Perhatikan kembali bagan persyaratan penjatuhan pidana. Sebelumnya
telah dijelaskan bahwa syarat penjatuhan pidana adalah adanya perbuatan (yang melawan hukum dan tidak adanya alasan penghapus sifat melawan hukumnya perbuatan) dan orang/pelaku (yang memiliki kemampuan bertanggung jawab, kesalahan dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan). Tentang sifat melawan hukum telah dipelajari sebelum UTS. Tentang kesalahan, termasuk di dalamnya kemampuan bertanggung jawab dan bentuk-bentuk kesalahan telah dijelaskan sebelumnya. Maka sekarang yang akan dibahas adalah tentang alasan-alasan penghapus pidana berupa alasan penghapus sifat melawan hukum (alasan pembenar) yang ada di dalam Pasal 48, 49 ayat 1, 50 dan 51 ayat 1 KUHP dan alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf) yang ada di dalam Pasal 44, 48, 49 ayat 2 dan 51 ayat 2 KUHP. Mahasiswa harap membaca pasal-pasal tsb baik-baik. Sebagai catatan, untuk dapat dijatuhi pidana, harus tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar dan alasan pemaaf adalah unsur tidak tertulis yang tidak perlu dibuktikan di depan pengadilan. Diasumsikan unsur ini ada pada Pelaku, kecuali bisa dibuktikan sebaliknya oleh Pelaku. Sebelum dijelaskan tentang alasan-alasan penghapus pidana, mahasiswa harus memahami juga alasan-alasan penghapus penuntutan yang berbeda dengan alasan-alasan penghapus pidana.
Alasan Penghapus Penuntutan
Adalah alasan-alasan yang menyebabkan Penuntut Umum tidak
dapat/tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap suatu tindak pidana. Bila ada alasan penghapus penuntutan, pelaku tidak bisa dituntut, yang otomatis tidak dapat diadili dan dijatuhi pidana. Alasan penghapus penuntutan terdiri dari: 1. Ne bis in idem (Pasal 76 ayat 1 KUHP) Orang tidak boleh dituntut dua kali untuk kasus/perkara yang sama, demi kepastian hukum. Contoh: A didakwa melakukan pencurian, padahal ia sesungguhnya melakukan tindak pidana penggelapan. Di pengadilan hakim lalu memutus bebas karena tidak terbukti A melakukan pencurian. Maka Penuntut Umum tidak bisa menuntut A lagi dengan dakwaan baru berupa penggelapan untuk perkara/kasus yang sama. Karena A sudah pernah diadili dan diputus untuk perkara tsb.
Pasal 76 ayat 2 KUHP
Juga dianggap ne bis in idem jika putusan yang menjadi tetap tsb berasal dari hakim lain (di luar wilayah Indonesia/hakim asing). Contoh: B (WNI) diputuskan bersalah oleh pengadilan Amerika karena membunuh WNI di Amerika. Ia melarikan diri ke Indonesia. Maka Indonesia tidak bisa mengadakan ulang pengadilan atas kasus pembunuhan yang dilakukan B di Amerika dengan hukum pidana Indonesia.
2. Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)
Bila terdakwa meninggal dunia sebelum hakim memutus perkaranya, maka hakim akan memutus NO. Contoh: C menggelapkan uang 10 M, lalu diperiksa di pengadilan. Sebelum putusan, terdakwa meninggal, maka hakim akan memutus N.O. Korban yang dirugikan masih bisa kalau mau menuntut secara Perdata kepada ahli waris C, tapi pengadilan Pidana tidak bisa meneruskan pemeriksaan terhadap perkara tsb.
Pengecualian terdapat dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, dimana
dikenal pengadilan in absentia, yang dapat memutus hanya perkara harta dengan tujuan mengembalikan kerugian uang negara. 3. Daluwarsa (Pasal 78 KUHP) Tujuannya kepastian hukum.
4. Tidak adanya pengaduan untuk delik-delik aduan
Lihat pasal-pasal dalam KUHP yang mensyaratkan penuntutan dengan adanya pengaduan.