Anda di halaman 1dari 7

Perkembangan Bahasa Sebagai Unsur Kebudayaan

Dosen Pengampu : Dr. Argyo Demartoto, M.Si

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA
Perkembangan Bahasa Sebagai Unsur Kebudayaan

Kebudayaan mengandung pengertian yaitu sebagai suatu pemahaman perasaan suatu


bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat,
dan pembawaan lainnya yangg diperoleh dari anggota masyarakat. Menurut Koentjaraningrat
(1980), kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi
yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Sedangkan kata budaya merupakan perkembangan majemuk dari
budi daya yang berarti daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan itu
sendiri mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan bersifat
abstrak. Namun, bukan berarti kebudayaan tidak dapat kita nikmati secara langsung, tentu
saja kebudayaan dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Sebagai contoh adalah lagu,
tarian, dan bahasa. Pendek kata kebudayaan dalam kaitannya dengan ilmu budaya dasar
adalah penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani tercakup di dalamnya usaha
memanusiakan diri di dalam alam lingkungan, baik fisik maupun sosial.nilai-nilai ditetapkan
atau dikembangkan sehingga sempurna dan tidak memisah-misahkan dalam membudayakan
alam, memanusiakan hidup, dan menyempurnakan hubungan insani. Manusia memanusiakan
dirinya dan memanusiakan lingkungan dirinya.

Dilihat dari dimensi wujudnya, kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu pertama
sebagai kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia. Wujud disini disebut sebagai sistem
budaya yang sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan berpusat pada kepala-kepala manusia
yang menganutnya. Disebut sebagai suatu sistem budaya dikarenakan gagasan dan pikiran
tersebut tidak merupakan kepingan-kepingan yang terlepas melainkan saling berkaitan
berdasarkan asas-asas yang erat hubungannya sehingga menjadi sistem gagasan dan pikiran
yang relatif mantap dan kontinue. Selanjutnya adalah kompleks aktivitas, berupa aktivitas
manusia yang saling berinteraksi sifatnya konkret dan dapat diamati. Wujud ini sering disebut
sistem sosial. Sistem sosial ini tidak dapat terlepas dari suatu sistem budaya. Apapun
bentuknya, pola-pola aktivitas tersebut ditentukan dan ditata oleh gagasan-gagasan, dan
pikiran-pikiran yang ada di dalam kepala manusia. Karena saling berinteraksi antar manusia,
maka pola aktivitas dapat pula menimbulkan gagasan, konsep, dan pikiran baru serta tidak
mustahil dapat diterima dan mendapat tempat dalam sistem budaya dari manusia yang
berinteraksi tersebut. Dan yang terakhir adalah wujud sebagai benda. Maksudnya disini
adalah saat aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak terlepas dari berbagai
penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Aktivitas
karya manusia tersebut menghasilkan benda untuk berbagai keperluan hidupnya. Kebudayaan
dalam bentuk fisik yang konkret biasa juga disebut kebudayaan fisik. Kebudayaan itu sendiri
bersifat dinamis yang artinya terus-menerus mengalami perubahan sepanjang manusia masih
saling berinteraksi satu sama lain. Tidak ada kebudayaan yang bersifat statis, setiap
perubahan kebudayaan mempunyai dinamikanya sendiri dan juga mengalami perubahan
entah itu perubahan secara cepat maupun secara lamban, perubahan itu sendiri merupakan
suatu akibat dari perubahan masyarakat yang menjadi wadah dari kebudayaan tersebut.

Secara sederhana hubungan antara manusia dengan kebudayaan adalah manusia


sebagai perilaku kebudayaan dan kebudayaan merupakan objek yang dilaksanakan manusia.
Dalam sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai dwitunggal yang artinya adalah
meskipun keduanya berbeda akan tetapi keduanya merupakan suatu satu kesatuan. Manusia
menciptakan kebudayaan dan setelah kebudayaan itu tercipta maka kebudayaan mengatur
hidup manusia agar sesuai dengannya. Disini tampak bahwa keduanya akhirnya merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sebagai contoh sederhana yang dapat kita lihat adalah
hubungan antara manusia dengan peraturan-peraturan kemasyarakatan. Pada saat awalnya
peraturan itu dibuat oleh manusia, setelah peraturan itu jadi maka manusia yang membuatya
harus patuh kepada peraturan yang dibuatnya sendiri itu. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan, karena kebudayaan itu
merupakan suatu perwujudan dari manusia itu sendiri. Apa yang tercakup dalam satu
kebudayaan tidak akan jauh menyimpang dari kemauan manusia yang membuatnya.
Disamping itu pula, manusia juga memiliki akal, itelegensi, intuisi, perasaan, emosi,
kemauan, fantasi, dan perilaku. Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia
tersebut maka manusia bisa menciptakan suatu kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri
merupakan produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan
kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan manusia dapat hidup
ditengah kebudayaan yang diciptakanya. Kebudayaan juga akan terus hidup manakala
terdapat manusia sebagai faktor pendukungnya.

Kebudayaan juga memiliki beberapa unsur, yag perlu dimengerti bahwa unsur-unsur
kebudayaan yang membentuk struktur kebudayaan itu tidak berdiri lepas dengan lainnya.
Kebudayaan bukan hanya sekedar merupakan jumlah dari unsur-unsurnya saja, melainkan
merupakan keseluruhan dari unsur-unsur tersebut yang saling berkaitan erat yang membentuk
kesatuan yang harmonis. Masing-masing unsur saling mempengaruhi sacara timbal balik,
apabila terjadi perubahan pada salah satu unsur maka akan menimbulkan perubahan pada
unsur yang lain pula. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sistem religi dan upacara
keagamaan, ini merupakan produk manusia sebagai homo religious, dimana manusia yang
memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur dan mengerti bahwa kekuatan pada dirinya
terdapat kekuatan lain yang Mahabesar. Oleh karena itu, manusia takut sehingga
menyembah-Nya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Untuk membujuk
kekuatan tersebut agar mau menuruti kemauan manusia maka dilakukan usaha yang
diwujudkan dalam sistem religi dan upacara keagamaan. Selanjutnya adalah sistem organisasi
kemasyarakatan, ini merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Dimana manusia
sadar bahwa tubuhnya lemah, namun dengan akalnya manusia membentuk kekuatan dengan
cara menyusun dan membentuk organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat
bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan bersama yaitu meningkatkan kesejahteraan hidup.
Kemudian, ada sistem pengetahuan, merupakan hasil dari manusia sebagai homo sapiens,
pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri, disamping itu dapat juga dari pemikiran
orang lain. Kemampuan manusia untuk mengingat apa yang telah diketahui, kemudian
menyampaikannya kepada orang lain melalui bahasa yang kemudian pengetahuan tersebut
menyebar luas. Selanjutnya adalah sistem mata pencaharian, merupakan hasil dari manusia
sebagai homo economicus yang menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus
meningkat.

Lalu ada sistem teknologi dan peralatan, ini merupakan hasil dari manusia sebagai
homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas serta dibantu dengan tangannya yang
dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan
suatu alat. Dengan alat-alat ciptaannya tersebut manusia dapat lebih mampu mencukupi
kebutuhannya daripada makhluk lainnya. Selanjutnya adalah bahasa, bahasa sendiri
merupakan hasil dari manusia sebagai homo longuens. Bahasa manusia pada mulanya
diwujudkan dalam bentuk tanda yang kemudian disempurnakan dalam bentuk bahasa lisan
dan akhirnya menjadi bahasa tulisan. Dan yang terakhir adalah kesenian, kesenian merupakan
hasil dari manusia sebagai homo esteticus, setelah manusia dapat mencukupi kebutuhan
fisiknya maka manusia memerlukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan psikisnya.
Disini saya ingin lebih menyoroti dan mengambil suatu tema yaitu tentang bahasa
dengan kebudayaan. Seperti yang telah kita ketahui diatas bahwa bahasa merupakan suatu
unsur kebudayaan. Bahasa juga merupakan hasil budaya masyarakat yang kompleks dan aktif
meskipun proses perubahannya mengalami dinamika yang terbilang lamban. Bahasa
dikatakan kompleks karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan semua
hal yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Mengutip dari pendapat Koentjaraningrat dalam
bukunya Sosiolinguistik (1985), bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, yang artinya
disini adalah kedudukan bahasa berada pada posisi subordinat dibawah kebudayaan, tetapi
keduanya sangatlah berkaitan satu sama lain. Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah
suatu bagian dari sistem kebudayaan bahkan dari bagian intti dari kebudayaan itu sendiri.
Bahasa pun terlibat dalam seluruh aspek kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai
nama atau istilah dari unsur-unsur dari semua aspek kebudayaan itu. Yang terpenting adalah
kebudayaan manusia tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya bahasa, karena bahasalah
faktor yang menentukan terbentuknya kebudayaan. Kebudayaan dan bahasa merupakan dua
hal yang saling berkaitan erat. Untuk mempelajari suatu kebudayaan kelompok masyarakat,
seseorang harus menguasai bahasa sekelompok masyarakat tersebut. Bahasa sebagai hasil
budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya.

Faktanya bahasa selalu berkembag sesuai dengan perkembangan kebudayaan.


Meskipun perkembangannya sendiri mempunyai dinamika yang tidak terlalu cepat sebab
masih ada pokok-pokok bahasa tertentu yang tetap dipertahankan. Bahasa menjadi pembeda
antara suku bangsa satu dengan yang lain. Ditengah masyarakat bahasa dapat dipahami
sebagai alat komunikasi antara manusia satu dengan manusia lainnya. Bahasa juga dapat
menentukan strata sosial, tingkat ekonomi, pendidikan, dan peran seseorang ditengah
masyarakat. Bahasa sendiri berkaitan dengan kebudayaan masyarakat jawa dikenal dengan
tingkatannya masing-masing. Misalnya saja pada budaya masyarakat kelas atas mereka
menggunakan bahasa krama. Sebaliknya pada kalangan masyarakat bawah mereka cenderung
berkomunikasi dengan bahasa ngoko. Hal ini menandakan bahwa kelas atau kedudukan
seseorang dalam masyarakat menentukan jenis bahasa apa yang sebaiknya mereka pakai.
Dalam bidang pendidikan sangat terlihat jelas bahwa bahasa yang dituturkan oleh seseorang
sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka
bahasa yang digunakan akan lebih berbudi. Disisi lain, bahasa yang digunakan oleh orang-
orang yang tidak berpendidikan tentunya akan sangat kontras dengan orang yang
berpendidikan. Dari segi ini pun dapat terlihat bahwasanya bahasa dan kebudayaan serta
tradisi sekitar sangatlah mempengaruhi penggunaan.

Seiring denga perkembangan teknologi, bahasa pun juga mengalami perkembangan.


Contoh sederhana saja dapat kita ambil dari kehidupan sehari-hari. Sebelum manusia
mengenal handphone, untuk menyampaikan informasi masyarakat menggunakan jasa surat.
Bahasa yag digunakan pun sangat santun dan berbudaya, budaya surat-menyurat telah
mengantarkan pelaku budaya untuk berbahasa santun. Seiring perkembangan zaman, surat-
menyurat digantikan oleh handphone. Dari handphone ini manusia dituntut untuk
menggunakan bahasa yang serba instan, budaya kesantunan pun perlahan mengalami
kepudaran dan diabaikan. Contoh lain adalah penggunaan bahasa gaul yang berkembang
pesat sejalan dengan arus kebudayaan kebarat-baratan dan kekorea-koreaan yang akhir-akhir
ini menjadi trend dikalangan kaum muda. Anak-anak muda menjadi lebih bangga
menggunakan istilah-istilah asing dalam bercakap. Saya memaklumi jika bahasa tersebut
digunakan oleh sesama kaum intelek, namun apabila bahasa tersebut digunakan untuk
berbicara dengan mereka yang notabenenya tidak mengerti bahasa asig sepertinya menjadi
hal yang kurang etis. Pejabat pun kini seperti lebih bangga apabila disela-sela pidatonya dapat
menyelipkan kalimat maupun kata-kata asing. Bahasa bangsa kita seperti sudah mulai
tergerus perlahan-lahan oleh hegemoni bahasa-bahasa asing. Dengan sendirinya budaya yang
ada pun berangsur-angsur berganti arah. Padahal bukankah bahasa mencerminkan siapa diri
kita sendiri ? dari suku mana dan darimana kita dilahirkan. Teknologi pun seperti telah
mendikte penutur bahasa untuk mengubah pola berbahasa secara perlahan tapi pasti. Bahasa
dan kebudayaan adalah dua hal yang saling mempengaruhi, dimana bahasa adalah bagian dari
kebudayaan itu sendiri. Tentunya juga kita tidak bisa secara sepihak menyalahkan budaya itu
sendiri sebagai sesuatu yang menggerus suatu bahasa. Sebab, budaya juga lahir karena
adanya cipta, rasa, dan karsa manusia. Dari sini terlihat jelas bahwa masyarakat sebagai pihak
pemakai dan pencipta kebudayaan itu sendiri yang bertanggung jawa atas problematika
tersebut.

Jika kita menilik hubungan timbal-balik antara bahasa dengan komponen kebudayaan,
mana hubungan itu dapat diungkapkan menurut dua arah pengaruh. Yang pertama berasaldari
komponen subjektif dan yang kedua berasal dari komponen material. Apabila arah semata-
mata berasal dari lingkungan pusat, secara otoritis hal ini berarti bahwa bahasa secara murni
dibentuk oleh proses pemikiran dan perasaan, sedangkan apabila arah pengaruh berasal
semata-mata dari lingkungan luar maka bahasa secara murni terbentuk sebagai akibat
interaksi manusia dengan alam ataupun manusia satu dengan manusia lain. Meskipun telah
kita ketahui bahwa pengalaman manusia dengan kenyataan empiris segera terjadi pada saat
kelahirannya, tetapi tidaklah teramati bahwa bahasa berkembang sebagai akibat dar
pengalaman itu. Namun, apabila manusia mencapai kedewasaan ia juga mampu mengadakan
perubahan pada bahasanya atau pada lingkungan sosial dan lingkungan alamnya. Hal ini juga
berarti bahwa perubahan alamnya dan lingkungan sosialnya yang terjadi diluar campurnya
dapat ditampung olehnya melaui penyesuaian pada kebudayaan materialnya atau teknologi,
pada struktur sosialnya, pada bahasa, dan pada cara berpikirnya.

DAFTAR PUSTAKA

Sulaeman, Munandar.1998.Ilmu Budaya Dasar.Bandung:PT Refika Aditama.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA dan Pustaka
Pelajar.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Grafindo.

Nababan, PWJ. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai