"Menekan sekelompok orang lain agar tidak ikut bermain bukan cara yang demokratis. Bahkan dalam sistem
demokrasi yang sehat, kaum minoritas dan kalangan oposisi diperlukan. Sebab kelompok inilah yang dapat
menyampaikan kritik-kritik positif karena mereka tidak terlibat dalam permainan secara langsung." Petuah
Negeri Cinta
Tulisan ini di ambil dari Kolom Minda Kita Tabloid Mentari edisi 12 - 18 November
1999 & buku Berhutang Pada Rakyat Karya drh. Chaidir, MM
Kawan baik saya seorang wartawan senior, pernah menangis sambil menulis
artikel. "Saya marah pada keadaan yang tidak mampu saya perbaiki," ceritanya.
Kemarahan kawan saya itu dituangkannya dalam tulisan, jadilah sebuah artikel
yang penuh sentuhan.
Tentu layak menjadi bahan renungan, mengapa orang cepat menjadi marah?
Padahal dulu kita terkenal sebagai bangsa yang berbudaya tinggi, penuh dengan
sopan-santun, penyayang antara sesama dan peramah. Mengapa? Agaknya tidak
mudah membuat argumentasi secara eksak. Kadang-kadang hanya karena
kendaraan yang satu terhalang atau disalib oleh kendaraan lain, sumpah serapah
pun keluar dari mulut. Kita mencari-cari alasan dalam benak kita, bahwa kita
berhak untuk marah karena orang tersebut telah berlaku seenaknya. Kita tidak
mau tahu dengan alasan orang lain, atau suasana yang melingkupi batin
seseorang, sehingga di bawah sadar seseorang berbuat salah.
Sebenarnya, perasaan kita selalu bersama kita, tetapi kita jarang bersama
perasaan itu. Sebaliknya, kita biasanya baru sadar tentang emosi kita ketika
sudah menumpuk dan menindih. Irama kehidupan modern memberi kita terlalu
sedikit waktu untuk melakukan refleksi atau bahkan berkontemplasi. Sebenarnya
setiap hari kita memerlukan waktu merenung, apa yang telah kita perbuat, apa
yang seharusnya kita perbuat, tetapi tidak kita perbuat, atau sebaliknya. Kita
membutuhkan waktu untuk mawas diri, tetapi biasanya kita tidak
memanfaatkannya. Emosi mempunyai agenda tersendiri, tapi ketergesaan hidup
kita tidak menyediakan ruang untuk itu, tidak memberi waktu. Kita membiarkan
batin kita bersuara lirih, padahal suara ini menawarkan kemudi batiniah yang
dapat kita gunakan untuk menjelajah rimba belantara kehidupan. Pernahkah kita
merasa malu kepada diri sendiri dengan kemarahan yang pernah kita lakukan?
Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kesadaran dan kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri
dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan
orang lain. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda,
tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik. Banyak orang cerdas,
dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, sehingga lemah
dalam pengendalian diri.
Kemarahan pada skala yang tidak destruktif adakalanya perlu. Anda tidak
akan pernah merasa betapa nikmatnya sinar matahari bila tidak ada awan
mendung. Jadi sesekali mendung, duniawi namanya. Bukankah badai pasti akan
berlalu?!
Petuah negeri cinta dari : drh. Chaidir, MM dikirim pada tanggal 4 Des 2003