Anda di halaman 1dari 3

KESALAHAN

(CULPABILITAS)

 Kesalahan merupakan salah satu landasan bangunan Hukum Pidana.


Dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” atau “geen straf zonder
schuld”. Baca kasus ‘Arrest Dokter Hewan’ di Buku Lamintang.
 Dalam Hukum Pidana, kesalahan adalah dasar pencelaan terhadap sikap
bathin orang/pelaku. Ingat kembali bagan yang menggambarkan syarat
pemidanaan, yang mensyaratkan adanya sifat melawan hukum pada
perbuatan dan kesalahan pada pelaku/orang.
 Kesalahan sebagai syarat pemidanaan, harus kesalahan dalam
pengertian yuridis, tidak cukup hanya kesalahan dalam pengertian moral
atau sosial.
 Kesalahan yuridis adalah kesalahan yang memenuhi unsur-unsur
yuridisnya, yaitu;
1. Harus ada kemampuan bertanggung jawab pada diri orang/pelaku.
2. Harus ada hubungan bathin antara pelaku dan perbuatan. Bentuk-
bentuk hubungan bathin atau kesalahan tsb bisa berupa sengaja
(dolus/opzet) atau alpa (culpa/lalai).
3. Harus tidak ada alasan yang menghapus kesalahan (alasan pemaaf).

Kemampuan Bertanggung Jawab


 Apa pengertian dari ‘mampu bertanggung jawab’?
 Menurut Undang-undang, setiap orang dianggap mampu bertanggung
jawab sampai dapat dibuktikan sebaliknya.
 Undang-undang justru mengatur tentang ‘ketidakmampuan bertanggung
jawab’, melalui Pasal 44 KUHP. Baca rumusan Pasal 44 KUHP. Syaratnya
adalah adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya atau jiwanya terganggu
karena penyakit. Apa perbedaannya?
 Berdasarkan penafsiran a contrario terhadap Pasal 44, seseorang
dianggap mampu bertanggung jawab kalau tidak ada kedaaan seperti
yang disebutkan dalam Pasal 44, yaitu jiwanya tidak cacat dalam
tumbuhnya atau jiwanya tidak terganggu karena penyakit.
 Namun penafsiran ini tidak bisa menjelaskan lebih jauh tentang apa
pengertian kemampuan bertanggung jawab.
 Sehingga digunakan doktrin dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana,
yang menyatakan adanya kemampuan bertanggung, bila:
1. Pelaku mampu menyadari apa arti dri perbuatannya dan akibat-
akibat dari perbuatannya;
2. Pelaku memiliki kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat.

 Dalam pembuktiannya, Pasal 44 ini memerlukan bantuan ahli jiwa


(psikolog/psikiater) untuk menguraikan kondisi kejiwaan pelaku.
 System pembuktian pasal 44 adalah system pembuktian deskriptif-
normatif. Deskriptif artinya digambarkan/dipaparkan apa adanya oleh
ahli jiwa. Normatif artinya disimpulkan mampu atau tidaknya
bertanggung jawab oleh Hakim.

 Selain dari keadaan di atas, ada keadaan-keadaan dimana seseorang


tidak bisa dipastikan mampu atau tidak mampu bertanggung jawab.
Yaitu:
1. Tidak mampu bertanggung jawab untuk sebagian. Contohnya:
kleptomania, claustrophobia, phyromania.
Pelaku dianggap mampu bila tindak pidana yang dilakukan tidak
memiliki hubungan kausal dengan keadaan jiwa pelaku.
Pelaku dianggap tidak mampu bila tindak pidana yang dilakukan
memiliki hubungan kausal dengan keadaan jiwa pelaku.
2. Kurang mampu bertanggung jawab. Contohnya: kasus Sumanto,
Robot gedek, Babeh, dll. Pelaku dianggap mampu bertanggung
sehingga tetap bisa disalahkan dan mendapatkan pemidanaan.

 Bila ada keraguan pada Hakim tentang apakah seorang pelaku tindak
pidana mampu atau tidak mampu bertanggung jawab? Ada dua
pendapat:
1. Dianggap mampu karena prinsipnya semua orang dianggap mampu
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
2. Dianggap tidak mampu berdasarkan asas indubio pro reo, dengan
mengambil putusan yang paling meringankan terdakwa.

 Pertanyaan untuk didiskusikan:


1. Bagaimana bila orang mabuk melakukan tindak pidana? Dianggap
mampu bertanggung jawab atau tidak?
2. Bagaimana bisa anak di bawah umur melakukan tindak pidana,
apakah dianggap mampu bertanggung jawab?

Anda mungkin juga menyukai