Anda di halaman 1dari 3

MATERI 8 – ALASAN-ALASAN PENGHAPUS PIDANA

 Perhatikan kembali bagan persyaratan penjatuhan pidana. Sebelumnya


telah dijelaskan bahwa syarat penjatuhan pidana adalah adanya
perbuatan (yang melawan hukum dan tidak adanya alasan penghapus
sifat melawan hukumnya perbuatan) dan orang/pelaku (yang memiliki
kemampuan bertanggung jawab, kesalahan dan tidak adanya alasan
penghapus kesalahan).
 Tentang sifat melawan hukum telah dipelajari sebelum UTS. Tentang
kesalahan, termasuk di dalamnya kemampuan bertanggung jawab dan
bentuk-bentuk kesalahan telah dijelaskan sebelumnya.
 Maka sekarang yang akan dibahas adalah tentang alasan-alasan
penghapus pidana berupa alasan penghapus sifat melawan hukum
(alasan pembenar) yang ada di dalam Pasal 48, 49 ayat 1, 50 dan 51 ayat
1 KUHP dan alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf) yang ada di
dalam Pasal 44, 48, 49 ayat 2 dan 51 ayat 2 KUHP.
 Mahasiswa harap membaca pasal-pasal tsb baik-baik.
 Sebagai catatan, untuk dapat dijatuhi pidana, harus tidak ada alasan
pembenar dan alasan pemaaf.
 Alasan pembenar dan alasan pemaaf adalah unsur tidak tertulis yang
tidak perlu dibuktikan di depan pengadilan. Diasumsikan unsur ini ada
pada Pelaku, kecuali bisa dibuktikan sebaliknya oleh Pelaku.
 Sebelum dijelaskan tentang alasan-alasan penghapus pidana, mahasiswa
harus memahami juga alasan-alasan penghapus penuntutan yang
berbeda dengan alasan-alasan penghapus pidana.

Alasan Penghapus Penuntutan

 Adalah alasan-alasan yang menyebabkan Penuntut Umum tidak


dapat/tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan
terhadap suatu tindak pidana.
 Bila ada alasan penghapus penuntutan, pelaku tidak bisa dituntut, yang
otomatis tidak dapat diadili dan dijatuhi pidana.
 Alasan penghapus penuntutan terdiri dari:
1. Ne bis in idem (Pasal 76 ayat 1 KUHP)
Orang tidak boleh dituntut dua kali untuk kasus/perkara yang sama,
demi kepastian hukum.
Contoh: A didakwa melakukan pencurian, padahal ia sesungguhnya
melakukan tindak pidana penggelapan. Di pengadilan hakim lalu
memutus bebas karena tidak terbukti A melakukan pencurian. Maka
Penuntut Umum tidak bisa menuntut A lagi dengan dakwaan baru
berupa penggelapan untuk perkara/kasus yang sama. Karena A sudah
pernah diadili dan diputus untuk perkara tsb.

Pasal 76 ayat 2 KUHP


Juga dianggap ne bis in idem jika putusan yang menjadi tetap tsb
berasal dari hakim lain (di luar wilayah Indonesia/hakim asing).
Contoh: B (WNI) diputuskan bersalah oleh pengadilan Amerika
karena membunuh WNI di Amerika. Ia melarikan diri ke Indonesia.
Maka Indonesia tidak bisa mengadakan ulang pengadilan atas kasus
pembunuhan yang dilakukan B di Amerika dengan hukum pidana
Indonesia.

2. Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)


Bila terdakwa meninggal dunia sebelum hakim memutus perkaranya,
maka hakim akan memutus NO.
Contoh: C menggelapkan uang 10 M, lalu diperiksa di pengadilan.
Sebelum putusan, terdakwa meninggal, maka hakim akan memutus
N.O. Korban yang dirugikan masih bisa kalau mau menuntut secara
Perdata kepada ahli waris C, tapi pengadilan Pidana tidak bisa
meneruskan pemeriksaan terhadap perkara tsb.

Pengecualian terdapat dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, dimana


dikenal pengadilan in absentia, yang dapat memutus hanya perkara
harta dengan tujuan mengembalikan kerugian uang negara.
3. Daluwarsa (Pasal 78 KUHP)
Tujuannya kepastian hukum.

4. Tidak adanya pengaduan untuk delik-delik aduan


Lihat pasal-pasal dalam KUHP yang mensyaratkan penuntutan
dengan adanya pengaduan.

Anda mungkin juga menyukai