. Herman mengamati lebih
seksama Kemudian ia susul Laila diam-diam. Begitu sampai. cepat ia pegang tangan si gadis.
Laila terkejut.
Tetapi segera memperlihatkan wajah malu:
"Maaf, saya lupa mengucapkan terimakasih"
"Berikan motormu padaku,"
Herman jadi gugup ketika melihat mata Laila.
"Apa? Kau minta bayaran sebesar itu?"
Si gadis kaget setengah mati
"Maksudku."
Herman mencoba menjelaskan:
"Biarlah motormu ini kuurus. Aku mangkal di sana..."
Herman kemudian menuding ke pangkalan mereka
"Aku tak akan membawa kabur milikmu. Dan kau, pulanglah segera. Naik becak, kalau mau. Asal
tidak jalan kaki."
"Kok aneh."
"Rokmu...?"
"Ada ada dengan?"
Gadis itu tak meneruskan ucapannya. Dari tadi ia berpikir apa maksud ketiga pemuda dengan
ucapan-ucapan kasar yang memuakkan itu. Pasti bukan semata-mata karena ia mandi peluh.
Wah, banjir. Boleh kusumbat?
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Baru setelah Herman menyinggung tentang roknya, ia tersadar.
"Oh!"
Ia hampir pingsan saking malu. Lantas mepet ke tembok bangunan toko di dekatnya. Merapatkan
punggung seakan ingin menyelinap masuk ke tembok. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya apalagi, ia tak
berani memandang Herman.
"Aku... aku tak tahu. Mens-ku terlalu cepat... datangnya...."
Pelan-pelan wajahnya memerah kembali.
"Boleh minta tolong lagi?"
Ia tampak gelisah.
"Papa akan marah kalau ia lihat aku pulang tanpa kendaraan itu. Jadi..."
"Tunggulah,"
Herman berkata. Ia mencari tempat teduh dan terlindung dan setelah menemukannya ia ajak
gadis itu ke sana. Buka sana, buka sini. Lalu:
"Hem. Platina-nya sudah aus. Harus diganti,"
Herman memberitahu sambil menghamplas benda yang ia sebutkan.
"Tetapi untuk sementara masih dapat kau pakai."
Pekerjaannya rampung tak lama kemudian ia coba menghidupkan mesin. Nyala sekali starter.
"Namaku Laila,"
Gadis itu memperkenalkan diri begitu ia duduk di jok Honda bebeknya. "Kapan-kapan.
berkunjunglah ke rumah. Kalau mau,"
Ia memberikan alamatnya .Tersenyum. Lalu pergi.
Tiga hari berlalu tanpa terjadi apa-apa. Kecuali mimpi Herman. Dalam mimpinya ia lihat gadis itu
datang, tersenyum, lalu pergi. Di mimpi lain, gadis itu malah mengecup pipinya. lalu pergi. Herman
mulai gelisah ingin bertemu Laila.
Hari keempat, ia beranikan berkunjung.
Nyatanya ia cuma lewat saja di depan rumah Laila. Tak berani masuk. Rumah keluarga Laila
besar, megah dengan eksterior taman yang mewah.
"Berapa kami harus membayarmu?" ia bayangkan ucapan sinis yang mungkin ia terima.
Herman langsung mundur teratur. Ngeper.
Hari kelima, dua orang petugas polisi turun dari sebuah mobil dinas di pangkalan jual beli
kendaraan bekas. Mereka bertanya mana yang bernama Herman. Sialnya, pas pula Herman yang
menerima mereka.
"Ikut kami ke kantor,"
Polisi itu berkata.
Satu minggu kemudian ia dihadapkan ke meja hijau. Tuduhan jaksa: penganiayaan, yang
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
menyebabkan korban menderita gegar otak. Pemuda yang pingsan itu sudah sembuh, ia muncul di
sidang bersama dua temannya, sebagai saksi.
Hakim yang mengadili perkara penganiayaan itu membuat Herman merasa kecut. Benar saja.
Ketika sidang dimulai dan jaksa selesai membacakan tuduhannya maka hakim yang dari tadi
mengawasi Herman dengan mata tak berkedip. bergumam dingin:
"Ketemu lagi, ya?"
"Ya. Pak."
Herman menyeringai. Lesu.
"Dulu kau berjanji akan tobat,"
Hakim mengingatkan. serius.
"Walau itu kau tetap ngotot pada pengakuanmu, tidak merasa menadah mobil curian. Katamu,
karena kau menerima Surat-surat lengkap. Tidak tahu kalau surat-surat itu dipalsukan."
"Memang begitu. Pak."
"Ya. Ya. Memang begitu, menurut pengakuanmu. Dan berdasarkan pengakuanmu itu kau cuma
dijatuhi hukuman tiga bulan penjara. Dengan apa yang dituduhkan bapak penuntut tadi, rupanya kau
ingin nginap dan makan gratis lebih lama. Begitu?"
'Tidak, pak. Saya-!"
Dan sidang diteruskan. Seperti halnya di depan polisi pemeriksa,tiga orang saksi itu tetap
bersikeras menerangkan bahwa mereka sedang ngobrol dengan seorang teman gadis satu sekolah,
ketika sekonyong-konyong Herman datang menyerbu.
"Sebabnya?" tanya hakim.
"Enggak tahu, Pak," jawab saksi utama.
"ia menyerbu begitu saja."
Dua temannya manggut manggut setuju. Tetapi segera terdiam waktu hakim mendengus:
"Menyerbu begitu saja? Kulihat, tertuduh bukan orang tak waras."
Dan kepada Herman hakim bertanya:
"Tentu ada sebabnya, bukan?"
Herman bercerita apa adanya, ia tekankan pada soal kata kata penghinaan yang dilontarkan
ketiga orang saksi sehingga emosinya terpancing lalu memukul mereka Juga, seperti halnya
pengakuan Herman di depan polisi pemeriksa, ia hanya menceritakan sambil lalu mengenai gadis itu.
Ia tahu tiga saksi tadi melindungi nama dan alamat si gadis karena tak ingin membahayakan posisi
mereka.
Celakalah Herman, ia kecewa karena laila tak pernah menampakkan batang hidung. Tetapi entah
mengapa, ia sependapat untuk berbuat sama. Mata teduh dan senyum yang mendebarkan jantung itu
terlalu lembut untuk dicemari. '
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Baik Herman maupun tiga saksi lupa hakim bukan orang bodoh.
"Dari tadi kudengar disebut-sebut tentang seorang gadis...." ia bersungut.
Lantas berpaling ke arah jaksa:
"Apakah namanya tidak tercantum dalam daftar kesaksian?" .
"Tidak, Pak."
Jaksa menelan ludah.
"Tiga saksi itu .Sudah Cukup. Lagipula tertuduh tidak ingin menampilkan saksi baru."
"Meski itu akan meringankan tuduhan atas dirimu?"
Hakim berpaling lagi pada Herman.
Yang ditanya diam saja.
Hakim yang ingin berlaku adil. berkata datar.
"Begini. Bung Herman. Kau dituduh melakukan penganiayaan berat. Bila kau terbukti bersalah,
kau kemungkinan besar akan dihadapkan lagi ke pengadilan perdata dengan tuntutan ganti rugi yang
tidak sedikit. Dua saksi lain sampai hari ini belum mengajukan tuntutan apa-apa. Kami tak akan
heran apabila kelak tuntutan pertama gol, maka dua saksi lain akan berbuat sama."
Herman melirik.
Dua saksi dimaksud balas melirik. Keduanya tersenyum mengejek, dengan mata bersinar-sinar
menyetujui ucapan hakim. Herman melengos marah dan muak. Hampir tak ia dengar suara hakim
yang menyesalkan mengapa Herman tidak meminta bantuan seorang pembela hukum dan menolak
pula ketika ditawarkan padanya bantuan gratis pembela hukum yang ditunjuk oleh pengadilan.
"... kau akan meringkuk di penjara sekian tahun. Dan harus membayar ganti rugi yang
jumlahnya.... Yah. Hanya Tuhanlah yang tahu," ujar hakim, masih tetap ingin besikap adil.
Orangtua yang baik, pikir Herman Dan gadis yang tak tahu berterimakasih, umpatnya.
Ia gemetar. Takut. Dan marah.
"Bagaimana?"
Hakim mendesak.
'Panggilah dia sebagai saksi!" jawab Herman tergopoh-gopoh.
Hakim berpaling kepada panitera Juga pada jaksa. Kedua orang itu mengangguk. siap untuk
mencatat.
"Nama gadis itu?" tanya Hakim.
"Laila"
"lai...."
Hakim mendadak terdiam. Ada sesuatu yang ganjil pada sinar matanya
"Laila siapa?"
"Tidak tahu, Pak. Ia hanya memberi nama Laila saja."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Hem. Alamat rumahnya"
Bukan saja sinar mata, Wajah dan penampilan hakim ikut pula berubah begitu alamat si gadis
disebut tertuduh, lama sekali hakim terdiam. Wajahnya murung. Ia terperanjat ketika jaksa bertanya
hati-hati:
"Apakah kami harus memanggil saksi tersebut dengan surat panggilan resmi. Bapak Hakim?"
Hakim menjawab lirih:
"Tak usah. Laila yang dimaksud anak gadisku sendiri. Ia akan hadir pada sidang berikutnya."
Dengan wajah semakin murung hakim kemudian memutuskan sidang ditunda. Orangtua yang
malang karena ingin bertindak adil itu tidak tampil dalam sidang kedua Panitera menjelaskan pendek.

"Hakim sebelumnya berhalangan karena tidak enak badan."


Hakim pengganti meneruskan pemeriksaan perkara.
Dari tempat duduknya di bangku saksi, laila tak berhenti menatap ke arah tertuduh. Herman tak
sekalipun menoleh ke belakang. Semangatnya luntur sudah. Ia pucat, menyesal dan marah pada diri
sendiri. Sebelum sidang dimulai ia telah berbicara dengan laila. Gadis itu menyatakan penyesalan
karena tak dapat menemui Herman setelah mereka berpisah.
"Peristiwa hari itu membuatku shock. Aku jatuh sakit hampir satu minggu...."
Ketika menghadiri sidang, Laila masih tampak lemah.
Tetapi ia tetap memaksakan hadir. Bukan karena diperintahkan ayahnya. Melainkan karena ia
sangat mencemaskan nasib Herman .
Hanya lima kali sidang perkara itu selesai.
Vonis hakim pengganti:
"Terdakwa dihukum penjara tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan!" Artinya, Herman
bebas bersyarat. Dan kepada saksi, hakim tak lupa memperingatkan. Mereka telah melakukan
sumpah palsu, memberikan keterangan yang menyesatkan. Tetapi mengingat mereka masih muda
belia, buta hukum dan masih bersekolah dan atas jaminan keluarga untuk mendidik mereka lebih
baik, ketiga saksi tidak diadili atas perilaku mereka yang buruk
"Dan jelas,"
Hakim menyindir.
"Saudara Herman dapat saja mengajukan kalian ke muka hakim dengan tuduhan penghinaan di
tempat umum."
Orangtua saksi utama, lesu dan pucat.
Laila telah membisikkan ke telinga Herman. orangtua itu berpangkat kolonel dan berpengaruh.
Tetapi rupanya kolonel itu masih memiliki kehormatan diri, ia mendatangi Herman seusai sidang,
menyalaminya dengan hangat dan berkata sedih:
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Kau maafkanlah keteledoran adik adikmu itu. Nak. Mereka bertiga masih mentah, kau tahu."
Herman memeluk orangtua itu. dan kemudian sambil tersenyum haru menjabat tangan ketiga
orang adik-adiknya.
Hari kelima puluh tiga.
Laila datang berkunjung ke rumah orangtua Herman dengan sekeranjang oleh-oleh .Begitu pintu
dibuka ibu Herman, pertanyaan gadis itu adalah:
"Bang Herman ada?"
Herman mestinya bersukacita.
Tetapi ia menyambut Laila dengan hati setengah setengah. Sidang-sidang pengadilan yang
mengerikan itu tak lepas dari pikirannya. Juga vonnis tiga bulan penjara yang diancamkan atas
kepalanya, sekali dalam tempo enam bulan berikut ia memukul atau menganiaya orang lain itu tidak
seberapa. Yang sangat ia sesalkan, adalah ketergopohannya menyebut nama dan alamat laila. Laila
yang begitu lembut, manis dan polos.
Herman tidak akan pernah dapat mengampuni kecerobohan terbesar yang pernah ia perbuat.
Betapa tidak. Si gadis terpaksa tampil di pengadilan dengan kondisi kurang sehat dan masih
dipermalukan dengan kisah "menstruasi yang datang kelewat cepat". Laila tidak menampakkan hati
tersinggung. Namun tetap saja Herman mempersalahkan diri sendiri.
Ia gugup dan malu ngobrol berlama-lama dengan Laila. Untunglah Sumarna ikut menemani.
Dengan alasan pusing, Herman masuk ke kamar tidurnya dan membiarkan Laila ditemani Sumarna.
Hari ketujuh puluh satu.
Pintu diketuk dari luar. Kali ini Sumarna yang membuka pintu. Pertanyaan masih:
"Bang Herman, ada?"
Laila waktu itu berusia 18 tahun. Sedang Herman telah menginiak usia 32. Perbedaan yang
sangat menyolok itu ikut pula menghantui Herman. Laila kaya raya pula. Sedang Herman, cuma
seorang calo, dan nyambil malam hari di percetakan. Mana bekas orang hukuman. Kembali Herman
mundur teratur. Kembali ia biarkan Sumarna yang menemani Laila, kemudian mengantar gadis itu
pulang ke kota.
Semenjak itu, diperhatikan Herman bagaimana adiknya yang mahasiswa fakultas ekonomi itu
mulai rajin nampang di kaca lemari, rajin menulis surat bahkan sejumlah puisi. Lalu tepat pada hari
keseratus, Laila seperti biasa mengetuk pintu. Kebetulan, Herman pula yang membuka.
Polos dan tak berdosa, Laila bertanya:
"Ada Sumarna, Bang?"
'Bang? He. Bang Herman!"
Herman terlonjak. Ia masih duduk di mobil. Masih di depan pintu gerbang fakultas.
Wajah Laila muncul di jendela mobil.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Kok abang masih di sini," ujarnya, heran.
"Kau... kau tak kuliah?" sahut Herman gugup.
Mesin mobil ia hidupkan dengan rusuh.
"Aku sudah masuk, Bang Herman. Di sana, tuh!"
Ia menunjuk sederetan kaca di lantai dua fakultas.
"Dudukku kebetulan di pinggir jendela. Setelah melihatmu masih di sini, aku lantas permisi
sebentar. Apakah abang sakit? Wajah abang pucat."
"Oh. ah. Aku agak pusing Kurang tidur. Kau tahu biasanya.. ya. Ya. Biasanya aku tidur dulu dua
jam sepulang dari percetakan. Baru ke pangkalan. Dan... dan...."
"Pulanglah, Bang Herman."
Ketika mobil yang membawa Herman lenyap di pengkolan jalan, Laila masih berdiri di tempatnya
semula.
Air matanya meleleh.
Membasahi pipi.

*****

Enam

"Hai, Papa."
".... Eh, Laila. Cepat benar pulang?"
Hakim Saroso meletakkan surat kabar yang tengah ia baca. Matanya mengikuti anak gadisnya
yang masuk ke kamar untuk menyimpan tas kuliah tetapi segera kembali lagi. Duduk menemani
ayahnya di ruangan duduk bermesin pendingin dengan lantai berlapis karpet beludru.
Wajah anaknya tampak lain dari biasa.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Nak,"
Hakim Saroso memperingatkan. Lembut.
"Cuma dua mata kuliah, Papa. Dosen bahasa Jerman sakit."
"Oh..."
Hakim Saroso melembari kembali surat kabarnya. Ia tidak membaca. Ia pura-pura asyik
membaca. Sedang pikirannya bekerja keras, ingin mengetahui mengapa anak gadisnya kelihatan lesu.
Kehilangan semangat.
"Bagaimana hasilnya, Nak?"
Hakim Saroso bergumam sambil lalu.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Apa, Papa?"
"Herman. Ia mau?"
Sang ayah mengintip dari balik bingkai kacamatanya
"Mau, Papa."
"Sudah kuduga."
Hakim Saroso mendengus. Puas.
"Biar bagaimana pun, Herman itu tetap saja seorang calo."
Melihat sepasang mata anaknya mendelik marah, ia cepat-cepat meneruskan:
"Aku tidak bermaksud menghina. Aku hanya ingin mengatakan, orang macam dia, dengan usaha
yang hasilnya tidak berketentuan seperti itu, memang harus bermata jeli. Dan menyambar mangsa
secepatnya, apabila mangsa itu mendatangkan untung besar...."
"Papa keliru.'
"Maksudmu?"
"Bang Herman memang mau menjualkan mobil itu. Tetapi ia tidak dapat papa bodohi...."
Laila tersenyum senang ketika ia lihat cuping telinga sang ayah bergerak. Itu penanda pemilik
telinga mengalami kejutan yang ingin disembunyikan
"Ia lebih tahu harga pasar, ketimbang papa."
"Hem. Lantas?"
"Bang Herman menyinggung selisih harga yang papa tawarkan. Ia bilang, akan berpegang pada
patokan jual beli yang syah."
Hakim Saroso tidak saja meletakkan bacaannya. Ia juga meletakkan kacamatanya .Dan
mengawasi anaknya dengan bingung.
"Sungguh tak masuk di akal,"
Ia berkata.
"Jadi Herman menyebutkan empat. Bukan dua setengah atau tiga juta?"
"Persis."
"Dungu!"
Kelembutan hati Hakim Saroso terlecut juga akhirnya
"Dungu si Herman itu. Bayangkan, Nak. Selisih harga satu juta .Mungkin satu setengah. Dan
masih ditambah komisi dua puluh persen...."
"Sepuluh,"
Laila membetulkan.
"Sama saja, Nak. Jumlahnya tetap saja hampir mencapai dua juta. Setelah dibagi dengan teman
temannya, dikurangi pula ongkos servis dan reparasi, paling kurang Herman bakal menerima lima
ratus ribu rupiah. Dengan jumlah itu ia dapat membeli beberapa lembar pintu jati dan kaca untuk
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
jendela rumahnya yang terbengkalai itu. Dan kau bilang, ia menolak. Aku sungguh tak mengerti."
"Papa pasti mengerti!" tuduh Laila Tajam.
Hakim Saroso manggut-manggut Lemah.
"Anak sialan, si Herman itu!"
Ia mengumpat. Dari nada suaranya, Laila tahu kalau ayahnya bukan mengumpat karena marah.
melainkan karena kagum.
"Bayangkan. Aku sudah sering mencoba Lewat kau. Lewat Sumarna. Lewat ibunya. Semua gagal.
Hem. Hem. Anak itu rupanya ingin aku meninggal dengan membawa hutang budi yang tak pernah
dapat kupenuhi."
"Papa tak perlu begitu kecewa,"
Laila menghibur.
"Tak lama lagi aku toh akan diangkat jadi anggota keluarga mereka. Dan Bang Herman dengan
sendirinya jadi anggota keluarga papa pula. Jamu ia makan sesekali. Ajak piknik bersama, atas
tanggungan papa. Banyak jalan ke Roma bukan?" _
Setelah berkata demikian, laila bangkit. Mencium pipi ayahnya.
'Aku sedikit tak enak badan, Papa. Tak apa kutinggal tidur?"
"Pergilah, Anakku," jawab Hakim Saroso, seraya memikirkan usul anak gadisnya .Laila benar.
Membalas budi baik orang, tidak selamanya dengan jalan memberi hadiah-hadiah materi. Laila
menghilang ke belakang. Waktu kembali ia membawa sesuatu yang dikepit di ketiak dan membuat
ayahnya tercengang.
"Buat apa tikar itu, nak?" tanya sang ayah.
"Mestinya hujan, Papa. Tetapi sudah beberapa hari. panas terus. Tak alang kepalang lagi. Kasur
busa di ranjang tidurku. bikin aku mandi keringat saja."
"Itulah!"
Hakim Saroso menyesali anaknya.
'Papa 'kan sudah berapa kali bilang. Kita pasang saja AC di kamarmu."
"Lantas ketika bangun, aku terserang selesma?"
Laila tersenyum manis. Hidungnya mengendus-endus hawa sejuk ruang duduk itu. Purapura bersin
keras sampai ayahnya kaget. Lalu sambil tawanya meledak, Laila menyelinap ke kamar tidurnya.
Setelah ia sendirian saja di kamar, tawa Laila hilang lenyap seketika. Wajahnya berubah suram.
Sesungguhnya ia tidak mengantuk. Ia hanya ingin menghindar dari ayahnya. Ingin menikmati
kesendirian. Meresapi hari-hari yang telah lalu. Merangkai kenangan-kenangan lama.
Jiwanya begitu tertekan, saat ini.
Seenak perut ia lemparkan tikar di tangannya Jatuh ke kolong ranjang. Kemudian laila bergerak
ke jendela. Menatap keluar. Suatu saat, bibirnya bergerimit. Pucat. Di saat berikutnya, bibirnya
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
mengarak senyum. Bibir ranum itu pun lantas tampak kemerahan. Segar. Bergairah. Sebentar
kemudian, kembali lagi bergetar. Pucat.
Kelopak mata laila terpejam.
Kepalanya terangkat.
Menengadah.

*****

Jiwa Salbiah juga tertekan.


Ia tidak begitu mengkuatirkan Saripah. Memang, anak perempuannya itu kini berstatus janda
seperti dia pula. Tetapi Saripah ulet berusaha. Dua puluh enam tahun, merupakan usia lagi
matang-matangnya .Perempuan seusia Saripah akan tabah dan mau menghadapi kenyataan. Apalagi
Saripah memiliki modal yang kuat: kecantikan. Saripah akan segera menemukan jodoh yang lain.
Mungkin akan lambat. Karena ia tahu Saripah biar suka merendahkan tetapi jauh di sanubari, tetap
saja mencintai almarhum suaminya. Dan bila saat itu kelak tiba. semoga Noni belum mengenal apa
perbedaan ayah tiri dengan ayah kandung. .
Tidak. Bukan persoalan Saripah yang menekan jiwa Salbiah. Bukan pula Sumarna. Anak tengahnya
itu telah lulus menempuh ujian sarjana ekonomi. Sudah pula ada pendekatan dengan sebuah
perusahaan terkemuka. Masa depan Sumarna cukup cerah. Konon pula akan didampingi istri secantik
laila. Berpendidikan, keturunan baik-baik dan terhormat pula. Segala puji syukur untukmu, Tuhanku!
Hanya, mengapa tak kau cipratkan sedikit karunia-Mu untuk si anak sulung?
Herman-lah yang mengganggu pikiran Salbiah.
Sudah semenjak kecil anak itu memperlihatkan temperamen keras .Ia menaruh harga yang
sangat mahal untuk menerima kompromi. Dengan orang lain, tak apalah.
Ini, dengan ayahnya sendiri!
"Kalau ayah mau membantu orang, bantulah dengan sukarela. Jangan pasang bunga yang
membuat orang lain sakit jantung. Jangan pula main sewa tukang pukul kalau menagih piutang!"
Ucapan itu dilontarkan Herman pada ayahnya, semasih Herman berusia 14 tahun.
Sayang suami Salbiah berpenyakit darah tinggi. Suaminya berteriak lengking:
"Kau pikir, dengan apa kau bernafas Herman? Dengan apa darahmu mengalir? Apa yang kau
minum? Apa yang kau makan? Apa yang kau pergunakan membayar sekolahmu? Uangku! Dengar?
Uangku!"
Ayah yang tidak bijaksana.
Malam itu juga Herman mengemasi pakaiannya. Ia minggat lewat jendela. Pagi-pagi, semua
orang kalang kabut. Jerit tangis histeri memenuhi seisi rumah. Sang ayah seorang saja yang tenang.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Sinis, ia berkata
"Berhentikan membuat gempar. Herman akan kembali."
Herman memang kembali.
Tetapi sekali satu tahun. Paling banyak dua kali apabila ia dengar salah seorang adik terutama
ibunya sakit. Ia menjual suratkabar di kaki lima. Tidur di emper-emper toko ibukota yang hirup pikuk.
Jadi kuli bangunan. Perantara jual beli. Yang penting asal halal, begitu Herman pernah mengatakan.
Dan Herman semakin jauh dengan ayahnya.
Akibatnya, Herman baru tahu ayahnya meninggal setelah ayahnya itu dikuburkan satu minggu.
Barulah sifat lembut-nya yang tersembunyi mengalir tumpah. Satu malam Herman menangis di
makam ayahnya. Pulang ke rumah ibunya, mata Herman bengkak .
"Aku akan kembali ke ibukota." katanya
Salbiah menangis. Sumarna gemetar. Saripah berguling-guling di lantai.
"Kalian bisa hidup tanpa aku,"
Herman bersikeras.
"Warisan ayah berlimpah ruah."
Saripah merangkul paha saudaranya. Meratap:
"Sebelas tahun kau terpisah dari kami, Bang Herman. Haruskah kini kau pergi lagi? Ayah sudah
mendahului kita semua. Apa arti semua harta yang ia tinggalkan? Tega kau membiarkan kami
terlunta-lunta tanpa ada yang melindungi?"
Barulah mata Herman basah.
Kekerasan hatinya luluh.
"Baiklah," katanya.
"Aku akan menjaga kau, Ipah. Dan kau, Sumarna. Bersama-sama kita merawat ibu. Aku tidak
akan meninggalkan kalian, sebelum kau Ipah dan kau Sumarna, berhasil jadi orang."
Ia tetap tinggal di rumah ibunya.
Tidak mau menempati salah satu rumah kosong peninggalan ayahnya.
"Jual saja," kata Herman.
"Pergunakan uangnya untuk biaya sekolah Ipah dan Sumarna."
Salbiah memberitahu, harta warisan sebaiknya tidak dijual. Lebih bijaksana ditambah .Selama
kita mampu
"Oke. Sewakan, kalau begitu. Ketimbang ambruk tak dihuni"
Dan Herman tetap bertualang. Menempuh Cara hidupnya yang lama. Bedanya sekarang ia tiap
hari ada di rumah. Merawat ibunya. Mengurus adik-adiknya. Hermanlah yang menikahkan Saripah
dengan Arpan. Herman pula yang mempertemukan Sumarna dengan Laila.
Dan ia sendiri?
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Aku akan berumahtangga. kalau aku sudah ingin,"
Itu jawabnya kalau ditanya Salbiah.
Telah banyak lamaran yang terpaksa ditolak. Salbiah hampir panik memikirkan jangan-jangan
anak sulungnya mengidap kelainan seksuil. Tetapi aneh, penandanya tidak ada sama sekali.
Apakah Herman pernah dikecewakan seseorang?
Herman bukan tidak tahu apa yang digelisahkan ibunya .
Dan suatu hari ia membawa seorang gadis ke rumah mereka.
"Namanya Rosida. Orang seberang. Sumatera,"
Herman memperkenalkan gadis itu.
"Ia temanku sekantor. Maksudku, di percetakan aku dinas malam. Sedang Rasida dinas pagi."
Salbiah tenteram hatinya.
Malang, tak lama. Persoalan lain segera timbul. Herman baru mau menikah dengan Rosida,
apabila Sumarna sudah berumahtangga seperti Saripah. Dengan begitu ia menganggap sebagian
tanggung jawabnya telah terpenuhi. Aneh, Rosida pun setuju dengan keputusan Herman: Sumarna
yang muda belia, melonjak gembira
"Abang jadi juga menikah," teriaknya.
"Aku punya usul. Kelak setelah kalian menikah, tempati saja rumah yang kosong tak terpakai
itu."
Barulah Salbiah mengerti maksud anak tengah-nya. Rumah tersebut telah diwariskan untuk
Herman. Juga beberapa petak sawah. Baik rumah maupun sawah itu dulunya milik satu orang tetapi
kemudian diambil alih suami Salbiah melalui jual beli. Tentu saja, sebagian besar sebagai pembayar
hutang pemilik lama .
Dan apa jawab Herman.
"Boleh. Boleh. Rumah dan tanahnya akan kami tempati. Setelah aku dan Rosida membayarnya
harga yang pantas kepada ibu."
Perih hati Salbiah.
Tetapi segera pula ia tersenyum. begitu dapat akal.
Harga tanah dan rumah di atasnya, lantas ditetapkan. Uang tabungan Herman sekian tahun
ternyata cukup menutupinya. Begitu ia terima, Salbiah menyerahkan uang itu utuh utuh ke tangan
Arpan yang sangat bernafsu membangun rumah model baru sebagai pengganti model lama yang kuno
itu. Herman mau marah. Tetapi kemudian terdiam, setelah Salbiah berkata:
"Ini uangku, bukan?"
Ya, uang itu sekarang uang Salbiah, bukan uang ayah Herman.
"Terimalah. Anggap saja sebagai tanda kasih sayang ibumu."
"Beres sudah,"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Mereka semua waktu itu sependapat
"Apa yang beres? Arpan meninggal dunia. lalu Herman mendadak bilang, rumah miliknya dihuni
hantu. Jual rumah itu! Gampang terdengarnya. lalu apakah Salbiah membiarkan hidup anak sulungnya
tetap terkatung-katung.Tak berketentuan?
Rumah bobrok macam apa nanti yang akan ditempati keluarga Herman?
Dengan apa ia memberi makan anak istrinya.
Menantu dan cucu Salbiah?
Sedang di sini harta mereka berlimpah ruah. Mereka dapat hidup senang berkecukupan.
Hati Salbiah perih lagi.
Dengan hati yang perih melilit itu ia tercenung di dangau. Tampaknya ia tengah asyik mengawasi
para penggarap sawahnya bekerja dengan giat. Kejang dan kebas duduk melamun saja, sore hari di
Minggu pertama bulan Januari itu Salbiah turun dari dangau ia berjalan-jalan sepanjang tegalan
sawah. Merendam kaki di saluran air yang sejuk bening.
Ia memandang petak sawah di dekatnya.
Lalu Salbiah tiba-tiba terkejut. Petak sawah itu ditanami padi yang telah berumur satu bulan.
Beberapa hari yang lalu, padi di situ tumbuh subur, hijau segar. Sore hari ini, Salbiah lihat semua padi
di petak itu rebah ke tanah basah berlumpur. Daun-daun padi berwarna coklat, kering layu.
"Bu Omi?"
Salbiah memanggil salah seorang penggarap.
Perempuan yang dipanggil datang bergegas.
"Ada apa, Juragan?"
"Apa yang terjadi dengan padi-padi ini?"
Penggarap sawah bernama Omi itu menarik nafas.
"Bukankah telah saya beritahu juragan? Tadi, ketika juragan duduk di dangau."
"Oh. Aku tak mendengarnya. Mengapa padipadi ini roboh dan layu, Bu Omi?"
Salbiah mengulang pertanyaannya, sambil bangkit lalu turun ke tengah sawah yang dilanda
bencana itu.
Omi memperhatikan majikannya turun. Berkata bimbang:
"Pasti diserang hama, Juragan."
"Wereng? Atau tikus?"
Salbiah meneliti seonggok pagi. Kakinya terbenam sebatas pertengahan betis, di dalam tanah
basah berlumpur.
"Tak ada tanda-tandanya Dan eh. apa pula itu?"
Salbiah mengamat-amati garis-garis kecil malang melintang di permukaan lumpur, itu bukan
bekas digaru. Bukan pula pekerjaan usil seseorang, karena garis-garis memanjang itu demikian
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
banyaknya. Menyilang dan berputar ke berbagai arah.
Mungkinkah bekas tikus berlari kian ke mari?
Tetapi garisnya terlalu tipis. Terlalu dangkal. Bukan tikus. barangkali.
Tetapi apa?
Salbiah tercekat .
Lumpur di kedua kakinya tibatiba bergerak. Pelan dan samar, memang, tetapi tetap saja
bergerak. Sebelum Salbiah mengetahui apa sebab lumpur bergerak, sesuatu telah mencengkeram
betisnya. Sesuatu di lumpur. Besar dan licin. Darah Salbiah tersirap. Sesuatu yang hidup dan kini
melingkari betis kanannya, terasa menggeliat. Lantas betis Salbiah bagai dihunjam benda lunak
tetapi menembus kulit dan daging betisnya lalu mulai menyedot darahnya keluar.
Omi melihat wajah majikannya yang tegang, pucat
"Eh. Juragan, sedang apa sih?"
Salbiah tak menjawab. Tak kuasa meniawab. Denyut jantungnya seakan terhenti saking terkejut
dan panik. Tubuhnya tegak setengah membungkuk. Kejang. kaku.
Mungkinkah ia terkencing di celana, pikir Omi.
Pikiran itu segera lenyap. tatkala si penggarap sawah yang sudah tua itu melihat sesuatu meliuk
keluar dari dalam lumpur. Warnanya coklat. Atau hitam, berlumur lumpur.
Omi ingin menjerit.
Sayang, suaranya tak mau keluar. Lidah kelu. Ia cuma mampu menutup mulut dengan tangan
yang justru malah menahan jeritannya bila pun mampu ia lepas. Dengan mata terbelalak, penggarap
sawah itu terpana mengawasi lumpur di sekitar kaki-kaki majikannya benda aneh tadi lenyap.
Salah pandangkah dia? _
Tidak-tidak. Benda itu masih ada. Tetapi kini lebih kecil. Sangat kecil. Mula-mula hanya beberapa
ekor. Kemudian berpuluh-puluh lalu beratus-ratus.
"Lintah!"
Omi tersentak mundur lantas mampu juga ia menjerit:
"Lintah! Lintah! Oh, ob, oh.... Tolonglah. Tolonglah. Ada lintah!"
Ia kemudian berlari-lari menemui yang lain. Para penggarap sawah menyongsong terkejut.
"Mana Mana lintah itu, Bu Omi?"
Mereka memegangi kaki si perempuan yang menggelupur di rumput. Histeri.
"Apa-itu, lintah... kaki kencing... eh, ul-al," sahutnya dengan bola mata berputar-putar.
Salah seorang penggarap, laki-laki yang masih terhitung muda, menampar pipi Omi dengan
keras. Begitu deras bunyi tamparan di pipinya tak terdengar, Omi berteriak lantang:
"Lintah! Banyak sekali lintah! Cepatlah Juragan Salbiah..."
Salbiah jatuh tertelungkup ke lumpur ketika orang-orang itu berlarian mendatangi. Baik kaki,
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
tangan, punggung maupun leher dan kepala Salbiah penuh dilengketi lintah yang menggeliat geliat
ganas dan buas. Seorang perempuan kecil jatuh pingsan. Dua yang lain menjauhkan diri dengan
terkejut. Empat terpaku diam di tempatnya berdiri.
"Allah ya Robbi!"
Terdengar suara laki-laki lalu empunya suara terjun ke lumpur. Melompat-lompat mendekati tubuh
Salbiah yang tertelungkup setengah terbenam. Dua orang lainnya segera menyusul. Mula-mula mereka
hanya menepis-nepis, kemudian memukul-mukul dan akhirnya baru teringat mengangkat tubuh
Salbiah ke tanah kering.
Ratusan lintah tetap lekat di sekitar tubuh Salbiah setelah ia dibaringkan ke tanah. Para
penolongnya kemudian sibuk pula melepaskan cengkeraman banyak lintah di kaki ataupun tangan
masing-masing. Dua orang lagi perempuan jatuh pingsan. Yang lain berlari ke dangau. Hanya seorang
saja yang menempuh arah benar. Ia berlari menuju rumah Salbiah yang jaraknya dari sawah itu baru
akan ia capai setengah jam berikutnya.
Penggarap sawah yang masih waras otaknya, segera membungkuk. Semua pakaian yang melekat
di tubuh Salbiah cepat ia tanggalkan. Teman temannya segera mengikuti perbuatan orang itu. Salbiah
bugil dalam sekejap. Namun toh masih tersisa puluhan ekor lintah. Sebagian dari lintah itu hanya
tampak ekor, karena sudah terlalu dalam masuk menerobos ke daging tubuh Salbiah.
Tubuh itu diam. Tak bergerak.
Matanya melotot. Menatap matahari senja yang kelabu.
Dan tanpa ada yang mengetahuinya dari tegalan petak sawah tadi muncul sebentuk makhluk
yang menggeliat, melengkung, memanjang. pendek lagi dan terus merayap memasuki selokan. Merasa
tubuhnya yang sebesar lengan manusia dewasa itu terbenam dalam di selokan, makhluk itu
melenturkan tubuh.
Ia bergerak ke hilir.
Mengikuti arus air.

*****

Tujuh

"Nafsu makanmu buruk sekali," kata tuan rumah sembari mengawasi Lurah Joko tengah
mengunyah-ngunyah dengan tarikan muka mirip orang sakit gigi.
"Mabokku belum hilang betul, Eyang," sahut Lurah Joko, berdusta.
Wajahnya memang sedikit pucat. Tetapi bukan karena mabok perjalanan. Ia mabok melihat
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
makanan yang terhidang di meja. Tumis daging cincang di piring mengingatkannya pada lintah yang
gepeng dipencet lumat diinjak. Sop jamur dalam pasu besar, tak ubahnya irisan pacat yang
mengambang mati karena kekenyangan menghisap darah. Ayam panggang di depan Lurah Joko pasti
menerbitkan air liur orang lain. Tetapi warnanya yang merah berminyak, mengingatkan Lurah Joko
pada tubuh bugil Salbiah yang berlendir.
Dua jam isteri tuan rumah berkurung di dapur untuk mempersiapkan hidangan istimewa itu. Dan
tiga menit setelah terhidang, Lurah Joko meletakkan sendok garpunya.
"Permisi, Eyang. Mau ke jamban sebentar.'
Lurah Joko bersungut-sungut bangkit. Setengah berlari ia pergi ke belakang rumah. Belum sampai
ke sumur, ia sudah meliuk, terbungkuk. Dan,
"Woaaak...."
Isi perutnya tertumpah ke tanah.
Isteri tuan rumah tergopoh-gopoh mengantarkan segelas air. Tak lama kemudian, Lurah Joko
merasa lebih enakan dan masuk lagi ke rumah. Menemui bekas gurunya yang sudah menunggu di
beranda depan.
"Mau aspirin?"
Ia bertanya pada tamunya.
Lurah Joko menggeleng.
Belum lama ia henyakkan pantat di sebuah kursi rotan. Istri tuan rumah muncul dengan dua
cangkir teh pahit, Setelah melirik kuatir ke arah tamu mereka yang tampak masih pucat, perempuan
itu mengundurkan diri. Ia tidak terus ke dapur. Melainkan sibuk memeriksa Sisa hidangan di meja.
Apakah ada rambut di tumis?
Atau kecoa nyelip dalam sop jamur?
Tubuh kecil kurus di beranda, menggeliat sebentar. Lalu berkata santai: "Nah. Mari kita bicarakan
masalah yang tadi ingin kau sampaikan. Pertama-tama, mengapa kau begitu lambat?"
Lurah Joko menelan ludah.
"Aku terlalu mencemaskan kesehatan cucuku,"
Ia menjawab malu malu.
Namun toh terselip jua rasa kebanggaan seorang kakek ketika Lurah Joko menceritakan
bagaimana ia tiap hari mengunjungi anak perempuannya di kota. Melihat-lihat apakah Legoh. cucu
satu-satunya dalam keadaan sehat. Memeriksa jari kakinya, jari tangannya, suhu badannya. Setelah
puas ia baru pulang.
Kemarin ia tiba di rumah lepas isya dan terkejut mendengar Salbiah meninggal. Bergegas ia pergi
ke rumah yang tertimpa musibah itu. Jenasah Salbiah dibaringkan di tengah rumah. Kain selendang
menutupinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Herman menjaganya dengan ketat. Tidak
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
seorangpun tamu yang datang melayat diperkenankan membuka kain itu tanpa seijinnya. Ijin itu
cuma diberi pada orang-orang tertentu saja. Melihat kaitan keluarga, atau kedudukan sang tamu.
Lurah Joko termasuk salah seorang yang diperkenankan melihat keadaan jenasah.
Ia terkejut melihat mata Salbiah melotot.
"Astagfirullah!"
Ia mengucap. Mengumpulkan kekuatannya baru memberanikan diri mengangkat kain lebih tinggi
sedikit. Tubuh bugil itu berlendir dan ada ratusan lubang-lubang kecil menganga di sana sini.
Gemetar Lurah Joko menyelimuti jenasah kembali. Ia mengangguk ke arah Herman lalu pergi menemui
beberapa orang yang ia perkirakan dapat memberi keterangan.
Lurah Joko segera memperolehnya. Tiap kali ia bergidik. Ia juga memperoleh sebuah bungkusan
kecil dari salah seorang tetua desa. Ikut tahlilan sebentar terus pulang ke rumah. Setelah bersalin
pakaian ia bergegas ke terminal. Sunyi sepi tempat itu. Gelap lagi. Jadi ia pergi menunggu di Pos
Hansip. Merasa tenteram berada dekat orang lain, ia rebahan sebentar. Malang ia tertidur dan bus
antar kota lewat tanpa ia ketahui. Hansip yang bertugas menerangkan mereka sedang pergi
berkeliling ketika bus itu lewat.
Baru pukul empat dinihari datang bus lain.
Lalu....
"Bagaimana tentang lintah-lintah itu."
Orang tua kecil kurus di depannya memotong halus. "Waktu kau datang tadi, kau bilang
jumlahnya ribuan ekor."
"Mereka yang bilang. Kukira, mereka melebih-lebihkan,"
Lurah Joko memberengut.
'Tidak mustahil mereka benar," bekas gurunya bergumam.
"Satu petak sawah."
"Lima petak," tukas Lurah Joko.
"Salah seorang pegawaiku telah pergi memeriksa tempat itu kembali. Ternyata ada lima petak
yang hancur dimakan hama"
"Dimakan lintah."
"Eh. Eyang percaya lintah makan batang padi?"
"Lintah biasa, tidak. Tetapi lintah-lintah yang merenggut nyawa Salbiah dan menciderai beberapa
orang lain itu, aku percaya berada di bawah pengaruh dan kekuasaan roh jahat."
Tubuh kurus itu tampak tegang.
"Roh jahat dapat berbuat apa saja."
Lurah Joko mencicipi tehnya.
"Lima petak sawah,"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Ia berdesah lirih.
"Dan semua itu bekas milik si Dudung."
"Dudung. Siapa dia?"
"Orang yang juga dulunya pemilik rumah tempat Arpan ditemukan mati...."
"Rumah baru itukan punya...."
"Rumah sebelumnya, Eyang. Rumah tua. Rumah pembawa sial itu."
'Rumah yang merenggut empat nyawa manusia. Begitu kau bilang beberapa hari yang lalu. kalau
tak salah."
"Lima. Kalau diurut ke belakang. Dudung mati di rumah itu,"
Lurah Joko memperbaiki.
"Dudung lagi. Apa yang membuatmu tertarik pada orang itu?"
"Banyak yang bilang, sebelum ia pindah ke daerah kami. Dudung itu di tempat asalnya konon
dikenal sebagai penyihir. Tukang teluh. persisnya."
Lurah Joko mendecap-decap, tak senang.
"Setahuku, ia berperilaku baik dan sopan selama ia tinggal dengan kami. Sayang aku tak bisa
mencegah penduduk yang berusaha memencilkan dia, karena takut ditenung. Jarang orang mau
datang ke rumahnya. Dan tak ada yang mau menggarap sawahnya. Ia mengerjakannya sendiri.
Dibantu anak gadisnya. Ia duda, supaya eyang tahu. Isterinya telah meninggal ketika mereka masih
tinggal di kampung asal. Sempat juga aku kasak kusuk sana sini, dan besar kemungkinan istrinya
itulah yang sebenarnya tukang teluh. Isterinya mati dikeroyok penduduk kampung mereka, menyusul
beberapa musibah dan penyakit menular yang melanda kampung itu. Suatu hari, Dudung jatuh sakit.
Sakitnya parah sekali, Eyang. ia terbaring saja di tempat tidur sepanjang hari dan malam. Hanya
satu dua yang mau menjenguk. Anak gadisnya bilang padaku; ayahnya terserang sakit lumpuh.
Dengan sendirinya gadis itu terpaksa...."
"Siapa nama anak gadis Dudung itu, Joko?"
"Nurjanah."
"Nama yang kurang enak di telinga,"
Si tua kurus geleng-geleng kepala.
"Tetapi ia anak baik, Eyang. Cantik. Lembut. Sayang, nama buruk orangtuanya ikut membuatnya
tersisihkan. Ia jadinya sangat pendiam. Dan selalu murung. Ada juga satu dua pemuda yang berusaha
mendekatinya. Tentu saja sembunyi sembunyi. Takut ketahuan orangtua mereka, atau penduduk lain
yang membenci anak beranak itu. Mungkin Nurjanah tahu pemuda pemuda itu cuma iseng dan
menginginkan kecantikannya saja, tanpa mau bertanggungjawab. Ia mengusir mereka. Akibatnya.
musuhnya bertambah."
Lurah Joko menarik nafas. Prihatin. seakan Nurjanah itu anak gadisnya sendiri.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Apa yang dikerjakan Nurjanah setelah ayahnya sakit?" tanya tuan rumah. tertarik.
"Mengurus ayahnya. Hanya mengurus ayahnya. Ia tak berani pergi ke sawah sendirian. Eyang kan
maklum. Ia seorang perawan. Tak punya teman."
"Hem hem. lantas?"
"Yah. Lantas, sawah mereka terlantar. Mata pencaharian mereka dengan sendirinya hilang pula.
Sakit ayahnya bertambah-tambah. Aku membantu juga sedikit-sedikit. Juga pengurus masjid di
daerah kami. Tetapi jangankan untuk makan. Untuk obat Dudung saja. hampir tak mencukupi.
Nurjanah mulai menjual satu persatu barang barang mereka. Termasuk perhiasan ibunya. Celakanya,
permusuhan dari orang lain, membuat barang-barang itu jatuh harga jauh di bawah pasaran.
Untunglah Rukmana datang menolong. Ia membeli barang-barang itu dengan harga lebih memadai...."

"Rukmana. Siapa pula itu?"


"Suami Salbiah. Eyang."
"Oh, ya. Ya Rukmana. Suami Salbiah. Maaf. Aku lupa."
Berlagak pula eyang-ku ini. pikir Lurah Joko menahan senyum, ia belum pernah memberitahu
nama suami Salbiah kepada orangtua itu.
"Berapa lama sakitnya si Dudung itu?"
"Berbulan-bulan. Eyang. Aneh juga. Padahal tubuhnya tinggal kulit berbalut tulang. Jangankan
makan. Minum pun susahnya bukan main. Ahhh, lantas orang pun semakin percaya ia itu terkena
kutuk. Sebagian penduduk ingin mengusir Dudung dan anaknya dari daerah kami. Untunglah dibantu
pengurus masjid, aku dapat menahan kemarahan penduduk. Itu pun dengan janji, aku menyetujui
Dudung dan anaknya harus pindah begitu Dudung sudah sembuh."
"Dan, ia tak pernah sembuh."
"Ia tak pernah sembuh," keluh Lurah Joko, mengiyakan.
"Hidup mereka semakin morat marit. Sawah mereka lalu ditawarkan pada Rukmana. Uang
penjualan sawah itu pun lama-lama habis pula .Menyusul rumah. ikut dijual dan diambil alih oleh
Rukmana...."
"Baik hati benar si Rukmana itu," gumam tuan rumah sambil melinting tembakau dengan kertas
papier. Tembakau dan papier itu tentu saja oleh-oleh yang dibawa Lurah Joko. Harganya murah sekali.
Tetapi itu lebih baik. Ketimbang membawa rokok atau Kueh-kueh mahal. Bisa sang guru cemberut.
"Lintingkan aku satu, Eyang."
"Eh? Katamu anti..."
Mata orangtua itu mengawasi tamunya. Mata tua tetapi sinarnya begitu tajam dan berpengaruh.
"Setelah melihat mayat Salbiah, aku sudah menghabiskan tiga batang rokok, Eyang."
"Kasihan," rungut gurunya. Tembakau lintingnya ia sulut, dihisap dengan nikmat. ia tidak
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
melintingkan yang baru untuk tamunya. Ia cuma berkata:
"Minumlah tehmu."
Lurah Joko mengumpat dalam hati, ia minum tehnya. dan kemudian berpikir maksud orangtua itu
baik. Agar Lurah Joko tidak kecanduan.
Matahari naik semakin tinggi. Jauh di lembah, di bawah rumah itu, pucuk pepohonan cemara
menimbulkan perasaan tenteram di hati. Sungai yang meliuk-liuk bagai ular tengah merayap keluar
dari sarang, airnya berkilau-kilauan dijilat cahaya matahari.
Seekor burung gagak terbang lalu melewati beranda. Si kurus kecil memandang tak tertarik.
"Baik benar si Rukmana itu," gumamnya pelan. Mengulangi apa yang tadi ia ucapkan.
Lurah Joko maklum.
"Kecurigaan kakek tidak berlebihan," ia mengakui.
"Mengapa harga pembelian harta benda Dudung, memadai. Tetapi sebagian besar menurutku
dianggap sebagai pembayar hutang. Plus bunganya. Tahu berapa bunganya, Eyang?"
"Lima persen," bekas gurunya menebak.
"Tiga puluh, Eyang. Tiga puluh persen."
"Lintah darat!"
Tubuh kurus itu terlonjak di kursinya. Tangannya tanpa sengaja membentur tepi meja. Terdengar
sesuatu menggelinding lalu jatuh berderai di lantai.
"Dan si lintah darat itu telah membuatku rugi sebuah cangkir yang mahal,"
Tuan rumah memberengut, kesal.
Isterinya segera berlari-lari datang.
Dengan cepat ia bersihkan pecahan cangkir di lantai. Sebelum menghilang, ia mengintip kuatir.
Kali ini, ke arah suaminya.
"Lintah darat,"
Si suami yang tak perduli kekuatiran istrinya. bergumam serius.
"Kau tahu, joko?"
"Apa. Eyang?"
"Lintah darah. Apa kata lain untuk lintah darat?"
"Pemeras."
"Bukan. Yang kumaksud. dalam arti kata harfiah."
"Ooo. Pacat. Benar?"
"Ya. Pacat. Mendengar ceritamu mengenai kematian Arpan, aku sudah curiga. Pacat yang
menyebabkan kematiannya."
"Lubang di dada Arpan besar sekali, Eyang. Sebesar lenganku."
"Dan sebesar Itu pulalah pacat yang membunuhnya,"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Tuan rumah berkata acuh tak acuh.
"Apakah ada tanda-tanda serupa di tubuh Salbiah?"
"Ya. Di betis...."
Bibir Lurah Joko terasa kering kerontang. Ia menyambar cangkirnya. Ternyata Sudah kosong. Ia
letakkan cangkir itu pelan-pelan, takut ketahuan tuan rumah kalau ia sedang ketiban Sial.
orangtua itu sedang termenung.
Lama.
Kemudian:
'Jadi, si Dudung akhirnya mati," gumamnya.
Datar.
"Kok eyang tahu?"
"Lho. Bukankah kau bilang tadi. Di urut ke belakang. Korban yang mati di rumah itu jadi lima."
"Oh ya. Ya Memang eyang benar. Suatu hari Dudung kami temukan mati di kamar tidurnya.
Tergeletak di ranjang. Dengan wajah kering kaku, dan mata melotot. Seolah ia penasaran akan
sesuatu, menjelang ajalnya tiba."
"Kalian temukan. Kau bilang, kalian temukan. Mengapa?"
"Dudung kami temukan tiga hari setelah ia meninggal. Karena ada bau tak sedap datang dari
rumahnya. Lalu seorang tetangganya memanggil aku. Ditemani oleh...."
"Anak gadisnya. Nurjanah. Ke mana dia?" potong orang tua itu.
Tubuh kurusnya, tampak semakin kecil saja, karena mengkerut dalam di tempat ia duduk.
"Hilang!" jawab Lurah Joko, pendek.
"Begitu saja?"
"Begitu saja...." sahut Lurah Joko, dengan pikiran melantur.
Ya. Ke mana perginya anak gadis yang malang itu?
Apakah ia tak tahan menderita lalu diam-diam kabur meninggalkan ayahnya?
Atau barangkali. Ya. Barangkali, setelah ia lihat ayahnya mati pada akhirnya, Nurjanah hilang
ingatan. Mungkin ayahnya mati sekitar tengah malam. Karena sore harinya masih ada orang melihat
Nurjanah di jendela rumah. Nurjanah hilang ingatan. hem, hem, mungkin itulah yang paling cocok.
Lalu ia kelayapan keluar rumah. Entah ke mana ia pergi. tak seorang pun tahu. Tidak pula ada orang
melihatnya .
Tengah malam buta.
Tak heran, bukan?
Yang pasti, Nurjanah tak pernah kembali!
Kursi rotan berkeriut Nyaring. Lurah Joko melirik. Ia lihat tubuh kurus kecil itu bangkit lalu tegak
memandangi lembah. Arah matanya kesungai. Lalu ke matahari. Berulang-ulang orangtua itu berbuat
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
sama.
Lantas mendengus, kecewa:
"Aku telah salah mengatakannya"
"Mengatakan apa. Eyang?" tanya Lurah Joko heran.
"Itu. Pada Salbiah memang kuperingatkan agar menjauhi tempat yang basah. Basah berlumpur.
Tetapi siang hari. Ia kuSuruh mengurangi keluar malam. Entah ia ingat atau tidak pesanku. Entah ia
lakukan atau tidak pula. Nyatanya, roh jahat itu justru muncul di siang hari. Ini mencemaskan aku...."

Ada rahasia terpendam dalam nada suaranya.


Lurah Joko ingin tahu. Tetapi tidak berani bertanya. Entah mengapa, diam-diam ia ikut merasa
cemas. Bukan lagi malam Jum'at. Bukan lagi dari kegelapan. Roh jahat itu muncul di siang bolong! .
Tanpa sadar ia masukkan tangan ke saku kemeja.
Dan terjengah.
"Hem?"
"Barangkali ini dapat menolong,"
Lurah Joko mengeluarkan bungkusan kecil yang tadi ia ceritakan. Diletakkan di meja. Ia berharap
tuan rumah yang membuka bungkusan itu, karena ia tak suka melakukannya. Tetapi mata tua itu
hanya menatap. Tidak berbuat sesuatu.
Terpaksalah lurah Joko melepaskan kain pembungkus yang ia perlihatkan. Masih ada lapisan
pembungkus daun keladi. Dengan tangan gemetar daun keladi itu diungkapkan Lurah Joko, lantas
lekas-lekas menjauhkan tangannya
"Apa itu?" tanya tuan rumah dengan dahi berkerut.
Lurah Joko gelagapan. Sadar, gurunya merasa tidak senang. Sayang terlanjur sudah. Maka ia
menerangkan juga:
"Ini kuterima dari salah seorang yang mengurus mayat Salbiah. Dapat mencabuti dari kulit dan
daging tubuh Salbiah."
Ada enam ekor.
Semuanya sudah mati. Empat di antaranya menggelembung kecoklatan. Dua yang lain, gepeng
pucat.
"Buat apa kau perlihatkan bangkai lintah itu. Joko?"
"Eh... aku, ah!"
Lurah Joko menyerah.
Ia duduk terhenyak. Patah semangat. "Bangkai tetaplah bangkai.Joko,"
Orangtua di hadapannya bergumam hambar.
"Kita cuma dapat memeriksa. Melihat kalau-kalau ada sesuatu petunjuk. Atau sesuatu yang
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
tersembunyi dan tidak dapat dilihat mata biasa...."
Ia mengawasi tamunya dengan sorot mata kecewa.
Bertanya:
"Kau mengharapkan aku membangkitkan bangkai itu ya, Joko? Memanggil rohnya?! Lalu bicara
pada mereka?"
"Eyang, aku...!"
"Tak apa. Tak apa. Dapat kumengerti. Memang ada juga orang lain berbuat seperti itu. Mampu
berbuat seperti itu. Tetapi aku, Joko. Aku tidak diijinkan Tuhan menempuh ilmu sesat itu."
"jadi?"
Lurah Joko mengeluh.
"Aku tidak dapat memanggil roh. Aku hanya dapat mengenyahkannya. Dengan ijin Tuhan."
Sepi. Hening.
Akhirnya Lurah Joko menggeliat lalu bangkit dari kursi.
"Kukira aku harus pulang sekarang. Banyak tugas menungguku"
Ia menatap tuan rumah penuh harap. Mendesah:
"Eyang tidak sedang sibuk?"
"Kebetulan tidak."
Yang ditanya tersenyum manis.
Suasana tegang itu mereda melalui senyumannya.
"Kalau begitu...?"
"Kau terpaksa pulang sendirian, Joko."
"Wah...."
"Aku kurang berkenan. kalau diusir sampai dua kali."
orang tua itu cemberut. Mengingatkan Lurah joko atas sambutan Salbiah beberapa hari yang lalu.
Sebelum perempuan itu mati, karena mengusir bekas gurunya ini, atau karena....
"Tetapi tak usah kecewa, joko," ujar tuan rumah.
Ramah. Dan janjinya sungguh menyenangkan:
"Tak usahlah repot-repot memanggilku. Bila waktunya kurasa sudah tepat, aku akan datang
sendiri ke sana."
Lurah Joko dapat memahami.
Orangtua itu perlu bersemadi dulu.
Setelah permisi pada kedua tuan rumahnya, Lurah Joko melangkah ke jalan setapak menuju jalan
raya. Tetapi orang yang ditinggalkan, memanggil:
"Joko. Kau melupakan sesuatu."
"Ya, Eyang?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Bangkai-bangkai ini?"
Di tengah perjalanan pulang, Lurah Joko membuang bungkusan berisi bangkai lintah-lintah yang
menjijikkan itu.

*****

Delapan

Tujuh orang tengah berkumpul di ruang duduk rumah besar itu.


Selain Herman serta dua orang adik kandungnya, ikut hadir pula uwa dan paman mereka yakni
saudara kandung Salbiah .Kemudian dua orang saudara sepupu Herman, anak uwa-nya. Di tikar yang
tergelar tampak gelas gelas berisi kopi atau teh dan beberapa piring panganan kecil. Di tempat yang
sama dua malam sebelumnya, terbujur mayat Salbiah.
Suara mereka berdebat tidaklah terlalu keras. Sehingga pantulan suara orang mengaji dan
berdo'a di kamar tamu tetap terdengar dan tidak terganggu. Perdebatan itu berlangsung tenang dan
damai. Saripah toh sudah menerima bagiannya sebelum menikah dengan Arpan. Ia hanya sedikit ribut
meminta beberapa potong perhiasan almarhum ibunya. Dua orang saudara sepupu sama-sama
menyerahkan bagaimana kebijaksanaan orang tuanya. Uwa Herman tidak begitu ngotot. Ia sudah
cukup kaya. Tambahan sedikit dari peninggalan Salbiah tak berarti apa-apa.
Sang paman termasuk pengurus masjid.
Jadi ia hanya menuntut apa adanya.
"Toh, kalian anak anaknya yang lebih berhak,"
Ia berkata .
Sumarna-lah yang paling blingsatan.
"Aku menerima terlalu banyak," katanya. ribut.
"Aku tak senang. Aku hanya mau menerima apa yang menjadi hakku. Dan jangan lupa. Bang
Herman telah banyak membantuku selama ini. Mengapa pula sekarang aku harus menerima warisan
yang merupakan bagian dia?"
Orang paling tua dari ketujuh orang itu mengangguk setuju.
"Benar sekali apa yang dikatakan adikmu, Herman. Tidak usahlah keras kepala begitu. Ayah
kalian sudah lama meninggal dunia. Mengapa kau tetap masih membencinya?"
"Aku tidak membenci pribadi ayah, Uwa," jawab Herman.
Membela diri.
"Aku hanya tak suka caranya menambah kekayaan. Jadi apa yang ia tinggalkan untukku, tetap
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
saja tidak dapat kuterima"
"lalu?"
Wajah Sumarna merah padam.
"Rumahmu itu. Mengapa harus dijual? Mengapa sebagian hasil penjualannya harus dibagi antara
aku dan Ipah?"
Anak muda itu menggerak-gerakan tangan dan dengan mimik muka bagai cacing kepanasan.
lanjutnya:
"Bagianmu saja sudah sangat sedikit, Bang Herman. Tidak! Rumahmu tidak akan dijual oleh
siapapun juga."
"Rumahku,"
Herman tersenyum pahit.
"Jadi kalian semua setuju itu rumahku. Jadi aku berhak berbuat apa saja untuk rumahku, bukan?"
Semua terdiam.
Kecuali Sumarna. Dengusnya:
"Uang ibu tertanam di rumah itu. Bang Herman. Ingat apa katanya? Penanda kasih sayang. Mau
kau jual berapa kasih sayang ibu yang tulus ikhlas itu?"
"Dan Arpan."
Saripah buka suara sebelum Sumarna bernafas dengan tenang. Dengan wajah getir, Saripah
meneruskan:
"Arpan telah mati. Dan... sebelum ia mati, ia begitu tergila-gila terhadap rencananya merombak
rumah itu. Ia sangat keranjingan untuk memberimu sesuatu yang paling bagus dari semua apa yang
telah ia pernah buat. Kau akan mengecewakan suamiku, Bang Herman. Kalau ia tahu rumah yang
telah ia bangun dengan susah payah kau jual juga, betapa akan sakit hatinya di alam kubur...."
Air mata Saripah menetes.
Terkenang suami yang dicintainya. Herman tahu arti tetesan air mata Saripah. Ia pernah jadi
berandalan. Malah sempat masuk bui. Ia telah belasan tahun berjuang mempertahankan hidup yang
keras dan kasar.
Tetapi air mata.
Air mata Saripah melunakkan hatinya.
"Baiklah,"
Ia mengeluh, kalah.
"Aku tak akan menjual rumah itu."
Semua bernafas lega. Tetapi Sumarna kelewat berlebihan mengutarakan kegembiraannya. Ia
melirik ke arah Saripah.
Berseru riang:
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Lihat, Ipah. Ia mau juga menerima usul kita. Namun begitu, dari kita semua yang ada di sini.
tetap saja ia paling miskin...."
Ia mengangguk sopan setengah minta maaf pada Herman, lalu kembali berpaling pada Saripah. Ia
begitu bernafsu. Langsung saja menyerbu:
"Bagianmu sudah berlimpah, Ipah"
"Katakan saja Jangan berbelit,"
Saripah nyeletuk,
"Abang Herman tak jadi menjual rumahnya. Jadi ia tetap punya hutang padamu. Mana rumahnya
belum rampung. Mengapa tidak kau anggap lunas saja piutanganmu, mulai detik ini?"
Sumarna salah duga .
Herman mendelik. Tetapi terlambat sudah. Tenang dan datar, Saripah mengemukakan
pendiriannya:
"Mengenai hutang itu, ia boleh membayar kapan saja ia mau!"
Titik.
Uwa dan paman mereka saling lirik, lantas tersenyum. Sang Uwa bergumam:
"Kukira sudah waktunya kamu pulang."
Paman mereka mengatakan akan tetap tinggal bersama istrinya Untuk berdo'a demi keselamatan
mereka semua. Dan membantu apa-apa yang dapat dibantu.
Pertemuan keluarga itu berakhir.
Saripah pergi buang air ke kamar mandi. Lalu kembali masuk ke dalam membuka sebuah pintu
tertutup. Noni tertidur lelap diranjang neneknya. Di dekatnya rebah pulas seorang anak laki-laki usia
tujuh tahun, keponakan bungsu Saripah. Tak sampai hati mengusik kedua orang anak itu .Saripah
memilih tidur di lantai. Di situ sudah tergelar kasur cadangan .
Malam semakin larut
Angin berhembus di luar rumah. Lemah dan berbau pengap. Sudah beberapa hari hujan tak jadi
turun. Udara didalam kamar tidur itu sedikit gersang tetapi tidak terlalu menggerahkan. Saripah
menelan sebutir pil tidur.
"Arpan-ku, Sayang!"
Ia merintih, lalu berbaring di kasur cadangan.
Pengaruh pil tidur itu segera terasa.
Saripah menghitung mundur: "... 25 -24 23."
Angin keras menerpa jendela tiba-tiba. Saripah membuka kelopak matanya .Menatap kaca jendela
.Tirainya agak tersingkap. Gelap di luar. Sinar rembulan merembes masuk. Lemah. tak berdaya
"22 -21 -18-. 12"
Hitungan Saripah mulai kacau.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Mengapa kamar tiba-tiba terasa sangat dingin?
9 -8 -7...
Saripah merasa lemah sekujur tubuh. Kantuk menyerang semakin hebat.
4 -3...
Angin menerpa jendela lagi. Saripah sudah terlelap. Sesuatu tampak mengambang di luar jendela.
Dari kegelapan muncul sepasang titik kemerahan. Menyerupai titik api. Semakin dekat ke kaca
jendela, semakin berbentuk titik api itu.
Ternyata sepasang mata merah menyala.
Seraut wajah pucat tetapi berkeriput menanggung azab sengsara melayang semakin dekat ke
jendela. Noni mulai merengek. Kepala tanpa tubuh di balik jendela, menyeringai seram. Gigi taringnya
putih gemerlapan. Lidahnya semerah darah.
Hiihhhh....
sayup-sayup ada desah lirih tertiup angin masuk lewat ventilasi jendela .
Mendadak orang yang sedang mengaji di depan memperkeras suaranya. Orang itu rupanya baru
saja disuguhi segelas lagi kopi kental hangat. Tanpa mengetahui apa yang tengah berlangsung tidak
jauh dari kamar depan itu.
Di luar jendela kamar tempat Saripah,anak dan ponakannya terlelap, seketika itu juga terlihat
gerakan meliuk yang keras. Wajah pucat berkulit keriput itu menjauhi jendela, disertai keluhan perih.
Gaung ayat-ayat suci membuat kepalanya Seakan meledak. Panas bagai bara api. Benda misterius itu
terbang tinggi. Hilang di rimbun pepohonan selama beberapa menit.
Kepala itu hinggap di salah satu dahan pohon yang gelap. Sepasang matanya yang merah
bersinar-sinar merah. Sel-sel jarum otaknya menggerakkan mulut yang kering hitam, dan
memperdengarkan bisikan setajam sembilu:
"Ssssial... saaakit.. nyaaahhh...."
Terdengar bunyi nafas naik turun. Sesak .
Kebanyakan kopi buat orang tertentu dapat menyebabkan ia tetap terjaga .Tetapi untuk orang
tertentu pula, justru mendatangkan kantuk lebih cepat. Tak heran kalau suara gaung mengaji dari
rumah besar itu kembali merendah dan mulai tersendat-sendat.
Bayangan hitam melesat keluar dari pohon.
Kepala tanpa tubuh itu bermaksud menerobos masuk melalui ventilasi tentu saja dengan
melenturkan kepala sedemikian rupa.. ketika ia tertegun. Cahaya yang samar di kamar tidur tadi
memperlihatkan tanda-tanda ada orang bergerak di dalam. Wajah di luar, mengintip ke dalam.
Herman sedang mengawasi Noni.
Mengusap-usap rambutnya, supaya anak yang merengek dari tadi itu tertidur kembali. Ia telah
mendengar Noni menangis lalu masuk diam diam. Meraba leher anak itu, ia menarik nafas.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Panas lagi,"
Herman berpikir.
"Demamnya belum sembuh juga rupanya...."
Sel-sel otak di kepala tanpa tubuh yang mengintip dari luar jendela, menyeringai putus asa. Ia
mampu meninabobokkan siapa saja yang ada di kamar itu.
Tetapi Herman...!
Herman duduk di pinggir tempat tidur. Noni sudah terlelap kembali. Namun Herman tak beranjak
dari tempatnya. Ia ingin berjaga-jaga, kalau kalau Noni bertambah tinggi suhu badannya.
Wajah di luar jendela, bertambah keriput. Bertambah pucat.
Dengan desahan tajam yang mendirikan bulu kuduk, wajah itu lenyap lagi dalam kegelapan. Tidak
menyelinap kerimbunan pohon tadi. Melainkan terus saja melayang di bawah sinar rembulan.
Berpindah dari satu rumah ke lain rumah. Lantas memperdengarkan ratapan kematian yang semayup
sampai.
Lolong anjing yang lirih, memusiki ratapannya.
Sudah dua malam berturut-turut mangsanya menginap di rumah lain. Dua malam berturut turut
banyak orang mengaji di dekat mangsa yang segar bugar itu. Malam ini tidak segegap gempita
malam sebelumnya. Tetapi laki-laki yang ada di kamar itu,
hhhheeeeeehhhh!
Bayangan hitam itu terus saja melesat.
Rambutnya yang tergerai lebat dan panjang, berkibar-kibar. Liar. Mata merah menyala semakin
ganas.
"Haus! Haus! Aku tak tahan lagi...!"
Terdengar suara merintih kesakitan di antara tiupan angin malam yang dingin membeku.
Lampu belakang salah satu rumah penduduk. tiba-tiba menyala terang. '
Penghuninya sedang bertengkar berbisik, di seling rengekan tak sabar seorang anak kecil.
" aku ngantuk. Harus masuk kerja pagi-pagi sekali. Kau bawalah Jajang ke kakus,"
Suara seorang laki-laki, bermalas-malasan.
"Dasar!"
Berengut suara perempuan. Sambil membopong anaknya keluar menuju pekarangan belakang,
perempuan itu menggerutu:
"Dan, kau. Berak tengah malam!"
Mendekati sumur, anak laki-laki yang Juni nanti berusia tiga tahun itu dibiarkan sang ibu
berjalan sendiri. Merasa terbebas, anak itu langsung jongkok.
"He. Jangan di sini. Dan buka celanamu dulu!" hardik si ibu.
"Enggak tahan, Mah," jawab si anak satu kata demi satu kata tetapi rangkaian kata itu sangat
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
fasih. Tidak cadel.
Sesuatu melayang di atap.
Anak itu melihatnya.
"Mah?"
Sang ibu yang tengah membukakan celana si anak. mendengus:
"Uh?"
"Ada burung"
"Iya. Burungmu!"
Ibunya tertawa juga, mendengar ucapan si anak.
"Burung!"
Si kecil ngotot.
"Iya-iya..lbu tahu. Ayo, jongkok tuh di sana. Di lubang kakus!"
"Mah,..."
"Katanya mau berak!"
"Bu-rung di...."
"Burung lagi! Burung lagi! Anak nakal, mau berak kagak?!"
Sang ibu mencak-mencak. Mula mula blingsatan marah. Kemudian gerakannya berubah semakin
perlahan.
"Cepatlah, Jang." desahnya, lemah.
"Ibu ngantuk nih...."
Lantas perempuan itu menguap. Panjang.
Waktu menguap, lumrah kelopak matanya terpejam. Maka, meski ia tertengadah ia tidak melihat
benda aneh kehitam-hitaman meluncur dari atas langsung ke arah mereka. Jajang kecil melihat
sepasang mata merah semerah saga. Dasar anak, bukannya takut, ia malah merentangkan kedua
lengan untuk menyambut.
"Ke sini... ke sini... ayo!"
Lalu tiba-tiba anak itu dapat menangkap lebih jelas wajah mengerikan yang melayang mendekat.
Mata merah menyala. Lidah lebih merah lagi. terjulur-julur keluar. Lalu taring-taring runcing,
mengancam.
"Mamaaah!"
Anak itu menjangkau ibunya .
Angin kosong yang terpegang. Rupanya ibunya sudah terkulai di tanah lembab basah. Jatuh
tertidur.
Si anak meronta-ronta melepaskan sesuatu yang melekat sangat kuat di lehernya. Saking takut
dan terperanjat anak itu tak mampu lagi bersuara. Ia terus bersikutet dengan makhluk yang hinggap
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
di pundak dan merasakan bibir panas memanggang kulit lehernya. Si kecil tidak tahu arus apa yang
mengalir sangat cepat dalam tubuhnya. Mengalir naik ke atas semakin banyak dan banyak lalu
bermuara pada lehernya. Tangannya yang memegang seonggok rambut hitam panjang makin lemah.
Anak itu lantas terkulai.
Kepalanya membentur tepi sumur.
Si kecil terjerembab jatuh. Membawa serta kepala mengerikan yang lengket seperti lintah pada
lehernya.
Suara berisik di luar sampai ke dalam rumah. Si laki-laki yang tadi merepeti istrinya. mendengar
suara anaknya memanggil:
"Mamaaah!"
Ia berlari keluar. Naluri kebapakan membisikkan sesuatu telah mengancam keselamatan anaknya.

Mendengar suara langkah-langkah kaki di dalam rumah, makhluk yang tengah memuaskan
dahaganya itu secepat kilat melepaskan bibir dan sedotan lidahnya di leher si anak. Lebih cepat lagi,
melesat tinggi. Terbang menuju rembulan, kemudian sirna tak berbekas.
"Nina? Jajang? Hei, apa yang kalian..?"
Si ayah berlari-lari ke dekat sumur.
Ia menyambar tubuh anaknya dari tanah, memeluknya kuat-kuat dan panik melihat dahi anaknya
mengeluarkan darah.
Apakah istrinya telah terluka pula?
"Nina! Nina... he, bangun. Bangun! Mengapa kau tidur di sini?"
Perempuan itu bangun perlahan-lahan.
Kucak kucek mata, lantas menjerit ketika melihat dahi anaknya mengucurkan darah.
"Kenapa dia?"
"Kenapa! Goblok! Dungu! Ibu tak tahu diuntung! Tidur tak pandang tempat. Lihat. Lihat anakmu!
Kau biarkan ia jatuh terpeleset...!"
Beriring-iringan mereka lari ke dalam rumah.
Si kecil dibaringkan di tempat tidur. Luka di dahinya dibersihkan. Dicuci dengan air garam. Lalu
dikasih obat merah .Dipoles minyak jelantah .Setelah itu lukanya diperban dan ditutup dengan plester.
Sang ibu tak henti-hentinya menangis gegerungan.
Ayah si anak tak perduli.
Ia membuka semua pakaian anaknya. Memeriksa kalau-kalau ada luka yang lain. Setiap jengkal
ia teliti. Termasuk leher. Leher anak itu agak merah, namun tidak tampak bekas luka. Mungkin
terbentur pula, pikir si ayah dan menggosok leher anak itu pakai minyak angin.
Beberapa menit kemudian, si kecil meringis. . Mulutnya terbuka:
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Bu... rung..."
Ibunya menjerit lagi.
"Dari tadi ia mengatakan..."
"Diamlah!" bentak si suami.
"Kau dapat membangunkan tetangga dengan jerit tangismu yang memalukan itu. Bantu aku
memasangkan baju si Jajang."
"Badannya panas sekali,"
Si istri berdesah cemas selagi memasangkan pakaian bersih ke anak laki-lakinya.
"Tenanglah. Besok juga ia sembuh."
"Kita bawa saja ke Puskesmas...."
"larut malam begini?"
Si suami mengeluh. Ia perhatikan anaknya dengan perasaan iba.
Jajang masih mengerang-erang, tetapi sudah mulai tidur.
Menjelang pagi suhu badannya menurun. Dan ibunya tidak heran ketika anak itu mengigau:
"Ada bu-rung.... Burung naga...."

*****

Sembilan

Hujan bagai tercurah dari langit.


Lalu lintas di luar bar tampak sepi. Lengang. Saat itu Sabtu siang, akhir minggu kedua bulan
Januari. Seorang pejalan kaki lari menghindari terpaan badai. Tempat berteduh terdekat cuma bar itu.
Ia masuk dengan pakaian basah kuyup.
Dari mejanya, Laila memperhatikan pria itu berdiri bimbang di ambang pintu. Tidak segera
mencari tempat duduk. Mata si pria berpindah pindah mengawasi tempat macam apa yang ia masuki.
Tampak pria itu risih menghadapi suasana eksklusif dalam bar yang berperabotan serba mewah. Di
sepanjang lemari rak makanan serta minuman tercium bau serba mahal.
Untuk orang berpenampilan sesederhana dia, mungkin kurang tepat masuk ke tempat serupa itu.
Pertengahan bulan begini.
Namun toh ia mengambil tempat duduk juga. Dekat pintu.
Pelayan segera mendatangi. Melirik tak senang ke lantai di sekitar pria itu. Lantai itu digenangi
air yang jatuh dari celana maupun sepatu si pria.
"Pesan apa, Bung?" Bukan:
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Pesan apa. Tuan?"
"Teh manis."
Laila terkejut. Tangannya ada yang menjamah. Ketika berpaling ia lihat senyum kecil bermain di
bibir Sumarna.
"Oh,"
Laila mengeluh.
"Kau melamun dari tadi," bisik Sumarna, lembut.
"Pria itu bukan tipemu. Aku tak cemburu. Karena tahu kau menjadikan kehadiran pria itu sebagai
pelarian dari kegelisahan hatimu."
"Kau banyak omong. Nana."
"Karena belakang ini kau semakin pendiam."
Sumarna menusukkan sinar matanya yang tajam langsung ke bola mata Laila.
"Matamu pudar sekali. Tak bergairah."
"Sejak dari rumah sudah kubilang. Aku tak enak badan," kata Laila getir.
Ia dekatkan sloki Martini ke bibirnya yang kaku. Meneguk kaku pula. Kerongkongannya terasa
hangat. Tetapi hatinya tetap dingin. Membeku.
"Kekeliruan apa yang telah kuperbuat, Laila?"
"Tak ada."
"Tetapi tampaknya kau tengah berusaha menjauhi aku...."
"Ah!"
Laila meletakkan sloki minumannya. Beralih pandang keluar jendela yang basah. Tak satu apapun
yang mampu ia lihat .Matanya nanar. Nanar sekali. Dalam cuaca seperti ini ia ingin sendirian. Ingin
berkurung di kamarnya .Tetapi Sumarna tidak bersalah. Waktu mereka meninggalkan rumah Laila,
cuaca masih cerah.
"Laila?"
"Mmm...."
"Apa yang ada di benakmu yang sebeku salju itu?"
Suara Sumarna lembut. Namun tusukannya tajam. Mengiris-iris. Laila tetap saja menatap ke luar
lewat jendela yang ditetesi butiran-butiran air hujan.
Di benakmu yang sebeku salju!
Lebih dua tahun ia bergaul intim dengan Sumarna. Hanya kemunafikan saja yang ia lakukan,
ucapkan, berikan pada Sumarna. Sedang pemuda itu begitu tulus hati. Dua tahun lebih. Dan Sumarna
terlalu tulus hati untuk menyadari bahwa Laila telah keliru melangkah sejak semula
"Aku...."
Laila meneguk habis minumannya, untuk menggapai keberanian yang hampir pergi kabur.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Aku harap kau tidak berprasangka buruk."
Ia berbisik getir.
Sumarna tercenung.
Menikmati deburan jantungnya yang lebih keras dari biasa .Kenikmatan paling akhir. yang akan
ia pilih.
"Haruskah aku berjanji?"
Laila diam.
"April nanti aku tepat 30 tahun,"
Sumarna berkata Di bathin: dan Laila baru 21. Itukah sebabnya?
Sumarna menelan ludah
"April nanti. Itulah maka kupilih pernikahan kita berlangsung pada bulan yang sama. Kuanggap
sebagai hadiah ulang tahun. Paling indah. Mungkin juga paling buruk: April nanti aku berhenti
membujang,"
Sumarna tertawa lunak.
Tapi segera tawanya ia tahan, manakala dilihatnya wajah Laila berubah pucat. Gadis itu
menggigit bibir dengan keras.
"Laila?"
Sumarna menggenggam tangan kekasihnya .
"Ulang tahunmu harus tetap dilangsungkan. Nana." ujar si gadis.
Tersendat.
Makin keras deburan jantung Sumarna.
Ulang tahun. Hanya ulang tahunnya.
"Bagaimana dengan hadiahnya?"
Ia bertanya hati-hati. Dan tiba-tiba sadar, pertanyaan itu mestinya ia simpan untuk dirinya
sendiri. Karena ia sudah meraba jawaban Laila.
"Kita tunda saja. Oh, Sumarna!"
Dengan berlinang air mata, laila berpaling menatap pemuda di sampingnya.
"Aku tidak bermaksud mengucapkannya. Aku...."
Wajah Sumarna tegang.
"Kau telah mengucapkannya!"
Ia merintih. Dengan emosionil ia lepaskan tangannya dari genggaman Laila. Ia ingin
membalikkan meja di hadapannya. Ingin menyambar sebuah kursi dan melemparkannya ke jendela.
Denyut jantungnya bagai terhenti. Dan ia masih tetap hidup. Masih tetap bernafas.
Atau sekedar mimpi celaka belaka?
Ujung kakinya ditekan kuat ke ujung sepatu.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Sakit.
Sumama tidak sedang bermimpi.
"Sumarna?"
Laila menatap cemas.
Sumarna diam.
"Ayolah. Kita pulang saia. Ah, ah. Bukan pulang."
Laila kalang kabut sendiri.
"Maksudku, kita teruskan niat kita. Nonton. Film apa tadi? Di bioskop mana? Apakah kita belum
terlambat.?"
Sumama berdiri.
Ia berjalan dengan kepala tegak ke pintu. Terjengah, Laila membuka tas. Tanpa menghitung lagi.
ia letakkan beberapa lembar uang di meja mereka lantas berlari mengikuti Sumarna. Waktu ia lewat,
tanpa sengaja menyenggol meja dekat pintu. Meja tergetar. Gelas berisi teh manis di meja itu,
tumbang. isinya tertumpah membasahi kemeja pria yang duduk di belakang meja itu.
Pria itu diam saja .
"Orang-orang kaya. Biasa,"
Ia mengeluh dalam hati. Di mobil, Sumarna menjauhi setir. Terlintas dalam benaknya: Mengapa
aku masuk ke mobil ini.
Inikan mobil dia!
Tetapi Laila sudah memegang kemudi. memutar kunci kontak dan mobil itu pun melaju ke jalan
raya yang licin dan basah. Mobil melaju tak tentu arah. Dan Laila memegang kemudi dengan hidung
terisak-isak.
"Nana. Bicaralah. Bicaralah. Katakanlah apa saja jangan membuatku tersiksa begini," tangis
Laila.
"Kalau bulan April buatmu sangat...."
"April,"
Mendadak Sumarna buka mulut.
Denyut jantungnya sudah terasa lagi.
"Ya, Nana? Ya? Ya?"
Sumarna mengawasi jalan kelabu di depan mereka. Jalan yang diterpa hujan badai habis habisan.
Dan Sumarna tidak ingin berhabis habisan, ia mencintai Laila. Sesungguh hati. Setelah April, masih
ada bulan-bulan lainnya
"Jangan berzig zag," ia coba tersenyum.
"Bisa membahayakan kita."
"Aku gugup, Nana."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Tenanglah."
Mobil melaju lebih perlahan sekarang.
Sukar sekali melakukan hal yang sama dengan jiwa kita sendiri!
"Tidak marah lagi?"
Laila melirik.
"Aku berhak kau damprat, Sumarna." .
"Marilah kita bersikap dewasa," kata Sumarna.
"Sebentar tadi, aku sempat jadi anak kecil yang tolol. Akulah yang pantas didamprat, Laila."
"Aku gembira mendengarnya,"
Laila menarik nafas lega.
Heran. Terpaan hujan perlahan-lahan ikut pula mereda. Betapa senangnya.
Tetapi, bukankah sudah waktunya bersenang-senang?
"Laila?"
"Aku masih di sini, Nana."
"Boleh kugenggam tanganmu?"
"Kok lucu!"
Laila tertawa. Tawa munafik yang sama selama dua tahun lebih.
"Ambillah,"
Ia ulurkan lengan kirinya yang segera disambut Sumarna dengan genggaman kuat. Tangan
pemuda itu terasa panas dan gemetar. Bibirnya ketika mencium tangan Laila, lebih panas lagi. Lebih
gemetar. Laila hampir menangis kembali. Tetapi ia sudah lama bermain sebagai aktris kawakan.
"Hai. Hai. Jangan dihabiskan sekarang!" katanya dengan tawa berderai.
Sumarna justru menggigit.
"Au!"
Laila terpekik. Manja.
"Bulan apa, Laila?"
Kembali Laila terpekik. lebih keras. Kali ini, dalam hati.
Bulan apa?
Tentu saja. Kalau bukan April, lantas bulan apa?
Laila hampir gila memikirkan jawabannya.
Ajaib, justru pertolongan datang dari mulut Sumarna:
"Baiklah. lain kali saja kita rembukkan mengenai bulan apa yang paling cocok pernikahan kita
dilangsungkan...."
Sumarna diam sejenak. Kemudian:
"Akulah penyebabnya, laila?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Penyebab apa, Nana?"
"Kau mundur."
"Sudah kubilang, tidak."
"Ibumu? Papamu?"
"Mereka menyenangimu. bukan? Apalagi selama ini sudah kau buktikan sendiri. Papa
memperlakukan kau bagai anak kandung sendiri...."
Laila tersenyum manis. Ia ingat papanya. Yang tak beruntung punya anak laki-laki. Ia ingat pula
hutang budi papanya, yang tak pernah ter-balaskan. Menerima kehadiran Sumarna, hampir-hampir
jalan keluar satu-satunya.
Setelah lama terdiam, Sumama berkata bingung:
"Kalau begitu, tinggal dua hal penyebabnya. Laila."
"Oh. ya?"
"Satu. Kematian yang susul menyusul dalam keluargaku."
Sumarna bergumam murung. Laila terpaksa mengusap paha pemuda itu, untuk menentramkan
hatinya.
Ujar Laila bersimpathi:
"Semua orang akan mati juga. Nana."
"Tidak dengan cara Arpan mati. Cara ibuku mati."
"Duh. Nana. Mengapa kita tibak ngobrol soal lain saja. Misalnya...?"
"Kematian yang mengerikan. Dengan sejuta desas desus yang lebih mengerikan lagi,"
Sumarna berkata tak perduli.
"Itulah sebabnya, Laila? Desas desus tentang kutukan masa silam? Tentang roh jahat yang
meminta tumbal?"
"Hentikan!"
Laila menggigil.
"Kau membuatku takut, Sumarna."
Laila membelokkan mobil. Membelokkan begitu saja ketika ia bertemu simpangan tanpa punya
tujuan tetap. Lanjutnya:
"... setiap orang menanggung dosa dosanya sendiri. Persetan dengan dosa turunan! Dan roh
jahat. Roh jahat hanya ada di film-Film horror!"
"Itu pendapatmu sendiri?"
"Aku. Dan mama. Dan papa,"
Laila meyakinkan.
"Jadi hentikan saja omong kosong yang tak sedap itu. Kau punya dua kemungkinan. bukan?"
"Ah. Ya. Sebab kedua kau menunda perkawinan kita. Kau kecewa. Mamamu kecewa. Papamu
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
kecewa!"
"Terhadap apa?"
"Penolakan Herman!"
Laila tergetar. Aneh, masih mampu ia tertawa. Ujarnya:
"Aku tahu apa maksudmu. Herman tidak menolak. Bisnis yang ditawarkan ayah, tetap diterima
Bang Herman. Selama masih dalam batas batas kewajaran. Lalu...?"
"Awas!"
Sumarna berteriak.
Laila membanting setir ke kanan. Mobil zig zag dengan keras dan hampir saja membentur
tembok di pinggir jalan. Tetapi dengan terampil Laila berhasil juga menguasai kemudi. Laju mobil
terkendali. Laila menghela nafas panjang. Melirik pucat ke kaca spion. Lantas mengumpat:
"Anjing. Cuma anjing. Kukira orang yang menyeberang." "
"Anjing juga makhluk Tuhan. Laila."
"Syukur kau peringatkan,"
Laila berterimakasih. "Kau lihat anjing itu tadi? Hitam sekali. Dari kepala sampe ke kaki. Aku tak
suka warna serba hitam begitu. Mengingatkan aku pada Suasana dukacita di pekuburan."
"Kau membenci upacara kematian?"
"Benci sekali!"
"Kalau begitu, semoga aku yang lebih dulu mati sebelum kau.-."
Sumarna tertawa geli.
"Jadi kau tidak harus membenci upacara penguburan jenasahku!"
"Sudah! Sudah!"
Laila mendengus. Dongkol.
"Tak baik omong sembarangan. Bisa termakan sendiri."
"Kata siapa?" _
"Moyangku."
"Tetapi aku tetap berharap. aku lebih dulu mati dari kau. Jadi, aku pun tidak harus menghadiri
pemakamanmu. Bila kau meninggal dan aku tetap hidup, aku lebih suka terjun bersamamu ke liang
kubur. Agar roh kita...."
"Nana...!"
Laila merajuk.
'Tak usah jengkel,"
Sumarna tertawa renyai. "Aku cuma ingin mengalihkan pikiranku yang sedang kusut ini."
"Semua akan berjalan lancar. Nana"
"Mestinya begitu. Tetapi Bang Herman memang keterlaluan. Niat baik papamu ikut andil
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
membangun rumah Bang Herman secara tak langsung, ditolaknya mentah-mentah. Aku lantas
berpikir saudaraku itu memang orang tak berperasaan!"
Coba Herman mendengarnya, pikir Laila.
Dan Laila sakit hati.
"Laila..."
"Hem?"
Suara Sumarna terdengar serius:
"Kau tega membiarkan aku nanti malam tidak bisa tidur?"
"Eh. Apa pula ini?"
"Semua dugaanku menurutmu salah. Tak ada satu pun yang benar. Kalau demikian, mengapa tidak
kau sendiri yang mengatakan?"
"Mengatakan apa, Sumarna?"
"Penundaan waktu."
Sumarna melihat ke sepanjang jalan yang mereka tempuh. Rumah rumah penduduk, kebun,
petak-petak sawah yang menghampar, sungai yang mengalir deras. "Kulihat saat ini kau pun dengan
sengaja mengantar aku langsung pulang ke rumahku. Aku cukup dewasa untuk tidak berbuat hal-hal
yang diperbuat pemuda lainnya yang sedang patah hati. Tanpa kau antarpun."
"Kau masih mempersoalkan itu!"
Laila mulai jengkel.
"Sepanjang kau tidak memberitahu masalah sebenarnya, Laila. Aku tidak ingin jadi pecundang
tanpa punya kesempatan membela diri."
"Tadi kau sudah setuju melupakannya."
"Soal rembukan waktu, memang. Mengenai sebab musababnya, tidak."
"Oh,"
Kelopak mata Laila bengkak rasanya.
"Rumahku sudah dekat. Laila. Kemudian kaupun akan segera pulang. Dan seperti biasa, semenjak
ibuku meninggal. Kau enggan kuajak kencan. Senyummu pun sangat mahal. Apa salahnya
berbuka-buka kartu sekarang saja. Laila?"
"Kau... kau marah lagi."
"Maaf."
"Sebentar tadi kita Sudah berbaikan,"
Laila menggigit bibir keras-keras.
"Belum pernah kau seperti sekarang. Tidak berpendirian..."
"Aku ingin tahu, Laila. Itu saja."
"Jangan mendesak aku, Nana."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Oh. Oh. Bukankah kau yang memulai di bar tadi?"
Sepasang mata Sumarna tampak menggelap. Tarikan mukanya membuat Laila merasa takut.
Selama tiga hari terakhir ini ia sudah menduga akan mengalaminya. Tetapi Laila tidak dapat
menunggu berlama-lama. April memang masih tiga bulan lagi. Namun itu terlampau singkat untuk
merelakan masa depannya terancam.
Ancaman itu semakin jelas terukir ketika belum lama berselang ia duduk di pinggir jendela ruang
kuliah dan melihat mobilnya masih belum beranjak dari gerbang fakultas. Ia tahu apa yang tengah
berkecamuk dalam pikiran Herman. Keyakinan Laila semakin kuat setelah ia pergi ke mobil itu dan
menyaksikan sendiri betapa sakit mata Herman. Dua tahun laila ingin menikmati pemandangan itu.
Atau, tiga tahun?
Lalu ketika saat yang ia nanti-nantikan itu datang juga, datangnya sudah terlampau kasip.
April!
Betapa singkat dan mengerikan. Betapa ingin Laila, agar rencana pernikahan yang Sudah ia
setujui itu hanya sekedar mimpi.
Kecewa oleh kebungkaman Laila, menusuk hati Sumarna.
'Terimakasih aku kau antar pulang,
Dan sebelum Laila tersadar apa makna ucapan itu, Sumarna menegaskan:
'Tak usah sampai ke rumah!"
"Nana!"
Laila tersentak.
"Berhentilah. Sebelum aku meloncat keluar." kata Sumarna.
Tenang dan datar.
Tapi menyakitkan.
Sorot mata Sumarna tidak ingin dibantah. Perpisahan yang aneh. Laila membiarkan Sumarna
turun, memutar mobil dan kembali menempuh arah ke kota. Tak seorang pun mereka berdua yang
ingin berpaling ke belakang. Laila juga sudah lama menanti-nanti saat semacam ini tiba. Cuma tak
menduga datangnya secepat itu.
Semasih pacaran. boleh saja Laila bersikap munafik.
Begitu akad-nikah diucapkan kemunafikan itu harus dibunuh. Dan Laila tidak akan pernah mampu
melakukan pembunuhan paling tersadis itu: membunuh kemunafikan.
Kaki melangkah. Dagu terangkat. Sumarna berjalan terus. Kepalanya gegap gempita.
Mengapa?
Sumarna tidak akan memperoleh jawaban pertanyaan itu sampai kapanpun juga. Karena ia
memilih kuliah di jurusan ekonomi. Coba, andaikata Sumarna memperdalam psikologi. maka ia akan
tahu.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
******

Sepuluh

Diam di rumah malah membuat bathin semakin tertekan. Memang ada kerabat yang masih
tinggal atau baru datang dari tempat jauh untuk menyatakan belasungkawa yang.
"Semoga belum terlambat, Anakku."
Sumarna mengenal mereka dengan baik. Tetapi tidak sebaik ia mengenal ibunya, Herman dan
Saripah. Mungkin kesalahannya sendiri. Jarang bergaul. Kurang pula berkunjung. .
Jadi Sumarna menganggap rumah itu tetap kosong melompong. Dan memuakkan: seorang tua
nyinyir tidur di bekas ranjang ibunya. Dan tiga anak tanggung berlari-larian dari satu ke lain ruangan
dengan suara riuh rendah. Ia pergoki pula seorang perempuan tetangga di dapur, telah bergunjing
dengan salah seorang kerabat. Pantas Herman tak betah di rumah. Abangnya itu tentu minggat ke
kota. Melarikan kegundahan hati dengan berkumpul bersama teman-temannya di pangkalan tempat
jual beli kendaraan bekas itu.
Ataukah Herman sedang mengunjungi Saripah?
Ah, ya. Mengapa ia tidak berbuat sama. Kalaupun nanti Herman tidak ada di sana, paling mis
Saripah mau diajak bertukar pikiran. Ia mungkin terlalu membabi buta selama bersama Laila tadi.
Dan Saripah barangkali dapat memberi petunjuk. Siapa tahu, dapat pula menebak apa gerangan yang
menyebabkan perilaku Laila berubah drastis dan menganggap bulan pernikahan yang sudah demikian
matang dimasak, tak lebih dari April mop.
Sumarna lalu minta maaf dan pamit pada satu dua orang tamu yang ia anggap patut dihormati.
kemudian berjalan keluar. Pintu terbuka lebar. Tidak ada benda apapun yang menghalangi. Lantai
bersih. Tidak licin. Malah agak kotor berdebu bekas banyak kaki keluar masuk.
Ketika melalui pintu. toh Sumarna terpeleset.
Tanpa sebab.
Salah seorang tamu segera mendekati Sumarna dan membantunya berdiri.
"Kau cidera?"
"Syukur tidak. Oom," sahut Sumarna bingung sesudah memeriksa kaki maupun tangannya dan
sia-sia mencari sumber gara-gara ia sampai terjerembab.
"Sudahlah. Tinggal di rumah."
"Aku mau ketemu Ipah, Oom."
"Lebih baik batalkan saja. Nak."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Kenapa?"
'Yang barusan kau alami. Oom rasa. itu pertanda buruk. Tak baik meneruskan perjalanan
sekarang. Dan aku lihat -hari mendung pula. Hujan akan turun lagi."
"Dekat kok, Oom," rungut Sumarna lantas berlalu dengan kesal.
Tentulah oom-nya itu sudah mendengar banyak gunjingan para tetangga. Cuma terpeleset. Dan
dia bilang, pertanda buruk. Huh!
Namun satu hal oom-nya benar.
Hujan deras tiba-tiba turun tanpa pemberitahuan. Sumarna ribut mencari tempat berteduh. Ia
bersyukur hujan turun pas ia lewat di depan rumah Herman yang masih terbengkalai itu. Tidak
berpikir dua kali, Sumarna langsung masuk ke halaman dan berlindung di keteduhan beranda. Angin
menerpa mukanya dengan keras disertai butir-butir air hujan. Sumarna mundur, memasuki ruang tamu
yang menganga karena belum diberi pintu dan kaca jendela.
Ia menggigil kedinginan.
Mengumpat diri sendiri, tidak menuruti petuah oom-nya. Dan semua ini gara-gara Laila Hem.
hem. Gara-gara memikirkan Laila pulalah ia tadi terpeleset di pintu rumah. Omong kosong dengan
pertanda buruk. Tetangga usilan yang suka bergunjing itu akan ia damprat suatu hari .
Dan Sumarna tertegun.
Diam mendengarkan.
Suara samar yang tadi menyentuh gendang telinganya, terdengar semakin jelas. Krasak-kresiiikk
Uff-ufff, duuk-duk-duk. Krasak kresiiikk.
Apakah ada orang sembunyi di para?
Atau tikus mengorek sesuatu?
Sumarna tengadah. Ia tidak menemukan apa yang ia cari.
Angin kencang bertiup lebih ribut.
Hujan kian membadai. Kalau tak salah masih sekitar pukul tiga. Masih siang. Tetapi mendung
gelapnya bukan main. Pekat, menjemukan.
"Kreeesaaak...!"
Sumarna memutar tubuh.
Suara asing itu datang dari ruangan dalam yang teram-temaram.
Anjing nyasar?
Tanpa curiga apa-apa, Sumarna melangkah hati-hati memasuki ruang dalam. Suasana di situ
mestinya lebih hangat. Ternyata jauh lebih dingin. dan berbau sedikit aneh. Ia sukar menebak.
Bau harumkah itu?
Atau bau busuk?
"Kresaaak, ufff."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Sumarna menyerbu masuk. Mau berteriak:
"Anjing buduk, enyahlah!"
Seketika itu juga ia terpaku. Dengan mulut mangap menahan teriakan yang tak jadi keluar.
Seseorang yang tengah membungkuk di lantai tanah, bangkit berdiri. Sama terperanjatnya seperti
Sumarna. Di remang remang cahaya sekitar rtaangan itu, terlihat sangat kontras gaun panjangnya
yang berwarna putih. Atau barangkali krem. Ia berkulit kuning langsat. dengan wajah mempesona dan
rambut hitam panjang tergerai di depan dua bukit dadanya yang mencuat penuh.
"Sss... siapa... kau?"
Perempuan itu berbisik.
Sumarna menghirup udara segar dan mengisi rongga dadanya dengan udara itu, supaya terasa
lebih ringan dan lapang.
"Mestinya pertanyaan itu aku yang mengajukan," ia mencoba tersenyum, namun tetap bersikap
waspada.
Ekor matanya mengintai ke sekitar dan segera mengetahui kalau perempuan itu cuma seorang
diri.
Seorang diri.
Muda belia Elok rupawan pula!
"Apa kerjamu di sini?"
Sumarna memperdengarkan suara keras menghardik biarpun sesungguhnya ia ingin bersikap
lembut ramah.
"Aku... aku kehujanan,"
Gadis itu mepet ke tembok bata.
"Siapa kau?"
"Sumarna. Aku adik pemilik rumah ini. Dan kau?"
"Oh. Jadi kau adik pemilik rumah ini,"
Samar samar senyum si perempuan mengambang di bibirnya. Meski gelap, tergambar jelas bibir
kecil mungil, ranum kemerah-merahan. Sepasang bola matanya yang bundar bersinar terang
benderang. bagai kerlip bintang kejora di langit kelam.
"Maaf. Aku masuk tadi tanpa permisi"
"Hem. Tak apa,"
Sumarna mendekat.
Gadis itu semakin rapat ke tembok.
"Jangan takut,"
Senyum Sumarna, mulai tertarik pada kecantikan dan cara berpakaian serampangan gadis itu
sehingga tak tahu kalau kancing atas gaunnya terlepas memperlihatkan bundaran payudaranya yang
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
seputih salju. Pandangan Sumarna kemudian beralih ke tanah. Lantas bertanya heran: "Kau yang
membuat lubang besar ini?"
"Aku... eh, iya Aku."
Suara gadis itu terdengar gelisah.
"Buat apa?"
"Yah... Sekedar pengisi waktu saja. Menunggu hujan reda."
"000. Rumahmu di mana?"
"Di sini. Eh... maksudku tak jauh dari sini."
"Aku tak pernah melihatmu,"
Sumarna menyimak perempuan itu dari ujung rambut ke ujung kaki. Gadis itu telanjang kaki.
Tangan yang satu dipergunakan menutupi dadanya yang setengah terbuka. Tangan lain
mencengkeram bagian bawah gaun yang ia pakai. Rupanya ia mencoba menguasai ketakutan dengan
cara begitu, pikir Sumarna. Tak sadar si gadis, kalau perbuatannya menyebabkan gaunnya sedikit
terangkat, memperlihatkan betis putih mulus dan panjang semampai.
"Aku dari tempat lain." ujar si gadis.
"Bibiku sudah lama tinggal di sini...."
Gadis itu membelalak ngeri waktu angin topan membuat atap genteng di atas mereka
berderak-derak. Beberapa tetes hujan jatuh menimpanya. Saking terkejut gadis itu terlonjak ke
depan. Jatuh dalam pelukan Sumarna.
'Tenang sajalah" bujuk Sumarna melihat bayangan ketakutan di wajah si gadis. "Sebentar juga
reda. Kau akan kuantar pulang."
"Tetapi aku takut."
'Tak perlu takut. Kau tak akan...."
"Dingin sekali. Aku tak tahan."
Gadis itu menggigil dalam pelukan Sumarna.
'Hiii, dingin sekali."
Sumarna merangkul gadis itu rapat ke tubuhnya. Dada mereka menyatu.
Hangat. Berapi-api.
"Neng,..."
"Mmh?"
Si gadis tengadah.
Sumarna tergagap jadinya. karena wajah mereka begitu rapat. Hendusan nafas gadis itu malah
terasa hangat menyapu pipinya. Setengah bermimpi, Sumarna bergumam:
"Jadi namamu Neng Atau Neneng ya?"
"Terserah kau saja. Mau panggil apa,"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Gadis itu tersenyum untuk pertama kali. Senyum yang memabukkan. Tanpa menjauhkan wajahnya
pula.
Dada Sumarna meledak-ledak Kelelakiannya menuntut penyaluran hasrat yang tidak terkendali.
Selintas terbayang di matanya wajah Laila.
Ia bimbang.
Lalu terngiang ucapan Laila:
"Kita tunda saja...."
"Apa yang kau pikirkan?"
Si gadis berbisik Lirih.
Sumarna terkejut. Menyahut seenak perut:
"Kau."
"Aku? Kenapa?"
Mulut gadis itu setengah terbuka. Memperlihatkan lidahnya yang lembut basah
kemerah-merahan.
"Kau cantik," bisik Sumarna gemetar.
"Aku... aku ingin menciummu."
Gadis itu menaikkan tumit.
Bibir mereka bertemu.
Perasaan mabuk Sumarna menyerang semakin hebat. Ketika tubuh mereka berdua pelan pelan
meluncur turun dan bersimpuh di tanah masih tetap saling berpelukan, dengan kedua pasang paha
saling bersilang, lengkaplah sudah perasaan itu. Sumarna tenggelam dalam birahi mabuk kepayang.
"Oh. Jangan-.." gadis itu berbisik ketika Sumarna meremas payudaranya yang semakin terbuka.
"Jangan," katanya. tetapi tidak ada usaha penolakan pada pisiknya. Malah penerimaan yang
pasrah. Gadis itu merintih pelan.
Sesuatu yang sangat diingini Sumarna dari Laila tetapi dengan teguh dipertahankan gadis itu,
menjelma dalam benak Sumarna yang sudah kehilangan akal sehat itu. "Aku menginginimu," ia
berbisik di telinga si gadis,
"Ohhh,"
Gadis itu merangkul lehernya.
"Aku akan bertanggungjawab..."
Sumarna bergumam setengah gila manakala ia rebahkan gadis itu dipermukaan tanah berpasir
dan dengan gerakan kasar tak sabar menanggalkan kain penutup si gadis.
Pasrah. Benar-benar pasrah perempuan misterius itu.
Sumarna tak tahu apa sebabnya. Dan ia tak mau tahu. Ia berbuat dan bekerja mengikutkan
naluri seksuilnya yang menggebu-gebu. Pun juga ia tidak tahu kalau kulit tubuh mulus yang menyatu
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
dengan tubuhnya perlahan-lahan berubah warna jadi coklat kemudian lebih hitam. Sumarna terpejam
menghayati senggama itu seutuhnya.
Tidak perduli, bagaimana rambut hitam panjang itu sirna begitu saja.Tinggal kepala gundul. Dan
kepala itu pun coklat kehitam-hitaman. Tampak denyut-denyut lemah yang makin lama makin kuat.
Itu bukan denyut dari ubun-ubun, melainkan denyut dari keseluruhan kepala yang kemudian berubah
bentuk.
Atau, tanpa bentuk.
Kecuali bulat memanjang, seperti juga seluruh anggota tubuhnya yang dengan cepat sekali saling
bertaut untuk mengikuti pembentukan wujud sesungguhnya.
"Kok seperti memeluk bantal guling." pikir Sumarna mulai tergugah.
"Dan eh, dinginnya Licin pula lagi. Eh. eh, makin mengecil _ hai. Apa ini yang menggeliat di
pahaku? Dan apa yang merayapi dadaku. Hei.."
Sumarna membuka matanya lebar-lebar.
Ia tidak melihat perempuan itu.
Yang ia saksikan. hanya makhluk mengerikan yang merayap sepanjang perut sampai ke dadanya.
Sumarna pun terbadai, lantas menjerit setinggi langit.
Lalu sesuatu yang lunak licin, menghunjam ke jantungnya.
Lalu menghirup darahnya.
Buas.
Baru esok paginya mayat Sumarna di ketemukan orang dalam keadaan tidak saja bugil. tetapi
dengan lubang menyeramkan di dada.

*****

Pagi hari yang sama Herman dijemput Saripah lagi ke percetakan. Setelah mengambil alih kemudi
dari tangan Saripah yang pucat lesi, Herman tancap gas ke rumah sakit.

"mengapa tidak kau bawa serta Bi Ijah?"


"Aku panik," bisik Saripah gemetar seraya mendekap bayinya rapat ke dada.
"Aku panik. Aku hanya ingat'. Noni harus kubawa ke rumah sakit."
"Bagaimana kau menyetir dari rumah?"
Saripah diam saja. ia sendiri tidak pernah ingat bagaimana ia dapat mengendarai mobil dengan
satu tangan memegang kemudi dan satu tangan lagi merangkul Noni.
"Syukurlah kau mampir ke percetakan," ucap Herman.
"Dan lebih penting, syukurlah kau dan anakmu selamat,"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Ia mengawasi bayi dalam dekapan adiknya
"Bagaimana terjadinya?"
"Seperti dulu. Dan ah. sejak aku kembali dari rumah ibu ke rumahku. peristiwa itu berulang lagi.
Noni menjerit-jerit. Tubuhnya panas sekali. Tadi malam, setelah dinina bobokkan Bi Ijah ia mau tidur.
Setelah kuberi obat, panasnya turun. Lalu tadi. suaranya begitu lemah. ia tak mau diam. Dan obat
habis."
Herman bergidik.
Gidikannya baru reda setelah Noni ditangani dua orang dokter di rumah sakit. Noni dibantu
dengan transfusi darah yang tampaknya cukup banyak. Saripah terus saja menangis hingga Herman
sibuk mendiamkannya sambil menjawab sejumlah pertanyaan dokter.
Mereka berdua diajak ke kamar pribadi salah seorang dokter itu.
Setelah duduk berhadapan dan tangis Saripah mereda, dokter berkata dengan nada menghibur:
"Tidak usah cemas. Anak anda tidak menderita kelainan apa-apa."
"Tetapi kulitnya, Dokter?"
Herman mendesak.
"Sudah tidak asing buat kami. Kulit pucat, kering. Itu biasa. Bung Herman. Gejala kurang darah."
"Parah benarkah dia."
"Mungkin harus diapname. Paling lama, besok pagi sudah dapat kalian bawa pulang. Tak ada
yang perlu dikuatirkan..."
Dokter tersenyum, namun membathin di hati:
"Benarkah tidak ada? Bagaimana sampai bayi itu kehilangan cairan tubuh sedemikian banyak,
tanpa terluka?"
Zuster masuk tiba-tiba.
"Saudara Herman?"
Herman berpaling.
"Ya?"
"Ada telepon."
Herman dan Saripah bertukar pandang. Saripah pucat pasi lagi. Herman menoleh pada dokter dan
berkata:
"Boleh melihat Noni"
"Silahkan."
Herman memaksa Saripah pergi mengikuti dokter menuju tempat Noni dirawat dan sedang diberi
transfusi. Ia sendiri lantas menguntit di belakang suster tadi menuju kantor bagian perawatan
anak-anak. Tangan Herman gemetar ketika memegang gagang telepon.
"Halo?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Nak Herman?"
"Ya. Ini siapa?"
"Joko."
"Eh, Pak Lurah. Kukira siapa. Aku sedang...."
"Ngiiing...."
Telinga Herman berdenging nyaring.
"Lurah Joko. Mengapa? Ada apa, Pak Lurah? Darimana bapak menelepon? Kok bapak tahu aku ada
di sini?"
Ia mengajukan serentetan pertanyaan dengan bernafsu.
"Segeralah pulang."
"Pak Lurah?"
Herman mendesak
"Baiklah. Aku mencari kau ke rumahmu. Tapi tak ada. Lalu aku ke rumah adikmu. Dari pelayannya
aku tahu kau ke sini. lantas...."
"Lantas?"
Herman merasakan sekujur bulu kuduknya merinding.
Arpan sudah.
Ibunya sudah.
Siapa sekarang?
"Sumarna,"
Sayup-sayup ia dengar suara lurah di seberang sana. Ia tidak mendengar lagi lanjutannya.
Telepon di tangan Herman lepas begitu saja. Jatuh dan tergantung di antara meja dan lantai kantor.
Ia tegak mematung.
Dengan wajah kelabu.
Lalu, mendadak patung itu hidup kembali dan terbang ke pintu.

*****

Pada saat itu Hakim Saroso sedang berdiri tegang menghadap ke jendela. Matanya suram.
"Mengapa kami tidak kau beritahu sebelumnya?"
Ia mengeluh, getir.
Laila yang berbaring di ranjang dan yang rambutnya sedang diusah-usap penuh kasih sayang
oleh sang ibu, menangis lagi.
"Maafkan aku, Papa,"
Ia menjawab tertata-bata.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Niat buruk itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku...."
"Memutuskan hubungan dengan Sumarna.
"Hem!"
Tubuh Hakim Saroso semakin tegang.
"Anak kita tadi bilang, hanya menunda, Mas,"
Ibu laila mengingatkan.
"Apa bedanya?"
"Banyak."
"Banyak atau sedikit, tetap saja menggemparkan. Nama kita akan tercemar!"
"Mas! Kasihanilah anak ini. Coba lihat bagaimana ia menderita. Dan apa salahnya menunda
beberapa waktu? Barusan tadi Laila toh memutuskan akan tetap menikah dengan Sumarna, bila itu
yang mas kehendaki."
Dering telepon memutus pertengkaran itu.
Hakim Saroso meninggalkan jendela. Ia berjalan setengah hati menuju ruang duduk untuk
menerima telepon itu.
Apa-apaan si Laila. Sepanjang malam menangis saja. Membanting bantingkan diri di ranjang
seperti orang kesurupan. Dan setelah orang lain kalang kabut habis-habisan, baru mau mengatakan
sebabnya.
Menunda pernikahan.
Tak bilang-bilang.
Uh!
"Hallo? Saroso. Ini siapa?"
Istrinya mendengar sambutan kasar si suami di telepon.
Si istri mengurut dada.
Lalu kembali membujuk anak gadis kesayangannya dengan kata-kata menghibur. Suara Hakim
Saroso di ruang duduk semakin rendah saja. Kemudian hening. Tak lama. Telepon diletakkan.
Langkah-langkah kaki ke arah belakang, dan suara memerintah pada pelayan mereka yang laki-laki:
"Jang! jajang! Siapkan mobil, aku mau pergi."
waktu masuk lagi ke kamar, wajah Hakim Saroso biasa-biasa saja.
"Kalian berdua, teruskan. Pikirkan jalan bagaimana caranya kita akan minta maaf pada...."
Ia pura-pura mengawasi telapak tangan yang dibolak balik tak menentu.
"Kalian kutinggal dulu sebentar."
Suaranya tenang .Sikapnya pun tenang.
Ia kemudian berjalan ke pintu depan setelah terdengar bunyi mesin mobil dihidupkan.
"Mas?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Hakim Saroso tidak berpaling.
"Ya?"
"Gantilah dulu piyamamu. Dan pakai sepatu."
"Astaga!"
Hakim Saroso mengeluh. Kaget sendiri. ia bersalin pakaian di kamarnya dengan bantuan sang
istri. Namun tidak mengatakan apa-apa. Masih saja ia memperlihatkan wajah dan sikap tenang luar
biasa. isterinya berpikir, tak aneh!
Bukan dokter saja yang sering menerima panggilan mendadak. Menyangkut perkara-perkara
besar, hakim pun bisa Jadi. sang iStri tidak berprasangka apa-apa ketika ia mengantar suaminya
sampai ke pintu. Saling melambai. Lalu kembali menemui anaknya. Baru setelah mobil meluncur di
jalan raya, wajah Hakim Saroso berubah sepucat kertas. Keringat membercik di jidatnya. Sekujur
tubunya gemetar. Lantas bergumam parau:
"Tuhanku! Mengapa... mengapa justru Sumarna yang mati?"

*****

Lurah Joko membuka pintu.


"Eyang terlambat," katanya murung. "Satu mayat lagi telah dikuburkan tadi siang."
Tamunya menyahut datar: "Aku sudah tahu."
"Eyang sudah tahu?! Dan eyang tidak berbuat apa-apa?"
"Janganlah cemberut begitu, Joko. Aku dapat tahu dari orang yang berpapasan di jalan ke mari...."

Tubuh kecil kurus itu menggerak gerakkan kaki.


"Boleh masuk? Makin peot, makin tak kuat aku berdiri lama-lama."
Tersipu-sipu Lurah joko mempersilahkan tamunya duduk. Tergopoh pula ia menyelinap ke belakang
memberitahu istrinya bahwa ada tamu. isteri Lurah Joko keluar menyambut.Cium pipi kiri dan kanan
sang eyang, berbasa basi sebentar lalu kembali ke dapur untuk membuatkan minuman.
'Jadi si Herman telah"
"Bukan Herman. Eyang. Sumarna, adiknya."
"Ah. Aku salah dengar tadi, kalau begitu. Penanda yang sama dengan Arpan, kira-kira?"
"Mirip eyang. Bedanya, Arpan masih pakai celana. Sedang Sumarna, bugil sama sekali.
Pakaiannya tertumpuk dekat kakinya. Kuat dugaanku ia lebih dulu bercumbu dengan seseorang.
sebelum makhluk itu menyerangnya."
"Atau, ia telah bercumbu dengan makhluk itu sendiri."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Yang benar. Eyang! Entah pacat entah lintah, tetapi bercumbu dengan manusia.... Jangan-jangan
eyang mulai pikun ya?" lurah Joko tertawa sumbang.
Isterinya muncul dengan hidangan.
Mau ikut nimbrung ngobrol tetapi mundur dengan wajah memberengut setelah dipelototi
suaminya.
"Aku menyesal pernah punya murid macam kau. Joko."
Tamu tua renta itu mengeluh _ it.
"Sumarna bercumbu dengan seseorang. Dan kenapa perempuan itu tidak ikut diserang?
Umpamakan, perempuan itu pergi duluan? Kenapa Sumarna tidak segera mengenakan pakaiannya
kembali? Kudengar, hujan terus turun malam itu. Udara dingin membeku. Umpamakan pula ia
ketiduran lalu ditinggalkan si perempuan. Hanya satu jenis perempuan yang mau berbuat begitu. Kau
menyimpan pelacur di kelurahan ini, joko?"
"Setahuku, tak seorang pun."
Lurah joko bingung sendiri. Tetapi ia tidak mau kesalahan ditimpakan atas kepalanya seorang.
Maka dengan suara ketus ia berkata:
"Bercumbu dengan perempuan nakal atau dengan roh jahat. sama saja eyang. Sumarna toh sudah
mati. Dan itu tidak akan terjadi seandainya eyang tidak datang terlambat."
"Bagus. Bagus caramu mencari kambing hitam,"
Si tua renta meneguk tehnya. Dengan nikmat! Lalu:
"Kalau Tuhan menghendaki besok hari seratus orang mati di suatu tempat, apakah aku harus
hadir di sana untuk mencegahnya?"
Wajah Lurah Joko yang tadi cemberut, berubah kemerahan menahan malu.
"Maafkan aku. Eyang."
"Sudahlah .Antarkan saja aku menemui Herman," orang tua itu bangkit seraya menjinjing
bungkusan yang tadi ia letakkan dekat kakinya.
"Jangan sampai kita terlambat pula"
Lurah joko pergi memberitahu istrinya.
Kemudian bersama sama mereka meninggalkan rumah. Malam belum larut. Masih sekitar pukul
sembilan. Tetapi langit gelap tertutup mendung tebal. Hempasan angin di rumpun bambu
mendesahkan suara suara gaib yang tak seorang pun tahu maknanya.
"Bukankah rumah yang di sana itu? Kok kita menyimpang,"
Sang eyang bertanya heran.
"Herman lebih suka tinggal bersama adiknya. Eyang. Si Ipah. Semua tersedia lengkap di situ.
Mobil, telepon, pelayan. Jadi gampang bertindak kalau terjadi apa-apa."
Lurah Joko mengintip ke jinjingan di tangan orangtua itu. Bertanya menyelidik:
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Eh, Eyang. Omong omong, ke mana saja eyang beberapa hari ini? Dan tumben, muncul
sekarang."
"Aku pergi ke Pantar Cicarita. Menggarang air laut."
"Menggarang apa?"
Lurah Joko kaget.
"Air laut. Biar air berlimpah ruah di pantai, hujan pun tetap punya hak turun di sana.Jadi aku
terpaksa menggarang air laut. Dengan bantuan seorang nelayan sahabatku. Selain karena matahari
malas keluar, dengan menggarang air laut aku memperoleh endapan garam dengan khasiat yang lebih
manjur."
"Garam? Cuma untuk mengambil garam. eyang buang tempo dan enerji?"
"Apa itu, enerji?"
"Uh, ah. Tenaga, begitu?"
"Hem. Hem. Supaya kau tahu, garam dapur paling banter mampu mematikan makhluk-makhluk
kecil menjijikkan yang bangkainya pernah kau bawa sebagai oleh-oleh untukku."
Si kecil kurus tersenyum dan ikut mengangguk ramah bersama pak lurah kepada beberapa orang
pemuda yang berpapasan dengan mereka. Lurah Joko rikuh dengan sindiran itu.
"Bungkusan ini. Joko...."
Lanjut bekas gurunya tak acuh.
"..E en, en apa tadi?"
"Enerji. Tenaga."
"Ah ya Enerji yang tersimpan di bungkusan ini bukan enerji sembarangan. Garam mentah, kau
tahu. Kuendapkan sendiri. Dengan caraku sendiri pula."
"Cara yang bukan sembarangan, aku percaya,"
Lurah joko tersenyum. .
"Pujianmu tak kuperlukan."
Ia mendapat jawaban ketus.
"Lebih baik kau ceritakan sedikit sedikit mengenai kehidupan dua orang bersaudara yang akan
kita temui."
"Herman dan Ipah adalah.... Eh, Eyang. Kenapa eyang cuma memusatkan perhatian pada mereka?
Masih ada kematian-kematian lain yang juga patut diperhatikan."
"Tetapi tidak seperti matinya Arpan, Salbiah lalu Sumarna. Tentang bayi, baru bayi Bu Endah.
Sepengetahuanku, Joko. selama belum terlambat maka serangan terhadap anak kecil semacam bayi
Bu Endah masih dapat diselamatkan. Lain halnya dengan roh jahat yang menyerang keluarga Herman.
Camkan. Yang terbunuh, semua keluarga Herman. Sudah terbuka otak budekmu sekarang?"
"Alaa, eyang ini. Jangan sewot begitu dong."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Herman dan Ipah. Bagaimana tadi?"
Memberengut si eyang. Tak acuh.
****

Karena sudah diberitahu lebih dulu oleh lurah Joko. Herman tidak heran kedatangan tamu tidak
dikenal yang memasuki rumahnya berdua dengan Lurah Joko. Namun toh sempat juga ia dibuat
tercengang melihat penampilan orang itu. Sudah tua bangka, kurus dan kecil pula lagi Wajah pun
biasa-biasa. Tutur kata teratur dan sopan.
Tadinya Herman berharap akan melihat tubuh yang kuat, sehat. Biarpun tua bangka, tetap kekar
dan kuat.
Bukankah punya ilmu?
Lalu, ia juga tadinya membayangkan akan melihat kain hitam melilit kepala. Bukan peci. Pakai
sarung hitam, dan telanjang kaki. Bukan kemeja dan celana, berselop. Sepasang matanya merah
saga. Bukan mata bening jernih. Mulut tak berhenti menceracau. kumat kamit setengah kesurupan.
Bukan mulut tersenyum ramah, simpatik. Bau keringat busuk memualkan. Bukan bau keringat biasa,
seperti keringat Herman sendiri.
Hampir saja ia bertanya pada pak lurah. apakah kepala daerahnya itu tidak membawa orang yang
keliru. Tetapi orangtua sederhana lagi necis yang duduk santai di depannya, mendahului dengan
kata-kata:
"Aku tidak membutuhkan ramu ramuan atau jimat, Nak Herman. Yang sangat kubutuhkan dan
harus kuterima dengan ikhlas, cuma satu. Kepercayaan!"
Herman terhenyak.
Maluu
"Apa yang dapat kubantu, Pak tua?"
Ia mendesah. Lirih.
"Namaku Mahmudin. Kalau kau suka. sebut saja Aki Udin,"
Orangtua yang tampaknya "tidak punya apa-apa" itu tersenyum manis.
'Dan yang perlu dibantu, adalah kau dan adikmu Saripah."
"Terimakasih. Aki Udin."
"Percaya pada kebesaran Tuhan, Anakku?"
"Ah, Aki Udin...."
Herman melengos tanpa menyolok.
"Aku menempuh kehidupan yang buruk hampir selama dua puluh tahun. Jadi...?"
"Dapat dimengerti,"
Eyang Mahmudin manggut manggut.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Juga dari apa yang kudengar dari orang lain tentang kehidupan saudara perempuanmu, dapatlah
aku menjelaskan dengan ringkas. Rumah yang bersih, sebenarnya tidak perlu ditepung tawari."
Orang lain itu tentunya lurah. rungut Herman di sanubari. Namun ia tidak berkecil hati .Berkat
kalimat tamunya yang menyindir sedemikian halus rumah yang bersih. tak perlu ditepung-tawari.
Arpan memang seorang yang soleh. Tetapi Arpan telah gagal membagi kesolehannya kepada istrinya
sendiri, Saripah.
Pikir Herman lagi:
"Kalau si tua bangka ini menyebut rumah yang bergelimang dosa. biarpun mungkin benar,
tentulah ia sudah kutendang keluar?"
Di mulut, Herman berkata ingin tahu:
"Boleh aku tahu dengan apa Aki Udin akan menepung tawari rumah ini?"
"Ini."
Eyang Mahmudin meletakkan bungkusan di meja. Ketika dibuka, tampaklah setumpuk bubuk halus
berwarna putih kekuning kuningan.
"Apa ini?"
"Garam mentah."
"000."
Pada saat itu Bi Ijah masuk untuk menghidangkan minuman dan penganan. Karena ketiga orang
laki-laki yang tengah berembuk itu rupanya tidak merasa terganggu oleh kehadirannya, Bi Ijah
bekerja berlamhat-lambat. Nguping, biasa.
"Garam ini taburkanlah di sekeliling rumah,"
Eyang Mahmudin menerangkan.
"Utamakan celah celah pintu. jendela atau kalau mau boleh pula di para-para itu kalau kalian
berangkat tidur. Dan kalau salah satu dari kaliar keluar rumah, bekalilah segenggam garam di saku.
Dengan demikian saya harap apa yang telah menciderai almarhum keluargamu, tidak berani
mendekati kau dan adikmu"
Bi Ijah melirik ke bungkusan terbuka di meja, ketika ia pura-pura membetulkan letak pot bunga
di atas rak .Berpikir.
"Garam Aku punya banyak di dapur."
"Eh, aku tidak melihat lpah,"
Lurah Joko menukas ingin tahu.
Bi Ijah segera berlalu.
"Ia ada di kamar, Pak Lurah. Sejak tadi malam, terus-terusan menelan pil tidur. Kalau tak kujaga,
maulah ia habiskan satu ples penuh."
Herman geleng-geleng kepala, sedih. Mudah-mudahan saja tidak ia telan pula nanti garam ini.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Garam. Hem.
"Dan Noni?" tanya pak lurah lagi.
"Di rumah sakit. Pak. Jadinya saya terpaksa pulang-pergi sepanjang hari. Noni diopname."
"Sakit apa, nak?" '
"Demam." jawab Herman, pendek. Di benaknya masih berputar pikiran yang sama: garam. Hem,
betapa sederhananya. Pacat. Lintah. Dan garam. Mengapa ia tidak berpikir ke arah itu?
Betapa sederhana. Dari pikiran seorang tua bangka yang sederhana pula. Tetapi apakah yang ia
cemaskan, sesederhana itu penanganannya?
Mereka bertiga terus berembuk. Serius.
Wajah Bi Ijah ketika tadi meninggalkan kamar duduk. tenang dan biasa saja. Begitu ia tiba di
koridor, wajahnya pun berubah serius. Sangat serius. Ia langsung menghambur ke dapur. Mengambil
segenggam garam. Garam segenggam itu ia taburkan di sekeliling dapur, kamar mandi. kamar cuci
dan kamar tidurnya Bila kurang. ia berlari lagi mengambilnya ke dapur.
Kemudian ia berdiri agak jauh, menyimak apakah "daerah kekuasaan" nya itu sudah terlindung
aman. Cukup, pikirnya. sambil masuk ke kamar tidur. Berbaring di dipan, rupanya ia masih gelisah. Ia
menatap curiga ke celah pintu.Bubuk garam bertaburan di sekitar celah pintu itu.
Tetapi apakah ia sendiri sudah aman?
Bi Ijah berpikir keras.
Lalu ia bangkit dari dipan. Membuka pintu dan berlari-lari ke dapur. Kali ini ia bawa satu
mangkok penuh garam. Kembali ke kamar. setelah mengunci pintu, Bi Ijah menanggalkan semua
pakaiannya .Tinggal kutang dan celana dalam. Lalu garam semangkok itu ia tabur dan oleskan ke
Setiap sudut tubuhnya, tak dilewatkan seincipun juga. Malah diselundupkan juga sejumput bubuk
garam di balik kutangnya. Ragu-ragu sebentar, lantas menaruh pula sejumput di balik celana dalam.
Ia merasa geli sedikit.
Tetapi ketimbang mati dengan dada berlubang?
Bi Ijah mengenakan pakaiannya kembali. Baru sesudah ia dapat berbaring di dipan dengan
perasaan aman.
Di kamar duduk, Lurah Joko bergumam:
"Berani kau berdua saja di rumah ini? Tanpa ada yang menemani?"
"Aku punya pisau komando. Dan telah pula kusiapkan sebilah golok,"
Herman mengaku.
"Tetap saja kalian perlu ditemani. Kulihat, banyak keluargamu di rumah ibumu. Mengapa tidak
meminta bantuan mereka saja"
Herman menjawab kesal: "Yang ada belum pulang, yang lain sudah datang pula. Mereka harus
kuberi makan semua. Tetapi bukan itu yang membuatku tak senang. Mereka semua tiap kali menatap
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
waswas padaku dan Ipah. Sampai aku berpikir, mereka menginap berlama-lama karena ingin tahu,
siapa di antara kami berdua yang akan menyusul Arpan, Ibu, Sumarna? Kurang ajar. Benar-benar
kurang ajar!"
"Sabar, Nak. Sabar. Mereka bertujuan baik. Turut berdukacita. Ikut memanjatkan do'a. Oh ya.
Apakah tahlilan terus saja diadakan di masjid? Tidak di salah satu rumah kalian?"
"Lebih baik tetap di masjid, Pak lurah. Kalau di rumah ibu. aku terpaksa harus hadir dan
meninggalkan Ipah sendirian di sini. Ipah tak mau beranjak dari ranjang. Ia terpukul. Sangat terpukul.
Aku juga. Dan ah, kalau diadakan di rumah ini pula, yah. Bagaimana ya. Aku dan Ipah sangat ingin
sendirian. Tanpa terganggu. Kami berdua ingin tetap berduaan satu sama lain. dan merenungi
bersama mengapa kutuk yang mengerikan itu hanya tertimpa atas kami saja..?"
Di kamar pembantu. Bi Ijah tersentak bangun.
Suara apa itu?
"Kresak kresek, seeerrrr."
Lalu tak tik tak suara lembut kaki melangkah .Dengan wajah takut. Bi Ijah mencari mangkoknya.
Masih ada garam tersisa. Lekas ia genggam, lantas ditaburkan semua di sekitar dipan sambil mulut
kumat-kamit memanjatkan do'a.Sebentar kemudian suara ganjil itu menjauh. Lalu lenyap.
"Besok akan kubeli lebih banyak garam di pasar," desah Bi ljah lega.
Sosok tubuh yang barusan melewati kamar pembantu sambil melakukan sesuatu, tampak
membuka pintu samping lalu menghilang dalam kegelapan malam di luar rumah.
Bi Ijah tak bisa tidur.
Dan di kamarnya, Saripah sebaliknya, justru tidur pulas. Malah sampai mendengkur. Ia tidak
perduli pada alam sekitar. Pil-pil yang dibeli Herman di apotek melalui resep dokter. malam itu ia
telan sampai tiga butir.
Tak heran ia lupa menutup tirai jendela kaca.
Kegelapan malam tampak menganga di luar jendela. Rembulan bersinar pucat, menerangi alam
sekitar. Dari balik rimbunan daun rambutan yang rindang, membersit sepasang kilatan merah
bernyala. Tak lebih dari titik api besarnya. Kilatan mata itu menatap lurus ke jendela kamar tidur
Saripah. Karena tirai terpentang membuka dengan sendirinya tampak nyata bahwa di kamar itu
hanya ada Saripah seorang.
Mana sang bayi?
Bayangan hitam itu melesat dari pohon rambutan dan terbang melayang memperhatikan
jendela jendela yang lain, terutama kamar tidur pembantu. Tetap sama bayi yang darahnya segar
bugar itu, tidak terlihat. Tidak ada petunjuk bayi itu di dalam rumah.
Di mana bayi itu mereka sembunyikan?
Sesosok tubuh kehitaman muncul dari belakang rumah. Sepasang mata merah saga itu
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
melihatnya, lantas membawa kepalanya melesat terbang sejauh mungkin dan lenyap ditelan
kegelapan malam .
Anjing melolong lirih.
Entah di mana.
"... baiklah,"
Di kamar duduk, Herman menarik nafas panjang setelah ia mengambil keputusan yang bulat.
"Aku tak keberatan, Pak Lurah. Tetapi Bi Ijah tetap di kamarnya. Sungguh tak pantas kalau pak
lurah serta Aki Mahmudin tidur dikamar pembantu. Begini saja .Aku akan pindah dari kamar tidur
untuk tamu dan menempati kamar kerja Arpan. Pak lurah dan Aki Mahmudin menempati kamar yang
kutinggalkan."
"Do'akan saja, agar semua ini lekas berlalu. sahut Lurah joko, puas.
"Berapa lama kira-kira, Pak Lurah?"
"Mana aku tahu. Eyang meramalkan, satu minggu ini hujan akan turun terus menerus. Dua
minggu atau mungkin satu bulan setelahnya. panas dan kering lagi. Karena itu ia yakin. terjadinya
ah, maksudku, makhluk terkutuk itu akan muncul kembali hari-hari ini juga."
"Makhluk terkutuk!"
Herman mengeluh.
"Seperti apa kira-kira bentuk maupun rupanya, Pak Lurah?"
Lurah Joko tidak mampu menjelaskan. Dan tidak sempat. Sosok tubuh kurus kecil dari Eyang
Mahmudin sudah masuk lewat pintu depan yang terbuka. Bungkusan yang tadi ia bawa ke dapur terus
ke sekeliling rumah sudah berkurang isinya.
"Selesai, Eyang?" tanya Lurah Joko.
"Sebagian. Tinggal kamar Saripah. Itu tugas Nak Hermanlah."
Orangtua itu duduk keletihan di kursi semula, lantas seraya menahan senyum ia berkata:
"Kalian tahu?"
"Apa. Aki Udin?"
"Tadi aku temukan banyak sekali garam bertaburan. Bukan garamku."
"Ah, masa Di mana?"
"Di dapur, di kamar mandi, di kamar cuci. Dan bertumpuk tumpuk di celah pintu kamar pelayan."
"Bi Ijah. Astagaaa...."
Herman menggeleng dan untuk pertama kali setelah Arpan meninggal dunia, Herman kemudian
tertawa berderai-derai.
****

Dua belas
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Siang yang mendung berhujan, pertengahan minggu kedua bulan Januari.
Di rumah Hakim Saroso, dua orang perempuan tengah berbincang bincang dengan nada duka.
"Kau tak kuliah lagi, Laila."
Laila meletakkan buku saku yang tengah ia baca. Buku saku yang telah ia baca empat hari
terus-menerus, tanpa mengerti satu kata pun jalan ceritanya .Padahal selamanya ia menghabiskan
paling banyak tiga jam untuk menelan seluruh isi cerita buku saku karya Harold Robbins itu.
Ia tidak sedang menangis.
Namun kelopak matanya masih saja sembab, ketika ia menatap ibunya yang masuk ke kamar
dengan suara menyesalkan tetapi bibir mengulas senyuman sayang.
"Aku tak dapat konsentrasi, Mama"
"Mestinya kau keluar. Jalan-jalan."
"Aku tak bernafsu, Mama"
Dan ibu membereskan sprei tempat tidur anaknya yang makin kurang rapih belakang ini.
Lantas berpaling kaget waktu mendengar anaknya bertanya:
"Apa yang mama dan papa rahasiakan?"
"Rahasia?"
Perempuan yang lebih tua, mendekat ke tempat anaknya duduk dekat jendela. Mengusap rambut
hitam berkilauan dan harum semerbak itu dengan campuran haru dan kasih sayang.
"Buat apa kami menyimpan rahasia? Terhadap kau, puteri kami satu satunya?"
"Mama berbohong."
"Laila, Anakku!"
"Mama berbohong. Mama kira aku tak tahu bahwa ada yang telah berubah di rumah ini?"
"Berubah? Apanya yang berubah, Laila?"
"Mama Dan papa"
"Hem. Kami tetap mengasihimu. Tidak ada yang...!"
"Pura-pura .Mama pura pura tak tahu. Sudah berapa hari ini. mama dan papa jarang bercakap
cakap. Kalaupun pernah kupergoki. kalian berdua lantas memutuskan pembicaraan seketika, dan
berlaku manis padaku. Manis pura-pura. Masih ada lagi: mama dan papa semakin jarang mengungkit
rencana pernikahanku dengan Sumarna. Padahal, kemarin-kemarin ini, wah, mengeroyokku
habis-habisan!"
Mata sang ibu berkilat perih.
Mulut tetap saja tersenyum, luar biasa, kemudian:
"Anakku, Manis. Bukankah kau sendiri yang bermaksud menundanya?"
"Dan papa marah, ya? Papa marah sekali!"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Tidak. Papamu tidak marah."
"lantas? Apa yang menyebabkan tingkah papa dan mama tampak sangat ganjil?"
Sang ibu mengawasi wajah anaknya dengan seksama. Sinar matanya kelihatan tegang sejenak,
kemudian sembari menarik nafas, ia mendesah:
"Cobalah berterus terang pada ibumu, Laila. Siapa sebenarnya yang kau cintai?"
Laila menatap heran. Lantas bergumam bingung:
"Ya. Dua-duanya. Cinta mama. Cinta papa"
"Kau tahu apa yang ibu maksud, Laila,"
Ibunya menyerang.
"Mama...."
Sudut-sudut mata Laila mulai basah.
"Siapa, anakku? Siapa di antara mereka berdua yang sesungguh sungguhnya kau cintai?"
Laila merangkul ibunya kuat-kuat.
Menangis tersedu-sedu.
"Jangan tanyakan itu padaku, Mama jangan! Aku takut. Takut sendiri menjawabnya!"
ibunya ikut menangis.
Tak lama kemudian ia berkata lembut: "Ayo. Kau perlu istirahat. Minumlah obatmu. Lihat. Betapa
kau tambah pucat dan kurus hari-hari belakangan ini...."
Ia mengulas senyuman lirih. "Siapapun juga yang kau cintai, Laila, yakinlah mereka tak akan
senang melihat penampilanmu seburuk sekarang."
Tangis Laila menurun.
"Minum obat sekarang?"
"Ya, Mama"
"Nih...."
Lalu:
"Tidurlah ya, Laila?"
"Ya, Mama."
Setelah menunggui anaknya hampir satu jam dan yakin Laila sudah pulas, perempuan yang lebih
tua beranjak ke pintu. Menutupnya hati-hati. Lalu kembali duduk menunggu, di kamar depan. Bersama
curah hujan yang membanjir dari langit kelam, sebuah mobil memasuki halaman sekitar pukul tiga
siang.
Perempuan itu menyambut suaminya di pintu.
Sambil membantu melepaskan dasi sang suami, ia bergumam pelan: "Laila membuatku makin
cemas. Pak."
"Mana dia?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Tidur. Jangan terlalu keras suaramu."
Ia menarik suaminya ke kamar mereka sendiri, menutup pintu rapat-rapat. Curah hujan ribut
bukan main. Toh perempuan itu tetap berbicara dengan bisik-bisik
"Apakah tidak sebaiknya ia kita beritahu saja?"
Lama, baru ada sahutan:
"Tunggulah. Kita harus pasti dulu."
"Tetapi ia tidak juga mau menjelaskan, siapa sebenarnya yang paling ia dambakan dari kedua
orang pemuda itu."
"Hem"
"Bagaimana, Pak?"
"Biar saja seperti ini dulu. Sampai kita yakin benar. Kalau ia mencintai Sumarna, aku ngeri
membayangkan apa yang bakal terjadi atas diri anak kita."
"lalu. kalau bukan Sumarna?"
Suaminya tersenyum. Lantas berujar, munafik:
"Aku malah berharap. bukan Sumarna. Konon pula Sumarna telah. Eh. Bu. Kau tetap berada di
dekat telepon, bukan?"
"Benar, Pak. Untung kau nasihatkan keluarga Sumarna agar jangan berbicara langsung dengan
Laila. Dan ah, ya. Mujur pula, anak kita malas keluar dari kamar. Kerjanya cuma berkurung dan
berkurung. Makan pun, susahnya bukan main."
"Kau hibur teruslah dia. Dan..."
"Dan apa, Pak?"
"Kebiasaan buruknya sekarang ini, kukira sebagai penebus dosa. Tanpa ia sadari. ia tengah
menjalaninya."
Mereka kemudian berpelukan.
Erat.
Dengan tangan-tangan sama gemetar .
Karena riuh rendahnya hutan di seputar rumah, mana berbisik bisik pula, Laila tidak mendengar
apa yang dipercakapkan ibunya. Ia tidak pula tidur seperti dugaan ibunya.
Mata Laila terbuka Lebar. Bola mata itu kemerah-merahan.
Ia turun dari ranjang. Mendekat ke jendela .Menatap hujan dan diam-diam menikmati hempasan
angin topan di luar. _
"Aku harus pasti," bisiknya, nekad
"Aku harus berani melakukannya!"
Hujan kian membadai.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
****

Malam pertama ketika garam ditaburkan, hujan turun rintik rintik .Tetapi tidak ada sesuatu yang
terjadi. Paginya Saripah bangun dengan mata terkantuk kantuk. Ia tidak mau mandi. Tidak mau
sarapan. Saripah minta Herman mengantarkannya ke rumah sakit untuk membesuk Noni. Kesehatan
bayi itu bertambah baik. Tetapi masih perlu dirawat satu dua hari, untuk menormalkan kulit tubuhnya.
'
Mereka singgah di restoran untuk makan Siang.
Tak satu pun hidangan dapat mereka nikmati dengan baik ke percetakan. Ia sudah menelepon
tidak akan masuk untuk jangka waktu yang ia sendiri tidak bisa menentukan.
Pulang dari kota, Herman menyempatkan singgah di rumah kost Rosida. Gadis itu tak ada di
tempat. Rupanya Herman lupa waktu ia menelpon ke percetakan, ia sempat bicara dengan Rasida.
Gadis itu mengatakan ia sudah agak baikan. Gusinya masih bengkak, tinggal benjolan kecil. ia
bekerja dengan saputangan tetap terpegang di depan benjolan mulutnya, malu dilihat orang.
Dari rumah kost Rosida, Herman dan Saripah menjenguk kaum kerabat yang masih tinggal di
rumah ibu mereka. Sebagian sudah pulang, rupanya. Setelah melihat-lihat apa yang kurang dan
diperlukan oleh sisa keluarga yang masih bermaksud menginap, keduanya kemudian pamit dan pulang
ke rumah Saripah.
Hujan badai menyambut mereka setiba di rumah.
Pak Lurah joko sedang pergi ke rumahnya. Eyang Mahmudin tengah ngobrol dengan Bi Ijah di
beranda belakang. Eyang minum teh pahit dan obrolan boleh dikata diborong semua oleh Bi Ijah yang
sesekali melirik teman bicaranya dan tertawa-tawa genit.
Saripah langsung ke kamar.
Tidur.
Ia telah melupakan urusan dagangnya, membuang keuntungan jauh-jauh dengan memberitahu
Herman agar telepon dari relasi relasinya ditolak saja untuk sementara. Sebelum tidur, diawasi
Herman dengan seksama. Saripah menelan hanya satu butir pil.
Garam ditaburkan lagi oleh Eyang Mahmudin. Jejak-jejak kaki rupanya membuat celah-celah
masuk yang tidak disenangi orangtua yang apik itu.
Tengah malam, Saripah terbangun. ia tidak tahu, apakah tadi ia bermimpi buruk. atau sekedar
gelisah saja sehingga tidurnya terganggu. Badannya terasa panas. Lamat-lamat ia dengar suara
orang ngobrol di kamar duduk. Lurah joko rupanya sudah bergabung lagi.
Udara dalam kamar terasa sangat gerah.
Dan punggung Saripah, gatal.
Oh. Sudah dua hari ia tidak mandi rupanya. Dan meski saat itu tengah malam, ia tidak tahan
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
gerah dan segera masuk ke kamar mandi yang terletak di pojok kiri, bersatu dengan kamar tidur
tersebut.
Tanpa prasangka sedikit pun. ia membuka keran air. Dua-dua sekaligus. Yang bertitik biru.

Dan bertitik merah. Seraya menunggu air hangat mengalir masuk semakin banyak ke bak air,
Saripah menanggalkan gaun tidurnya. Pintu kamar mandi ia biarkan tetap terbuka. Toh, pintu kamar
tidur terkunci dari dalam.
Sekilas ia lihat taburan garam mentah di luar pintu kamar mandi.
"Pekerjaan sia-sia,"
Ia menggeleng. lantas sikat gigi.
Habis ia sikat gigi, bak air baru terisi setengah. Saripah melangkah masuk ke bak porselen itu.
Kaki-kaki telanjangnya sangat bagus dan cantik. Sebelum berendam di dalam air, ia tanggalkan pula
kutang dan celana dalam. Dengan berbugil ia kemudian rebah. Berbaring telentang. Santai.
Lima menit ia nikmati kehangatan air di sekujur tubuhnya, tanpa bergerak. Kraan air telah ia
matikan, karena bak hampir penuh. Dijangkaunya sabun mandi lantas mulai menggosoki tuhuh
bugilnya yang mulus halus, ia bayangkan Arpan yang membelainya. Matanya merem, dengan telapak
tangan terus membelai, mengusap, membiarkan busa sabun memenuhi permukaan air, dan menikmati
orgasme dengan bibir gemetar mengeluarkan erang dan rintih.
Setelah itu, sejenak ia terkulai.
Lemah.
Lalu dengan kakinya, ia tarik rantai pengikat tutup lobang keluar air di dasar bak. Genangan
sabut semakin merendah, merendah dan merendah bersama arus air yang mengalir ke lubang
pembuangan. Merasa semua air dan kotoran akibat tadi ia mengalami orgasme, telah terbuang
semua, maka Saripah membuka lagi kran. Titik biru dulu baru merah. Air dingin sejuk mengalir
sedikit. Begitu pula air panas.
Macet?
Pikir Saripah, dan lupa menutup lubang pembuangan.
Dengan menaikkan leher, ia gapai kran-kran air dan memutarnya sampai titik maksimal.
Campuran air dingin dan panas mengucur lebih banyak. kemudian arusnya mengecil lagi. Ia tidak
melihat busa di sekitar kakinya bergerak. Dan pelan-pelan bercampur warna. Putih busa.
digoyang-goyang oleh makhluk-makhluk kecil berwarna coklat, yang menjulur masuk lewat lubang
pembuangan dan menggelupur serta menggeliat ribut di dasar bak yang licin.
"Sialan!"
Saripah memaki.
Lalu memukul-mukul kran dengan perasaan kesal. Aneh. Air mengalir kembali. Lebih deras dari
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
tadi. Wajah Saripah lega. Berbaring santai seperti semula dan meresapi kehangatan air yang jatuh
membasahi rambut, wajah, leher, pundak lalu dadanya yang menggelembung padat.
"Hei, apa ini...." ia tertegun, ketika merasakan sesuatu yang dingin dan lunak merayapi betisnya.
Mula-mula satu. Lalu bertambah banyak. Kedua betisnya merasakan kegelian yang amat sangat,
apalagi setelah telapak kakinya mulai pula diserang.
Air mampet lagi.
Sambil mengawasi gerakan busa di sekitar kaki dan pahanya, tangan Saripah menggapai kepala
kran. Dipukul-pukul lagi. Pukulan yang mujarab.
Sangat mujarab!
Karena yang keluar dari kran, baik bertitik putih maupun bertitik merah, bukan air dingin dan air
panas. Melainkan potongan-potongan kecil sepanjang dan sebesar jari kaki ayam. Warnanya coklat.
Kulitnya lunak. Dingin. Licin. Berlendir.
Dan, hidup!
Ratusan lintah dan pacat mengalir deras dari pipa-pipa kran, menggelinding di kepala Saripah.
Menggelupur, menggeliat lalu merayapi wajahnya, pundak, leher, dada dan semua tubuhnya. Lima detik
Saripah terpana saking tak percaya.
Detik keenam. ia tersadar.
Terutama, setelah ia mulai merasakan tusukan demi tusukan disertai sedotan demi sedotan pada
sekujur kulit tubuhnya. Busa telah berubah warna sama sekali. Coklat. Hanya coklat. Menggeliat,
menggempur, merayap, menusuk, menyedot. Ribut sekali.
Saripah serempak bangun.
Dengan ratusan, mungkin ribuan lintah dan pacat lengket menggigiti dan menerobos kulit
memasuki daging-daging tubuhnya. Lidah Saripah terlalu kelu untuk berteriak .Mulutnya mangap.
tetapi nafaspun hampir tak mampu ia keluarkan.
Saripah limbung.
Terkulai ke lantai kamar mandi. Dengan posisi duduk. Punggung menghempas tembok.
Di kamar duduk, pak lurah menguap.
"Suara apa itu?"
Eyang Mahmudin diam mendengarkan.
Herman mengamati kartu-kartu bridge yang ia pegang, kecewa melihat Lurah Joko menguap.
lantas mendengus:
"Ipah. Pasti bermimpi buruk lagi."
Dan Ipah, si Saripah malang menggeliat-geliat dalam usahanya untuk melepaskan diri dari
terkaman teror yang dahsyat itu. Selintas, di tengah rasa sakit, perih, nyeri, geli dan seram
sekaligus, terbelalak matanya menatap kran air. Dari mulut salah satu pipa kian air itu, pelan-pelan
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
meluncur turun makhluk sejenis dengan yang kini memenuhi bak dan lantai kamar mandi.
Tetapi yang turun itu lain sekali.
Warnanya lebih hitam sedikit. Dan, makhluk itu turun seorang diri. Dengan susah payah pula,
karena berusaha sedemikian rupa mengecil dan memanjangkan tubuh agar dapat lolos dari pipa.
Mencapai setengah meter, makhluk itu meliuk keras menggapai tepi bak. Sisa tubuhnya melengkung
tinggi, dan dengan satu kali sentak, keluar semua dari pipa kran. Jatuh terhempas di pangkuan
Saripah. Bentuknya pun berubah. Tambah pendek, namun tambah besar pula. Sampai mencapai
panjang dan sebesar lengan atau paha Saripah.
itulah dia.
Kejutan puncak dari ribuan kejutan yang telah menggerogoti Saripah. Kesadarannya tinggal
sedikit. Tenaganya apalagi. Melawan ia tak mampu. Meronta, pun tak kuat.
Tetapi kejutan puncak di haribaannya.
Menggelinding-gelinding menimpa ratusan kejut lain yang telah lebih dulu menempati haribaan
itu.
Sisa kesadaran dan naluri di tubuh Saripah. melahirkan suatu jerit lengking menyayat tulang,
mengiris sumsum.
"Duuuaaarrr, buk!"
Pintu kamar tidur yang terkunci itu terhempas membuka oleh tendangan kaki yang disertai
tenaga berlipat ganda. Cemas memukirkan nyawa adik perempuannya, Herman memperoleh tenaga di
luar ukuran normal. Begitu pintu terbuka ia menghambur masuk disertai jerit marah:
"Saripah! jangan! Jangan Saripah!"
Lurah joko merungkut di kursinya.
Pucat.
Sesosok tubuh yang lebih kurus dan lebih kecil. serta jauh lebih tua dari Lurah Joko, dengan
tangkas bangkit dan menyerbu masuk kamar di belakang punggung Herman. Sambil bangkit, sambil
ia sambar bungkusan garam mentah yang tak pernah jauh dari tangannya.
Lampu kamar tidur menyala terang benderang.
Begitu pula lampu kamar mandi. Pintu kamar mandi itu terbuka. dan ratusan lintah yang merayap
keluar, serempak tertegun ketika mencium bau garam. Ada pula yang nekad maju menerobos
rintangan di ambang pintu kamar mandi. Puluhan ekor banyaknya, yang segera menggempur-gelupur.
Mati.
Tampak betis Saripah terjulur.
Pucat. Dilengketi warna coklat yang hidup. menggeliat-geliat. Herman menderu masuk ke kamar
mandi.
"Saripaaaah!"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Ia dalam posisi setengah berdiri setengah bungkuk. Maksud semula, merenggut tubuh sang adik
yang sudah diam, membeku. Sepasang mata Saripah terpentang lebar. Menatap mohon perlindungan.
Namun, tanpa sinar kehidupan walau sepercik. di bola mata yang tadinya bundar indah itu.
Sinar mata itulah yang membuat Herman mendadak membeku.
Di belakangnya tanpa mengeluarkan Suara apa-apa kecuali menyebut kebesaran nama Tuhan.
Eyang Mahmudin menaburkan bubuk garam sebanyak-banyaknya ke pintu, ke lantai, ke bak mandi.
Gerakan liar dengan suara yang riuh rendah bergalau di kamar mandi. Ribuan yang mati. Tetapi
beratus-ratus ekor makhluk makhluk kecil menjijikkan itu mampu juga lolos. Melarikan diri lewat
lubang pembuangan. Saling berdesak desak, dan membuat lebih banyak mati terkena siraman bubuk
garam.
Karena terhalang oleh tubuh besar dan kekar milik Herman, Eyang Mahmudin tidak melihat
makhluk yang mestinya jadi sasaran utama. Hanya Herman seorang yang melihat dengan mata tak
berkedip. Makhluk ajaib tetapi laknat itu tegak di haribaan mayat Saripah. Seolah memiliki sepasang
mata, ujung paling atas makhluk itu meliuk dan "menatap" langsung ke mata Herman.
Kemudian, makhluk itu sirna. Dalam sekejap mata.
Dan Herman merasakan uap dingin merasuki kepala, kemudian seluruh tubuhnya. Kebekuan itu,
mengendur. Perlahan, Herman meluruskan tegaknya lalu berusaha lolos dan ambang pintu kamar
mandi.
Sesaat, Eyang Mahmudin menepi. Naluriah, memberi jalan.
Saat berikutnya, Eyang Mahmudin melihat kelainan dalam sinar mata Herman.
Orangtua itu kaget.
Melompat-lompat mundur ke tengah kamar. Menghalangi jalan ke pintu.
"Berhenti. kau!"
Ia membentak.
Sinar mata bening dan ramah di bola mata Eyang Mahmudin berubah ngeri bercampur marah,
tatkala ia lihat leher Herman terputar. Sungguh, terputar mengikuti arah jarum jam. kemudian
berlawanan dengan arah jarum jam lalu kembali dengan posisi semula. Leher Herman bagaikan
terbuat dari mainan plastik saja, yang digerakkan Otomatis dengan bantuan batu baterai.
" biarkan... aku... lalu!"
Mulut Herman terbuka.
Suara yang terdengar, bukan suara Herman yang gagah dan parau. Melainkan suara lirih seorang
perempuan.
Lutut Eyang Mahmudin goyah.
'Si... siapa engkau?"
Ia menggagap.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Nurjanah!"

*******

Tiga belas

Selasa.Ya Hari itu Selasa Memasuki minggu ketiga bulan Januari yang lembab. Basah berkabut.
Pukul lima, pagi. Belum terang benar tetapi lalu lintas di depan rumah Laila sudah mulai hidup.
Seperti biasa, sehabis sembahyang subuh kedua orangtuanya kembali tidur untuk bangun lagi sekitar
pukul tujuh.
Laila meluncurkan mobil hati-hati dari dalam garasi ke jalan raya yang berlapis kabut. Setelah
menemukan putaran yang benar, mobil langsung dikebut. Beberapa belokan, kemudian lurus menuju
pinggir kota. Mendekat tujuan utama. laila menyimpang lalu menghentikan kendaraan di depan
sebuah rumah.
Rosida sendiri yang membuka pintu.
"Kau, Laila Tumben, pagi begini." sambutnya dengan mata setengah mengantuk.
Wajahnya kelihatan tidak sehat.
"Kumohon,"
Laila tidak berbasa basi lagi.
"Demi masa depanku yang terancam, sudilah Kak Ida ikut dengan aku...."
Terpesona sebentar, Rosida kemudian tergugah oleh bunyi suara dan sorot mata Laila yang minta
dibelas kasihani.
"Tunggulah sebentar."
Tak lebih dari lima menit, Rosida sudah duduk di sebelah Laila dalam mobil. ia telah bersalin
pakaian. Dan memberi pupur merah jambu pada pipinya yang... hanya Rosida saja yang tahu... kering
pucat. Mobil pun melaju kembali.
"Ke mana kita, Laila?" tanya Rosida, lembut.
"Menemui Bang Herman." '
Terjadi ketegangan sebentar. Rosida memberengut mengatakan tujuan mereka terdengar aneh.
dan Laila tanpa tedeng aling-aling menjawab dengan penanyaan:
"Kak Ida. Cintakah engkau pada Bang Herman?"
"Oh. Aku kira."
"Cinta?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Kau menghendaki jawaban yang jujur?"
Rosida menantang.
Ngeri membayangkan kemungkinan jawaban apa yang ia terima, Laila berbisik: "Berikan saja
pengakuan dusta"
Dan ketika pengakuan Rosida keluar juga, Laila yakin itu adalah pengakuan yang tulus:
"Cinta."
Namun ada keraguan di mata Rasida. Laila tidak mengetahuinya, dan hati Laila menjerit-jerit
sakit.
"Tapi. Laila..."
Laila menekan keperihan di dada.
"Tetapi apa, Kak Ida?"
"Aku meragukan Herman."
jeritan di hati Laila, melemah. Mulutnyalah kini sebaliknya yang hampir menjerit:
"Mengapa kau meragukan Bang Herman?"
"Ia tidak sungguh-sungguh mencintaiku."
Sepi.
jalanan keluar kota itu, lebih sepi lagi. Sebentar gerimis. Setelah gerimis, kabut
"Dari mana Kak ida tahu?"
Laila merintih. Padahal, ia ingin bersorak sorai.
"Naluri perempuan, laila."
Sepi lagi.
Kemudian:
"Kau mencintai Herman?'
Pertanyaan Rosida itu sudah diharapkan Laila. Ia sudah menerima jawaban tulus ikhlas. Maka ia
pun harus mengimbanginya. jawab Laila, gemetar:
"Aku sangat mendambakannya."
"Aku mengerti."
Tidak tergambar nada sakit hati atau marah maupun tersinggung dalam ucapan Rosida itu. Ia
mengerti. Itu saja. Tanpa embel embel. laila tidak tahu apa sebabnya, dan memang hanya Rosida
seorang saja yang tahu. Ramah dan bersimpati, Rosida bergumam:
"Apa rencanamu?"
"Buka kartu!" sahut Laila, bernafsu.
"Mendengar dari mulut Bang Herman bahwa ia mencintaimu, dan bersedia menikahimu. Setelah
itu Kak Ida. Apa boleh buat. Aku akan menyerah .Bersedia menikah dengan Sumarna."
Rosida menatap kuatir:
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Kau belum tahu?"
Jantung Laila berdetak. Ia tidak bertanya, tetapi ia siap mendengarkan. Diam diam ia berpikir, di
sinilah terletak kunci pembuka rahasia tingkah laku papa dan mamanya yang lain dari biasa.
Tanpa berperasaan, Rosida memasukkan anak kunci ke lubang rahasia kemudian memutarnya
dengan suara berdetak nyaring:
"Sumarna sudah mati." '
"Ci-ci-ciiiittt...!"
Mobil zig zag, lalu terhempas diam di tepi jalan.
Laila mencengkeram kemudi kuat-kuat, seakan ingin mematah matahkannya.
Pandangan matanya gelap.
Masih hari selasa. Awal minggu ketiga bulan Januari yang sama.
Pada pukul lima pagi itu Herman tampak masih berdiri. Tegak mematung di antara kamar mandi
dan pintu kamar tidur Saripah. Suara berisik tajam dari kamar mandi sudah lama menghilang. Tetapi
di lantai kamar mandi itu masih tetap tertumpuk beribu-ribu ekor bangkai lintah dan pacat. Hampir
tertutupi tumpukan bangkai menjilikkan itu terlihat pula sebelah kaki mayat Saripah terjulur kaku.
Tiga jam lebih Herman berdiri tanpa bergerak.
Toh, tegaknya tetap kokoh. Mata kelabu, tak berkedip.
Di hadapannya duduk tegang dan pucat Lurah Joko pada sebuah kursi yang telah ia seret dari
kamar duduk ke dalam kamar tidur Saripah. Kursi itu ditempatkan persis memenuhi ambang pintu.
Sebelumnya, sekitar pukul dua pagi lebih lima menit. Lurah Joko yang hampir semaput karena
terkejut dan takut, memasuki kamar tidur Saripah dan dengan ngeri memandang terpelotot suasana
di sekitarnya .Betis Saripah, ribuan bangkai memuakkan, dan Herman yang berdiri dalam sikap aneh.
Lurah Joko merapat ke punggung Eyang Mahmudin, dan mendengar bekas gurunya itu bertanya
gagap:
"Sss... siapa... engkau?"
Herman menjawab. Bukan suaranya sendiri. Tetapi suara lain. Suara lirih perempuan.
"Nurjanah!"
Lurah Joko merasakan lutut Eyang Mahmudin goyah. Lurah Joko, jangan dikata lagi. Terasa
sesuatu mengalir deras pada bagian bawah tubuhnya.
Eyang Mahmudin berbisik:
"Kau membasahi celanaku."
"Celanamu?"
Mulut Herman memperdengarkan suara Nurjanah.
"Aku tidak membasahi celanamu."
"Bukan kau," sahut Eyang Mahmudin cepat cepat. Lututnya tidak goyah lagi.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Ini, murid yang nempel di punggungku. ia kencing di celana, dan ikut membasahi celanaku pula."
Diam.
"Nurjanah?"
"Aku masih di sini...." sahut roh Nurjanah,
Dingin.
"Apakah kau ini Nurjanah, anak gadis Dudung yang dinyatakan hilang?"
"Dari mana kau tahu?"
Ia mulai tertarik. pikir Eyang Mahmudin dengan sukacita.
Anak ini dapat diajak bicara. Anak ini, dulunya, pasti memiliki sifat-Sifat lembut. Peka. Dan
Eyang Mahmudin tidak takut lagi.
"Aku banyak mengetahui, Anakku."
Eyang Mahmudin berujar lembut. Terasa irama belas kasih pada alunan kata katanya yang lembut
mengalun itu.
"Kau sangat menderita. bukan?"
Tubuh Herman tergetar.
Tetapi suara Nurjanah yang keluar dari mulut pemuda itu agak tenang:
"Bagaikan tersiksa api neraka. Gelap sekali di mana mana. Sunyi mengerikan. Aku tak bisa
melarikan diri...."
"Kau akan kulindungi, Anakku."
"Kau? Kau akan melindungi aku?'
Terdengar tawa rendah. Pahit. Menyakitkan.
"Aku sudah lama mati. Sudah lama mati. Dengar? Aku tidak mungkin tertolong lagi." ,
"Rohmu, Anakku. Rohmu yang ingin kulindungi. Kau tentunya teramat sengsara, karena tak
diterima langit tak diterima bumi, bukan?"
"Eh. Ya. Aku sangat takut."
"Kami juga takut, Anakku."
"Kalian takut? Aneh. Mengapa kalian takut? Hanya aku dan ayahku saja yang pantas menerima
ketakutan itu. Hanya aku dan ayahku. Serta ibuku. Kami bertiga tidak pernah kalian perkenankan
mencicipi sedikit kebahagiaan. Kalian semua...."
Suaranya mendadak naik, lengking:
"Kalian membakar ibuku! Kalian membakar ibuku!"
"Kami tidak pernah bertemu dengan ibumu. Nak. Belasungkawa kami untuknya. Terimalah. Dan
ayahmu"
"Si Rukmana membunuhnya"
Eyang Mahmudin terdiam.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Bingung.
Di belakang. Lurah joko berbisik tanpa melepaskan pandangan matanya yang melotot cemas ke
arah Herman berdiri.
"Rukmana Ayah Herman."
Eyang Mahmudin manggut-manggut. Dia ingat sekarang.
Katanya.
"Apa yang telah diperbuat Rukmana? Sungguh, percayalah. Kami semua tidak tahu. Kalau kami
tahu."
Suara eyang mengancam, tetapi tanpa lanjutan ancaman yang jadinya mengambang itu. "Apa
yang diperbuatnya?"
"Ia memeras ayahku. Menimbuni kami dengan hutang budi, dan kemudian mengambilnya kembali
lewat kekayaan kami yang tidak seberapa. ia, si lintah darat itu...."
Tubuh Herman bergetar hebat lagi. Getaran amarah yang meluap luap. Mulut Herman yang
terbuka kaku, memperdengarkan jerit lengking:
"Lintah darat! ia lintah darat terkutuk! Karena itulah, dengan bantuan roh ayah dan ibuku, aku
bangkit kembali. Bangkit dalam wujud yang mestinya dimiliki Rukmana. Melalui wujud lintah akan
kulakukan apa yang ia perbuat padaku, pada ayahku. Menghisap darahnya. Menghisap darahnya
sampai tidak tersisa sebutirpun juga!"
"Rukmana sudah menerima hukumannya, Anakku."
"Aku tahu! Aku tahu! Tetapi bukan tanganku yang melakukan. Alam mendahului aku. Dan sebelum
alam mendahului lagi, maka kupikir tidak ada salahnya menghisap darah semua keluarga Rukmana.
Toh mereka semua pernah hidup dari penghasilan Rukmana Dari darahku. Darah ayahku!"
"Maafkan, Nak."
"Maaf. Kepada roh jahat terkutuk? "
Lurah Joko tak mengerti. Tetap lengket di punggung Eyang Mahmudin. ia dengarkan juga lanjutan
kata-kata eyang itu:
"Perbuatanmu tidak patut."
Hening.
Menyentak. Lebih-lebih, curah hujan di luar rumah sudah reda betul. Angin pun seolah enggan
bertiup.
Hampir pingsan Lurah Joko waktu sekonyong konyong keheningan itu dipecahkan suara melolong
Nurjanah:
"Demi setan yang diusir dari syurga! Demi setan penghuni neraka! Berani kau katakan
perbuatanku tidak patut?"
Leher Herman bergerak. Terdengar nafas sesak tak berkeputusan.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Apakah patut. perbuatan Rukmana? Ia memperkosa aku. Kalian dengar? Ia memperkosa aku. Di
depan mata ayahku sendiri!"
Lurah Joko mengucap istigfar.
Eyang Mahmudin bertanya getir: "Kapan terjadinya peristiwa terkutuk itu. Anakku?"
"Malam itu. Sudah lima belas tahun berlalu! Dan umurku pun ketika itu persis lima belas tahun
pula. Ia datang ke rumah. Menerobos masuk tanpa mengetuk pintu. Ia... ia mengingatkan ayah pada
hutang-hutang kami yang belum terlunasi. Dengan bunganya sekalian. Sedang sawah dan rumah
kami sudah lebih dulu dirampasnya. Lalu ia bilang, aku akan dinikahinya, sebagai pembayar hutang
ayah. Demi ayahku, aku setuju... hi. aku setuju. Malu aku mengakuinya. Demi ayahku.. Tetapi dia... si
lintah darat jahanam itu. Dia marah sekali setelah mendengar penolakan ayah. Ayahku bilang. lebih
baik ia mati berkalang tanah daripada melihat putri kesayangannya dinodai makhluk terkutuk macam
Rukmana
Bajuku dipretelinya!
Aku berusaha melawan. Tetapi sia sia. Aku baru 15 tahun. Miskin, kurang makan. Lemah karena
hampir tak pernah tidur demi mengurus ayahku yang terlantar. Aku tak berdaya... Lalu ayahku yang
lumpuh, tiba-tiba bangkit! Hebat dia. bukan? Demi aku, anaknya, ia bangkit dari lumpuhnya
Kemudian"
Suara Nurjanah melemah, berubah jadi rintihan pilu:
"Kemudian... ayah terjerembab kembali di dipan. Itulah gerakan terakhir yang ia lakukan. Ia
mati."
Lurah Joko merasakan punggung eyang terguncang. '
Sayang, Lurah Joko berdiri di belakang si kunis kecil tua bangka itu. Kalau ia panjangkan leher
untuk melihat, ia akan tahu kalau Eyang Mahmudin mengucurkan air mata.
"Anak malang...." desah Eyang Mahmudin terbata-bata.
Melalui pundak Herman ia lihat cahaya terang-terang ayam mulai masuk melalui jendela. Entah
sejak kapan, hujan reda.
"Apa yang kemudian kau lakukan. Anakku?"
"Menangisi ayah. apalagi!" jawab Nurjanah. Kasar.
"Ia meninggal. Baiklah. Tetapi mengapa kau menghilang?" .
"Siapa bilang aku menghilang?" teriak Nurjanah.
Lalu suaranya merendah lagi. Getir dan sakit:
"Aku... aku bangun setelah Rukmana pergi. Tahu ayahku mati aku tak punya apa-apa lagi, tak
punya siapa-siapa... aku berlari keluar. Kuikat badanku dengan tali. Ujung tali yang lain kuikatkan
pula ke batubatu besar. Tahu sajalah. Takut megap megap dan aku berteriak minta tolong, maka
kupergunakan batu-batu itu. Supaya aku terbenam sekaligus. Mati. Menyusul roh ayah. Roh ibu."
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Terbenam. Di mana?"
"Di mana lagi. Di sumur. tentu. Sumur yang terletak di depan rumah kami!"
Lalu sepasang mata Herman terpejam. Dari mulutnya terdengar suara megap-megap. suara
mengerang merintih dan kutukan-kutukan semoga arwah ayah dan arwah ibunya membantu Nunjanah
untuk membalaskan dendam.
"Oh. ayah dan ibu. Oh, setan yang diusir dari syurga. yang menghuni neraka. Biarkan aku hirup
darahnya, darah turunannya, darah...."
Suara lirih mengerikan itu, terdiam tiba-tiba.
Jam dinding di ruang duduk berdentang lima kali. Mata Herman terpentang lagi. Desah nafasnya
terkejut, ketika ia tidak melihat Eyang Mahmudin. Yang ia lihat cuma Lurah Joko seorang, tengah
sibuk menggeser kursi besar dan berat ke pintu, lantas menghenyakkan pantat di situ. Duduk
mematung. bagaikan ranjau penghalang. Tetapi dengan kepala dan dada dipenuhi ketakutan.
Tetapi ini perintah.
Perintah Eyang Mahmudin agar ia menahan Herman selama ia mampu. Lurah Joko mencoba
santai di kursi. Berlagak berani, sambil mengumpat bekas gurunya yang menghilang entah ke mana.
Eyang pengecut, pasti Lurah Joko memaki, kalau tak sadar tentulah eyangnya telah pergi ke
sumur yang dimaksud Nurjanah. Tetapi astaga.
Tahukah eyang bahwa Sumur itu telah ditimbun?
Ketakutan kian menjadi-jadi menghantui Lurah Joko.
Lebih-lebih ketika kelopak mata Herman terbuka menampakkan bola mata kelabu, disusul Suara
rintihan marah: "Mengapa kau menghalangi jalanku?"
Lurah Joko mengumpulkan keberaniannya.
Menjawab, bukan main! Seenak perut;
"Emangnya kau mau ke mana, Nurjanah?"
"Pulang!"
"Pulang ke mana?"
"Rumahku."
"Ini juga rumah. Mengapa tidak tinggal di sini. Hangat pula."
"Aku merindukan kelembaban dasar sumur itu. Merindukan kesejukan dan persahabatan abadi
yang telah ia berikan selama lima belas tahun. Ayo menyingkirlah. Hari sudah pagi. Aku tak dapat
menunggu lama-lama."
"Pergilah. Tetapi tinggalkan Herman di sini."
"Tidak!"
"Apa susahnya?"
Lurah Joko makin berani. Tak percuma ia pernah berguru pada Eyang Mahmudin.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Tanpa tubuh ini aku tak dapat pergi. Aku melihat garam mentah. Aku mencium bau laut. Dengan
mempergunakan tubuh ini, aku akan mampu melaluinya...."
Lalu membentak tiba-tiba:
"Minggir!"
Kaget, Lurah joko menciut di kursi.
"Tunggu. Masih ada yang ingin kutanyakan."
Tubuh Herman dengan roh Nurjanah di dalamnya. emoh menunggu. Hanya tiga kali lompatan
tangkas dan cepat. Disusul gerakan membungkuk yang lebih cepat lagi. Tahu-tahu saja kursi di mana
Lurah Joko duduk telah terangkat tinggi melayang sebentar dan kemudian terhempas di lantai kamar
duduk.
Lurah joko terguling.
Pingsan.
Herman beranjak keluar. Tergetar sebentar menyambut datangnya pagi yang berkabut. Kemudian
melangkah pasti ke jalan. Beberapa orang tetangga berpapasan dengannya. Mereka menyapa lalu
mereka tercengang. Herman tak menyahuti, melirik pun tak sudi.
"Pasti kesurupan." bisik seseorang.
Herman lebih dari sekedar kesurupan!

****

Laila telah menguasai dirinya kembali. Ia ingin menjerit. Ingin menangis meraung raung. Namun
yang mampu ia keluarkan adalah desah cemas, kuatir. Seakan tidak menyadari kehadiran Rosida di
sebelahnya. mobil langsung dikebut.
"Bang Herman. Bang Herman. Ia pasti sedang dilanda dukacita yang menyedihkan...."
Hanya itu yang ada di benak Laila.
Tiba di rumah keluarga Herman, Laila menghambur turun dari mobil. Berlari-larian masuk, dan
waktu keluar ia tampak malu sekali. Kemudian masuk ke mobil, sekilas ia menampak Rosida duduk
dengan wajah menekuri sepatu.
Laila tak perduli.
Rosida begitu tak berperasaan tadi.
Laila pun bisa!
Setengah gila ia memacu kendaraan di jalan sempit berlubang-lubang itu menuju rumah Saripah.
Mereka terhanting-banting dalam mobil. Laila tidak merasakannya. Dan aneh, Rosida pun diam saja.
Lalu Laila melihatnya.
Jalan yang ditempuh mobil Laila terletak lebih tinggi dari desa di bawah sana. Menepi sejenak ke
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
pinggir tebing terbuka, Laila sudah dapat melihat rumah Saripah. Tampak menyolok di antara
rumah-rumah lainnya. karena modelnya yang mutakhir dan atap asbes-nya yang berwarna hijau tua.
Seseorang baru saja keluar dari dalam rumah itu. Samar-samar memang, karena udara pagi masih
diselaputi kabut tipis.
Laila segera mengenalinya. Mengenali perawakan tinggi besar dan cara berjalannya yang gagah.
setengah tak acuh.
"Herman. Pasti dia.
Bukan begitu. Kak Ida?" tanya Laila lirih sambil memacu mobil kembali menempuh jalan menurun
dan berbelok panjang.
Rosida yang tetap duduk menekuri sepatu, tak menyahut sepatah pun. Melirik sekilas, Laila
melihat wajah perempuan itu berubah pucat dengan cepat, dan tampak agak kering.
"Tuhanku, aku telah membuat dia ini sakit!"
Laila menjerit dalam hatinya lantas mengeluh:
"Aku tidak sebiadab yang kau duga, Kak ida. Selagi Bang Herman menetapkan ia tetap akan
menikahimu, aku akan segera berlalu...."
Berlalu.
Ke mana?
Pada siapa?
Sumarna telah mati.
Apakah papa dan mama masih mau memaafkan Laila?
Memasuki mulut desa, sejumlah anak kecil sudah mulai bermain main di jalan, campur baut
dengan ternak yang berkeliaran. Kecepatan mobil ia turunkan sedikit demi sedikit. Lalu mendadak ia
berhenti. Pas di ujung jalan yang dipotong jalan membujur ke kiri ke kanan. Simpang tiga siku siku.
Dan di seberang, berhadapan lurus dengan mobil, tegak rumah Herman yang hampir jadi Itu.
Rumah itu tidak selengang biasa .
Tampak beberapa orang lelaki bertubuh kekar tengah sibuk membersihkan pekarangan.
Menyingkirkan segala macam bekas reruntuhan lama. potongan-potongan balok kayu dan
berteriak-teriak pula menyuruh sekelompok anak-anak yang ingin ikut ambil bagian agar enyah
sejauh mereka dapat. Disertai umpatan-umpatan kotor dan kasar sehingga kelompok anak-anak itu
ngacir serabutan. Halaman depan yang tadinya acak-acakan itu sebentar saja sudah tampak jauh
lebih luas dan bersih lapang.
Mau apa mereka itu?
Dan siapa laki-laki tua bangka bertubuh kurus kecil yang ribut memerintah ini itu. sambil tak
henti hentinya menaburkan bubuk putih yang aneh di pintu masuk dan di seputar halaman?
Tak puas tampaknya. orang tua itu kemudian mengangkat sebuah jeriken besar dibantu salah
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
seorang laki-laki kekar itu. Lalu menumpahkan isinya mengitari pojok kanan pekarangan.
"Kau tahu siapa mereka itu, Kak Ida?"
Laila nyeletuk. Bingung.
Rosida mengangkat muka. Ikut memperhatikan. Jawab yang keluar dari bibirnya tidak relevan.
"Aku mencium bau busuk"
Lantas ia terpekur lagi.
"Perhatikan baik-baik, Kak Ida. Beberapa dari mereka kukenali sebagai tetangga Kak Ipah. Aku
lihat pula dua orang kerabat Bang Herman. lalu... ah, kalau tak salah yang sedang membawa ember
ember itu adalah tangan kanan pak lurah. Orang tua kurus itu, asing buatku. Kau kenal, Kak Ida?"
Desah Rosida semakin getir:
"Busuk. Aku mencium bau busuk,"
Lalu Rosida tampak gemetar dan semakin pucat.
"Kak Ida mungkin betul. Tetapi sebaiknya kudatangi saja mereka itu...." gumam Laila tanpa
memahami nada suara Rosida.
Laila baru saja akan membuka pintu mobil ketika dari simpang kanan, datang berlari-larian
seorang laki-laki lain. Mereka berbicara cepat. Menunjuk-nunjuk ke arah lelaki itu barusan datang.
Sikap mereka segera berubah. Kesibukan terhenti. Digantikan wajah wajah gelisah sambil saling
berbisik-bisik.
Laila segera tahu apa sebabnya. . Dari arah orang terakhir tadi muncul. tampak sejumlah orang
pula datang bergegas. Mereka semua bergabung di tengah halaman dan memperlihatkan sikap tengah
menunggu sesuatu.
Kemudian, Herman muncul.
Laila tersentak. Dan kerumunan orang di halaman, semakin gelisah. Laila turun dari mobil.
Ragu-ragu. Kemudian berjalan mendekat. Paman Herman yang ada di tengah kerumunan orang itu,
melihatnya lantas bergegas mendatangi:
"Pergilah. Mau apa kau di sini, Nak?"
Ia melirik ke mobil.
"Ah. Dengan si ida pula lagi. Wah!"
Paman Herman tampak cemas dan ketakutan.
Laila tak mau pergi.
"Aku mau bertemu Bang Herman," gumamnya. keras kepala.
"Herman, Anakku? Kau kira Herman yang muncul di depan kita itu?"
Laila menatap paman Herman dengan bingung.
Ia mau bertanya. Tak jadi. Perhatiannya keburu tertarik pada orangtua bangka tadi, yang dengan
langkah-langkah tenang menyongsong kedatangan Herman.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Siapa dia, Paman?"
"Eyang Mahmudin. Dan ia akan menyelamatkan Herman."
"Ia akan apa?"
"Ssstt!'
Kabut tipis sudah menghilang. Matahari belum muncul, namun Laila dengan takjub menyaksikan
Herman terus saja memasuki pekarangan tanpa mengacuhkan semua orang yang ada di situ. Ia
langsung bergerak kesebelah kanan pekarangan. Melewati Eyang Mahmudin yang kemudian merasa
tersinggung dan berteriak membentak:
"Berhenti kau di situ, Anakku!"
Herman tertegun. Tubuhnya tetap membelakangi Eyang Mahmudin. Tetapi kepalanya!
Kepalanya berputar 90 derajat. Menghadap lurus pada eyang itu.
Laila membelalak Ngeri.
"... kau mempecundangi aku, Kakek tua!"
Terdengar suara lirih. tajam bermusuhan. Dan itu bukan suara serak parau laki-laki melainkan
suara seorang perempuan. .
Bulu roma Laila berdiri tegak .
Tangannya menggapai ke samping. Setelah menemukan tangan paman Herman tanpa malu malu
lagi ia langsung merangkulnya kuat-kuat.
Kepala Heman berputar lagi. Bukan kembali. Tetapi berputar terus mengikuti putaran semula.
berhenti sesaat mengawasi sejumlah laki-laki yang berkumpul ketakutan di depannya.
"Kau mempecundangi aku. Kakek tua,"
Suara mengerikan itu mengulangi kata-kata tadi. "Mengapa membawa begitu banyak orang?"
Eyang Mahmudin bergerak ke depan, menghadapi Herman.
"Kau pun mempecundangi aku, Anakku,"
Suaranya lebih lembut. Bersahabat.
"Dengan caramu yang lihai, kau kentuti rintangan rintangan yang kupasang di rumah itu.
Mengenai orang-orang ini, Lurah Joko yang memberi perintah .Sebelum kau menyatroni kamar mandi
Saripah, lurah telah menyuruh orang-orangnya berjaga-jaga di sekeliling rumah."
"Kalian bermaksud menjebakku?"
Terdengar tawa meringkik.
"Air lautmu tidak lagi membuatku mabuk. Kakek tua. Dengan mempergunakan tubuh ini, aku
malah akan mengencinginya!"
"Aku tahu. Bubuk garam itu pekerjaan sia-sia saja,"
Eyang Mahmudin mengakui, pelan. Lalu:
"Kumohon, Nurjanah. Kumohon. pergilah dengan cara baik-baik. Aku bermaksud menolongmu,
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
bukan mencelakakan engkau. Pergilah. Tinggalkan jasad yang tak berdosa ini!"
"Menyingkir dari jalanku, Tua bangka!"
Mulut kaku Herman megap-megap mengeluarkan suara jerit lengking Nurjanah
"Aku akan tetap menguasai jasad ini. Membawanya ke tempatku berkubang. Menyingkirlah!"
"Sekali lagi kumohon. Nurjanah. Atau kau terpaksa harus enyah dengan penuh kesengsaraan!"
Suara Eyang Mahmudin meninggi.
Marah.
Mulut Herman terbuka lebar.
Mengeluarkan ringkik kematian. Sambil meringkik, tangannya menjangkau ke depan. Eyang
Mahmudin tidak keburu berkelit. Tubuhnya yang kecil tahu-tahu saja sudah terangkat tinggi di atas
kepala Herman. Tidak seorang pun mampu membuka mulut, apalagi untuk bergerak menolong tubuh
kecil yang memelaskan hati itu. Malah ada yang jatuh pingsan seketika itu juga.
Terdengar suara angin bersiul.
Tangan Herman yang terangkat tegak lurus ke atas, bagaikan batang asa baling-baling
helikopter, berputar cepat di persendiannya. Dengan tubuh kecil kurus dan peot itu, sebagai pengganti
baling-baling. Makin lama makin cepat, sampai bayangan tubuh Eyang Mahmudin tinggal bayangan
samar belaka.
Putaran itu menyebabkan angin bertiup lebih keras.
Laila menggigil dengan pegangan paman Herman, lantas menjerit-jerit histeris:
"Herman. Abang Herman. Jangaaaaan!"
Herman tidak berpaling.
Pamannya yang berdiri rapat di samping Laila. kumat kamit membaca ayat-ayat kitab suci.
Dengan wajah dibanjiri peluh dingin. Entah karena do'a suci itu, entah karena jerit histeris Laila, atau
karena memang sudah puas mempermainkan mangsanya. putaran baling-baling di atas kepala
Herman melemah, melemah dan bayangan tubuh Eyang Mahmudin semakin jelas dan jelas. Lalu
tibatiba dilontarkan begitu saja. Langsung ke tempat kelompok laki-laki kekar yang telah menciut
hatinya itu. Mereka semua jatuh tunggang langgang ditimpa tubuh Eyang Mahmudin yang hinggap
tanpa pemberitahuan itu.
Terdengar lagi suara meringkik.
Seram.
Lalu acuh tak acuh Herman melangkah panjang menuju pojok. Ia menuju bekas sumur tua yang
sudah ditimbuni segala macam sampah itu. Tertegun sejenak.
Mencium-cium.
"Bau apa... ini?"
Nurjanah menceracau, bingung
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Eyang Mahmudin bergerak bangkit. Terhuyung-huyung. Limbung. Yang lain mengikuti. Orang tua
itu berteriak terputus-putus: "A... yooo. Bakar. Bakar!"
Kaum lelaki itu mulai bertindak.
Dua tiga buah batu bensin dan korek api menyala seketika .Dilemparkan susul menyusul. Tanah di
sekitar sumur tua itu lembab becek. Tetapi di situ sebelumnya telah mereka taburkan sampah sampah
kering. Telah pula disirami bensin.
Huuuuuppp...!
Api menjilati sampah berbau bensin. Mula mula kecil dan lemah saja. Tetapi dengan segera Sudah
berkobar menyala-nyala. membentuk lingkaran api dengan tubuh Herman terperangkap di
tengah-tengahnya.
Terdengar jerit kaget dari mulut Herman.
"Neraka! Api neraka! Tidak. tidak, tidaaak."
Herman berputar-putar dalam lingkaran api berusaha mencari lubang untuk lolos. Tampak salah
seorang dari kerumunan lelaki itu mengambil jeriken dan menumpahkan bensin yang masih tersisa ke
kobaran api yang segera saja tambah bernyala-nyala.
Laila menjerit lagi. Menjerit dan menjerit:
"Jangaaaan! Ya Tuhan,"
Ia meronta-ronta dari pegangan paman Herman yang membetotnya kuat-kuat.
"Oh kalian akan membunuh Hermanku. Kalian membakar kekasihku!"
Laila menangis meraung raung.
Dari kobaran api, terdengar suara tangis lain.
Tangisan perih, menyayat hati.
Kemudian tubuh Herman samar-samar tampak limbung. Jatuh terkulai di tanah lembab basah.
Sebelah kakinya tergeletak tak jauh dari lidah api.
"Air. Air. Air...."
Entah siapa yang berteriak
Lalu ember-ember tadi memperlihatkan kegunaannya. Dari ember ember itu. setiap orang yang
memeganginya dengan tergopoh-gopoh dan kacau balau menyiramkan air sebanyak mungkin.
Sebagian disiramkan ke api. Sebagian lain ke tengah lingkaran api itu, langsung membasah kuyupkan
Herman.
Belum lagi api padam. Laila sudah berhasil lepas.
Ia menghambur tanpa dapat dicegah. Menghambur ke pekarangan, melompati sisa-sisa kobaran
api yang kian mengecil lalu memeluk tubuh Herman yang basah kuyup oleh air dan lumpur. Meraung
lagi:
"Bangunlah, Herman. Bangunlah! Katakanlah kau masih hidup. Ayo Herman. Sayangku!"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Herman menggeliat.
Mengaduh.
Setengah gila.
Laila mengangkat wajah Herman yang tertelungkup. Ia melihat kelopak mata Herman terbuka.
Mendengar suara Herman merintih:
"Apa yang... siapa."
Suara Herman. Herman yang sesungguh sungguhnya.
Saking Sukacita. Laila menciumi Herman. Menciumi wajah berselemak lumpur itu bertubi tubi.
Matahari mulai bersinar di ufuk Timur. Satu dua orang yang baru saja terlepas dari pengaruh gaib
yang mengerikan itu, berpaling menyaksikan pemandangan yang jauh berbeda. Bibir Laila masih terus
mengulum bibir Herman.
Kemudian orang-orang itu berpaling ke arah lain. Berlagak tidak melihat apa-apa.
Mereka maklum.
Hati mereka semua memang masih tergoncang oleh peristiwa sebelumnya.
Coba, kalau mereka berpikir sedikit lebih jernih. Maka mereka akan terperanjat: Laila yang
tadinya mereka kenal sebagai calon istri Sumarna, menciumi Herman. Dan Rosida yang mereka
ketahui sebagai calon istri Herman, duduk diam-diam saja di dalam mobil.
Coba, kalau mereka juga mengawasi Rosida dengan seksama.
Perhatikan sinar matanya.
Mata itu merah. Berapi-api.
Hanya satu orang saja yang melihat nyala api di mata Rosida. Orang itu adalah Eyang Mahmudin.
Masih mabok karena sempat dijadikan baling baling bernyawa, ia sangat berharap seseorang datang
menawarkan obat sakit kepala .Syukur syukur diberi obat gosok sekalian. karena tulang tulangnya
pun masih terasa linu.
Tetapi tidak seorang pun memperdulikan Eyang Mahmudin. Semua orang yang ada di tempat itu
berkumpul dalam beberapa kelompok dan ribut menceritakan perasaan, pengalaman dan malah ada
juga kehebatan dirinya menumpas roh jahat penghuni api neraka itu. Laila dan Herman jangan dikata
lagi. Kedua anak muda itu punya kesibukan tersendiri.
Kecewa, Eyang Mahmudin memandang berkeliling.
Ah. itu sebuah mobil. Biasanya di mobil bagus seperti itu ada tersedia kotak obat. lalu Eyang
Mahmudin bertindak maju. Dua tiga langkah cuma Kemudian berhenti. Sekujur tubuhnya tegang lagi.
Lewat kaca depan mobil, di dalam ia lihat seraut wajah yang asing baginya. Tetapi sinar mata
itu....
Sinar mata itu pernah dilihatnya .
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
*****

Empat belas

Rosida memperhatikan wajahnya di cermin.


"Aku masih tetap muda dan cantik,"
Ia bergumam, mengagumi diri sendiri. Namun tanpa nada kebahagiaan. Malah sebaliknya.
Gumaman itu pedih.
Menderita.
Gadis itu mendekatkan bibir ke kaca.
Parit di bawah hidungnya semakin menggurat nyata. Tetapi lekuk sebelah dalam, masih belum
sempurna. Kurang dalam.
Gusi bengkak?
Ia tersenyum, pahit. Sampai kapan ia selalu mengemukakan omong kosong yang sama: gusi
bengkak!
Dirabanya lekukan tipis itu.
Terasa keras.
Dan panas menggigit. Bibirnya yang atas. tetap saja masih mencuat ganjil. Benar, tidak
semenonjol hari-hari sebelumnya. Namun toh tetap tampak tidak menarik dan jelas merusak
keindahan wajahnya yang elok.
"Biarlah. Tak lama lagi,"
Kembali Rosida bergumam.
"Besok atau lusa, akan elok lagi. Aku pun bertambah cantik. Bertambah muda Hem. hem. Berapa
ya usiaku sekarang?"
Rosida mereka-reka.
Lantas ia mengalah pada diri sendiri. Buat apa dihitung hitung. Dari dulu juga tidak. Rosida tak
pernah takut pada ketuaan. Karena tiap kali parit bibirnya lenyap kemudian muncul kembali. ia
merasa jauh bertambah muda saja.
Dan Herman, hanya satu dari sekian ratus orang.
Herman tak perlu mengkuatirkan Rosida bakal jadi perawan tua.Herman tak perlu berdo'a semoga
Rosida dapat jodoh yang lebih sesuai dan lebih bertanggungjawab atas perbuatannya. Suatu ketika
kelak, bila roh-roh nenek moyang sudah memberi ijin, Rosida tertawa kecil. jodohnya akan datang
sendiri. Seorang lakilaki yang sepadan dengannya. Seketurunan dengannya. Dan mereka akan
melahirkan keturunan-keturunan yang lebih baik.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Sungguh tolol si Herman.
Berpura-pura menyesal, ketika ia menelpon tadi siang.
Ah apa saja pembicaraan mereka tadi?
"... luka-luka bakar di tubuhku belum sembuh benar, Ida. Maaf. aku belum sempat datang
langsung."
Begitu antara lain kata Herman di telepon. Luka-luka bakar.
Hem. Rosida tahu benar. Tak lebih dari luka lecet belaka. Dan sudah hilang berkat rawatan
telaten dan kuatir tangan tangan halus Laila.
"Kau baik-baik saja, Ida?" tanya Herman pula.
"Ah. Biasa"
Ia jawab.
"Bagaimana gusimu?"
"Infeksinya sudah hilang."
"Syukurlah. Dan eh. Ida...."
"Mmh?"
"jadi pulang kampung?"
Itulah semuanya. Herman telah membuka belangnya Sendiri. Herman yang belum lama berselang,
mati matian menahannya.
Oh, Herman-ku yang baik hati!
"Kukira aku akan tetap pulang, Herman."
"Kau akan kuantar,"
Suara Herman terdengar mengambang.
"Ah. Terimakasih. Tetapi lebih baik jangan!"
"Kenapa?"
'Tidak pantas. Kau masih dalam suasana berkabung. Biarlah segala sesuatunya berjalan lancar
dan senang. Baru pikirkan hal hal lainnya,"
Ia dorong pemuda itu supaya enyah jauh jauh dari sisinya.
"Kau penuh pengertian. Ida."
Terdengarnya sih penuh haru, pernyataan Herman itu.
"Selalu begitu, bukan?" jawab Rosida, kalem.
Sudah berapa kali ia mengutarakan pengertian itu. Sekali aku mengerti. kenapa kau tidak mau
mendekati ayahmu. Lain kali aku mengerti. kenapa kau tidak sehebat adik-adikmu. Lain kali lagi aku
mengerti, betapa sedihnya orang masuk bui. Dan kemaren dulu itu. Ketika ia melihat Laila menciumi
Herman. Rosida pun, telah berusaha mengerti.
"Ida?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
"Mmh?"
"Segera setelah aku sembuh benar...."
"Aku tahu," potong Rosida, memperdengarkan tertawa menggembirakan.
"Aku tahu, kau akan datang. Tetapi ah, tidak usahlah hiraukan betul diriku ini. Aku sudah dewasa,
Herman. Aku dapat menjaga diri."
"Apa maksudmu?"
Herman terkejut. Pura pura, jelas.
"Sudahlah. Kirim saja salamku pada Laila,"
Suara Rosida datar-datar saja.
"Ida, aku.... Ah. Bagaimana aku harus mengatakannya padamu. Aku telah... dan aku tidak...?"
"Tak usah gugup, Sayang. Apa yang telah kita perbuat selama hubungan kita yang manis, sudah
biasa dilakukan orang-orang lain bukan? Nah. Mereka akhirnya dapat berpisah baik-baik. Mengapa
kita tidak?"
Lama, baru Herman membuka mulutnya.
"Betapa mulia hatimu. ida."
"Semoga!"
Rosida mengangguk sendiri.
Sepi lagi.
Rosida tak suka dengan kesepian itu. Lalu:
"Bagaimana keadaan di sana?"
"Baik. Sehari yang lalu. jenasah Saripah sudah dikuburkan. Juga tulang belulang Nurjanah, yang
ditemukan di dasar sumur tua itu. Tulang belulangnya telah dikuburkan semestinya. dengan upacara
semestinya pula. Rohnya tidak lagi...!"
"Hehhh!"
Rosida mendengus.
Seram.
"Jangan bicara soal roh macam itu lagi, Herman. Kau tahu."
Rosida tercekat.
"Aku tak tahan!"
Dan itu sesungguhnyalah, memang benar.
"Kita obrolkan saja tentang mereka yang masih hidup."
Herman bergumam setuju. Riang gembira ia memberitahu:
"Oh ya. Noni sudah pulang. Kini ia bersamaku. Di rumah Saripah. Kau tahu? Ia lebih segar bugar
sekarang...!"
Rosida meletakkan cerminnya.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Parit bibir di bawah hidungnya terasa panas lagi. Perih menggigit. Bagai ditusuk beribu-ribu
jarum. Ia sudah lupa apalagi yang tadi siang diomongkan Herman di telepon. Tersengal-sengal ia
berjalan ke tempat tidur. Darahnya menggelegak.
Ia mulai menyusun bantal dan guling. Serapih mungkin.

****

Hari itu Kamis Kliwon. Angin musim penghujan minggu ketiga bulan Januari bertiup basah.
Ramalan Eyang Mahmudin mengenai curah hujan, rupanya mirip ramalam jawatan meteorologi
sering-sering meleset. langit yang menutupi pedesaan di pinggir kota tampak biru jernih. Ribuan
bintang berkontes, siapa yang paling cemerlang.
Hanya rembulan saja yang tampak menyendiri. Berwajah suram. Barangkali cemas melihat
gumpalan awan pekat masih mengancam dari beberapa jurusan. Atau barangkali juga, karena berpikir
prihatin: mengapa sepanjang umur bumi, rembulan tidak pernah memperoleh pasangan.
Dari masjid. terdengar suara orang mengaji.
Bergaung ramai. Maklum, malam Jumat. Mana Sekalian tahlilan untuk mendo'akan sejumlah
arwah yang belum lama berangkat dengan sengsara dari desa mereka. .
Rumah Saripah tampak tenang dari luar.
Tak ada kesibukan yang menyolok. Bi Ijah telah menyapu bersih garam dapur dari tubuhnya.
Tetapi setelah Eyang Mahmudin minta disediakan semangkok penuh bawang putih yang sudah
diiris-iris halus, Bi Ijah kembali repot lagi. Setelah memenuhi permintaan tamu mereka, Bi Ijah
cepat-cepat mengunci diri. Ke kamar tidurnya ia bawa batu penggilingan dan seonggok bawang putih.
Bawang putih digiling sampai lumat. Dioleskan ke setiap sudut tubuhnya.
Lalu ia berbaring ketakutan di dipan.
Tak ayal lagi, sampai pagi esoknya ia tidak dapat terpejam. Selain karena perasaan takutnya.
juga karena polesan bawang putih yang luar biasa melebihi ukuran itu membuat sekujur tubuhnya
bagai terpanggang dalam bara api.
Di tengah rumah, tiga orang lain sibuk bekerja. Herman, Eyang Mahmudin dan Lurah Joko. Lurah
Joko sesekali mengeluh. Sambil melirik dongkol pada Herman, tentu. Sakit pinggangnya masih terasa
linu. Habis dibanting Herman dua malam yang lalu.
"... aku masih belum memahami satu hal, Aki Udin." gumam Herman seraya menaburkan hati hati
sejumput irisan bawang putih di tempat tempat mana sebelumnya Eyang Mahmudin pernah
menaburkan garam mentah.
"Katakan saja. Tak usah malu-malu." sahut Eyang Mahmudin sopan.
Orangtua itu tengah sibuk menggantungkan beberapa helai benang benang hitam di bagian
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
dalam pintu kamar mandi yang terbuka. Agak curiga, melirik juga si kecil kurus itu ke bak mandi.
Siapa tahu dari lubang pembuangan yang sudah licin dibersihkan itu ia kena dipecundangi lagi.
"Mengapa Aki menduga dia orangnya yang kita tunggu?"
"Berkat pengalaman, Anakku. Pengalaman sepanjang hidupku yang sudah 80.an tahun ini."
"Itu bukan jawaban," rungut Herman, kecil hati.
Melirik ke tempat tidur di mana Noni tertidur pulas. Si kecil itu sebenarnya belum sembuh benar.
Memang wajahnya sudah kemerah merahan lagi. Tetapi kulit tubuhnya masih mengelupas kering di
beberapa tempat. Terbayang di matanya wajah dokter yang menahan marah karena Noni diambil dari
rumah sakit .
Jam dinding berdentang dua belas kali.
Dan Eyang Mahmudin mematikan lampu kamar mandi, sehingga gelap gulita seketika di tempat
itu.
"Kau dengar aku, Joko?"
Orangtua itu berbisik .
Lurah Joko yang tengah mengurut pinggang di kamar duduk, menjawab tersengal:
"Ya, Eyang."
"Sudah waktunya!" .
Lurah Joko dengan enggan berjalan keluar rumah. Menyusuri kegelapan di sepanjang tembok
kemudian duduk diam diam di balik lindungan rumpun mawar. Angin malam melecut wajahnya.
Nyamuk datang pula menggigit. Dan bawang putih di telapak tangannya, benar-benar membuatnya
mau muntah.
"Selalu aku yang kebagian sialnya,"
Ia menggerutu pelan, seraya menengadah mengawasi langit biru temaram, mengawasi sekeliling
atap mengawasi pepohonan rambutan.
Apakah nanti ia bakal terkencing lagi di celana?
Bergidik.
Lurah Joko mengintai ke jendela kamar tidur Saripah.
Serupa apa kali ini, yang akan muncul?
Lurah Joko seterusnya menekuri rerumputan di sekitarnya. Rerumputan basah itu tampak
kecoklatan dijilat rembulan. Lurah joko melotot:
jangan-jangan itu bukan rumput!
Betapa sunyi sepinya desa itu sekarang.
Ronda malam pun, sudah tak berani keluar. Biar dibayar berapapun juga. Lantas mengapa Lurah
joko mau disiksa serupa ini?
Tanggungjawab?
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Bukan.
Ia harap roh itu muncul dan Eyang Mahmudin memusnahkannya. Dengan begitu, Lurah Joko tidak
perlu lagi mencemaskan keselamatan Legoh.
"Aki?"
Herman berbisik pelan di dalam kegelapan kamar mandi Saripah.
"Heh?"
"Benang-benang ini. Untuk apa?"
"Menyerap pengaruh sihir yang mungkin membuatku kau tertidur tanpa kau sadari."
"Aki?"
"Mengapa tidak kau tutup saja mulutmu? Biarkan aku berdo'a dengan tenang!" rungut Eyang
Mahmudin, hilang sabar.
Herman terdiam. Tadi ia sudah diberitahukan mengenai semua itu. Tetapi karena gelisah, ia ingin
saja membuka mulut. Ia begitu letih. Herman telah melalui hari-hari yang tidak saja melelahkan
tetapi juga menakutkan .
Ketakutan itu pun menjalarinya kini. Dalam bentuk lain.
Ia tidak takut menghadapi kematian. Sudah terlalu banyak ia saksikan.Arpan, ibunya, Sumarna
lalu Saripah.
Hantu?
Hantu berupa apapun tidak pula membuatnya cemas sekarang. Ia telah kebal semanjak ia
terkesima memandangi mayat Saripah di kamar mandi ini dengan makhluk terkutuk di haribaan
adiknya, tegak menatap lurus ke mata Herman. Makhluk itu. ditambah ribuan lagi yang menggempur
di sekelilingnya, merupakan puncak kecerahan yang pernah dialami Herman. Keseraman itu tidak
terasa melecut malam ini. Selain kebal, juga karena ia sudah tahu.
Yang ditakutkan Herman cuma satu. Sarafnya.
Ia ingin semua ini cuma mimpi buruk yang terus menerus menteror. Dan begitu ia sadar semua
ini memang kenyataan. barulah Herman merasakannya. Merasakan takut. Takut. ia telah gila.
Buktinya ada di depan biji mata. Tubuh Noni kecil malang. Noni yang sudah yatim piatu. Kalau
Herman masih waras, ia tidak akan mengambil Noni dengan paksa dari tangan dokter yang
merawatnya .
Bukan seperti sekarang merelakan Noni sebagai umpan.
Herman merintih. Ngeri membayangkan Arpan dan Saripah menggeliat marah di kubur mereka.
Hampir putus asa pula, Herman mengamati di kegelapan kamar mandi ke tangan Eyang
Mahmudin yang mengepal sesuatu hati-hati. Tidak tampak jelas. Tetapi Herman sudah melihatnya
sebelum lampu di situ dipadamkan. Ngilu tulang tulangnya mengetahui sebilah kulit tipis dari bambu.
Sembilu itu mau rasanya ia rampas. karena sadar untuk apa dan siapa dipergunakan.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Kemudian ia menyesal dengan niat buruk itu.
Setelah ia melihat apa yang mereka tunggu, muncul pada saat Eyang Mahmudin memperlihatkan
perasaan kecewa karena waktu terus berlalu tanpa ada pertanda apa apa.
"Lihat!"
Eyang Mahmudin berbisik rapat ke telinga Herman.
Sesuatu berkelebat di luar jendela kaca.
Apakah itu Lurah Joko?
Ah. Bukan.
Itu adalah seraut wajah samar-samar yang mengintip ke dalam kamar. Wajah pucat sepucat
mayat. Menempel kuat di jendela, seolah ingin mendobraknya.
Bau busuk memasuki kamar tidur.
Noni menggeliat.
Resah.
Dan Herman semakin gelisah dan panik.
Ia biarkankah Noni sengsara dalam tidurnya?
Mengapa ia tidak menyerbu saja sekarang.
Menyerbu langsung ke jendela!
Bayangan wajah itu menghilang dari kaca.
"Ke...."
Herman mau bertanya, ke mana makhluk itu?
Tetapi mulutnya lekas lekas ditutupi telapak tangan Eyang Mahmudin. Herman tercekat. Bukan
dikarenakan nafasnya tersumhat telapak tangan kurus kecil itu. Herman tercekat, waktu bau busuk
menyerang semakin hebat, mendesak isi perut, mendatangkan mual yang amat sangat. Lalu sesuatu
muncul melalui ventilasi jendela. Sesuatu yang bentuknya pipih dan lebar.
Namun sesudah lolos dari lubang ventilasi bentuk pipih lebar itu kembali pada bentuknya semula.
Wajah yang tadi mengintip di jendela.
Wajah pucat. keriput mengerikan, dengan sepasang mata memancarkan titik api melayang
mengitari kamar tidur, tertegun sebentar di depan pintu kamar mandi.
Menatap curiga. Lantas menyeringai seram.
Herman merungkut di belakang tubuh Eyang Mahmudin.
Tetapi disertai rambutnya yang panjang berkibar-kibar, bayangan itu melesat dengan cepat
menuju tempat tidur. Hinggap di dada Noni yang mulai merengek. Herman tidak kuasa menahan diri.
Bukannya maju menyerbu ke tempat tidur. Tubuhnya malah lunglai, jatuh terkulai ke lantai sebelum
Eyang Mahmudin sempat menahannya. Herman terkulai, begitu melihat wajah yang barusan
menyeringai ke arahnya. Biar pucat dan kisut mengeriput. ia dapat mengenalinya samar samar.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Betapa tidak.
Ia telah mengenal pemilik wajah itu dalam rupa yang lebih halus dan elok. Mengenalnya luar
dalam!
Suara berisik di kamar mandi membuat makhluk tanpa tubuh itu bangkit seketika dari tempatnya
hinggap, meninggalkan Noni merengek semakin kuat. Terdengar rintihan tajam menusuk. Dari mulut
yang menyeringai itu keluar uap busuk yang membius.
Eyang Mahmudin mengumpat.
Ia poles hidung dengan irisan bawang putih, lantas melompat keluar. Makhluk itu lebih cepat lagi.
Meringkik liar, makhluk itu melayang ke arah pintu. Irisan bawang putih merintangi jalannya
Bagaikan kilat makhluk itu melayang ke jendela, darimana tadi ia masuk .Tetapi sambil berteriak
teriak seperti orang gila saking ketakutan, di luar sana lurah joko telah pula menaburkan bawang
putih ke kaca jendela dan ventilasi di atasnya .
"Hiii...!"
Melengking keras suara pilu. Kepala perempuan tanpa tubuh itu menggelepar-gelepar di lantai,
menggelinding kian ke mari dan dengan cepat terbang berpindah pindah arah untuk menghindari
serbuan tangan Eyang Mahmudin yang memegang sembilu.
Suatu saat yang mencekam, kepala itu merapat ke langit langit. Tubuh kurus kecil di bawahnya,
mau tak mau harus melompat-lompat ke atas untuk mencapai sasarannya. Malang, tak kesampaian
juga dan akhirnya Eyang Mahmudin terpeleset dan jatuh terjerembab di lantai.
Tiba-tiba ada suara berderak pelan.
Dari kamar mandi, setengah sadar setengah mimpi Herman menyaksikan bagaimana makhluk
terkutuk itu mendorong ke atas. Berusaha memecahkan langit-langit yang terbuat dari teak-wood.
Suara berderak yang semakin keras membuat Eyang Mahmudin juga terdongak, lalu berusaha bangkit
dengan sebelah kaki keseleo.
Ia tidak akan sesusah payah itu, kalau Herman tidak membikin ribut. Ia dapat melontarkan
senjatanya dengan tenang dan hatihati dari kamar mandi bilamana wajah itu masih melekat di dada
Noni. Sekarang, ia terpaksa untung-untungan. Kalau semula ia bermaksud menembus ubun ubun
makhluk terkutuk itu, maka sasarannya kini ditujukan ke bagian bawah kepala makhluk itu.
Bagian yang tampak kemerahan memperlihatkan seonggok daging bergelimang darah. bagian itu
saja yang tertinggal karena selebihnya sudah menerobos langit-langit.
Eyang Mahmudin mengucap Bismillah.
Lalu melontarkan sembilunya, dengan gerakan berputar. Hanya untung untungan. Tetapi sembilu
itu melayang dan berputar dengan gerakan mengiris pada bagian bawah kepala itu. Terdengar suara
jerit kesakitan yang memelas. Lalu suara berdetak yang keras waktu makhluk itu terus melesat ke
atas. menghantam kaso-kaso, mendobrak atap genteng dan kemudian suara itu menghilang semakin
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
jauh dan jauh lalu tak terdengar lagi sama sekali.
Lurah Joko menghambur masuk.
"Kau baik baik saja, Eyang?"
"Baik nenekmu. Lihat kakiku!"
Eyang Mahmudin memijiti kakinya yang keseleo, membengkak. Tak jauh dari tempat Eyang
Mahmudin duduk terhenyak kesakitan, tergelimpang sembilu miliknya.
Sembilu itu berlumur darah.
"Bangunkan si Herman dari kegilaannya!" rungut Eyang Mahmudin.
"Ayo kita lihat apakah kita berhasil atau gagal."
Noni dititipkan pada istri Lurah Joko.
Bertiga mereka kemudian naik mobil yang dilarikan Herman dengan pikiran kacau balau.
Aku telah menikmati sedikit kebahagiaan dari gadis itu, ia mengerang, dan apa yang kuberikan
sebagai imbalannya?
"Sudah pastikah eyang, dia orangnya?"
Bertanya Lurah Joko.
"Sepasti bahwa kau ini muridku paling bebal."
"Sewot lagi,"
Memberengut Lurah Joko.
"Tetapi bagaimana sampai eyang mengetahuinya? Dan... tolong jangan bilang, berkat pengalaman
80-an tahun."
"Ingat ketika beberapa malam yang lalu aku menaburkan garam mentah ke sekeliling rumah
Saripah? Ketika itu aku mencium bau tak sedap. Datangnya dari rimbunan pohon rambutan. Aku terus
saja bekerja, tetapi mengintip dari celah ketiak. Kulihat sepasang titik api. Cuma elang. atau kalong.
Begitu aku berpikir. Kalong yang sedang menyantap mangsa,"
Eyang Mahmudin bersungut-sungut menyesali ketololannya.
"Habis,"
Ia melanjutkan
"Waktu itu ingatanku hanya terpusat pada makhluk berupa pacat dan lintah. Mahluk yang mundul
dari dalam tanah. Bukan dari langit...."
Eyang Mahmudin meringis lagi menahan sakit di kakinya. Bernafas cepat sebentar. menghirup
udara segar yang masuk lewat jendela, lalu desah nafasnya kembali normal. "Sudah baikan."
Ia pijit kakinya.
"Begitulah. Waktu aku dihempaskan Herman di depan rumahnya, aku begitu kesakitan. Ketika
mencari apa yang dapat mengobati sakitku, kulihat mobil Laila..."
"Laila?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Lurah Joko terperanjat
"Kubilang, mobilnya. Dan di mobil itu, muridku yang berotak budek dan bebal. aku lihat sepasang
titik api yang sama...."
Mereka tiba di rumah yang dituju.
Rumah besar dan kuno itu terang benderang .Penghuni rumah induk tampak tengah
menggedor-gedor pintu masuk pavilyun. Di dalam gelap sekali. Waktu melihat Herman, pemilik rumah
datang menyongsong,
"Syukurlah kau muncul, Nak Herman," katanya.
"Barusan tadi kami dengar suara-suara ribut yang menakutkan di pavilyun. Tetapi Rosida tak juga
mau membuka pintu."
"Boleh kudobrak?"
"Separah itu benarkah, Nak Herman?"
"Aku akan membayar ganti rugi," kata Herman.
Dan dengan kepala dipenuhi kepenasaran, ia hantam pintu sampai tanggal dari engselnya. Suara
menggempur itu sunyi sepi seketika. Pemilik rumah menyalakan lampu depan pavilyun. Memanggil:
"Nak ida?" .
Tetap sunyi sepi.
Lampu dihidupkan lagi. Kali ini, di dalam kamar tidur gadis itu. Di ranjang, hanya ada bantal dan
guling terbungkus selimut. Kemudian, genangan darah merembes di lantai, membasahi ujung sprei.
Pucat dan gemetar, pemilik rumah menyingkap sprei itu.
Beralas sehelai tikar, Rosida tampak berbaring di kolong ranjang. Lebih banyak darah tergenang.
Mengalir keluar dari leher Rosida yang menganga. Wajahnya yang muda dan elok rupawan, dipenuhi
goresan luka. Tampak serpihan teak-wood terhunjam pada pipi, dan bubuk genteng melekat di untaian
rambutnya.
******
Penutup

Laila terbelalak.
Blouse dan kutangnya terasa hangat, basah kuyup. Noni kecil merem-melek di pelukannya.
lantas, seraya membuka mata lebar lebar menatap wajah Laila, Noni kecil tersenyum puas. Dengan
suara bocahnya, ia bertanya:
"Aa... gggiii...'nte?"
'Apa dia bilang?"
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Laila berpaling pada Herman yang sedang asyik mencorat coret di sehelai kertas. Menyusun
daftar undangan.
"Dia bilang," sahut Herman tanpa menoleh.
"Apa kau mau lagi?"
"Dikencingi?"
Herman berpaling kaget.
"Astaga," katanya dengan nada menyesali. "Dia memipisimu? Di mana?"
"Ini...." laila memperlihatkan dadanya.
"Oh. Oh. Oh. Kasihan. Mari kubuka."
Laila mengulurkan Noni kecil ke depan. Tetapi Herman melampauinya dengan kalem. Tangannya
terus terjulur. Ke tempat yang basah.
Laila terpekik. ***
Dan dari kamar kerjanya, Hakim Saroso mengeluh:
"Ada apa lagi, Laila?"
"Ada tangan gentayangan. Papa-'
"Bilang pada yang empunya tangan,'
Terdengar suara Hakim Saroso mengancam:
"Dia harus tunggu sampai bulan April. Atau. ia akan kulemparkan kembali ke dalam bui!"
Dan sekarang baru hari pertama Februari.
Dingin lagi.
"Mertua sadis!"
Herman memberengut.
Dan terpaksa harus menunggu.
April.
Ah. Lama benar!
Mana hujan terus berderai-derai di luar rumah. Berdesah lirih. Meniupkan bisikan halus dari alam
gaib.
Kemudian.
Sesuatu tampak menggeliat di rerumputan yang basah.
Seekor lintah.
TAMAT

Tak ada gading yang tak retak begitu pula hasil scan novel misteri ini.Mohon maaf bila ada salah
tulis/eja dalam isi cerita novel ini.
Penghisap Darah - Abdullah Harahap
Terima Kasih.

Rilis 28-03-2019 17:48:19 Oleh Saiful Bahri

Anda mungkin juga menyukai