Anda di halaman 1dari 3

PUSARAN WAKTU Puisi cinta dari rink-rink

"Menekan sekelompok orang lain agar tidak ikut bermain bukan cara yang demokratis. Bahkan dalam sistem
demokrasi yang sehat, kaum minoritas dan kalangan oposisi diperlukan. Sebab kelompok inilah yang dapat
menyampaikan kritik-kritik positif karena mereka tidak terlibat dalam permainan secara langsung."    Petuah
Negeri Cinta

Mengelola Kemarahan Petuah negeri cinta dari


drh. Chaidir, MM

Tulisan ini di ambil dari Kolom Minda Kita Tabloid Mentari edisi 12 - 18 November
1999 & buku Berhutang Pada Rakyat Karya drh. Chaidir, MM

        Amuk pastilah muara dari sekumpulan kemarahan. Tetapi kemarahan


sebenarnya tidak selalu berakhir dengan amuk. Kemarahan adalah ibarat air
terjun, apabila dikelola secara tepat ia akan menjadi sumber energi.

        Kawan baik saya seorang wartawan senior, pernah menangis sambil menulis
artikel. "Saya marah pada keadaan yang tidak mampu saya perbaiki," ceritanya.
Kemarahan kawan saya itu dituangkannya dalam tulisan, jadilah sebuah artikel
yang penuh sentuhan.

        Sesungguhnya aksi-aksi kekerasan sebagai manifestasi dari kemarahan,


bukanlah gejala yang baru dalam masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini,
aksi kekerasan menampakkan peningkatan yang sangat signifikan di Indonesia.

        Kekerasan sebenarnya merupakan fenomena universal karena tidak dibatasi


oleh ruang dan waktu. Usianya adalah setua sejarah dan peradaban umat
manusia. Masa lampau telah dijejali secara berlimpah ruah oleh sikap, aksi dan
tindak kekerasan. Tidak seorang dan tidak satu komunitas pun luput dari aksi
kekerasan dalam berbagai bentuk dan manifestasi. Perbedaan hanyalah dalam
bentuk, skala, frekuensi, intensitas, dan kausalitas tindak kekerasan itu sendiri,

        Tentu layak menjadi bahan renungan, mengapa orang cepat menjadi marah?
Padahal dulu kita terkenal sebagai bangsa yang berbudaya tinggi, penuh dengan
sopan-santun, penyayang antara sesama dan peramah. Mengapa? Agaknya tidak
mudah membuat argumentasi secara eksak. Kadang-kadang hanya karena
kendaraan yang satu terhalang atau disalib oleh kendaraan lain, sumpah serapah
pun keluar dari mulut. Kita mencari-cari alasan dalam benak kita, bahwa kita
berhak untuk marah karena orang tersebut telah berlaku seenaknya. Kita tidak
mau tahu dengan alasan orang lain, atau suasana yang melingkupi batin
seseorang, sehingga di bawah sadar seseorang berbuat salah.

        Saya mendapatkan pengalaman kecil yang tidak pernah terlupakan ketika


sedang berada dalam perjalanan lewat darat dari Rockhamton menuju Brisbane di
Australia, tiga belas tahun yang lalu. Pengemudi mobil adalah Dr. Peter Jellineck,
dosen saya. Untuk ukuran saya, Peter seorang yang arogan dan urakan. Suatu
ketika tanpa sengaja dia menyentuh klakson, dan tentu saja benda itu berbunyi.
Pengemudi mobil di depan entah mendengar entah tidak, tetapi yang menarik
perhatian saya, ketika mobil berhenti, Peter menghampiri pengemudi tersebut
untuk hanya sekadar minta maaf bahwa dia tanpa sengaja telah membunyikan
klakson.

        Mudahnya kemarahan meledak menjadi amuk barangkali karena terlalu


banyak hal-hal yang menjengkelkan. Tetapi satu hal yang agaknya patut dicatat
adalah terlalu besarnya jurang antara harapan dan kenyataan.

        Banyak yang tidak bisa memahami dengan jernih, ketika seseorang


memaksakan kehendaknya, maka sebenarnya pada saat yang sama ada
kehendak orang lain yang dirampas. Ketika seseorang marah kepada yang lain,
pada saat yang sama orang lain juga bisa marah. Kita marah kepada pengemudi
di depan ketika dia terlambat menjalankan kendaraannya beberapa detik, tetapi
kita juga tidak senang ketika kendaraan di belakang kita berlaku tidak sabar
dengan membunyikan klakson.

        Keakraban, kebiasaan yang tidak dapat dihindari, ekspektasi, pengorbanan,


agenda-agenda yang saling bertubrukan, kebiasaan aneh, tanggung jawab dan
semua masalah kemasyarakatan dapat berperan dalam menghadirkan lingkungan
yang penuh tekanan dan berpotensi menimbulkan friksi dan kemarahan. Dan
susahnya, kita seringkali bereaksi terlalu berlebihan setiap kali berhadapan
dengan keadaan yang buruk atau mengecewakan. Kita meledak di luar kendali
dan langsung kehilangan pandangan yang lebih luas.

        Sebenarnya, perasaan kita selalu bersama kita, tetapi kita jarang bersama
perasaan itu. Sebaliknya, kita biasanya baru sadar tentang emosi kita ketika
sudah menumpuk dan menindih. Irama kehidupan modern memberi kita terlalu
sedikit waktu untuk melakukan refleksi atau bahkan berkontemplasi. Sebenarnya
setiap hari kita memerlukan waktu merenung, apa yang telah kita perbuat, apa
yang seharusnya kita perbuat, tetapi tidak kita perbuat, atau sebaliknya. Kita
membutuhkan waktu untuk mawas diri, tetapi biasanya kita tidak
memanfaatkannya. Emosi mempunyai agenda tersendiri, tapi ketergesaan hidup
kita tidak menyediakan ruang untuk itu, tidak memberi waktu. Kita membiarkan
batin kita bersuara lirih, padahal suara ini menawarkan kemudi batiniah yang
dapat kita gunakan untuk menjelajah rimba belantara kehidupan. Pernahkah kita
merasa malu kepada diri sendiri dengan kemarahan yang pernah kita lakukan?

        Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kesadaran dan kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri
dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan
orang lain. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda,
tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik. Banyak orang cerdas,
dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, sehingga lemah
dalam pengendalian diri.

        Orang yang tidak memiliki kesadaran emosi akan cenderung menggunakan


semangat juangnya dengan kasar. Ia terlalu mudah untuk tersinggung, dan tanpa
sadar, kemarahan membuatnya memperlakukan orang lain dengan kasar. Dalam
lingkungan masyarakat madani, yakinlah tidak akan ada seorang pun mau bekerja
sama dengan orang seperti itu, yang selalu menganggap orang lain lebih rendah.
Ia tidak mempunyai kesadaran sama sekali bahwa emosinya membuatnya
tersingkir.

        Resep yang paling ampuh dalam mengelola kemarahan sebenarnya adalah


kesabaran dan memberikan teladan kepada lingkungan. Definisi kesabaran
menurut orang tua-tua : Kalau mandi di hilir-hilir, tapi jangan di hilir sangat nanti
hanyut ke muara.

        Kemarahan pada skala yang tidak destruktif adakalanya perlu. Anda tidak
akan pernah merasa betapa nikmatnya sinar matahari bila tidak ada awan
mendung. Jadi sesekali mendung, duniawi namanya. Bukankah badai pasti akan
berlalu?!

(12 - 18 November 1999)

Petuah negeri cinta dari : drh. Chaidir, MM dikirim pada tanggal  4 Des 2003

Anda mungkin juga menyukai