Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu

penyakit, melainkan suatu keluhan atau tanda, yang merupakan akibat dari kelainan

setempat atau penyakit umum. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari baik pada anak

maupun pada usia lanjut dan 90% epistaksis dapat berhenti sendiri (spontan) atau

dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri dengan cara menekan

hidungnya tanpa memerlukan bantuan medis. 1,2

Umumnya pada epistaksis terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian

anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus

Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis poterior dapat

berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.1

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret yang berdarah dari

hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan

pasien perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan

perdarahannya.1

Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi

umum. Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu

pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan

mungkin banyak dan bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa

perlu untuk memanggil dokter. Epistaksis yang berat , walaupun jarang dijumpai,

dapat mengancam keselamatan jiwa pasien. Bahkan dapat berakibat fatal bila tidak

segera ditolong.1,2,3

1
1.2 Batasan Masalah

Pembahasan makalah ini dibatasi pada definisi, klasifikasi, etipatologi,

diagnosis, penatalaksanaan epistaksis, komplikasi dan prognosis.

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui epistaksis khususnya definisi,

klasifikasi, etipatologi, diagnosis, penatalaksanaan epistaksis, komplikasi dan

prognosis.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada beberapa

literatur.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau

manifestasi penyakit lain, penyebabnya bisa lokal atau sistemik. Perdarahan bisa

ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber

perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.1,2

2.2. Epidemiologi

Epistaksis jarang terjadi pada bayi, namun terdapat kecenderungan

peningkatan insiden seiring pertambahan usia. Epistaksis anterior lebih sering terjadi

pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi

pada usia yang lebih tua, terutama pada laki-laki dekade 50 dengan penyakit

hipertensi dan arteriosklerosis. Epistaksis lebih sering terjadi pada musim dingin. Hal

ini mungkin disebabkan peningkatan kejadian infeksi pernafasan atas dan udara yang

lebih kering akibat pemakaian pemanas dan kelembaban lingkungan yang rendah.

Epistaksis juga sering terjadi pada iklim yang panas dengan kelembaban yang rendah.

Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung, dan penyakit sinus lebih rentan

terjadi epistaksis karena mukosanya lebih mudah kering dan hiperemis disebabkan

reaksi inflamasi. 1,2

2.3 Anatomi Hidung

2.3.1 Kerangka hidung

Kerangka hidung berbentuk seperti tenda dengan dua os nasale yang bersatu,

satu sama yng lain dalam garis tengah dan berartikulasio disuperior dengan pars

nasalis os frontalis dan processus “ ascending’’ maxilla di lateral. Hanya sepertiga

superior hidung merupakan tulang.dua pertiga bawah hidung merupakan kartilago

3
nasi lateralis atas dan bawah.septum membagi hidung kedalam dua ruangan disebut

vestibulum. Seperti sisi lateral hidung, septum terdiri dari kartilago di anterior dan

tulang di posterior.

2.3.1 Hidung Interna

Lubang luar yang menuju ke sisi dalam hidung dinamai nares, sementara

lubang posterior dari hidung ke nasopharink dinamai choana. Tepat setelah nares,

terdapat area kulit yang dinamai vestibulum dan berlapis mengandung bulu hidung

atau vibrase.

Permukaan medial tiap ruang lingkup dibentuk oleh septum nasi.

Sisi lateral tiap cavitas nasalis terdiri dari sejumlah struktur yang penting

secara klinik. Biasanya ada tiga konvolusi mukosa yang tegas yang dinamai concha.

Fungsinya untuk meningkatkan luas permukaan hidung dan dinamai menurut

lokasinya; inferior, medialis, superior dan suprema, diantara concha terdapat lekukan

pada dinding hidung (meatus) tempat berdrainase cavilas nasalis.

Gambar 2.1. Dinding Lateral Kavum Nasi

4
2.4 Anatomi Vaskularisasi

Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna dan

karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada

cavum nasi melalui:1

1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui

foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior

dan dinding lateral hidung.

2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang

berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian

inferoanterior septum nasi.

3. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri

etmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral

superior.

Gambar 2.2. Anatomi vaskular yang memperdarahi septum nasal.

5
2.4.1 Vaskularisasi

Vaskularitas berasal dari system carotis interna dan eksterna. Arteri carotis

interna bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian bercabang lagi menjadi

arteri etmoidalis anterior dan posterior.3 Cabang etmoidalis anterior dan posterior

menyuplai sinus palatina mayor menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap

hidung. Sedangkan arteri stenopalatina dan arteri palatina mayor merupakan cabang

terminal dari arteri karotis eksterna yang menyuplai darah pada concha, meatus dan

septum nasalis. Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui

anastomosis. Suatu pleksus vaskuler disepanjang bagian anterior septum kartilaginosa

menggabungkan anastomosis ini dan dikenal sebagai Little Area atau Pleksus

Kiesselbech.

2.5 Klasifikasi

Epistaksis dibedakan atas dasar sumber pendarahan atau tempat pendarahan.

Sumber perdarahan dapat berasal dari bagian anterior atau bagian posterior hidung

1. Epistaksis Anterior

Dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling

sering dijumpai pada anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan)

dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.

2. Epistaksis Posterior

Berasal dari arteri sphenopalatina dan dari arteri etmoid posterior. Perdarahan

cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat

menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien

dengan kelainan kardiovaskuler. Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri

sfenopalatina (area Woodruff, dibawah bagian posterior kanka nasalis

inferior) atau arteri etrmoid posterior3. Perdarahan biasanya hebat dan jarang

berhenti dengan sendirinya. Pasien kontinu mengeluh darah dibelakang

6
tenggorokkannya.Sering ditemukan pada pasien hipertensi, arteriosclerosis

atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler

Gambar 2.3. Epistaksis anterior (atas) dan Epistaksis posterior (bawah)

Epistaksis juga dapat diklasifikasikan menurut usia, dimana epistaksis yang

terjadi pada anak-anak yaitu pada usia <16 tahun dan pada dewasa terjadi pada usia

>16 tahun. Selain itu, epistaksis dapat juga diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya

yaitu primer dan sekunder. Antara 70-80% dari semua penyebab dari epistaksis

adalah idiopatik, sehingga perdarahan spontan tanpa adanya faktor pencetus ataupun

faktor penyebab lain disebut sebagai epistaksis primer. Proporsi yang lebih kecil dari

penyebab yang jelas dari epistaksis seperti trauma, pembedahan atau overdosis dari

antikoagulan dapat diklasifikasikan sebagai epistaksis sekunder. Klasifikasi ini dibuat

mengingat penatalaksanaan ataupun teknik yang dilakukan dalam mnngontrol

epistaksis primer dan sekunder adalah berbeda.4

7
Tabel 2.1 Klasifikasi Epistaksis4

2.6 Etiopatologi

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya.

Namun kadang-kadang jelas disebabkan oleh trauma.2 Perdarahan hidung diawali

dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen

perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach

terletak di septum nasi bagian anterior, di belakangan persambungan mukokutaneus

tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis.1

Sumber perdarahan epistaksis dapat berasal dari bagian anterior dan superior.

Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri etmoid

anterior. Pleksus Kiesselbach menjadi sumber perdarahan yang paling sering pada

epistaksis terutama pada anak-anak, dan biasanya dapat nerhenti sendiri (secara

spontan) dan mudah diatasi. Epistaksis posterior dapat berasal arteri sfenopalatina dan

arteri etmoid posterior. Perdarahannya biasanya hebat dan jarang berhenti dengan

sendirinya . Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau

pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Perdarahan ini disebabkan oleh pecahnya

arteri.2

8
Epistaksis terjadi akibat dari interaksi beberapa faktor yang merusak struktur

dari mukosa hidung, kerusakan dari dinding vaskuler atau perubahan koagulabilitas

darah, yang masing-masing dapat dibagi menjadi :5

1. Faktor Lingkungan

2. Faktor lokal

3. Faktor sistemik

4. Obat-obatan

2.6.1 Faktor Lingkungan

Kegawatdaruratan dari epistaksis meningkat pada keadaan yang kering, dingin

dengan angka rawatan di rumah sakit meningkat pada saat cuaca dingin. Pada sebuah

studi retrospektif yang menganalisis 1211 pasien dengan membandingkan

kejadiannya berdasarkan tingkat temperatur. Suatu hari dengan rata-rata temperatur

dibawah 5ºC dibandingkan dengan suhu diatas 5°C, hampir 30% dari pasien

mengalami epistaksis tiap harinya pada suhu kuang ari 5ºC. Manfredini menggunakan

analisis Fourier dalam menentukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

kejadian epistaksis dengan irama sirkadian, dengan puncak utama terjadi di pagi hari,

kedua terjadi di sore dan malam hari. Para penulis berkomentar bahwa pola bifasik

mirip dengan irama sirkadian fisiologis tekanan darah, menunjukkan hubungan

temporal. Terdapat juga hubungan yang paralel antara irama sirakdian dari epstaksis

primer dan perdarahan subarachnoid.4,5

2.6.2 Faktor Lokal

1. Trauma

Anak-anak dan pasien psikiatri umunya merusak mukosa hidung,

biasanya diatas area Little melalui kebiasaan mengorek-ngorek hidung.

Trauma yang berkelanjutan melemahkan perikondrium menyebabkan

tereksposnya kartilago dan perforasi. Aliran laminar menjadi terganggu dan

9
terjadi turbulensi menyebabkan kekeringan menjadi keropeng sehingga

mudah berdarah. Mukosa juga bisa rusak akibat trauma secara langsung

maupun tidak langsung. Trauma multipe akibat kecelakaan lalu lintas,

biasanya menyebabkan perdarahan anterior. Epistaksis yang berhubungan

dengan trauma biasanya juga akibat kebiasaan mengeluarkan sekret dengan

kuat, bersin. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada

pembedahan bisa juga menyebabkan epistaksis.2,5

2. Deviasi Septum

Prevalensi kejadian epistaksis akibat deviasi septum masih cukup

tinggi, namun penyebab hubungan dari keduanya bisa saja kebetulan. Pada

suatu penelitian menemukan bahwa hubungan deviasi septum dan rekuren

epistaksis terjadi pada golongan muda dan tidak ada hubungan septum deviasi

dengan epistaksis pada golongan dewasa atau tua.4

Sistem pertahanan pertama terhadap gangguan biologik atau fisik pada

mukosa hidung adalah sistem mukosiliar. Adanya deviasi spetum seperti spina

pada septum nasi dapat menyebabkan sumbatan hidung, perubahan pola aliran

udara normal, terjadinya turbulensi udara, juga mengganggu kliren

mukosiliar. Hal ini menyebabkan mukosa menjadi kering dan terbentuk krusta

sehingga mendorong seseorang untuk mencongkel atau menggosok hidungnya

sehingga menimbulkan perdarahan.4,6

3. Inflamasi

Infeksi saluran nafas atas (akut), alergi, sinusitis dan benda sing pada

hidung sering menyebabkan epistaksis. Trauma pada mukosa hidung yang

diperberat oleh adanya suatu infeksi saluran napas seperti rhinosinusitis

merangsang respon inflamasi menyebabkan terbentuknya mediator vasolidator

yang didominasi oleh bradikanin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah

sehingga memudahkan terjadinya perdarahan hidung.6

10
Penggunaan kokain intranasal juga menjadi penyebab serta

penyalahgunaan obat-obatan inhalasi menyebabkan juga menyebabkan reaksi

inflamasi yang sama. Obat spray dekongestan dan steroid menyebabkan

kering dan perdarahan dan merokok juga mengiritasi dari struktur mukosa

hidung. Inflamasi sering terjadi akibat membuang ingus scara keras merusak

dari mukosa pembuluh darah yang sudah rapuh. Epsitaksis akibat benda asing

lebih sering terjadi pada anak-anak, biasanya diikuti dengan keluarnya sekret

yang berbau dari hidung, hidung berair dan perdarahan akibat dari

pembentukan mukosa yang rapuh.5,6

4. Tumor dan aneurisma

Tumor pada hidung jarang bermanifestasi sebagai epistaksis murni,

biasnya dalam bentuk sekret bercampur darah dengan gejala hidung yang lain

yaitu (obstruksi unilateral, nyeri dan pembengkakan) sebaikanya dicurigai

sebagai kemungkinan adanya cacinoma.4,5

Angiofibrima nasofaring jevenil dan hemangioperisitoma adalah

kejaina tumor vakuler yang jarang yang bermanifestasi sebagai rekuren atau

epistaksi berat yang berhubungan dengan obstruksi hidung. Tumor pada

dewasa yang lain, seperti melanoma maligna atau skuamos sel karsinoma bisa

juga menyebabkan gejela unilateral seperti di atas.4,5

5. Iatrogenik

Perdarahan dapat terjadi pada hampir semua pembedahan hidung.

Cedera iatrogenik pada arteri ethmoidalis anterior selama bedah sinus

endoskopi sebaiknya dikelola dengan daitermi bipolar pada pembuluh darah.

Perdarahan yang masif dan fatal dapat berasal dari cedera dari ateri karotis

interna selama bedan sinus ethmoid posterior dan sphenoid. Perdarahannya

biasanya tidak bisa dikontrol namun pemasangan tampon, angiografi dan

embolisasi dapat dicoba.4

11
2.6.3 Faktor Sistemik

1. Umur

Dinding pembuluh darah berubah sesuai dengan adanya peningkatan

usia, khususnya akibat fibrosis dari otot tunika media dari arteri telah

berimplikasi terhadap kejadian epistaksis.5

2. Hipertensi

Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa

epistaksi dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi, yaitu:7

a. Pasien dengan hipertensi yang alma memiliki kerusakan pembuluh darah

yang kronis. Hal ini beresiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan

tekanan darah yang abnormal.

b. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan

berulang pada bagian hidng yang kaya dengan persarafan autonom yaitu

bagian pertengahan posterior dari bagian antara konka media dan inferior.

Hubungan antara hipertensi dan epistaksis masih kontroversial. Hedges

(1969), seperti dikutip dari Ibarashi, membadningkan pengaruh hipertensi

pada aliran darah di retina denga aliran darah hidung. Hasilnya didapatkan

pada aliran darah dalam retina didukung oleh tekanan dari intraokuler.

Sebaliknya, aliran darah di hidung, tidak ada tekanan pendukung dari

mukoperikondrium dan mukoperiostium. Inilah yang mungkin menjelaskan

pada pasien hipertensi dengan gejala epistaksis, tapi tidak ada gejala

perdarhan retina dan eksudat pada kelompok yang diperiksa. 7

Knopholz dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan

beratnya epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat

kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses

degenerasi perubahan jaringan fibrosa di tunika media) yang dalam jangka

waktu lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis.7

12
Hipertensi pada kejadian epistaksi berhubungan juga dengan tingkat

kecemasan yang berhubungan dengan rawatan rumah sakit dan perdarahan

berulang dan teknik invasif yang digunakan dalam mengontrol perdarahan.4,7

3. Alkohol

Studi prospektif pada tahun 1994 membandingkan kebiasaan

konsumis alkohol orang dewasa yang mengalami epistaksis dengan golongan

kontrol dan didapatkan proporsi peminum alkohol reguler lebih tinggi pada

epistaksis. Temuan ini menunjukkan bahwa terdapat edek dari alkohol dalam

menurunkan agregasi platelet dan waktu perdarahan yang memanjang. Hal ini

juga dihubungkan dengan perubahan hemodinamik seperti vasodilatasi dan

perubahan tekanan darah.4,5

4. Kelainan Perdarahan

Penderita Hemofili, Von Willebrand’s Disease (vWD) dan

trombositopeni sering mengalami epistaksis intermiten, karena fungsi

koagulasi yang abnormal. Epistaksis merupakan gejala utama dari vWD pada

lebih kurang 60% pasien dengan gangguan tersebut. Hereditary

Haemorrhagic Telangiectasia (HHT)atau Rendu-Osler-Weber disease

merupakan penyakit aurosomal dominan yang merusak pembuluh darah,

membaran mukoa dan visera. Gambaran klinisnya adalah Telangiektasi, Arteri

Venous Malformation (AVM) dan aneurisma. HHT mungkin rentan terhadap

episode epistaksis yang refrakter terhadap metode pengobatan biasa. Kondisi

medis yang menyebabkan trombositopenia atau gangguan platelet seperti

HIV, penyakit hati, dll, juga dapat menyebabkan koagulasi yang abnormal.4,5

5. Infeksi sistemik

Penyebab infeksi sistemik sering dari epistaksis adalah demam

berdarah dengue, selain itu juga morbili, demam tifoid dan influensa dapat

juga disertai adanya epistaksis.2

13
6. Gangguan endokrin

Wanita hamil,menars dan menopause sering juga dapat menimbulkan

epistaksis.2

7. Perubahan tekanan atmosfir

Contoh dalam hal ini adalah Caisson Disease (pada penyelam)2

2.6.4 Obat-obatan

Banyak obat-obatan yang mengganggu pembekuan normal. Sebuah

penelitian membandingkan 50 pasien epistaksis dengan populasi kontrol.

Didapatkan hasil 42% dari pasien epistaksis mengkonsumsi warfarin,

dypiridamol, atau non steroid anti-inflamatory drugs (NSAID) dibanding 3%

dari populasi kontrol. NSAID termasuk aspirin merupakan obat-obatan utama

yang mengganggu sistem pemebekuan darah. Tiga perempat dari penggunaan

aspirin merupakan kelola sendiri dan penggunaan tanpa resep dokter

meningkat dalam tahun terakhir ini. Baik aspirin maupun jenis NSAID

lainnya merangsang metabolisme asam arachidonat dan mengubah fisiologi

membran platelet.4,5

2.7 Diagnosis

Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan harus segera dilakukan.

Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab

perdarahan. Keadaan umum, tekanan darah dan nadi perlu diperiksa. Disamping

pemeriksaan rutin THT, dapat dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak

kepala, hidung dan sinus paranasal dan CT-scan bila diperlukan.

a. Anamnesis

Pendekatan diagnostik pada pasien epistaksis dimulai dengan evaluasi riwayat

perjalanan penyakit. Jika perdarahan menyebabkan syok dan membutuhkan resusitasi

maka ditangani terlebih dahulu sesuai dengan syok hemoragik. Setelah kondisi pasien

14
stabil, penting untuk menanyakan riwayat perjalanan penyakit dan mencari penyebab

epistaksis. Beberapa hal penting yang harus ditanyakan antara lain, kapan mulainya,

lama waktu perdarahan, frekuensi, faktor pencetus dan upaya yang telah dilakukan

untuk menghentikan perdarahan. Riwayat adanya penyakit komorbid lain juga harus

ditanyakan, seperti penyakit arteri koroner, diabetes mellitus dan hipertensi. Riwayat

penggunaan obat juga ditanyakan, seperti aspirin, antiinflamasi non steroid,

antikoagulan seperti warfarin, heparin. Riwayat keluarga dengan kelainan perdarahan

juga ditanyakan, seperti hemofilia, hereditary hemorrhagic telangiectasia. Riwayat

trauma harus ditanyakan secara rinci. Kasus epistaksis karena trauma dapat

disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah

terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan.8

b. Pemeriksaan Fisik

Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum

hidung dan alat penghisap. Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk,

biarkan darah keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah

sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus

diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah. Pasien anak

duduk dipangku, badan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-

gerak.9

15
Gambar 2.4 Posisi anak pada pemeriksaan hidung

Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan

darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian dipasang tampon sementara yaitu

kapas yang telah dibasahi adrenalin 1:5000-1:10.000 dan pantocain atau lidocain 2%

dimasukkan ke dalam rongga hidung sehingga memberikan evaluasi yang lebih baik

dan bahkan menghentikan perdarahan sementara waktu.9

Pemeriksaan hidung awalnya dilakukan dengan memperhatikan hidung luar.

Perlu diperhatikan apakah ada tanda trauma. Rinoskopi anterior dilakukan dengan

spekulum hidung dan lampu kepala untuk melihat sumber perdarahan, adanya trauma

pada septum, perforasi septum atau dilatasi pembuluh darah.8

Gambar 2.5 Kit Epistaksis8

Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat dilihat, perdarahan dari kedua

lubang hidung atau darah mengalir secara menetap di faring posterior, perdarahan

dapat berasal nasal posterior. Jika setelah tampon anterior dipasang darah terlihat

masih mengalir di belakang faring, dapat diduga kuat sumber perdarahan berasal dari

epistaksis posterior. Pemeriksaan rinoskopi posterior kadang-kadang akan

memperlihatkan sumber epistaksis posterior.10

c. Pemeriksaan Penunjang

16
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mencari penyebab epistaksis.

Pemeriksaan tersebut dilakukan setelah perdarahan berhenti sementara dengan

pemasangan tampon. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap,

pemeriksaan fungsi hepas dan ginjal, gula darah dan hemostasis. Pemeriksaan foto

polos atau CT scan sinus dilakukan bila curiga ada sinusitis. Perlu juga konsul ke

penyakit dalam atau kesehatan anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.9

Studi terbaru juga menganjurkan pemeriksaan endoskopi karena hal

terpenting dalam penentuan dan penanganan epistaksis adalah visualisasi pembuluh

darah yang terkena. Evaluasi dengan endoskopi intranasal dilakukan dalam anestesi

lokal dan agen vasokonstriksi topikal seperti oksimetazolin. Endoskopi nasal

berperan penting pada kasus epistaksis posterior dimana sekitar 20% dari epistakis

posterior diketahui dari endoskopi nasal.8

Gambar 2.6 Endoskopi nasal12

Gambar 2.7 Endoskopi nasal epistaksis yang berasal dari arteri eitmoid anterior12

17
2.8 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum,

mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab

untuk mencegah berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis,

perhatikan keadaan umumnya, nadi pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada

kelainan, atasi terlebih dahulu, misalnya dnegan memasang infus. Jalan napas dapat

terusumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.9

Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya

dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior. Sumber perdarahan dicari

untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat

pengisap. Kemudian dipasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi

adrenalin 1:5000-1:10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan ke dalam

rongga hidung sehingga memberikan evaluasi yang lebih baik dan bahkan

menghentikan perdarahan sementara waktu.9

a. Menghentikan perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kiesselbach di septum

bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama

pada anak dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15

menit dan seringkali berhasil.9

Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan

Nitras Argenti (AgNO3) 20-30%. Kemudian tempat tersebut diberi krim antibiotik.9

18
Gambar 2.8 Kaustik Pleksus Kiesselbach9

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan

pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kain kasa yang diberi

pelumas vaselin atau salap antibiotika. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon

berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan

ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dan harus

dapat menekan sumber perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam lalu

dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama dua hari tersebut dilakukan

pemeriksaan penunjang untuk mencari factor penyebab epistaksis. Bila perdarahan

belum berhenti, dipasang tampon baru.9

Gambar 2.9 Pemasangan tampon anterior9

19
b. Menghentikan perdarahan posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi karena biasanya sumber

perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior.

1. Tampon Bellocq

Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan

tampon posterior yang disebut tampon Bellocq. Prosedur ini menimbulkan

rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya dengan anestesi

lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di

nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Tampon ini

dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. pada

tampon ini terikat 3 utas benang, 2 di satu sisi dan 1 di sisi berlawanan.9,11

Untuk memasang tampon posterior digunakan bantuan kateter karet

yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik

keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq,

kemudian tampon ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan

dapat ditarik. Tampon didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat

melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan,

maka dapat ditambahtampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang

yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares

anterior agar tampon yang terletak di nasofaring tetap pada tempatnya.

Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.

Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.

Tampon dicabut dengan hati-hati karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.

Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,

digunakan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri dan

tampon posterior terpasang di tengah nasofaring.9

20
Gambar 2.10 Pemasangan Tampon Posterior9

Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley

dengan balon. Ada pula tersedia tampon buatan pabrik dengan balon khusus

untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik.9

2. Ligasi Arteri

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah

dengan meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber

perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi

sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada

beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.

1) Ligasi arteri karotis eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk

melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis

eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat

insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang

21
pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma

dielevasi, m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi

diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi

bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan

untuk melakukan ligasi dibawah a.faringeal asendens, terutama apabila

epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri

karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.11

2) Ligasi arteri maksilaris interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan

transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi local atau umum lalu

dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah

dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior

dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian

inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk

jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior.

Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk

melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan

jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan

hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan

nervehook. Setelah a. maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi

dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya.

Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap

antibiotik selama 24 jam.11

3) Ligasi arteri eitmoidalis

Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik

diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya.

Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis

22
anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen

etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis

posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm sebelah

anterior n. optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah

ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan

sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posteriordisepanjang garis

sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a.

etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan

berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma

n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior

diidentifikasi dan diklem. Hindarkan pemakaian kauter untuk menghindari

trauma.11

4) Angiografi dan Embolisasi

Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam

menentukan sumber perdarahan. Merland melaporkan penggunaan

embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis

(primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit

pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan embolisasi

a.etmoidalis tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan

dengan ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian

distal arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan

hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai.

Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable

gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun

teknik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada

penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada

kontraindikasi untuk operasi.11

23
2.9 Komplikasi dan Pencegahannya

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis sendiri atau akibat dari

usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi

darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan

gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menyebabkan hipotensi,

hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi coroner dan infark miokard sehingga dapat

menyebabkan kematian. Dalam hal ini, pemberian infus atau transfuse darha harus

dilakukan secepatnya. Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi

sehingga perlu diberikan antibiotic.2

Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media,

septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, antibiotik harus diberikan

pada setiap pemasangan tampon hidung.2

Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum akibat mengalirnya darah melalui

tuba Eustachius dan air mata berdarah (bloody tears) akibat mengalirnya darah secara

retrograde melalui duktus nasolakrimalis.2

Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon

posterior akibat benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilekatkan ke pipi.

Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat

menyebabkan nekrosis mukosa hidung.2

2.10 Prognosis

Secara umum, prognosis baik jika epistaksis ditangani dengan tepat. Jika

penanganan adekuat dan penyakit mendasar ditangani, perdarahan berulang tidak

terjadi pada sebagian besar kasus. Sebagian lainnya dapat rekurens yang dapat

berhenti spontan atau dengan penanganan minimal. Hanya sebagian kecil kasus

membutuhkan penanganan lanjut.10

Epistaksis akibat trauma minor atau laserasi mukosa tidak berdampak jangka

panjang. Epistaksis akibat hereditary hemorrhagic telangiectasia cenderung rekurens,

24
namun hal ini juga bergantung pada modalitas penanganannya. Pada pasien

hipertensi, biasanya perdarahan hebat dan sering kambuh. Epistaksis akibat kelainan

hematologis memiliki prognosis bervariasi.10

25
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Epistaksis merupakan suatu gejala atau manifestasi penyakit lain yaitu dalam

bentuk keluarnya darah dari hidung dapat ringan ataupun berat dan merupaka

suatu bentuk keghawatdaruratan yang apabila tidak segera ditolong dapat

berakibat fatal.

2. Epistaksis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa klasifiaksi. Bedasarkan

sumber perdarhan dapat dibagi menjadi epistaksis anterior dan posterior.

Epistaksis anterior terjadi pada pleksus Kiesselbach dan biasanya terjadi pada

anak-anak sedangkan epistaksis posterior berasal dari arteri sfenopalatina dan

arteri etmoidalis posterior. Sedangkan menurut usia dapat dibagi menjada

anak-anak dan dewasa yaitu dengan batasan umur 16 tahun. Menurut

penyebabnnya yaitu primer dan sekunder.

3. Diagnosis epistaksis dapat ditegakkan melalu anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang

4. Prinsip penatalksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, mencari

sumber perdarahan, mengehentikan perdarahan, mencari faktor penyebab dan

mencegah berulangnya perdarahan. Mengehentikan perdarahan anterior dapat

dilakukan dengan pemasangan tampon anterior, kaustik dengan Nitras

Argenti. Sedangkan pada epistaksis posterior dengan cara pemasangan

tampon Belloq ataupun dengan pembedahan dengan cara ligasi arteri dll.

5. Berabagai komplikasi dapat terjadi baik akibat dari epistaksis sendiri maupun

dari usaha penanggulangan epistaksis.

6. Prognosis epistaksis sejauh ini baik jika ditangani secara cepat. Epistaksis

akibat hereditary hemorrhagic telangiectasia cenderung rekurens, namun hal

ini juga bergantung pada modalitas penanganannya. Pada pasien hipertensi,

26
biasanya perdarahan hebat dan sering kambuh. Epistaksis akibat kelainan

hematologis memiliki prognosis bervariasi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikhsan M, 2001. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari: http

://www.kalbe.co.id/files/15 Penatalaksanaan Epistaksis.pdf/15

Penatalaksanaan Epistaksis.html. Tanggal akses 2 Januari 2021, pukul 13.30

WIB.

2. Mangunkusumo E, 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu. In:

Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher. 6 th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI.

3. Anto. 2007. Epistaxis. RCH CPG. Diakses dari : http://

www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cmf?doc_id=97 49. Tanggal akses : 2

Januari 2021, pukul 13.40

4. Gleeson M. J and Clarke R.C.2008. Scott-Brown’s Otorhinolaryngology:

Head and Neck Surgery. 7th ed.

5. Middleton P. M. 2004. Epistaxis. Emergency Medicine Australasia. Vol 16,

Pg 428-40

6. Budiman B. J dan Yolazenia. 2015. Epistaksis Berulang dengan

Rinosinusitis Kronik, Spina pada Septum dan Telangiektasis. Bagian

Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas: Padang.

7. Budiman B. J dan Hafiz A. 2015. Epistaksis dan Hipertensi : Adakah

Hubungannya?. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas: Padang.

8. Tami TA, Merrell JA. Epistaxis. Dalam: Snow JB, Wackyn PA, ed.

Ballenger’s Otorhinolaryngology Head And Neck Surgery. 17 th Edition.

Shelton: People’s Medical Publishing House;2009. h 551-555.

28
9. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar

N, Bashiruddin J, Restuti RD, ed. Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia;2009. h 155-159.

10. Nguyen QA. Epistaxis Clinical Presentation [serial online] 2021 (diunduh 2

Januari 2021). Tersedia dari: URL: HYPERLINK

http://emedicine.medscape.com/article/863220-overview

11. Munir D, Haryono Y, Rambe AYM. Epistaksis. Majalah Kedokteran

Nusantara. 2006; 39(3):274-178.

12. Suh JD, Garg R. Epistaxis (Nosebleeds) [serial online] 2021 (diunduh 2

Januari). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://care.american-

rhinologic.org/epistaxis

29

Anda mungkin juga menyukai