Anda di halaman 1dari 445

PENGANTAR

SOSIOLOGI SENI
Nasbahry Couto & Indrayuda

i
KETENTUAN PIDANA
SANGSI PELANGGARAN

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau


memperbanyak suatu Ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp 1. 000. 000, 00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5. 000.
000. 000, 00 (lima milyar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang
hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500. 000. 000, 00 (lima ratus
juta rupiah).

ii
iii
Pengantar Sosiologi Seni
Nasbahry Couto & Indrayuda
editor, Tim editor UNP Press
Penerbit UNP Press Padang, 2013
1 (satu) jilid; 14 x 21 cm (A5)
345 hal.

Pengantar Sosiologi Seni


ISBN:978-602-8819-71-8

1. Sosiologi, 2. Sosiologi Seni. 3. Pengantar


1. UNP Press Padang

Pengantar Sosiologi Seni


Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang pada penulis
Hak penerbitan pada UNP Press
Penulis: Drs. Nasbahry Couto, M.Sn. & Indrayuda, M.Pd, Ph.D.
Editor isi (Substansi): Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd.
Editor Bahasa: Dra. Ellya Ratna, M. Pd.
Desain Sampul& Layout Nasbahry Couto dan Khairul

iv
B
uku ini berjudul ―Pengantar Sosiologi Seni‖, mengapa
pengantar? Sebab hanya mengantarkan pembaca ke perihal
sosiologi seni oleh kedua penulis yaitu Nasbahry Couto dan
Indrayuda. Namun, jangan berkecil hati, banyak hal yang terkait
dengan seni yang tidak terjawab dalam buku lain, dapat terjawab dalam
buku ini, tetapi sayangnya materi sosiologi ini sangat luas dan sangat
banyak. Jadi, penulis berkeinginan buku ini hanya membahas secara
ringkas, membahas hal-hal yang dianggap mewakili saja dari teori
sosiologi seni. Untuk memperdalamnya pembaca dapat menelusuri
kembali dari daftar bacaan buku ini. Penulis berpikir ilmu sosiologi seni
relatif baru, buku-buku standar mengenai sosiologi seni juga tidak
banyak. Contoh keluasan bidang sosiologi seni dapat dilihat dalam
seminar Internasional Sosiologi Seni yang dilaksanakan di Wina
(Austria) bulan September 2012, terdapat topik-topik sebagai berikut. 1
1. Pembahasan domain tertentu dalam seni, termasuk arsitektur
(architecture), perencanaan kota (urban planning), seni terapan
(applied arts), seni dalam ranah kebudayaan populer (seperti film,
televisi, dan musik populer) serta jenis seni tradisional 'tinggi'
(traditional 'high' arts). Misalnya musik, seni visual, sastra, teater
dan tari.
2. Proses produksi, distribusi promosi, dan komersialisasi karya
seni termasuk dampak teknologi, sarana produksi baru, bentuk
kolaborasi, pembentukan teori seni, pengembangan pasar seni, dan
proses evaluasi.
3. Proses presentasi dan mediasi seni termasuk kritik seni dan
publisitas seni pada semua domain dari seni, museum, teater,
konser, studi tentang audiens, studi tentang sikap penonton, dan
program pendidikan.
4. Pengembangan profesi di bidang seni termasuk kelompok amatir
dan semiamatir, pendidikan kejuruan, sekolah seni, diferensiasi

1
http://ebookbrowse. com/call-for-papers-vienna-5-8-sept-2012-esa-rn021-pdf-
d314056890
1
profesional, pendapatan artistik, reputasi artistik, dan kaitannya
dengan manajemen seni.
5. Organisasi seni, tidak hanya seperti museum, teater tetapi juga
mengenai seni festival dan serikat seniman, penyelidikan
perkembangan sejarah, hubungan kekuasaan, efek, pemilihan
program, proses dalam organisasi seperti kepemimpinan.
6. Kebijakan seni (terutama aspek sosiologis daripadanya), termasuk
masalah hukum, publik dan wacana dana swasta, dan debat publik
misalnya dalam hal klasifikasi seni, seni dan simbol-simbol
keagamaan, seni dan seksualitas, seni dan rasisme. Sensor, analisis
dampak seni, keberlanjutan seni, pendekatan melobi, kementerian
kebudayaan atau badan pemerintah lainnya yang terkait seni.
7. Efek sosial dan kognitif dari seni, termasuk: seni dan
pembentukan identitas-identitas seni, seni dan tubuh manusia,
pengalaman estetik, seni dan etika, coding dan decoding, praktik
gender dan yang terkait, aspek etnografis, seni untuk
perubahan/transformasi sosial, seni di dalam masyarakat dan seni
sebagai bagian dari budaya perkotaan.
8. Seni dari perspektif macrosociological termasuk: (de-) institusi-
onalisasi, economisation, globalisasi vs lokalisme, digitalisasi,
mediamorphosis (perubahan media), seni dan kohesi sosial, seni
dan etika, seni dan hegemoni dan seni dan kekuasaan.
9. Pengembangan teori bidang sosiologi seni seperti produksi
dengan pendekatan budaya, pasca-strukturalisme, teori medan,
teori sistem, praksiologi serta isu-isu metodologis.

Jadi jelas bahwa gambaran mengenai sosiologi seni dapat luas,


misalnya kajian seni dari sudut persuasif dan alat propaganda sosial,
seni sebagai objek estetika yang dihargai, seni sebagai komoditi dan
atau untuk pengakuan sebuah status sosial. Jika semua pikiran tokoh
teori sosiologi ini dibahas, tidak akan muat dalam buku ini oleh karena
itu, perlu pembatasan oleh penulis. Pada pokoknya, seni dapat
memerankan banyak peran dalam masyarakat (sosial). Memandang
secara perspektif sosiologis akan masuk kepada eksplorasi sifat seni
―dalam masyarakat" yaitu melihat bagaimana benda-benda seni dan
karya seni lainnya yang diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi
dan atau studi tentang pelaku seni. Perspektif teoretis ini, akan terkait
2 Nasbahry Couto & Indrayuda
dengan contoh-contoh historis dan kontemporer dari berbagai media
artistik, dengan melihat pada fenomena seni misalnya pada musik,
lukisan, arsitektur, tari, drama atau teater dan fotografi. Hal ini berguna
untuk mengeksplorasi interaksi antara seni dan masyarakat, dan
keterkaitan antara seni yang berbeda itu.
Peran teknologi dalam berbagai seni adalah tema lain dalam
konteks hubungan seni dengan sosial. Reproduksi oleh teknologi,
misalnya dalam kegiatan fotografi, lukisan dan rekaman musik,
memungkinkan untuk mengkonsumsi' karya seni secara massal dan
menjadi industri, Dengan demikian, fokus dari sosiologi seni ini tidak
terbatas pada 'seni rupa' dan seni pertunjukan saja, tetapi juga
membahas aspek 'budaya populer'. Pengetahuan ini seyogyanya
dipahami oleh mahasiswa yang belajar seni rupa dan seni pertunjukan,
agar mengenal profesi seni dalam masyarakat.
Penulis bersyukur kepada Allah, Tuhan yang Mahaesa yang telah
memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga buku
ini dapat diselesaikan. Banyak pihak yang telah memberikan bantuan
kepada penulis sehingga buku ini dapat diselesaikan. Sehubungan
dengan itu, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada (1)
staf Pengajar Jurusan Seni, Sendratasik dan Seni Rupa, Fakultas Bahasa
dan Seni, (FBS), Universitas Negeri Padang yang telah memberikan
semangat dan berbagai masukan kepada penulis dalam penulisan buku
ini, (2) semua mahasiswa Jurusan Seni Rupa atau jurusan Sendratasik,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang yang telah
memberikan kritik dan saran kepada penulis ketika draf buku ini
digunakan dalam perkuliahan. Buku ini dapat dimanfaatkan oleh insan
seni baik oleh seni rupa, seni pertunjukan, para pencinta seni, akademisi
seni dan masyarakat umumnya yang peduli dengan seni atau sosiologi
seni. Sehingga sumbangsih pengetahuan sosiologi seni ini dapat
menyentuh berbagai kalangan yang membutuhkan dan peduli dengan
perkembangan dunia seni dan sosiologi seni.
Penulis sangat menghargai kritik dan saran yang disampaikan oleh
pembaca. Semoga buku ini dapat memperkaya kajian makna bahasa,
khususnya bidang kajian seni di FBS.
Padang, Oktober
2012

3
Penulis

4 Nasbahry Couto & Indrayuda


KATA PENGANTAR ............................................................................. 1
DAFTAR ISI ........................................................................................... 5
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. 10
DAFTAR TABEL .................................................................................. 16

BAB I DARI SOSIOLOGI KE SOSIOLOGI SENI ............................... 17


A. PENGERTIAN DAN LINGKUP SOSIOLOGI ........................................... 17
1. Sosiologi Pedesaan (Rural Sosiology) ......................................... 18
2. Sosiologi Industri (Industrial Sociology) .................................... 20
3. Sosiologi Perkotaan(Urban Sociology) ....................................... 22
4. Sosiologi Perempuan (Woman Sociology) ................................. 24
5. Sosiologi Militer (Military Sociology) ......................................... 25
6. Sosiologi Agama (Religion Sosiology) ........................................ 26
7. Sosiologi Pendidikan (Sociology of Education) ......................... 27
8. Sosiologi Medis (Medical Sociology) .......................................... 27
B. METODE PENELITIAN SOSIOLOGI ..................................................... 29
1. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 31
2. Ilmu Bantu .................................................................................. 33
3. Jenis Penelitian Sosiologi ............................................................ 34
4. Kegunaan Sosiologi ..................................................................... 35
C. SOSIOLOGI SENI ................................................................................ 36
1. Istilah Sosiologi Seni ................................................................... 36
2. Sosiologi Seni sebagai Wilayah Kajian Baru pada Abad ke-21 .. 37

BAB II SENI, SIFAT ALAMI MANUSIA, DAN KEHIDUPAN


SOSIALNYA ......................................................................... 43
A. INSTINK ATAU NALURI MANUSIA TERHADAP SENI .......................... 44
1. Pendahuluan ............................................................................... 44
2. Teori Dutton: Perkembangan Naluri Estetik Manusia ............. 50
3. Kajian Khusus tentang Logika dan Naluri Manusia dalam Film
.................................................................................................... 57
B. PANDANGAN ILMIAH DAN FILOSOFIS TENTANG SENI OLEH GOGUEN
64
1. Apa Seni itu? ............................................................................... 64
5
2. Apa Kecantikan itu (Beauty)? ...................................................... 68
3. Seni dan Sains ............................................................................. 74
4. Kesimpulan .................................................................................. 76
C. SENI ADALAH MEMBUAT SESUATU YANG KHUSUS (TEORI
DISSANAYAKE, 2003)......................................................................... 77
1. Inti dari Seni: Membuat Sesuatu yang Khusus .......................... 77
2. Yang Khusus dan Spesial adalah Perilaku Seni .......................... 82
3. Bermain dan Ritual adalah Asal-Usul Seni ................................ 84
4. Asal Seni: Membedakan Luar Biasa/Spesial dari Biasa ............. 91
5. Pandangan Lebih Dekat tentang Membuat Khusus .................. 93
6. Hubungan Membuat Sesuatu yang Khusus (Spesial dan Seni) . 97
7. Implikasi Membuat Spesial/Khusus .........................................100
D. PEMAKAIAN KATA SENI DI INDONESIA (ART= SENI?) .....................102
1. Pemakaian Kata Seni di Barat (Eropah) ...................................102
2. Asal Kata Seni dan Pemakaiannya dalam Bahasa Indonesia ...104
3. Pemakaian Kata Seni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) .......................................................................................105
E. APAKAH SENI ITU UNIVERSIL? ........................................................107

BAB III DUNIA SENI DAN SOSIOLOGI SENI ............................... 111


A. TEORI SOSIOLOGI SENI HAUSER ....................................................113
1. Pendahuluan .............................................................................113
2. Kemenangan Realisme ..............................................................115
3. Realisme Kontra Nonrealisme ..................................................116
4. Seni Mapan Kontra Inovator Seni (Avant Garde) ...................119
5. Sosialisasi Seni dan Media Komunikasi ...................................120
6. Antara Rutinitas dan Improvisasi .............................................123
7. Motivasi Psikologi Seni dalam Masyarakat/Sosial ...................124
8. Profesi Seni dalam Tinjauan Sosiologis dan Budaya ...............124
9. Kesimpulan ................................................................................127
B. DUNIA SENI (WORLDS ART) MENURUT HOWARD BECKER ...........128
1. Dunia Seni dan Kegiatan Kolektif ............................................129
2. Konvensi (Kesepakatan) ............................................................131
3. Memobilisasi Sumber Daya.......................................................132
4. Mendistribusikan Hasil Pekerjaan Seni ....................................133
5. Estetika, Estetikus (Ahli Estetik), dan Kritik ............................134
6. Seni dan Kepentingan Negara ..................................................134

6 Nasbahry Couto & Indrayuda


7.
Editing Karya Seni .................................................................... 135
8.
Profesional Terpadu (Integrated Professionals), Pembelot
(Mavericks), Seniman Folk, dan Seniman Naif ....................... 136
9. Seni dan Kerajinan.................................................................... 137
10. Perubahan Dunia Seni .............................................................. 138
11. Reputasi ..................................................................................... 139
C. SENI SEBAGAI IDEOLOGI SOSIAL (WELTANSCHAUUNG): JOHN PAUL
140
1. Definisi Seni .............................................................................. 140
2. Teori 1. Pendekatan Fungsional ............................................... 142
3. Teori II: Pendekatan Konflik .................................................... 143
4. Teori III. Pendekatan Interpretatif ........................................... 147
5. Kesimpulan ............................................................................... 150

BAB IV NILAI ESTETIK DAN FUNGSI SOSIAL SENI MODERN .. 151


A. TEORI KELEMBAGAAN GEORGE DICKIE ........................................ 163
1. Pengantar ................................................................................... 163
2. Hubungan Pemikiran Dickie dan Danto ................................. 167
3. Teori Dickie .............................................................................. 173
4. Kelebihan Teori Institusional Dickie ....................................... 180
B. TEORI KELEMBAGAAN PRAGMATIS DARI HOWARD SAUL BECKER
DAN PAUL DIMAGGIO (INTERAKSIONAL SIMBOLIS)....................... 182
1. Konsep Becker ........................................................................... 187
2. Masalah dan Manfaat Pendekatan Howard S. Becker ............. 199
3. Sosiologi Seni dan Institusionalis Baru .................................... 201
4. Tema Utama Kelembagaan yang Baru ..................................... 204
5. Riset Di Maggio dalam Bidang Organisasi (di Dunia Seni) .... 206
C. TEORI AREA SENI (FIELD OF ARTS) PIERRE BOURDIEU ................. 207
1. Habitus ...................................................................................... 208
2. Kapital ....................................................................................... 209
3. Arena ......................................................................................... 209
4. Pendidikan ................................................................................ 210
5. Pembedaan ................................................................................ 211
6. Status Bahasa ............................................................................. 211
7. Dominasi Simbolik dan Doxa .................................................. 212
8. Perubahan Sosial dan Kebebasan ............................................. 214
9. Pembahasan: Bourdeau dan Area Produksi Kultural .............. 215

7
D. BRUNO LATOUR DAN ANT (ACTOR NETWORK THEORY).............223
1. Pendahuluan .............................................................................223
2. Awal Mula Teori Jaringan Aktor ..............................................232
3. Actor–Network -Theory (ANT) dan Fungsi Seni .....................239
4. Teori ANT dan Impilikasinya pada Media dan Teknologi .....242
E. TEORI SISTEM KOMUNIKASI SOSIAL UNTUK ARTISTIK NIKLAS
LUHMANN .......................................................................................247
1. Pendahuluan .............................................................................248
2. Riwayat Luhmann dan Pemikirannya ......................................252
3. Kompleksitas di dalam Teori Sistem ........................................256
4. Autopoiesis ................................................................................261
5. Autopoiesis dan Komunikasi ....................................................264
6. Landasan Epistemologis dan Modernitas .................................272
7. Apa yang Dilihat Luhmann Sebagai Ciri Khas Seni?...............275
8. Bagaimana Sistem Seni Menghasilkan Fungsi Sosial Seni ......278
9. Kesimpulan ................................................................................281
F. PENUTUP .........................................................................................282

BAB V SENI MODERN, SENI KONTEMPORER DAN ANTISENI . 287


A. MODERN, MODERNISASI, DAN MODERNITAS ................................288
1. Teori Modernitas dalam Ilmu Sosial ........................................289
2. Tema Seni Tradisi-Modern: Kontinuitas dan Diskontinuitas
dalam Perkembangan Seni ......................................................291
3. Tema Internasional dan Tema Global dalam Sosiologi ..........314
4. Seni Modern Barat ....................................................................316
5. Asal Usul Seni Modern Barat ...................................................317
6. Seni Rupa Modern Barat ..........................................................323
7. Tari Modern ..............................................................................332
8. Musik Modern ...........................................................................335
9. Posmodern ................................................................................340
B. SENI PASCA-MODERN DAN KONTEMPORER ....................................342
1. Conceptual Art ..........................................................................346
2. Light & Space Art .....................................................................353
3. Pengalihan Fungsi Benda Pakai ................................................354
4. Craft as Art ................................................................................354
5. Artist Furniture .........................................................................355
6. Antiart (Antiseni) ......................................................................356

8 Nasbahry Couto & Indrayuda


7.
Stuckism Versus Posmodern dan Anti-Art: Kembali ke modern
isme ........................................................................................... 361
8. Nonart (Nonseni) ...................................................................... 366
9. Perbedaan antara Seni dan Desain (art atau nonart ?) ............ 369
10. Kesimpulan Perbedaan Seni dan Desain ................................. 373
11. Bahasa Sebagai Alat Konsepsi Seni (Nonart yang Art) ............ 377
C. BEBERAPA ASPEK KONVENSIONAL SENI YANG PERLU DIPAHAMI .. 383
1. Aspek Elemen Seni ................................................................... 383
2. Aspek Organisasi Elemen Seni ................................................. 384
3. Aspek Peragaan Karya Seni ...................................................... 384
4. Aspek Teknologi Seni ............................................................... 385

BAB VI SENIMAN, KREASINYA, DAN KERJA SENI MASA KINI 387


A. KARYA SENI DAN SENIMAN: APAKAH PEKERJAAN ITU? .................. 388
1. Kerja menurut Lembaga Pendidikan ....................................... 391
2. Profesi ........................................................................................ 393
3. Pengertian Seniman (artis) dan Efek Kerancuan Maknanya ... 395
4. Beberapa Istilah yang Dipakai untuk Kata Seniman (Artis) .... 397
5. Peran kerja dalam Pembentukan Identitas .............................. 399
6. Mitos Identitas dan Kerja dan Budaya Stereotip dari Seniman
Barat .......................................................................................... 400
7. Peran kreativitas dalam praktik Artistik ................................... 403
8. Siapakah Seniman itu? .............................................................. 404
9. Seniman Menurut Teori Otto Rank ........................................ 407
10. Melawan Isolasi Praktik Artistik ............................................... 408
11. Identitas Seniman yang Ambigu karena Kerja Sekunder ........ 409
B. PROFESI SENIMAN DI ASIA MENURUT JHON CLARK ...................... 410

DAFTAR LITERATUR ...................................................................... 415


GLOSARI ........................................................................................... 427
BIODATA SINGKAT PENULIS ........................................................ 439

9
Gambar 1. Sosiometri ..............................................................................31
Gambar 2. Venus dari Willendorf, patung montok dan torso dari Austria,
diperkirakan berasal dari 24, 000-2000 SM, Zaman Kapur
Oolitik, tinggi 43/8 inci (11, 1 cm) Naturhistorisches
Museum, Vienna) (http://www. ancientcraft. co.
uk/reenactment/pa_venus_willendorf. html) ...................45
Gambar 3. Sebuah patung batu yang diperkirakan berusia 400. 000
tahun SM. Ditemukan oleh penggalian artefak kuno di
Maroko, dianggap pembuatan patung tertua di dunia.
Benda tersebut ditemukan 15 meter di bawah permukaan
tanah yang telah tererosi, di teras tepi sungai Draa dekat
kota Tan-Tan. Lapisan tanah itu diperkirakan berasal dari
periode Acheulian Tengah, yang berlangsung dari 500. 000
sampai 300. 000 tahun yang lalu.
(http://archaeologyexcavations. blogspot. com/ 29-4-2011)
.............................................................................................45
Gambar 4. Denis Dutton Laurence, kelahiran Amerika, (9 Februari
1944 -28 Desember 2010) adalah seorang filsuf seni, web
pengusaha dan aktivis media. Dia adalah seorang profesor
filsafat di Universitas Canterbury di Christchurch, Selandia
Baru. Dia juga co-founder dan co-editor the arts & Letters
website, ClimateDebateDaily. com dan cybereditions. com.
(Wikipedia) .........................................................................48
Gambar 5. Karya Warhol berjudul kaleng sup “Campbell” (http://www.
kelleydawkins. com/2012/10/25/picasso-to-warhol-14-
modern-masters/)................................................................ 65

10 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 6. Electronic/dance/fratbro duo LMFAO release their single Party
Rock Anthem. ( http://popculturetea. wordpress.
com/2012/ 06/29/the-trajectory-of-party-rock-anthem/) .66
Gambar 7. Karya Rober Smithson, Earth Works (Karya Bumi) berjudul
Spiral Jetty, 1970. Photo: George Steinmetz. (http://www.
diaart. org/sites/main/spiraljetty) ......................................67
Gambar 8. Bio Art, Karya Damien Hirst, hewan mati yang ditanam yang
mengambang dalam tangki besar (http://myths-made-real.
blogspot. com/2012_05_01_archive. html) ......................68
Gambar 9. Karya Michael Oswald (http://www. pengenlihat.
com/2013/01/ lukisan-digital-modern-karya-michael. html)
.............................................................................................69
Gambar 10. Binatang Bermain Tanpa Tujuan Khusus (National
Geographic) .........................................................................85
Gambar 11. Karya Entang Wiharso: Off (2003). Hal biasa menjadi luar
biasa Manusia itu mati, sakit, sedih, hal biasa, menjadi luar
biasa dengan mendramatisirnya = seni? Hal yang sama
terdapat pada filem, teater, puisi atau drama (Masterpiece,
Fine Art Auction, Session II, 20-4-2008: 260) ........................92
Gambar 12. Batu ditemukan di alam, kelihatan unik, kemudian
dispesialkan (menjadi cincin) diretorikakan, menjadi benda
khusus (diceritakan tuah dan keramatnya, mitosnya) = seni
(National Geographic)? .......................................................95
Gambar 13. “Tari Piring”, makan adalah hal kejadian biasa, gerak
menyajikan makan kemudian diciptakan khusus, dilihat
secara khusus = ditampilkan di atas pentas = seni? Sebuah
kegiatan khusus yang akhirnya menciptakan seni karena di
“pentas” kan. (http://melancongminang. blogspot. com
/2010/03/manatiang-piriang. html) ..................................97
Gambar 14. Empat aspek yang disorot oleh Hauser sebagai dasar teori
Sosiologi seni, yaitu (1) aspek kreasi, (2) aspek karya (objek
seni), (3) aspek psikologi seni, (4) aspek penulisan seni
(tekstual), yang termasuk ke dalam ini adalah kritik seni,
apresiasi dan sejarah seni. (Couto, Nasbahry 2006, 2010)
.......................................................................................... 115
11
Gambar 15. Karya yang disadari (conciousness)dan yang tidak disadari (un-
conciousness dalam masyarakat. Dalam masyarakat tradisi
seni disadari secara semu, hal ini berbeda dengan seni yang
muncul dari kesadaran sosial melalui pendidikan dan
sebagainya. (Nasbahry Couto, 2006, 2010) .....................117
Gambar 16. Jaringan aktor profesi seni rupa murni, seniman mendapat
proyek dari kontraktor berdasarkan perencanaan dari
konsultan perencana, jadi jasanya dibayar oleh kontraktor
pelaksana. Pelaku seni rupa dapat renaisans bertindak
sebagai konsultan perencana. Misalnya dalam pembuatan
patung kota. Pemakai adalah publik dalam kota, pemilik
proyek adalah pemerintah. (. Couto, Nasbahry 2006,
2010). ................................................................................126
Gambar 17. Jarinan aktor dalam menganalisis dari produksi ke pemakai,
profesi seni rupa murni yang lebih kompleks (Couto,
Nasbahry: 2006, 2010)......................................................127
Gambar 18. Seni sebagai identitas sosial ................................................149
Gambar 19. Karya seni sebagai kegiatan individual, sosial dan individu-
sosial ..................................................................................150
Gambar 20. Bidang dan hubungan untuk dipelajari mengenai fungsi dari
dunia seni di tingkat masyarakat, (Maanen, 2009:12) ....160
Gambar 21. Dua sumbu yang kuat kondisi fungsi dari dunia seni, dalam
hal ini pada tingkat individual, (Maanen, 2009:13) ........163
Gambar 22. Andy Warhol, Brillo Soap Pads Box, 1964 silkscreen tinta
dengan cat polimer sintetik pada kayu, 17 x 17 x 14 inci.
Ada pada Andy Warhol Museum, Pittsburgh Founding
Collection. Kontribusi oleh The Andy Warhol Foundation
untuk the Visual Arts, Inc. ...............................................169
Gambar 23. Lukisan gua batu prasejarah Lascaux di Perancis, (Arts
Clips) .................................................................................170
Gambar 24. Foto Fountain, (1917) Toilet Ready-made – karya Marcel
Duchamp sumber: http://www. vargagallery.
com/MyHeartBelongs ToDada. htm. ..............................171
Gambar 25. Karya Raoul Hausmann, Dada Siegt – 1920, Cat air dan
kolase dan jalinan kertas, dipasang di papan, Overall 23

12 Nasbahry Couto & Indrayuda


5/8 x 17 3/4 in. -Private collection, pada saat itu
mencomot benda apa saja menjadi karya seni dapat
menggemparkan. .............................................................. 172
Gambar 26. Lukisan karya Duchamp, repro Monalisa yang diberi kumis,
di samping kanan lukisan Monalisa asli, oleh Leonardo da
Vincy................................................................................. 191
Gambar 28. David Émile Durkheim (lahir 15 April 1858 – meninggal 15
November 1917 pada umur 59 tahun) dikenal sebagai
salah satu pencetus sosiologi modern ............................. 204
Gambar 29. Max Weber seorang sosiolog berkebangsaan Jerman yang
lahir di kota Erfurt pada 21 April 1864 sebagai anak tertua
dari tujuh bersaudara. Selain sosiolog beliau juga seorang
ahli budaya, ahli politik, ahli hukum, bahkan ahli
ekonomi. .......................................................................... 204
Gambar 30. Bagan area seni dalam masyarakat, diadaptasi dari Bourdieu
(2010), telah dimodifikasi, sumber asli Maanen (2009:66)
.......................................................................................... 218
Gambar 31. Bagan asli area seni oleh Bourdieu, sumber: Maanen
(2009:66) .......................................................................... 219
Gambar 32. Representasi grafik sederhana dalam jaringan sosial, garis
yang menghubungkan individu-individu tersebut. Adanya
jaringan aktor (ANT) secara teoretis tidak akan mengubah
sosial budaya walaupun dia ada....................................... 243
Gambar 33. Implementasi teori jaringan aktor sederhana untuk melihat
aktor mana yang berinteraksi tidak sesuai dengan
perencanaan inisiatornya yaitu Pemkot Bandung, Masih
melihat dalam struktur kelembagaan sumber:
http://dc352. 4shared.
com/doc/i41coxdR/preview_html_m1258c6b2. png ... 245
Gambar 34 Kategori/Klassifikasi dari sistem menurut Luhman,
(1984:16), ......................................................................... 250
Gambar 35. Detail kategori/klassifikasi dari sistem berdasarkan tulisan
Luhman, (1984, 1995, dan 1997), sumber Hans van
Maanen (2009:108).......................................................... 252

13
Gambar 36. Diskontinuitas dalam kelembagaan seni, seni yang tadinya
untuk kelembagaan yang berbentuk feodal (di keraton)
(pola I), sekarang masuk ke bentuk kelembagaan yang
bersifat komersil (pola II), sumber Indrayuda, 2013. ......301
Gambar 37. Contoh seni kontemporer Islam, apakah sebagai kontinuitas
atau diskontinuitas? Bangsa Arab, sangat konvensional
dalam berseni, namun hal ini juga terjadi berubah:
Pameran Seni Kontemporer Pertama di Arab Saudi: kiri
adalah Instalasi 'Street Pulse' karya seniman Arab Saudi,
Ahmad Angawi, kanan adalah Sebuah karya instalasi
ditampilkan dalam pameran seni kontemporer 'We need to
talk' yang digelar di Furusia Marina, Jeddah, Senin
(23/01/2012), ...................................................................312
Gambar 38. Jingle Iklan Opera Van Java di Siaran Televisi
(http://vimeo. com/31794173) .......................................313
Gambar 39. Arsitektur gaya Gotik, (Encyclopaedia Encarta CD, 2009)
...........................................................................................320
Gambar 40. Munculnya Kota pada abad Tengah (History of Art)........321
Gambar 41. Pelukis Giotto dan Potret Dirinya (Encyclopaedia Encarta
CD) ....................................................................................322
Gambar 42. Karakter seni Renesan dan barok (Couto Nasbahry CD).322
Gambar 43. Contoh seni lukis dan seni tari klassik (Google 2013) .....325
Gambar 44. Contoh Karya Pelopor seni lukis modern "View of Bonnieres"
oleh Paul Cezanne ............................................................327
Gambar 45. Beberapa Bentuk atau Corak Modern art, (Google (2013)
...........................................................................................328
Gambar 46. Karya Auguste Rodin, The Burghers of Calais, 1889
Hirshhorn Museum and Sculpture Garden, Washington,
D. C, cor 1943 (Wikipedia)..............................................329
Gambar 47. Contoh arsitektur modern. Karya Arsitek Amerika Frank
Lloyd Wright .....................................................................331
Gambar 48. Beberapa bentuk Tari Modern, (Google (2013) ................333
Gambar 49. Pelopor Tari Modern eropah .............................................333
Gambar 50. Contoh Tari Modern (Google, 2013) ................................334

14 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 51. Beberapa gambar peralatan dan kelompok pemusik
modern, (Google, 2013) .................................................. 336
Gambar 52. Contoh Seni Rupa Posmodern (Google, 2013) ............... 342
Gambar 53. Contoh Performance Art .................................................. 349
Gambar 54. Contoh Proccess Art ............................................................ 350
Gambar 55. Contoh Earth atau Land Art, ............................................. 350
Gambar 56. Contoh Happening Art, Published December 27, 2009 at 2048
× 1536 in Pameran Mahasiswa Angkatan 2006 di UNJ,
Rawamangun, Jakarta, ..................................................... 351
Gambar 57. Contoh Light & Space Art................................................ 354
Gambar 58. Contoh furniture artist Quoted from: Rainbow Desk by
furniture artist Allan Lake .................................................. 355
Gambar 59. Beberapa Karya Contoh Karya furniture Artist, (Google
2013)................................................................................. 356
Gambar 60. Contoh anti art, Sebagai sesuatu yang menentang konvensi
seni, menampilkan kanvas kosong dan dipajang, (Google,
2013)................................................................................. 357
Gambar 61. Contoh kegiatan anti art dan nonanti art (Google, 2013 .. 359
Gambar 62. Contoh nonart, karya eksperimental ................................. 368
Gambar 63. Beberapa karya contoh karya desain arsitektur, (Google
(2013) ............................................................................... 368
Gambar 64. Beberapa contoh karya berdasarkan konsep verbal (Google,
2013)................................................................................. 382
Gambar 65. Toink Art Gallery: Kerja atau Profesi ? ............................. 391
Gambar 66. Iklan Pelukis di internet, sumber: http://www. olx. co.
id/q/pelukis/c-257 .......................................................... 398
Gambar 67. Perupa kota dan desa (plebeian artis) menurut Clark (1998)
.......................................................................................... 411

15
Tabel 1. Model Lembaga Pengontrol Kualitas Profesi dan Pendidikan
Seni di Inggris Tahun 2000.................................................124
Tabel 2. Ciri Khas Gaya Seni Gotik di Zaman Pertengahan .............319
Tabel 3. Elemen Dasar Seni Tari, Musik, Teater dan Seni Rupa serta
Prinsip Penyusunannya .......................................................383
Tabel 4. Prinsip Penyusunan Seni ......................................................384
Tabel 5. Peragaan Seni tari, Musik, Teater dan Seni Rupa dalam
beragam bentuknya..............................................................385
Tabel 6 . Pelaku Seni di Negara Asia Menurut Clark.........................411
Tabel 7. Tabel Orientasi pasar pelaku seni di Asia menurut Clark
(1998) ...................................................................................412

16 Nasbahry Couto & Indrayuda


S
ecara terminologi sosiologi berasal dari bahasa Latin dan Yunani,
yakni kata ‗socius‘ dan ‗logos‘. ‗Socius‘ (Yunani) yang berarti
‗kawan‘, ‗berkawan‘, ataupun ‗bermasyarakat‘, sedangkan ‗logos‘
berarti ‗ilmu‘ atau ‗berbicara tentang sesuatu‘. Dengan demikian,
secara harfiah istilah ―sosiologi‖ dapat diartikan ilmu tentang
masyarakat (Spencer dan Inkeles, 1982:4; Abdulsyani, 1987:1). Oleh
karena itu, sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang
masyarakat maka cakupannya sangat luas, dan cukup sulit untuk
merumuskan suatu definisi yang mengemukakan keseluruhan
pengertian, sifat dan hakikat yang dimaksud dalam beberapa kata dan
kalimat. Dengan kata lain, suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai
suatu pegangan sementara saja

Untuk sekedar pegangan sementara tersebut, di bawah ini


diberikan beberapa definisi sosiologi, sebagai berikut ini.
1. Pitirim Sorokin (1928: 760-761) mengemukakan bahwa sosiologi
adalah suatu ilmu tentang: hubungan dan pengaruh timbal-balik
antara aneka macam gejala-gejala sosial (contoh: antara gejala
ekonomi dengan nonekonomi seperti agama, gejala keluarga
dengan moral, hukum dengan ekonomi, dan sebagainya. 2

2
Pitirim Sorokin ahli sosiologi dari Rusia, Sorokin, Pitirim (1957) Social and Cultural
Dynamic, 1-Volume Edition, Boston: Porter Sargent. Spencer, Herbert, (1967)
Principle of Sociology, edited and with an introduction by Robert L.
17
2. William Ogburn dan Meyer F, Nimkoff (1959: 12-13)
berpendapat bahwa sosiologi yaitu penelitian secara ilmiah
terhadap interaksi sosial dan hasilnya adalah organisasi sosial.
3. Roucek dan Warren (1962: 3) berpendapat bahwa sosiologi
adalah ilmu tentang hubungan antara manusia dalam kelompok-
kelompoknya.
4. J. A. A. van Doorn dan C. J. Lammers (1964: 24) mengemukakan
bahwa sosiologi adalah ilmu tentang struktur-struktur dan proses-
proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
5. Meta Spencer dan Alex Inkeles (1982: 4) mengemukakan bahwa
ilmu sosiologi adalah ilmu tentang kelompok hidup manusia.
6. David Popenoe (1983:107-108) berpendapat bahwa sosiologi
adalah ilmu tentang interaksi manusia dalam masyarakat sebagai
suatu keseluruhan.
7. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1982: 14)
menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang struktur sosial
dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Selanjutnya menurut mereka bahwa struktur sosial keseluruhan


jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial
(norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok
serta lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal-balik antara
berbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal-balik
antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik,
kehidupan hukum dengan agama, dan sebagainya.
Secara tematis ruang lingkup sosiologi dapat dibedakan menjadi
beberapa sub-disiplin sosiologi, yaitu: (1) sosiologi pedesaan (rural
sociology); (2) sosiologi industri (industrial sociology); (3) sosiologi
perkotaan (urban sociology); (4) sosiologi perempuan (woman
sociology); (5) sosiologi militer (military socilogy); (6) sosiologi
Agama; (7) sosiologi pendidikan (educational sociology); (8) sosiologi
medis (medical sociology), (9) sosiologi seni (sociology of art).
1. Sosiologi Pedesaan (Rural Sosiology)
Sosiologi Pedesaan (Rural Sosiology): Jurusan yang pertama kali
mengkhususkan sosiologi pedesaan muncul di Amerika Serikat tahun
19-30-an, kemudian muncul beberapa Akademi Land Grant yang
18 Nasbahry Couto & Indrayuda
dibentuk dalam wilayah kewenangan Departemen Pertanian Amerika
Serikat untuk meneliti masalah pedesaan dan melatih ahli sosiologi
serta ekstensionis pedesaan untuk kerja sama lembaga-lembaga
pemerintah beserta organisasi petani (Hightower, 1973). Ada pun
kerangka yang paling sering digunakan untuk mengenali berbagai
temuan empiris adalah gagasan tentang suatu ‖kontinum pedesaan-
perkotaan‖, yang berusaha menjelaskan berbagai pendekatan pola sosial
dan kultural dengan mengacu kepada tempat masyarakat tersebut di
sepanjang kontinum yang bergerak dari tipe pemukiman yang paling
kota (the most urban) hingga yang paling desa (the most rural).
Selanjutnya model penelitiannya terfokus pada masalah-masalah seperti
penyebaran inovasi teknologi, kesenjangan antara gaya hidup
masyarakat kota dan desa, pola mobilitas pendidikan dan pekerjaan,
dampak program pembangunan masyarakat. Berbagai dimensi tersebut
dikaji dengan menggunakan metodologi yang berdasarkan kuesioner,
teknik wawancara formal, dan analisis kuantitatif (Long, 2000: 941).
Pada mulanya, terutama sejak tahun 1950-an dan 1960-an, terdapat
begitu banyak penelitian sosiologi pedesaan yang dilaksanakan menurut
skema konseptual tersebut demikian suksesnya sehingga diadaptasi
oleh berbagai negara. Di Eropa masuk dalam bentuk ‖Mental Marshall
Aid‖, kemudian penelitian menyebar ke Amerika Latin dan Asia
(Hofstee, 1963). Bahkan pendiri berbagai asosiasi internasional yang
menghususkan pada sosiologi pedesaan, seperti International Rural
Sociological Association (IRSA), menyelenggarakan kongres dunia
setiap empat tahun sekali, yang sangat berjasa dalam membangkitkan
antusiasme dan sumber daya institusional para anggotanya.
Sejak tahun 1960-an, terminologi ‖kontinum pedesaan-perkotaan‖
mengalami kemandekan teoretis. Beberapa kajian membuktikan bahwa
kesenjangan pola sosial dan kultural tersebut, tidak dengan sendirinya
sama dengan lingkungan spasial atau ekologi sebagaimana dikatakan
Pahl dalam tulisannya The Rural-Urban Continum (1966). Selain kajian
ini gagal memecahkan persoalan kondisi struktur yang lebih luas, yang
mempengaruhi kecenderungan para petani merespons kesempatan-
kesempatan baru; namun tidak ada analisis struktur dan isi jaringan
sosial yang di antara petani dan ekstensionis yang mungkin
mempengaruhi pola adopsinya (Rogers dan Shoemaker, 1971).

19
Akibat berbagai keterbatasannya itu, ditambah dengan
diabaikannya perbandingan berbagai bentuk berbagai produksi
pertanian, dampak berbagai kebijakan pemerintah terhadap pertanian,
dan masalah ketidakserasian regional--yang merupakan disiplin ilmu
ini--mengakibatkan kelambanan perkembangannya (Long, 2000_941-
942). Salah satu aspek yang paling mengganggu dalam sejarah
sosiologi pedesaan adalah kegagalan ilmu mengembangkan analisis
sistematis tentang produksi pertanian pada tingkat perusahaan atau
struktur agraria (Newby, 1980), sehingga nasib sosiologi pedesaan saat
ini terperangkap dalam sejumlah kontroversi dan harapan.
Sepanjang sejarahnya, sosiologi pedesaan tidak pernah dapat
secara efektif menyatakan statusnya sebagai disiplin ilmu tersendiri
yang memiliki objek penyelidikan dan metode penjelasan yang khusus.
Jika tradisi awal mengasumsikan bahwa ada perbedaan menyolok
antarlokasi pedesaan yang membuat lokasi-lokasi itu mempunyai
perbedaan dalam hal sosial dan budaya dibandingkan dengan bentuk-
bentuk kehidupan sosial perkotaan, tetapi akhirnya makin banyak
peneliti yang berpandangan bahwa lokasi pedesaan hanya sekedar
entitas empiris atau geografis tempat seseorang bekerja. Keadaan desa
tidak mensyaratkan teori atau implikasi metodologis khusus untuk
penelitian, tetapi sangat tergantung pada jenis masalah teoretis dan
metodologis yang dikandungnya, dan tidak semata-mata didasarkan
pada kenyataan yang sama-sama memiliki pengalaman pedesaan (Long,
2000: 942).
2. Sosiologi Industri (Industrial Sociology)
Kelahiran bidang ini mendapat inspirasi dari pemikiran-pemikiran
Marx, Durkheim, dan Weber, walaupun secara formal sosiologi industri
lahir pada kurun waktu antara Perang Dunia-I dan II, kemudian matang
tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an (Grint, 2000: 488). Dari
pemikiran Marx setidaknya teori revolusi proletariat, tumbuhnya
alienasi serta eksploitasi ekonomi, pengaruhnya sangat dirasakan pada
periode antara perang dunia I dan II, manakala terjadi lonjakan
pengangguran dan krisis ekonomi dunia, walaupun realitanya pengaruh
ini kurang dominan. Kemudian gagasan Durkheim yang ditulis dalam
buku Division of Labour (1933) memberikan kontribusi yang berarti
dalam sosiologi industri terutama dengan konsep dan teorinya tentang
20 Nasbahry Couto & Indrayuda
norma dan bentuk solidaritas soaial organik dan mekaniknya.
Pemikiran Weber adalah jantung dalam pembentukan sosiologi industri
dengan menentang penjelasan materialis Marx mengenai kemunculan
kapitalisme. Weber (1948) berpandangan bahwa gagasan-gagasannya
juga memainkan peran penting, khususnya yang berkaitan dengan etika
kerja Protestan3. Namun, yang paling banyak dibicarakan analisis
Weber tersebut adalah tentang birokrasi dan signifikansi dari dominasi
bentuk-bentuk otoritas ‖legal-formal‖, yakni otoritas yang
legitimasinya berakar pada aturan-aturan dan prosedur formal (Grint,
2000: 488). Dalam perkembangannya, sosiologi industri sejak tahun
1980-an terdapat empat tema baru yang muncul dan dalam riset-riset
sosiologi industri.
Pertama, sosiologi industri yang hanya menekankan gaya
tradisional yang patriarkhal, memberikan peluang munculnya lini baru
yakni feminisme dalam riset. Dalam pendekatan ini bahwa ‘kerja‘ bisa
direduksi menjadi pekerjaan orang-orang berkrah biru di pabrik-pabrik
diperlawankan dan dikontraskan dengan kerja domestik yang tidak
bergaji dan meningkatnya jumlah wanita part-timer yang mengerjakan
pekerjaan klerikal dan jasa. Lebih jauh, gagasan-gagasan bahwa
teknologi bersifat netral dan determnistik, dipelihatkan sebagai unsur
penting dalam mempertahankan kesinambungan patriarkhal (Cocburn,
1983; Wajcman, 1991).
Kedua, runtuhnya komunisme di Eropa Timur, adanya globalisasi
industri, pergeseran dari Fordisme (keadaan ekonomi sesudah perang)
menuju post-Fordisme, perkembangan-perkembangan teknologi penga-
wasan dan bangkitnya individualisme tanpa ikatan tahun 1980-an,
mengantarkan bangkitnya minat pada peran norma dan dominasi diri
yang seringkali dikaitkan dengan gagasan-gagasan Foucault dan tokoh
pascamodernis lainnya (Red dan Hughes, 1992). Ketiga, perkembangan
teknologi informasi dan aplikasi-aplikasinya di bidang manufaktur serta
perdagangan telah mendorong bangkitnya kembali minat untuk
menerapkan gagasan-gagasan konstruktivis sosial dari sosiologi ilmu
pengetahuan serta teknologi ke sosiologi kerja dan industri (Grint, dan

3
Dalam ajaran Agama Kristen Protestan menyebutkan bahwa manusia harus berusaha
mandiri dan tidak boleh menjadi miskin, tidak boleh meminta, akibat ajaran ini
penganut Agama Protestan menjadi pelopor pertama kapitalisme
21
Woolgar, 1994). Keempat, asumsi bahwa pekerjaan dan produksi
adalah kunci identitas sosial tentang argumen-argumen bahwa pola-
pola konsumsi adalah sumber identitas individual (Hall, 1992).
3. Sosiologi Perkotaan(Urban Sociology)
Sosiologi perkotaan adalah studi sosiologi yang menggunakan
berbagai statistik di antara populasi dalam kota-kota besar. Kajiannya
terutama di pusatkan pada studi wilayah perkotaan di mana zone
industri, perdagangan dan tempat tinggal yang terpusat. praktik ini
menerangkan pengaruh penggunaan tata ruang dan lingkungan kota
besar dalam beberapa lokasi atau area kemiskinan sebagai jawaban atas
beberapa kultur, etnis, dan bahasa yang berbeda, suatu mutu hidup yang
rendah, beberapa kelompok kesukuan berbeda dan suatu standard
perwalian menjaga rendah bahwa semua jumlah kedisorganisasian
sosial.
Selama dua puluh tahun, sejak pengenalannya dari Barat sosiologi
ini dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Tahapan yang pertama periode
dari tahun 1977 sampai dengan 1985, ketika sosiologi urban Perancis,
terutama sekali teori Manuael Castell pernyataannya sangat
berpengaruh. Tahapan yang kedua, dari 1986 sampai dengan 1992,
memusatkan pada teori pergerakan sosial dan konsep global dalam kota
besar dalam suatu konteks pembaruan kota-kota di Jepang utamanya.
Tahapan yang ketiga, dari 1992 sampai sekarang, ditandai oleh suatu
perubahan bentuk sosiologi perkotaan dalam suatu teori ruang
kemasyarakatan di bawah globalisasi yang telah dengan berat
mempengaruhi dengan pekerjaan David Harvey (Kazutaka Hashimoto,
2002). Beberapa tema yang relevan dalam kajian sosiologi urban
tersebut, di antaranya populasi, geopolitik, dan ekonomi. 4
Mazhab Chicago adalah suatu mazhab yang berpengaruh besar
dalam studi sosiologi perkotaan ini. Di samping setelah mempelajari
kota-kota besar pada awal abad 20, Mazhab Chicago masih memiliki
peranan penting. Banyak dari penemuan mereka telah berharga atau

4
Sosiologi perkotaan baru dimulai di Eropa pada awal 1970-an dan kemudian
menyebar kepada Amerika Serikat. Hal itu juga mempengaruhi studi masyarakat
kota di Jepang. Tulisan ini menguji perubahan perdebatan yang sudah terjadi pada
sosiologi urban/perkotaan berkenaan selama pengenalannya ke Jepang dalam akhir
tahun 1970-an.
22 Nasbahry Couto & Indrayuda
yang ditolak, tetapi pengaruh kekal Mazhab Chicago tetap dapat
ditemukan dalam pengajaran masa kini.
Deskripsi Sosiologi Perkotaan Baru
Suatu kontribusi utama kepada bidang ini, pengarang Mark
Gottdiener dan Ray Hutchison (2006) menyajikan sebuah teks
terobosan mereka di dalam suatu edisi ketiga, meninjau kembali
keefektifan topik itu. Buku ini melihat paradigma dan perspektif socio-
spatial dengan mempertimbangkan peran faktor sosial seperti ras, kelas,
jenis kelamin, gaya hidup, ekonomi, kultur, dan politik pada
pengembangan sebuah area metropolitan. Seluruh teks menghadirkan
pekerjaan yang paling terbaru di dalam bidang sosiologi seperti
terminologi kuncinya dan diskusi meliputi diskusi tentang globalisme,
suburbanisasi, daerah yang multi-centered sebagai format yang
berkenaan dengan corak sosial kota yang baru, urbanism yang baru, dan
perspektif kritis pada perencanaan dan kebijakan baru.
Di AS dan UK, istilah "penduduk kota" sering digunakan sebagai
suatu eufemisme untuk menguraikan loncatan kultur modern atau
subsets (kumpulan bagian) kultur hitam; yang menjadi gambaran
kelompok suku bangsa penduduk kota. Hal itu memperlihatkan
semakin besarnya ketersediaan sumber daya budaya (seperti seni,
teater, peristiwa, dan pertunjukan) dibandingkan dengan area pedesaan
atau di pinggiran kota.
Di dalam sosiologi dan ilmu kriminologi, Mazhab Chicago
(kadang-kadang dilukiskan sebagai mazhab ekologis) mengacu pada
hal yang pertama yang muncul sepanjang 1920-an dan 1930-an khusus
sosiologi perkotaan. Riset lingkungan perkotaan melalui kombinasi
teori lingkungan dan etnografi di Chicago sekarang juga diterapkan di
tempat lain. Setelah perang dunia II, "Mazhab Chicago" bangkit yang
anggotanya berpaham interaksionisme simbolis, memakai metoda riset
lapangan, sebagai alat penelitiannya. Untuk studi sejarah yang
menyeluruh tentang Mazhab Chicago ini, lihat tulisan Martin Bulmer
(1984) dan Lester Kurtz (1984). Peneliti yang utama pada mazhab ini
yaitu Ernest Burgess, Ruth Shonle Cavan, Edward Franklin Frazier,
Everett Hughes, Roderick D. Mckenzie, George Herbert Mead, Robert
E. Park, Walter C. Reckless, Edwin Sutherland, W. I. Thomas, Robert

23
E. Park, Walter C. Reckless, Edwin Sutherland, W. I. Thomas, Frederic
Thrasher, Louis Wirth, Znaniecki Florian (Wikipedia, 2002).
4. Sosiologi Perempuan (Woman Sociology)
Lahir dan berkembangnya sosiologi wanita secara perintisannya
sejalan dengan perkembangan gerakan feminisme yang dipelopori oleh
Mary Wollstonecraft dalam bukunya A Vindication of The Right of
Women (1779), kendati akar-akar historisnya dapat dilacak sejak
lahirnya sosiologi sebagai disiplin akademik. Sosiologi wanita memiliki
perspektif yang menyeluruh tentang keanekaragaman pengalaman yang
terstruktur pada kaum wanita. Dengan mendefinisikan sosiologi wanita
dalam arti pola-pola ketidakadilan yang terstruktur, khususnya
kerangka stratifikasi jender. Di samping itu, secara ekplisit adanya
pengintegrasian penelitian yang progresif mengenai peran jender dari
disiplin sosiologi. Bidang kajian ini bergerak ke arah suatu penilaian
sistematis tentang seluruh wanita, termasuk wanita kulit berwarna,
wanita kelas pekerja, wanita lanjut usia, dan sebagainya. Singkatnya
yang dilakukan oleh kaum wanita ialah mengembangkan suatu
sosiologi oleh, dan untuk wanita (Ollenburger dan Moore, 1996: v).
Dilihat dari perspektif pendorong teori sosiologi wanita tersebut,
terdiri atas tiga kelompok kontributor pemikiran sosiologi utama yang
terpilih. Pertama, kelompok teoretisi positivis/fungsionalis, yang
mengakui sifat ―alamiah‖ dominasi laki-laki sebagai suatu yang
berbeda, dan argumen-argumen mengenai ―hak-hak‖ kaum wanita.
August Comte percaya bahwa wanita ―secara konstitusional‖ bersifat
inferior terhadap laki-laki. Oleh karena itu, Comte percaya bahwa
wanita menjadi subordinat laki-laki manakala ia menikah. Kedua,
kelompok para teoretisi konflik, melukiskan sistem-sistem penindasan
yang secara sistematis membatasi kaum wanita. Karl Marx melihat
masyarakat secara konstan berubah komposisinya; kekuatan-kekuatan
antitesis menyebabkan perubahan sosial melalui ketegangan-
ketegangan dan perjuangan antarkelas yang bertentangan. Karena itu
yang menjadi inti dari proses sejarah kemajuan sosial, diisi oleh
perjuangan dan upaya keras dalam konflik sosial. Di sinilah Marx
menulis mengenai eksploitasi tenaga kerja yang menimbulkan alienasi
(keterasingan) dan pembentukan kelas yang saling berlawanan. Dalam

24 Nasbahry Couto & Indrayuda


Tulisan Marx dan Engels (1970) mereka menulis tentang wanita,
sebagai alat produksi sebagai berikut ini.
“. . . . . . . . komunis akan mengutuk borjuis dan kelompok
wanitanya secara serempak. Karena seorang borjuis melihat
istrinya hanya alat produksi belaka. Bahwa alat-alat produksi
biasanya dieksploitasi; dan tentu saja tidak ada kesimpulan lain,
apa yang biasa terjadi pada kebanyakan alat produksi, menimpa
pula pada kaum wanita. Ia tidak pernah menyangsikan bahwa
tujuan sesungguhnya adalah agar status wanita jangan hanya
sebagai alat produksi belaka”
Ketiga kelompok alternatif, adalah kelompok aktivis ―sosial dan
interaksionis‖. Kelompok ini dipimpin oleh Jane Addams yang
bermukim di pemukiman kumuh Chicago West Side dari tahun 1800-an
dan awal 1900-an (Addams, 1910). Jane Addams membuka Hull House
pada tahun 1889, mendahului pembukaan Universitas Chicago tahun
1892. Model pemukiman tersebut menurut Deegan (1988:6) adalah
egalitarian, dominasi kewanitaan, dan pragmatis. Jaringan kerja para
aktivis sosial dan akademikus yang sering mengunjungi Hull House,
termasuk John Dewey dan George Herbert Mead, banyak memberikan
kontribusi pada perkembangan kelompok pragmatisme Chicago yang
menggabungkan ilmu pengetahauan objektif pengamatan dengan isu-
isu etik dan moral untuk menghasilkan suatu masyarakat adil dan
bebas‖ (Deegan, 1988: 6).
5. Sosiologi Militer (Military Sociology)
Bidang kajian ini menyoroti angkatan bersenjata sebagai suatu
organisasi bertipe khusus dengan fungsi-fungsi sosial spesifik (Bredow,
2000:664). Fungsi-fungsi tersebut bertolak dari suatu tujuan organisasi
keamanan dan sarana-sarananya, kekuatan, serta kekerasan. Sebetulnya
masalah-masalah seperti itu sudah lama didiskusikan oleh para sosiolog
seperti Comte atau Spencer. Akan tetapi, secara formal studi-studi
sosiologi militer tersebut baru dimulai selama perang dunia II. Kajian
yang paling awal dilakukan Research Branch of Information dan
Education of the Armed Forces antara tahun 1942-1945, kemudian
dipublikasikan (Stouffer, 1949). Sosiologi militer tersebut terus
berkembang pesat khususnya di Amerika Serikat, yang menurut

25
Bredow (2000: 665), terdapat lima bidang utama kajian sosiologi
militer.
Pertama; problem-problem organisasi internal, yang menganalisis
proses-proses dalam kelompok kecil dan ritual militer dengan tujuan
untuk mengidentifikasi problem-problem disiplin dan motivasi serta
menguraikan cara-cara subkultur militer dibentuk.
Kedua; problem-problem organisasional internal dalam
pertempuran; di mana dalam hal ini dianalisis termasuk seleksi para
petinggi militer, kepangkatan, dan evaluasi motivasi pertempuran.
Ketiga; angkatan bersenjata dan masyarakat, yang mengkaji
tentang citra profesi yang berkaitan dengan dampak perubahan sosial
dan teknologi, profil rekrutmen angkatan bersenjata, problem-problem
pelatihan dan pendidikan tentara, serta peran wanita dalam angkatan
bersenjata.
Keempat; militer dan politik: Dalam hal ini dianalisis ada suatu
perbandingan bahwa pada riset militer demokrasi Barat yang terfokus
pada kontrol politik terhadap jaringan militer, kepentingan-kepentingan
ekonomi dan administrasi lainnya, tetapi bagi negara-negara
berkembang, memfokus-kan berbagai sebab dan konsekuensi dari
kudeta militer yang diperankannya dengan membawa atribut-atribut
pembangunan dan ―Pra-etorisme‖ (bentuk yang biasanya diterapkan
oleh militerisme negara berkembang).
Kelima; angkatan bersenjata dalam sistem internasional. Dalam
hal ini dianalsisis tentang aspek-aspek keamanan nasional dan
internasional disertai peralatan/perlengkapan dan pengendaliannya,
serta berbagai operasi pemeliharaan perdamaian internasional.
6. Sosiologi Agama (Religion Sosiology)
Sosiologi agama terutama semata studi praktik, struktur sosial,
latar belakang historis, pengembangan, tema universal, dan peran
agama di (dalam) masyarakat. Ada penekanan tertentu atas timbulnya
peran agama dalam hampir semua masyarakat di atas bumi saat ini dan
sepanjang/seluruh sejarah yang direkam. Sarjana sosiologi agama
mencoba untuk menjelaskan (1) efek masyarakat itu pada agama dan
(2) efek agama terhadap masyarkat. Dengan kata lain, hubungan yang
bersifat dialektis antaraneka agama ini terutama tertuju pada studi
praktis, struktur sosial, latar belakang historis, perkembangan, tema
26 Nasbahry Couto & Indrayuda
universal, dan peran agama dalam masyarakat. Ada penekanan tertentu
peran agama semua masyarakat di atas bumi saat ini dan sepanjang
rekaman seluruh sejarah. Sarjana sosiologi agama mencoba untuk
menjelaskan efek masyarakat itu pada agama dan efek agama terhadap
masyarakat; dengan kata lain, hubungan yang bersifat dialektis
antarmereka.
7. Sosiologi Pendidikan (Sociology of Education)
Sosiologi ini dihubungkan dengan konsep sosiologi di bidang
pendidikan. Karena itu alasan mana pun diskusi sosiologi pendidikan
ini mengusulkan untuk menggambarkan dengan seksama tentang
pengembangan sosiologi pendidikan. Di putaran abad ini, ada gairah
yang pantas dipertimbangkan untuk pengembangan disiplin baru ini
atau sedikitnya suatu cabang sosiologi untuk dikenal sebagai sosiologi
bidang pendidikan. Sejak tahun 1914, enam belas institusi sedang
menawarkan kursus sosiologi bidang pendidikan. Pada periode yang
berikut banyak buku yang membawa beberapa sebutan/judul sosiologi
bidang pendidikan terlepas dari tekanan itu. Ini melibatkan berbagai
konsep hubungan antara sosiologi dan pendidikan)
8. Sosiologi Medis (Medical Sociology)
Sosiologi Medis adalah bagian dari sosiologi yang kajiannya
memfokuskan pada pelestarian ilmu kedokteran, khususnya pada
masyarakat modern (Amstrong, 2000: 643). Bidang ini berkembang
pesat pada tahun 1950-an sampai sekarang. Setidak-tidaknya ada dua
alasan yang mendorong pesatnya perkembangan bidang ini Pertama,
berhubungan dengan asumsi-asumsi dan kesadaran bahwa problem
yang terkandung dalam perawatan kesehatan masyarakat modern
adalah sebagai bagian integral masalah-masalah sosial. Kedua,
meningkatnya minat terhadap pengobatan dalam aspek-aspek sosial
dari kondisi sakit (illness), terutama berkaitan dengan psikiatri
(berhubungan dengan penyakit jiwa), pediatri (kesehatan anak), praktik
umum (pengobatan keluarga) geriatrik (perawatan usia lanjut), dan
pengobatan komunitas (Amstrong, 2000: 643-644).
Beberapa tulisan yang menghiasi kelahiran sosiologi medis tahun
1950-an adalah Journal of Health and Human Behavior, yang
kemudian diubah pada tahun 1960-an menjadi Journal or Health and
27
Social Behavior. Pada awal kelahirannya yang dominan adalah
pengetahuan tentang perspektif medis, psikologi, dan psikologi sosial.
Dalam perspektif medis, terutama pada epidemiologi sosial, sebagai
contoh, yang berusaha mengidentifikasi peran dari faktor-faktor soaial
terhadap berjangkitnya penyakit menular, yang dilakukan oleh para ahli
medis dan sosiologi. Hasil kajian awal menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh dari struktur sosial (kelas sosial) terhadap aetiologi dari
penyakit psikiatris atau organis (Amstrong, 2000: 644).
Freidson menulis buku Profesion of Medicine (1970) yang
berisikan tawaran suatu sintesis dari berbagai kajian awal mengenai
profesi, pengklasifikasian, organisasi medis, persepsi pasien dan
sebagainya. Khasanah baru ini adalah teks penting dalam menetapkan
identitas formal sosiologi medis ke arah baru. Hal itu disebabkan, pada
dasarnya baik kondisi sakit (illnes) atau penyakit (disease) adalah
konstruksi realita sosial, refleksi dari organisasi sosial, kepentingan
profesional, hubungan kekuasaan, dan sebagainya. Dalam hal ini
prestasi Friedson (1970) adalah membebaskan sosiologi medis dari
batasan-batasan yang berdasarkan kategori medis, mengungkapkan
pengalaman pasien dan pengetahuan medis hingga analisis yang lebih
mendalam dan sistematis.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya tahun 1990-an,
minat terhadap studi detail kehidupan sosial juga meneliti ekspresi
dalam pengalaman sakit pasien. Pandangan pasien mengenai kondisi
sakit ditelaah sebatas sebagai bahan tambahan dari perilaku sakit
berdasarkan posisi pasien itu sendiri. Konsekuensi logis penerimaan
pendapat tersebut sama bermanfaatnya dengan bidang medis,
munculnya kesadaran bahwa pengetahuan medis tersebut bisa menjadi
objek penting dalam sosiologi. Ini berarti pengetahuan medis bisa
dieksplorasi tidak hanya sebagai suatu bentuk kebenaran pengetahuan
tertinggi, tetapi sebagai suatu sarana menuju masyarakat yang bisa
dikendalikan, dialienasi atau didepolitisasi dalam penyelenggaraan
kehidupan mereka. Pengetahuan dan praktik medis memainkan peran
penting dalam menciptakan tubuh yang bisa dianalisis dan dikalkukasi
masyarakat modern. Namun demikian, tidak berarti sosiologi medis
terbebaskan dari ilmu kedokteran, sebab terdapat begitu banyak ikatan
dan aliansi untuk hal tersebut. Sekarang ini banyak para ahli sosiologi
medis dipekerjakan oleh institusi-institusi medis atau pada tugas-tugas
28 Nasbahry Couto & Indrayuda
mengandung unsur medis bahkan upaya memperbaiki (ameliorate)
pasien yang menderita (Amstrong, 2000: 646).

Para ahli sosiologi dalam penelitiannya banyak menggunakan


beberapa metode penelitian, di antaranya sebagai berikut ini.

Metode Deskriptif

Metode Deskriptif sering disebut bagian metode empiris yang


menekankan pada kajian masa kini. Secara singkat metode deskriptif ini
adalah suatu metode yang berupaya untuk mengungkap
pengejaran/pelacakan pengetahuan. Metode ini dirancang untuk
menemukan apa yang sedang terjadi tentang siapa, di mana, dan kapan.
Penelitian ini berdasarkan pada kehati-hatian dalam mengumpulkan
suatu data/fakta untuk menggambar-kan beberapa hal yang diuraikan,
seperti penggolongan, praktik atau peristiwa-peristiwa yang tercakup di
dalamnya (Popenoe, 1983: 28). Statistik kejahatan, survei pendapat
umum, angka kejahatan, tanggapan pendengar dan penonton radio dan
televisi, laporan atas kebisaaan dan kejahatan seksual, semuanya ini
adalah contoh-contoh tentang studi deskriptif tersebut. Dengan
demikian, dalam metode ini termasuk metode survey dengan pelibatan
jumlah sampel yang begitu banyak untuk mengungkap dan mengukur
sikap sosial atau politik, seperti yang dirintis George Gallup dalam The
Literary Digest (1936). Dalam metode ini pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang disusun melalui
angket (kuesioner) terhadap responden untuk mengukur
pendapat/tanggapan publik sesuatu yang diteliti (Bailey, 1982: 110;
Spencer dan Inkeles, 1982: 32) .

Metode Eksplanatori
Metode ini adalah bagian metode empiris. Popenoe (1983: 28)
mengemukakan bahwa kalau saja dalam studi deskriptif lebih banyak
bertanya tentang apa, siapa, kapan, dan di mana, dalam studi
eksplanatori lebih banyak menjawab mengapa dan bagaimana. Oleh
karena itu, metode ini bersifat menjelaskan atas jawaban dari

29
pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana" itu. Sebagai contoh; mengapa
tingkat perceraian pada beberapa kota naik secara tajam? Mengapa
masyarakat merasakan bahwa hidup di kota besar itu tingkat
kompetisinya lebih tinggi dibandingkan dengan di pinggir kota?
Mengapa di kota-kota tersebut mempunyai tingkat kenakalan remaja
yang tinggi pula, terutama di era pascagerakan reformasi ini?
Bagaimana proses itu menyebabkan banyak perubahan, pada awalnya
anak-anak yang baik kemudian menjadi deviant?

Metode Historis-Komparatif
Metode ini menekankan pada analisis atas peristiwa-peristiwa masa
silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum, kemudian
digabungkan dengan metode komparatif, dengan menitik beratkan pada
perbandingan antara berbagai masyarakat beserta bidang-bidangnya
untuk memperoleh perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan dan
sebab-sebabnya. Dari perbedaan dan persamaan-persamaan tersebut
dapat dicari petunjuk-petunjuk perilaku kehidupan masyarakat pada
masa silam dan sekarang, beserta perbedaan tingkat peradaban satu
sama lainnya.

Metode Fungsionalisme
Metode ini bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga
kemasyarakatan dan struktur sosial dalam masyarakat. Metode tersebut
berpendirian pokok bahwa unsur-unsur yang membentuk masyarakat
mempunyai hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi, masing-
masing mempunyai fungsi tersendiri terhadap masyarakat (Soekanto,
1986:38).

Metode Studi Kasus


Metode studi kasus adalah suatu penyelidikan mendalam dari suatu
individu, kelompok atau institusi untuk menentukan variabel itu, dan
hubungan di antara variabel, mempengaruhi status atau perilaku yang
saat itu menjadi pokok kajian (Fraenkel dan Wallen, 1993: 548).
Dengan demikan dalam penggunaan metode kasus tersebut, peneliti
harus mampu mengungkap keunikan-keunikan individu, kelompok atau
institusi yang ditelitinya, terutama dalam menelaah hubungan di antara

30 Nasbahry Couto & Indrayuda


variabel-variabel yang mempengaruhi status atau perilaku yang
dikajinya.

Metode Survey
Penelitian survei adalah salah satu bentuk penelitian yang umum dalam
ilmu-ilmu sosial. Suatu usaha untuk memperoleh data dari anggota
populasi yang relatif besar untuk menentukan keadaan, karakteristik,
pendapat, populasi yang sekarang yang berkenaan dengan satu variabel
atau lebih. (Fraenkel dan Wallen, 1993: 557).
1. Teknik Pengumpulan Data
Beberapa teknik pengumpulan data yang banyak digunakan dalam
kajian sosiologi, di antaranya adalah sosiometri, wawancara, observasi,
dan observasi partisipan. Untuk mempermudah pemahaman beberapa
teknik yang sering digunakan dalam kajian sosiologi tersebut, di bawah
ini dikemukakan penjelasannya.

Gambar 1. Sosiometri

a. Sosiometri
Dalam sosiometri berusaha meneliti masyarakat secara kuantitatif
dengan menggunakan skala-skala dan angka-angka untuk mempelajari
hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat. Bidang ini adalah
bidang keahlian psikologi yang mempelajari, mengukur, dan membuat
diagram hubungan sosial yang ada pada kelompok kecil (Horton dan
31
Hunt, 1991: 235). Sebuah sosiomertik di sebuah kelompok/kelas. Garis
hitam lurus yang disertai anak panah menggambarkan tanda simpatik,
sedangkan garis lurus putus-putus disertai anak panah menggambarkan
kebencian.
Sebagai contoh para siswa diberi pertanyaan, misalnya; siapa yang
mereka anggap sebagai teman yang paling disukai jika jadi pemimpin.
Sebagai tanda simpatik seseorang terhadap orang lain dalam
sosiometrik ini dilambangkan dengan garis lurus yang disertai anak
panah, sedangkan sebagai tanda siswa yang dibenci dengan simbol
garis putus-putus yang disertai anak panah. Dengan demikian, akan
tampak bahwa siswa A adalah siswa yang disenangi rekan-rekannya,
sedangkan siswa B adalah siswa yang paling dibenci dikelompok/kelas
itu. Lihat Gambar 2-1 di bawah ini.

b. Wawancara; atau Interview


Wawancara; atau (interview) adalah situasi peran antarpribadi
bertemu muka (face to-face), yaitu ketika seseorang pewawancara
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh
jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang
yang diwawancarai atau responden (Supardan, 2004: 159). Wawancara
ini bisa digunakan untuk penelitian kuantitatif atau kualitatif. Selain itu,
jenis wawancara ini bisa the general interview (wawancara umum)
yang sifat pertanyaannya umum dan terbuka, jenis wawancara
berstruktur atau terarah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
sedemikian rupa terarah secara cermat.

c. Observasi
Observasi adalah dasar dari semua ilmu pengetahuan, sebab para
ilmuwan baru dapat bekerja hanya jika ada data atau fakta yang
diperoleh melalui observasi (Nasution, 1996:56). Secara singkat
pengertian observasi adalah pengamatan yang diperoleh secara
langsung dan teratur untuk memperoleh data penelitian.

d. Observasi partisipan
Adalah bentuk pengamatan yang menyeluruh dari semua jenis
metode/stategi (Patton, 1980). Dalam hal ini peneliti turut serta dalam
berbagai peristiwa dan kegiatan sesuai dengan yang dilakukan oleh
32 Nasbahry Couto & Indrayuda
subjek penelitian, misalnya turut dalam upacara, turut bekerja di sawah,
turut berbaris menunggu bis atau giliran, menjadi pelayan restoran, kuli,
dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar ia merasakan dan mengalami
situasi-situasi tertentu agar dirasakan secara pribadi.
2. Ilmu Bantu
Dalam kajian sosiologi, memerlukan banyak ilmu bantu yang
dapat menopang kelancaran dan ke dalam kajian sosiologi tersebut.
Beberapa ilmu Bantu yang sering digunakan dalam sosiologi seperti;
statistik, psikologi, ethnologi, arkheologi, dan antropologi, di samping
ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sejarah, geografi, politik, hukum atau
geografi.
8. Statistik: sangat diperlukan dalam sosiologi terutama dalam
penghitungan-penghitungan yang menyangkut pendekatan
kuantitatif agar hasil-hasil penelitiannya lebih valid, akurat, dan
terukur.
9. Psikologi: sangat diperlukan dalam kajian sosiologi karena dalam
psikologi dapat diperoleh keterangan baik latar belakang seseorang
berperilaku atau proses-proses mental yang diperlukan keterangan-
keterangannya.
10. Ethnologi: adalah ilmu tentang adat-istiadat suatu bangsa. Ilmu
tersebut sangat diperlukan dalam sosiologi karena menyangkut
tradisi-tradisi yang berkembang pada bangsa tersebut. Oleh karena
itu, pula ethnologi sering disebut sosial antropologi (Shadily, 1986:
20).
11. Arkheologi: adalah ilmu tentang peninggalan-peninggalan atau
kebudayaan klasik dari suatu bangsa yang telah silam.
Peninggalan–peninggalan kebudayaan klasik itu penting karena
kebudayaan tua sekalipun pada hakikatnya adalah hasil usaha
bersama dari suatu masyarakat yang ditelitinya.
Antropologi: pada mulanya banyak mempelajari tentang hidup
bersama sebagai manusia, terutama golongan-golongan yang masih
bersahaja (Shadily, 1986: 20). Sebagai contoh orang-orang Aborigin di
Australia, orang-orang Indian di Amerika Serikat, orang-orang Badui di
Banten atau orang-orang Tengger di Jawa Timur, dan sebagainya, tetapi
sekarang ini antropologi telah memasuki kajian kelompok atau etnis/ras
masyrakat kota ataupun yang lebih maju. Maksud dari hasil penelitian
33
bidang antropologi adalah untuk lebih mudah memahami beberapa
keunikan ideografis dan memberikan pengertian yang mendalam
mengenai masyarakat modern yang lebih luas, dan kompleks.
3. Jenis Penelitian Sosiologi
Dalam peneltian sosiologi (Shadily, 1980: 50-52), kita setidaknya
mengenal tiga macam penelitian sosiologi, yakni penelitian lengkap,
penelitian fact finding, dan penelitian interpretasi kritis.

Pertama penyelidikan lengkap: Dalam penelitian ini berusaha


untuk dicari secara teliti segala fakta dan kemudian ditarik kesimpulan-
kesimpulan yang diambil dari fakta-fakta tersebut. Dengan demikian,
sesudah membuat definisi tentang substansi kajian, kemudian meneliti
kebenaran atau kekurangan hipotesis-hipotesis itu, peneliti harus
mempertanyakan fakta apa yang ada dalam kajian itu. Selanjutnya
setelah fakta-fakta diperiksa secara teliti, peneliti harus menyimak
pendapat-pendapat para ahli lainnya tentang masalah yang sama,
walaupun pendapat-pendapat tersebut tidak akan mempengaruhi
kebenaran/kesalahan dari temuan yang diselidiki tersebut, tetapi selama
penelitian ilmiah tersebut dilakukan, peneliti harus memperhatikan hal-
hal berikut ini. Betulkah bahwa kesimpulan itu sesuai dengan fakta
yang tersedia? Betulkah fakta-fakta itu digunakan dengan jujur dari
suatu prasangka yang tidak menyebelah? Cukup banyakkan fakta-fakta
itu untuk dapat dianggap bahwa kejadian itu dianggap umum? Cukup
benarkah induksi dan deduksi yang digunakan serta logika yang sehat
benar-benar diperlukan?

Kedua, penelitian fact finding, penelitian dari suatu hasil


penemuan fakta penelitian tentang suatu hal yang benar-benar berdasar
dari fakta-fakta yang ada untuk membuat laporan yang dapat dipercaya.
Sebagai contoh tentang pemberontakan ataupun gerakan disintegrasi
bangsa dari sekelompok suku bangsa tertentu terhadap pemerintah yang
resmi. Dalam hal ini peneliti harus meneliti faktor-faktor penyebab
pemberontakan/gerakan tersebut. Laporan-laporan yang telah ada
tentang karakteristik, dan ketidakpuasan suku tersebut dari dulu hingga
sekarang. Sikap-sikap pemerintah yang dianggap kurang kondusif
memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Fakta-fakta tersebut
34 Nasbahry Couto & Indrayuda
kemudian dikumpulkan, baik dari dokumen-dokumen yang ada, hasil
observasi-observasi, dari wawancara-wawancara atau isu-isu yang
berkembang dan sebagainya.

Ketiga, penelitian interpretasi kritis: lazim dilakukan dalam


sosiologi. Dalam hal ini peneliti pada umumnya tidak tersedia cukup
mempergunakan fakta-fakta karena yang dikumpulkan itu hanyalah
analisis-analisis atau uraian-uraian tentang suatu fakta yang sedikit
tersedia. Dengan demikian, diperlukan analitis kritis seorang peneliti
untuk meyakinkan pembaca atau peneliti lainnya dalam memahami
hasil-hasil penelitiannya. Bisanya baik penelitian fact finding atau
interpretasi kritis hanya sekedar pembuatan laporan penelitian dan tidak
memberikan kesimpulan-kesimpulan yang lengkap atas fakta-faktanya.
4. Kegunaan Sosiologi
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kajian sosiologi banyak
menelaah fenomena-fenomena yang ada masyarakat, seperti; norma-
norma, kelompok-kelompok sosial, stratifikasi /peringkat sosial dalam
masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, proses-proses sosial,
perubahan sosial, kebudayaan dan lain sebagainya. Dalam realitanya
kondisi ideal yang diharapkan masyarakat itu tidaklah sepenuhnya
berjalan normal, dalam arti banyak fenomena abnormal terjadi secara
patologis, yang dapat disebabkan oleh tidak berfungsinya unsur-unsur
yang ada pada masyarakat tersebut. Fenomena-fenomena kekecewaan
dan penderitaan masyarakat tersebut dinamakan problema-problema
sosial yang berhubungan erat dengan nilai-nilai sosial Dengan
demikian, kegunaan sosiologi secara praktis dapat berfungsi untuk
mengetahui, mengidentifikasi, dan mengatasi problema-problema sosial
(Soekanto, 1986: 339-340).
Ada pun beberapa problema sosial tersebut, dilihat fokus kajiannya
secara makro dapat dibedakan berdasarkan bidang-bidang keilmuannya.
Sebagai contoh problema-problema yang berasal dari faktor ekonomi
seperti kemiskinan dan pengangguran.
Problema sosial yang disebabkan oleh faktor kesehatan, misalnya;
terjangkitnya penyakit menular, rendahnya angka harapan hidup, dan
tingginya angka kematian. Problema sosial yang disebabkan oleh faktor

35
psikologis misalnya meningkatnya fenomena neurosis (sakit syaraf) dan
tingginya penderita stress.
Lain lagi dengan problema sosial yang disebabkan oleh faktor
politik, misalnya; tersumbatnya aspirasi politik massa, meningkatnya
sistem pemerintahan yang otoriter atau tidak berfungsinya lembaga-
lembaga tinggi negara (legislatif, eksekutif atau yudikatif). Problema
sosial yang disebabkan oleh faktor hukum misalnya; meningkatnya
angka kejahatan, korupsi, perkelahian, perkosaan, delinkuensi remaja,
dan bentuk-kriminalitas lainnya termasuk “white-collar crime‖ yang
sedang marak belakangan ini.
Dari sisi fokus kajian mikro, sosiologi berfungsi dalam
memberikan informasi untuk mengatasi masalah-masalah keluarga,
seperti disorganisasi keluarga. Pengertian disorganisasi keluarga seperti
yang dikatakan Goode (1964; 391), yaitu sebagai perpecahan dalam
keluarga sebagai suatu unit. Perpecahan tersebut disebabkan oleh
adanya kegagalan anggota-anggota keluarganya dalam memenuhi
kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peran sosialnya. Ada pun
bentuk-bentuk disorganisasi keluarga tersebut bisa berupa; unit
keluarga yang tidak lengkap, perceraian atau putusnya perkawinan,
adanya empty shell family, krisis keluarga, dan sebagainya

1. Istilah Sosiologi Seni


Istilah ―sosiologi seni‖ (sociology of art) digunakan dari sosiologi
seni-seni (sociology of arts) atau sosiologi seni dan literatur (sociology
of art and literature). Sosiologi seni-seni visual relatif jarang
dikembangkan daripada sosiologi literatur, drama atau film.
Implikasinya sifat generik dari bidang kajian ini mau tidak mau
menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam analisisnya karena tidak selalu
terdapat hubungan linier antara musik dan novel dengan konteks atau
politiknya (Wolff, 2000: 41). Namun demikian, sosiologi seni dapat
dikatakan sebagai wilayah kajian yang cair karena di dalamnya tidak
ada suatu model analasis atau teori yang dominan.
Beberapa pendekatan yang banyak digunakan di Eropa dan
Amerika memang ada perbedaaan. Sebagai contoh, di Inggeris dan
Eropa lainnya, pendekatan marxis dan nonmarxis masih ada
36 Nasbahry Couto & Indrayuda
pengaruhnya hingga tahun 1970-an. Sebaliknya, sosiologi seni di
Amerika Serikat yang sering kali dinamakan sebagai pendekatan
produksi-budaya (production-of-culture) atau mainstream analisis
sosiologi, memusatkan perhatiannya pada institusi dan organisasi
produksi-budaya (Kamerman dan Martorella, 1983; Becker, 1982).
Dalam tradisi Marxis, para ahli seni bergerak dari (1) metafora-
metafora sederhana yakni basis-basis dan suprastruktur yang
mengandung reduksionis/pemiskinan ekonomi terhadap budaya, (2)
beranjak melihat literatur-literatur serta seni semata-mata sebagai
―pencerminan‖ faktor-faktor klas atau ekonomi, karya-karya pengarang
Gramsci, Adorno, dan Althusser menjadi penting dalam
penyempurnaan model yang bertumpu pada kelompok sosial, dan (3)
antara kesadaran individual dan pengalaman spesifik tekstual (Wolff,
2000: 41-42).
Hal ini berbeda dengan pendekatan sosiologi seni sebagai
‗produksi-budaya‘ yang sering mendapat kritik karena dianggap
mengabaikan produk budaya itu sendiri. Pendekatan ‗produksi-budaya‘
(production-of-culture) memfokuskan pada masalah hubungan-
hubungan sosial di mana karya seni itu diproduksi.
Para ahli sosiologi seni melihat peranan para ―penjaga gawang‖
seperti; para penerbit, kritikus, pemilik galeri dalam memperantarai
seniman dan masyarakat, hubungan-hubungan sosial dan proses
pengambilan keputusan pada suatu lembaga akademi seni atau
perusahaan opera, serta mengenai hubungan antara produk-produk
budaya tertentu seperti fotografi di mana karya itu dibuat (Rosenblum,
1978; Alder, 1979).
Kebanyakan yang menjadi fokus kajiannya pada kebanyakan
negara kecuali di Inggeris (studi literatur), adalah seni-seni
pertunjukkan yang menyajikan kompleksitas interaksi sosial yang
dianalisis.
2. Sosiologi Seni sebagai Wilayah Kajian Baru pada Abad
ke-21
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sosiologi seni adalah
suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku individu,
sekelompok orang atau masyarakat yang dipengaruhi oleh karya seni
tertentu atau sebaliknya. Yaitu karya-karya seni yang menciptakan
37
situasi sosial tertentu dengan pendekatan-pendekatan secara
komprehensif, baik yang bertujuan untuk analisis sosial atau untuk
masukan kepada para pelaku seni sebagai dasar untuk memecahkan
permasalahan atau upaya untuk mencari jalan keluar melalui
pendekatan seni yang baru, ataupun kebijakan sosial baru. Seni,
hakikatnya tidak terlepas dari sumberdaya, manusia, sistem nilai,
teknologi dan dinamika sosial yang tengah berlangsung. Oleh karena
itu, dalam objek kajian sosiologi seni, rona kegiatan dan keilmuan yang
berdekatan senantiasa harus menjadi pertimbangan utama.
Sosiologi seni adalah cabang sosiologi yang berkaitan dengan
dunia sosial seni dan estetika. Mempelajari sosiologi seni sepanjang
sejarah adalah studi tentang sejarah sosial seni, bagaimana berbagai
masyarakat memberikan kontribusi terhadap munculnya seniman
tertentu. Pada tahun 1970 dalam bukunya Meaning and Expression:
Toward a Sociology of Art, Hanna Deinhard memberikan fitur
mendefinisikan sosiologi seni sbb. (hal 3)
"Titik tolak sosiologi seni adalah pertanyaan: Bagaimana
sebenarnya karya seni selalu berasal atau produk dari aktivitas
manusia dalam masyarakat atau fungsi tertentu dan waktu tertentu,
-meskipun tidak selalu diproduksi sebagai 'karya seni' -dapat hidup
di luar waktu dan tampak ekspresif dan bermakna dalam zaman dan
masyarakat yang sama sekali berbeda? Dengan kata lain,
bagaimana bisa suatu zaman dan masyarakat yang
memproduksinya mengakui sebuah karya? "
Gambaran mengenai sosiologi seni dapat berbentuk kajian seni
sebagai alat persuasi dan propaganda sosial, dan atau objek estetika
yang dihargai, seni sebagai komodi/ekonomi dan atau untuk pengakuan
sebuah status sosial. Kelihatan seni dapat memerankan banyak peran
dalam masyarakat. Memandang seni secara sosiologis akan masuk pada
eksplorasi sifat seni ―dalam masyarakat" yaitu melihat bagaimana
benda-benda seni diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi.
Perspektif teoretis, akan terkait dengan contoh-contoh historis dan
kontemporer dari berbagai media artistik, dengan melihat pada
fenomena seni misalnya pada musik, lukisan, arsitektur, dan fotografi.
Hal ini berguna untuk mengeksplorasi interaksi antara seni dan
masyarakat, serta keterkaitan antara seni yang berbeda itu.

38 Nasbahry Couto & Indrayuda


Peran teknologi dalam berbagai seni adalah tema lain dalam
konteks hubungan seni dengan sosial. Reproduksi oleh teknologi,
misalnya dalam kegiatan fotografi, lukisan dan rekaman musik
memungkinkan untuk mengkonsumsi' karya seni dalam waktu dan
tempat yang sangat berbeda dari aslinya sehingga dapat mengubah
makna aslinya, sesuai dengan tujuan penciptaan awalnya.
Teknologi digital terbaru telah memiliki implikasi lebih lanjut.
Dengan demikian, fokus sosiologi seni ini tidak terbatas pada 'seni
rupa', tetapi membahas aspek 'budaya populer'. Hubungan antara
mereka dalam hal hierarki menimbulkan masalah lebih lanjut bagi kita
untuk membahasnya. Agaknya menarik juga bahwa sosiologi seni itu
agak terlambat dikaji dibanding bidang lain. Sebagai kajian baru telah
diadakan seminar internasional pertama di Barcelona, Spanyol tahun
2008 yang membahas topik-topik seperti di bawah ini. 5

a. Rasionalisasi, Ketahanan Seni, Budaya, dan Komunikasi


Masalah rasionalisasi itu penting bagi teoretisi seperti Weber,
Lukacs (dalam pengertian reifikasi), Adorno dari Sekolah Frankfurt.
Proses rasionalisasi telah hadir dalam dekade terakhir dalam berbagai
bentuk, seperti pertumbuhan merger dan akuisisi, pola globalisasi,
instrumentalisasi dan komodifikasi seni dan budaya, dan percepatan
dari tren ini. Apa yang telah menjadi dampak dari proses ekonomi dan
sosial-budaya, politik pada seni, budaya, komunikasi, dan
pengetahuannya? Rasionalisasi ini akan menimbulkan pertanyaan, apa
bentuk perlawanan telah dikembangkan oleh para pekerja budaya,
konsumen, kolektivitas sosial, dan lain-lain terhadap kecendrungan
rasionalisasi ini?

b. Penelitian Biografi dan Sosiologi Seni


Umumnya seniman menggunakan bahasa dengan cara performatif
untuk mengekspresikan hubungannya dengan dunia seni rupa. Proses
artistik untuk menciptakan sebuah karya seni dapat dianalisis melalui

5
First ISA Forum of Sociology, Sociological Research and Public Debate,
Barcelona, Spain (2008) September 5 -8, 2008, Research Committee on Sociology
of arts RC37, Main theme: The sociology of the arts and culture: Towards a public
sociology
39
penggunaan bahasa mereka dan melalui "aliansi kerja" antara peneliti
dan seniman. Seniman dapat dilihat sebagai membuka dunia, tindakan
mereka di mana mereka membangun rumah bagi pengunjung, tidak lagi
hanya seseorang yang mengalami karya seni, tetapi menjadi bagian dari
suatu tindakan (sosial).
Ini adalah sebuah refleksi substansial dan metodologis tentang
sosiologi seni, ilmu sosial performatif, sosiologi visual, dan penelitian
biografi, dan untuk memahami peran penelitian dalam dunia seni.
Pertanyaan yang diajukan dan dibahas sebagai berikut. Apakah biografi
artistik berubah? Apa jenis pekerjaan ―biografi" seniman yang dipakai?
Bagaimana seniman mencerminkan proses artistik dalam menciptakan
karya seni? Apakah ada konsep trans-nasional dan kosmopolitan
memainkan peran dalam dunia seni dan bagaimana hal itu
diungkapkan? Apakah ada perbedaan dalam konsep bagaimana
seniman menciptakan karya seni dan bagaimana kurator terlibat dalam
proses artistik?

c. Masyarakat Publik Seni: Sosiologi Seni dan Budaya dan


Masyarakat Sosiologi
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, analisis sosiologis penonton dan
publik di bidang seni dan budaya telah mengalami berbagai perubahan.
Perhatian lebih telah dikhususkan untuk pendekatan etnografi dan studi
komparatif. Penelitian tentang festival telah menjadi pusat perhatian,
serta survei kontinu pada lembaga kebudayaan. Pada bagian ini
memungkinkan kita membahas efisiensi kebijakan publik dan harapan
penonton yang semakin terfragmentasi. Sementara itu muncul
pertanyaan dari publik (dan kadang-kadang dari counter-public) telah
menjadi isu publik utama. Sosiolog secara teratur terlibat dalam debat
publik yang mempertanyakan kepentingan publik dalam pendanaan
organisasi seni dan budaya dan cara-cara khusus untuk menarik dan
memunculkan audiens baru. Ada pemikiran bahwa sejauh ini telah
terjadi banyak kesalahpahaman antara sosiolog, penonton dan birokrat.

d. Sosiologi Budaya dan Sosiologi Seni: Warisan dan


Transformasi
Topik ini mengeksplorasi jenis kerangka teoretis dan analitis dari
sosiologis budaya (dari klasik hingga modern) yang telah menganalisis
40 Nasbahry Couto & Indrayuda
inspirasi sosiologis seni, serta kontribusi sosiologi seni yang dapat
memancing perdebatan dalam sosiologi budaya, misalnya, peran
budaya dalam konsumsi dan produksi seni.

e. Budaya sebagai Aktivitas: Fans, Penggemar, dan Amatiran


Umumnya secara sosiologis terlihat bahwa, budaya manusia telah
melatihnya untuk hanya memiliki pembacaan kritis terhadap selera
masyarakat dan preferensinya, sebagai murni tanda dari identitas dan
perbedaan di antara nya. Diamati sebagai pekerjaan refleksif yang
dilakukan tersendiri. Melalui penyelidikan yang komprehensif tentang
besaran berbagai amatir, penggemar, penonton, praktisi aktif, dan
mendefinisikan cara-cara baru untuk menilai berbagai keinginan publik
terhadap seni. Rasanya tidak mungkin lagi digunakan pilihan seni yang
sewenang-wenang, dengan tidak menyadari maknanya dan menjelaskan
sebab-sebab sosial yang tersembunyi atas kehadiran seni. Sebaliknya,
tampak sebagai teknik kolektif, yang analisis membantu kita untuk
memahami cara kita membuat diri kita peka, hal-hal, diri kita sendiri,
situasi dan momen, sekaligus mengontrol bagaimana perasaan mungkin
dibagi dan didiskusikan dengan orang lain.

f. Memori Kolektif, Wacana Publik dan Seni


Topik ini bertujuan untuk mempromosikan refleksi tentang
bagaimana seni membentuk dan dibentuk oleh wacana publik tentang
memori kolektif. Tujuan lain adalah untuk mengembangkan kesadaran
kritis tempat kesenian dipikirkan kembali dan mengubah kenangan
kolektif masa lalu dan membayangkan masa depan. Meneliti cara
mempertahankan seni dan mengkonfigurasi ulang ingatan melalui
kinerja, lingkungan yang dibangun baru, dalam praktik sehari-hari,
dalam gerakan dan situs tertentu. Ingatan itu termasuk dalam rangka
membuat tugu peringatan, museum, situs internet, dan seni publik. Apa
yang tidak diabadikan mungkin sama pentingnya dengan apa yang
diperingati oleh masyarakatnya. Subjek ini didorong oleh pemikiran
tentang hubungan antara seni, ingatan dan melupakan (amnesia
kolektif), dan transformasi dari memori. Tema ini mungkin meliputi
globalisasi wacana memori dalam seni, perdebatan seni dan budaya
tentang trauma, ingatan tentang ruang publik dan kenangan aspek
politik yang ditonjolkan atau yang ditekan secara politis.
41
g. Dimensi Kewilayahan Seni
Selama beberapa tahun ini, sosiologi seni telah menyelidiki
dampak berdimensi kewilayahan pada penciptaan seni pada tingkat
yang berbeda. Karya-karya pada dimensi lokal telah berurusan dengan
artistik metropolis, dengan memfokuskan secara khusus pada hubungan
antara bentuk-bentuk seni yang berbeda atau koneksi antara membuat
bentuk berbagai seni dan wilayah, seperti kota, daerah atau negara.
Karya-karya penting lainnya dalam bidang sosiologi seni telah
dikembangkan bersamaan dengan perkembangan karya-karya di bidang
sosiologi globalisasi. Karya-karya dalam sosiologi seni, berkat data
empiris, telah memungkinkan untuk memperbaharui beberapa analisis
tidak tepat atau bahkan tidak akurat pada budaya global. Jadi, bisa saja
konsep seni berdasarkan wilayah (mancanegara, nasional, dan lokal)
dapat menjadi kabur, tidak jelas batas-batasnya. Seni lokal atau
nasional bisa saja hasil dari seni mancanegara atau sebaliknya.

h. Epistemologi dan Metodologi dalam Sosiologi Seni:


Tantangan untuk Abad Kedua Puluh Satu
Topik ini adalah untuk memperbarui pertanyaan teoretis yang telah
dikembangkan dalam penelitian di Sosiologi of arts di berbagai bidang,
seperti seni rupa, sastra, bioskop, fotografi dan sebagainya, mengenai
analisis karya seni, dan kondisi sosial atas produksi mereka.

42 Nasbahry Couto & Indrayuda


P
aling tidak ada tiga penulis dan buku yang dapat menjelaskan
sifat alami manusia dalam seni, yaitu Dutton, Goguen, dan
Dissanayake. Teori Dutton misalnya adalah titik balik dari teori
estetika dan seni, yang mengkaji seni dari segi evolusi naluri
manusia. Tujuan utama buku Dutton adalah menjelaskan seni dan
pengalaman seni kita dalam kaitannya dengan teori Charles Darwin
tentang evolusi estetik-mungkin tampak aneh. Memang teori evolusi
Darwin telah berhasil diterapkan untuk berbagai bidang kehidupan,
tetapi untuk menerapkannya kepada seni tampaknya agak berlawanan.
Seni dan pengalaman kita tentang hal itu adalah aspek kehidupan
manusia yang tidak luput dari aturan dan bentukan budaya.
Goguen (2000) mempertanyakan apakah seni itu? Apa itu
kecantikan? Bagaimana keduanya dapat terhubung? Bagaimana hal itu
disadari? Bagaimana dengan kebenaran? Dapatkah sains membantu
menerangkan masalah semacam ini? Karena pertanyaan-pertanyaan
seperti ini seakan pergi ke pusat konflik terkini dari sistem nilai Barat,
akan tetapi menurut Goguen, orang Barat tidak mungkin untuk
memberi jawaban yang pasti, tetapi masalah ini masih perlu ditelusuri -
yang justru adalah tujuan dari tulisan ini, dengan perhatian khusus pada
hubungan antara seni dan ilmu pengetahuan.
Ellen Dissanayake, berpendapat bahwa seni adalah pusat adaptasi,
pertumbuhan dan ketahanan hidup spesies. Manusia, kemampuan
estetika adalah bawaan setiap manusia, dan seni adalah kebutuhan
mendasar bagi spesies manusia seperti kebutuhan lainnya, misalnya
pangan, kehangatan atau tempat tinggal. Kemampuan estetik menurut
Dissanayake memungkinkan kita untuk 'memisahkan' sebuah kegiatan

43
membuat khusus, yang penting bagi kelangsungan hidup kita, dan
selanjutnya disebut seni.

1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui pengertian seni itu sangat rancu di Indonesia.
Alasan hadirnya seni itu selalu dikaitkan dengan estetika (keindahan).
Padahal estetika itu bukan objek seni, melainkan respon manusia
terhadap seni. Jika kita membaca bagian ini barulah kita sadar bahwa
kita memiliki pancaindra. Indra mata dan indra telinga yang
mengembangkan seni. Pengertian seni itu muncul dan dikembangkan
dari dua pancaindra itu, khususnya mata. Logis pula maka jika di Barat
pengertian seni (Art) adalah seni visual, sekarang seni musikpun
dinikmati secara visual, walaupun ada nyanyian, lagu, musik yang
sifatnya auditif. Uraian-uraian di bawah ini menjelaskan hal itu.
Instink atau naluri sebenarnya dimiliki oleh setiap bentuk
kehidupan, baik oleh manusia, binatang atau tumbuhan. Kadar dan
kapasitas naluri yang dimiliki manusia mempunyai kekhasan juga
keistimewaan yang berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan pengertian
naluri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa ada tiga
pengertian naluri dalam konteks pembawaan, psikologi, dan biologi.
a. Naluri adalah dorongan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir;
pembawaan alami yang tidak disadari mendorong untuk berbuat
sesuatu.
b. Insting; dalam psikologi adalah perbuatan atau reaksi yang sangat
majemuk dan tidak dipelajari yang dipakai untuk mempertahankan
hidup, terdapat pada semua jenis makhluk hidup.
c. Dalam pengertian biologis, naluri adalah serangkaian kegiatan
refleks terkoordinasi, masing-masing terjadi apabila yang
sebelumnya telah diselesaikan; reaksi yang tidak bergantung pada
pengalaman.

Dari sudut pandang tersebut kemudian Dutton mempertanyakan,


(1) kaitan seni dengan naluri, (2) seberapa jauh sejarah seni berdasarkan
naluri dapat ditelusuri ke masa lalu, dan (3) benarkah yang mendasari
seni itu naluri?
44 Nasbahry Couto & Indrayuda
Dari pertanyaan-pertanyaan itu, Dutton kemudian melihat kembali
ke masa lampau dan membandingkan hasilnya, misalnya ke lukisan-
lukisan gua Lascaux di Barat Daya Prancis yang dianggap telah berusia
16000 tahun. Patung montok dan torso dari Austria yang kecil itu yang
disebut Venus dari Willendorf. Patung tersebut mungkin usianya telah
9. 000 tahun dari sekarang. Kemudian, patung kasar yang ditemukan di
Maroko, di dataran Tinggi Golan dan tempat-tempat lain yang mungkin
beberapa abad lebih kuno. Menilik hal itu, dan temuan beberapa
psikolog, mereka berpendapat bahwa asal-usul seni zaman lampau
sebenarnya dapat diungkapkan kembali, terutama untuk melihat apa
yang mendasarinya.

Gambar 2. Venus dari Willendorf, patung


montok dan torso dari Austria, diperkirakan
berasal dari 24, 000-2000 SM, Zaman Kapur
Oolitik, tinggi 43/8 inci (11, 1 cm)
Naturhistorisches Museum, Vienna)
(http://www. ancientcraft. co.
uk/reenactment/pa_venus_willendorf. html)

Gambar 3. Sebuah patung batu yang diperkirakan berusia


400. 000 tahun SM. Ditemukan oleh penggalian artefak
kuno di Maroko, dianggap pembuatan patung tertua di
dunia. Benda tersebut ditemukan 15 meter di bawah
permukaan tanah yang telah tererosi, di teras tepi sungai
Draa dekat kota Tan-Tan. Lapisan tanah itu diperkirakan
berasal dari periode Acheulian Tengah, yang berlangsung
dari 500. 000 sampai 300. 000 tahun yang lalu.
(http://archaeologyexcavations. blogspot. com/ 29-4-2011)

Misalnya pada zaman Pleistosen, sekitar 1, 6 juta tahun yang lalu


atau ketika – masa generasi 80. 000 tahun lalu yang hidup dan beranak-
45
pinak, menurut Dutton nenek moyang kita mungkin telah memiliki
naluri seni seperti naluri kita terhadap karya-karya Bach, Rembrandt,
dan Proust. Seperti yang pernah disebut oleh bapak teori evolusi
Darwin sebagai "Estetika Darwin". Denis Dutton penulis dan penganjur
tentang "The Art Instinct, " berpendapat bahwa hasrat estetik mungkin
sudah ada pada nenek moyang kita pada masa lampau. 6
Menurut Dutton, masa lampau memang penuh teka-teki, dahulu
mungkin bapak teori evolusi (Darwin) bersikap skeptis terhadap
masalah ini. Kita hanya tahu begitu sedikit tentang lingkungan nenek
moyang pada zaman Pleistosen7, yaitu pada zaman awal munculnya
homosapiens. Seperti apa mereka hidup, bagaimana mereka hidup, dan
hampir semua hipotesis dan setiap strategi yang mungkin, dapat
membantu mereka untuk berkembang. Selain itu, kisah evolusi
psikologi atau seni berdasarkan naluri, mungkin terlalu dini untuk
dibicarakan pada zaman Darwin. Kecuali jika Darwin sendiri berkelana
ke bidang psikologi dan belajar tentang ekspresi emosi spesies atau

6
DenisDutton, 2009. The Art Instinct: Beauty, Pleasure, and Human Evolution. New
York: Bloomsbury Press. Dutton adalah seorang profesor filsafat seni di Universitas
Canterbury di Selandia Baru, dan pendiri dan editor dari situs Web arts & Letter
Daily. Gagasannya diawali dari konsepnya tentang evolusi psikologi sejak 1990-an.
Bahwa beberapa perilaku manusia sejak zaman batu secara psikologis dan genetik
dapat memperlihatkan adanya instink ini.
7
Pleistosen adalah suatu kala dalam skala waktu geologi yang berlangsung antara 1.
808. 000 hingga 11. 500 tahun yang lalu. Namanya berasal dari bahasa Yunani
πλεῖστος (pleistos, "paling") dan καινός (kainos, "baru"). Pleistosen mengikuti
Pliosen dan diikuti oleh Holosen dan kala ketiga pada periode Neogen. Akhir
Pleistosen berhubungan dengan akhir Zaman Paleolitikum yang dikenal dalam
arkeologi. Pleistosen dibagi menjadi Pleistosen Awal, Pleistosen Tengah, dan
Pleistosen Akhir, dan beberapa tahap fauna. Plestosen awalnya dikenal dengan
diluvium, yakni formasi sekarang (holosen atau aluvium); bermula dari 1. 750. 000
tahun lalu dan berakhir sampai 10000 tahun lalu. kala pertama dalam zaman kuarter,
di bawah satuan waktu geologi ini terdapat kala pliosen, dan di atasnya kala holosen.
Pada kala plestosen bumi mengalami beberapa zaman es. Kala ini menyaksikan
kelahiran homo sapiens yang pertama dan kepunahan berbagai jenis yang
mendahuluinya, seperti pithecanthropus erectus. Di pulau Jawa, Sumatra, Nusa
Tenggara, dan Sulawesi, kala ini dicirikan dengan kegiatan gunung berapi yang
berlangsung hingga sekarang. Dari masa ini juga dikenal sebagai megaloceros (rusa
besar), coelodonta antiquitatis (badak berbulu wol), mammuthus primigenius
(mamut), ursus spelaeus (beruang yang hidup dalam gua), smilodon (semacam
kucing besar), rusa kutub, bison, dalam l.
46 Nasbahry Couto & Indrayuda
leluhur manusia. Jika premis evolusi ini benar, asal-usul psikologi
manusia mungkin lebih tua dari zaman batu, dan evolusi itu
diperhitungkan dapat bekerja lebih cepat dari pernyataannya tentang ini
pada tahun 1990-an.
Dutton telah menghabiskan banyak waktu bergulat dengan teori-
teori yang dikemukakan oleh para pemikir seni sejak zaman Aristoteles
dan Kant sampai pada pemikiran Clive Bell dan Michel Foucault. Dia
menyentuh semua isu-isu utama tentang estetik dengan cukup singkat
dan jelas. Dari uraian Dutton tentang naluri seni manusia, ada hal yang
menggelitik muncul dari teka-teki zaman lampau itu, misalnya
mengapa kita memiliki seni suara dan warna, bukan seni bau atau
lainnya.
Karangan Denis Dutton antara lain:
Denis Laurence Dutton (1974). Art and anthropology:
aspects of criticism and the social studies. University of
California, Santa Barbara. Denis Dutton (1983). The
Forger's art: forgery and the philosophy of art.
University of California Press. ISBN 0-520-04341-3.
Denis Dutton, Michael Krausz (1985). The Concept of
creativity in science and art. M. Nijhoff. ISBN 90-247-
3127-5.
Denis Dutton (2003). Jerrold Levinson. ed. "Authenticity
in Art". The Oxford Handbook of Aesthetics (Oxford
University Press). Charles A. Murray, Denis Dutton,
Claire Fox (2008). In Praise of Elitism. Centre for
Independent Studies, The. ISBN 1-86432-166-0. Denis
Dutton (2009). The art instinct: beauty, pleasure, &
human evolution. Oxford University Press US. ISBN 0-
19-953942-1. Michael Krausz, Denis Dutton, Karen
Bardsley (2009). The ide of creativity. BRILL. ISBN 90-
04-17444-3.

Apa yang dipikirkan Dutton memiliki nilai khusus, terutama


pembahasan tiga perdebatan antara lain: (1) peran maksud/tujuan
seniman berkarya, (2) dampak dari sifat seni yang palsu, dan (3)
penjiplakan. Sebagai contoh misalnya karya provokatif aliran Dadais,
seperti karya seniman Marcel Duchamp yang berjudul "Fountain" itu,
yaitu sebuah urinoir yang ditampilkan dalam pameran pada tahun 1917.
Dutton kemudian menguji kasus ini terhadap sekelompok sifat karya
yang menurutnya secara kolektif adalah karya seni --tetapi dia
47
menemukan kesulitan--yang berakar dari konflik atau ketegangan di
antara karakter-karakter karya itu. 8

Gambar 4. Denis Dutton Laurence,


kelahiran Amerika, (9 Februari 1944 -28
Desember 2010) adalah seorang filsuf
seni, web pengusaha dan aktivis media.
Dia adalah seorang profesor filsafat di
Universitas Canterbury di Christchurch,
Selandia Baru. Dia juga co-founder dan
co-editor the arts & Letters website,
ClimateDebateDaily. com dan
cybereditions. com. (Wikipedia)

Misalnya karya yang sempurna, bisa saja adalah karya palsu tetapi
berhasil dalam memancing kenikmatan seni --yang sama dengan karya
asli yang dirancang untuk mendapatkan kenikmatan seni, jadi dalam
banyak kasus orang tetap merasa tertipu. Walaupun banyak karya
menunjukkan orisinalitas dengan pemikiran yang kita harapkan untuk
ditemukan dan diungkapkan dalam seni. Bagi Dutton, hal ini adalah
ekspektasi (diluar dugaan) bahwa fungsi seni yang paling kuno
menunjukkan hasrat seniman untuk membuat karya berdasarkan naluri.
Dutton mengutip harapan Darwin ke masa depan, psikologi "akan
didasarkan pada pijakan/fondasi yang baru, dari perolehan kapasitas
oleh gradasinya yang diperlukan masing-masing oleh kekuatan pikiran
manusia. Misalnya pertanyaan, apa yang membuat sepotong ilmu
Darwin -seperti misalnya evolusi mata mata manusia– kemudian begitu
kuat dan menonjol (sedangkan panca-indra lainnya tidak dikembangkan
untuk seni?), ini adalah sebuah cara di mana sejumlah besar langkah-
langkah perantara mem-perlihatkan ke arah mana pikiran kita
dibimbing, dan ini adalah awal yang sederhana untuk hasil yang luar
biasa. Namun, tidak ada langkah-langkah perantara yang tersedia untuk
dapat menjelaskan evolusi naluri untuk membuat karya seni, tetapi teori

8
Lihat blog: http://www. aldaily. com/dan juga tentang Marchel Duchamp di
http://www. thesmartset. com/article/article12041201. aspx
48 Nasbahry Couto & Indrayuda
Dutton justru menyoroti bagaimana asal-usul seni berdasarkan naluri,
dalam kehidupan kita. 9
Kajian Dutton, jelas berbeda dengan ahli psikologi analisis Freud.
Dalam konsep Freud, naluri atau instink adalah representasi psikologi
bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) pada tubuh yang
diakibatkan oleh munculnya suatu kebutuhan tubuh. Apabila tubuh
membutuhkan makanan, contohnya, energi psikis akan terhimpun
dalam naluri lapar yang mendorong dan mengerakkan individu untuk
bertindak memuaskan kebutuhan akan makanan. Pada naluri terdapat
empat unsur, yaitu sumber, upaya, objek, dan dorongan. Sumber naluri
adalah kebutuhan, upayanya adalah mengisi kekurangan atau
memuaskan kebutuhan. Ada pun unsur dorongannya jelas bahwa naluri
itu bersifat mendorong individu untuk bertindak dan bertingkah laku.
Freud berpendapat bahwa naluri-naluri yang terdapat pada manusia
dibedakan ke dalam dua macam naluri, yaitu naluri kehidupan (life
instincts) dan naluri kematian (death instincts).
Naluri yang dimaksud oleh Freud adalah naluri yang ditujukan
pada pemeliharaan ego (the conservation of the individual) dan
pemeliharaan kelangsungan jenis (the conservation of the species).
Dengan perkataan lain, naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan
kepada pemeliharaan kehidupan manusia sebagai individu atau sebagai
species.
Contoh naluri kehidupan adalah lapar, haus, dan seks. Sementara
naluri kematian atau ―thanatos‖ (naluri merusak) adalah naluri yang
ditujukan pada perusakan atau penghancuran terhadap apa yang sudah
ada (organisme atau individu itu sendiri). Freud mengajukan gagasan
mengenai naluri kematian berdasarkan fakta yang ditemukannya bahwa
tujuan semua makhluk hidup atau organisme adalah kembali pada
tujuan organis. Dengan kata lain, tujuan seluruh kehidupan adalah
kematian, tetapi naluri menurut Dutton, hanya diperoleh dalam
perkembangan atau dikembang sendiri oleh manusia, dan hal ini bisa
bersifat evolusi (lambat) dan revolusi (cepat).

9
Dutton, Denis. 2009. The Art Instinct: Beauty, Pleasure, and Human Evolution.
New York: Bloomsbury Press Lihat juga: http://www. nytimes.
com/2009/02/01/books/review/
Gottlieb-t. html?_r=0, teori Dutton ini juga sudah di filemkan, lihat di internet.
49
2. Teori Dutton: Perkembangan Naluri Estetik
Manusia
Buku The Art Instinck adalah titik balik dari teori estetika dan seni,
yang mengkaji seni dari segi evolusi naluri manusia. Menurut
Kingsbury Justine 10, Denis Dutton ini sebenarnya dimaksudkan untuk
memprovokasi (memancing perhatian), sebab dia berbicara tentang
naluri manusia untuk menjelaskan seni, misalnya untuk penciptaan
musik Bach B minor atau lukisan Guernica Picasso, tetapi timbul
pertanyaan, bagaimana bisa menjelaskan apresiasi kita terhadap
kecemerlangan karya-karya seni? Sebab kreasi seni dan apresiasi seni
tampak jauh dari jenis kegiatan (naluri) seperti seks orang dewasa,
kebuasan sifat hewani dan makanan busuk, dan sebagainya yang kita
anggap sebagai tempat limpahan dorongan naluri seperti teori Freud.
Hal ini terlihat bertentangan dengan pendapat bahwa seni itu adalah
warisan budaya, pengaruh budaya.
Tujuan utama buku Dutton adalah menjelaskan seni dan
pengalaman seni kita dalam kaitannya dengan teori Charles Darwin
tentang evolusi estetik-mungkin tampak aneh. Memang teori evolusi
Darwin telah berhasil diterapkan untuk berbagai bidang kehidupan,
tetapi untuk menerapkannya pada seni tampaknya agak berlawanan.
Seni, dan pengalaman kita tentang hal itu adalah aspek yang kehidupan
manusia tidak luput dari aturan dan bentukan budaya.
Pendapat Dutton, berbeda dengan pendapat bahwa seni itu adalah
dalam manifestasi terbesar dari rasionalitas manusia, kecerdasan dan
kontrol sadar. Dengan demikian, untuk menjelaskan seni dalam hal
naluri universal, bisa tampak sebagai sesuatu istilah yang kontradiktif.
Selain itu, bagi banyak orang pada abad kedua puluh dan dua puluh
satu, gagasan seni dalam lintas-budaya seni yang dipikirkan sebagai
bawaan sifat manusia, mungkin tampak bersifat politis dan
mengganggu sifat keintelektualan seni. Namun, buku Dutton adalah
upaya berkelanjutan untuk menghilangkan prasangka tersebut.

10
Dr. Justine Kingsbury, BA(Hons), MA VUW, PhD Rutgers, adalah Dosen,
University of Waikato, Canada, Faculty of arts & Social Sciences, menulis tentang
(R)evolutionary Aesthetics: Denis Dutton‘s The Art Instinct
50 Nasbahry Couto & Indrayuda
Dutton berpendapat estetika itu bukan batu tulis kosong. Estetika
itu dikembangkan, sama seperti reaksi biologis manusia --yang
mengem-bangkan rasa takut kepada ular daripada takut kepada kelinci -
-sehingga (jika estetika itu dikembangkan) kita akan paham, itu akan
dapat membuat lebih mudah bagi kita untuk menghargai karya pelukis
Renoir, dari paada menghargai karya Duchamp. Seperti yang disebut
Dutton dalam bukunya sebagai berikut ini.
Meskipun benar bahwa tertib budaya dan perilaku selera
estetika itu sangat luas, tidaklah selalu berasal dari budaya, yang
dapat memberikan kita rasa untuk segalanya. Sebaliknya, tidaklah
berarti bahwa jika pada masa depan ada tukang pos ditemukan
menyiulkan salah satu baris nada musik Schoenberg dan berarti
bahwa tukang pos itu tidak menghargai keindahan tanpa irama
nada yang teratur. Sebagaimana sifat manusia dan perkem-bangan
estetiknya terbatas budaya dan seni yang dapat dicapainya dengan
kepribadian serta seleranya. (Dutton 2009, 205-206).
Salah satu kontribusi paling penting untuk teori seni dan estetika
adalah ketika Dutton dapat menemukan dan menyusun diskusi tentang
pertanyaan 'apa itu seni? " "Dia menawarkan satu set' kriteria' dengan
dua belas aspek yang menurutnya, adalah definisi seni dan pengalaman
estetik berikut ini.
a. Kesenangan langsung (direct pleasure). Objek seni-narasi cerita,
artefak kerajinan atau karya visual dan aural -dengan sendirinya
dihargai sebagai sumber kesenangan pengalaman langsung, dan
pada dasarnya tidak untuk utilitas, memproduksi sesuatu yang lain
yang baik berguna atau menyenangkan.
b. Keterampilan dan keahlian (skill and virtuosity). Pembuatan objek
atau kinerja membutuhkan dan menunjukkan latihan keterampilan
khusus.
c. Gaya (style). Objek dan pertunjukan dalam segala bentuk seni yang
dibuat dalam gaya dikenali, menurut aturan bentuk, komposisi atau
ekspresi tertentu.
d. Kebaruan dan kreativitas (novelty and creativity). Seni dihargai dan
dipuji untuk pembaharuan, kreativitas, orisinalitas, dan kapasitas
memberi kejutan kepada penontonnya.

51
e. Kritik (criticism). Bentuk artistik yang ditemukan dinilai dan
diapresiasi dengan beberapa jenis bahasa kritis, bahasa yang
sederhana, lebih luas atau terperinci.
f. Representasi (representation). Penggambaran dalam berbagai
tingkatan naturalisme objek seni, termasuk patung, lukisan, dan
narasi lisan dan tertulis, dan kadang-kadang bahkan musik,
mewakili atau meniru pengalaman nyata dan imajiner dari dunia.
g. Khusus fokus, (specific focus). Karya seni dan pertunjukan seni
cenderung membingkai atau mengurung hal-hal yang terdapat pada
kehidupan biasa, membuat menjadi terfokus pada sesuatu yang
terpisah dan didramatisasi dari pengalaman manusia.
h. Ekspresi individualitas (expressive individuality). Potensi untuk
mengekspresikan kepribadian individu umumnya dalam praktik
seni disembunyikan atau tersembunyi, kadang hal itu tidak
sepenuhnya tercapai.
i. Saturasi emosional (emotional saturation). Dalam berbagai tingkat,
pengalaman karya seni yang dikuakkan melalui dengan emosi.
j. Tantangan Intelektual. Karya seni cenderung dirancang dengan
memanfaatkan berbagai gabungan dari kapasitas persepsi dan
sepenuh-nya dari intelektual manusia, memang karya-karya terbaik
diciptakan melampaui batas hal-hal yang biasa.
k. Seni tradisi dan lembaga (art traditions and institutions). Seni
benda dan pertunjukan, seperti banyak dalam berskala kecil budaya
lisan seperti dalam peradaban terpelajar, diciptakan dan ke tingkat
penting yang diberikan oleh tempat mereka dalam sejarah dan
tradisi seni mereka.
l. Pengalaman imajinatif (imaginative experience). Akhirnya, dan
mungkin yang paling penting dari semua karakteristik dalam daftar
ini, benda-benda seni pada dasarnya memberikan pengalaman
imajinatif baik bagi produsen atau audiensnya.

Kriteria klaster Dutton ini berfungsi sebagai prinsip-prinsip dasar


yang dapat menilai status berbagai objek atau tindakan seni. Orang
mungkin bertanya-tanya apakah ini seperangkat kriteria yang bermakna
bebas atau ruang lingkup konsep seni dalam arti apa pun. Jawaban atas
pertanyaan ini harus tegas. Keuntungan menawarkan cluster-definisi

52 Nasbahry Couto & Indrayuda


justru itu tetap fleksibel dan cair. Menurut Hannah Rose Burgess11
klaster-kriteria Dutton yang ditawarkannya itu adalah masuk akal,
berguna dan mencerahkan kita. Misalnya ketika Dutton menerapkan
kriteria untuk karya Fountain dari pelukis Marcel Duchamp (1917)
dalam upaya untuk menetapkan status seni (Bab 8). Upaya penulis
untuk mendefinisikan seni adalah baik, berani, dan mengagumkan.
Nilai terbesar dari langkah tersebut tidak mungkin terletak definisi seni
itu sendiri, tetapi perdebatan dalam tentang hal yang pasti akan terjadi.
Mungkin fitur terbaik dari buku karangan Dutton The Instinct Art
(2009) adalah kemajuan yang signifikan yang mediskreditkan gagasan
bahwa seni adalah budaya relatif. 12 Beberapa akademi yang progresif
mengadopsi pandangan ini (budaya relatif), tetapi banyak dari wujud
konsep ini menjadi semu atau mudah jatuh ke tautologi (pengulangan
kata tetapi maknanya kabur). Konsep naluri seni mengambil sikap tegas
terhadap budaya relatif ini. Dutton menjelaskan dalam bukunya dengan
judul „But They Don‟t Have Our Concept of Art‟ ("Tetapi Mereka
Tidak Memiliki Konsep Seni Kami') (bab 8) adalah, dalam bagian ini.
Dutton menulis dengan argumen logika yang kuat untuk
mengungkapkan inkoherensi bentuk pandangan ini. Potongan yang
sangat baik dan bernalar terjadi dalam diskusi Dutton dengan
antropolog Joanna Overing 13 yang mengklaim bahwa 'kategori estetik
hanya khusus untuk era modern', yang dengan sendirinya ' memiliki
kesadaran tertentu dalam seni' („a specific consciousness in art‟).
Joanna Overing beragumen lebih lanjut bahwa '"estetika" adalah sebuah
konsep borjuis dan elitis dalam arti sejarah yang paling literal, menetas

11
Tentang Hannah Rose Burgess, lihat http://denisdutton. com/burgess_review. pdf
12
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif. Sejalan
dengan arti katanya, secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan
manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat,
melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya. Sebagai paham dan pandangan
etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang
salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Ajaran
seperti ini dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya atau oleh kaum
Skeptik. Lihat Wikipedia, dan lihat pula karangan Lafayette Ronald Hubbard,
tentang Dianetics: The Modern Science of Mental Health, Battlefield Earth
13
Lihat diskusi Duttn dengan Overing dalam http://denisdutton. com/weiner_review.
htm
53
dan dipelihara dalam pencerahan rasionalis' (Dutton, 2009: 65). Dutton
kemudian memberikan respon sebagai berikut ini.
―it is striking how even writers who would reject ‗our‘
intuitions as shot through with a bourgeois ideology or
ethnocentrism, and who would prefer to stipulate de nitions for their
own theoretical purposes, are themselves reliant on the very
intuitions they repudiate. Overing‘s argument by stressing ‗the
hidden dangers‘ for anthropologists of bringing concepts of western
aesthetics ‗totask of understanding and translating other people‘s
ideas about the beautiful‘ is reduced to contradiction and
incoherence. She cannot have it both ways: on the one hand denying
that aesthetics is a cross-cultural category, while on the other hand
affirming that ‗other people‘ also have ‗ideas about the beautiful‘
(hal. 67).
Hal itu sangat mencolok, bagaimana penulis akan menolak
(konsep) intuisi 'kami' yang ditembak melalui ideologi borjuis atau
etnosentrisme, dan siapa yang akan lebih memilih untuk
menetapkan definisi untuk tujuan teori mereka sendiri, hal itu
bergantung pada intuisi yang mereka tolak. Alasan Overing yang
menekankan 'bahaya tersembunyi' bagi antropolog yang membawa
konsep estetika Barat 'untuk tugas memahami dan menerjemahkan
ide-ide orang lain tentang keindahan' akan berkurang dan menjadi
kontradiksi dan inkoherensi. Dia tidak bisa mendapatkan
keduanya:pada satu sisi menyangkal bahwa estetika adalah
kategori lintas-budaya, sementara pada sisi lain menegaskan bahwa
'orang lain' juga memiliki 'ide tentang indah' 14
Untuk pembahasan ini penulis merasa perlu untuk menambahkan
satu titik. Yaitu bahwa teori penilaian estetik tidak diperlukan untuk
menghakimi estetika itu sendiri. Tampaknya Overing percaya bahwa
penilaian estetika tidak bisa menjadi fitur (bagian terpenting) dari
pengalaman manusia sebelum dicerahkan. Dia memberikan sebuah
analogi, tidak ada yang serius mempertahankan teori gravitasi yang
tidak ada sebelum temuan grafitasi oleh Galileo atau teori oksigen
sebelum temuan Joseph Priestley.

14
Is Aesthetics a Cross-Cultural Category? Lihat http://denisdutton. com/weiner_review.
htm
54 Nasbahry Couto & Indrayuda
The Art Instink membahas beberapa topik terpanas dalam teori
estetika modern, termasuk hal-hal yang valid dan menarik niat seniman
untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan seni, dan masalah-
masalah teoretis seputar pemalsuan seni. Tentu saja, masalah menarik
dari tujuan artistik (artistic intention) bukanlah yang baru, melainkan
terus-menerus dan sangat relevan dengan teori-teori kontemporer
penulisan seni serta teori sastra.
Dutton membahas kasus pentingnya memahami tujuan seniman
(artist intention). Walaupun hal ini kurang jelas, Dutton menjelaskan
tujuan seni dan ada kontribusinya. Apakah pemahaman kita tentang
sebuah karya, apresiasi kita terhadap pekerjaan atau respon estetik dari
pekerjaan kita yang ditingkatkan melalui pengetahuan tentang tujuan
seniman? Dutton mengklaim bahwa 'Hal ini tidak akan sampai pada
interpretasi yang sewenang-wenang untuk memaksakan sebuah
kesepakatan untuk menghasilkan interpretasi yang menempatkan kerja
itu sebagai yang terbaik' (Dutton, 2009: 171).
Suatu keberatan yang agak terkenal pentingnya tujuan artistik perlu
diperhatikan. Ini menyangkut kesenjangan antara tujuan dan hasil.
Banyak seniman mungkin bertujuan agar karya-karya mereka menjadi
estetis dan menyenangkan, dan bahkan mungkin inovatif. Niat tersebut
jelas banyak yang tidak terpenuhi. Seorang seniman mungkin berniat
pekerjaan mereka untuk menjadi cantik, tetapi bisa saja respon orang
tidak merasa begitu, niat artis tidak dapat mengubah respon kita.
Argumen Dutton ini meremehkan pentingnya respon subjek untuk
melihat seni.
Hal terpenting dari teori naluri seni adalah diskusi Dutton tentang
kemungkinan estetika penciuman (bau). Penulis berpendapat
kemungkinan penciuman menjadi media untuk 'tradisi seni besar'. Dia
menarik bagi klaim Monroe Beardsley bahwa masalah untuk
kemungkinan bau sebagai medium artistik adalah bahwa bau tidak
memiliki 'intrinsik hubungan' yang ada di antara mereka. Bau dapat
disistematisasi dan memang sudah ada sejak zaman Mesir. Bau itu
sekarang dapat diklassifikasikan ke dalam enam kelas utama, yaitu bau
manis, bau harum, bau buah, bau busuk, bau pedas dan bau cat
(terebenthene). Dutton memandang bahwa benda-benda berbau yang
aneh tanpa emosi intrinsik dari jenis yang tampaknya melekat dalam

55
struktur musik atau bentuk ekspresif dari warna lukisan' (hal. Dutton,
2009: 212).
Dutton menyatakan bahwa bau yang tidak emosional ekspresif
seperti musik bahwa mereka mirip kemampuannya dengan warna.
Merah mungkin menandakan kebencian, gairah, amarah, cinta -atau
semua ini. Warna itu kuat menggugah tetapi tidak khas dalam
membangkitkan emosi-emosi manusia. Demikian pula, bau darah
manusia dapat memusingkan dan memicu respons emosional yang tidak
spesifik, tetapi kuat -mungkin akan memancing rasa takut atau
kekhawatiran. Bau roti dipanggang dapat membangkitkan perasaan
kebahagiaan. Bau dapat sangat menggugah emosi. Pembahasan Dutton
penciuman akan dapat memprovokasi dialog lebih lanjut dan
menjelajahi daerah baru yang menarik dari instinct art aesthetics.
Menurut Kingsbury Justine15 ada banyak buku dan tulisan yang
membahas the instinct art seperti yang ditulis Dutton, dan hampir
seluruhnya ditulis dengan baik, menghibur dan informatif. Antusiasme
Dutton untuk subjeknya dapat menular ke pemikir/penulis lain, tetapi
ada sesuatu pengecualian sebab tulisan Dutton tentang seni dikaitkan
dengan seleksi alam dan biologis namun, teori ini akan macet dalam
diskusi jika membahas tentang adaptasi terhadap produk-produk yang
bersifat membingungkan. Bagaimana pun, teori Dutton ini akan
menginspirasi lebih banyak pekerjaan yang mirip dengan topik ini:
dalam hal apa pun, itu pasti berhasil dalam tujuan keseluruhan untuk
meruntuhkan pandangan bahwa seni tidak ada hubungannya dengan
biologi.

Penutup
a. Ada perbedaan antara naluri manusia dan hewan. Naluri hewan itu
menetap, sedangkan naluri manusia berevolusi (sesuai dengan teori
Dutton). Naluri yang dimaksud oleh Freud tidak sama dengan yang
dimaksud Dutton.
b. Teori warisan budaya dan pemeliharaan budaya (yang menurut
Dutton bersifat politis), jelas bertentangan atau tidak relevan
dengan teori ini.

15
Justine Kingsbury adalah dosen filsafat di University of Waikato, Selandia Baru.
56 Nasbahry Couto & Indrayuda
c. (catatan untuk butir 2) Jika kita mengikuti teori kelembagaan
(intitusional George Dicky dan Howard Saul. Becker dengan teori
interaksionalnya), jelas yang berperan dalam mematrikan budaya
itu adalah lembaga dalam masyarakat, dunia pendidikan dan
pemerintah dengan aktor-aktornya (lihat Bruno Latour). Akan
tetapi teori lembaga lama ("Old institutionalism") ini memusatkan
perhatian hanya pada norma. teori ini telah diperbarui (new-
institusionalism) oleh DiMaggio dan Powell (1991). DiMaggio
(1991) memperkenalkan neoinstitutional theory yang dipengaruhi
pemikiran Max Weber dan Herbert Simon yaitu munculnya
organizational fields yang lalu membatasi perilaku aktor. Artinya
peran kelembagaan dalam seni, --jika kita mengikuti pemikiran
baru ini--lebih rumit dari yang dibayangkan orang, apalagi
kemudian Bourdeau (dengan teori areanya) lebih menjelaskan
peran lingkungan terhadap munculnya seni dan seniman. (lihat
baba selanjutnya).
d. Nampaknya teori Dutton ini, lebih bernada universal sebab
menerobos batas-batas budaya. Misalnya, siapa yang dapat
menjamin bahwa seseorang dapat mengembangkan naluri seni
secara evolusi terhadap musik klassik Eropa? daripada seni budaya
Jawa atau lagu dangdut?
e. Kita mempunyai pancaindra sebagai alat persepsi, ekspresi,
komunikasi yang utama dalam hidup. Akan tetapi mengapa yang
berkembang hanya mata dan telinga (seni musik dan rupa/visual)
sebagai alat ekspresi seni. Pertanyaan ini dijawab (dari premis
Dutton) berdasarkan teori evolusi. Jika kita mengembangkan seni
bau dan raba sebagai alat ekspresi, dapat dibayangkan, misalnya
akan ada pameran kentut atau bau ketiak sebagai alat ekspresi.
3. Kajian Khusus tentang Logika dan Naluri Manusia
dalam Film
Kajian film, bila ditinjau sebagai disiplin ilmu yang bernaung di
bawah payung studi media atau ilmu humaniora, relatif masih sangat
muda umurnya. Kajian film mulai terbentuk pada dekade antara tahun
1960 dan 1970, ketika itu cara menonton kritis mulai menjadi buah
bibir pada beberapa universitas bergengsi di Eropa Barat dan Amerika
Serikat. Meskipun muda sebagai kajian akademik, teori mengenai film
57
sendiri sudah eksis terlebih dahulu, hampir sama tuanya dengan umur
medium film itu sendiri. Teori ini memiliki cakupan konsep yang
berbeda-beda dan saling melengkapi satu sama lain dalam rangka
mendekati film sebagai objek studi tersendiri. Tulisan ini bertujuan
untuk menguraikan secara ringkas berbagai pendekatan, teori dan
konsepsi yang telah dilahirkan oleh para akademisi film pada sepanjang
abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Tentu saja tulisan ini belum begitu
lengkap dalam menjelaskan kompleksitas permasalahan film. Namun,
diharap bisa menghadirkan ikhtisar yang jelas mengenai perkara
metodologis dan epistemologis, sehingga kajian film bisa diterima
sebagai salah satu objek intelektual ilmu humaniora. 16
Ada begitu banyak cara untuk mempelajari film, ada yang runyam
ada pula yang sederhana, baik secara teoretis atau metodologis. Richard
Dyer dalam bab pendahuluan dari buku The Oxford Guide to Film
Studies memperkenalkan dua pendekatan dan arena perhatian yang
membingkai tiga aktivitas penting dalam mempelajari film: teori film,
kritisisme film, dan sejarah film. Dua pendekatan yang Dryer sebutkan-
-yang membentuk teori-teori film--terdiri atas (1) wacana formal-estetik
yang menitikberatkan pada aspek formal dari film sebagai sebuah art
form dan (2)wacana kritik yang menitik-beratkan pada aspek ideologi
sosiokultural
Bahwa di antara kedua aktivitas ini, ada satu aktivitas menarik
lainnya yang ramai menjadi pusat perhatian, yakni pola hubungan
antara film dan penontonnya. Hubungan ini berkonsentrasi pada
penonton sebagai subjek psikologis dan menonton sebagai pengalaman
subjektif yang bertempelan erat dengan kegiatan memahami,
menyimpulkan, dan bereaksi melalui sensasi yang ditimbulkan oleh
pengalaman menonton, yang dapat menyebutnya sebagai wacana
psychological-experiential.
Akhirnya, aliran kognitif yang diprakarsai Bordwell, dkk. terkait
dengan cakupan yang lebih luas meliputi perkembangan ilmu psikologi
yang ‗menyusup‘ masuk ke dalam kajian seni dan sastra sepanjang lima

16
Tulisan ini aslinya dalam bahasa Inggris, dengan judul: Film Studies and Film
Theory: Mapping Out the Complex Terrain From Russian Formalism to the
Cognitive Approaches. Diterjemahkan oleh Makbul Mubarak. Naskah aslinya dari
situs Ari Ernesto Purnama: http://cinemapoetica. com/esai/memetakan-
kompleksitas-kajian-dan-teori-film
58 Nasbahry Couto & Indrayuda
belas tahun terakhir. 17 Psikologi evolusioner (evolutionary psychology)
telah menjadi semacam alat bantu yang begitu mumpuni bagi ilmuwan
sastra dan sinema untuk memetakan pola aktivitas manusia ketika
sedang bergumul dengan pengalaman naratif, baik itu film atau karya
sastra. Psikologi dan biologi evolusioner membantu para ilmuwan
dalam memahami fungsi, meminjam istilah Terrence Deacon, ‗aesthetic
faculty‘ seturut sejarah kaum Homo sapiens.
Dengan memahami dan menggali psikologi dan biologi
evolusioner tersebut, fenomena alam pikiran seperti emosi,
kenyamanan, metarepresentasi, dan hubungannya dengan kajian film
dan sastra seperti identifikasi, ketegangan dan keterkejutan, bisa
dijelaskan dengan cara menelusuri evolusi otak manusia yang sudah
dipelajari sejak lima puluh ribu tahun yang lalu. 18
Dalam kajian film, ilmuwan yang terkenal getol mempelajari
hubungan antara film dan cara kerja otak manusia adalah Joseph D.
Anderson. Dalam The Reality of Illusion, Anderson menjelaskan bahwa
proses mengakses film berbanding lurus dengan persepsi ekologis
manusia sebagai makhluk yang dipandang senantiasa bergerak oleh
lingkungannya. 19Anderson tergelitik untuk mendalami paradoks
sinematik berupa kapasitas film untuk menghadirkan realitas dan pada
saat yang sama membantah realitas itu sendiri: “Why does movie seems
so real? But why do the spokes of a wheel turn backward?” (hingga
kemudian judulnya menjadi sangat paradoks ―The Reality of Illusion‖).
Anderson tidak mau repot-repot dengan perdebatan panjang
realisme versus formalisme. Ia memilih untuk masuk langsung pada
masalah ilusi realitas dalam pengalaman-pengalaman filmis, tentu saja
melalui term ekologis yang menjadi khasnya. Ekologis dalam artian
bahwa Anderson selalu menempatkan pengalaman menonton film
sebagai pengalaman yang bersifat biologis dan alamiah.

17
Brian Boyd, Joseph Carroll, dan Jonathan Gottschall, Evoluton, Literature and Film:
A Reader (New York: Columbia University Press, 2010) hal. 1-20.
18
Mark Tunner, The Artful Mind: Cognitive Science and the Riddle of Human
Creativity (Oxford: Oxford University Press, 2006); Dennis Dutton, The Art
Instinct: Beauty, Pleasure & Human Evolution (New York: Bloomsbury Press,
2009).
19
Joseph D. Anderson, The Reality of Illusion, hal. 1-15.
59
“the perception and comprehension of motion picture is
regarded as a subset of perception and comprehension in general,
and the workings of the perceptual systems and the mind of the
spectator are viewed in the context of their evolutionary
development. “20
Bagi Anderson, teori ekologi film bisa bekerja karena ia membawa
unsur investigasi ke dalam bentuk hubungan yang paling dasar, yakni
interaksi antara penonton dengan gambar dan suara pada layar. 21Hal ini
berkaitan erat dengan bagaimana kita memperlakukan gambar dan
suara di situ. Hal yang menarik adalah bagaimana otak manusia ‗ditipu‘
sehingga apa yang tampak pada layar akan disangka sebagai realitas, di
sini letak persis ilusinya. Anderson menjelaskan bahwa ilusi ini bekerja
melalui mekanisme yang sifatnya evolusionis. Anderson menjelaskan
bahwa sistem penginderaan manusia berangkat dari sistem
penginderaan mamalia, yang dikontrol oleh satu prinsip organisasi yang
disebut veridicality. Prinsip veridicality kurang lebih menekankan
bahwa persepsi manusia akan dunia haruslah berada sepersis mungkin
dengan perkiraan manusia itu sendiri akan dunia. Harus sama antara
yang ia perkirakan dan yang ia terima sebab apabila tidak,
konsekuensinya bisa berujung pada resiko biologis yang paling fatal:
kegagalan reproduksi. Ketika seekor buruan tidak bisa merasakan
keberadaan pemburu, ia tidak akan bisa menghindari terkaman, ia akan
mati dan kesempatan untuk berkembang-biak akan raib. Demikian pula
dengan sang pemburu, bila ia tidak bisa merasakan keberadaan
mangsanya, ia tidak akan bisa makan, ia akan mati, dan tidak bisa
punya keturunan. Punah.
Anderson mendeteksi adanya paradoks yang menawan dalam
spesies manusia. Meskipun manusia berkelakuan dan berkembang
seiring prinsip veridicality (yang dalam hubungannya dengan seni
visual tidak berdasar pada tujuan, tetapi hasil)22, manusia seringkali
mengalami ilusi. Ilusi ini terjadi hanya ketika manusia dalam keadaan
sadar. 23 Lain halnya dengan bermimpi (pengalaman kontra-veridikal

20
Joseph D. Anderson, The Reality of Illusion, sebagaimana dikutip dalam Boyd,
Carroll, dan Gottschal (2010), hal. 252-253.
21
Ibid, hal. 253.
22
Ibid, hal. 256.
23
Ibid
60 Nasbahry Couto & Indrayuda
yang terjadi saat tidak sadar) atau halusinasi (pengalaman kontra-
veridikal yang dipengaruhi obat-obatan), ilusi muncul ketika manusia
tepat berada pada titik kesadarannya. Anderson merujuk pada teknologi
3-D, gambar diproyeksikan pada medium dua dimensi, lalu ditayangkan
di hadapan manusia. Manusia akan berkali-kali menerima ilusi bahwa
sesuatu tengah bergerak ke arahnya dan sebagainya, sebenarnya tidak.
Sinema bisa menghadirkan ilusi yang bersifat paradoksal terhadap
prinsip penginderaan manusia atas realitas. 24Fenomena ini tidak
kelihatan dan selama ini selalu dianggap taken-for-granted; dan
naasnya selalu dihindari oleh para ilmuwan.
Anderson menyimpulkan bahwa dengan mempelajari ‗keberaturan
pengalaman‘, mendalami teori evolusi sebagai penjelasan alamiahnya,
dan bagaimana keteraturan, seringkali melahirkan anomali. Seperti
pada teknologi 3-D, kita dimungkinkan untuk mendapatkan rules.
Dengan adanya rules, kita bisa lebih memahami bagaimana alam
pikiran manusia berinteraksi dengan gambar bergerak.
Ilmuwan film Denmark Torben Grodal memperkenalkan
pendekatan kognitif-evolusioner ke dalam kajian film. Dalam
Embodied Visions: Evolution, Emotion, Culture, and Film (2009),
Grodal mengemukakan beberapa poin yang dipengaruhi oleh
paradigma bio-kulturalis. Kondisi biologis dan kultural manusia sangat
mempengaruhi cara mereka dalam mencerap pengalaman sinematik.
Oleh karena itu, ia disebut ‗bio-kultural‘. Latar belakang biologis kita
mempengaruhi bagaimana perlakuan kita terhadap jenis film yang
berbeda, mulai dari horor sampai fiksi ilmiah. Sementara atribut
kultural menjelaskan mengapa ada tema-tema film tertentu yang bisa
disukai oleh hampir semua orang pada hampir semua tempat.
Dalam rangka mencapai kesimpulannya, Grodal menerapkan
model penelitian sintesis berupa penggabungan berbagai disiplin ilmu
mulai dari neurologi, teori film, teori evolusi, dan psikologi kognitif. Ia
mengadopsi tonjolan-tonjolan tertentu dari empat disiplin tersebut
sehingga melahirkan pencapaian yang mengagumkan di bidang media
dan estetika. Ia menggabungkan dua hal yang selama ini kelihatan tidak
mungkin bisa disambung-sambungkan: sejarah kultural dan evolusi
otak manusia.

24
Ibid
61
Grodal memperkenalkan PECMA (Perception-Emotion-
Cognition-Motor Action) sebagai sebuah model pengalaman estetis.
PECMA menjelaskan bagaimana arus informasi yang masuk ke otak
melalui film dirasakan manusia sebagai pengalaman yang estetik,
mengapa beda rasanya menonton film art dan menonton film naratif
mainstream. Ia berpendapat dua macam film itu menggugah melalui
pemberian makna artistik yang berbeda. Ketika menonton film art, kita
dihadapkan pada peta makna yang permanen, sedangkan film naratif
mainstream lebih bersandar pada makna yang sementara (transient),
makna yang terus berubah seiring perubahan dari hari-kehari
penontonnya. Pengalaman keseharian atau pengalaman here-and-now
akan sangat berpengaruh pada frekuensi makna yang masuk melalui
PECMA.
Tidak semua pengalaman kita seperti ini, jelas Grodal, ada juga
bentuk pengalaman yang melibatkan proses pemaknaan dalam level
yang lebih rendah. Level yang rendah ini memungkinkan
berlangsungnya skema berpikir abstrak yang cenderung menghasilkan
makna permanen sebab manusia didukung untuk kembali merujuk pada
pengalaman masa lalunya, lalu membentuk skema-skema pemahaman
tertentu. Kemampuan inilah yang memungkinkan manusia untuk
melampui sekedar makna sementara.
Dalam kesimpulannya, Grodal mengatakan bahwa level tertinggi
kesenian –dalam artian film art-akan hadir dalam wujud yang
sesubjektif mungkin. Makna yang hadir akan bersifat permanen, kekal
atau bahkan spiritual. 25 Kontribusi Grodal sangatlah besar untuk kajian
film, ia membuktikan bahwa mengkaji film bisa dilatarbelakangi oleh
epistemologi berbagai macam disiplin. Grodal tidak pernah
menganggap kognitifisme sebagai ancaman bagi kajian film, tetapi
sebagai kawan untuk dirangkul dalam rangka menyibak berbagai
pesona sinema untuk kemudian dinikmati umat manusia di seluruh
dunia.

Penutup

25
Torben Grodal, ―Art Film, the Transient Body, and the Permanent Soul, ‖
dalam Embodied Visions: Evolution, Emotion, Culture and Film (Oxford: Oxford
University Press, 2009), hal. 205-228.
62 Nasbahry Couto & Indrayuda
Teori film sebagai salah satu tiang utama penyokong kajian film
disamping sejarah dan kritisisme film, telah berkembang ke dalam
kompleksitas yang mencengangkan, begitu banyak puncak dan ceruk.
Kompleksitas ini tidak pelak membuat kajian film menjadi ranah yang
begitu serius dan beragam. Setiap teori dan pendekatan pasti punya
kekurangan. Tidak ada satu yang pantas disebut sebagai yang terbaik.
Namun, ada beberapa pendekatan yang lebih konstruktif dalam
membangun pengetahuan baru mengenai film dan kaitannya dengan
pengalaman menonton.
Interpretasi, sebagaimana banyak sekali digunakan oleh para
teoretisi dan kritikus film. Sebaiknya, tidak mengesampingkan
pendekatan teoretis lainnya. Banyak sekali bentuk kritik interpretatif
yang mendasarkan diri pada pembacaan a priori seperti psikoanalisis
Lacanian atau varian keturunan Marxis-Althusserian, yang dengannya
teorisasi film menjadi begitu bergantung pada diskursus yang dianut
sang penganalisis. Dampaknya, film hanya menjadi sebatas alat untuk
membenarkan ideologi-ideologi ilmiah tertentu, entah ia nanti dinilai
sebagai produk masyarakat yang sakit atau apa pun. Intinya, film di
sana tidak dilihat sebagai film.
Setiap ilmuwan dan kritik film punya kebebasan dalam memilih
pendekatan yang akan ia gunakan untuk mencapai tujuannya. Dengan
catatan ia harus senantiasa bisa membuktikan bahwa pendekatan
mereka itu menunjukkan pola yang secara konsisten dapat menjelaskan
mekanisme dari sebuah fenomena, tidak hanya berlaku sesaat dan
berbasis asosiasi yang subjektif. Beberapa kali, paradigma interpretatif
yang penulis sebutkan tadi tercatat gagal memberikan bukti-bukti
empiris sehingga kontradiksi tidak kuasa dihindari. Historical
poetics/cinematic poetics/neoformalis dan pendekatan film kognitif
menghindari pencatutan a priori atas film. Mereka senantiasa menggali
bukti, baik dari dalam film itu sendiri (unsur yang terkandung dalam
gaya penyampaian dan naratif) maupun konteks historis film itu dibuat.
Pendekatan kognitif dan bukti-bukti empiris bisa mengiringi studi
sinema menyangkut hubungannya dengan alam pikiran dan respon
penonton (seperti emosi, ketegangan, identifikasi dan kenyamanan)
selama menonton. Melalui perspektif ini, kita bisa membangun
pengetahuan yang lebih sehat, konstruktif, dan berguna mengenai

63
sinema yang hingga kini masih memesona para penontonnya dari
semua belahan dunia.

Goguen (2000) mempertanyakan apakah seni itu? Apa itu


kecantikan? Bagaimana keduanya dapat terhubung? Bagaimana hal itu
disadari? Bagaimana dengan kebenaran? Dapatkah sains membantu
menerangkan masalah semacam ini? Karena pertanyaan-pertanyaan
seperti ini seakan pergi ke pusat konflik terkini dari sistem nilai Barat
sebab menurut Goguen, orang Barat tidak mungkin untuk memberi
jawaban yang pasti, tetapi mereka masih sangat perlu ditelusuri -yang
justru adalah tujuan dari tulisan ini, dengan perhatian khusus pada
hubungan antara seni dan ilmu pengetahuan. 26
1. Apa Seni itu?
Esai terakhir dari pelukis Perancis Paul Gauguin adalah tentang
pentingnya pertanyaan what is art?‘. Namun, jika kita menelusuri
kamus-kamus akan terdapat kata-kata sinonim seni seperti seni adalah
'artefak', 'artisan/tukang', 'buatan manusia' dan 'tulisan‘ mungkin
menyarankan 'seni' yang merujuk pada arti skill semata-mata yang
dibangun oleh manusia seni, tetapi menurut Goguen (2000), seniman
sendiri telah mendorong batas-batas dari setiap definisi tersebut,
sehingga menantang kecurigaan kita, dan mengenyampingkan apa yang
disebut filsuf, psikolog dan kritikus – dan untuk tidak mengatakan apa-
apa tentang seni.

Benda Siap Pakai (Readymade) sebagai Seni


Menurut Goguen (2000), makna seni ditemukan pada benda 'seni
siap pakai/readymade', yang menantang peran seniman sebagai
konstruktor seni. Contoh yang terkenal adalah tempat kencing atau
urinoir karya Marchel Duchamp, yang disodorkan pada Pameran New

26
Naskah aslinya disadur dari tulisan Goguen, Joseph A, What Is Art?, dari Journal of
Consciousness Studies, 7, No. 8–9, 2000, pp. 7–15, diunduh dari http://www.
imprint. co. uk/pdf/Introduction. pdf
64 Nasbahry Couto & Indrayuda
York Society of Artists Independen tahun 1917. Seniman Marchel
Duchamp mengambil tempat kencing, lalu menandatanganinya dan
menyodornya sebagai karyanya.
Perbuatan ini telah menimbulkan kontroversi yang besar, sehingga
ditentang oleh Dewan Pengawas Seni saat itu (tetapi sampai sekarang
bukan tidak diakui). Memang objek ini memiliki bentuk yang mulus,
yang mengikuti fungsinya dalam cara yang paling logis. Namun,
agaknya hal ini akan menyinggung perasaan kalangan papan atas
daripada bentuk karya itu sendiri atau hal ini telah meringankan peran
seniman untuk dapat mencomot benda apa saja dapat menjadi benda
seni.
Contoh lain adalah karya Warhol berjudul Kaleng Sup
―Campbell‖, kemudian hewan mati yang ditanam Damien Hirst yang
mengambang dalam tangki besar sebenarnya melanjutkan tradisi yang
mengacaukan konsep seni kaum borjuis, tetapi memperbesar peran
seniman untuk memasukkan dan memamerkan berbagai konfigurasi
benda seperti batu, pohon, dan tali (banyak seniman telah mengikuti
jalur ini, misalnya, Barry Flanagan).

Gambar 5. Karya Warhol berjudul kaleng sup “Campbell” (http://www.


kelleydawkins. com/2012/10/25/picasso-to-warhol-14-modern-masters/)

Seni lingkungan mendorong batas-batas definisi seni dengan


menempatkan seni di luar museum, di lingkungan (lebih) alami. Contoh
terkenal termasuk earth works (karya bumi), misalnya, oleh Robert
Smithson atau seniman Christo yang membungkus bangunan. Pada
dasarnya, seni konseptual menantang materialitas seni dengan
menggunakan bentuk-bentuk fisik yang mungkin mereka sendiri relatif

65
menjemukan atau bahkan membosankan, seperti tangan-berhuruf
posterboards, mungkin menyarankan sebuah konsep atau
rekonseptualisasi dari situasi yang ada.
Selain itu, terdapat tradisi, seperti seni pertunjukan dan seni tubuh
(body art) yang memberikan peran baru bagi artis. Sebagai bagian dari
karya seni, dan usaha mereka untuk menentang ide-ide tentang batas-
batas seni saat ini, antara lain menggabungkan berbagai bentuk seni,
misalnya, antara teater dan seni visual atau antara musik, sastra dan
teater.
Sebagai contoh dalam tampilan grup LMFAO yang berjudul single
Party Rock Anthem, menggabungkan antara musik dan dance shuffle
(sejenis tarian baru dalam musik pop)

Gambar 6. Electronic/dance/fratbro duo LMFAO release their single Party


Rock Anthem. ( http://popculturetea. wordpress. com/2012/
06/29/the-trajectory-of-party-rock-anthem/)

Kita mungkin mempertimbangkan seni fashion tinggi (hight


fashion), video game interaktif, grafiti (grafis tembok jalanan), mebel
antik, website, dan lain-lain sebagai karya seni.
Juga tidak boleh dilupakan bahwa pandangan orang
nonbarat/eropah bisa sangat berbeda dari seni Barat. Misalnya,
kebanyakan masyarakat tradisional di timur tidak membedakan antara
seni dan kerajinan. Mungkin tidak akan ditunjuk seorang spesialis yang
teratur dan eksklusif melakukan tugas-tugas seni dan kerajinan tersebut.
Selain itu, seni dan kerajinan sering menyatu dengan agama.
Di Jepang, seni bonsai adalah seni susunan bebatuan, tanaman dan
air telah mencapai tingkat yang sangat canggih dalam pembangunan
dan pemeliharaannya. Sering usianya telah ratusan tahun, dari bentuk-
bentuk taman/kebun, tradisi mengatur bunga ('ikebana') dan penanaman
66 Nasbahry Couto & Indrayuda
pohon miniatur (bonsai) nampaknya relevan sebagai sebutan seni
(dalam pengertian Barat), dan pada saat ini memiliki popularitas yang
cukup besar di Barat. Bentuk lain dari jarak antara seni dan seniman
berasal dari operasi bebas dan acak. Misalnya, dalam literatur terkenal
teknik ―cutups” William S. Burroughs 'dalam novel-novelnya (seperti
Naked Lunch, dan lain-lain ), dan penggunaan teknik yang sama dalam
seni oleh Brian Gyson. John Cage (pemusik) mengubah teknik
komposisi musiknya secara bebas, ia sangat disukai atas variasi dari
metode yang digunakannya. Dalam kasus tersebut, peran seniman
menjadi lebih seperti seorang kritikus: yaitu untuk mengevaluasi dan
kemudian memilih sesuatu (lebih bebas) agar lebih superior dari orang
lain. (Tentu saja meninggalkan aturan-aturan seni konvensional
sebelumnya)

Gambar 7. Karya Rober Smithson, Earth Works (Karya Bumi)


berjudul Spiral Jetty, 1970. Photo: George Steinmetz. (http://www. diaart.
org/sites/main/spiraljetty)
Dari semua ini, menurut Goguen (2000), kita harus menyimpulkan
bahwa konteks sosial memainkan peran penting dalam menentukan apa
seni atau bahkan jika itu bukan seni. Jelas tradisi Barat berkembang, ke
titik di mana apa pun dapat disajikan sebagai objek seni, dan di mana
peran seniman tunduk pada variasi pengertian seni yang luas. Selain itu,
ada bukti dari budaya lain bahwa gagasan tentang seni itu tergantung
budaya, sehingga apa yang muncul dalam satu tradisi sebagai meditasi
atau indikasi pemerintahan atau bantuan untuk air minum, mungkin
muncul di museum seninya--sebagai sebuah kasus dalam tradisi lainnya
--tentang seni.

67
Gambar 8. Bio Art, Karya Damien Hirst, hewan mati yang ditanam yang
mengambang dalam tangki besar27 (http://myths-made-real. blogspot.
com/2012_05_01_archive. html)
2. Apa Kecantikan itu (Beauty)?
Menurut Goguen (2000), kecantikan (beauty) sering diambil
sebagai ukuran kualitas seni. Dalam tradisi renaisan, dicontohkan filsuf
Emmanuel Kant bahwa keindahan objek dinilai secara absolut oleh
subjek otonom secara rasional. Menurut Goguen (2000), sejauh
pandangan ini gagal untuk membedakan antara seni dan yang di alam,
hal itu cocok untuk pembubaran batasan ini dalam seni kontemporer,
dan atau pada seni yang lebih umum, dengan pembubaran batas antara
alami dan buatan (atau virtual) dalam kacamata modernisme. Selain itu,
ada relativitas dalam sifat budaya dan sifat seni, dan hal yang tidak
relevan: semuanya adalah seni, dan semuanya tunduk pada penilaian
keindahan dengan cara yang persis sama. Namun, pandangan
27
(Lahir 7 Juni 1965) Seorang seniman Inggris dan yang paling menonjol saat ini,
salah satu anggota kelompok yang dikenal sebagai "Young British Artists" (atau
YBAs), yang mendominasi perkembangan seni di Britania pada tahun 1990-an.
Terkenal sebagai seniman internasional sekaligus sebagai seniman terkaya saat ini.
Kematian adalah suatu tema sentral dalam karya-karya Hirst. Dia menjadi terkenal
karena serangkaian eksperimen dalam karya2nya, di mana bangkai binatang
(termasuk ikan hiu, domba dan sapi) yang diawetkan, terkadang membedah anatomi
binatang2 tsb, untuk mendapatkan nilai2 artistik dari bagian organnya. Hiu harimau
terbenam dalam formaldehida & vitrine menjadi ikon karya seniman Inggris ini pada
1990-an, dan simbol Britart di seluruh dunia. Pada September 2008, karyanya
"Beautiful Inside My Head Forever", di Sotheby's melalui lelang terjual diluar
perkiraan, terjual dengan harga fantastis, yaitu £ 111 million ($ 198 juta), kalau di
rupiahkan kurang lebih sekitar Rp 1, 7 trilyun. memecahkan rekor sebagai artis
lelang. Hirst juga mencatatankan sendiri penjualan karya lain dengan £ 10. 3 juta
untuk The Golden Calf, binatang dengan 18-karat emas tanduk dan kuku, disimpan
dalam formaldehida. Sumber: http://www. hariansobek. com/2010/07/damien-hirst-
seonggok-bangkai-yg. html
68 Nasbahry Couto & Indrayuda
pencerahan dibebani oleh kesulitan lain, misalnya yang muncul dari
diskusi tentang dualitas pikiran-tubuh dan subjek-objek. Isu tersebut
tentu saja sekarang sangat akrab dalam studi kesadaran tentang seni
(consciousness studies).
Karya seni digital, foto biasa yang menjadi luar biasa, Michael
Oswald adalah salah satu digital artist yang sangat terkenal di dunia. Ia
terkenal menciptakan ilusi-ilusi unik yang jarang dilihat orang. Dengan
bantuan aplikasi dan software seperti photoshop, Michael menjadikan
sebuah hasil fotografi biasa menjadi karya seni yang luar biasa28
Mungkin teori paling sederhana dan satu secara luas dipegang
sampai saat ini bahwa seni itu indah sejauh dapat meniru alam, kita
sebut ini teori korespondensi keindahan. Gagasan ini memberikan
kriteria rasional yang sederhana tentang seni, Sayangnya, gagasan ini
tergantung pada kriteria yang tidak hanya memisahkan antara subjek
dan objek, tetapi juga antara seni dan alam karena akan jatuh korban
salah satunya, masalah ini dapat dibahas sebelumnya dalam gagasan
tentang seni sebagai sekutu budaya, bukannya universal dan berpihak
atas (apriori) yang diberikan. Menurut Goguen (2000), mungkin akan
terjadi malapetaka bagi teori ini sebab tidak jelas apa yang dianggap
sebagai alam dan seni, mengingat kemenangan ilmu pengetahuan
modern dan teknologi seperti munculnya virtual (misalnya, efek khusus
dalam film), produk-produk aneh bioteknologi, dan realitas yang pernah
muncul pada manusia secara alami.

Gambar 9. Karya Michael Oswald (http://www. pengenlihat. com/2013/01/


lukisan-digital-modern-karya-michael. html)

28
http://cobaunik. blogspot. com/2012/10/karya-seni-digital-foto-biasa-yang. html
69
Teori tentang seni meniru alam sebenarnya gagal untuk memper-
hitungkan berbagai seni kontemporer, yang sering bertindak radikal dan
samasekali nonrepresentasional (tidak menggambarkan) alam, dan
akhirnya, tidak sangat jelas apakah ada dasar rasional yang sangat baik
untuk menilai seberapa baik karya seni mirip alam atau alam itu
(misalnya, unicorn atau karya lanskap, bonsai, dan seni ikebana di
Jepang dan lain-lain.
Teori Respon Audiens
Pendekatan lain untuk membahas kecantikan yang memuaskan
dicoba untuk mengukurnya dari respons emosional pemirsa.
Pendekatan ini dapat disebut: 'aku tahu apa yang saya suka'. Ada sedikit
harapan untuk keluar dari pendekatan bentuk naif yang murni subjektif.
Namun, ada bentuk instrumen yang lebih canggih dengan memakai
alat ilmiah untuk mengukur respon manusia, dan dengan sebuah setting
data yang besar untuk mengukur rata-rata variasi respon individu, guna
menghilangkan prasangka subjektif itu. Hasil dari metode ini memper-
lihatkan kecenderungan ke arah faktor primitif yang berlaku dari
populasi sampel. Seperti teori korespondensi keindahan, pendekatan ini
mengandai-kan perbedaan/split kuat antara subjek dan objek seni.
Pada sisi positif paling tidak, dari pilihan yang mungkin, tercakup
banyak hal fenomenal mengenai persepsi. Pada sisi negatif, ada
keterbatasan penilaian yang dibangun di atas persepsi belaka, yaitu
tindakan yang akan mengecualikan semua bentuk yang lebih kompleks
lagi dari fenomena ini, dan tampak begitu penting untuk memahami
seni. (Misalnya, apakah respon itu dibangun hanya atas persepsi saja
dan menghilangkan konteksnya dengan faktor lain?)
Meskipun pendekatan tersebut dapat menghasilkan pedoman yang
berguna untuk beberapa aspek bidang desain, akan memiliki banyak
nilai yang kurang untuk seni rupa. Pada sisi lain, hasilnya harus
menjadi masukan yang signifikan untuk setiap teori seni, dan layak
dipuji atas kestabilannya dan kehandalan yang terkait dengan hal
terbaik dari metode ilmiah.
Kelompok Romantisme memiliki titik pandang yang sama. Seperti
tulisan John Keats yang terkenal itu (pada musim semi 1819) dalam
bukunya 'Ode pada Grecian Um':

70 Nasbahry Couto & Indrayuda


When old age shall this generation waste,
Thou shalt remain, in midst of other woe
Than ours, a friend to man, to whom thou say‟st
„Beauty is truth, truth beauty‟ --that is all
Ye know on earth, and all ye need to know.
Meskipun ini jelas makna syair ini menggemakan konsep Plato,
Goguen menganggap Keats bermaksud gagasan romantis dari
'kebenaran artistik', yang umumnya berarti semacam kebenaran
emosional, yaitu, ekspresi yang akurat dari perasaan artis, bukan
kebenaran dalam arti filosofis atau ilmiah, seperti corespondence
(beberapa gagasan) realitas. Heidegger telah masuk lebih dalam pada
filsafat seni Emmanuel Kant daripada Kant sendiri dan atau
pengikutnya. Gagasan Kant tentang kemutlakan seni dijelaskan oleh
Heidegger sebagai berikut (Kockelmans, 1985)
“. . . yang indah bagi Kant adalah ketika tidak pernah dapat
dipertimbangkan dalam fungsi dari beberapa hal-lain (setidaknya
selama itu diambil sebagai indah). Ketika semua bunga tersebut
ditekan, objek datang ke depan sebagai objek murni. Seperti
berdatangan ke penampilan indah”.
Jadi seni bagi Kant presentasi yang indah dari beberapa bentuk,
dan melalui itu, penyajian ide estetika yang terletak di luar bidang
konsep dan kategori. Melalui presentasi yang indah dari sebuah ide
estetika seniman jauh memperluas konsep diberikan dan, dengan
demikian, mendorong bermain bebas dari bidang mental kita. Hal ini
menyiratkan seni benar-benar terletak di luar alam pikiran manusia dan
yang indah secara konseptual dapat dipahami. Ini teori yang indah
sebagai presentasi murni bentuk memiliki banyak kesamaan dari
pandangan romantis, tetapi kita harus hati-hati dicatat tidak termasuk
peran artis, konteks budaya objek seni, dan persiapan penonton yang
semuanya tampak penting.
Teori Heidegger, seni memiliki banyak kesamaan dengan
(versinya) Kant, tetapi ia mengambil ide-ide lanjut dari Kant,
menggambarkan penafsirannya melalui vitalitas Nietzsche dan Hegel,
dan tentu saja mengambil perspektif fenomenologis, mungkin
mengejutkan, puisi 'Keats kembali lagi bergema, meskipun memerlukan

71
penafsiran yang sangat berbeda. Kutipan berikut adalah dari Heidegger
(1960):
Art is. the becoming and happening of truth.
Beauty is one way in which truth appears as unconcealedness.
Seni adalah. yang terjadi dan menjadi kebenaran.
Kecantikan adalah salah satu cara di mana kebenaran muncul
sebagai unconcealedness (tidak dapat disembunyikan)

Kebenaran adalah unconcealedness sebagai sesuatu (tidak


tersembunyi). Kecantikan tidak terjadi bersama dan terpisah dari
kebenaran. Ketika kebenaran menempatkan dirinya ke dalam pekerjaan
[seni], [kecantikan] muncul. Penampilan -sebagai makhluk kebenaran
dalam pekerjaan dan sebagai pekerjaan- adalah keindahan. Dengan
demikian, indah milik munculnya kebenaran, kebenaran yang
mengambil dari tempatnya. Ini tidak ada hanya relatif terhadap
kesenangan dan murni sebagai objeknya.
Pengertian Heidegger tentang 'kebenaran' berasal dari
(penafsirannya) aletheia yaitu kata Yunani kuno, yang ia mengambil
berarti non-tersembunyi, dengan kemungkinan pemahaman atau
penafsiran demikian. Hal ini sangat berbeda dari gagasan kebenaran
dalam ilmu pengetahuan, seperti yang dikutip dari Heidegger (1960),
menjelaskan sebagai berikut ini.
“. . Ilmu pengetahuan bukanlah kebenaran asli, melainkan
selalu dari domain hasil budidaya, khususnya dari menangkap dan
mengkonfirmasikan yang menunjukkan dirinya menjadi mungkin
dan selalu benar dalam bidang tersebut”
Pendekatan Heidegger terhadap seni terkait dengan budaya, di
bawah judul apa yang ia sebut 'dunia', secara eksplisit termasuk artis
dan pemirsa. Pendekatan Heidegger berlaku sama baik untuk seni
representasional dan nonrepresentasional, misalnya, seni konseptual,
seni temuan (found art), dan seni bumi (earthworks). Pandangan
filosofis yang sangat abstrak semacam ini --meskipun mereka mungkin
membantu menghindari kesalahpahaman tertentu dan dari
mendekonstruksi teori seni lainnya--tampaknya tidak banyak membantu
memahami karya seni tertentu, dan ini tampaknya memiliki cacat yang
serius.

72 Nasbahry Couto & Indrayuda


Teori lain keindahan, sering dijuluki 'modernis', mengatakan
sebuah benda indah sampai-sampai bentuknya sesuai dengan fungsinya.
Hal ini mungkin digambarkan oleh urinoir Duchamp sebagai sesuatu
(meskipun itu mungkin bukan niat artis). Pada sisi lain, kriteria ini tidak
berlaku untuk benda tidak berguna, seperti lukisan impresionis, patung
cubist, dan puisi (meskipun semua ini tentu dapat saja dipergunakan
untuk keperluan yang berbeda, seperti membuat uang, mengesankan
teman-teman, dan mengurangi stres).
Selain itu, estetika ini diproduksi atau setidaknya dibenarkan,
misalnya arsitektur tahun 1950-an dan 60-an, misalnya, berdampak
munculnya kejahatan disebabkan high-density (bangunan padat) dari
golongan berpenghasilan rendah, banyak masyarakat di seluruh dunia
sekarang mencoba menyingkirkan hal ini. Tampaknya adil untuk
mengatakan teori ini cukup banyak didiskreditkan sebagai teori umum
keindahan, meskipun mempertahankan beberapa mata uang di berbagai
bidang seperti desain industri, sebagian karena keberhasilan besar
gerakan Bauhaus. Kebetulan, pembahasan di atas adalah ilustrasi yang
baik dari ketergantungan teori seni pada kondisi sosial dan budaya.
Karena tidak hanya seni, tetapi teori seni, tergantung pada cerminan
kondisi sosial yang memproduksi mereka, termasuk tentu saja
lingkungan budaya.
Dalam karyanya Poetics, Aristoteles (-330) mendefinisikan seni
sebagai imitasi, tetapi dia tidak begitu naif menyebutnya meniru alam,
melainkan dari 'orang dalam aksi' meniru. Selain itu, di sini seperti
dalam kebanyakan hal, Aristoteles mengambil pendekatan yang
seimbang, dan tidak berusaha mengurangi seni atau ukuran seni, untuk
satu hal. Secara khusus, dia tidak mengusulkan gagasan keindahan
sebagai ukuran seni, tetapi mengalihkannya kepada sejumlah kriteria
kualitas seni, dan berkonsentrasi pada berbagai contoh drama tragis,
juga membahas beberapa bentuk seni lainnya, misalnya bermain kecapi.
Aristoteles mengatakan tujuan dari tragedi adalah membangkitkan rasa
takut dan kasihan di antara penonton meskipun imitasi itu tindakan
heroik. Kriterianya keunggulan yang meliputi kesatuan waktu dan
tempat, penggunaan keterampilan berbahasa, khususnya metafora,
beberapa aspek struktur plot, termasuk hal tertentu yang menjadi kunci
jenis adegan, dan aspek pengembangan karakter. Pendekatannya adalah
keterampilan menggabungkan analisis, sejarah, etika, dan pandangan
73
pragmatis drama, telah sangat berpengaruh sampai saat ini dan tetap
begitu sampai hari ini. Tampaknya Aristoteles, seperti banyak seniman
kontemporer, kecantikan hanya menjadi perhatian sekunder (kedua).
Sebuah butir tambahan keindahan --yang bahkan lebih sulit
menentukan dari seni-- akan lebih menjadi budaya relatif berdasar
varian waktu --dan lebih penting lagi-- catatan bahwa pendekatan
Aristoteles tidak berlaku untuk seni nonrepresentasional (misalnya seni
abstrak).
3. Seni dan Sains
Metode ilmu pengetahuan membutuhkan pengukuran secara
berulang dan tepat, dan objektivitas yang mengecualikan semua faktor
subjektif pada bagian dari eksperimennya. Hal ini sangat berbeda
dengan metode seni bahwa seniman secara langsung terlibat secara
subjektif dalam pekerjaan mereka. Hal ini sebagai salah satu dari
beberapa pernyataan yang sangat luas disebut di kalangan kebanyakan
yang sangat beragam gerakan seni kontemporer. Selain itu,
pengulangan (pada saat penciptaan) sepertinya kutukan/dihindari bagi
kebanyakan seniman, dan kecenderungan ini banyak diperkuat oleh
sifat pasar seni, yang cenderung merendahkan karya duplikasi,
kehilangan nilai (hal-hal lain dianggap sama). Tujuan pengukuran akan
sangat berbeda dari aspek kreatif seni, meskipun tentu saja dapat
digunakan dalam dukungan teknis dari produksi artistik (misalnya,
pencampuran cat, tuning alat musik, pas bersama-sama bagian dari
patung, menggunakan perspektif).
Pertimbangan ini menyiratkan seni dan ilmu pengetahuan harus
memainkan jenis berbeda secara signifikan dari peran dalam hubungan
yang mungkin ditempa antara mereka. Salah satu teori yang sangat
sederhana menyatakan seni dan ilmu mengeksplorasi domain
sepenuhnya dis-joint tersebut dari cara yang sama sekali berbeda bahwa
tidak mungkin karena akan ada hubungan yang bermakna antara
mereka.
Sebagai contoh, selama renaisans kemajuan dalam geometri
memicu kemajuan sesuai perspektif dalam lukisan. Kemajuan teknologi
telah jelas menjadi faktor penting untuk memungkinkan banyak bentuk
seni kontemporer, seperti bioskop, dan musik elektronik. Banyak
contoh lain dapat dengan mudah diberikan, beberapa di antaranya
74 Nasbahry Couto & Indrayuda
tampaknya melibat-kan interkoneksi agak rumit antara seni dan ilmu
pengetahuan (misalnya, seni berbasis video karya Nam Juni Paik, yang
tampaknya menggunakan media untuk mengkritik itu).
Sebuah hubungan yang menggairahkan sedikit kontroversial
karena tampaknya meningkatkan beberapa pertanyaan filosofis yang
mendalam, yaitu penggunaan ilmu pengetahuan dalam mengotentikasi
seni, misalnya, melalui analisis kimia dan pigmen, kanvas, dan bahan
lainnya. Penggunaan perhitungan dimensi fraktal dari Taylor, Micolich
dan Jonas untuk mengenal otentikasi atau tanggal lukisan Jackson
Pollock. Aplikasi ini tidak harus membingungkan atas hubungan seni
dengan ilmu pengetahuan, misalnya, melalui pengukuran respon
fisiologis pemirsa 'untuk seni. Sementara pendekatan reduktif tersebut
mengalami kesulitan memperhitungkan faktor-faktor seperti budaya
dan peran seniman, mereka hanya potensial dipakai untuk seni
nonrepresentasional, seperti dicatat oleh Ramachandran. Selain itu, ada
sedikit keraguan seniman dan pecinta seni dapat belajar beberapa hal
yang berharga dari persepsi studi ilmiah, serta dari mata pelajaran
terkait seperti visi neurofisiologi dan psikologi kognitif, misalnya,
psikoakustik adalah daerah yang berkembang baik di bidang
musikologi dan telah banyak diterapkan dalam musik.
Seni dan ilmu adalah bagian dari budaya dengan demikian, sifat
dan hubungan mereka terikat untuk menjadi kompleks dan untuk
mengubah dari waktu ke waktu dan lokasi. Oleh karena itu, tampaknya
naif untuk mengharapkan, untuk menemukan setiap deskripsi (atau
bahkan kompleks) sederhana yang mencerminkan esensi abadi dari
hubungan mereka. Ada pun masa depan, tampaknya bijaksana untuk
mengharapkan hal yang tidak terduga, mengingat betapa cepat seni,
ilmu pengetahuan, dan teknologi berkembang saat ini. Misalnya,
bagaimana internet berhubungan dengan seni karena semakin matang
dan meresap ke masyarakat?
Menurut Goguen (2000), beberapa hal tampak relatif jelas: kita
pasti akan melihat lebih banyak media digital, dan manipulasi digital
dari bentuk-bentuk seni, dan mungkin kita akan melihat integrasi baru
yang radikal dari media ketika bandwidth jaringan menjadi cukup
besar. Gougen kemudian mempertanyakan: apakah kemajuan ini akan
membuat banyak perbedaan? Kita akan melihat jenis seni yang baru,
tetapi akan kita lihat jenis baru estetika? Mungkin kita akan melihat
75
teori-teori baru seni, tetapi timbul pertanyaan apakah mereka akan
menjadi lebih baik daripada yang lama?
4. Kesimpulan
Menurut Goguen (2000), kita telah masuk dan menjelajahi
beberapa definisi yang paling populer dan teori seni dan keindahan.
Tampaknya sulit untuk menyimpulkan atau bahkan mustahil, untuk
mendefinisikan seni dan keindahan atau memadai mengklasifikasikan
hubungan yang kompleks antara seni dan ilmu pengetahuan. Karena
kita tidak tahu persis apa seni atau apa perannya dalam kehidupan kita -
dan berbagai macam posisi yang telah muncul menunjukkan kita juga
tidak tahu persis apa kesadaran seni itu atau apa perannya- seakan-akan
tidak kuat untuk menjadi dasar untuk mempertimbangkan hubungan
antara seni dan kesadaran. Selain itu, jelas hampir semua kegiatan otak
yaitu yang sesuai dari pengalaman estetis tidak sadar, dan bahkan
diragukan oleh penampil ideal karya seni yang besar harus sadar karena
salah satu (sering diklaim) efek seni besar yaitu untuk menggabungkan
subjek dan objek dalam sebuah pencerahan gembira yang melampaui
kesadaran individual.
Menurut Goguen (2000), dia telah berulang kali menyatakan para
ilmuwan dan filsuf tertarik pada seni harus mengambil pandangan
inklusif apa seni daripada berfokus hanya pada lukisan dan patung dan
mereka harus mencoba untuk menemukan cara untuk memperhitungkan
peran artis, konteks budaya, dan kecanggihan artistik penonton jika
mereka bercita-cita untuk sebuah teori yang benar-benar memadai.
Kesimpulan seperti di atas sebelumnya akan mengecewakan
banyak filsuf dan para pemasok teori besar (grand theory) apa pun,
akan tetapi mungkin kesimpulan tersebut menyegarkan dengan cara,
mungkin menyelesaikan kotak definisi konseptual dan teori-teori dapat
membantu kita untuk mendekati seni dari cara yang segar, sehingga kita
bisa mengalaminya lebih dalam dan otentik, yang pasti tidak ada hal
yang buruk. Di samping itu, eksplorasi dapat tentatif dan saling
bertentangan, yang berharga dalam mewujudkan penyelesaian konsep
sebagai sebuah proses, dan isu-isu yang terlibat di dalamnya. Akhirnya
kita diberi kesempatan untuk merenungkan apa artinya menjadi
manusia, hal ini seperti lebih bernilai saat mengajukan pertanyaan
'apakah seni?'. Akhirnya, kemajuan ilmiah dramatis akan terus turun
76 Nasbahry Couto & Indrayuda
dari teori dualistik yang disadari akan mendukung teori itu
terwujudkan. Hal ini akan menawarkan alasan kuat untuk berpikir maju
apa sebenarnya yang berdasar secara ilmiah dan filosofis dari seni.

1. Inti dari Seni: Membuat Sesuatu yang Khusus


Dalam bukunya, Homo Aestheticus, (1995) Ellen Dissanayake
berpendapat bahwa seni adalah pusat adaptasi, pertumbuhan dan
ketahanan hidup spesies manusia kemampuan estetika adalah bawaan
setiap manusia dan seni adalah kebutuhan mendasar bagi spesies
manusia seperti kebutuhan lainnya, seperti pangan, kehangatan atau
tempat tinggal. Kemampuan estetik, menurut Dissanayake
memungkinkan kita untuk 'memisahkan' sebuah kegiatan, yang penting
bagi kelangsungan hidup kita, memisah-kannya dari hal yang bersifat
duniawi, dan membuat mereka istimewa. Kita butuh benda dan praktik
terkait dengan perkawinan, kelahiran, kematian, perang, hasil pangan,
dan perdamaian, dan meningkatkannya untuk membuat mereka lebih
menarik dan menyenangkan, lebih memesona dan lebih berkesan.
Dalam kaitan itulah kita ―menemukan‖ tari, puisi, jimat, mantra, topeng,
pakaian, dan banyak artefak lain nya. Dalam kegiatan inilah pekerjaan
mengangkut jaring atau menumbuk padi ditampilkan agar terlihat lebih
sensual dan menyenangkan, dan agar sekaligus dapat meningkatkan
kerja sama, kerukunan dan persatuan di antara anggota kelompok.
Kegiatan khusus inilah, yang memungkinkan kita untuk mengatasi
kesulitan hidup atau mengatasi sesuatu tidak dapat diharapkan atau
yang tidak dapat dijelaskan.

Metoda "Pembuatan Khusus" Berasal dari Warisan Evolusi Kita


Dengan bercermin pada pengalaman antropologis dan kehidupan
itu sendiri, serta pengetahuan yang luas Dissanayake memberikan
banyak contoh bagaimana "membuat spesial" dilaksanakan oleh
manusia. Dia berpendapat bahwa untuk melihat ―spesial‖, kita dapat
melihat berbagai aspek yang telah dikembang manusia secara evolusi.
Hal ini yang telah mendorong dia untuk menemukan hal-hal yang

77
menarik dan berharga dari ―spesial‖ misalnya tanda-tanda visual
tentang: kesehatan, kemudaan dan vitalitas seperti kehalusan,
gemerlapan, kebersihan, warna-warna hangat, kesempurnaan;
kekuatan, ketepatan, kelincahan, ketahanan dan sebagainya, tanda
dalam bunyi – bunyian seperti kemerduan, kejelasan, ritmis, pantulan,
kekuatan, tanda repetisi kata yang diucapkan seperti: suku kata, kalimat
dan kata kunci, penggunaan antiphony, aliterasi, asonansi dan rima. Dia
berpendapat bahwa sumber seni berasal dari sumber yang sama dan
berinteraksi secara fisiologis dengan kehidupan sehari-hari, tetapi seni
dibuat lebih khusus dan spesial.
Menurut Dissanayake, Ellen (2003) core/intisari dari perilaku seni
secara sosiologis adalah saat manusia membuat sesuatu dari hal yang
biasa menjadi luar biasa artinya seni adalah sesuatu yang dibuat khusus.
Menurut Dissanayake nilai evolusi dan selektif dari perilaku seni
muncul dari kecenderungan untuk berhenti pada konsep ― khusus‖ dan
pernyataan bahwa hal itu ada di mana-mana. Ketika filsuf seni
kontemporer membuat pernyataan radikal dan agak mengejutkan bahwa
seni telah ada selama dua abad, 29 mereka melihat pula bahwa "seni"
abstrak itu kurang dihargai, tetapi itu adalah hasil budaya Barat, bahkan
secara historis dilihat sebagai asli Barat. 30
Menurut Dissanayake (2003), sejak abad kedelapan belas telah
terjadi sebuah pencerahan dari Inggris dan Jerman tentang subjek yang
dinamakan estetika. Sejak itu, "estetika" dibicarakan sebagai semacam
pengalaman khas manusia, dan bagian dunia seni untuk membahas jenis
artefak manusia oleh berbagai pihak seperti golongan akademis,
museum, galeri, dealer, kritikus, jurnal, dan kaum filsuf. Pada saat yang
sama, ide-ide jenius, imajinasi kreatif, ekspresi diri, orisinalitas,
komunikasi, dan emosi, muncul dalam konteks lain, dan berkembang
menjadi semakin pesat dan bahkan terutama atau secara eksklusif
terkait dengan subjek "seni" yang disebut "primitif" dan "alami",

29
Paul Mattick, komentar dibuat selama presentasi di panel berjudul ―The Institutions
of Art/2‖ (Forty-Seventh Annual Meeting of the American Society for Aesthetics,
24-28 October 1989, New York City).
30
Dissanayake berpendapat bahwa estetika Barat dan tidak berusaha untuk mengatasi
konsep estetika dalam konteks peradaban lain atau bagaimana mereka berhubungan
dengan orang-orang di Barat.
78 Nasbahry Couto & Indrayuda
semuanya ini telah menjadi bagian dari kesadaran budaya modern di
Barat.
Sebelumnya, pada abad kedelapan belas (pasca-Barat), berbagai
jenis benda yang disebut seni lukis, patung, keramik, musik, tari, puisi,
dan sebagainya dibuat untuk mewujudkan dan atau memperkuat nilai-
nilai agama atau kehidupan umum di Barat, dan jarang, untuk tujuan
estetika. Lukisan dan patung dipakai sebagai potret dekoratif, ilustrasi,
interior atau eksterior, keramik pakai, musik dan tari kadang sebagai
bagian dari acara upacara sosial yang khusus. Puisi adalah cerita atau
pujian atau pidato untuk mempengaruhi penonton. Bahkan keindahan,
keterampilan atau kesom-bongan adalah kualitas penting dari sebuah
objek seni.
Mereka bukan "untuk kepentingan mereka sendiri, " melainkan
untuk meningkatkan kualitas objek untuk tujuan tidak nyata. Sebuah
peningkatan ke kualitas kecantikan atau hiasan. Jadi, kata seni seperti --
yang digunakan sebelum akhir abad kedelapan belas--bermakna seperti
yang sekarang kita sebut dengan "kerajinan" atau "keahlian" atau
"buatan tangan yang baik, " dan dapat terlihat dari ciri benda atau
kegiatan dibuat atau dilakukan oleh manusia (bukan alam atau Tuhan),
mirip dengan kegiatan kelompok manusia lainnya seperti kegiatan
kedokteran, ritel, makan, dan liburan. Menurut Dissanayake (2003), hal
ini mungkin dapat mengejutkan kita, betapa anehnya gagasan modern
seni Barat --yang dikemudian hari dihubungkan dengan kebenaran ide
perdagangan, komoditi, kepemilikan, sejarah, kemajuan, spesialisasi,
dan individualitas.

Karangan Dissanayake, antara lain:


 What is Art For? (1988)
 Homo Aestheticus (1992)
 Art and Intimacy: How the arts
Began (2000)

79
Hanya beberapa masyarakat telah memikirkan hal itu bahkan jauh
seperti dipikirkan kebanyakan kalangan seni. Tentu saja, dunia
praindustri di Barat dan di tempat lain, orang memiliki gagasan-gagasan
"estetika" sebagai jenis yang indah atau baik tetapi, ide-ide tersebut
dapat tertahan secara abstrak sebagai kategori beberapa jenis lukisan.
Anehnya lagi, estetika ini hanya untuk lukisan, tidak untuk jenis
lainnya, misalnya menolak estetika gambar atau ukiran. 31
Menurut Dissanayake (2003), bagi estetika Barat, segala sesuatu
hal dapat masuk kategori seni asli, jika sesuatu itu dianggap mampu
memberikan dan mempertahankan pengalaman estetis asli. Pengalaman
estetis asli didefinisikan sebagai sesuatu yang dialami dan ketika
merenung-kan seni asli itu. Selain itu, kesulitan akan muncul dalam
menentukan penyebab atau lokasi keaslian estetik ini sebab dalam
kenyataannya, terdapat perbedaan pendapat atau tanggapan tentang
keabsahan sebuah karya individu. Orang harus mengakui bahwa sulit
untuk memahami konsep seni murni atau tunggal itu, tanpa sebuah
keraguan. Filsuf dan seniman di masa lalu seperti Aristoteles, Saint
Thomas Aquinas, Leonardo da Vinci telah mengusulkan kriteria seni
sebagai kecantikan atau keunggulan, misalnya, kebugaran, kejelasan,
harmoni, cahaya, seni adalah sebuah cerminan (santir) dari alam. 32
Pemikir kesembilan belas dan abad kedua puluh mengusulkan kriteria
lain, seperti kebenaran, ketertiban, kesatuan berbagai elemen, dan
bentuk yang signifikan, sebagai ciri entitas misterius dari seni
Menurut Dissanayake (2003) karena setiap mahasiswa tahun
pertama belajar estetik, menentukan apa keindahan atau kebenaran itu,
belum berarti mahasiswa itu akrab dan rukun dengan kata estetik ini
sebab kesukarannya untuk mendefinisikannya, tetapi bagaimana pun
sejak era romantisme melanda Eropa, seniman kemudian dipengaruhi
paham individualisme dan orisinalitas, dengan sengaja mencemooh dan

31
Sementara pembahasan Dissanayake dalam teks menggunakan contoh terutama dari
seni visual, sejarah, kritik, dan teori seni lainnya yang sama. misalnya, Lydia Goehr
(1989) membuat sebuah titik sama dengan Dissanayake dalam analisisnya
pengembangan konsep abstrak dari kerja musik. Lih. Goehr, L. (1989). Being true to
the work. Journal of Aesthetics and Art Criticism 47(1), 55-67.
32
Hal ini juga dikemukakan oleh Sujoko, alm. (dosen ITB) bahwa Seni adalah santir
alam katanya, santir adalah cermin atau pantulan, berupa gambar atau lukisan,
drama atau filmdari kehidupan manusia itu sendiri
80 Nasbahry Couto & Indrayuda
menentang asas estetika kanonik33 karena hal itu dianggap hanya
penjelasan kritikus dan pemikir --yang dianggap esensi dan valid – akan
terlihat sebaliknya, yaitu tidak terdefinisikan dan tereduksi. Oleh karena
itu, menurut Dissanayake (2003), mencari beberapa kualitas atau fitur
yang mencirikan semua kualitas seni --peringkat umum dari seni --
untuk merumuskan "art, " atau seni secara bertahap, akan ketinggalan
zaman dan sia-sia.
Filsuf seni, saat ini, yang kerjanya hanya mendefinisikan kata atau
konsep telah benar-benar ditinggalkan orang. Hal ini mengingat
kesadaran kritikus, dealer, dan direktur museum, akan pluralisme dan
sifat radikal dari seni, sadar atas konsekuensi ekonomi seni, kanvas
(lukisan) dapat "bernilai" jutaan dolar, daripada untuk memahami
bagaimana seniman atau publik bukan filsuf menilai seni. Bisa jadi
filsuf bersangkutan menyimpulkan bahwa itu bukan seni (non-art),
antiseni, dan seni hanya untuk kepentingan diri sendiri, dan menunggu
seni untuk ditemukan. Pandangan lain, melihat gejala ini sebagai
ketergantung seni pada konteks sosial tertentu yaitu komunitas atau
kelompok, organisasi dan sebagainya. Dalam masyarakat, pascaindustri
pos modern, lazim terdapat sebuah dunia seni yang menentukan apa itu
"Seni" dan apa itu keberadaan seni yaitu sebagai label-label oleh
kelompok sosial dalam sejarah. Seperti yang dikatakan Dissanayake
(2003) berikut ini.
“Harus diakui, seni posmodern kontemporer bagaimana pun
muncul dari masyarakat Barat --meskipun etnosentrisme bukanlah
alam dunia Barat --tentu saja, puncak usaha manusia dan kebijakan
menjadi tujuan utamanya. Kita tidak boleh lupa meskipun "Art"
sebagai sebuah konsep tampaknya telah lahir dari dan terus
dipertahankan oleh masyarakat komersial, sekitar dua abad
lamanya, sehingga untuk memiliki gagasan keindahan, keagungan,
dan transendensi, akan bersamaan dengan variasi dari kondisi
manusia lainnya seperti: cinta, kematian, memori, penderitaan,
kekuasaan, rasa takut, kehilangan, keinginan, harapan, dan
sebagainya. Nampaknya bukan monopoli estetika sebab ini telah
menjadi subjek dan kesempatan bagi seni di sepanjang sejarah
manusia untuk mengungkapkan. Dengan demikian, ketika teori

33
Canon, adalah tata atur yang dianggap dapat menjamin karya itu estetis
81
kontemporer menerima seni bergantung pada "konteks sosial
tertentu" ini bukan sesuatu yang salah”
Pandangan seni yang berpusat kepada manusia akan dapat diakui
dan sah sebab manusia adalah unsur penting bagi "seni". Mereka telah
ditemukan untuk memamahi, mewujudkan, dan memperkuat
pentingnya (manusia). Dalam masyarakat posmodern berbeda dengan
seni sebelumnya, setidaknya sejauh yang pernah dilakukan dalam
masyarakat pramodern, bukan karena kekurangannya atau sifat
abstraknya, tetapi karena seni itu terdapat dan menghuni sebuah dunia
yang belum pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah manusia.
Masalah seni seperti itu (seni dalam pramodern) hanya diakui secara
artifisial, samar, ditolak, disepelekan, diabaikan, bahkan dibuang.
Menurut Dissanayake dalam mencoba mengungkap core/inti
perilaku seni, kita tidak perlu mengaitkan dengan masyarakat
kontemporer, peradaban sebelumnya atau dengan tradisi atau apa yang
biasa disebut masyarakat 'primitif'. Sebaliknya, kita harus mencari
kecenderungan perilaku seni --bisa saja dimiliki oleh protohumans,
hominid awal ada 1-4. 000. 000 tahun lalu. Ini adalah, nenek moyang
kita, mereka adalah makhluk berjalan dengan dua kaki dan tinggal di
padang pasir Afrika. Mereka pemburu binatang, memulung, dan
mengumpulkan makanan. Sebagai hominid hal ini berlangsung sekitar
10. 000 SM ketika masyarakat pertanian menetap mulai membangun
diri di bagian-bagian tertentu dari dunia. pada suatu tempat terjadi
keberlangsungan evolusi hominid, akan muncul kecenderungan
perilaku kerja sama di antara mereka dan hal ini dapat dibandingkan
dengan yang tidak memiliki kecenderungan untuk bertahan hidup lebih
baik sebagai individu maupun kelompok. Menurut Dissanayake inti
dari kegiatan seni adalah seni dipakai untuk bertahan hidup dan menjadi
kekhasan dari nenek moyang hominid kita.
2. Yang Khusus dan Spesial adalah Perilaku Seni
Menurut Dissanayake (2003), seni ada dalam core biologis
manusia, telah menyusup dalam perilaku manusia di mana-mana yang
disebutnya "membuat spesial/making special. "Seperti frase kunci lain
digunakan nama atau meringkas konsep rumit ("prinsip kesenangan‖,
"survival of the fittest "/seleksi alam), "membuat spesial"bisa tanpa
elaborasi (perluasan). Sebelum menjelaskan hal itu secara lebih rinci,
82 Nasbahry Couto & Indrayuda
perlu dijelaskan secara singkat latar belakang dari kecenderungan
membuat special yang dianggap sebagai dorongan menuju
(kecenderungan perilaku) seni.
Upaya Dissanayake sendiri awal mendekati seni sebagai perilaku
dimulai ketika Dissanayake pertama kali membaca uraian etologis
bermain. Bermain pada hewan (termasuk manusia) adalah perilaku
menarik dan cukup misterius. Hal ini terjadi pada banyak spesies hewan
yang bermain secara alami, tanpa diajarkan. Namun, tidak seperti
perilaku lain, bermain tampaknya, pada saat bermain setidaknya, secara
biologis tujuan dan bahkan merugikan. Para pemain tidak mendapatkan
tujuan melayani hidup, seperti mereka lakukan dalam perilaku lain di
mana mereka menemukan makanan, pasangan, mengusir penyusup,
istirahat, dan sebagainya
Bahkan, bermain hewan tampaknya menghabiskan banyak energi
tanpa tujuan yang berguna dan jelas dengan risiko melukai diri mereka
sendiri, antara lain menarik predator atau sebaliknya penurunan
kesempatan mereka bertahan hidup, tetapi hewan muda bermain tidak
kenal lelah. Mereka tampaknya bermain demi drama itu, untuk
kesenangan belaka dan imbalan intrinsik. Dengan demikian, menurut
Dissanayake bermain terlihat memiliki manfaat kelangsungan hidup
tersembunyi lebih besar daripada biaya pengeluaran energi dan
risikonya.
Dalam bermain, kebaruan (sesuatu yang baru) dan tidak dapat
diprediksi atau secara aktif dapat dicari, sedangkan dalam kehidupan
nyata kita biasanya tidak suka dengan ketidakpastian. Dalam bermain
akan muncul sesuatu yang tidak terduga, misalnya apa jalan pintas
untuk membawanyaa ke kelompok, dalam permainan, ada jalan yang
tidak jelas atau keluar dari kelompok yang menyebabkan tersesat.
Bermain dapat dikatakan "ekstra, " sesuatu di luar kehidupan
normal. Setidaknya kebutuhan ini tidak dapat ditahan secara normal.
Dalam bermain, Anda bisa menjadi seorang putri, ibu atau kuda. Anda
dapat menjadi kuat dan tidak terkalahkan. Anda dapat bertindak sebagai
seorang bandit atau tentara. Anda berpura-pura melawan atau berpura-
pura memiliki pesta teh, tetapi ini adalah "tidak nyata. " Senjata nyata
(seperti senjata dimuat atau cakar terhunus) tidak digunakan, cangkir-
cangkir teh mungkin kosong.

83
Akan tetapi bermain ditandai dengan tantangan tetap. Mungkin
tantangan ini ditemukan oleh seorang, bahkan pada hewan, "aturan"
per-mainan: sinyal khusus (seperti mengibaskan ekor atau tidak
menggunakan cakar), postur, ekspresi wajah, dan suara itu berarti
seringkali, ―ini untuk meyakinkan permainan‖ tempat khusus untuk
bermain seperti: stadion, gymnasium, taman, ruang rekreasi, cincin atau
lingkaran. Ada saat-saat khusus, pakaian khusus, suasana hati yang
khusus untuk bermain-memikirkan liburan, festival, liburan, akhir
pekan.
3. Bermain dan Ritual adalah Asal-Usul Seni
Ketika Dissanayake menyelidiki dan membaca tentang bermain,
dia melihat kesamaannya dengan seni menjadi jelas. Mengenai seni,
umumnya kita mengetahui dari kelas estetika dan kelas seni sejarah, di
antara yang dipelajari adalah sifat seni yang "non-utilitarian, " (bukan
benda pakai) "untuk kepentingan diri sendiri": misalnya tempat garam
Cellini adalah seni, tetapi bukan karena tempat itu adalah untuk tempat
garam yanglebih baik daripada tanah liat atau wadah kaca. Seperti
dikatakan Dissanayake.
“Seni, seperti permainan, tidak "nyata" tetapi berpura-pura:
aktor bermain Hamlet tidak benar-benar menusuk aktor pemain
Polonius. Seni memanfaatkan kejutan yang indah dan bersifat
ambigu. Ada tempat-tempat khusus seperti museum dan gedung
konser disisihkan untuk seni, waktu khusus, bahkan pakaian khusus
untuk itu-seperti pakaian gelap untuk musisi simfoni, dan ada
terutama suasana khusus “
Dissanayake telah belajar untuk menggambarkan sebagai
"kontemplasi yang tidak menyenangkan ": misalnya kelalaian untuk
membantu pahlawan mengatasi penjahat atau renungan tentang
keterampilan dan kehalusan aktor, kerajinan, bahasa dramawan yang
bagus, yang terjadi di atas panggung. Seni, seperti bermain, adalah
sesuatu yang ekstra, sebuah embellishment, sebuah peningkatan pada
hidup. Ketika Dissanayake melihat lebih jauh ke subjek, Dissanayake
menyadari karena berada pada garis terakhir yang panjang dan melihat
kemiripan antara bermain dan seni, kemudian menyimpulkan bahwa

84 Nasbahry Couto & Indrayuda


seni diturunkan dari bermain. 34 Ini adalah sebuah kontribusi yang baru
dari Dissanayake yang dapat diharapkan dan ditawarkan, sehingga
terlihat sebagai sebuah kesimpulan yang masuk akal dengan cara
etologis, 35 Kesimpulan ini muncul dari cara berpikir"metaforis" dari
Dissanayake tentang sifat seni dan bermain yaitu sebuah aspek yang
dapat dipercayai sesuatu yang lain dan menonjol. Namun, tidak ada
penjelasan secara evolusi, apa sebenarnya tujuan dan kebaikan bermain
dan seni itu. Nampaknya manusia di mana pun, sangat rajin terlibat
dalam kegiatan bermain atau artistik, hal ini harus dapat dijelaskan
untuk apa dan melayani apa.

Gambar 10. Binatang Bermain Tanpa Tujuan Khusus


(National Geographic)

Berkenaan dengan itu, umumnya dapat disepakati meskipun


bermain mungkin tidak ada manfaatnya demi kelangsungan hidup dan
hanya untuk bermain, bagi hewan muda nampaknya bermain akan
melatihnya (jika belum terlatih) sebuah keterampilan, yang pada
akhirnya memungkinkan mereka untuk menemukan makanan, membela
diri, mendapatkan pasangan, dan berbagai kebutuhan hewan dewasa
lainnya. Hal yang penting diingat bahwa dalam bermain, mereka belajar
bagaimana bergaul dengan sesamanya. Dengan demikian, bagi individu
yang bermain, secara tidak langsung akan mengajarkan mereka
keterampilan praktis dan keterampilan sosial, bertahan hidup lebih baik,
dibandingkan dengan yang tidak dapat melatih dirinya bermain atau

34
"Play" teori seni yang paling sering dikaitkan dengan Friedrich Schiller (1795/1967),
Herbert Spencer (1880-82), Sigmund Freud (1908/1959), and Johan Huzinga (1949).
35
Etologis, = bukan, seperti orang lain telah melakukannya seperti dari psikologis atau
sejarah atau metafisik.
85
dirampas masa bermainnya, kurangnya latihan yang terkait dengan hal-
hal diperlukan dalam hidup. Dalam hal bermain dan berfantasi untuk
memenuhi hasrat tersembunyi dari manusia dia menulis.
“Melihat seni, Dissanayake menyadarinya lebih dari sekedar
latihan, latihan atau sosialisasi, tetapi apa? Freud menyatakan
fungsi kedua dari bermain dan seni adalah terapi, namun, mereka
diperbolehkan untuk berfantasi, untuk bersublimasi atau untuk
pemenuhan keinginan tersembunyi dalam kehidupan nyata yang
dilarang atau tabu: jika Anda tidak bisa mendapatkan gadis itu,
Anda dapat bermimpi atau berfantasi. Menulis cerita (tentangnya)
atau melukiskan gambaran tentang dia, seakan-akan telah
mendapatkan dirinya. ”
Karena Dissanayake melihat masalah ini dari sudut pandang
etologis, Dissanayake menyimpulkan seni dalam evolusi manusia pasti
telah me-lakukan sesuatu lebih dari sekedar fantasi saja, seperti yang
dikatakannya.
“Berapa banyak fantasi nenek moyang hominid yang
dilatihkan? Apakah mereka membutuhkan lebih banyak keyakinan
yang diperoleh dari bermain? Hampir dapat dipastikan pada
hominid awal, seperti semua primata, harus telah memainkannya.
Apakah tidak lebih penting bagi mereka untuk hanya menerima dan
mematuhi realitas saja (dari): "bisnis" mencari makanan,
keamanan, kerja sama dalam keseharin?. 36
Menurut Dissanayake (2003), fantasi dan memperoleh keyakinan,
mungkin katup pengaman penting bagi manusia modern, mereka yang
telah terperosok ke dalam ketidakpuasan peradaban. Hal itu tidak
penting bagi Dissanayake, selain harapan untuk menemukan alasan
yang masuk akal, yang dapat menjelaskan mengapa hominid awal
mengembangkan seni atau dalam hal ini kegiatan tambahan dalam
hidup seperti bermain. Seperti yang terlihat dalam praktiknya, kepuasan
bermain bisa saja diperoleh dari jenis perilaku lain dalam sosial dan
rekreasi. Tujuan ini bisa dicapai dengan berbagai kegiatan berbeda

36
Richard Alexander (1989) menjelaskan permainan sosial manusia sebagai penemu
"untuk memperluas kemampuan dan kecenderungan untuk menguraikan skenario
internalisasi sosial-intelektual-fisik " yang dengan sendirinya mendasari
perkembangan evolusi dari kombinasi jiwa-manusia, apresiasi manusia, fantasi dan
kenyataan.
86 Nasbahry Couto & Indrayuda
dengan tujuan yang sama. Kecuali Dissanayake bersedia menerima
gagasan bahwa seni hanyalah berbagai permainan, yang tampaknya
penjelasan seperti ini tidak akan memadai, Dissanayake harus melihat
lebih jauh ke dalam masalah asal etologis, alam, dan kemungkinan
seleksi alam yang bernilai.
Menurut Dissanayake selama bertahun-tahun tinggal di Sri Lanka,
negara Buddhis kecil yang sebelumnya dikenal dengan nama Ceylon,
dia berkenalan dengan masyarakat tradisional. Dalam masyarakat
seperti itu, teknik membuat bangunan masih dari bambu yang diikat
bersama, dan orang-orang menggarap tanah bukan dengan buldoser.
Banyak keluarga hidup di darat dan relatif mandiri, rumah desa dan
peralatan sebagian besar dibuat dengan tangan dan bahan lokal,
makanan adalah tanaman di kebun keluarga. Upacara-upacara dan
otoritas, memberikan batasan bagaimana seharusnya orang menjalani
kehidupan, dan dapat menemukan kepuasan dalam pernikahan, yang
diatur oleh orang tua atau kerabat lainnya. Misalnya, dan tidak
dianggap biasa bagi keputusan penting yang harus dibuat, hanya setelah
berkonsultasi dengan seorang peramal.
Masyarakat tradisional tampaknya lebih bervariasi dan rumit
hidupnya daripada orang yang hidup dalam masyarakat yang sarat
teknologi. Mereka tahu keluarga masing-masing selang beberapa
generasi, saat acara pernikahan dan pemakaman, saat masalah hidup
dan mati, saat itu adalah kesempatan penting untuk bersosialisasi. Saat
Dissanayake menghadiri pemakaman pertama di Sri Lanka, dan melihat
mayat pertama kalinya, dia heran sebab bayi dan anak-anak kecil ikut
hadir dalam upacara itu.
Upacara adat di Sri Lanka, dengan demikian, memainkan peran
yang jauh lebih besar dalam kehidupan seorang daripada kita. Dia
melihat, setelah seseorang meninggal, para tamu datang dan tinggal
beberapa hari berselang di rumah almarhum--di mana mayat
dibaringkan di atas peti mati terbuka, di atas meja di ruang tamu --
dikelilingi oleh bunga. Para anggota keluarga yang berduka menyapa
setiap pengunjung di pintu, masuk dan diam dengan isak tangis atas
setiap kedatangan tamu yang baru. Saat itu mereka berbicara tentang
keadaan si mati dan jasa almarhum selagi hidup. Tamu memasuki
rumah dan bergabung dengan tamu lainnya, mereka diam-diam
berkomunikasi satu sama lainnya tentang topik apa pun dan setelah
87
selesai, mereka pergi. 37 Akhirnya teman-teman keluarga dan kerabat
dekat pergi ke tempat kremasi atau pemakaman, di mana biarawan
Buddha bergabung dengan mereka, dan melafalkan doa Pali yang
menggambarkan kelahiran, kematian, pembusukan dan atau reinkarnasi
kehidupan manusia, sesuai dengan kepercayaan agama Budha. Tiga
hari setelah itu, keluarga dan imam mengadakan upacara sedekah, dan
pemberian hadiah kematian lainnya, dan selalu ada pengulangan
upacara yang mirip setelah tiga bulan, satu tahun, dan pada interval
tahunan sesudahnya.
Dissanayake menyadari bahwa hal ini adalah semacam
penanganan bagi sebuah kesedihan yang diformalkan secara teratur,
kesempatan komunitas untuk menangisi dan mengungkapkan hilangnya
seseorang pada interval waktu yang lebih lama, hal ini memberi
kesempatan kepada mereka semacam bentuk, program, motif, yang
mengandung kedukaan perasaan mereka.
Daripada harus menekan kesedihan atas rasa kehilangan atau
menyatakan kesedihan itu secara "realistis, " atau harus melepaskannya
di sembarangan waktu dalam kesendirian, berduka ini diperlukan,
diaktifkan secara paksa, oleh ritual berkabung yang diakui secara
terbuka, berulang kali, dalam sebuah struktur takdir manusia (karma).
Menurut Dissanayake (2003), ritual terstruktur dengan waktu
tempo berkabung sederhana seperti itu, akan menjamin pikiran dan
perasaan masyarakat tentang hilangnya seseorang ‗ke kematian‟, yang
perlu ditegaskan kembali pada waktu ditentukan. Bahkan jika seseorang
memiliki perasaan duka yang tidak tepat, yang tidak disadarinya,
kebiasaan pemberian yang mengikutinya memastikan munculnya
perasaan ini. Upacara resmi yang ditetapkan akan menjadi sebuah
kesempatan, dan menjadi penyebab perasaan individu dapat
diungkapkan. 38 Dalam sebuah pengamatannya, seni adalah wadah

37
Dissanayake mendengar diskusi tentang film, bisnis, dan masalah politik saat
menghadiri si mati itu
38
Radcliffe-Brown (1922/1948) dalam monografinya di Kepulauan Andaman,
menekankan bahwa perayaan menghasilkan perubahan struktur atau perasaan.
Mereka "memelihara dan menularkan satu generasi ke generasi yang lain melalui
aspek emosional dalam masyarakatnya " menjadi wajib, mereka memaksa peserta
untuk bertindak seolah-olah mereka merasakan emosi tertentu, dan dengan
88 Nasbahry Couto & Indrayuda
untuk pembentuk dan pengungkap perasaan. Pada dasarnya, sebuah
drama, tarian atau komposisi musik dapat mengembangkan, terkait,
menggairahkan, menenangkan, merilis, memanipulasi respon penonton.
Ritme dan bentuk puisi berbuat hal yang sama. Bahkan seni
kontemporal seperti lukisan, patung, dan arsitektur dapat memberikan
sebuah bentuk respon perasaan yang terstruktur dari pemirsa.
Seperti yang diketahui, dalam kebanyakan seni, umumnya
masyarakat terkait dengan upacara/ritual. Dissanayake mulai mencoba
menemukan apakah seni dan ritual itu memiliki kesamaan? Adalah
sesuatu yang menarik untuk mengetahui "perilaku ritual" pada hewan,
seperti bermain, adalah subjek etologis penting dan setidaknya
beberapa pernyataan antropolog atas kesejajaran antara perilaku ritual
pada hewan dan ritual seremonial pada manusia (Huxley, 1966; Turner,
1983). Mungkin seperti ritual (dan bermain), salah satu bisa
menyebutnya seni "perilaku". Seperti kecurigaan dan harapan
Dissanayake, kesamaan antara ritual seremonial dan provokasi (yang
mendorong) seni itu menarik untuk dikaji sebab keduanya meng-
gunakan berbagai cara yang efektif untuk membangkitkan, menangkap,
dan mempertahankan perhatian. Keduanya dibentuk dengan maksud
mem-pengaruhi emosi individu dan membawa perasaan mereka ke
dalam sebuah kesadaran dan sebuah corak tampilan. Sebagian besar
dari sifat menarik dari ritual dan seni adalah mereka dibuat dengan
sengaja dan sesuatu yang tidak biasa.
Pemakaman di Sri Lanka-sendiri biasa menggunakan bahasa dan
agama Budha dengan kosakata mereka yang kuno dan puitis, dengan
urutan kata yang berfungsi sebagai teks tertentu, dan yang dilantunkan,
dinyanyikan dengan suara khas atau yang tidak biasa. Perangkat yang
tidak biasa lainnya dalam ritual (dan seni) yang menarik adalah
termasuk usaha yang berlebihan dari prosesi (upacara) pemakaman,
yang mungkin luar biasa lambat dan hati-hatinya, pengulangan ritual
pemakaman Sri Lanka disela waktu dengan hadiah/pemberian yang
berulang, dengan bunga, pakaian khusus, dan penanganan lainnya
seperti mengumpulkan sejumlah besar orang. Dengan demikian, secara
umum, baik ritual atau seni umumnya diformalkan. Formalitas itu dapat

demikian, sampai batas tertentu benar-benar akan terdorong emosinya dengan


sendirinya.
89
dilihat dalam hal, gerakan orang yang dituntun, struktur dan urutan
perbuatan, persepsi dan emosi peserta individu, dan penafsiran orang
seharusnya dibentuk.
Umumnya ritual dan seni, berangkat dari kehidupan nyata dan
biasa. Sebuah panggung dikelilingi oleh beberapa lingkaran tempat
penonton, daerah panggung itu berbatas secara tegas, gambar dibatasi
oleh pigura, museum adalah tempat khusus untuk melihat sesuatu yang
dapat ditonton. Ritual dan seni keduanya memanfaatkan elemen simbol
secara mencolok: suatu hal yang memiliki makna tersembunyi atau
misterius, yang permukaannya menggaungkan makna yang jelas dari
mereka. Upacara ritual itu bersifat universal karena ditemukan di setiap
masyarakat manusia di manapun. Mereka melayani banyak tujuan
sosial: mereka bersatu dalam satu tujuan dan keyakinan yang sama,
memperkuat nilai-nilai sosial kelompok mereka, "menjelaskan" tentang
kelahiran, kematian, penyakit, bencana alam dan berusaha
mengontrolnya. Dari perspektif etologis, kelompok sosial atau orang
yang tidak memiliki ritual seremonial, tidak akan dapat bertahan hidup,
dan orang lain akan berjarak dengan mereka. Mereka akan lebih kohesif
dan kooperatif, mereka akan merespons kesulitan dengan cara
individual, terfragmentasi, tidak fokus, dan akhirnya kurang
memuaskan.
Terlepas dari banyak kesamaan ritual dan berbagi "perilaku" seni
umum, mereka hampir selalu dapat dihubungkan bersama dalam
praktik. Selama upacara ritual selalu dapat ditemukan berbagai elemen
seni: penggunaan benda-benda indah atau khusus, pakaian khusus yang
dihiasi, memainkan musik, tampilan visual, bahasa puitis, tari,
pertunjukan. Tampaknya hal ini tidak usah diperdebatkan lagi, bagi
Dissanayake tentang ritual seremonial itu relevan, bahkan kritis untuk
memahami etologis seni.
Karena hubungan erat antara seni dan ritual itu sangat banyak,
Dissanayake kemudian bertanya-tanya apakah seni dapat dianggap
sebagai turunan dari ritual, sepertinya premis Dissanayake sebelumnya
yang memikirkan seni sebagai semacam permainan (play). 39 Setelah
39
Itu juga menarik bagi Dissanayake untuk menyadari permainan ritual seperti dalam
olahraga, dengan arena khusus, kostum, cara berperilaku, struktur dalam waktu
tertentu. Dalam ritual orang sering berpura-pura (bermain atau bertindak "seolah-
olah"): misalnya masyarakat aborigin Australia, meniru binatang atau berpura-pura
90 Nasbahry Couto & Indrayuda
berjuang untuk memahami bagaimana dan mengapa ini terjadi,
kemudian muncul sebuah ide: seni bukanlah berbagai permainan atau
ritual, tetapi sepertinya seni itu terkait dengan sesuatu yang khusus,
yang alami, suasana hati, dan peristiwa khusus. Dalam bermain, ritual,
dan seni dalam kehidupan sehari-hari bisa tampak nyata atau kurang
nyata. Dissanayake memutuskan sekarang untuk mencoba mencari inti
perilaku seni.
4. Asal Seni: Membedakan Luar Biasa/Spesial dari
Biasa
Tesis Dissanayake adalah evolusi dan seleksi nilai perilaku seni
yang muncul dari kecenderungan membuat sesuatu yang khusus, hal ini
lazim terdapat dalam kehidupan manusia di manapun. Akan tetapi tidak
seperti cara makhluk lainnya, mereka dapat dibedakan atas yang tertib,
area, suasana hati atau tempat biasa, lazim atau "alami, " dan salah
satunya menjadi tidak biasa, luar biasa atau "supernatural. "
Namun, apakah klaim ini dapat dibenarkan? Dalam beberapa
masyarakat pramodern hal ini jelas dan muncul secara tidak kentara.
Menurut Robert Tonkinson (1978, hlm. 96), 40 orang Mardudjara, dari
kelompok aborigin Australia, tidak membuat perbedaan jelas antara
yang alam dan yang spiritual. Hal ini mengingat entitas yang bukan
manusia, dan kekuatan yang menguasai semua penduduk dalam sebuah
tatanan kosmis mereka. 41 Di Australia dan di tempat lain manapun,
umumnya terdapat keyakinan tentang yang "alami" dan yang "spiritual"
ini, sebaliknya pertimbangan bahwa dunia spiritual itu sebagai yang
―alami‖. Sebuah pertanyaan, apakah "jelas" pemisahan antara yang
biasa dan luar biasa ini, seperti antara profan dan sakral, alami dan

untuk membunuh mereka, dan orang Indian Yanomamo Amerika Selatan melakukan
pertempuran dengan roh. Kami "bermain" dan pertunjukan secara umum, dapat
dianggap secara bersamaan sebagai seni, sebagai ritual, dan sebagai bermain.
40
Lih. The Mardudjara Aborigines: living the dream in Australia's desert /by Robert
Tonkinson, New York: Holt, Rinehart and Winston, c1978.
41
Peter Sutton (1988, pp. 18-19) juga menyatakan bahwa dalam pemikiran tradisional
Aborigin, tidak ada alam tanpa budaya. dia mengutip W. E. H. Stanner (On
Aboriginal Religion [1963, p. 277): "Siapapun yang telah pindah . . . ke semak-
semak Australia dengan orang Aborigin akan menjadi sadar . . . [bahwa ia] tidak
bergerak dalam lanskap tetapi di alam lain manusiawi. "
91
super-natural, alam dan budaya, tubuh dan jiwa, jasmani dan rohani,
selalu ada dalam artifak peradaban?Dissanayake menyatakan bahwa
perbedaan seperti itu adalah kecenderungan gambaran universal dari
perilaku dan mentalitas manusia. Selain itu, Dissanayake berpendapat
pada kecenderungan ini, kita harus mencari inti dari perilaku seni.
Bahkan dalam kelompok-kelompok manusia yang tidak
mengartikulasikan suatu pemisahan eksplisit antara ekstra-biasa dan
biasa, tindakan mereka menunjukkan kesadaran semacam itu.
Bagaimana dan mengapa manusia mengembangkan "dunia lain"
selain dunia sehari-hari? Seperti Dissanayake perlihatkan sebelumnya,
kecenderungan mengakui sebuah dunia luar biasa melekat dalam
perilaku bermain, di mana tindakannya adalah untuk menggambarkan
sesuatu "seperti" bermain "tidak nyata. ", Maka, dapat dianggap sebagai
sesuatu yang lebih lentur, imajinatif, perilaku inovatif dapat muncul-
seperti ketika kita "bermain-main dengan" ide.
Dalam ritual, baik perilaku ritual hewan maupun upacara ritual
manusia, perilaku biasa formal itu dibesar-besarkan, sehingga (terutama
pada manusia) membuatnya lebih berarti dan membuatnya lebih
berbeda dari apa yang biasanya: menjadi extrabiasa. Sepertinya sulit
disangkal bahwa pada beberapa titik, hominid telah mengembangkan
dan mengenali kehidupan sehari-hari melalui permainan ritual,
cenderung sebagai individu dan akhirnya sebagai spesies, untuk
mengenali dan bahkan menciptakan " sesuatu yang di luar realitas
menjadi "seakan" realitas yang asli.

Gambar 11. Karya Entang Wiharso:


Off (2003). Hal biasa menjadi luar
biasa Manusia itu mati, sakit, sedih,
hal biasa, menjadi luar biasa dengan
mendramatisirnya = seni? Hal yang
sama terdapat pada filem, teater,
puisi atau drama (Masterpiece, Fine
Art Auction, Session II, 20-4-2008:
260)

92 Nasbahry Couto & Indrayuda


Namun, harus diakui pada tingkat paling mendasar, kemampuan
membedakan antara biasa dan luar biasa, bukanlah sebuah kemampuan
sangat luar biasa. Setiap hewan dilengkapi untuk membedakan normal
dari abnormal, netral dari ekstrim. Seekor salamander atau nyamuk,
serta bentuk-bentuk yang lebih kompleks dari kehidupan hewan, akan
tahu ketika ada perubahan yang menunjukkan sesuatu yang luar biasa,
mungkin terjadi bayangan tiba-tiba, suara tajam, gerakan tidak terduga.
Kehidupan mereka tergantung dari reaksi atau kesiapan untuk bereaksi
terhadap perubahan dari yang biasa. Selain itu, harus dibedakan pula
bahwa hewan bukanlah manusia, yang juga banyak bermain, tetapi
tidak untuk menciptakan seni atau karya imajinatif apa pun untuk
diformalkan, untuk ritual perilaku, yang analog dengan upacara ritual
pada manusia, dalam menggunakan sikap mereka yang langka dan luar
biasa, melalui bau, suara, dan gerakan (Geist, 1978), 42 hal ini terdapat
pada hewan lain, tetapi tidak menimbulkan sesuatu di dalamnya,
kemudian kita sebut seni.
5. Pandangan Lebih Dekat tentang Membuat Khusus
Dengan demikian dapat dilihat etologi seni dengan
mempertimbangkan mereka sebagai cara untuk membuat hal-hal
penting dan kegiatan "khusus ", ―perilaku" atau kegiatan‖ bukan,
sebagaimana teori seni lainnya yang berpendapat: hal dan kegiatan diri
mereka sebagai " karya seni". Dissanayake menyarankan unsur-unsur
dari apa yang sekarang kita sebut seni misalnya, pola, dan kejelasan
yang pertama kali muncul dalam konteks nonaesthetic, tetapi ada
unsur-unsur inheren yang memuaskan manusia seperti perseptual,
emosional, kognitif. Justru kecenderungan untuk membuat spesial itu
dapat terbalik pengertiannya, sebab digunakan bukan untuk
kepentingan mereka sendiri. Perilaku ini dalam konteks etologis, adalah
"mekanisme yang mungkin"-sebagai kinerja yang berharga dari
perilaku seleksi alam lainnya. Sebaiknya, kita memahami apa itu
etologi.

42
Geist, V. (1978). Life strategies, human evolution, environmental design. New
York: Springer.
93
Catatan: etologi (dari bahasa Yunani: ethos, "karakter", dan-logia,
"studi tentang") adalah studi ilmiah dan objektif perilaku hewan dan
topik sub-zoologi. Fokus dari etologi adalah pada perilaku hewan dalam
kondisi alamiah, 43 sebagai lawan dari behaviorisme, yang berfokus
pada studi respon perilaku dalam pengaturan laboratorium. Banyak
naturalis telah mempelajari aspek perilaku hewan sepanjang sejarah.
Disiplin modern etologi umumnya dianggap telah dimulai sejak tahun
1930-an dengan karya biologi Belanda Nikolaas Tinbergen dan oleh
ahli biologi Austria Konrad Lorenz dan Karl von Frisch, pemenang
bersama dari 1973 Penghargaan Nobel dalam fisiologi atau Kedokteran.
44
Etologi adalah kombinasi laboratorium dan ilmu lapangan, dengan
hubungan yang kuat untuk disiplin ilmu tertentu lainnya seperti
neuroanatomi, ekologi, dan evolusi. Etolog biasanya tertarik dalam
proses perilaku kelompok hewan tertentu, dan sering mempelajari satu
jenis perilaku (misalnya agresi) pada sejumlah hewan terkait.
Keinginan untuk memahami hewan telah membuat bidang etologi
berkembang pesat. Sejak pergantian abad ke-21, banyak aspek
komunikasi hewan, emosi hewan, budaya hewan, belajar hewan, dan
bahkan perilaku seksual hewan yang oleh ahli lama telah didefinisikan
dan dipahami kemudian diperiksa kembali, para ahli etolog
mendapatkan kesimpulan baru seperti pengembangan ilmu
neuroethology.
Memahami perilaku etologi atau hewan dapat menjadi penting
dalam pelatihan hewan. Mengingat perilaku alami dari spesies yang
berbeda atau keturunan memungkinkan pelatih untuk memilih individu-
individu yang paling cocok untuk melaksanakan tugas yang
dibutuhkan. Hal ini memungkinkan pelatih hewan untuk mendorong
bentuk hubungan alami dari perilaku atau penghentian perilaku yang
tidak diinginkan. 45

43
"Definition of Ethology". Merriam-Webster. Retrieved 30 October 2012. "2:
penelitian ilmiah dan objektif perilaku hewan terutama dalam kondisi alamiah "
44
Nobel Prize page for 1973 Medicine Award to Tinbergen, Lorenz, and von Frisch
for contributions in ethology
45
McGreevy P and Boakes R, "'Carrots and sticks: Principles of animal training'".
(Sydney: "Sydney University Press". , 2011), pp. xi-23.
94 Nasbahry Couto & Indrayuda
Gambar 12. Batu ditemukan di alam, kelihatan unik, kemudian dispesialkan
(menjadi cincin) diretorikakan, menjadi benda khusus (diceritakan tuah dan
keramatnya, mitosnya) = seni (National Geographic)?

Pada awalnya alasan Dissanayake untuk berpikir tentang


―membuat spesial‖pertama kali terjadi mungkin untuk menghibur
dirinya sendiri dan orang lain agar apa yang diperhatikannya itu dapat
dianggap berharga dan efektif. Dia melihat bahwa gejala yang sama
terlihat pada spesies manusia. Misalnya perlunya hiasan/dekorasi atau
maskot bagi penyanyi, perlunya penjelasan sebuah lagu yang sangat
jauh dan dalam, daripada sekedar pemberitahuan melalui iklan adalah
agar terlihat menjadi khusus dan spesial.
Dissanayake kemudian mengkaji suatu hal seperti ini (yang banyak
dalam literatur misalnya kajian tentang manusia purba). Jika seorang
manusia purba bertujuan membunuh binatang atau bertujuan menyem-
buhkan penyakit -kita akan bersusah payah melakukan kegiatan ini
dengan serius. Jika kita secara tidak sengaja atau sengaja mengatakan
atau melakukan sesuatu yang ekstra dan sukses, kita mungkin ingat
untuk melakukan suatu kegiatan ekstra waktu berikutnya. Sama halnya
dalam kasus, seperti ketika seorang pemain bisbol menyentuh topinya
dan telinga dengan cara tertentu sebelum masuk ke lapangan atau
pemain atau pilot selalu membawa perhiasan tertentu di masa lalu agar
membawanya pada keberuntungan bukan kesialan.
Mengapa manusia membuat yang biasa menjadi luar biasa, yang
biasa kemudian diseriuskan, dan kegiatan yang diseriuskan, yang
penting dan diseriuskan menjadi nilai hidup sangat besar bagi manusia?
Jawabannya adalah agar dapat bertahan hidup. Setiap usaha sedikitnya
akan memberikan penguatan psikologis dan dapat diperhitungkan, baik
bagi diri sendiri atau orang lain yang melihatnya. Seperti yang
diperlihatkan Dissanayake orang-orang telah menghabiskan banyak
95
waktu dan mengalami kesulitan untuk memperkuat diri mereka dan
menjelaskan hal-hal yang merusak dan yang tidak akan memberi
keselamatan. Seperti yang dikatakan Dissanayake46 berikut ini.
“Ide pembuatan khusus sebagai alat persuasi(pembujuk) atau
retorika tampak menjanjikan. Mereka menggunakan alat-alat
seakan hidup dan dapat melayani secara khusus dengan
manyatakan pentingnya mereka kepada individu dan mereka lebih
berhati-hati dalam penggunaannya, dan yakin akan perilaku itu.
Akan tetapi, yang memberi konstribusi pada pembuatan khusus
untuk upacara ritual adalah ketika bahasa digunakan lebih puitis
(dengan tekanan suara, ritme yang menarik, bersajak, pilihan kata
metafora), dan ketika kostum atau dekorasi yang mencolok dan
berlebihan, ketika paduan suara, tarian, dan pembacaan
memungkinkan partisipasi wakil atau penonton sebenarnya, isi
upacara akan lebih berkesan saat yang meninggal "ditangani. " apa
pun pesan upacara dimaksudkan adalah untuk berkomunikasi
("kesatuan adalah kekuatan", "kematian adalah akhir dan awal",
"Kami adalah yang terbaik", "Transisi adalah menakutkan tetapi
tidak dapat dihindari", "Kita memerlukan makanan untuk musim
mendatang") akan menjadi yang pertama dan dilahirkan kemudian
akan diperkuat, mendapatkan tambahan tenaga khusus berdasarkan
upaya khusus dan perhatian dikeluarkan atasnya. Pada saat yang
sama, perasaan yang timbul dari partisipasi bersama dan emosi
bersama adalah aksi mikrokosmos yang muncul dari kerja sama
secara umum dan koordinasi yang penting bagi kelompok-kelompok
kecil untuk bertahan hidup di dunia untuk menghadapi kekerasan
yang tidak terduga. Kelompok anggota individu memiliki
kecenderungan untuk membuat hal-hal khusus akan memiliki
upacara ritual sebagai pemersatu dengan demikian, orang-orang
dan kelompok akan bertahan lebih baik dalam kelompok. ”
Seperti yang kita ketahui, dalam upacara ritual, kita dapat melihat
bagaimana sebuah kelompok masyarakat membuat sesuatu menjadi
spesial, memperoleh sesuatu lebih penting daripada kejadian individual.
Karena perhatian khusus ini dipakai untuk mengartikulasikan

46
The Core of Art: oleh Ellen Dissanayake, University of Washington, dalam Journal
of the Canadian Association for Curriculum Studies, Volume 1 Number 2 Fall 2003,
hal. 29
96 Nasbahry Couto & Indrayuda
keprihatinan substantif dan penting, itu dibangun dari, mengungkapkan,
dan melibatkan perasaan seseorang yang terdalam dan terkuat.

Gambar 13. ―Tari Piring‖, makan adalah hal kejadian biasa, gerak menyajikan
makan kemudian diciptakan khusus, dilihat secara khusus = ditampilkan di atas
pentas = seni? Sebuah kegiatan khusus yang akhirnya menciptakan seni karena
di ―pentas‖ kan. (http://melancongminang. blogspot. com /2010/03/manatiang-
piriang. html)
6. Hubungan Membuat Sesuatu yang Khusus (Spesial
dan Seni)
Dalam penelitiannya tentang seni, Dissanayake pertama kali
digiring untuk mengembangkan konsep ―pembuatan spesial‖ karena
ketidakpuasan, kebingungan yang mengelilinginya atas gagasan umum
seni dan budaya Barat --dan atau yang memantulkan kebingungan
karena tidak memadainya dan spekulatifnya – dan peran seni dalam
evolusi manusia. Kelihatan oleh Dissanayake jika kaum evolusionis
tidak sepenuhnya percaya adanya homo-aestheticus. Tidak
memuaskannya penjelasan bagaimana dan mengapa seni adalah
universal bagi manusia dan hanya bisa dilihat sebagai epiphenomenon
(fenomena lanjut) saja. Konsep mereka tentang seni itu sendiri terus
menyimpang. Seni adalah sesuatu yang begitu luas, menyenangkan dan
penting, tetapi tetap menjadi teka-teki selamanya.
Dissanayake terjebak dalam batasan dan prasangka/streotip dari
konsep budaya, dan tentang sikap dalam seni. Dissanayake
kebingungan dan mengambil jalan memutar, berputar-putar di sekitar
97
subjek, seperti ketika Dissanayake mencoba waktu mendapatkan seni
dari bermain atau seni dari ritual. Dissanayake terus kembali ke kualitas
dalam seni dari segala zaman dan tempat menjadi luar biasa, artinya
seni dilihat sebagai di luar rutinitas sehari-hari dan tidak ketat sebagai
utilitarian (dalam arti, materialistik utama) bahkan ketika mereka
dianggap "perlu" untuk praktik tertentu. Di sanalah penjelasan evolusi
selalu rusak karena sesuatu "nonutilitarian" seharusnya tidak dipilih
untuk tetap ada. Kata terbaik untuk karakteristik seni ini sepertinya
adalah perkataan ―dikhususkan‖, ―diistimewakan‖. Perkataan ―luar
biasa‖ mungkin telah tepat, tetapi terlalu mudah diartikan sebagai
"menakjubkan", yaitu sebuah kata yang akhirnya kurang tepat untuk
menggantikan pengertian ―sesuatu yang khusus‖.
Menurut Dissanayake, istilah nonutilitarian kurang tepat dipakai
untuk membedakan apakah sesuatu itu seni atau tidak, dan akan
menentang ide-ide Barat tentang ―seni-untuk-seni‖ (l‟art pour la arts”).
Sementara kata "khusus" mungkin tampak terlalu tidak tepat, sederhana
dan naif atau semata-mata hanya hiasan kata, akan mudah mencakup
sebuah daftar seni yang tidak seni seperti: menghiasi, melebih-lebihkan,
sebuah struktur, sebuah bentuk, dan ubahan. Kata "special" akan
menunjukkan faktor positif dari perhatian dan kepedulian, tetapi
samasekali tidak terkait dengan kata lain. Namun demikian, objek
khusus atau kegiatan menarik bagi (emosional, persepsi, kognitif)
adalah faktor penting dari semua aspek fungsi mental kita. Meskipun
ketiga kata (nonutilitarian, khusus, special), ini tidak dapat dipisahkan
dari nomenklatur estetik biasa ("untuk kepentingan diri sendiri,"
"keindahan," "harmoni," "kontemplasi") namun, cenderung terlalu me-
nekankan ketenangan atau kepuasan intelektual yang abstrak dengan
meng-orbankan faktor sensorik yang menyenangkan manusia. Oleh
karena itu, kata "khusus" dapat menunjukkan --tidak hanya untuk daya
tangkap indera --oleh keistimewaan persepsi dan kecerdasan yang
dirangsang oleh ―sesuatu yang tidak biasa‖. Membuat sesuatu yang
istimewa adalah cara mengeks-presikan aspek emosi secara positif dan
cara mencapai keistimewaan yang terlihat, tetapi memberikan kepuasan
yang khusus yaitu estetika.

98 Nasbahry Couto & Indrayuda


a. Elemen yang Menyenangkan bagi Indra
Penting mengenali unsur-unsur yang terlibat dalam membuat
estetika yang khas itu. Biasanya sesuatu yang estetis itu sudah ada
sendirinya dari sifat yang menyenangkan dan dapat disebut estetik awal
atau "proto-aesthetic". Bahkan ketika mereka ada secara alamiah dalam
konteks nonaesthetic. Karakteristik sesuatu yang menyenangkan
(estetik) ini telah ada dan telah terseleksi dalam evolusi manusia, yaitu
dalam bentuk indikasi-indikasi tertentu yang sehat dan baik: misalnya,
tanda-tanda visual kesehatan, keremajaan dan vitalitas seperti
kehalusan, kecemerlangan, warna-warna hangat atau bersih, kehalusan
atau kesempurnaan, dan sesuatu yang bersemangat, tepat, dan gerakan
yang halus.
Jadi kita akan menemukan pada sebagian besar, jika tidak semua,
nilai-nilai seperti itu dalam masyarakat sederhana seperti daya
tahannya, berkah tarian, kemerduan, kejelasan, irama atau gema (dari
sajak dan perangkat puitis lainnya) dalam bahasa, dan resonansi dan
kekuasaan dalam perkusi. Pada masyarakat dataran tinggi barat Papua
New Guinea misalnya, terdapat seni hias tubuh, tarian, drum, dan
sebagainya yang dengan unsur kilap, berkilauan, berapi-api, bersinar,
menyala, yaitu, sebagai kebalikan dari kusam, kering, bersisik, matte,
dan kusam (O'Hanlon, 1989). Pada seni Barat yang dianggap bernilai
tinggi, diberikan kepada keterampilan membuat polesan patung
marmer, alat dan ornamen logam yang mengilap, tempera dan lukisan
minyak yang dapat bersinar dan seakan hidup, dan tekstil yang didesain
mewah atau lembut dan nyaman.

b. Unsur yang menyenangkan bagi kognitif


Selain elemen yang menarik bagi pancaindra, terutama penglihatan
dan pendengaran, ada unsur lain yang menyenangkan bagi kognitif
manusia: yaitu pengulangan, pola, kontinuitas, kejelasan, ketangkasan,
elaborasi atau variasi dari, kontras tema, proporsi dan keseimbangan.
Sifat-sifat harus dipahami, dikuasai karena memberikan rasa aman
secara kognitif. Dengan demikian, akan diakui sebagai "baik, "
walaupun bukan dalam konteks utilitas (benda berguna) dan
membuatnya menjadi sesuatu yang istimewa. Prototipe visual
(misalnya, bentuk dasar geometri seperti lingkaran atau bentuk mandala

99
seperti salib diagonal atau tegak, akan dipahami secara kognitif
dianggap dapat mengendalikan kekacauan, kekotoran, dan
ketidakjelasan. Tanggapan terhadap sesuatu yang "istimewa" dalam arti
estetik ini --dalam konteks sensori, emosional serta intelektual--
―memuaskan dan khusus" -mungkin berevolusi bersamaan dengan
respon-respon lain.
7. Implikasi Membuat Spesial/Khusus
Konsep pembuatan khusus, dalam pandangan dari bidang bio-
behavioral menjadi fitur inti untuk mendefinisikan perilaku seni, dan
hal ini memberikan titik terang baru pada pertanyaan sebelumnya yang
merepotkan tentang sifat, asal, tujuan, dan nilai seni, dan tempatnya
dalam kehidupan manusia. Beberapa kesimpulan yang disarankan
Dissanayake adalah berikut ini.
Pengertian seni selama ini menjelaskan bagaimana konsep seni
dapat berbagai pengertian, bahkan mungkin bertentangan. Seni
mungkin sesuatu yang langka dan terbatas sesuai dengan keyakinan
kelompok modernis atau sebaliknya membebaskan dari masalah sesuai
dengan keyakinan kelompok posmodernis (yang melihat seni baik atau
buruk, mungkin adalah ciptaan asli individu atau manifestasi dari tradisi
sejarah atau kode regional). Seni mungkin memerlukan bakat, dan
pelatihan khusus yang panjang atau menjadi sesuatu --yang setiap orang
dapat mempelajarinya --seperti mereka belajar berenang, memasak atau
berburu. Seni dapat digunakan untuk apa pun, dan apa pun bisa
berkesempatan menjadi seni. Membuat khusus mungkin tidak cantik,
walaupun membuat khusus sering mengakibatkan "akan membuatnya
indah," sesuatu yang istimewa dapat diperoleh dari keanehan dan
kemewahan. Sepertinya membuat sesuatu yang istimewa sangat
beragam dan tidak terbatas adalah seni.
Jika inti perilaku penting, yang membuatnya istimewa,
kekhawatiran tentang apakah salah satu atau contoh lain dari itu seni
atau tidak seni menjadi tidak relevan lagi. Pertama tentu saja bisa,
tanyakan apakah seseorang secara pribadi ingin mengambil waktu dan
kesulitan untuk menghargai atau berusaha untuk menghargai
keistimewaannya. Lembaga donor tidak akan ragu terus berdebat
apakah foto Robert Maplethorpe, misalnya, seni atau tidak "seni" dalam
arti berpusat pada budaya khusus. Akan tetapi dari pandangan yang
100 Nasbahry Couto & Indrayuda
berpusat pada spesies seperti yang diuraikan Dysnayake, adalah relevan
bahwa Homo aestheticus "butuh" untuk membuat khusus dan
menghargai keistimewaannya. Manusia dan masyarakat menyediakan
sarana dan parameter untuk melakukan (atau tidak melakukan) seni dan
untuk mengevaluasi hasilnya.
Pada saat yang sama, ide membuat spesial tidak mengizinkan
pernyataan yang longgar (kadang-kadang mendengar dari seniman
posmodernis, komposer, dan kritik) seni segalanya dan segala sesuatu
seni. Ini mungkin terjadi apa pun berpotensi seni, tetapi untuk menjadi
seni ada persyaratan. Pertama, niat estetik atau sesuatu hal. Kedua, dari
penciptaan adalah membuat spesial atau imajinasi untuk
memperlakukannya sebagai khusus. Jika seni adalah segalanya dan
segala sesuatu adalah seni, dan atau suara musik dan musik adalah
suara, seperti yang disebut Dissanayake mengapa membedakan
kegiatan itu dengan menyebut "art" atau "musik"?
Membuat khusus menekankan gagasan bahwa seni, cenderung
biologis dan dipengaruhi atau mempengaruhi fisik: sensual, dan
emosional memuaskan dan menyenangkan bagi manusia. Dengan
menggunakan unsur-unsur yang menyenangkang dan memuaskan indra
manusia, elemen-elemen nonestetik akan muncul sendirinya: lantai
cerah, bentuk menarik dan suara, gerakan ritmis, aural kontur, gestural,
dan visual dengan kandungan makna emosional47. Mengatur pola dan
unsur-unsur biasa, secara "khusus" manusia purba yakin dengan
kegiatan mereka dalam melakukan upacara khusus yang menyatukan
mereka. Seni "diaktifkan" oleh upacara itu, dan karena adanya upacara
itu membuat mereka merasa lebih baik. Sebelum mereka sadar untuk
membuat hal-hal khusus, kepuasan irama, kebaruan, urutan, pola,
warna, gerakan tubuh, dan gerak selaras dengan orang lain, semuanya
dianggap kebutuhan dasar hewani sebagai bagian penting kehidupan.
Menggunakan elemen-elemen tubuh yang menyenangkan untuk
membuat upacara khusus, kemudian menguraikan dan membentuk
mereka-seni dan seni dilahirkan.

47
Lihat Eibl-Eibesfeldt (1989a; 1989b) untuk contoh tambahan dan menarik dan
memahami elemen bioaesthetic timbul dari persepsi dan perilaku manusia.
101
1. Pemakaian Kata Seni di Barat (Eropah)
Arti seni (art) dalam kaca mata orang Eropah (Barat) yang utama
adalah seni rupa walaupun terkandung pengertian kata art ini termasuk
musik, tari, film, teater dan sebagainya, yaitu dalam pengertian yang
luas dari kata seni (art). Seni (art) adalah berbagai macam kegiatan
manusia dan produk dari kegiatan-kegiatan tersebut, kebanyakan tulisan
terutama mengartikan art sebagai seni visual, yang meliputi penciptaan
gambar atau objek pada bidang, termasuk lukisan, patung, fotografi seni
grafis, dan media visual lainnya. 48
Arsitektur sering dimasukkan sebagai salah satu seni visual,
namun, seperti seni dekoratif, melibatkan penciptaan benda-benda di
mana pertimbangan praktis penggunaan sangat penting-dengan cara
yang mereka biasanya tidak untuk sebuah lukisan. Musik, teater, film,
tari, seni pertunjukan lainnya, literatur, dan media lainnya seperti media
interaktif termasuk dalam definisi yang lebih luas dari seni. Sampai
abad ke-17, seni disebut keterampilan, setiap atau penguasaan dan tidak
dibedakan dari kerajinan atau ilmu. Namun, dalam pemakaian yang
lebih modern atas istilah seni rupa, pertimbangan estetika lebih
diutamakan untuk seni rupa, dibedakan dari karya keterampilan dan
seni dekoratif atau terapan.
Banyak definisi seni telah diajukan oleh para filsuf dan orang-
orang yang telah diungkapkan sebagai seni mimesis, komunikasi
ekspresi, emosi atau nilai-nilai lainnya. Selama periode romantis, seni
dilihat sebagai "kotak khusus dari pikiran manusia harus
diklasifikasikan dengan agama dan ilmu pengetahuan". Meskipun
definisi seni banyak diperdebatkan dan telah berubah dari waktu ke
waktu, deskripsi umum menyebutkan seni sebagai ide dari manusia dan
penciptaan melalui keterampilan imajinatif atau teknis. Sifat seni dan
konsep terkait seperti kreativitas dan interpretasi, yang dieksplorasi
dalam cabang filsafat yang dikenal sebagai estetika.

48
Wikipedia, http://en. wikipedia. org/wiki/Art, 2013
102 Nasbahry Couto & Indrayuda
Sebagai contoh dalam bahasa Inggris sangat jarang dipakai istilah
art of film, art of music, art of theater, dan hanya disebut sebagai film,
music atau theater. Jika seni adalah terjemahan dari art maka buku-
buku yang berjudul art seperti History of Art tidak ada membahas
teater, sastra atau musik di dalamnya, dalam buku semacam ini yang
ada adalah seni lukis, patung, grafis, dan keramik. Kadang-kadang ada
arsitektur di dalamnya.
Pada zaman lampau, istilah seni di Barat berakar dari istilah ars.
Dalam bahasa Latin abad pertengahan, ada terdapat istilah-istilah ars,
artes, dan artista. ars adalah teknik atau craftsmanship adalah
keterampilan dan atau kemahiran dalam mengerjakan sesuatu, atista
adalah pelaku ars itu. artes berarti societates mesteriorum atau
kelompok orang-orang yang memiliki ketangkasan tersebut (craft
guilds); dan artista adalah anggota yang ada dalam kelompok-kelompok
itu. Istilah ars inilah kemudian berkembang menjadi I‟arte (Italia), I‟art
(Perancis), el arte (Spanyol), dan art (Inggris). Bersamaan dengan itu,
isinya pun berkembang sedikit demi sedikit ke arah pengertiannya
49
sekarang.
Yunani yang dipandang sebagai sumber kebudayaan Eropa, tidak
ditemukan kata yang sepadan dengan kata arts. Kata yang sejajar
dengan istilah itu adalah ―techne‖ atau teknik. Menurut Aristoteles,
(techne) dapat disebut dengan seni, yaitu kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu disertai dengan pengertian yang benar tentang
prinsip-prinsip pembuatannya. Pada masa ini timbul pandangan bahwa
seniman hanya peniru, jadi karya seni hanya tiruan (imitasi = mimesis).
Dunia ini diciptakan oleh Tuhan sedangkan seniman atau tukang hanya
peniru ciptaan Tuhan, jadi yang ideal itu ciptaan Tuhan. Plato seorang
filsuf Yunani mengatakan keindahan itu terletak pada pikiran manusia
tentang sesuatu yang ideal yaitu sesuatu yang sempurna dari ciptaan
Tuhan, sehingga tidak mungkin keindahan itu kita peroleh dari dunia
ini. Akibat pandangan ini tidak ada pembatas antara seniman dan
kriyawan, kriyawan mencipta sepatu dan para pelukis hanyalah
menghasilkan tiruan dari sepatu tersebut.

49
Di Eropa juga ada istilah lain untuk menamai hal yang sama. Orang Jerman
menyebut seni dengan die Kunst dan orang Belanda menyebutnya Kunst, yang
berasal dari akar kata lain yang memiliki pengertian yang sama.
103
Timbulnya istilah fine art atau seni murni dalam abad ke-18, lebih
disebabkan oleh pembedaan antara seniman dan kriyawan. Seniman
dianggap pekerja seni yang berurusan dengan kreativitas dan ekspresi,
sedangkan kriyawan adalah tukang yang bekerja dengan keterampilan
tangannya. Fine art bukanlah kesenian yang rumit, melainkan seni
indah atau beautiful (les beaux arts, le belle arti, die schone Kunst).
Seni yang mementingkan keindahan daripada kegunaanya. Pada abad
ke-19, di Inggris terdapat suatu usaha untuk menyatukan kembali seni
murni dan seni kriya tersebut yang dipelopori oleh John Ruskin dan
William Morris.
2. Asal Kata Seni dan Pemakaiannya dalam Bahasa
Indonesia
Pemakaian istilah seni untuk pertama kalinya secara resmi di
Indonesia adalah dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan
50
Poerwadarminta yang artinya sesuatu yang halus dan atau indah .
Pemakaian istilah ini kemudian diikuti oleh kamus-kamus lainnya di
Indonesia. Istilah ―seni‖ sebenarnya sudah lama dipakai dalam bahasa
Melayu Lama yang berarti ―halus‖ atau ―kecil‖. Misalnya dalam buku
51
Sejarah Melayu lama, karangan Nuruddin ar-Raniri ditemukan
kalimat ― jarum yang seni‖ (seni= halus atau kecil). Di Malaysia
misalnya untuk seni bangunan (arsitektur) dipakai istilah ―seni bina‖,
seni kraf-tangan/handycraf/ kerajinan tangan (bahasa Indonesia).
Keterangan selanjutnya menjelaskan bahwa kata seni dipakai
Poerwadarminta, bukan untuk menterjemahkan kata art, yang artinya
―kemahiran‖ atau dalam arti yang lebih khusus ―seni rupa‖ tetapi fine
art yang artinya (seni murni). Mungkin penulis kamus ini beranggapan
bahwa istilah seni sepadan dengan fine art. Fine Art lantas dibedakan
dengan aplied art yang hasil kerja tukang, dan ini cocok dengan bahasa
Melayu ―seni‖ yang artinya sesuatu yang halus, indah dan bernilai
tinggi seperti karya sastra, musik, teater, patung, seni lukis. Pengrajin

50
Lihat, Jim Supangkat, 1979, Gerakan Seni Rupa Baru, Jakarta: Gramedia. Hal. 70
51
Dialah penulis pertama di Tanah Melayu yang menyajikan sejarah dalam konteks
universal dan memprakarsai bentuk baru penulisan sejarah Melayu. buku sejarahnya
yang berjudul Bustan al-Salatin karya terbesarnya yang mencerminkan minat khusus
pengarangnya terhadap sejarah, khususnya Sejarah Melayu
104 Nasbahry Couto & Indrayuda
menghasilkan karya yang indah, tetapi itu tidaklah dianggap karya seni
yang murni, tetapi karya seni aplikasi/seni terapan (pandangan ini
masih berlangsung sampai sekarang), walaupun pandangan dunia sudah
berubah.
Di kawasan lain dari Indonesia, istilah seni ini dapat dijelaskan,
misalnya di India dikenal istilah cilpa. Dalam bahasa Sansekerta, seni
disebut dengan cilpa. Sebagai kata sifat cilpa berarti berwarna dan kata
su-cilpa berarti dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah atau
dihias dengan yang indah. Dalam kebudayaan India terkenal buku
Cilpacastra, yang artinya buku petunjuk seni yaitu buku atau pedoman
untuk para cilpin, yaitu tukang bangunan, tukang pahat, ukir atau
seniman (Soedarso, 2006: 10).
Sebagai tambahan, ada yang mengatakan bahwa seni berasal dari
kata ―sani‖ dalam bahasa Sansekerta yang berarti pemujaan, pelayanan,
pemberian, permintaan atau pencarian dengan hormat dan jujur
(Sugriwa, 1957). Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa seni
diambil dari istilah Belanda yaitu ―genie” atau jenius.
Sebagai konsekuensinya kita melihat dalam buku Kamus Besar
Bahasa Indonesia arti seni dan pemakaiannya dalam uraian berikut ini.
3. Pemakaian Kata Seni dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)
Pemakaian kata seni dalam KBBI dijelaskan dalam kata sifat
(adjectif dan kata benda (noun).

Adjective (Kata Sifat)


2. 1 halus (tentang rabaan); kecil dan halus; tipis dan halus: benda --
, benda yang halus bahannya dan buatannya; bercelak --, memakai
celak yang halus; jarum yang --, jarum yang halus sekali; seorang
putri yang --, putri yang halus kulitnya; ular --, ular yang kecil; 2
lembut dan tinggi (tentang suara): suara biduanita itu sungguh --,
suara yang kecil tinggi; 3 mungil dan elok (tentang badan): burung
yang --burung yang kecil dan elok; me·nye·ni a halus; lembut:
lagunya -
noun (kata benda)

105
3. 1 keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi
kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya); 2 karya yang
diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti tari, lukisan,
ukiran; seniman tari juga sering menciptakan karya sastra yang
indah; --arca ilmu tentang arca dilihat dari segi tekniknya (gaya,
cara, dan ketentuan pembuatannya); --bangunan seni tentang
keindahan dalam membuat bangunan; --budaya perihal kesenian dan
kebudayaan; --derita kegiatan yang dengan sengaja membuat
menderita diri sendiri, seperti mengurung diri dalam ruangan; --
drama seni mengenai pelakonan dalam pentas (sandiwara); --
eksperimental seni yang diciptakan dengan maksud diujicobakan
untuk dinilai dan diapresiasikan: musik garapan musikus itu dapat
dikatakan sebagai --eksperimental; --kriya seni kerajinan tangan: ia
mempromosikan --kriya Indonesia yang kaya ragam; --lukis seni
mengenai gambar-menggambar dan lukis-melukis; --murni seni
mengenai pembuatan barang yang indah-indah (seni lukis, seni
pahat, dan sebagainya); --pahat seni mengenai pahat-memahat
(membuat patung dan sebagainya); seni ukir; --panggung kebolehan
dan keterampilan yang diperlukan dalam suatu pementasan; --ritual
seni yang berkaitan dengan kepentingan memanunggalkan manusia
dengan Tuhannya atau kekuatan adikodrati yang dipercayainya: Nini
Thowok termasuk kategori pergelaran --ritual Jawa; --rupa seni
pahat dan seni lukis; --sastra seni mengenai karang-mengarang
(prosa dan puisi); --suara seni olah suara atau bunyi (nyanyian,
musik, dan sebagainya); --suara instrumental seni suara yang
diperdengar-kan melalui alat-alat, seperti alat tiup, alat gesek, dan
alat pukul; --suara vokal seni suara yang diperdengarkan dengan
perantaraan suara manusia; --sungging seni membuat gambar
perhiasan; --taman lanskap; --tari seni mengenai tari-menari (gerak-
gerik yang berirama); --ukir seni, pahat; ber·se·ni v mempunyai rasa
seni; mengandung nilai seni; me·nye·ni v cak berseni: ia -juga;
ke·se·ni·an n perihal seni; keindahan: sejarah -, sejarah tentang
perkembanganeni; -rakyat kesenian masyarakat banyak dalam m
bentuk yang dapat menimbulkan rasa indah yang diciptakan sendiri
oleh anggota masyarakat yang hasilnya adalah milik bersama4.

106 Nasbahry Couto & Indrayuda


kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi
(luar biasa); 5. orang yang berkesanggupan luar biasa; genius.

Beberapa tahun yang lalu di Indonesia pernah terjadi perdebatan


mengenai sastra kontekstual dan sastra universal. Perdebatan semacam
itu sebenarnya lumrah dalam dunia pemikiran yang mengarah pada
falsafi. Dalam dunia filsafat selalu terdapat dua kutub pemikiran
mendasar yang tampaknya saling bertentangan. Apakah seni universal
atau kontekstual? Apakah kebebasan itu ada atau tidak? Jawabannya
dapat ya dan dapat tidak, tergantung dari dasar dan argumentasi nalar
yang digunakannya.

Apakah seni itu pada dasarnya universal?


Pertanyaan ini dapat dijawab, seni itu mengandung nilai-nilai
universal yang berlaku untuk semua tempat dan semua zaman. Dalam
hal ini tentu hanya ada pada karya-karya seni yang memang bermutu.
Nilai-nilai universal dalam seni bermutu mengakibatkan karya itu tidak
putus-putusnya diberi makna sesuai dengan persoalan nilai kontekstual.
Lakon Hamlet karangan Shakespeare adalah salah satu contoh atau
karya lakon Sofokles, Oidiopus Sang Raja.
Sebuah karya seni mengandung nilai-nilai universal kalau karya itu
berhasil menemukan nilai-nilai esensi, nilai-nilai mendasar yang
bersifat abstrak. Nilai-nilai itu dapat terletak pada aspek intrinsik
seninya atau pada aspek ekstrinsiknya52. Nilai intrinsik 53yang bersifat
universal ini memang harus didekati dari material seni (bahasa, bahan
warna, material arsitektur, bunyi, gerak, perbuatan) yang berbeda satu
sama lain dan ciri khas setiap jenis kesenian.

52
Berasal dari luar (tt nilai mata uang, sifat manusia atau nilai suatu peristiwa); bukan
bagian yangtidak terpisahkan dari sesuatu; tidak termasuk intinya
53
Terkandung di dalamnya (tt kadar logam mulia dalam mata uang, harkat seseorang
atau suatu peristiwa): nilai --mata uang, nilai logam yangterkandung di dalamnya,
biasanya kurang dari nilai yangtertera di atasnya; harkat --seseorang, harkat
yangdimiliki oleh seseorang seperti kehormatan atau keberanian

107
Musik dan seni rupa, misalnya karena material seninya, yakni
bunyi dan bahan warna, dapat langsung dikomunikasikan tanpa
hambatan "bahasa". Nilai empiris tentang pengolahan material seni itu
dengan langsung dapat dihayati oleh manusia di mana pun dan kapan
pun. Warna kuning tertentu, warna bunyi dan susunan bunyi dapat
memberikan sensasi inderawi yang bersifat universal. Jadi, nilai empiris
bahan atau material seni (termasuk gerak tari, dapat bersifat universal)
Bahan yang diolah menjadi unsur-unsur terkecil bentuk seni
kemudian disusun atau diorganisir oleh senimannya begitu rupa dapat
memberikan arti dan makna tertentu serta efek atau kesan tertentu.
Inilah nilai struktur. Dalam setiap jenis seni selalu ada patokan
penggolongan pola struktur ini. Pola-pola struktur ini dapat bersifat
universal. Kaidah-kaidah matematis dalam struktur bentuk jelas dikenal
secara universal. Keindahan logis dari suatu penyusunan struktur dapat
memberikan rasa "kebenaran" ` yang bersifat universal.
Nilai-nilai intrinsik seni adalah ciri khas seni yang bersifat otonom.
Kaum pemuja keindahan selalu menekankan aspek intrinsik ini dalam
karya-karya mereka. Seni tidak seharusnya dimuati nilai-nilai di luar
seni, seperti nilai-nilai hidup sehari-hari (moral, politik dan
sebagainya). Keindahan bentuk, keindahan struktur itu sendiri mampu
memberikan perasaan "benar", "bersih" dan "sempurna" dalam dirinya.
Dengan kata lain, keindahan itu adalah suatu moralitas. Maka
muncullah teater tanpa unsur ekstrinsik, melulu "peristiwa" berupa
paduan gerak, bunyi, suara, pengerahan mise in scene (segala sesuatu
yang ada di framepentas di luar aktor manusia), tanpa "cerita", yang
semua itu disusun dalam suatu struktur ruang dan waktu tertentu.
Menonton teater semacam ini, kita tidak bisa bertanya: tentang apa
teater ini? Atau, kalau melihat lukisan -"abstrak": ini lukisan tentang
apa? Jawabannya: tentang keindahan, tentang suatu ekspresi, tentang
suatu bentuk dalam bayangan suatu struktur. Tidak ada aspek ekstrinsik
yang ingin dikemukakannya. Perkara kemudian si penikmat mau
menghubung-kannya dengan kehidupan (ekstrinsik) itu terserah
mereka, tetapi tujuan utamanya adalah menyuguhkan suatu keindahan
mutlak.
Dalam musik hal serupa juga terjadi, termasuk puisi. Ada puisi
yang membingungkan kalau kita mencoba untuk mencari aspek
ekstrinsiknya (bicara tentang apa). Susunan kata-kata dalam imaji-imaji
108 Nasbahry Couto & Indrayuda
tertentu, dan susunan imaji-imaji itu dalam bentuk keseluruhan puisi
dapat memberikan efek perasaan tertentu yang sulit untuk dirumuskan,
kecuali si pembaca "mengalami" sendiri pengalaman puitik puisi
tersebut. Hanya dalam puisi orang terikat oleh bahasa yang dipakainya.
Dalam suatu terjemahan, nilai intrinsik puisi semacam itu barangkali
dapat hilang nilai keindahannya. Nilai lain dalam seni adalah nilai
ekstrinsik seperti pernah berkali-kali disebut. Nilai ini menyangkut nilai
pengalaman praktis sehari-hari. Nilai ini adalah basil keterlibatan
seniman dengan lingkungan hidupnya, kepedulian pada lingkungan
hidupnya adalah sikapnya yang kritis terhadap kehidupan. Nilai ini,
adalah sikapnya yang kritis terhadap lingkungan budaya atau sikap
sosial masyarakatnya. Hampir seluruh karya seni mengandung aspek
ekstrinsik ini, kecuali karya-karya yang benar-benar "seni demi seni".
Nilai ekstrinsik jelas bersifat kontekstual. Seniman bersinggungan
dengan kenyataan di luar dirinya secara konkret. Kenyataan itu dapat
memberikan respons positif atau negatif pada dirinya, sesuai dengan
anutan nilai-nilai esensial yang dikuasainya. Para penganut pemikiran
ini beranggapan bahwa seni itu harus "indah dan berguna". Indah dalam
arti memenuhi tuntutan keindahan intrinsiknya, dan berguna dalam arti
punya peran dalam kehidupan nyata (seni meningkatkan martabat
manusia, misalnya).
Meskipun kebanyakan seni mengangkat aspek ekstrin sik dalam
karyanya, harus dinilai sejauh mana dia mampu menemukan nilai
esensinya. Kemampuan menemukan nilai-nilai esensi dalam kenyataan
sehari-hari itulah yang bersifat universal, meskipun yang
dibicarakannya kenyataan-kenyataan kontekstual.
Dalam aspek ekstrinsik memang terdapat muatan nilai-nilai
konteks sezaman dan setempat. Kalau sebuah lakon berasal dari India,
tentu mengandung aspek pengetahuan sehari-hari (empiris) masyarakat
India. Ini tidak dapat dielakkan, kalau seniman menekankan kebenaran
empiris dalam karyanya. Setiap seniman terikat, terstruktur dalam
masyarakatnya, sehingga apa yang dialami masyarakatnya menjadi
bagian pengalaman seniman. Kalau dia menanggapi pengalaman
masyarakatnya maka mau tidak mau dia harus bicara tentang
konteksnya.
Kaum kontekstual terlalu menekankan pada "kebenaran empiris"
yang menyejarah ini. Manusia dan tanahnya, manusia dan lingkungan
109
hidupnya tidak mungkin terpisahkan. Karena tidak terpisahkan, maka
adalah tugas seniman (sebagai intelektual) untuk peduli padanya dan
membuat hidup ini lebih "baik" dari yang disaksikannya.
Kaum intelektual itu selalu tidak pernah puas terhadap kenyataan
hidup yang ada saja "kekurang beresannya". Kaum intelektual itu in gin
mewujudkan nilai esensi dalam dirinya menjadi kenyataan empiris yang
senyata-nyatanya. Ya tetapi, dunia ini kan bukan surga. Dunia ini nyata,
sedangkan idea, esensi itu sifatnya absolut, universal, dan abadi.
Kebenaran esensi itu dapat dicari dalam kenyataan empiris yang
kontekstual, yaitu kalau seniman mampu "melihat" suatu struktur dalam
kenyataan sehari-hari. Mungkin inilah yang dicari kaum kontekstual.
Akan tetapi tidak setiap karya seni yang bertolak dari aspek ekstrinsik
kontekstual tadi dapat mencapai nilai-nilai universal (esensi). Hanya
mereka yang telah memiliki nilai-nilai ideal (esensi) dalam hidupnya,
yang akan mampu melihat struktur tertentu dalam kenyataan hidup
yang mengalir. Tidak heran apabila HB Jassin dalam bukunya ―Tifa
Sastra dan Daerahnya‖ menyerukan agar para calon sastrawan mau
membaca buku-buku ilmu dan filsafat.
Karya seni yang terlalu kontekstual mungkin saja amat populer dan
digemari pada zamannya, tetapi begitu masalah-masalah konteks yang
dibahas dalam karyanya telah lewat, melalui pulalah nilainya bersama
zamannya. Jadi, nilai-nilai esensi yang terdapat dalam aspek intrinsik
dan ekstrinsik karya senilah yang bersifat universal. "Subject matter"
seni boleh kontekstual karena seniman memang hanya mengalami ap
yang nyata dalam masyarakatnya.

110 Nasbahry Couto & Indrayuda


K
ita sering berpikir seni sebagai tindakan individu dan seniman
sebagai sosok soliter bekerja sendiri, tetapi sebenarnya seni
adalah kegiatan kolektif yang memerlukan kerja sama dari
sejumlah orang dan berbagai kegiatan. Konsep ini berasal dari
Becker, tentang seni sebagai dunia interaktif sosial atau disebut dengan
pendekatan interaktif. Pemikiran ini dimulai tahun 1964, istilah seni
telah mendirikan tempat di philosofis dan sosiologis seni, pertama
pendekatan kelembagaan George Dickie dan pendekatan kelembagaan
interaksional pragmatis dari Howard S. Becker di dunia berbahasa
Inggris, dan kemudian di benua Eropa, terutama di bawah pengaruh
besar Pierre Bourdieu.
Dunia seni adalah dunia bagi seluruh individu, dunia seni adalah
segala hal yang berkontribusi pada penciptaan seni. Dunia seni ini,
dijelaskan oleh sosiolog Howard Becker dalam buku klasiknya "Worlds
art" buku ini bukan hanya membahas tentang seniman, melainkan juga
membahas pemasok bahan bagi seniman, distributor, kritikus,
pelanggan, dan penonton, yang kesemuanya adalah elemen-elemen
yang memungkinkan seniman untuk membuat dan berbagi seni.
Sebagai contoh adalah berikut ini.
Ketika berbicara tentang seni kita sangat jarang berpikir tentang
bahan-bahan seni -cat, tanah liat, instrumen, kostum -semua yang
diperlukan untuk penciptaan seni. Seniman sebenarnya membutuhkan
hasil produksi tertentu dari distributor, pengecer barang dan objek lain
dalam komunitas bisnis yang memasok bahan. Semua orang dan
kegiatan yang diperlukan untuk seniman umumnya dibutuhkan. Seni itu
mengundang penonton untuk menonton, termasuk mereka yang pergi
111
ke bioskop akhir pekan dan pelanggan yang memegang tiket untuk
menonton acara pagelaran. Ada hubungan yang dinamis dan timbal
balik antara seniman dan penonton, masing-masing memberi dan
menerima dari yang lain.
"Artis dengan demikian, bekerja di pusat jaringan kerja sama,
semua yang bekerja itu penting untuk hasil akhir. Di mana pun ia
tergantung pada orang lain, ada link untuk kerja sama ", kata
Howard Becker.
Jadi, mengapa hal ini penting? Seni penting untuk masyarakat.
Melihat seni sebagai kegiatan kolektif dan bukan hanya tindakan soliter
individu, adalah penting karena membantu kita untuk lebih memahami
apa itu seni dan kontribusi seniman kepada masyarakat. Jaffe (1964)
berpendapat, artis melalui pekerjaan mereka, menangkap unsur realitas
sosial. Sama seperti artis, sosiolog dapat melihat karya seni sebagai
bentuk tangkapan realitas dan dengan demikian, mengeksplorasi
mereka untuk menjelaskan eksistensi sosial. Menurut John Paul (2011),
dalam rangka untuk benar-benar memahami, mengidentifikasi dan
mengeksplorasi unsur sosial itu (dalam bentuk artistik), ilmuwan sosial
tentu harus menerapkan kerangka investigatif relatif dari disiplin ilmu
mereka.
Sejak lama sejarah seni telah beresonansi dengan satu kata yaitu
―kenyataan‖ What is reality? Kita ketahui, sejak awal munculnya seni
seperti lukisan-lukisan dan produksi seni lainnya telah benar-benar
menjadi ekspresi dari Weltanschauung (ideologi) "pandangan terhadap-
dunia, " dalam arti yang paling harfiah dari istilah; pandangan seniman
terhadap dunia, untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
konteks-konteks kenyataan, kebenaran. Jadi, apa itu kenyataan? (Jaffe
1964: Introduction). 54
Oleh karena itu, tulisan ini akan mendefinisikan seni dalam
sejumlah pendekatan: yaitu estetika, personal, dan sosiologis. Kedua,
peran dan tempat teori dalam penyelidikan sosiologis diperkenalkan.
Terakhir, perspektif teoretis dari konflik, fungsional, dan pendekatan
interpretatif yang disorot untuk wilayah studi sosiologis.

54
Diadaptasi dari tulisan John Paul: ‖Seni sebagai Weltanschauung (ideologi): Sebuah
Tinjauan Teori Sosiologi dalam Seni:, sumber: http://www. john. paul1@washburn.
edu
112 Nasbahry Couto & Indrayuda
1. Pendahuluan
Tulisan Hauser55 ini tentu terbatas pada pengamatan sosial dan
sejarah di bawah tahun 80-an. Pengamatan sosial atas seni di atas tahun
80-an tentu tidak akan kita jumpai dalam tulisannya. Seperti yang
ditulis oleh Hauser, pada bagian akhir bukunya, dia menulis tentang
kematian seni (the end of art) seakan-akan seni itu telah mengalami
kematiannya dengan timbulnya gagasan-gagasan baru seperti
kebudayaan massa (mass art), mass culture,
pop art, seni dada baru (New Dada), seni
absurd sebagai lonceng kematian seni secara
ideologis. Dia berteori bahwa dengan hilang nilai-
nilai, ukuran seni formal secara sosial pada era itu,
menganggap sebagai pertanda kematian seni lama.
Dapat disadari bahwa memang pada saat
Hauser menulis, sekitar tahun 70-an adalah saat
mulai munculnya gerakan posmo (baca: post-
modernism) yang menghilangkan nilai-nilai
universal seni. Setelah masa ini --dalam kenyataannya, seni dalam
pengertian yang lebih luas --justru lebih berkembang baik di Eropah
atau di Amerika, dan mendapat landasan baru ide seni baru secara
akademik yang diaplikasikan untuk kepentingan lain lagi misalnya
untuk menunjang era pascaindustri.
Walaupun pandangan terakhir Hauser ini sudah tidak relevan
karena kajiannya hanya sampai pada keadaan sosial tahun 70--80-an,
landasan teoretiknya masih dapat dipakai untuk membahas sosiologi
seni. Menurut Hauser (1982: 3-17) ada empat unsur, yang dapat
diungkapkan dalam empat pertanyaan untuk mengemukakan
konsep/teori sosiologi seni seperti yang digambarkan pada gambar 3. 1.
Pertanyaan pertama, apakah seni itu berfungsi sebagai "whole"
(totalitas keseluruhan) ataukah sebagai "parts' dari kehidupan? Yaitu
pertanyaan ―pandangan manusia terhadap dunia‖. Pertanyaan yang
pertama ini dijawab oleh Hauser bahwa sepanjang sejarah

55
Arnold Hauser, (1978, 1982), The Sociology of Art, Chicago: University of Chicago
Press.
113
memperlihatkan bahwa seni itu bersendikan pada "realitas"
(kenyataan), berarti bahwa seni itu dibangun oleh manusia atas dasar
persepsi (pengamatan manusia), unsur fisik dari objek seni itu lebih
penting dari yang lainnya. Objek seni adalah sesuatu yang mengandung
nilai (pandangan) tertentu dalam kehidupan manusia. Manusia
membangunnya atas dasar kesadaran pengamatannya sesuai dengan
nilai-nilai lingkungan sosial budayanya. Menurutnya, secara fisik karya
seni dapat bertindak sebagai bagian keseluruhan (totality) dalam
kehidupan manusia, misalnya lingkungan yang dapat dipersepsi seperti
benda, bunyi, rasa yang dibentuk oleh manusia bahwa manusia tidak
bisa bebas dari lingkungan kreasinya, tetapi dia punya pilihan-pilihan,
dan pilihan tersebut menunjukkan suatu kualitas atau yang dianggap
dapat meningkatkan derajat atau martabat hidupnya.
Selain itu, lebih lanjut menurut Hauser, karya seni mungkin adalah
kebutuhan sekunder dan tersier, karya seni hanya bertindak sebagai
parts (bagian-bagian yang lepas) manusia bisa bebas menerima atau
menolak karya seni itu. Kedua pengertian ini perlu dijelaskan oleh
Hauser, sebelum dia membahas sosiologi seni. Artinya untuk
menikmatinya seni itu tidak bebas nilai, dia dapat disaring atau
tersaring oleh oleh prasangka sosial dan nilai-nilai yang berlangsung
dalam masyarakat tertentu.

114 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 14. Empat aspek yang disorot oleh Hauser sebagai dasar teori
Sosiologi seni, yaitu (1) aspek kreasi, (2) aspek karya (objek seni), (3)
aspek psikologi seni, (4) aspek penulisan seni (tekstual), yang termasuk
ke dalam ini adalah kritik seni, apresiasi dan sejarah seni. (Couto,
Nasbahry 2006, 2010)
2. Kemenangan Realisme
Pada umumnya karya seni adalah jawaban manusia atas masalah-
masalah yang berkaitan dengan kenyataan yang dilihat dan
direnungkannya. Lebih jauh lagi, seni adalah "senjata" oleh manusia
untuk menjawab tantangan hidup. Melalui seni manusia
mengimajinasikan jawaban-jawaban yang tidak bisa terpecahkan dalam
realitas. Senjata yang dimaksud oleh Hauser adalah ―imajinasi‖ sebab
melalui imajinasilah kreasi seni itu dilahirkan. Manusia bebas
berimajinasi dan meujudkan imajinya itu ke dalam realitas dan
lingkungan.
Dari contoh-contoh sejarah, Hauser menyimpulkan bahwa dalam
bidang sastra, lukis, patung, drama termasuk arsitektur (bangunan)
manusia itu berkreasi melalui pengamatan sekaligus menjadikan apa
yang terlihat sebagai sumber imajinasi dan kreasi. Bagi Hauser hal ini
sebagai pertanda kemenangan ―realisme‖ atau lebih ekstrimnya adalah
115
kemenangan seniman-seniman yang berpegang pada fakta atau realitas
sebagai sumber ilham untuk mengubah realitas itu sendiri pada realitas
―baru‖.
Sebagai bandingan teori-teori seni dan estetika sejak zaman Plato
pertamakali dibangun atas dasar teori realitas. Kemudian muncul pula
teori-teori tentang bagaimana realitas itu seharusnya disusun atau ditata
sesuai dengan kebutuhan manusia. Ternyata tujuan seni yang pertama
bukanlah semata untuk tujuan ekspresi. Tujuan ekspresi justru lahir
kemudian, walaupun ekspresi, surealisme, seni abstrak adalah suatu
pengingkaran terhadap realitas, tetap menunjukkan gejala dia tetap
berpegang pada realitas bahkan menciptakan realitas baru. Disamping
mengandung tujuan-tujuan lain seperti tujuan agama, tujuan keindahan
(estetik).
3. Realisme Kontra Nonrealisme
Setelah tujuan-tujuan untuk menggambarkan realitas itu pudar,
kepudarannya itu terjadi karena manusia dengan imajinasinya telah
melampaui realitas, justru melampaui tujuan-tujuan dasar seni atas
dasar realitas. Seni modern, menurut Hauser, dicurigai, dihujat, dan
dikritik karena tidak lagi semata berbicara mengenai realitas yang dapat
dimiliki secara sosial. Maksudnya, memang mungkin seniman memiliki
realitas sendiri, tetapi hanya dimiliki secara individual. Hanya seniman
yang dapat memahami realitas itu, sedangkan orang lain tidak, yang
sepenuhnya tidak dapat disosialisasikan. Hal ini menimbulkan
prasangka dan kecurigaan terhadap seni. Salah satu sebabnya karena
tidak lagi berbicara tentang kebenaran estetik dari realitas, tetapi justru
mencari realitas baru, seperti realitas-realitas imajinatif yang
dibayangkan oleh seniman secara pribadi yang khaos.
Dalam situasi ini Hauser menyebutnya sebagai "loss of reality"
tercerabutnya seniman dari realitas. Tinjauan sosiologis tentu tidak
akan menerapkan pemikiran ini secara general (umum). Hal ini hanya
berlaku pada seni yang disadari, seni yang ada pada masyarakat maju
atau modern, seperti yang diperlihatkan pada bagan di bawah ini. Seni
tradisi misalnya, walaupun tidak disadari sepenuhnya oleh pelaku
seninya, bagaimana seharusnya realitas seni adalah warisan yang
diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya tanpa di sadari.

116 Nasbahry Couto & Indrayuda


Pertanyaan kedua adalah bagaimanakah proses sosialisasi kreasi
seni itu? Menurut Hauser. Seni tidak hanya sebatas ungkapan, tanpa
maksud dan tanpa adanya penerimaan sosial atas ungkapan itu.
Menurut Hauser, inspirasi, konsep-konsep seni bisa bersumber dari
subjek (pelaku), tetapi dia tidak selamanya menjadi "subjektif'. Begitu
dikeluarkan, dia akan menjadi "objektif" sebagai wahana komunikasi
sosial sebab individu pada dasarnya adalah makhluk sosial dan menjadi
bagian dari masyarakatnya. Dia akan berubah menjadi "bahasa seni"
yang dapat dimengerti oleh komunitasnya berdasarkan "kesepakatan-
kesepakatan"(konvensi) sosial. Proses sosialisasi seni adalah suatu
proses dialektik seperti yang dikatakannya sebagai berikut ini.
"The process is dialectical. Spontaneity and recistance.
Invention and convention: dynamic impulses born of experience
break down or expand form, and fixed, inert, stable form condition,
obstruct, and exchange each other. (1982: 21) "

Gambar 15. Karya yang disadari (conciousness)dan yang tidak


disadari (un-conciousness dalam masyarakat. Dalam masyarakat
tradisi seni disadari secara semu, hal ini berbeda dengan seni yang
muncul dari kesadaran sosial melalui pendidikan dan sebagainya.
(Nasbahry Couto, 2006, 2010)

Oleh karena itu, dalam proses sosialisasi seni itu sebenarnya


bermuka dua bisa dilihat secara produk individu dan hasil penerimaan
(konvensi) kelompok. Dilihat sebagai dialektik dari spontanitas
117
(spontaneity) dan kesepakatan (convention). Sebagai originalitas dan
tradisi. Keduanya harus sejalan atau linear dan seni itu, tidak hanya
suatu produk subjektif, tetapi sosial, dialektika keduanya bisa saling
memiliki kemampuan untuk mereduksi (memiskinkan, mengurangi),
tetapi sekaligus menghasilkan ketegangan. Ketegangan ini terjadi
karena kontradiktif dengan konvensi-konvensi seni yang ada dalam
masyarakat, setiap adanya inovasi atau pembaharuan dalam seni maka
terjadi ketegangan antara keinginan untuk‖mempertahankan‖ dan
keinginan untuk ‗memperbaruinya‖ sekaligus untuk menciptakan suatu
seni yang baru.
Menurut Hauser, ketegangan itu justru adalah suatu hal yang
penting dalam perkembangan seni sebab ketegangan itu menimbulkan
kritik, kecaman, buah pemikiran baru dan berakhir dengan pencerahan.
Pencerahan adalah suatu tanda diterimanya buah pemikiran baru dan
bisa dilihat sebagai sebagai inovasi yang diperoleh dari suatu proses
belajar. 56 Karena konsep-konsep seni lahir dari individu, maka konsep-
konsep ini tidak selalu disadari atau dapat diterima oleh masyarakat
(hauser).
Misalnya konsep-konsep seni yang dimunculkan oleh kalangan
akademik --tidak memasyarakat--dalam pengertian hanya menjadi
wacana di kalangan terbatas kelompok akademik, tetapi wacana
akademik dapat mengubah konsep-konsep seni yang ada di masyarakat
dan mempengaruhi lingkungan komunitas sosial. Penerimaan
(reception) itu bisa dimulai oleh si pembaharu yang diterima oleh
sekelompok kecil, kemudian melebar ke kelompok masyarakat yang
lebih besar. Ketegangan yang terjadi bukan pada karya seni melainkan
pada konflik pemikiran atau ideologi masyarakat yang menerimanya
karena masyarakat itu memiliki sistem ideologi atau sistem nilai, yang
sifatnya cenderung dipertahankan (konvensional, tradisional).
Apakah inspirasi individu dapat mengubah konvensi-konvensi dan
tradisi seni dalam suatu masyarakat? Individualisme adalah salah satu
sebab seni itu sukar untuk disosialisasikan, dan hal ini salah satu sebab
seni tertentu jadinya bukan milik masyarakat, tetapi cenderung menjadi

56
Hal ini diperlihatkan dalam sejarah seni, adanya suatu inovasi seni baru, terlebih
dahulu disertai oleh penolakan dan selalu berakhir dengan penerimaan oleh
masyarakat.
118 Nasbahry Couto & Indrayuda
milik individu dalam kehidupan modern. Dia dapat menjadi milik sosial
jika mereka dipaksa, terpaksa atau tidak sengaja mengakuinya hal ini
disebutnya sebagai hegemoni seni. Pandangan seperti ini kemudian
mempengaruhi pemikir-pemikir sosisologi seni yang kemudian.
Alasan lain tentang kemacetan sosialisasi seni ini karena
perbedaan-perbedaan ideologi yang berjalan dalam sosial dan budaya
yang sepenuhnya tidak memiliki makna yang sama yang dapat
disatukan secara harmonis, bakhkan bertentangan. Hal ini disebut
konflik ideologi seni dalam sosial. Misalnya konflik antara primitif dan
modern, lama dan baru, seni dominan dan tidak dominan, seni kota-
dengan seni desa, seni massa dengan seni individual, seni kultur utama
dengan sub-sub kultur, seni barat dan seni Timur, Seni Islam dan seni
Kristen dan sebagainya. Perbedaan ini akan menyebabkan seni itu tidak
dapat dilihat secara universal, tetapi diproduksi dan dikonsumsi sebatas
komunitasnya sendiri.
4. Seni Mapan Kontra Inovator Seni (Avant Garde)
Istilah avant garde (garda depan) pertama kali dipakai untuk
menjelaskan komunitas seni-komunitas pembaharu seni di Eropah. Jadi,
kelompok avant-gardis adalah kelompok pembaharu seni --yang ingin
pembaharuan dalam seni. Hal ini dapat dilihat pada berbagai peralihan
gaya seni, misalnya dari neoklassik ke realisme, pemberontakan seni
―dada‖ sebagai protes terhadap akibat perang dunia pertama.
Munculnya gaya espresionisme Jerman, dan gaya abstrak oleh Picasso
dan sebagainya.
Gerakan pembaharuan ini terlihat di Indonesia pada gerakan
realisme-sosial Sujoyono pada zaman kemerdekaan yang melawan
kemapanan gaya seni ―moi Indie” (India Molek), gerakan Menikebu
yang menentang seni komunisme, gerakan seni rupa baru (1975) yang
menentang gaya seni akademis yang kaku, gerakan surealisme Yogya
dan sebagainya. Pada awalnya –khususnya pada awal kemerdekaan-
seni adalah ideologi dan gerakan untuk menentang penjajahan Belanda.
Ideologi ini dipelopori oleh seniman baik akademik atau nonakademik
yang berasal dari sanggar-sanggar seni jadi sangat terkait dengan
politik.

119
5. Sosialisasi Seni dan Media Komunikasi
Ada yang berpendapat bahwa seni hanya dapat dinikmati secara
individual, tetapi pengalaman individual itu dapat dipaparkan kepada
orang lain sebagai suatu cara untuk memsosialisasikan seni. Salah satu
pengalaman manusia dalam seni yang menonjol menurut Hauser adalah
pengalaman estetik. Pengalaman seperti ini perlu disosialisasikan
melalui pemaparan tertulis agar dikenal secara sosial. Beberapa contoh
di bawah ini memperlihatkan hal itu.
Pengalaman estetika itu sering dihubungkan dengan suatu tatanan
formal. Misalnya pembuatan hal-hal yang berkaitan dengan tujuan
untuk menunjukkan kekokohan, kekuatan, bahkan keindahan.
Pengalaman tentang tertib di bidang desain yang disebut dengan tatanan
(order) dan dalam seni rupa disebut dengan komposisi (composition).
Adalah bagaimana mengatur bagian (part) pada kesatuan (whole) dari
elemen seni sehingga diharapkan akan diperoleh pengalaman estetik.
Seperti yang dikatakan Feldman (1967) berikut ini.
“Kita ketahui salah satu teknik dalam menciptakan karya seni
rupa dan desain umumnya dilakukan seniman melalui pemilihan
bentuk, warna, garis, ukuran, dan unsur-unsur visual lainnya.
Pelukis menyediakan beberapa warna di atas paletnya,
pematung melalui seonggok tanah liat atau batu, arsitek melalui
sejumlah material dan kemungkinan struktur yang dapat
diwujudkan ke bentuk bangunan. Mereka kemudian mencoba
menyusun apa yang disebut bentuk, susunan atau struktur tertentu.
Salah satu cara perupa dalam meujudkan bentuk itu adalah melalui
pengurangan atau reduksi. Warna yang banyak itu akhirnya dipilih
beberapa warna saja sampai tercapai tertib warna. Bentuk tanah
liat yang kacau itu ditertibkan sampai tercapai tertib bentuk. Dari
beragam material disusun sehingga tercipta tertib bentuk yang
disebut bangunan”.
Seni visual berangkat dari ketertiban dan seni nonvisual seperti
musik, berangkat dari ketertiban, misalnya musik adalah bunyi yang
diaransir, karya lukisan adalah tertib visual yang dibingkai tari adalah
gerak yang dipentaskan dan drama adalah kehidupan yang diredusir dan
ditampilkan dan dibingkai oleh pentas, dijauhkan/dibedakan dari
realitas. Warna-warna pada palet kelihatan kacau atau tidak tertib.
Salah satu innervision (visi dalam) seniman dalam mencipta adalah
120 Nasbahry Couto & Indrayuda
demi kepastian dan ketertiban melalui pengulangan-pengulangan
(redundansi). Dalam proses berkarya seniman berusaha menyusun
bunyi (musik), rupa (seni rupa) rupa dan suara (tari), elemen bangunan
(arsitektur), dan hal ini sudah dilakukan orang sejak lama. Apakah
tujuan membuat karya tertib itu. di luar ketertiban? Salah satu jawabnya
adalah keindahan, yang lahir dari keseimbangan dan kestabilan,
melaluinyalah pikiran seniman diarahkan kepada estetika bentuk stabil.
Prinsip kestabilan ini dapat dihubungkan dengan seluruh 'persepsi
realitas " dunia benda yang memiliki kestabilan dan keseimbangan.
Catatan seni rupa Barat penuh dengan pemikiran ini, di antaranya
estetika melalui matematik.
Seniman dalam proses berkarya berusaha menyusun bunyi
(musik), rupa (seni rupa) rupa dan suara (tari), elemen bangunan
(arsitektur), dan hal ini sudah dilakukan orang sejak lama. Apakah
tujuan membuat karya tertib itu di luar ketertiban? Salah satu jawabnya
adalah keindahan, yang lahir dari keseimbangan dan kestabilan,
melaluinyalah pikiran seniman diarahkan kepada estetika bentuk stabil.
Prinsip kestabilan ini dapat dihubungkan dengan seluruh 'persepsi
realitas " dunia benda yang memiliki kestabilan dan keseimbangan.
Catatan seni rupa Barat penuh dengan pemikiran ini, di antaranya
estetika melalui matematik.
Sebagai contoh, dalam seni rupa Yunani abad ke-4 SM; tatanan
formal suatu bentuk bagi mereka adalah keseimbangan, harmoni atau
stabilitas. seni rupa diciptakan melalui pemakaian dalil-dalil proporsi
dan ukuran, salah satunya dikenal dengan nama 'kanon" (Canonic) gaya
seni rupa dengan hasrat mencapai keindahan semacam ini disebut gaya
klassik. Prinsip ini bermula dari seni rupa Yunani klassik. Dalam
arsitektur, arsitek Vitruvius (lahir 84 SM) mencoba mempelajari
keindahan tertib tubuh manusia dengan analoginya pada bangunan.
Sekitar tahun 27-30 SM; membuat buku "De Architectura",
pengaruhnya terasa sampai abad ke-I8, bahkan era modern. Seperti
yang kita lihat pemikiran ini menghasilkan bangunan Yunani dan
Romawi klasik yang penuh kemegahan, kestabilan, ukuran, dan
proporsi itu mengambil tubuh manusia sebagai analoginya. Misalnya
tiang Doric adalah perbandingan kaki seorang laki-laki terhadap tinggi
tubuhnya, tiang Ionic mengambil proporsi kerampingan seorang wanita
dewasa, dan Corinthian, kontur kerampingan seorang wanita muda.
121
Memang sumber tertib bentuk yang indah menurut visi Yunani klassik
adalah tubuh manusia.
Vitravius dan masyarakat Yunani membuat teori daya tarik
(estetis) yang dikatakan indah, berhubungan langsung melalui
perbandingan bagian dengan keseluruhan bangunan melalui
perbandingan matematik yang didasari oleh dimensi tubuh manusia
yang secara visual menunjukkan harmoni. Tubuh manusia adalah yang
paling indah menurut mereka. Oleh karena itu, mereka mencari tertib
berpikir di seluruh alam yang ada hubungannya dengan keindahan itu.
Pelukis Zeuxis (di Yunani) misalnya. melakukan beberapa studi
wanita cantik sebelum dia melukis Helena dari Troya. Meskipun kreasi
artistik seni rupa klassik dicapai melalui menggunakan ukuran atau
"kanonik", banyak cara lain untuk mencapai tertib bentuk. Aturan-
aturan sebelumnya hanyalah salah satu alat penuntun seniman dalam
rangka kerja artistiknya. Dalam seni modern, yang dipersoalkan adalah
bagaimana mengangkat tertib universal itu kepada konstruksi bangunan
tulisan drama dan sebagainya. Imaji manusia haruslah dikoreksi
berdasarkan bentuk dan anatomi yang disempurnakan penampilannya
(proporsi). Imaji manusia terlihat khas dalam kerangka idealisasi ini.
Gaya formal ini tidak hanya terlihat pada ungkapan seni Yunani
klassik, tetapi pada seni rupa daerah grup atau bangsa tertentu. Tidak
hanya tergambar pada selera para petinggi institusi tertentu yang ingin
mengungkapkan keindahan melalui eksistensi kekuatan dan kemegahan
yang mempengaruhi institusi kelompoknya. Akan tetapi, ada pada
setiap person yang kreatif dan menyenangi bentuk-bentuk stabil.
Komposisi yang seimbang lebih dijangkiti oleh karakter individu,
daripada faktor budaya. Dapat dipahami ada individu yang ingin tampil
semarak melalui kemegahan, kekayaan, dan eksklusif. Kita dapat
memahami bahwa seni rupa klasik atau tertib itu, sebagai dorongan atau
kemauan beberapa orang saja seperti para bangsawan atau raja yang
meneruskan keinginannya itu kepada lapisan masyarakat di bawahnya.
Para arsitek, pelukis atau pematung, bahkan seniman jenis ini suka
menggambarkan ketenangan, dan pose-pose diam dan stabil dunia
mereka.
Tugas perupa tidak lain mencari berbagai dimensi pesona bagi
karyanya; sampai tercapai apa yang disebut 'beauty' (keindahan,
kecantikan). Dorongan estetis (keindahan), dan formal timbul dari
122 Nasbahry Couto & Indrayuda
keinginan untuk menikmati dan mengagumi sesuatu yang dapat
memuaskan diri person dengan atau tanpa alasan yang jelas. Pada masa
kini alasan-alasan estetik yang dianggap memuaskan itu, diluaskan
pengertiannya tidak terbatas pada 'beauty' saja, tetapi kepada hal-hal
lain misalnya kenyamanan, kepraktisan, kemudahan dan kemurahan.
Jadi, batasan estetika telah demikian meluas.
Tiap-tiap komunitas bisa menciptakan selera estetik sendiri yang
berbeda-beda, sehuingga dikenal ada estetika India, estetika Islam,
estetika Cina, estetika Jawa dan sebagainya, yang dianggap sebagai ciri
seni bahkan kepribadian sosial/komunitas. Bagaimanakah aspek
psikologi sosial seni itu dalam masyarakat? Apakah yang dapat
disimpulkan dari kesejarahan seni? Bukankah kreasi seni sebagai
strategi oleh manusia untuk hidup abadi melalui karyanya. Bukankah
dia bertindak dengan mempedomani kreasi masa lampau untuk
memproyeksikan masa depan?
6. Antara Rutinitas dan Improvisasi
Menurut Hauser rutinitas dan improvisasi adalah dua perkataan
yang berbahaya bagi seni, khususnya seni modern. Menurut Hauser hal
ini telah diperlihatkan dalam sejarah. Sesuatu yang rutin adalah suatu
pekerjaan yang diulang-ulang, sebuah lukisan yang di ulang-ulang
disebut dengan istilah yang sinis ‗ciplakan‘ atau reproduksi, bahkan
dicap craft atau kerajinan. Namun tetapi pementasan teater yang
sama/rutin dapat menampilkan corak yang berbeda. Hal ini berbeda
dengan lukisan yang kemungkinan miripnya dengan yang lama sangat
besar.
Hal ini kembali kepada sifat manusia yang selalu menuntut hal
yang baru. Seni modern selalu menuntut agar tercipta sesuatu yang baru
untuk masyarakatnya. Improvisasi menurut Hauser dapat berbahaya.
Improvisasi dalam konteks sosial menurut Hauser mengindikasikan
bahwa sesuatu yang mendadak muncul dalam masyarakat tanpa adanya
komunikasi dan korespondensi, tanpa adanya persepsi yang jelas, tanpa
penggunaaan bahasa seni yang lazim dalam masyarakat, tanpa ada
kesepakatan (konvensi), akhirnya mungkin ditolak atau sebaliknya. Jika
dapat memuaskan publik, bahkan akan diterima masyarakat (resepsi).

123
7. Motivasi Psikologi Seni dalam Masyarakat/Sosial
Psikologi sosial dan sosiologi sering dipertukarkan sebab keduanya
sama-sama mempelajari kelompok manusia dan perilaku kelompok
tersebut. Bagaimanapun perspektif atau cara pandang mereka sangat
berbeda. Sarjana sosiologi bekerja keras memahami perilaku kelompok
dalam kaitan dengan institusi sosial dan masyarakat. Sebaliknya,
sarjana psikolog sosial memusatkan pada individu, dan bagaimana
mereka merasa, saling ber-hubungan, dan mempengaruhi satu sama
lain. Mereka belajar bagaimana individu menggunakan pengaruhnya
pada kelompok dan bagaimana keadaan kelompok mempengaruhi
perilaku individu.
Jika bidang seni dikaitkan dengan sosiologi, terdapat distansi yang
sangat lebar antara kepentingan ekspresi individu (seni) perupa dengan
kepentingan institusi (sosial). Misalnya institusi bicara tentang aturan-
aturan dalam perkotaan, institusi pendidikan bicara tentang aturan-
aturan dalam pendidikan, ciri dari institusi sosial adalah agar individu
dalam kelompok-nya dapat diatur sesuai dengan misinya. Oleh karena
seni patung masuk dalam ruang kota, kepentingan perkotaan dapat
diperlihatkan dalam berbagai contoh, seperti kepentingan terhadap
tempat, lokasi tertentu yang bersejarah, taman kota atau urban design.
Konsep-konsep seni patung modern, tidak jauh dari konsep-konsep
pengisisan ruang untuk persepsi tertentu dalam ruang publik. Namun,
tentu saja masih terdapat ruang bagi kepentingan ungkapan visual
seniman, sejauh mereka dapat menafsirkan kepentingan institusi.
8. Profesi Seni dalam Tinjauan Sosiologis dan Budaya
Profesi seni dalam masyarakat modern di Barat telah mengalami
sejarah yang panjang dibandingkan dengan masyarakat lain yang baru
berkembang. Hal ini dapat dikaji dan diteliti dari sejarah seni dan disain
yaitu tentang perkembangan kedudukan dan atau profesi seni dalam
konteks pengertian seni di Barat dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Model Lembaga Pengontrol Kualitas Profesi dan Pendidikan


Seni di Inggris Tahun 2000

124 Nasbahry Couto & Indrayuda


No Profesi Pendidikan Seni dan Profesi Seni, Disain&Craft
Disain Inggris/Skottl /Irlandia
Inggris/Scottis
1 National Society for Education in Royal Institute of British
Art & Design (NESEAD) Architec (RIBA)
2 Graduate Teacher Traing (GTT) Chartered Society of
Designer
3 Departement for Education and Scottish arts Council
Employment DfEE)
4 British filmInstitute (BFI) Art Council of Notheren
Ireland
5 Qualivications and Curriculum AQA (City & Guilds)
Authority (QCA)
6 RSA Examination Board Arts Council of Wales
7 Scottish Qualifications Athority Art Council of England
(SCOTVEC)
8 SKIL National Bureau for student Craft Council (CC)
With Disabilities
9 Association for Aplied Arts
10 British Association of Art
Therapists
11 British Display Society
12 British of Profesional
Photographers

Model lembaga-lembaga profesi dan lembaga kependidikan


mengawasi profesi dan pendidikan seni dan desain di Inggris tahun
2000. Lembaga-lembaga ini yang mengawasi kualitas baik mutu atau
penyebaran tenaga kerja profesional, membawahi lebih 250 bidang sudi
level S2 seni dan desain di Inggris. Menurut Hauser dalam masyarakat
modern selalu terdapat badan, lembaga atau swadaya masyarakat yang
mendorong, mengawasi, mengontol kualitas atau mutu seni.

125
Gambar 16. Jaringan aktor profesi seni rupa murni, seniman
mendapat proyek dari kontraktor berdasarkan perencanaan dari
konsultan perencana, jadi jasanya dibayar oleh kontraktor pelaksana.
Pelaku seni rupa dapat renaisans bertindak sebagai konsultan
perencana. Misalnya dalam pembuatan patung kota. Pemakai adalah
publik dalam kota, pemilik proyek adalah pemerintah. (. Couto,
Nasbahry 2006, 2010).

126 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 17. Jarinan aktor dalam menganalisis dari produksi ke pemakai,
profesi seni rupa murni yang lebih kompleks (Couto, Nasbahry: 2006, 2010)
9. Kesimpulan
Empat mode yang berorientasi pada seni dunia-sebagai terpadu
profesional, maverick, seniman akar rumput atau rakyat artis-
menunjukkan skema umum untuk menafsirkan cara orang dapat
berorientasi untuk setiap jenis dunia sosial, tidak peduli apa fokus atau
yang konvensional putaran kegiatan kolektif. Sejauh dunia telah
membangun cara-cara rutin dan konvensional menjalankan kegiatan-
kegiatan anggotanya biasanya terlibat dalam, orang dapat berpartisipasi
di dalamnya sebagai anggota sepenuhnya kompeten yang tahu
bagaimana melakukannya dengan mudah dan baik apa yang perlu
dilakukan. Sebagian besar dari apa yang dilakukan di dunia yang akan
dilakukan oleh orang-orang seperti itu-analog umum profesional
terintegrasi. Jika kegiatan ini adalah salah satu bahwa setiap anggota
masyarakat atau setiap anggota dari beberapa subkategori besar terlibat
dalam, seniman rakyat dapat memberikan analog lebih dekat. Beberapa
orang, mengetahui apa yang konvensional, namun akan memilih untuk
berperilaku berbeda, dengan kesulitan berikutnya diprediksi
127
keterlibatan dalam kegiatan kolektif dunia. Beberapa inovasi orang
tersebut mengusulkan dapat diambil oleh dunia yang lebih besar dari
yang mereka telah berbeda, membuat mereka menjadi inovator
terhormat (setidaknya dalam retrospeksi) daripada engkol. Beberapa
tidak akan tahu keberadaan dunia atau peduli tentang hal itu, dan
menemukan seluruh hal untuk diri mereka sendiri-versi umum dari
seniman naif. Dengan cara ini, kita bisa mengatakan (dengan waran
agak lebih daripada biasanya dikatakan) bahwa dunia masyarakat seni
cermin pada umumnya.

Buku karangan Howard S. , Becker


(Worlds Art, 1982) 57 setidaknya memuat
sebelas (11) pokok persoalan seni yang akan
diuraikan di bawah ini. Nick Demsey
berpendapat bahwa masalah-masalah yang
potensial dapat muncul dari uraian-uraian
yang bersifat emik58 dari seni, yaitu
pandangan yang berdasarkan sebuah budaya.
Menurutnya pandangan emik ini akan
mendorong-nya untuk menyatakan bahwa
"siapa pun bisa melihat seperti ini. "
Pandangan ini memang dapat membantu
untuk memahami dunia seni dengan baik,
tetapi dapat untuk membuat analisis buta
terhadap hal-hal yang ia lihat tetapi tidak
sebenar-nya palsu.

57
Lihat http://books. google. co. id/books/about/Outsiders.
html?id=3Vjsn0BQUOoC&
redir_esc=y
58
Emic: pengertian: pendekatan Emic (berdasarkan sudut pandang budaya) dan
pendekatan etic (berdasarkan pendekatan keilmuan)
128 Nasbahry Couto & Indrayuda
1. Dunia Seni dan Kegiatan Kolektif
Menurut Becker (1982), kita sering berpikir seni sebagai tindakan
individu dan seniman sebagai sosok soliter yang bekerja sendiri, tetapi
sebenarnya seni adalah kegiatan kolektif yang memerlukan kerja sama
dari sejumlah orang dan berbagai kegiatan. Dunia seni menurut Becker
adalah dunia bagi seluruh individu, dunia seni adalah segala hal yang
berkontribusi (memberikan sumbangan) pada penciptaan seni.
Dunia Seni Ini, dijelaskan oleh sosiolog Howard Becker dalam
buku klasiknya "Worlds Art" buku ini bukan hanya membahas tentang
seniman, melainkan menginspirasi seniman, distributor, kritikus,
pelanggan, dan penonton, yang kesemuanya adalah elemen-elemen
yang memungkinkan seniman untuk membuat berbagai seni. Beberapa
butir di bawah ini memperlihatkan hal itu.

a. Bahan Seni
Sebagai contoh ketika berbicara tentang seni kita sangat jarang
berpikir tentang bahan-bahan seni -cat, tanah liat, instrumen, kostum -
semua yang diperlukan untuk penciptaan seni. Seniman perlu hasil
produksi tertentu, distributor, pengecer dan lain-lain dalam komunitas
bisnis yang memasok bahan. Semua orang dan kegiatan yang
diperlukan untuk seniman untuk bekerja.

b. Audien/penonton/pelanggan Seni
Contoh lain adalah tentang seni & audience–nya. Seni itu
mengundang penonton untuk menonton. Ini termasuk mereka yang
pergi ke bioskop akhir pekan serta pelanggan yang memegang tiket
untuk menonton acara pagelaran seni. Ada hubungan yang dinamis dan
timbal balik antara seniman dan penonton, masing-masing memberi dan
menerima dari yang lain. Seniman dengan demikian, bekerja di pusat
jaringan dimana orang bekerja sama, semua yang bekerja sangat
penting untuk hasil akhir. Di mana pun ia tergantung pada orang lain,
ada link untuk kerja sama, jadi mengapa hal ini menjadi penting?
Melihat seni sebagai kegiatan kolektif, dan bukan hanya tindakan
soliter individu, adalah penting karena hal ini membantu kita untuk
lebih memahami apa itu seni dan kontribusi seniman kepada
masyarakat. Menurut Becker (1982) pemahaman ini dapat membantu
129
kita untuk menyusun program pendanaan seni, untuk mengalakkan seni
di pusat kegiatan komunitas, memberikan kita pandangan holistik untuk
menyediakan tempat seni di dunia kita.

c. Hubungan seni dengan ekonomi


Seni membantu untuk menciptakan lapangan kerja dan pengaruh
dari produksinya. Seni tidak selalu dimulai dan diakhiri oleh
artis/seniman, melainkan oleh kegiatan penciptakan seni yang
membutuhkan tindakan orang, dan bisnis seni.

d. Masyarakat dan Seni.


Seni membantu menciptakan hubungan sosial dan hubungan di
masyarakat. Orang yang menghadiri acara kesenian -yang
membutuhkan film, musik atau pertunjukan galeri -dan kemudian
bersosialisasi dengan orang lain. Seni menciptakan berbagai alasan dan
forum bagi orang untuk berkumpul dan memiliki pengalaman bersama.
Ketika Anda berpikir tentang ―dunia seni‖, semua orang dan
kegiatan yang mendukung seni dan seniman, Anda dapat lebih
memahami betapa pentingnya seni. Seni berpengaruh kepada
masyarakat dalam banyak cara. Memahami pentingnya seni sangat
penting jika kita ingin mengambil pendekatan holistik untuk
pengembangan masyarakat
Seperti yang dikatakan oleh Howard Becker, semua karya artistik,
seperti semua aktivitas manusia, tergantung pada aktivitas bersama
sejumlah orang, kita dapat membuat sebuah daftar tentang apa yang
perlu untuk dilakukan untuk menghasilkan sebuah karya seni seperti:
Ide seni, Manufakturing/Industri, Jaringan distribusi, Waktu, Uang,
Dukungan personil, Penonton, Kritikus, Kurator, Pelatihan, dan
ketertiban, dan sebagainya
Seni dunia memiliki pembagian kerja. seniman diyakini berbakat,
setidaknya di dalam masyarakat. Apa saja dari inti dan kegiatan di
sekeliling dunia seni itu dapat dilihat. Seniman dapat terlihat di inti
kegiatan seni. Kadang-kadang kelompok khusus mengambil alih tugas
inti, misalnya, musisi orkestra. Kadang-kadang seniman ingin membuat
seni yang menantang struktur yang ada, mungkin tidak produtif, dan
menonjol.

130 Nasbahry Couto & Indrayuda


Orang-orang yang bekerja sama pada seni bergantung pada
konvensi-"perjanjian sebelumnya kini menjadi kebiasaan. " Berikan
seniman sejumlah cara untuk melakukan hal-hal, membuat proses
pengambilan keputusan. Maka seorang seniman akan lebih mudah (jika
ada cara konvensional yang menarik atau hanya perlu memutuskan apa
yang harus menarik), tetapi konvensi/kebiasan-kebiasaan itu jarang
yang kaku, namun tidak berubah.
Menurut Becker (1982) seni rupa tidak memiliki batas-batas
kebiasaan/konvensi yang terlalu ketat, sehingga seni rupa dapat berada
dalam jaringan dan dukungan perangkat yang tidak terhingga luasnya.
Dalam sejarahnya terlihat dunia seni menghabiskan banyak waktu
untuk memutuskan apa yang seni dan yang bukan seni atau bertengkar
tentang hal itu. Kajian Bourdieu tentang hal ini lebih tajam, yaitu
bagaimana orang berjuang dengan sumber daya yang terbatas dari
dunia seni. Klaim bahwa perlu ada kebebasan sosial dan politik yang
cukup untuk membuat seni adalah meragukan, bahkan pada saat terjadi
gejolak besar, orang juga membuat karya seni.
2. Konvensi (Kesepakatan)
Bentuk seni verbal menurut Becker (komedi, drama)
memanfaatkan konvensi/kebiasaan yang diketahui semua orang, yang
memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi. Secara umum,
kebiasaan sebuah dunia seni didefinisikan dan diketahui pada bagian
luarnya saja, dan beberapa pengetahuan terlalu luas, yang dianggap
berguna untuk seni apa pun misalnya tentang kekasaran dan kehalusan
seni. Beberapa konvensi/ kebiasaan timbul di dalam dunia seni, hanya
dikenal orang dalam; yang membedakan anggota penonton lepas dari
pelindung reguler. Siswa seni saling melengkapi dengan anggota
penonton reguler. Orang dalam lingkaran dalam, memiliki risiko dalam
pembuatan seni, sebaliknya orang lingkaran-lingkaran bagian luar
tidak, namun ada orang bertindak sebagai pembuat rasa seni, pembuat
opini, masing-masing memiliki tempat yang pasti dalam jejaring sosial
mereka.
Dari penelitian terlihat bagaimana orang mengelola untuk
mengkoordinasikan kegiatan mereka dalam konvensi/kebiasaan
tertentu, yang termudah adalah dengan mendiskusikannya terlebih
dahulu, melihat "hal yang wajar"-mengacu pada solusi yang telah ada
131
pada masa lalu yang dikenali para peserta. Ini jalan termudah yang
dapat dilakukan untuk memenuhi harapan semua orang.
Ketika konvensi tanpa ada perselisihan (atau relatif tidak
disengketakan) mungkin dapat diwujudkan dalam bentuk alat fisik atau
materi. Bahkan mereka yang tidak ingin menjadi konvensional harus
me-ngetahui konvensi. Berbicara tentang pekerjaan konvensional
mereka dalam bahasa konvensional. Misalnya bagaimana
mengembangkan keterampilan konvensional. Seniman mempelajari
konvensi sebagai budaya profesional, dalam pelatihan dan interaksi
sehari-hari. Seterusnya, konvensi adalah penyesuaian dari berbagai
pihak dalam perubahan praktik, jika konvensi berubah. Sekolah yang
tidak pandai menjaga konvensi harus keluar di dunia ini dan akhirnya
melakukan aktivitas yang bervariasi yang dalam berapa banyak kerja
sama berlangsung di sana, berapa banyak konvensi yang tidak
konvensional lagi, tetapi bahasa konvensional memungkinkan solusi
cepat untuk setiap masalah seni dan sebagai alat untuk mengalahkan
yang ke luar dari jalur konvensional. Kelompok sempalan dapat
memiliki konvensi bahkan lebih khusus, seniman mengembangkan
konvensi dalam pribadi mereka dalam cara mereka memanipulasi
bahan, bahan yang mereka gunakan.
3. Memobilisasi Sumber Daya
Membuat seni menurut Becker memerlukan sumber daya (materi
dan orang), sampai batas tertentu. Distribusi/ketersediaan sumber daya
me-nentukan apa yang akan dibuat seni. Sumber daya termasuk bahan,
tetapi juga bakat orang. Umumnya diperlukan pasokan orang untuk
pekerjaan lebih "artistik" (misalnya, aktor, dramawan) jika orang dalam
pekerjaan itu kurang karismatik. Orang-orang untuk pekerjaan ini harus
dilatih dalam konvensi, lebih atau kurang saling dipertukarkan, pada
tingkat tertentu mereka harus belajar sendiri mengembangkan diri
disamping sekolah. Dukungan personel yang tidak baik tentu akan
menghasilkan hasil yang tidak baik. Personil harus konvensional,
memiliki keterampilan dan minat kerja. Ada seni yang membutuhkan
manajemen dan organisasi (misalnya, simfoni). Organisasi seni yang
membutuhkan koneksi/jaringan, disamping kemampuan dukungan
personil, misalnya, makelar dan musisi. Majikan perlu menggunakan

132 Nasbahry Couto & Indrayuda


bahasa teknis konvensional untuk mendapatkan hasil maksimal dari
personel pendukung.
4. Mendistribusikan Hasil Pekerjaan Seni
Seniman menurut Becker memerlukan cara untuk mendapatkan
dukungan publik dan menghasilkan uang untuk menghidupi diri sendiri.
Misalnya karya seni rupa yang dikembangkan memiliki sistem
distribusi yang mengikat ke perekonomian yang lebih besar sering
melibatkan perantara khusus. Sampai batas tertentu, batas sistem
distribusi seni tercipta karena seniman dapat membatasi apa yang
mereka buat adalah khusus untuk yang mereka jual, tetapi sistem dapat
mengakomodasi beberapa perubahan. Seniman dapat pergi ke luar dari
sistem dan sistem distribusi beberapa jenis seni mungkin ada dalam
dunia seni yang sama secara bersamaan. Distribusi memiliki efek yang
kuat pada reputasi. Dalam beberapa dunia, seniman dapat mendukung
diri pada hasil seni, tetapi beberapa harus mendukung diri dengan
pekerjaan sehari-hari yang mungkin atau tidak mungkin dihubung-kan
ke keterampilan seni mereka.
Patron/pola menurut Becker adalah salah satu modus distribusi.
Pemerintah mungkin pelindung, biasanya mendukung alur kerja
seniman, seniman dengan sponsor bekerja untuk sponsor. Pada
masyarakat umum atau publik, kelompok seniman atau seniman
tergantung pada kekuatan pasar untuk mendapatkan orang untuk
membeli apa yang mereka suka, memiliki distributor (dengan seni yang
dapat didistribusikan), meskipun beberapa seniman menemukan saluran
alternatif.
Berbeda dari galeri kecil yang hanya mendistribusikan karya satu
seniman, untuk lembaga budaya seperti industri film dan sebagainya.
Distributor bisa bekerja mendidik masyarakat, membentuk selera
mereka, dapat berinvestasi "dengan bijaksana, " mendasarkan
pengarahan kritikus dan seniman-seniman.
Dealer membutuhkan kolektor. Agen galeri umumnya terkait
dengan museum. Dalam seni pertunjukan, memiliki impresario dimana
meyiapkan uang terlebih dahulu untuk sebuah pertunjukan, mereka
perlu menjual tiket. Budaya industri berurusan dengan masyarakat yang
rasanya mereka tidak bisa benar-benar tahu sampai batas tertentu apa
yang diperoleh seniman atau masyarakat.
133
5. Estetika, Estetikus (Ahli Estetik), dan Kritik
Estetikus menurut Becker membangun sistem yang digunakan
untuk menilai seni, terutama untuk mengarahkan batas-batas pendapat.
Dunia seni mungkin memiliki kritik estetik yang perannya penting,
tetapi selalu ada petanyaan, hakim apa yang memenuhi syarat untuk
menilai seni? Dari estetika kemudian turun ke konvensi/kebiasaan, hal
ini akan memberikan suatu dasar di mana orang bisa menghakimi
apakah pekerjaan itu berhasil atau tidak, membuat pola reguler dalam
kerja sama.
Di sini terdapat dua arah kecendrungan, jika individual itu kreatif,
dunia seni (lingkungan mereka) cenderung ke arah konservatisme,
seperti biasa maka inovator harus berdebat keras untuk mempraktikkan
temuan baru mereka. Dunia seni dapat memiliki beberapa lapis moral.
Kebutuhan estetika yang menghendaki sesuatu yang baru, dengan apa
yang terjadi di dunia seni, bisa bertolak belakang. Bahkan seniman akan
lebih atau kurang menanggapi estetika yang ada. Setiap estetika
menurut Becker dirumuskan dari luar batas-batas dunia seni tidak akan
berdampak banyak.
Sekarang timbul pertanyaan, apakah ada estetika sosiologis itu,
apakah ada "teori estetika institusi. " Pada dasarnya seperti dimana pun
juga, artworld-lah yang menentukan estetikanya, dan dari segi pelaku
seni, ada beberapa pihak yang lebih berpengaruh disebabkan oleh posisi
mereka daripada orang lain. Satu-satunya kendala pada apa
didefinisikan sebagai seni adalah apa yang ada dalam konsensus
terlebih dahulu sebagai seni.
6. Seni dan Kepentingan Negara
Seni menurut Becker dapat dilihat sebagai properti (kekayaan)
negara. Seni dapat dilihat sebagai gangguan atas kepentingan politik
negara dan atau sebaliknya. Oleh karena itu, bisa jadi karena negara
akan bertindak sebagai pendukung atau menyensor seni. Sepanjang
sejarahnya --itu selalu terjadi --bahwa seni memiliki kekuatan untuk
mengubah masyarakat, terutama ketika diperoleh media baru yang
digunakan untuk mengekspresikan ide.
Selama perang dunia pertama, misalnya, kamera film yang
digunakan untuk pertama kalinya untuk merekam perang parit -ketika

134 Nasbahry Couto & Indrayuda


film itu diputar di gedung bioskop di Inggris, penonton berlari keluar
berteriak. Hal ini menyebabkan pemerintah menyensor penggunaan
lebih lanjut efek film itu, dan justru pemerintah menggunakan seni
sebagai media persuasi yang kuat ke masyarakat.
Akhirnya pemerintah melakukan sensor terhadap seni dan
penggunaan seni sebagai propaganda, kita melihat seberapa serius
pemerintah mengambil efek seni. Semua pelaku diktator utama abad
ke-20 memahami kekuatan seni untuk mempengaruhi rakyatnya. Pada
zaman Nazi Jerman, Hitler mendirikan Kementerian Propaganda dan
Pencerahan Nasional. Lembaga itu dipimpin oleh Goebbels yang
memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang diterbitkan, dilakukan atau
dipamerkan tanpa persetujuannya.
7. Editing Karya Seni
Karya seni menurut Becker adalah seluruh bentuk dunia yang
diperlukan, umumnya adalah penjumlahan pilihan dari seniman dan
segala yang terlibat dengan bagian tersebut, yang telah dibuat sampai
saat itu. Akhir pekerjaan umumnya timbul masalah yang lebih besar
yaitu nilai oleh masyarakat. Walaupun secara teoretis mereka dapat
berkarya tidak terbatas dan memiliki seperangkat peluang, sampai batas
tertentu dapat dibatasi secara kultural.
Pilihan terakhir dari karya seni tertentu menurut Becker secara
teoretis adalah pilihan budaya saat itu. Dalam menentukan karya yang
dipilih saat berkarya, dunia seni memiliki istilah seperti "ayunan" dari
penilaian estetik bahwa para praktisi tidak dapat tepat menentukan,
tetapi dipahami oleh peserta. Pilihan seniman dan lain-lain didasarkan
pada kriteria yang samar-samar. Seniman merespon sebuah ide saat ia
melihat bagaimana orang lain merespon.
Seringkali pekerjaan yang dilakukan seniman pembaharu tiba-tiba
harus dihentikan, dan akhirnya kembali pada corak konvensional. Akan
tetapi pada tingkat tertentu, untuk menjadi kreatif, secara sadar
melanggar standar yang telah ada. Peserta lain dapat membuat pilihan,
mengubah karya seni, misalnya, berdasarkan keputusan distributor,
rumah seni, gallery, kritikus, untuk memutuskan apa yang bisa dibawa
ke pasar (dijual). Masalah resepsi, penerimaan, bervariasi untuk setiap
seniman, setiap kali mereka melihatnya, tergantung pada sikap mereka

135
dan sikap masyarakatnya. Pekerjaan dapat mati ketika tidak ada yang
menyenangi karya mereka lagi.
8. Profesional Terpadu (Integrated Professionals),
Pembelot (Mavericks), Seniman Folk, dan Seniman
Naif
Dunia seni menurut Becker menciptakan batas-batas apa yang
dapat diterima sebagai seni, beberapa seniman ada di dalam batas-batas
itu, dan ada pula yang berada di luar batas itu. Menurut Hauser,
seringkali orang-orang di luar batas yang diperbolehkan masuk ke
dalam lingkaran dunia seni, tetapi hanya beberapa saat.
Integrated professionals menurut Becker (profesional terintegrasi)
umumnya bekerja dalam tradisi mereka masing-masing dalam hal
berbagai masalah dan solusinya. Yaitu sejumlah orang yang relatif
besar, yang dimasukkan ke dunia seni, menurut Becker, mereka tidak
selalu yang terbaik karena kita tidak pernah tahu siapa tidak dan benar-
benar berubah menjadi seorang seniman yang penting.
Mavericks59. Istilah Mavericks adalah istilah yang dipakai untuk
pembelot. Seorang pembelot yang ada di dalam kelompok, tetapi
menghambat. Mereka yang mengusulkan sebuah inovasi yang berada di
luar konvensi seni rupa yang dapat diterima atau peserta seni rupa
lainnya yang tidak bekerja sama. Jadi, mereka menyerang dan keluar
dari konvensi dan mengejar inovasi mereka, mereka mungkin berhasil
dengan menghindari kebutuhan untuk institusi seni. Pada kenyataannya,
menurut Becker mereka pada dasarnya mengikuti sebagian besar
konvensi dunia seni, dan pada suatu titik kemudian dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan sulit mereka mengintegrasikan pekerjaan mereka
jika karya mereka telah dilihat sebagai hal yang layak.

59
Asal kata Istilah Mavericks, yaitu ternak liar yang belum bermerek atau
dikumpulkan. Kadang-kadang mengacu pada sapi yang telah tersentuh oleh koboi
untuk waktu yang lama di daerah terpencil, negara kasar. Semakin tua ternak,
semakin mereka menjadi diatur. Istilah Mavericks tidak selalu dikonotasikan
pembelot dalam arti negatif
136 Nasbahry Couto & Indrayuda
Seni Folk60. menurut Becker adalah sebagai pekerjaan orang
awam. Umumnya adalah pekerjaan yang benar-benar berada di luar
dunia seni profesional, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh orang-
orang awam dalam kaitannya sebagai bagian kehidupan sehari-hari
mereka. Mereka mungkin bahkan tidak melihat nilai seni di dalamnya
meskipun dari sudut pandang orang luar kadang-kadang dapat melihat
nilai tersebut. Mereka melakukan itu karena bagian dari kegiatan
komunitas mereka yang biasa mereka lakukan. Mereka belajar dalam
masyarakat dalam ruang lingkup kegiatan lainnya. Seni folk dapat
terlihat dan memungkinkan sebuah ruang untuk pilihan variasi
seni/memainkan sebuah keahlian & selera. Quilting (seni merajut
misalnya).
Becker mengatakan bahwa kegiatan artistik itu adalah kegiatan
kehidupan sehari-hari (utilitas) yang lebih umum, untuk sebuah
pekerjaan di mana (misalnya) seorang perempuan merajut garis-garis.
Bagaimana kita dapat secara sistematis mengatakan apa yang mereka
kerjakan? apakah sebenarnya seni rakyat/folk itu? Harus berada di luar
yang bermanfaat/ utilitas? (misalnya dianggap sebagai seni).
Jenis terakhir yang diuraikannya adalah artis naif (primitif, akar
rumput, "orang luar"), Umumnya kelompok ini tidak ada koneksinya
dengan dunia seni, dengan ciri tidak ada atau sedikit pelatihan dalam
medium, tidak memiliki persyaratan estetik dari dunia seni. Tidak
bertujuan untuk melakukannya sebagai alasan profesional yang bersifat
pribadi, kadang-kadang tidak dapat dipahami. Mungkin dapat dianggap
sebuah kegilaan. Mereka umumnya dapat menggunakan keterampilan
kehidupan sehari-hari dan mengubahnya (diangap) seni, tetapi karya
mereka tidak standar dalam bahan. Menurut Becker anggota dari dunia
seni terkadang menjadi tertarik pada pekerjaan mereka, dan
dimasukkan ke bagian dunia seni.
9. Seni dan Kerajinan
Dalam dunia seni rupa pada umumnya tingkat kreativitas itu
umumnya tidak sama dengan (di luar konteks) keterampilan kerajinan
teknis (craft) dari artis. Orang yang terampil atau pengrajin, dengan

60
Seni orang yang tidak memiliki pelatihan formal, akademis, namun yang karya-
karyanya adalah bagian dari tradisi yang dibangun dari gaya dan keahlian.
137
orang yang melakukan kegiatan seni telah dipandang berbeda pada
waktu yang berbeda. Dunia seni sering memiliki urutan di mana
kegiatan yang berlangsung didefinisikan sebagai seni, tetapi pada waktu
yang lain disebut pula kerajinan atau sebaliknya. Menurut Becker
apakah ini bukan sebuah latihan dalam semantik sejarah seni? Craft
umumnya berfokus pada utilitas (kegunaan atas) benda yang dibuat,
misalnya cangkir bukanlah seni. Kerajinan menyiratkan adanya standar
estetik untuk menilai produk utilitas itu. Seni memiliki standar estetik
mengapa kerajinan pada suatu saat disebut karya seni dan sebaliknya
suatu saat disebut seni dan kemudian dianggap kerajinan?
Menurut Becker, pekerja craft (Craftworker) melakukan
pekerjaannya untuk orang lain. Fungsi (function) adalah standar penting
dari menilai produk kerajinan. Mungkin memiliki keahlian dan
keterampilan dalam memainkan alat dan bahan. Kriteria keindahan
adalah unsur tambahan yang muncul, tetapi bukan yang utama. Dapat
terjadi, seorang pengrajin lebih peduli tentang keindahan daripada
pengrajin rata-rata, beberapa lembaga seni bahkan bekerja sama dengan
ahli kerajinan karena menilai seninya yang tinggi. Anggota dari seni
rupa dapat menggunakan media kerajinan sebagai media seni ketika
saat mereka mencari media baru seperti tembikar untuk
mengekspresikan diri. Mereka menggunakan media bukan untuk
utilitasnya, melainkan untuk keunikan, bukan bagian pemikiran yang
konsisten dari kerajinan. Sebaliknya, seni dapat menjadi kerajinan,
apabila sebagai karya seni menjadi produk massal yang lebih
terorganisasi, dan seni komersial.
10. Perubahan Dunia Seni
Perubahan dalam seni adalah perubahan dunia seni. Dunia seni
dalam perubahannya kadang konstan, lebih cepat atau lambat. Inovasi
umumnya tidak akan mempunyai akar kecuali ada organisasi yang
membangun, memiliki dukungan jaringan yang ada atau membuat yang
baru. Inovasi umumnya menimbulkan ketidaknyamanan sebab
membutuhkan keteram-pilan baru, dan sebagainya. Umumnya
kelompok pembaharu seni menyerang ideologi dan organisasi dunia
seni, mengubah kebiasaan. Karena konvensi menyiratkan estetika,
perubahan ini tampak sebagai serangan terhadap estetika. Akhirnya
sebuah serangan terhadap sistem yang ada, Bourdieu melihat perubahan
138 Nasbahry Couto & Indrayuda
ini sebagai serangan dan akses terhadap modal intelektual dan modal
budaya. Revolusi tidak mengubah segalanya. Perubahan hanya dapat
berhasil ketika mereka dapat memobilisasi anggota dunia seni untuk
bekerja sama dengan kaum revolusioner. Dunia seni baru akan lahir
(orang-orang datang bersama-sama untuk bekerja sama pada proyek-
proyek menggunakan konvensi baru dan mereka pun mati ketika tidak
ada orang bekerja sama menggunakan konvensi itu lagi). Namun
inovasi paling tidak membuat dunia seni sebuah nafas baru. Dalam
Dunia seni mungkin muncul pengembangan inovasi artistik baru,
audiens baru61.
11. Reputasi
Reputasi penting bagi dunia seni sebab dunia berminat terhadap
apa yang baru dilakukan orang dan apa yang bisa mereka lakukan.
Diskusi reputasi dan proses penting dalam dunia seni. Beberapa orang
yang memiliki reputasi adalah beberapa orang keluar dan menonjol dari
massa, dan sejalan dengan itu dia memiliki keuntungan materi.
Umumnya dunia seni lebih menghargai karya orang yang memiliki
reputasi, dengan harga yang berbeda dari karya-karya lain. Ini adalah
sebuah proses sejarah, yang khas Barat, misalnya pada zaman
pascarenaisan, seniman individual menjadi penting. Pekerjaan, sekolah,
genre, dan bahkan media memiliki reputasi. Reputasi berkembang
melalui proses membangun konsensus dalam dunia seni. Reputasi
bergantung pada dunia seni dan untuk membicarakan tentang estetik,
sistem distribusi yang mengakui reputasi, dan pengamat, kolektor dan
sebagainya, yang peduli dengan reputasi. Bertahannya, dilupakannya
suatu karya adalah fungsi dari reputasi. Meskipun kadang-kadang seni
adalah bagian dari " penting dari sejarah" dan pada saatnya kehilangan
definisi menjadi seni dari waktu ke waktu (bukan seninya yang penting,
tetapi sejarahnya).

61
Misalnya inovasi teknis juga dapat menghasilkan perubahan jenis piringan hitam
untuk musik jazz.
139
1. Definisi Seni
Ketika Paul berbicara tentang seni, Paul merujuk terutama untuk
seni visual dan auditori, misalnya, lukisan, patung, dan musik, tetapi
seni dapat dikonsep untuk memasukkan sastra, teater dan media yang
dihasilkan bentuk seni, misalnya, iklan, film, sinetron televisi, dan lain-
lain (Zolberg 1990:4). Biasanya, kreasi seni tersebut dilihat dan
dipelajari dalam tiga kerangka acuan.
Pertama menyelenggarakan seni sebagai estetika -konseptualisasi
seni sebagai apresiasi keindahan dan selera yang baik (Hofstadter dan
Kuhns 1976; Bourdieu 1987; Eco 1988; Alperson 1992). Berbicara
bahasa sehari-hari, ini kerangka seni pandangan awal sebagai bentuk
materi yang meningkatkan hidup seseorang dengan kenikmatan telinga,
pikiran, dan mata. Kerangka kedua mengkonseptualisasikan seni
sebagai praktik kreativitas bawaan dan eksplorasi individu dan
pertumbuhan (Wadeson, Durkin, dan Perach 1980; Gussak dan Virshup
1998). Dalam bentuk kedua, seni dikonseptualisasikan sebagai ekspresi
emosional pribadi, kekhawatiran kognitif, dan/atau intelektual.
Sementara itu seni juga dapat dibahas dalam konteks keindahan
dan komunikasi pribadi, dan sosial. Memang, tidak ada seni diproduksi
dalam ruang hampa (Becker 1974, 1982; Mukerjee 1954; Thalasinos
1988). Selanjutnya, standar kecantikan yang mengklasifikasikan seni
terikat dengan kondisi sejarah dan politik (Hauser 1958; Wolff 1975,
1983, 1989; Zolberg 1990). Selain itu, meskipun seniman mungkin
individu-individu berbakat didorong oleh energi kreatif mereka sendiri,
mereka adalah produk dari masyarakat mereka. Ambil contoh kata-kata
Kornblum (1994:28) yang menyatakan sebagai berikut ini.
Seni dari setiap masyarakat di dunia, masa lalu atau sekarang,
bisa 'dibaca' sebagai bukti bagaimana orang mengiorganisasi
masyarakat mereka karena sifat hubungan interpersonal, apa yang
mereka nilai sebagai suci atau hanya menyenangkan (simply
enjoyable), dan untuk apa yang mereka benci.
Selanjutnya, Allen (1954:6-7) menjelaskan:

140 Nasbahry Couto & Indrayuda


Seni, kesadaran/anggapan sosiologis, terujud dalam
bermacam-macam adat istiadat yang menyampaikan makna dan
aturan/prosedur yang ditetapkan secara sadar oleh [orang] dalam
masyarakat. Seni bertindak sebagai kode etik yang (menjadi)
terinternalisasi dalam diri seseorang atau ter-externalized dalam
kode dan aturan. Mereka dapat dilihat sebagai tindakan simbolis,
memberlakukan atau menyebabkan perubahan dalam struktur
sosial. Dengan cara ini pengalaman estetis terlihat relevansinya
dengan struktur sosial kelompok dalam masyarakat, dapat terlihat
oleh kaca mata sejarawan atau sosiolog.
Menurut Paul, John (2011), dengan mengikuti konsep ini, kita
dapat melihat sosiologi seni sebagai Weltanschauung (ideologi) sosial,
sebagai media untuk melihat ke dunia (Mannheim 1922). Dalam hal ini,
kitadapat melihat seni sebagai informasi yang kompleks, informasi
makna, dan panduan untuk tindakan yang kemudian dapat dipelajari
secara sosiologis.

Membingkai Sosiologi Seni: Peran Teori


Pertama, dalam upaya untuk memahami masyarakat, sosiologi
umumnya menggunakan teori. Sebuah teori, hanya menyatakan, yaitu
suatu usaha untuk menjelaskan bagaimana sesuatu itu berlangsung
dalam masyarakat. Salah satu definisi teori sosiologi adalah sesuatu
yang abstrak dan setting umum tentang asumsi tindakan manusia dalam
upaya untuk menjelaskan perilaku manusia dan organisasi sosial.
Kedua, sosiologi dapat dibagi menjadi tiga pendekatan teoretis
utama (Colomy 2005). Pendekatan teori Alexander (2003: 7) ―adalah
sekelompok teori untuk melihat fenomena sosial dari perspektif dasar
yang sama, dengan satu set asumsi yang sama‖. Secara umum
pendekatan mendasar yang dikenal sebagai (1) pendekatan fungsional,
(2) pendekatan konflik dan (3) pendekatan interpretasi. Dengan
demikian, menurut Paul (2011), ketiga pendekatan ini dan kaitan antara
seni dan teori-teori sosial dapat dijelaskan. Dia mencoba untuk
menjelaskan bagaimana manusia menggunakan seni untuk memotivasi
tindakan dan dalam wacana struktur relasi di antara nya. Hal ini
sependapat dengan teori Sedyawati (1981) kaitan seni dengan budaya
adalah dalam kerangka sosiologi seni, yaitu ―bagaimana seni
membentuk struktur dan perilaku masyarakatnya sebaliknya,

141
bagaimana masyarakat menciptakan seni terdapat relasi yang dialektis.
Hal ini nyata jika kita lihat seni wayang dalam budaya Jawa sebab sikap
dan perilaku, karakter manusia Jawa sedikit banyaknya adalah
pencerminan seni wayang yang mereka miliki.
2. Teori 1. Pendekatan Fungsional
Pendekatan fungsional umumnya berpendapat bahwa inti dari
setiap masyarakat adalah jaringan makna sosial bersama, keyakinan dan
nilai-nilai. Keyakinan dan nilai-nilai bahwa anggota masyarakat yang
mampu menciptakan struktur cara dasar di mana mereka mengatur
kehidupan sosialnya (Sanderson 1999). Jika masyarakat berusaha untuk
mempertahan-kan sesuatu dalam komunitasnya, kaum fungsionalis
berpendapat bahwa harus ada integrasi dan konsensus setiap anggota
komunitasnya (Colomy 2005), tetapi bagaimana ini dicapai dan apa
peran seni dalam hal-hal seperti itu?
Menurut Paul (2011) umumnya pendekatan fungsional mengi-
dentifikasi partisipasi sosial sebagai hasil umum dari sistem sosialisasi
dan interaksi komunal, hal ini menjadi tameng bagi tekanan sosial bagi
anggotanya (Durkheim 1893, 1895, 1912; Parsons 1963). Dalam sistem
ini, umumnya fungsionalis didefinisikan sebagai lembaga sosial,
lembaga ini bertindak sebagai penanggung jawab sosial dan pemelihara
komunitasnya (masyarakatnya).

Seni sebagai Lembaga Sosial


Kerangka pendekatan fungsionalis, seni dapat dipelajari sebagai
sebuah lembaga sosial atau "struktur utama di mana aktivitas manusia
diselenggarakan untuk melayani kebutuhan dasar dari masyarakatnya
(Albrecht 1968: 384). Jika kita membayangkan partisipasi sosial
sebagai persyaratan fungsional dalam struktur pemeliharaan sosial, seni
sebenarnya bisa diidentifikasi sebagai sebuah institusi. Pertimbangkan
kata-kata dari Ames (1986: 9) berikut ini.
Seni dapat digunakan untuk mengekspresikan dan
mengotentikasi nilai-nilai mapan atau resmi gambaran masyarakat
dalam beberapa cara, secara langsung mempromosikan dan
menegaskan nilai-nilai yang dominan, dan secara tidak langsung,
dengan mensubordinasi atau menolak nilai-nilai alternatif.

142 Nasbahry Couto & Indrayuda


Memang, bentuk artistik dapat digunakan dalam berbagai
konteks sosial: sebagai ritual politik, sebagai ikon agama, sebagai
peringatan. Langsung atau tidak langsung, seni sebagai lembaga
sosial dapat "memperkuat moral kelompok dan membantu
menciptakan rasa persatuan, solidaritas sosial. . " (Albrecht
1986:390).
Pada perspektif di atas, banyak sarjana telah mencatat fungsi
kelembagaan seni dalam fungsinya untuk menyatukan kelompok-
kelompok sosial budaya yang beragam. Misalnya penelitian Durkheim
(1912) dalam melihat bagaimana fungsi seni totem digunakan untuk
mengikat solidaritas sosial, kesadaran kolektif dalam masyarakat
Indian. Warner (1959) dan Bellah dan Hammond (1980)mencatat
tentang bagaimana tumbuhnya keyakinan yang patriotis, simbolik, dan
ritual dalam berbagai varietas agama sipil -yang meperlihatkan simbol-
simbol tertentu yang dilembagakan dalam ibadah masyarakat itu
sendiri. Seperti Collins (1994:217) menulis, "upacara patriotik dan
simbol-simbol sejarah terikat dalam tradisi seperti hari raya Parade
Empat Juli, hari Buruh, dan commemoratives (hari raya/peringatan)
adalah upacara yang dirancang untuk memfokuskan pada masyarakat
itu sendiri sebagai sebuah unit kegiatan sosial62‖.
Sekarang mungkin dianggap tepat untuk menawarkan interpretasi
fungsional dari lembaga sosial seni: yaitu seni sah membantu struktur
sosial yang ada dengan mewakili mereka atau "menolak" elemen
budaya mereka dengan cara nonrepresentasi mereka (Straurowsky
2000, Paul dan Birzer, 2004) .
3. Teori II: Pendekatan Konflik
a. Seni sebagai Hegemoni
Seperti pendekatan fungsionalis, perspektif konflik meneliti
munculnya dan lamanya berdiri praktik tertentu dari lembaga dan
masyarakat (Colomy 2005:39). Tidak seperti pendekatan fungsionalis,
perspektif konflik meneliti peran hegemoni, dimana nilai tidak dibagi
dalam penataan hubungan manusia.

62
untuk seni Tradisi lihat juga: Shils dan Young 1953; Edelman 1964; Gusfield dan
Michalowicz 1984; Goss 1986; Muda 1989, Jacobs 2004.
143
Secara umum, hegemoni adalah dominasi satu kelompok atas
kelompok lain. Hal ini paling sering didefinisikan sebagai suatu bentuk
kontrol budaya (Gramsci 1971). Seperti gagasan Alexander (2003:44)
mencatat bahwa, "Dalam pandangan ini, didominasi hubungan struktur
kelompok dan aturan melalui persuasi, melalui kekuatan atau
kekuasaan (―In this view, dominate groups structure relationships and
rule through persuasion, not (for the most part) through force or bald
power, as these latter engender resistance. ”
Hegemoni adalah perwujudan dari norma-norma, nilai-nilai, dan
pandangan dunia yang dipaksakan kepada masyarakat oleh kelompok
yang dominan. Hal ini umumnya dicapai melalui distribusi berbagai
artefak budaya. Hal ini penting untuk sosiologi seni dalam elit yang
berperan dalam penciptaan dan distribusi produk-produk budaya.
Karena itu, mereka mampu menempatkan ide-ide mereka ke dalam seni
yang menguntungkan kepentingan mereka sendiri. Dengan cara ini,
masyarakat dapat dikesam-pingkan atau didominasi oleh satu kelompok
atau kelas, dalam praktik sehari-hari dan keyakinan bersama
memberikan dasar untuk sistem dominasi yang kompleks.
Mengambil contoh kata-kata Brissett dan Edgley (1990) dan Hall
(1979) menulis sebagai berikut:
Power… does not flow automatically from the pulling of
institutional levers, but from the negotiation of images‖ (Brissett
and Edgley 1990:350) … ―which is a relatively easy and cheap form
of power that could be used to inform, to inspire, to motivate, but
which, as normally practiced, is designed to pacify, deflect, confuse,
and seduce (Hall 1979:305).
Power. . tidak mengalir secara otomatis dari penarikan tuas
institusional, tetapi dari negosiasi gambaran (imaji) atau citra
"(Brissett dan Edgley 1990:350). . " yang adalah bentuk yang relatif
mudah dan murah, kekuasaan dapat digunakan untuk
menginformasikan, menginspirasi, memotivasi, tetapi seperti yang
biasanya dipraktikkan, dirancang untuk menenangkan, menangkis,
membingungkan, dan merayu (Hall 1979:305).
Oleh karena itu, manipulasi gambar berfungsi untuk menciptakan
dukungan mobilisasi simbolis kelas sosial yang mendominasi.
Cendekiawan seperti Mayo (1978), Hall (1979), dan Welsh (1985) telah
meneliti peran rapat umum politik dan penciptaan "negativities palsu"
(ritual yang dibangun dari isi ideologis namun tidak signifikan) untuk
144 Nasbahry Couto & Indrayuda
"redirect" menarik kembali) perhatian publik ke arah pembenaran isu-
isu yang mungkin menantang kepentingan kelompok yang dominan.
Sarjana lain, seperti Davies (1993) dan Sage (1996), telah meneliti
peran simbol-simbol patriotik dalam memobilisasi dukungan publik
untuk perang dan bentuk lain dari penaklukan, misalnya, penggunaan
tenaga kerja asing dan dieksploitasi.
Pada akhirnya, perspektif ini mungkin paling dirangkum oleh kata-
kata Collins (1994:217) yang berpendapat seperti berikut.
Upacara ritual patriotik adalah senjata dominasi kelas,
mereka menekan perasaan konflik kelas dan pertikaian dengan
menekankan kesatuan kelompok, sementara secara implisit
memberikan legitimasi pada kelas yang memimpin ritual dan
mencontohkan budaya di dalamnya.

b. Seni sebagai Emansipasi: Teori Kritis dan Peran Seni Protes


Pada bagian sebelumnya, Paul mengenalkan cara kelompok untuk
mendominasi. Pendominasian ini menyatakan lembaga dapat digunakan
sebagai alat elit untuk menyebarkan dan melegitimasi perlunya
dominasi. Seni kemudian, di bawah tradisi hegemonik, digambarkan
sebagai senjata yang digunakan untuk kesesuaian lembaga dan
kepentingan pasukan elit mereka ke dalam kesadaran massa.
Disisi lain dengan nada yang sama, tetapi berlawanan, seni, di
bawah bimbingan didominasi, dapat digunakan untuk mengekspos niat
sejati kelas penguasa. Definisi Agger (1992:5) tentang seni sebagai
teori kritis: "penggunaan imaji-imaji (gambaran) untuk memecahkan
kode pesan hegemonik dari industri budaya yang menembus setiap
sudut dan celah dari pengalaman hidup" cocok untuk mendefinisikan
perspektif teoretis ini.
Lain dengan cara lain, teori kritis pada intinya memegang
penekanan pada penindasan, dominasi, dan penggulingan entitas
tersebut. Agar hal ini terjadi, orang-orang harus menyadari status
mereka dan tertindas untuk bangkit melawan. Seperti disodorkan oleh
Agger (1992) ini mungkin yang terbaik dicapai melalui peran seni
protes. Protes art mengacu pada produksi seni yang berusaha untuk
memerangi atau mengekspos dominasi. "Ini adalah kekuatan
revolusioner dan kritis yang membangkitkan, membebaskan, dan
memotivasi individu untuk bekerja untuk perubahan sosial" (Dimiliki,
145
1980:97). Dengan demikian, teori kritis dan implementasi kritis, yaitu
seni protes berusaha untuk membuat orang sadar "benar" atas
kepentingan elit63.
Sekolah Frankfurt, dalam arti yang ketat, adalah sebuah proyek
interdisipliner dipandu oleh aspirasi dari masyarakat sipil. Ini adalah
sekolah meski pun siapapun terlibat akan "menggabungkan metode
penelitian ilmiah dengan teori kritis masyarakat untuk meneropong
kehidupan sosial yang terikat oleh kebebasan kekuatan politik
koersif/memaksa" (Payne, 1980: 250).
Untuk mengulangi filosofi sekolah Frankfurt, seni dipandang
sebagai kekuatan emansipasi yang didesak untuk ―jar and shock the
masses out of their complacency ― mengejutkan massa agar keluar dari
berpuas diri" (Thalasinos 1988:47). Sebuah karya terbaru dari bentuk
pemikiran ini termasuk gerakan musik dan sosial dari Eyerman dan
Jamison (1998). Eyerman dan Jamison meneliti bagaimana musik
mewujudkan "memobilisasi tradisi" melalui kebangkitan aktor "wujud
sungai ide-ide dan gambaran untuk menghubungkan berbagai generasi"
(Eyerman dan Jamison, 1998:2). Dengan kata lain, penulis percaya
lagu-lagu dan musik mereka, selain adalah ekspresi dari kehidupan
yang berakar dari pengalaman struktural, digunakan untuk
memobilisasi orang terhadap ketidakadilan yang dirasakan mereka.
Lagu We Shall Overcome misalnya, mengungkapkan memori
kolektif antara masa lalu dan sekarang dan antara individu-individu di
seluruh generasi yang menimbulkan kerangka makna, emosi, dan
semangat yang diperlukan untuk revitalisasi protes sosial (Eyerman dan
Jamison, 1998:47).
Pada akhirnya, kata-kata filsuf John Dewey dapat digunakan untuk
meringkas kekuatan membebaskan seni. Dia menyatakan, "Seni lebih
bermoral daripada moralitas. Untuk yang terakhir ini baik atau
cenderung menjadi, pentahbisan dari status quo. Para nabi moral
kemanusiaan selalu seniman dalam mereka tetap hidup rasa tujuan

63
Para penulis paling produktif dalam aplikasi kritis seni adalah anggota dari sekolah
Frankfurt (Adorno 1945, 1972; Horkheimer 1972, Marcuse 1964, 1972, 1978, 1973
Jay, Kiralyfalvi 1975, Diadakan 1980, Bottomore 1984; Habermas 1984;
Wiggershaus 1994).
146 Nasbahry Couto & Indrayuda
yang berlari lebih cepat dari kebiasaan indurated dari tatanan mapan
"(Dewey seperti dikutip dalam Jasper 1997:1).
4. Teori III. Pendekatan Interpretatif
Sosiologi interpretif terutama berkaitan dengan dua poin dari
investigasi: (1) jaringan interaktif bervariasi antara individu dan
kelompok yang struktur Sistem sosial, yaitu, keluarga, komunitas dan
masyarakat dan (2) makna diciptakan dan tindakan yang berasal dari
interaksi mereka (Collins, 1994).

a. Jaringan Interaksi: The Creation of Art Worlds


Salah satu tradisi visi interpretatif seni, jaringan interaktif yang
"memungkinkan" seni dapat diselidiki sendiri. Memang, pembuatan
seni adalah produk sosial dan cendekiawan seperti Duncan (1953),
Becker (1974, 1982), dan Fine (2004) meneliti "dunia seni" atau
tindakan komunal yang diperlukan untuk seni menjadi seni. Secara
spesifik, mereka mengidentifikasi jaringan interaktif yang
menghubungkan dealer bahan baku seni, seniman, kritikus, pemilik
galeri, klien, dan masyarakat dalam rantai penciptaan artistik, Baik
(2004:5) menulis:
“Dunia seni adalah sistem sosial karena terdiri atas kelompok
aktor yang saling memandang kepentingan umum dan yang
tertanam dalam jaringan hubungan sosial. artis, pemasok, kolektor,
dealer, kritikus, akademisi, dan kurator. semua yang diperlukan
dalam penciptaan suatu 'dunia seni. "
Hal yang terkait dengan fashion (mode pakaian) misalnya, kita
dapat memeriksa organisasi seni, yaitu, museum, komunitas nonprofit,
dan lain-lain, untuk strategi jaringan mereka dan hubungan masyarakat
di antara mereka" mereka menangani lingkungan organisasi sehari-hari"
(Blau 1988:275). Organisasi seni seperti organisasi lainnya harus
menghadapi mengamankan dana dan berurusan dengan karakteristik
seperti hierarki, administrasi, aturan yang dirutinkan, akuntabilitas dan
hubungan masyarakat internal dan eksternal (DiMaggio 1986, 1987,
Blau 1988).

147
b. Seni sebagai Semiologi
Selain itu, di luar pemeriksaan dunia seni rupa, dalam sosiologi
interpretatif seni, dapat diselidiki semiologi, yaitu penggunaan tanda
dan simbol untuk membangun makna dan pesan berkomunikasi kepada
orang-orang (Sage 1996). Seperti Bergsen (1984:187) mencatat, ―seni
adalah bahasa. Benda-benda seni karena itu dipahami dalam kode yang
membawa dan mengkomunikasikan informasi sosial‖. Selanjutnya,
"Simbol dan gambar cenderung lebih kolektif dan umum, bukan pribadi
dan khusus", (Bergsen, 1984:189). Dengan demikian, makna di balik
gambar paling jelas bagi publik yang lebih luas. Dalam pengertian ini,
simbol dapat dipelajari sebagai pengakuan publik atas hubungan sosial
dan makna kolektif. Studi sosiologis bentuk ini meliputi: (1)
pemeriksaan pola bicara (kosakata, aksen, pelafalan, isyarat, nada)
sebagai penanda kelas sosial (Mills 1939; Goffman 1959; Bourdieu
1977, 1991) (2) tampilan pola konsumsi (kegiatan rekreasi, rumah dan
dekorasi fashion, pilihan makanan, minuman seni,) sebagai simbol
perbedaan dan daya interaktif (Warner 1959; Veblen 1973, Bourdieu
1984), dan (3) peran simbol dalam menciptakan dan menegakkan
interaktif batas (Goffman, 1976; Sniderman dan Tetlock, 1986;
McIntosh 1988; Staurowsky 2000, Paul dan Birzer 2004).
Menampilkan simbolik tersebut apa yang Bourdieu (1989:19)
katakan, istilah menandai "satu tempat" dalam tatanan sosial dan
penamaan dari "rasa tempat untuk orang lain. " Di sini, tampilan
simbolis kekuasaan mengidentifikasi tanda-tanda (verbal atau
sebaliknya) "memaksakan pada orang lain visi. pembagian sosial. [Dan]
otoritas sosial "(Bourdieu, 1989:23). Untuk menyatakan di lain cara,
artikulasi simbolik peringkat tanda seseorang dalam hierarki sosial dan
menarik perbedaan antara orang-orang berdasarkan konsepsi nilai dan
layak.

148 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 18. Seni sebagai identitas sosial
Sumber: Zubaidah Agus, Seni Rupa UNP, 2012.

c. Seni sebagai Identitas


Bentuk-bentuk lain dari strategi interpretatif, seni dan benda-benda
lain yang dapat diperiksa untuk peran yang mereka mainkan dalam
"definisi orang tentang siapa mereka, siapa mereka telah, dan siapa
mereka ingin menjadi (Csikszentmihalyi dan Rochberg-Halton,
1981:x).
Hal-hal di mana orang berinteraksi tidak hanya alat untuk
bertahan hidup atau untuk membuat hidup lebih mudah dan lebih
nyaman. Hal mewujudkan tujuan, membuat nyata keterampilan dan
membentuk identitas pengguna mereka.
Contoh studi sosiologis bentuk ini termasuk karya
Csikszentmihalyi dan Rochberg-Halton (1981) yang memeriksa barang-
barang rumah tangga sebagai simbol diri. Studi dari Vail (1999) Copes
dan Forsyth (1993) dan Atkinson (2004) yang meneliti tentang tato seni
dan modifikasi tubuh sebagai pemeliharaan identitas dan/atau
transformasi identitas, (1980) Heern-studi afiliasi kelompok individu
melalui grafiti dan fashion modern, tari dan penciptaan etnis melalui
cerita, lagu, dan makanan (Paul, 2003).
Melalui karya-karya tersebut menjadi mungkin untuk melihat
bagaimana interaksi dengan hasil objek dalam pembentukan identitas.
"Untuk berinteraksi dengan objek dalam cara yang sesuai dengan
budaya berarti mengalami objek yang secara langsung -menjadi media
yang adalah tanda-tanda [identitas diri atau diri]" (Csikszentmihalyi dan
Rochberg-Halton, 1981:50-51).
149
Gambar 19. Karya seni sebagai kegiatan individual, sosial dan individu-sosial
Sumber. Nasbahry Couto, 2006, 2010)
5. Kesimpulan
Akhirnya Paul (2011) menyimpulkan dari pendekatan ini, seni
dapat dipelajari sebagai lembaga sosial, kekuatan kekuasaan, dan
penanda identitas sosial.
a. Pertama, seni adalah sebuah lembaga sosial dalam melewati
informasi budaya, nilai-nilai dan standar normatif perilaku. Seni,
secara umum, dapat diperiksa sebagai agen sosialisasi dan kekuatan
pendorong di mana seseorang belajar tanggung jawab untuk sistem
sosial.
b. Kedua, dari perspektif seni konflik dapat dikonseptualisasikan
sebagai ideologi dominasi dan/atau mekanisme perubahan sosial
budaya.
c. Ketiga, di bawah strategi interpertativist, seni artinya digunakan
untuk pertukaran bentuk dan pola sosial atau hubungan.

150 Nasbahry Couto & Indrayuda


M
enurut Maanen (2009), sejak tahun 1960-an, pertama filsafat
seni dan kemudian sosiologi seni mulai melahirkan aliran dan
teori yang menggambarkan dan menganalisis dinamika dunia
seni. Hal ini sebagai reaksi terhadap kesulitan yang dihadapi
ketika mencoba untuk berdiri di bawah karya seni sebagai artefak
dengan fitur khas tertentu, yang dihasilkan oleh aktivitas unik seniman.
Sementara masing-masing para pemikir yang memberikan kontribusi
untuk pendekatan ini menekankan pentingnya hubungan antara
produksi seni dan penerimaan (resepsi) seni, mereka terutama
mempelajari domain produksi, sangat sedikit perhatian telah
diinvestasikan terhadap domain distribusi dan penerimaan seni dalam
upaya memahami bagaimana fungsi seni dalam masyarakat. 64
Berdasarkan gambaran penting dari dunia seni, serta lapangan,
jaringan, dan teori sistem, tulisan ini bertujuan untuk menyatukan
pemikiran pada sisi organisasi dunia seni dan pemahaman fungsi seni
yang lengkap dalam budaya; untuk menempatkannya, lebih tepatnya:
untuk mengetahui bagaimana organisasi dunia seni melayani fungsi
seni dalam masyarakat. Hal ini sama sekali tidak berlebihan untuk
memikirkan kembali hubungan antara pendekatan teori dan bagaimana
fungsi dunia seni dalam cara yang praktis. Sebaliknya, pada kedua
daerah ini kita dapat melihat kecenderungan untuk menghindari
perbedaan antara variabel jenis seni, melainkan ide seni yang lebih

64
Hans van Maanen, 2009, How to Studi Art Worlds: On The Societal Functioning Of
Aesthetic Values, Amsterdam: Amsterdam University Press, (p: 7)
151
umum atau bahkan yang disukai budaya tertentu. Akibatnya, nilai seni
dapat dirumuskan hanya pada tingkat yang sangat umum, sedangkan
pada jenis praktiknya, fungsi seni akan sangat berbeda, dengan cara
yang sangat berbeda untuk kelompok yang sangat berbeda dari
penggunanya. Oleh karena itu, bab ini memiliki dua tujuan. Pertama,
untuk praktisi dunia ide seni, dengan teori mengenai apa yang dapat
Anda lakukan pada seni -baik di dalam masyarakat lokal atau
masyarakat luas -dalam rangka mendukung penguatan kekuatan sosial
yang berbeda bentuk seninya. Kedua, untuk memasok teori, dengan
informasi mengenai konsekuensi teori organisasi untuk melihat fungsi
seni dalam masyarakat.
Pada tahun 1964, Arthur Danto diperkenalkan terhadap konsep
`Dunia Seni (Art World) 'sebagai jawaban atas perubahan produksi
estetik (seni) pada tahun-tahun 1950 dan 1960-an. Dia menggambarkan
adanya kesulitan saat memberikan makna terhadap perubahan produk
seni saat itu, yaitu apa yang disebut karya seni -yang bagaimana pun -
sering adalah karya, yang terlihat sebagai benda sehari-hari. Dalam
tulisannya yang terkenal itu, dalam Journal of Philosophy, dia
berpendapat' untuk melihat sesuatu sebagai seni tidak hanya melalui
mata (tetapi melalui) -suasana teori seni, pengetahuan tentang sejarah
seni seperti yang dikatakannya:
“sebuah „dunia seni' /‟world arts‟ (Danto 1964: 577). Dunia
seni dianggap sebuah dunia di mana seniman, museum, kolektor
dan lain-lain membuat dan membahas perkembangan seni, yang
erat kaitannya atau pekerjaan itu, sehingga dapat dilihat sebagai
sebuah karya seni. ”
Menurut Maanen (2009) karena tulisan-tulisan tahun 1964 itulah,
istilah 'dunia seni' (wolrd arts) mendapat tempat dalam pemikiran
filsafat dan sosiologis seni, pertama pada pendekatan pemikiran
kelembagaan (institusional) George Dickie dan pendekatan
interaksional pragmatis dari Howard S. Becker terutama dalam dunia
berbahasa Inggris, dan kemudian di Benua Eropa terutama di bawah
pengaruh besar Pierre Bourdieu. Bourdieu, bagaimana pun, sangat
disukai karena memakai 'istilah area (lapangan) seni' dan bukan istilah

152 Nasbahry Couto & Indrayuda


'dunia' (world), dan dia menyerang Becker dengan pemikiran dan
gambaran deskriptif, bahkan melalui konsep enumeratif'-nya65.
Gaya pemikiran berdasarkan konsep dunia seni, selama tiga
dekade terakhir abad kedua puluh dapat dibahas dalam bagian awal bab
ini dengan mengikuti penulis paling berpengaruh seperti: George
Dickey, Howard S. Becker, Paul Dimaggio, Pierre Bourdieu, Niklas
Luhmann, Bruno Latour dan Nathalie Heinich. Melihat urutan tulisan
ini akan jelas bagaimana pendekatan kelembagaan (institusional ini)
berubah dari waktu ke waktu: mulai dari pemikiran Danto dan upaya
Dickie untuk memahami seni dalam konteks historis dan institusional,
melalui upaya Bourdieu untuk mengem-bangkan teori dinamika seni
(dan lainnya) ke bidang destrukturtur-alization Perancis, kemudian ke
pemikiran Bourdieu66 dan Luhmann yang akhirnya, mengembangkan
meta-teori tentang bagaimana sistem sosial beroperasi dan berhubungan
satu sama lain, dengan tidak memper-timbangkan aktor, individu atau
organisasi sebagai elemen dasar dari sistem tersebut lagi, tetapi melalui
konsep komunikasi. Yaitu komunikasi seni dalam arti ucapan-ucapan,
perkataan-perkataan, termasuk karya seni. Hal ini dapat dipertanyakan,
by the way, apakah dua pemikir terakhir (Niklas Luhmann, Bruno
Latour dan Nathalie Heinich, dapat disebut sebagai pendekatan
institusional lagi.
Menurut Maanen (2009) meskipun ada nilai khusus dari
pendekatan ini yang dibahas tuntas, namun Maanan berusaha untuk
menemukan kesepakatan antara cara berpikir dan opportunitis
(berpeluang) untuk menghubungkan berbagai sudut pandang, bukan
untuk melihat detail perbedaan di antara perbedaan pendekatan itu.
Oleh karena itu, tidak akan ada penulis yang dapat menjelaskan seni

65
Dalam kategori: Definisi denotatif adalah penjelasan sebuah konsep dengan cara
menunjukkan atau memberikan contoh suatu benda atau hal yang termasuk dalam
cakupan konsep. Definisi ini dibedakan atas dua jenis yakni: definisi Ostentif dan
definisi enumeratif. Definisi ostentif adalah: penjelasan sebuah konsep dengan cara
menunjuk langsung terhadap simbol yang dikandung oleh konsep dimaksud.
Misalnya: Mendefinisikan apakah batu itu dengan menunjuk langsung pada objek
batu. Definisi enumeratif adalah: penjelasan sebuah konsep dengan cara memerinci
satu demi satu secara lengkap semua hal yang terkandung dalam sebuah konsep.
Misalnya: Propinsi di Indonesia meliputi, Jawa tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan
seterusnya sampai propinsi yang terakhir.
66
Bourdieu 1996: 205
153
secara ekstensif (luas, lengkap, menyeluruh). Oleh karena itu, bab ini
hanya akan membahas bagian-bagian dari pekerjaan penulis seni
terdahulu yang berkaitan dengan bagaimana hubungan organisasi
dalam dunia seni, area atau sistem mungkin mempengaruhi fungsi dari
seni dalam masyarakat yang dibahas. Kadang-kadang perlu untuk
memberikan beberapa latar belakang untuk membuat cara berpikir ini
dapat dimengerti. Selain itu, ada usaha untuk kembali ke wawasan
kunci para penulis/pemikir ini 'dan untuk menghindari (seringkali lebih
dari menarik, tetapi terlalu spesifik) rincian yang tidak perlu dari tulisan
mereka itu. Saat ini, adalah aman untuk mengatakan bahwa inti dari
gagasan asli dari dunia seni 'sebagaimana dimaksud oleh Danto –
adalah perlunya untuk memahami konteks historis-teoretis yang bekerja
dalam rangka untuk mempertimbangkan apa itu seni – yang biasanya
akan cepat masuk ke pemikiran dan diskusi berpaham Anglo-Saxon dan
dalam rangka untuk memberikan ruang bagi sebuah serangan terhadap
gagasan kelembagaan.
Hal ini disebabkan gagasan fungsionalis lama yang bekerja yang
merumuskan seni dengan nilai-nilai tertentunya. Sedangkan selama
1970-an dan I980-an, Monroe C. Beardsley67 yang berpikir dan
mempertahankan pendekatan kedua yang berasal dari kawasan pemikir
Amerika Atlantik. Di Eropa terdapat kelompok fungsionalis dengan
dukungan historis oleh tradisi filsafat lama yang mencari ciri khas seni.

67
Monroe Beardsley Curtis (10 Desember 1915 -September 18, 1985) adalah seorang
filsuf Amerika seni. Ia lahir dan dibesarkan di Bridgeport, Connecticut, dan dididik
di Universitas Yale (BA 1936, Ph. D. 1939), di mana ia menerima John Addison
Porter Prize. Dia mengajar di sejumlah perguruan tinggi dan universitas, termasuk
Mount Holyoke College dan Universitas Yale, tetapi sebagian besar kariernya
dihabiskan di Swarthmore College (22 tahun) dan Temple University (16 tahun).
Istri dan rekan penulis sesekali, Elizabeth Lane Beardsley, juga seorang filsuf di
Temple. Karyanya dalam estetika terkenal karena memperjuangkan atas teori
instrumentalis seni dan konsep pengalaman estetis. Beardsley terpilih sebagai
presiden dari American Society for Estetika pada tahun 1956. Ia juga menulis sebuah
teks pengantar pada estetika dan mengedit sebuah antologi dianggap baik survei
filsafat. di antara kritikus sastra, Beardsley dikenal dua esai ditulis dengan WK
Wimsatt, "The Kekeliruan Disengaja" dan " Kekeliruan Afektif, " kedua naskah
kunci Kritik Baru. Karya-karyanya juga meliputi: Logika Praktis (1950), Estetika
(1958), dan Estetika: Sebuah Sejarah Singkat (1966). Dia terpilih sebagai Fellow
dari American Academy of arts dan Ilmu Pengetahuan pada tahun 1976
154 Nasbahry Couto & Indrayuda
Dalam definisinya tentang seni (1991), Stephen Davies68 --yang
membahas secara menyeluruh pemikiran dunia Anglo-Saxon--
meskipun dapat diapresiasi secara mendalam untuk kemungkinan nilai-
nilai dan fungsi tertentu dalam seni--tetapi ia akhirnya menarik
kesimpulan bahwa sesuatunya akan menjadi sebuah karya seni
disebabkan semata status tertentu. Status ini diberikan oleh anggota dari
dunia seni, biasanya seorang seniman --yang memiliki kewenangan
untuk memberikan status yang bersangkutan-- berdasarkan peran dan
posisinya dalam dunia seni, dengan otoritas yang dimilikinya (Davies,
1991: 218). 69
Dalam penjelasan ini, Davies sangat bergantung pada definisi yang
dimiliki Dickie yaitu definisi kelembagaan (institusional), dengan
kualitas melingkar -dan biasanya tidak terkait akan nilai-nilai tertentu
dan fungsi seni, tidak peduli betapa pentingnya mereka dalam hal sudut
pandang pengamat. Mungkin Davies benar lebih suka definisi tentang
kelembagaan yang fungsional karena sudut pandang pendekatan
institusional adalah salah satu yang lebih umum dan netral daripada
standar historis atau budaya fungsional dari definisi seni. Dalam
pengertian ini, pendekatan institusional adalah bebas nilai, tetapi ia
bebas nilai dan sebuah kelemahan dari institusionalisme karena semua

68
Stephen Davies adalah bagian Profesor filsafat di University of Auckland, Selandia
Baru. Ia menulis terutama tentang estetika, terutama filsafat musik, tetapi juga
bekerja pada filsafat politik. [2] Dia adalah mantan presiden dari American Society
untuk Estetika (2007-2008), dan divisi Selandia Baru Asosiasi Australasia of
Philosophy (2001). [3] Salah satu publikasi pertamanya adalah jurnal 'The
Expression of Emotion di Music', diterbitkan di Mind tahun 1980 (Vol. 89, pp. 67-
86). Dalam artikel ini Davies pertama menguraikan teorinya bahwa musik adalah
ekspresif/ungkapan dari emosi, pada dasarnya mirip dengan cara kemunculan emosi
manusia itu muncul. Teori ini mirip dengan yang diuraikan oleh Peter Kivy dalam
bukunya The Corded Shell, yang diterbitkan pada tahun 1980. Namun, Davies
mengembangkan pandangannya sendiri sebagai sarjana pada tahun 1970, dan
teorinya adalah bagian dari tesis PhD-nya ditulisnya tahun 1976 dari University of
London. Berbeda dengan Kivy. , Davies juga menempatkan penekanan lebih besar
pada kemiripan antara musik dan gerakan fisik, di mana Kivy cenderung
menekankan kemiripan dengan ekspresif vokalisasi. Davies terinspirasi saat melihat
sebuah iklan untuk sepatu Hush Puppies, dengan pikiran bahwa kita mengalami
rasa sedih dalam menonton anjing Basset, meskipun tahu bahwa mereka tidak
merasa sedih.
69
Lihat bukunya: Definitions of Art. Ithaca & London: Cornell University Press, 1991.
155
blok pemikiran tentang nilai seni memberi-kan kontribusi terhadap
masyarakat dan fungsi mereka yang dapat dilayani.
Setelah mempelajari pendekatan yang berbeda dan istilah kunci
yang digunakan, akhirnya dapat disimpulkan bahwa apa yang biasanya
disebut fungsional atau pendekatan fungsionalis terutama menyangkut
bukan fungsi seni, tetapi nilai-nilainya. Deskripsi sangat awal oleh
Beardsley, seorang fungsionalis membuat ini sepenuhnya menjadi jelas.
“benda estetika itu berbeda sebab objek itu secara langsung
utilitarian dalam fungsi mereka dalam memberikan pengalaman
tertentu yang bisa dinikmati dalam dirinya sendiri '(1958, 572) -
intinya adalah pengalaman estetis. Penjelasan ini menimbulkan
pertanyaan tentang apakah perlu untuk mempertimbangkan seni
terutama sebagai fenomena nonfungsional. Tampaknya menjadi
lebih berguna. Akan tetapi, untuk memisahkan produksi nilai
estetika dari fungsi intrinsik dan ekstrinsik harus dipenuhi melalui
realisasi nilai-nilai oleh pengguna”.
Pemikiran mengenai nilai-nilai dan fungsi dari seni --yang
dikembangkan dalam bidang filsafat --yang diterangkan Maanen dalam
bukunya mungkin tidak akan dibahas secara lengkap dalam buku ini,
walaupun sebagaian besar materi yang penting berasal dari tulisan
Maanen. 70 Menurut Maanen (2009) dia menulis buku ini untuk
memperlihatkan bagaimana dunia seni beroperasi dan yang
memungkinkan seni untuk berfungsi dalam masyarakat. Dengan pola
yang lebih atau kurang stabil, mereka berhubungan dalam bentuk
historis yang dapat berubah, proses ini membentuk dasar bagi cara-cara
produksi, distribusi dan penerimaan seni, dan bahkan sebagian dari
kontekstualisasi efek pengalaman estetika.
Sebagai konsekuensi penting dari ini, seseorang dapat
mengharapkan bahwa perbedaan pada tingkat pola-pola dan proses

70
Walaupun hal ini adalah penengah untuk menjembatani kesenjangan antara
pendekatan institusional untuk senipada satu sisi dan pertanyaan tentang bagaimana
seni mendapatkan makna dan signifikansi yang muncul dalam perspektif organisasi,
pada sisi lain. Ini adalah sebuah penjelajahan filosofis yang tidak dapat dan tidak
akan menjadi lengkap, melainkan, mencoba untuk mengkategorikan ide-ide
kontemporer dengan karakter pengalaman estetis, kemudian dapat digunakan untuk
mempelajari fungsi seni dalam masyarakat. Pertanyaan penting yang dibahas akan
mencakup peran persepsi, imajinasi dan pemahaman, pentingnya interes dan
persepsi yang terkait, serta perbedaan antara istilah `estetika dan artistik.
156 Nasbahry Couto & Indrayuda
akan menyebabkan perbedaan dalam fungsi seni dalam masyarakat.
Dengan pemikiran ini, salah satu motivasi untuk menulis tulisan ini
adalah menemukan cara berpikir yang dapat memungkinkan seseorang
untuk mengetahui apakah (dan jika demikian, bagaimana) fungsi seni
diberbagai negara dapat dilihat dari perbedaan organisasi produksi,
distribusi atau penerimaannya.

Fungsi dunia seni


Dalam teori seni, terdapat semacam tumpang tindih atau belitan
antara fungsi istilah nilai dan fungsi (misalnya Kieran 2002 dan Davies
I991). Dalam tulisan ini, nilai seni akan digunakan untuk
menggambarkan kapasitas untuk menghasilkan pengalaman estetik
karya seni dalam konteks resepsi. Melalui penjelasan ini akan menjadi
jelas bahwa nilai seni pada satu sisi dianggap sebagai kategori objektif
dalam arti bahwa sebuah karya seni memegang dalam dirinya kondisi
yang sangat baik memberikan pengalaman estetik. Mungkin bahwa
semua karya seni memiliki nilai ini secara umum, sementara, pada sisi
lain, nilai estetik harus dilihat sebagai kategori subjektif, dalam arti
bahwa nilai pekerjaan yang ada dalam diri terasa sebagai pengalaman
oleh konsumen seni. Akibatnya, sebagai sesuatu yang spesifik dalam
pribadi atau kelompok, sebaiknya nilai seni terletak pada kapasitasnya
untuk menghasilkan pengalaman estetika. Nilai sebuah karya seni dapat
ditemukan dalam cara di mana pekerjaan tertentu mampu menghasilkan
pengalaman estetik. Sementara itu, deskripsi Althusser menawarkan
titik awal sebagai berikut.
“Perbedaan yang nyata antara seni dan ilmu pengetahuan
terletak pada bentuk khusus di mana mereka dilihat dengan cara
yang sama sekali berbeda, walau kita diberikan dengan objek yang
sama: seni dilihat dalam bentuk `mengalami atau` perasaan,
sedangkan ilmu 'mengamati', dalam bentuk pengetahuan, (Althusser
1966). 71

71
Pierre Louis Althusser (1918-1990) adalah salah satu filsuf Marxis yang paling
berpengaruh pada abad ke-20. Karena menawarkan pembaruan cara berpikir Marxis
juga untuk membuat filosofis Marxisme menjadi dihargai, klaim yang diajukannya
pada tahun 1960 tentang filosofi Marxis dibahas dan diperdebatkan di seluruh dunia.
Karena pembalikan ini, jelas dalam posisi teoretis nya, yang sebelumnya bernasib
buruk fakta hidupnya, dan nasib sejarah Marxisme di akhir abad kedua puluh,
157
Dalam teks yang sama, Althusser menawarkan pembaca sebuah
deskripsi yang lebih halus berikut ini.
`karakter khusus seni adalah bahwa hal itu membuat kita
merasakan sesuatu. . , yang terkait dengan realitas. Meskipun nilai
tertentu seni muncul di sini menjadi sangat dekat dengan fungsi
spesifiknya, yang pertama dapat diidentifikasi sebagai
menghasilkan pengalaman estetis dengan memaksa domain persepsi
untuk menghasilkan skema baru, dalam rangka mempertajam
kemampuan perseptif atau untuk memperkuat daya imajinatif, yang
dapat dilihat sebagai fungsi estetis.
Setelah seseorang mulai bertanya-tanya
mengapa produksi nilai estetika apa pun
adalah penting atau sekali seseorang mulai
membaca frasa yang digunakan pemerintah
untuk melegitimasi dukungan finansial
mereka untuk seni, pemikiran tentang fungsi
seni dimulai. Singkatnya, perbedaan antara
nilai dan fungsi yang pertama melayani yang
kedua.
Istilah fungsi membawa kita kembali ke
Louis Althusser topik utama tulisan ini. Ini adalah sebuah
Pierre (1918-1990) gagasan yang kompleks karena dapat merujuk
pada seni serta dunia seni, yang pertama akan terlihat di sini sebagai
bagian dari kedua. Selain itu, tidak hanya dapat dilihat dari sistem
operasi (dalam struktur dan proses) akan berarti bila menggunakan kata

namun minat ini yang kuat dalam membaca karya Marx versi Althusser tidak
bertahan sampai tahun 1970-an. Meskipun ketidakpedulian komparatif terbukti
karyanya secara keseluruhan setelah peristiwa ini, teori ideologi Althusser
dikembangkan lagi dan secara luas digunakan dalam ilmu-ilmu sosial dan
humaniora dan telah memberikan landasan untuk banyak filosofi "pasca-Marxis".
Selain itu, aspek dari proyek Althusser ini telah bertugas sebagai inspirasi untuk
Marxisme Analitis serta untuk Realisme Kritis. Meskipun pengaruh ini tidak selalu
eksplisit, karya Althusser dan muridnya terus memberi informasi kepada program
studi penelitian sastra, filsafat politik, sejarah, ekonomi, dan sosiologi. Selain itu,
otobiografinya telah dikenakan banyak kritikan yang tajam selama dekade terakhir.
Saat ini, filsafat Althusser secara keseluruhan sedang mengalami reevaluasi kritis
oleh para sarjana yang telah memperoleh manfaat dari antologinya sulit-untuk-
menemukan dan teks yang belum dipublikasikan sebelumnya dan yang telah mulai
terlibat dengan massa yang besar, tulisan yang tetap dalam arsip itu.
158 Nasbahry Couto & Indrayuda
fungsi dalam konteks seni atau dunia seni, tetapi berbagai hasil operasi
dalam hal jenis karya seni dan penggunaan bahan seni oleh orang-orang
atau sekelompok orang. Kita dapat menilai empat domain yang berbeda
atau langsung terkait dengan dunia seni (domain produksi, penerimaan,
distribusi, dan konteks) dan tiga tingkat di mana domain ini dapat
dipelajari (individu, kelembagaan dan sosial), pertanyaan tentang
bagaimana dunia seni fungsi dapat didekati setidaknya ada 87 cara.
Gambar di bawah menunjukkan sepertiga dari cara ini, yang berkaitan
dengan tingkat sosial: dua belas bidang yang berbeda yang dapat
dipelajari, serta tujuh belas hubungan yang berbeda antara domain atau
bidang.

159
Gambar 20. Bidang dan hubungan untuk dipelajari mengenai fungsi dari dunia
seni di tingkat masyarakat, (Maanen, 2009:12)

Organisasi struktur, proses dan hasil sebenarnya tiga momen dalam


pengoperasian sistem72. Dalam rangka untuk memungkinkan sebuah
studi rinci tentang pengoperasian dunia seni, tidak hanya tiga momen
operasional, tetapi empat subsistem atau domain akan menjadi

72
Maanen telah memperkenalkan cara sistematisasi studi tentang fungsi dunia seni di
dua publikasi sebelumnya tentang teater: Van Maanen 1998 dan 1999.
160 Nasbahry Couto & Indrayuda
terdefinisikan. 73 Selain subsistem, yang keseluruhannya adalah inti dari
sistem dunia seni, yaitu produksi, distribusi dan penerimaan, domain
keempat telah dimasukkan dalam model, yaitu domain kontekstualisasi.
Hal ini dapat dianggap sebagai domain tambahan dengan cara
menghubungkan dengan sistem lainnya dapat dipelajari.
Pada satu sisi, sistem kontekstual (politik, pendidikan, ekonomi)
dapat menjadi penting untuk pengoperasian dunia seni, pada sisi lain,
hasil operasi dari dunia seni dapat berdampak pada orang-orang yang
sistem kontekstual. Proses-proses ini dapat didefinisikan sebagai proses
asimilasi hasil dari satu sistem yang diatur dalam sistem lain. Ini harus
jelas dari diagram bahwa semua bidang dan domain secara fungsional
dihubungkan dengan panah yang melambangkan hubungan saling
tergantung antara mereka:
“tempat menyambut beberapa jenis pertunjukan, jenis acara
`menghasilkan 'kebutuhan dalam benak penonton mungkin; yang
nilai-nilai dunia pendidikan seniman tertentu, dan, pertama dan
terutama, struktur membuat proses mungkin dan jenis proses
menghasilkan jenis karya seni, baik itu teater produksi, patung,
lagu, komik atau puisi”. 74
Skema ini tidak hanya membantu dalam mengidentifikasi bidang
dan hubungan sistematis dan dalam membuat fungsi bagian dari dunia
seni dimengerti, dapat dibaca sebagai model dari sebuah proses yang
dimulai dengan pembuatan karya seni dan, melalui kolom distribusi
(yang membuat mereka tersedia dalam peristiwa), dan penerimaan (di
mana peristiwa yang dialami), berakhir dengan penggunaan terbuat
untuk menghasilkan skema mental yang baru untuk melihat dunia.
Dengan cara ini fungsi dari dunia seni dapat dianggap sebagai proses
yang mengarah ke sebuah akhir, sedangkan struktur, proses dan hasil

73
Dalam hal ini, model berbeda dari model Van, Maanen 1998 di mana domain
distribusi dan penerimaan yang digabung dalam satu domain yang disebut konsumsi.
Dalam model yang disajikan di sini, penerimaan panjang telah disukai daripada
konsumsi jangka, untuk menekankan bahwa, dalam mengamati, penonton seni
melaksanakan proses produksi mereka sendiri. Domain keempat sekarang disebut
kontekstualisasi 'untuk menekankan gerakan silang difusi.
74
Hal ini didasarkan pada pilihan apakah akan mempertimbangkan (masyarakat)
menggunakan terbuat dari seni sebagai fungsi pertama dari sebuah dunia seni,
daripada perkembangan seni rupa seperti, yang tetap, tentu saja, kondisi yang
penting.
161
dari ladang dan operasi dari hubungan dapat dianggap sebagai berbagai
tahapan dalam proses keseluruhan. Hal ini dalam pengertian ini bahwa
fungsi dunia seni akan dipelajari dalam tulisan ini. Karena pilihan ini
dan terlepas dari fakta bahwa semua bagian dari model yang sama,
beberapa kolom dan baris dapat diindikasikan lebih penting daripada
yang lain, seperti yang ditunjukkan pada angka dengan cetak tebal.
Baris pertama, yang disebut struktur organisasi, benar-benar hanya
dasar untuk dunia seni, meskipun sering dipahami sebagai sistem dunia
seni itu sendiri, dan ini kondisi struktur jenis proses dan hasil mereka di
seluruh berbagai domain. Dalam baris yang kebanyakan penulis pada
dunia seni membatasi diri pada struktur bidang produksi dan hubungan
keuangan dengan dunia politik. 75
Domain yang paling kurang terang tidak diragukan lagi bahwa
distribusi. Dalam banyak kasus domain ini dipahami sebagai
perpanjangan dari produksi seni, baik dalam bentuk pameran maupun
pertunjukan. Akan tetapi dalam kasus tertentu kenyataannya adalah
bahwa penonton terpenuhi layanan estetika yang luas, dengan karya
seni asli pada intinya, tetapi layanan ini secara keseluruhan yang
menarik orang, membuat pengalaman estetis mungkin bagi mereka dan
mengukir tempat dalam hidup mereka. Jadi, kolom distribusi, di mana
produksi estetika berubah dan tersedia dalam berbagai peristiwa, sangat
sentral untuk fungsi dari dunia seni, dalam hal ini membawa produksi
dan resepsi bersama-sama dan mengatur pengalaman estetis dengan
cara tertentu.
Diharapkan bahwa garis yang ditarik dari pemikiran institusional
pada seni, melalui upaya untuk membedakan berbagai nilai seni,
menuju pola organisasi dan proses dalam dunia seni, akan membantu
sarjana di bidang ini, praktisi dan politisi, untuk memahami bagaimana
seni sistem dunia dapat mendukung fungsi seni dalam masyarakat.
Dengan kata lain untuk membentuk kondisi untuk realisasi sosial dari
nilai-nilai mereka.

75
Lihat misalnya Van Maanen & Wilmer 1998
162 Nasbahry Couto & Indrayuda
Gambar 21. Dua sumbu yang kuat kondisi fungsi dari dunia seni, dalam hal ini
pada tingkat individual, (Maanen, 2009:13)
Untuk pembahasan selanjutnya kita akan membahas, masing-
masing pemikir sosiologi dan hasil pemikirannya. Seperti yang telah
diuraikan di atas, tokoh penting antara lain adalah George Dickey,
Howard S. Becker, Paul Dimaggio, Pierre Bourdieu, Niklas Luhmann,
Bruno Latour dan Nathalie Heinich. Akan tetapi, tidak semua tokoh
dibahas dalam buku ini, paling tidak dapat membahas, George Dickey,
Howard S. Becker dan Pierre Bourdieu, sebagai berikut ini

1. Pengantar
George Dickie (lahir 1926) mengabdikan 25 tahun kehidupan yang
aktif, dari tahun 1964 sampai tahun 1989, terutama untuk mengenalkan
dan pengembangan lebih lanjut dari teori kelembagaannya (Institutional
Theory). Dalam beberapa artikel dan empat buku yang diterbitkan
selama periode ini, ia membela pendekatannya terhadap apa yang

163
disebut teori instrumental, tradisional atau romantis (instrumental,
traditional or romantic theories), semua ini, bagaimanapun, telah
dibahas oleh Stephen Davies sebagai teori fungsional, di dalamnya
secara menyeluruh memperbandingkan definisi kelembagaan dan
fungsional seni (Davies 1991). 76 Buku Davies memberikan gambaran
rinci tentang pertarungan yang berlangsung antara tahun 1964 sampai
pertengahan 1980-an, yaitu antara penganut Anglo-Saxon -khususnya
kaum institusionalis dan fungsionalis Amerika Utara-dan dua tokoh
utama inti dari perjuangan ini adalah pemikir seni George Dickie dan
Monroe C. Beardsley . 77
Beardsley telah menelusuri teori pengalaman estetika sejak tahun
1958. Karena itu, ia berkeyakinan kuat -yang dipertahankan sepanjang
tahun -bahwa karakter khas karya seni terletak pada kapasitas mereka
untuk menghasilkan pengalaman estetis. Membaca tulisan Dickie ini
menurut Maanen78 berarti pembaca akan terus menerus melihat
konfrontasinya dengan pemikiran Beardsley, dengan siapa ia (lebih atau
kurang) tampaknya tertarik terhadap karyanya/tulisannya.

76
http://www. aristos. org/whatart/What%20Art%20Is%20-%20Ch.
%206%20(The%20Definition%20of%20Art)%20-%20full%20text. pdf, lihat juga
http://en. wikipedia. org/wiki/Classificatory_disputes_about_art
77
Mengenai Robert J. Janal lihat di http://books. google. co.
id/books/about/Institutions_Of_Art. html?id=d888SVTIaCsC&redir_esc=y
78
Lihat karangan Hans van Maanen, 2009, How To Study Art Worlds: On the Societal
Functioningn of Aesthetic Values, Amsterdam: Amsterdam University Press (bab I)
164 Nasbahry Couto & Indrayuda
Seperti sudah dijelaskan dari
beberapa judul artikelnya, Dickie
bereaksi langsung ke upaya Beardsley
itu. Pada tahun 1964, ia menulis The
Myth of the Aesthetic Attitude‟ (Mitos
Sikap Estetis) (dalam The American
Philosophical Quarterly) dan setahun
kemu-dian diterbitkan Beardsley
Phantom Aesthetic Experience‟ (Teori
Hantu Pengalaman Estetis Beardsley)
(dalam The Journal of Philosophy). Pada
saat yang sama, daftarnya literaturnya
menunjukkan minat yang mendalam
Mengenai teori George Dickie, dalam karakteristik dan nilai-nilai karya
dibahas lebih lengkap dalam buku seni. Pada tahun 1971, Dickie menulis
Institusions of Art, karangan
Robert J. Janal (2004) pengantar estetika dengan bab berjudul
'The Theory of Beauty' (Teori
Kecantikan), 'The Theory of Art' (teori
seni) dan ‗The Aesthetic Attitude‟ (Sikap Estetis).
Dalam karya-karya utamanya, Dickie mengembangkan Teori
Pendekatan Institusionalnya, sesering munculnya tulisan Monroe
Beardsley, Dickie mulai menulis tentang objek estetika dalam Art and
the Aesthetic: An Institutional Analysis (1974), Seni dan Estetika:
Analisis Kelembagaan (1974), ia mencatat:
In developing my own conception of aesthetic object I will be
following the lead of Monroe Beardsley. In so doing, it will be
necessary to reject one part of his theory and to develop a network
of ideas underlying his theory but not explicitly recognized by him
(Dickie 1974: 147).
Dalam mengembangkan konsepsi saya sendiri objek estetika
saya akan mengikuti jejak Monroe Beardsley. Dengan demikian,
maka akan diperlukan untuk menolak satu bagian dari teori dan
mengembangkan jaringan ide yang mendasari teori tetapi tidak
secara eksplisit diakui olehnya (Dickie 1974: 147).

165
Sepuluh tahun kemudian, ketika Dickie bertujuan untuk
memperbaiki dan menyempurnakan teori kelembagaannya, ia menulis
dalam The Circle Art:
A Theory of Art (1984), buku ini didedikasikan untuk tidak
lain menyanggah teori Monroe Beardsley. Dia menyatakan bahwa
seni itu akan lebih jelas diterangkan dalam konteks teori
institusional (Kelembagaan). Dickie menjelaskan sepenuhnya dalam
satu pernyataan bagaimana ia melihat perbedaan antara
pendekatan dia dengan Beardsley: „ The theory Beardsley has in
mind is a theory of what works of art do, not of what they are‟
(Teori Beardsley telah dipikirkan sebagai sebuah teori apa yang
dilakukan karya seni bukan dari apa itu seni') (1984: 85).
Penjelasan lebih jelas posisi Beardsley sebagai fungsionalis adalah
hampir tidak mungkin: karya seni memiliki fungsi khas dan itu
adalah untuk menghasilkan pengalaman estetik. 79
Menurut Maanen, tidak seluruhnya pandangan Beardsley itu salah.
Teori Beardsley terutama berperan dalam menerangkan nilai dan fungsi
seni. Untuk memahami ini yang terpenting adalah memahami lebih
dulu teori institusional Dickie, 80 tetapi, sebelum dimulai, hubungan
antara Dickie dan rekan lain yang terkenal, Arthur Danto81, harus
dibawa ke permukaan.

79
Maanen menjelaskan bahwa dia mengusulkan menggunakan istilah nilai untuk
kapasitas untuk menghasilkan pengalaman estetis dari karya seni dan menyarankan
istilah fungsi untuk kegunaan dan manfaat dari pengalaman estetika.
80
Teori kelembagaan Dickie adalah bagian dari perdebatan filosofis tentang seni dan
tidak boleh dikelirukan dengan apa yang juga dikenal sebagai
institusionalisme''(baru) sebagai Sekolah Sosiologis, yang terakhir ini dibahas secara
singkat dalam bab berikutnya dalam kaitannya dengan konsep seni dunia Howard S.
Becker.
81
Arthur Coleman Danto (lahir 1 Januari 1924) adalah seorang filsuf dan kritikus seni
Amerika. Ia paling dikenal sebagai kritikus, dan berpengaruh sangat lama di bidang
seni untuk dunia seni dan untuk karyanya dalam filosofis estetik dan sejarah filsafat,
meskipun ia telah memberikan kontribusi signifikan terhadap sejumlah bidang.
Minatnya terutama berpikir kritis, tentang perasaan, filsafat seni, teori representasi,
filosofi psikologi, estetika Hegel, dan terhadap pemikiran filsuf Maurice Merleau-
Ponty dan Arthur Schopenhauer.
166 Nasbahry Couto & Indrayuda
2. Hubungan Pemikiran Dickie dan Danto
Arthur Danto lah yang pada tahun 1964 memperkenalkan istilah
―Art world‘ (Dunia Seni) sebuah gagasan yang sering dikutip dari
artikelnya ‗ The Art world‟ 'Dunia Seni' di dalam The Journal of
Philosophy (no. 61: 571-584). Dia menyatakan bahwa bentuk seni baru
-di mana seni pop, seni minimal dan seni konseptual (pop art, minimal
art and conceptual art) menampilkan diri mereka dan memenangkan
sebuah posisi -tidak bisa dilihat sebagai seni tanpa mengenal gagasan
artikel, ‗Art world‟ Danto membahas dua masalah seni kontemporer
yang dihadapinya. Masalah pertama muncul secepat objek dianggap
seni, tampak persis seperti benda nyata. Sesuatu yang dibutuhkan untuk
membuat perbedaan antara dua benda yang mungkin dan untuk melihat
sebagai satu sebagai realitas dan yang lain sebagai sebuah karya seni.
Di sini, contoh yang terkenal dari lukisan (cetak saring?) kotak karya
pelukis Andy Warhol yang berjudul ―Brillo‖ disajikan:
What in the end makes the difference between a Brillo box
and a work of art consisting of a Brillo box is a certain theory of
art. It is the theory of art that takes it up into the world of art, and
keeps it from collapsing into the real object it is, (2003 [1964]: 41).
Apa yang akhirnya akan membuat perbedaan antara kotak
Brillo dan karya seni yang terdiri atas sekotak Brillo adalah teori
seni tertentu. Ini adalah teori seni yang membawanya ke dunia seni,
dan terlihat dan dinilai sebagai benda riil, (2003 [1964]: 41).
Dengan bantuan dari Shakespeare, Danto mulai mengungkap teori
seni dengan menambahkan:
Kotak 'Brillo‟ dapat mengungkapkan kita untuk diri kita
sendiri sebagai sesuatu yang mungkin: sebagai cermin yang
mengacungkan ke alam, mereka mungkin berfungsi untuk
menangkap hati nurani tuan (Danto) kami' (2003 [1964]: 44).
Terlepas dari implikasi fungsional dari pandangan ini dan
mengesampingkan pertanyaan menarik tentang siapa itu Danto
dianggap sebagai raja pada zamannya, esensi dari pernyataan ini
adalah bahwa kotak Brillo sebagai karya seni memiliki sesuatu
untuk dikatakan, sesuatu untuk mengekspresikan diri mereka dan
tidak murni pengulangan realitas kotak Brillo. Ada ruang tertentu
antara kotak Brillo sebagai karya seni dan kotak Brillo sebagai

167
realitas, dan ruang ini diisi oleh karya seni melalui sesuatu yang
mengatakan tentang realitas.
Kesulitan kedua Danto merasa dirinya disajikan dengan adalah
bahwa bentuk-bentuk abstrak murni seni tidak mewakili apa-apa. Dia
memberikan contoh dari sebuah karya yang terdiri atas bidang yang
sama sekali putih yang dilintasi garis hitam dan berjudul No 7.
"Bagaimana bisa objek ini, tidak mengacu pada apa pun, dilihat sebagai
karya seni? Jawabannya, menulis Danto, terletak pada kenyataan bahwa
seniman ini telah kembali ke fisik cat melalui suasana ditambah teori
seni dan sejarah lukisan terbaru dan terpencil. Sebagai konsekuensi dari
karyanya termasuk dalam suasana ini dan adalah bagian dari sejarah ini
(2003 [1964]: 40).
Dengan mengikuti jalan ini Danto mengaitkan dengan pernyataan
pendirian nya: ―untuk melihat beberapa hal-sebagai seni membutuhkan
sesuatu pandangan mata tidak bisa selalu terkait dengan teori seni,
pengetahuan tentang sejarah seni: sebuah dunia seni‖ (ibid).
Perkembangan dalam produksi seni pada tahun 1950-an dan 1960-
an akhirnya membawa Arthur Danto tentang konsep dunia seni
berfungsi sebagai dasar untuk asal-usul teori kelembagaan, meskipun
Dickie menekankan bahwa pendekatannya tidak timbul dari intervensi
Danto itu. Seperti yang ditampilkan pada bagian berikutnya, Dickie
cukup kritis terhadap argumentasi Danto, dan Danto untuk bagian itu,
berpikir bahwa Dickie mempelajari dunia seni terlalu sebagai lembaga,
jauh lebih dari yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang
diidentifikasikan oleh Danto (Danto, 1986). Pada kenyataannya, Danto
sengaja bertujuan untuk menggeser perhatian sejarawan seni, kritikus
dan profesional lainnya dari gagasan karya seni tradisional yang
memiliki fitur hakiki dan khas yang membuat mereka dianggap karya
seni, dengan pandangan yang bekerja seni menjadi atas dasar posisi
mereka di konteks (sejarah), dengan kata lain karena posisi mereka
dalam dunia seni.

168 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 22. Andy Warhol, Brillo Soap Pads Box, 1964 silkscreen
tinta dengan cat polimer sintetik pada kayu, 17 x 17 x 14 inci. Ada
pada Andy Warhol Museum, Pittsburgh Founding Collection.
Kontribusi oleh The Andy Warhol Foundation untuk the Visual Arts,
Inc.

Dalam The Circle Art, Dickie membahas satu bab tentang usaha
Danto untuk mendapatkan pegangan pada seni kontemporer (Dickie
1984: 17--27). Di tempat pertama, klaim Danto bahwa teori seni adalah
syarat untuk kehadiran karya seni itu dianggapnya/diserangnya salah,
menurut Maanen karena Dickie bertanya-tanya apakah Danto berpikir
'bahwa seseorang harus sadar menyadari adanya teori seni dan dapat
menyatakan apa teori adalah dalam rangka menciptakan sebuah karya
seni '(Dickie 1984:19). Berikut Dickie menunjukkan keengganan
tertentu untuk mengikuti Danto, tidak mengambil serius contohnya
tentang pelukis gua batu prasejarah Lascaux, yang dalam pandangan
Danto tidak bisa menjadi seniman karena konsep seni kemungkinan
yang kurang itu. Dickie keliru dalam pendekatan ini sebab:
Saya mengambil Danto yang menyiratkan bahwa pelukis dari
Lascaux atau orang lain baik harus aestheticians dan sadar
memegang teori seni atau memiliki teori seni mengatakan kepada
mereka oleh suatu Pakar Estetik sehingga mereka sadar dapat
memegang teori dalam rangka menciptakan karya seni (1984: 20).

169
Gambar 23. Lukisan gua batu prasejarah Lascaux di Perancis,
(Arts Clips)

Karena lukisan Lascaux diproduksi dalam 'waktu yang sangat lama


sebelum orang secara sadar merumuskan setiap teori seni', Dickie
menyata-kan bahwa klaim Danto itu pasti palsu, memutar argumen
Danto bahwa sesuatu yang hanya bisa dipahami (tidak perlu dibuat)
sebagai seni dengan bantuan teori seni.
Menurut pendapat Maanen (2009), Danto yang tepat tidak dalam
waktunya sendiri, tetapi untuk periode sebelumnya. Keprihatinannya
adalah benda-benda atau karya hanya bisa dilihat sebagai seni jika
perbedaan sadar antara seni dan nonseni yang tersedia. Selama berabad-
abad, konsep mimesis, konsep ekspresi dan teori formalis dalam semua
jenis mereka melayani kesadaran perbedaan seni dan bukan seni ini,
tetapi, seperti yang disebutkan di atas, pada pertengahan abad kedua
puluh, Danto dihadapkan -seperti Dickie dan Beardsley -dengan karya-
karya yang tidak bisa dilihat sebagai seni atas dasar perbedaannya
dengan konsep tradisional di atas itu (mimesis misalnya). Kotak Brillo
oleh Warhol atau karya suara John Cage 4'33"82 (serta benda siap
pakainya ―Toilet Ready-made‖ karya Duchamp sudah dibuat pada awal
abad ini) menyebabkan perlunya revisi teori seni sedemikian rupa
sehingga konteks karya secara tegas dapat dipertimbangkan.

82
karya musik Jhon Cage yang terdengar sebagai suara selama periode empat menit
serta tiga puluh tiga detik bukan permainan instrument musik
170 Nasbahry Couto & Indrayuda
Gambar 24. foto Fountain, (1917)
Toilet Ready-made – karya Marcel
Duchamp sumber: http://www.
vargagallery. com/MyHeartBelongs
ToDada. htm.

Teori kelembagaan Dickie adalah upaya radikal untuk melakukan


hal ini, meskipun lebih menandai pemikiran awal Danto dan pada
akhirnya yang tampak cukup terbatas dalam kapasitas untuk membantu
membedakan seni dari kenyataan. Kontroversi antara kedua Dickie dan
Danto menyangkut kontribusi kedua untuk revisi sangat dibutuhkan
teori seni. Dickie mengandaikan istirahat yang antara pendapat bahwa
teori seni adalah kondisi yang diperlukan untuk memahami sesuatu
sebagai seni dan upaya Danto untuk berkontribusi pada seperti teori:
The theory that art theories make art possible seems to be
replaced by an-other theory in the later articles; at the very least,
Danto puts forth another account of what is necessary for art,
(Dickie 1984:20)
Teori bahwa teori seni membuat seni yang mungkin
tampaknya digantikan oleh-lain teori dalam artikel selanjutnya,
setidaknya, Danto menempatkan sebagainya kisah lain tentang apa
yang diperlukan untuk seni, (1984:20):
Dalam dua artikelnya Dickie mengacu pada (Danto 1973 dan
1974) mlihat seni dari teori tradisional yang lebih umum -atau
setidaknya lebih memadai untuk membedakan seni kontemporer dari
yang tidak seni. Dia meneliti perbedaan antara karya seni dan hal-hal
yang mereka lihat -salah satu artikel memang berjudul Artworks dan
Real Things -sebagaimana telah yang terjadi pada artikelnya tahun 1964
Perbedaan antara karya seni dan representasi lainnya, menurut
pendapat Danto bahwa karya seni tidak hanya murni menggambarkan
(menampilkan lagi) subjek mereka, tetapi berbicara mengenai mereka
dalam satu atau lain cara. Tulisan ini membuat pernyataan yang
menjelaskan bahwa menjadi sebuah karya seni diperlukan berada dan

171
dihapus dihapus dari kenyataan untuk diubah menjadi ungkapan atau
sebuah pernyataan (Dickie 1984: 22). Dickie membantah hal ini karena
dalam pekerjaan opini murni abstrak, misalnya, tidak mengatakan apa-
apa tentang sesuatu, sedangkan pendapat Danto adalah bahwa bahkan
jenis pekerjaan membuat ungkapan/pernyataan baik itu perihal seni itu
sendiri atau hubungan antara seni dan kenyataan.
Akhirnya, Dickie merumuskan dua perbedaan penting antara
pendekatan institusional dan pandangan Danto itu. Di tempat pertama
Danto hanya mencari satu atau dua kondisi yang diperlukan untuk
karya menjadi seni (yaitu mereka perlu berhubungan dengan konteks
sejarah seni dan mereka perlu membuat pernyataan), sedangkan teori
institusional adalah upaya eksplisit untuk memberikan yang diperlukan
dan kondisi yang cukup bagi seni (Dickie 1984: 25), yang berarti suatu
upaya untuk mendefinisikan seni sebenarnya. Di tempat kedua, latar
belakang karya seni, Danto memanfaatkan kondisi seni tertentu dalam
sejarah, dalam teori Dickie latar belakang ini adalah 'struktur‘, orang
memenuhi berbagai peran dan melibatkan sebuah praktik yang telah
dikembangkan melalui sejarah (Dickie 1984: 26).

Gambar 25. Karya Raoul Hausmann,


Dada Siegt – 1920, Cat air dan
kolase dan jalinan kertas, dipasang
di papan, Overall 23 5/8 x 17 3/4 in.
-Private collection, pada saat itu
mencomot benda apa saja menjadi
karya seni dapat menggemparkan.

Dalam kedua konsepsinya, Dickie menemukan ruang antara karya


seni dan sesuatu yang lain. Bagi Danto itu adalah ruang antara karya
seni dan apa yang diwakilinya dan yang penting karena teori
institusional itu adalah ruang antara seni dan bukan-seni. Perbedaan
dengan mata Dickie tentu saja dari kenyataan bahwa ia tidak menerima
'asumsi' Danto sebagai kondisi yang diperlukan untuk menjadikan
sesuatu karya seni.
172 Nasbahry Couto & Indrayuda
Atas dasar ini, Dickie menyimpulkan bahwa Danto memiliki
sejumlah pernyataan yang kedengarannya sebagai sebuah kelembagaan,
tetapi dia tidak ada mengatakan 'tentang sifat kelembagaan seni sebagai
seni' (Dickie 1984:17). Teori kelembagaan adalah 'upaya untuk
menggambarkan sejumlah struktur kelembagaan khusus di mana
keberadaan mereka memiliki karya seni (Dickie 1984:27). Davies,
bagaimanapun, yang telah meneliti karya Dickie secara menyeluruh,
tidak hanya dalam kaitannya dengan ini Beardsley, tetapi karya Danto,
dia berpendapat bahwa Danto sebaiknya dipahami sebagai 'proto-
institusionalis' (awal teori kelembagaan) (Danto 1991:80). Maanen
(2009) setuju dengan Davies karena argumentasi Danto untuk
pengenalan konsep 'dunia seni', yang ia lihat diperlukan untuk
memahami karya seni kontemporer sebagai seni, telah membuka
kemungkinan mempertimbangkan studi dari kerangka kontekstual dari
karya-karya ini sebagai penentu untuk memahami ini. Sedangkan
Dickie mendapat kesulitan dalam mengenali hal ini, disebabkan oleh
fakta bahwa Danto mencoba untuk mengintegrasikan konsep
kontekstual dengan minatnya dalam fitur intrinsik seni. Dickie,
disamping itu, tidak bisa membebaskan diri dari kepentingan yang
terakhir, jika hanya karena hubungannya dengan Beardsley. Dia melihat
integrasi ini sebagai ancaman terhadap kemurnian teori kelembagaan
dan hanya akan menerima bahwa karya 'The Art World Arthur Danto
telah mengilhami penciptaan teori kelembagaan seni.
3. Teori Dickie
a. Artifaktualiti
Pada tahun 1956 Morris Weitz menyatakan bahwa seni tidak
memiliki karakteristik penting dan unik, tidak ada sifat yang diperlukan
dan cukup untuk mendefinisikan seni dan untuk membedakannya dari
fenomena lain, sehingga pada prinsipnya seni tidak dapat didefinisikan
(1956: 27--35). Tentu saja, ia bereaksi dengan pernyataan ini, seperti
yang dilakukan Danto dan Dickie beberapa tahun kemudian, hal ini
disebabkan ketidakmampuan upaya tradisional untuk mendefinisikan
seni atas dasar sifat hakiki, seperti aspek bentuk, ekspresi atau mimesis,
dia menetapkan benar bahwa ada saja karya yang tidak memenuhi

173
standar atau kriteria istilah-istilah itu, tetapi bagaimana pun kehadiran
sebuah karya seni selalu dapat dipertimbangkan.
Dari sini jelas bahwa Weitz adalah orang yang melapangkan jalan
bagi teori dan pendekatan institusional Dickie, tetapi seterusnya
publikasi pertama yang utama (1971, Aesthetics: an Introduction),
kemudian yang kedua dia mengkritik Weitz untuk kesimpulan bahwa
seni tidak memiliki esensi pokok dan dengan demikian, tidak dapat
didefinisikan, mengatakan bahwa pandangan ini mungkin benar untuk
teori estetika tradisional, tetapi belum tentu untuk semua teori seni.
Dickie berpikir seni dalam konteks definisi kelembagaan adalah pasti
mungkin.
Menurutnya Weitz memiliki kesalahan dalam kesimpulannya,
menurut pendapat Dickie, hal ini terkait dengan dua faktor:
“Pertama, pertanyaan tentang 'artifactuality' -gagasan
bahwa karya seni harus produk dari aktivitas manusia. Kedua,
kenyataan bahwa Weitz tidak membuat perbedaan antara dua
makna dari gagasan 'karya seni. "Dickie mendalilkan perbedaan
antara' 'istilah karya seni dalam pengertian klasifikasi dan dalam
arti evaluatif. Dalam kasus pertama, ungkapan 'ini adalah seni'
atau 'ini adalah karya seni' berarti bahwa pekerjaan 'termasuk
dalam kategori tertentu dari artefak' (1971: 99), yaitu mereka yang
disebut karya seni. Dalam arti evaluasi ungkapan yang sama hasil
konstruksi 'yang substansial, nilai sebenarnya' dari karya (1974:
43)”.
Teori kelembagaan sepenuhnya didasarkan pada makna klasifikasi
dari gagasan karya seni. Seperti yang sering diulang Dickie, hanya
karena belitan kedua indra dapat Weitz menyimpulkan bahwa karya
seni tidak perlu sebuah artefak, benda atau ucapan yang dibuat oleh
manusia, tetapi benda-benda alam yang unik juga dapat dianggap seni.
Misalnya bahan kayu atau batu yang dapat dilihat sebagai seni hanya
karena penampilan indah atau mengejutkan, misalnya burung dapat
diakui sebagai seni karena terlihat seindah seni. Selanjutnya, (1974: 25-
-27), Dickie menambahkan makna ketiga dalam ungkapan seni ini.
Yaitu arti derivatif, berdasarkan prinsip kemiripannya: pekerjaan ini
terlihat seperti karya seni atau karya seni tertentu. Ini berarti ketiga hal
itu tiba-tiba membuka kemungkinan menjadi tiga kategori jenis karya

174 Nasbahry Couto & Indrayuda


seni yaitu, 1) tiruan, 2)hasil aktivitas binatang, dan 3)benda-benda
alam.
Dalam menilai potongan benda kayu dalam bentuk seekor burung
yang menjadi sebuah karya seni, dapat dinilai maupun dimaknai
derivatif. Dickie akhirnya mencoba untuk mencegah kebingungan ini
terjadi di tempat pertama dengan membuat perbedaan antara arti yang
berbeda bahwa ekspresi ini adalah seni' dan kemudian dengan
mempertimbangkan klasifikasi rasa sebagai satu-satunya di mana
definisi seni dapat memiliki dasar yang kokoh.
Berbicara tentang karya seni dalam pengertian klasifikasi, istilah
artifactuality bagi Dickie adalah sebuah conditio sine qua non,
misalnya pemalsuan melalui benda-benda alam dan yang mirip benda
alam. Demi argumen ini dia menerima perbedaan antara dua jenis seni:
'seni artifactual' dan 'seni kemiripan' untuk menyatakan bahwa ada
aktivitas manusia dengan bentuk produksi yang berbeda satu sama lain,
dan hasil dari kegiatan ini pasti tidak bisa termasuk dalam kategori
yang sama. Art artifactual adalah hasil dari sebuah 'kegiatan
pembuatan' seni kemiripan, pada sisi lain, adalah hasil dari 'yang kita
sadari kesamaannya' dengan sesuatu (1984: 36). Kegiatan seperti jenis
yang berbeda tidak bisa menghasilkan sejenis hasil, dan dari sudut
pandang ini, itu tidak logis. Menurut Dickey bahwa seluruh filsafat seni
yang selalu sibuk dengan karya seni artifactual (1984: 35).
A work of art in the classificatory sense is 1) an artifact 2)
upon which some person or persons acting on behalf of a certain
social institution (the art world) has conferred the status of
candidate for appreciation, (ibid)
Dickie mengulangi definisi ini dan bekerja di luar Seni dan
Estetika, dalam karangannya Institutional analysis (Analisis
Kelembagaan) (1974) adalah studi pertama utamanya pada teori
institusional seni, tetapi pada tahun 1984 ketika ia menerbitkan karya
kedua utamanya dengan topik yang sama, ia membahas konsep
kritiknya terhadap topik ini, menolak definisinya sendiri dan
memunculkan konsep baru, yang dianggapnya kurang lebih definitif
untuk teori institusional. Salah satu masalah definisi pertama yang
terangkat adalah fakta bahwa sejarah seni termasuk karya seni, yang

175
tampaknya tidak selalu dihasilkan oleh aktivitas seniman. Memang
sesuatu yang lain terjadi:
“Bagian baik-bentuk kayu apung, dipamerkan di sebuah
museum seni, berubah menjadi benda lain, sebuah 'kayu apung-
digunakan-sebagai-artistik', dan menjadi 'artefak dari sistem dunia
seni' (1984: 46-47). Kayu itu tidak lebih dari bahan dari mana
sebagaian artefak dunia seni siap pakai (telah jadi), dan hal yang
sama berlaku untuk Fountain Duchamp atau lainnya benda siap
pakai. Dengan pandangan ini, Dickie tampaknya tidak terlalu jauh
dari pendapat Danto bahwa 'untuk melihat sesuatu sebagai seni,
membutuhkan. sebuah dunia seni (wold arts). "

b. Esensi Kerangka Kerja Seni


Setelah membahas subjek favoritnya -kegagalan dari Arthur Danto
dan pentingnya artifactuality -Dickie mengkhususkan membahas
bagian tengah dari The Circle Art untuk The Institutional Nature of Art‟
(Bab IV) dan The Art world‟ (bab V), dan sekali lagi ia mulai bereaksi
terhadap pemikiran Beardsley: "Saya pertama kali akan mencatat dan
menerima beberapa kritik Beardsley untuk menyusun teori saya,
sehingga mengubah konsepsi sifat kelembagaan seni saya '(1984: 51).
Beardsley membedakan antara institution-types and institution-
tokens (tipe institusi-atau lembaga dan lambang kelembagaan) (1976),
yang berarti tipe praktik pertama, seperti sebuah perkawinan adalah
lambang kelembagaan tetapi bukan lembaga, dan kedua organisasi di
mana praktik -praktik beroperasi, seperti perusahaan film atau Gereja
Katolik Roma. Beardsley menyatakan bahwa dalam konsep Dickie
dunia seni adalah sejenis lembaga, seperangkat praktik, tetapi
definisinya mengandung unsur kuat didasarkan pada konsep bentuk dan
cara lembaga itu-, misalnya, 'status yang diberikan' dan 'bertindak atas
nama (sebuah lembaga -sosial tertentu) '; ' menurut Beardsley :, saya
pikir, benar-benar tepat di titik ini ', Dickie menulis, "perumusan teori
institusional saya telah diberikan tidak koheren' (1984: 51-52). Dalam
pandangan Dickie, bagaimanapun, ini tidak mengubah fakta bahwa
teori institusional yang koheren memang bisa dirumuskan dan pada
halaman yang sama dan ia mulai mengembangkan yang baru:
Apa yang sekarang saya maksud dengan pendekatan
institusional adalah pandangan bahwa sebuah karya seni adalah

176 Nasbahry Couto & Indrayuda


seni karena posisi yang didudukinya dalam praktik budaya, yang
tentu saja dalam terminologi Beardsley ini jenis lembaga, (1984:
52)
Sebelum pandangan ini keluar, Dickie tersesat dalam
kecenderungan untuk meniadakan apa yang disebut konsepsi yang
didasarkan pada gagasan ciptaan sepenuhnya otonom dan bebas dari
seniman, bukan suatu 'konsepsi romantis seni. "-kontes situasi karena
dalam filsafat seni abad kedua puluh atau sosiolog, tidak ada tokoh
yang mendukung ide ini. Hal ini juga berlaku bagi Beardsley yang
menyatakan bahwa pikiran seorang seniman harus 'dibentuk oleh
bahasanya yang diperoleh dan akulturasi budaya sebelumnya, dengan
kata lain bahwa pekerjaan seorang seniman harus berlangsung dalam
suasana teori seni, pengetahuan tentang sejarah seni (yang
dipahaminya).
“Sebuah dunia seni '(untuk menggunakan kata-kata Danto lagi).
Dickie berjuang dan bukannya mencoba untuk tetap hidup sebuah
'pemandangan romantis' dengan sengketa itu, ia seharusnya
ditanggapi serius dari manfaat pendekatan fungsional dalam
hubungannya dengan yang institusional, yang, pada kenyataannya,
ia akhirnya tampaknya dilakukannya pada The Circle Art. ”
Dickie ditanya melalui pertanyaan retorika apakah seni dapat
dibuat secara mandiri dari sebuah kerangka kerja. Untuk menjawabnya
ia memanfaatkan gagasan 'orang yang sama sekali tidak tahu tentang
konsep seni' menciptakan sebuah gambaran (1984: 55). Argumennya
sangat penting dalam kaitannya dengan sengketanya, dengan Danto,
dibahasnya: 'seperti penciptaan yang tidak akan menjadi sebuah karya
seni. Sebab pelaku tidak memiliki struktur kognitif di mana ia bisa
menyesuaikannya dan memahaminya sebagai seni '(ibid). Setelah lebih
dari sepuluh tahun, pernyataan Danto mengenai pelukis dari Lascaux
tidak menjadi seniman tampaknya akhirnya akan diakui oleh Dickie,
yang sekarang secara definitif dirumuskan pandangan bahwa adanya
kerangka kerja sangat penting untuk menjadikan suatu objek seni
(1984: 63).
Selain itu, ia menyatakan bahwa gagasan tentang kerangka kerja
yang memungkinkan penciptaan seni telah hadir sepanjang dalam teori
tentang seni, tetapi itu belum dikembangkan' (1984: 64), mengacu pada
teori mimesis, ekspresi dan bentuk yang semuanya menekankan sifat

177
karya seni seperti itu dan dengan demikian, terus kapasitas kerangka
mereka sendiri tersembunyi‖. Akhirnya, dan ini adalah apa yang benar-
benar penting bagi tulisan ini. Dickie menambahkan bahwa selain
seniman dan karya seni, masyarakat memperoleh peran dalam kerangka
ini:
Seting Teori institusional dari karya seni adalah dalam
kerangka yang kompleks di mana seorang seniman dalam
menciptakan seni memenuhi peran historis budaya yang
dikembangkan untuk publik yang lebih atau kurang siap, (1984:
66).
Meskipun Dickie menekankan bahwa karya-karya yang tidak
disajikan terhadap publik juga bisa menjadi karya seni jika mereka
hanya dimaksudkan untuk disajikan terhadap publik – sebuah
pandangan yang tidak mungkin dalam pendekatan yang lebih
fungsional -ia akhirnya tampaknya mempertimbangkan peran
(dimaksudkannya) penonton sebagai sesuatu yang sangat penting untuk
kerangka kerja. Dia mencirikan masyarakat sepanjang dua baris: semua
anggota mereka harus menyadari kenyataan bahwa 'apa yang
disampaikan kepada mereka tentang seni' dan harus memperoleh
'kemampuan dan kepekaan yang memungkinkan seseorang untuk
melihat dan memahami jenis tertentu seni dengan mana yang disajikan
'(1984: 72).
Dalam setiap kompleksitas'masyarakat, peran seniman dan
penonton sering dibuat fungsional dengan cara peran ketiga jenis ini,
yang diisi oleh personil mediasi, seperti produsen, manajer teater,
dealer seni dan kritikus. Dickie suka menekankan di sini bahwa ia,
dengan menggunakan tenaga, tidak berarti kelompok tertentu dari
orang-orang dalam organisasi formal, melainkan peran yang diisi dalam
dunia seni: "Dunia seni terdiri atas totalitas peran dengan peran
seniman dan masyarakat pada intinya '(1984: 74-75). Ini akan menjadi
jelas bahwa peran yang dimainkan dalam dunia seni, terutama pada
'sistem dunia seni, ' sebagai Dickie menyebut teater, sastra, lukisan, dan
sebagainya, memerlukan mengetahui dan bertindak atas dasar konvensi.
Dickie berbicara hanya dalam arti yang sangat umum tentang
konvensi, membuat perbedaan antara aturan dasar nonkonvensional -
seperti aturan artefak- dan aturan konvensional, 'yang berasal dari

178 Nasbahry Couto & Indrayuda


berbagai konvensi yang digunakan dalam menyajikan dan menciptakan
seni, ' sehingga 'perusahaan seni dapat dilihat sebagai kompleks peran
saling terkait diatur oleh aturan konvensional dan nonkonvensional
'(1984: 74). Dengan ini deskripsi Dickie tidak jauh dari Howard S.
Becker lagi; Becker membuat peran konvensi salah satu tema inti dari
pendekatannya, sebagaimana akan dibahas dalam bab berikutnya.
Dalam bab V dari The Circle Art, Dickie akhirnya merumuskan
teori baru kelembagaannya. Untuk terakhir kalinya ia kembali ke
pendekatan dalam seni dan estetika, di mana ia berfokus pada sebuah
'pusat' dari apa yang sekarang disebut kerangka kerja seni yang penting
– karena karya seni itu sendiri '(1984:79).
Sekarang ia berpikir bahwa serangkaian definisi, tidak hanya dari
pusat, tetapi semua bagian penting dari kerangka harus melayani untuk
menyimpulkan argumennya. Ia mulai dengan seniman, adalah "orang
yang berpartisipasi dengan pemahaman dalam pembuatan sebuah karya
seni‖ (1984: 80), menekankan bahwa ada perbedaan antara bagaimana
seorang tukang kayu yang membangun alat peraga, memahami
kerjanya, dan di mana cara seniman menyadari proses artistik dan
niatnya dalam hal ini.
Seperti catatan Dickie, definisi pertama mengarah 'alami' dengan
definisi sebuah karya seni: "Sebuah karya seni adalah sebuah artefak
dari jenis yang diciptakan untuk disajikan terhadap publik dunia seni
'(ibid). 'Jenis' istilah tidak genre kekhawatiran atau disiplin sini, tetapi
terhubung dengan 'yang disajikan': artefak dari jenis yang disajikan,
yang dengan cara, dalam pandangan Dickie, tidak berarti bahwa mereka
harus benar-benar disajikan untuk menjadi karya seni.
Definisi ini mengarah pada definisi 'publik' dan 'dunia seni'. 'Publik
adalah satu set orang anggota yang disusun tingkat tertentu untuk
memahami suatu objek yang disajikan terhadap mereka', dan totalitas
'dunia seni dari semua sistem dunia seni '(1984: 81).
Dengan sistem dunia seni, berarti sistem yang berbeda seperti
'sistem sastra, sistem teater, sistem lukisan, dan seterusnya' (1984: 82).
Dalam definisi akhir dari 'sistem dunia seni', 'seluruh rangkaian definisi
menjadi transparan, "dalam pandangan Dickie:" sebuah sistem dunia
seni adalah suatu kerangka kerja untuk presentasi dari sebuah karya
seni oleh seniman pada publik dunia seni '(ibid).

179
Untuk membuatnya sedikit lebih konkret: dunia teater adalah suatu
kerangka kerja untuk presentasi dari produksi teater oleh seniman teater
terhadap audiens, para anggota yang mungkin memahami produksi
tersebut.
Selain itu, fungsi filsafat menurut Dickie, adalah 'untuk membuat
jelas bagi pembaca secara sadar diri dan eksplisit apa yang sudah
pembaca ketahui dalam arti tertentu' (ibid). Alasan kedua mengapa
definisi seni harus melingkar, dalam pandangan Dickie, para 'sifat
ubahan seni', 'alam unsur-unsur yang berbelok, dalam pengandaikan'
(ibid). Untuk melengkapi deskripsi teori institusionalnya, penilaian
Dickie tentang definisi seni disajikan dalam kata-katanya sendiri:
. apakah sebuah definisi mengungkapkan dan dengan
demikian, menginformasikan kita sifat ubahan seni. Definisi
membantu kita memperoleh kejelasan tentang sesuatu yang kita
sudah akrabi tentang alam kita yang belum cukup jelas, tetapi dari
sudut pandang teoretis. Definisi menggambarkan dan dengan
demikian, mengungkapkan kompleks tertentu dari unsur-unsur
terkait dari sebuah usaha (perusahaan) seni (1984:82).

4. Kelebihan Teori Institusional Dickie


Menurut Maanen (2009), selama periode dua puluh tahun ketika
Dickie mengembangkan pendekatan institusionalnya, Dickie selalu
terus mengawasi rekan-rekannya yang berpikir lebih banyak tentang
nilai-nilai seni. Dalam publikasinya, bahkan dia mengabdikan sejumlah
perhatian hal ini, sebagian besar dalam bentuk pertengkaran dalam
kerangka upaya teorinya sendiri.
Dalam The Circle Art, misalnya, ia kembali ke Beardsley yang
bersikeras bahwa ada fungsi yang sangat penting untuk budaya manusia
dan bahwa karya seni memenuhi atau setidaknya bercita-cita atau
dimaksudkan untuk memenuhi sebuah kebutuhan (Beardsley 1976:
209).
Reaksi mengejutkan yang dimiliki Dickie adalah bahwa pandangan
esensialis Beardsley adalah dia tidak bersaing dengan teori seni
tradisional -yang menganggap sifat tertentu, seperti kualitas mimesis,
ekspresif atau formal tetap dianggap penting untuk menjadi benda atau
karya seni -atau dengan teori institusional: 'The Beardsley Theory‟

180 Nasbahry Couto & Indrayuda


memperoleh pikiran dalam hal, apa karya yang seni dan yang
bukan'(1984: 85).
Dalam pandangan Dickie, bagaimanapun, sifat penting dari seni
tidak akan ditemukan dalam pengalaman estetika Beardsley ketika ia
berbicara tentang 'fungsi bahwa karya seni terpenuhi dan penting untuk
budaya manusia. ' Dia cukup mengakui bahwa sifat institusional seni
tidak mencegah seni dari melayani tujuan moral, politik, romantis,
ekspresif, estetika atau kebutuhan lainnya, Jadi ada lebih ke seni
dibandingkan pembicaraan teori institusional (1984: 86).
Ketika Dickie menulis The Circle Art ia memiliki perasaan bahwa
teori kelembagaan sudah siap dan ia benar: itu selesai dan cukup,
lingkaran itu bulat dan pernyataan telah dibuat. Seperti katanya,
teorinya tidak berbuat banyak untuk memberikan bantuan dengan
berpikir tentang fungsi seni dalam masyarakat, juga tidak sangat
mendukung upaya untuk mengetahui bagaimana sistem seni, dunia
kerja seni, seniman dan fungsi karya seni dalam masyarakat; apa teori
kelembagaan terutama melakukan bertujuan untuk kemenangan atas
definisi seni didasarkan pada sifat-sifat penting, nilai-nilai atau fungsi.
Namun demikian, signifikansi teori Dickie untuk penelitian ini
adalah bahwa dia, dari sudut pandang filosofis dan khususnya dengan
cara berdebat dengan Beardsley, membuat perbedaan antara
kelembagaan dan cara berpikir fungsional benar-benar jelas. Bagi
sosiolog seni yang mencoba untuk menemukan fungsi seni dan dunia
seni, memahami perbedaan antara kedua cara berpikir itu membuka
kemungkinan untuk menyelidiki hubungan antara mereka.
Selain itu, dua elemen lain dari pendekatan Dickie sangat penting
tidak terbantahkan. Pertama, ada konsepnya mengenai peran dan
aturan, yang menjelaskan pentingnya konvensi dalam membuat suatu
sistem dunia seni beroperasi. Kedua, ada penekanannya pada peran
penting dari masyarakat, publik yang ada sebagai penerima lebih atau
kurang siap dari kegiatan seniman. Kedua aspek telah banyak
dikerjakan oleh Howard S. Becker.

181
Tentang pemikiran dari buku Becker telah dibahas pada bab I,
pada kesempatan ini dibahas bagaimana sebenarnya pandangannya
tentang sosiologi seni lebih dalam. Seperti yang pembaca ketahui Art
Worlds (Dunia Seni), karangan sosiolog Howard S. Becker diterbitkan
pada tahun 1982. Menurut Maanen (2009) adalah sebuah buku
perantara ke konsep teori medan (oleh Bourdieu) oleh sebab berikut ini.
1. Pertama uraian ini, bisa saja
didasar-kan pada pembahasan
dunia seni tahun 1960-an dan
1970-an, tetapi hanya akan
terisolasi, sementara pada saat
yang sama itu akan datang
reaksi yang terlalu dini untuk
teori medan Bourdieu (teori
medan/area), yang tidak secara
ekstensif ditunjukkan sampai
tahun 1992 di Les de l'règles seni (The Rules of Art, 1996). 83
2. Kedua, buku Becker tidak membuat pilihan teoretis, kecuali untuk
satu bahwa dunia seni harus dipelajari dari titik pandang
interaksionis simbolis (Maanen 2009) tidak menawarkan pilihan
pertahanan teoretis untuk posisi negaranya antara teori
kontemporer seperti strukturalisme, institusionalisme,
konstruktivisme atau deconstructivisme.
3. Ketiga, pekerjaan teoretis Becker pada seni adalah suatu kegiatan
diposisikan di suatu tempat berdekatan dengan keprihatinan
utamanya, yang dengan metodologi sosiologi dan studi perilaku
menyimpang. 84

83
Meskipun bagian itu diterbitkan di Perancis pada tahun 1970-an dan dalam bahasa
Inggris di 1980-an.
84
Teori kelembagaan Dickie adalah bagian dari perdebatan filosofis tentang seni dan
tidak boleh dikacaukan dengan apa yang juga dikenal sebagai '(baru)
182 Nasbahry Couto & Indrayuda
Buku Art Worlds (dunia seni) adalah satu-satunya monografi
tentang topik ini, meskipun didasarkan pada serangkaian artikel yang
dipublikasikan selama tahun antara tahun 1974 dan 1980. 85
Becker berhubungan secara eksplisit (tegas) pada saatnya dengan
pendekatan institusionalis, terutama pada dan didasari pandangan dalam
seni dan estetika milik Dickie. Analisis Kelembagaan (1974), karya
yang Dickie sebagian besar tidak dipublikasikan sampai 1984, dua
tahun setelah buku Becker. Dalam bab tentang, ‗aestheticians estetika
dan kritik', Becker membuat posisinya vis-à-vis institusionalis
sepenuhnya jelas/nyata:
Filsuf cenderung untuk berdebat dari contoh hipotetis, dan
'dunia seni' Dickie dan Danto merujuk tidak memiliki banyak
daging pada tulang, hanya apa yang minimal diperlukan untuk
ingin mereka buat. Tidak ada peserta dalam diskusi ini yang
berkembang sebagai konsepsi kelembaan dunia seni yang rumit
seperti dalam buku ini, meskipun deskripsi saya tidak bertentangan
dengan argumen mereka, (Becker, 1982: 149-150)
Becker sebagai seorang mantan pemain piano, pada satu sisi lain
dihadapkan dengan kegiatan sehari-hari dan kesulitan hidupnya,
sementara, pada sisi lainnya dia adalah seorang wakil dari Sekolah
Interaksi Simbolik Chicago, yang menekankan peran aktivitas individu
dalam organisasi dunia. Becker berpendapat bahwa pengetahuan
empiris yang luas dari apa yang terjadi dalam dunia seni harus dapat
dijelaskan guna 'membuat terobosan pada beberapa persoalan di mana
pembahasan filosofis telah macet' (ibid). Becker membahas empat dari

institusionalisme', yaitu sekolah sosiologis, yang terakhir akan dibahas secara


singkat dalam bab berikutnya dalam kaitannya dengan konsep dunia seni Howard S.
Becker
85
Howard Saul Becker (lahir April 18, 1928) adalah seorang sosiolog Amerika yang
telah membuat kontribusi besar untuk sosiologi penyimpangan, sosiologi seni, dan
sosiologi musik. Becker juga menulis secara ekstensif di style penulisan sosiologis
dan metodologi. Selain itu, buku Becker The Outsiders menyediakan fondasi untuk
teori labeling, Becker sering disebut interaksionis simbolis atau konstruksionis
sosial, namun ia tidak menyelaraskan dirinya dengan salah satu mashab. Llulusan
dari University of Chicago, Becker dianggap bagian dari Sekolah Sosiologi Chicago
kedua yang juga termasuk Goffman Erving, dan Anselm Strauss .
183
masalah ini secara singkat, dengan topik-topik berikut ini: Siapa? Apa?
Berapa banyak? Dan berapa banyak orang?
1. Pertanyaan pertama, mengacu pada definisi lama seni Dickie,
adalah Siapa yang berhak memberi sebuah status kandidat
apresiatif? dan dengan demikian, meratifikasinya sebagai seni?'
(Ibid) Jawabannya adalah, meskipun orang-orang yang terlibat
jarang sekali setuju pada siapa yang berhak berbicara atas nama
dunia seni, umumnya hak tersebut berasal dari yang mereka diakui
oleh para peserta lainnya dalam kegiatan koperatif dunia kerja
seni, produksi dan konsumsi dan atau orang yang berhak
melakukan hal itu, (151). Becker menambahkan ke pandangan
Dickie di sini adalah salah satu konsep penting dari pendekatannya,
seperti yang menjadi jelas kemudian: memahami dunia seni sebagai
kegiatan kerja sama dan hubungan antara partisipan. Ini juga berarti
bahwa status karya seni tergantung pada kesepakatan sering tidak
stabil di antara para peserta dalam sebuah dunia seni, yang dengan
cara, sama sekali tidak bertentangan dengan pendekatan
institusional/ kelembagaan.
2. Pertanyaan kedua menyangkut perdebatan tidak terelakkan pada
'karakteristik objek apa [harus] yang seharusnya menjadi karya
seni' dan terutama apakah 'sesuatu yang mungkin mampu dihargai'
(153). Sepenuhnya sesuai dengan tradisi kelembagaan, Becker
menyatakan bahwa tidak ada hambatan tentang apa yang dapat
diartikan sebagai karya seni, kecuali yang timbul dari 'kesepakatan
sebelumnya pada apa jenis standar akan diterapkan dan oleh siapa'
(155).
3. Pertanyaan ketiga 'berapa banyak', Becker menilai hal ini
kurang penting, tetapi akan membantu dalam memahami
pendekatan terhadap dunia seni. Pertama dia bertanya-tanya 'berapa
banyak aparat institusional' diperlukan untuk digunakan dalam
dunia seni. Dia sampai pada kesimpulan, berdasarkan bab
sebelumnya bahwa tidak ada jumlah tetap orang yang terlibat atau
jumlah peralatan yang digunakan karena 'pada tingkat ekstrimnya
kegiatan seni bisa dilakukan oleh satu orang, dia dapat melakukan
semua yang diperlukan dalam kegiatan seni'(157). Sehubungan
dengan ini, Becker membuat sebuah strategi ('sering dan dengan

184 Nasbahry Couto & Indrayuda


keberhasilan) dari 'mengiorganisasi sebuah dunia seni, yang
meratifikasi sebagai karya seni, dari yang memproduksi' (156),
4. Pertanyaan keempat adalah seberapa banyak dunia seni dapat
berbicara. Sistem seni Dickie membedakan dunia seni berdasarkan
disiplin utama dan 'sebuah subsistem baru akan ditambahkan dalam
sistem seni' itu (158). Pandangan Bourdieu kemudian, seperti yang
kita lihat, sedikit lebih tepat pada titik ini, menyatakan bahwa
kegiatan seni dipengaruhi oleh medan yang ada atau yang dapat
dianggap sebagai bagian dari itu. Becker menunjukkan,
bagaimanapun, dunia dari berbagai disiplin ilmu sering dibagi lagi
menjadi 'segmen yang terpisah dan hampir noncommunicating'
(158). Karena itu, ia mendefinisikan dunia seni dalam hal kegiatan
partisi mereka secara kolektif, Becker cenderung untuk melihat
berbagai dunia seni yang berbeda, meskipun ia juga melihat dua
jenis faktor yang menyangkut semuanya, sehingga dari titik
tertentu pandangan seseorang dapat berbicara sekitar satu dunia
seni.86

Yang pertama terdiri atas faktor-faktor eksternal yang dapat


menghambat segala macam dunia seni dengan cara yang sama, seperti
resesi ekonomi atau sensor. Seluruh partisipan ini dalam reaksi mereka
yang, "terlibat dalam suatu bentuk kegiatan kolektif dan dengan
demikian, adalah suatu dunia seni '(art works) (161). Hal yang sama
berlaku untuk kedua jenis faktor, yang mengacu pada situasi di mana
dunia seni rupa dapat berurusan dengan tema dan perspektif yang sama,
seperti yang terjadi, misalnya, ketika 'selama periode seniman
nasionalisme yang intens mungkin mencoba untuk menyimbolkan
karakter dan aspirasi negara mereka atau orang-orang dalam kerja
mereka '(161). Faktor ini bukan argumen utama bagi institusionalisme,
namun pendekatan Becker menunjukkan 'kegiatan kolektif' menempati
posisi sentral dalam pemikirannya.
Para pendiri interaksionisme simbolis di University of Chicago,
seperti CH Cooley (1854--1929), G. H. Mead (1863--1931) dan H.

86
Teori sistem umum menawarkan solusi yang lebih baik untuk masalah ini dengan
menggunakan konsep batas sistem yang dapat dipilih oleh analis sistem berdasarkan
tingkat agregasi, pada satu sisi, dan aspek-aspek yang akan dianalisis, pada sisi lain.
185
Blumer (1900--1987), telah mengembangkan ilmu psikologi sosial
Sekolah Chicago dengan arah yang memberikan lebih banyak ruang
untuk memahami manusia dalam perjuangan mereka terhadap struktur
sosial yang ada.
Sebaliknya Mead masih berkutat untuk menjelaskan perilaku
manusia sebagai adaptasi terhadap lingkungan sosial. Dia bahkan
cenderung memegang ajaran nasib sosial. Blumer berpendapat lain lagi,
dia beranggapan bahwa manusia dapat memberikan makna dan arah
terhadap situasi dimana mereka tinggal dan di atas dasar harapan dari
lingkungan sosial dan self-image masyarakatnya87. dalam arah kedua,
Becker mengembangkan konsep tentang hubungan antara lembaga-
lembaga (meskipun nilai ini akan berkurang melalui gagasannya yang
lebih lemah dari konsep 'konvensi') dan pengikut dalam dunia seni
(hubungan antar lembaga ini yang dilihat sebagai konsep interaksional)

Bevers dan pandangan Interaksionalnya


Bevers seorang sosiolog seni Belanda menyebut pendekatan ini
sebagai perspektif sosial-ilmiah, yang mengambil posisi di tengah-
tengah antara dua kutub: individu dan masyarakat. Ini berguna untuk
menghindari konsep sociologi metafisik karena terdapat sebuah
sindrom atas pertunjukan boneka/wayang (puppet), yaitu dengan
memindahkan pusat gravitasi ke tengah, ke medan kekuatan dari
(seperti) apa yang terjadi di antara orang-orang: yaitu hubungan sosial
(manusia yang sebenarnya), (Bevers 1993: 12) (seperti yang pembaca
ketahui dalam menonton pertunjukan boneka, tokoh boneka bukan
mewakili karakter satu orang), tetapi satu orang (dalam) untuk berbagai
karakter.
Bevers berpegang pada pendapat bahwa hal ini benar untuk
sosiolog yang berbeda seperti Becker dan Bourdieu, yang menimbulkan
pertanyaan di antaranya posisi di bidang sosiologi yang sebenarnya
yang dimaksud dengan meneliti 'bidang kekuasaan apa yang terjadi di
antara orang-orang: yaitu relasi sosial. "Untuk perjuangan antara
lembaga dan agen atau pusat dalam teori sosiologi, hal ini telah

87
Lihat, G. H. Mead (1934) Mind, Self and Society. From the Standpoint of aSocial-
Behaviorist. Chicago: University of Chicago Press, and H. Blumer (1969) Symbolic
Interaction, Perspective and Method. Englewood-Cliffs, N. J. : Prentice Hall.
186 Nasbahry Couto & Indrayuda
diterangkan lebih dari cukup oleh Karl Marx pada tahun 1856, ketika ia
menulis di The Brumaire XVIII Louis Bonaparte: 'Orang-orang
membuat sejarah mereka sendiri, tetapi mereka melakukannya dalam
keadaan tertentu dan langsung berhadapan dengan tradisi seni mereka'.
Sejak itu tugas sosiologi tidak bisa lagi untuk memilih antara 'individu'
dan 'masyarakat', melainkan untuk menemukan karakteristik hubungan
antara keduanya, seperti dijelaskan dari diskusi lanjut tentang hubungan
antara lembaga dan struktur sosial.
Tantangan ini juga telah diambil oleh Becker dan Bourdieu namun,
dalam dua cara/dasar yang berbeda, yaitu berdasarkan pandangan
mereka serta metode kerja mereka. di sini sudah dapat dikatakan bahwa
dalam melihat hubungan sosial, perlu posisi dan skala yang berbeda di
antara individu dan institusi. Becker yang berasal dari tradisi
interaksionis, menekankan bahwa manusia membuat sejarah mereka
sendiri. Dia sepaham dengan pandangan pemikir Eropanya, yang
berasal dari sebuah tradisi strukturalis. 88
1. Konsep Becker
Dalam bab pertama dari Dunia Seni, Becker menyajikan seluruh
set konsepnya dan kemudian bekerja mereka dalam sejumlah bab lain
dengan menerapkan tema yang berbeda seperti 'resources', ' art dan
state', ' art and crafts', "Editing 'atau' Reputasi '. Sebelum ini elaborasi
tematis berlangsung, bab konseptual dikhususkan untuk peran
konvensi.
Kedua, gagasan sentral dalam pemahaman Becker dari dunia seni
kolektif (atau bersama) kegiatan 'dan' konvensi'. Mannen (2009)
menggunakan istilah [dunia seni] untuk menunjukkan jaringan di antara
orang-orang yang terlibat dalam aktivitas kooperatif/bekerja sama,
mereka terselenggara kesamaan melalui pengetahuan mereka,
bergabung dalam sarana yang konvensional dalam melakukan sesuatu,
seperti memproduksi bebagai jenis karya seni, di dunia seni yang
mereka kenal (Becker 1982: X).

88
Tentang teori interaksi sudah banyak di tulis lihat http://research. it. uts. edu.
au/creative/interaction/papers/interaction04_21. pdf
187
a. Aktivitas Kolektif (Collective Activity)
Salah satu tujuan utama Becker adalah membuat pembacanya
percaya bahwa dia mendapat alasan dan dapat membuktikan bahwa
kerja seni itu sebenarnya kerja beberapa orang yang terlibat secara
koperatif (kerja sama), menurut pandangannya, hal itu adalah lebih
penting daripada yang lain.
Meskipun kegiatan koperatif itu dilakukan bervariasi antara satu
dengan (sub) disiplin yang lain, Becker menyusun sebuah daftar
sementara dari tujuh kegiatan rutin yang lazim terdapat dalam dunia
seni.
Becker memulainya satu atau lebih dianggap adalah 'pencetus' seni
itu harus dilihat dalam (1) ide-ide jenis pekerjaan dan bentuknya.
Tahap berikutnya adalah bahwa ide, baik itu naskah film, komposisi
atau desain untuk patung monumental yang harus
dieksekusi/dilaksanakan bersama, (2) Untuk berbagai disiplin ilmu juga
benar bahwa pelaksanaan ide kebutuhan bahan dan peralatan, seperti
cat, kamera atau alat musik yang harus diproduksi sebagai penunjang
kegiatan, (3) Kegiatan itu biasanya seperti yang disebutkan akan
memakan waktu, atau, dengan kata lain, memerlukan uang, dimana
seniman (para 'pencetus'?) penyokong, 'biasanya, meskipun tidak selalu
dengan (4) mendistribusikannya karya-karya mereka terhadap
khalayak, dalam kembali untuk beberapa bentuk pembayaran. Untuk
mengembangkan ide-ide, untuk mengeksekusi mereka dan untuk
mendistribusikan hasil membutuhkan pembayaran (dalam banyak kasus
membutuhkan berbagai kegiatan pendukung seperti (5) editing,
misalnya mengedit, menyalin, menyapu panggung, membawa kopi dan
memanipulasi mesin. 'Pikirkan dukungan sebagai kategori sampah,
yang dirancang untuk menahan apa pun kategori lainnya tidak membuat
tempat yang mudah untuk' (hal. 4). Dua jenis kegiatan, akhirnya, tidak
peduli dengan pembuatan karya seni seperti itu, tetapi masih dapat
dilihat sebagai diperlukan untuk keberadaan mereka. Keduanya
memiliki latar belakang teori jauh, yang tidak dibahas di sini oleh
Becker, tetapi hanya diambil untuk diberikan, yang pertama adalah (6)
'aktivitas respon dan apresiasi', tanpa kedua hal ini pekerjaan itu
dianggap tidak ada. Dalam pandangan Dickie, seperti yang disebutkan
dalam bab sebelumnya, yang dibuat untuk apresentasi, minimal jika
sebuah karya dapat dianggap sebagai karya seni, namun Becker
188 Nasbahry Couto & Indrayuda
berjalan dua langkah lebih lanjut: (a) itu harus dipresentasikan dan (b)
ditanggapi juga. Pandangan ini, dengan cara, berjalan kembali sejauh
karya awal pemikiran Marx, di mana, dalam teks-teks yang masih layak
dibaca, ia benar-benar menganalisis beberapa hubungan antara produksi
dan konsumsi dengan catatan: karya seni itu 'berbeda dengan objek
yang semata-mata objek alami, produk ini menegaskan dirinya sendiri
sebagai produk yang hanya dalam konteks konsumsi itu (seni), hanya
menjadi produk dalam tindakan ini. Dengan menjelaskan produk, itu
adalah sentuhan finishing bagi produk yang di konsumsi'(Marx 1974 [1.
859]: 492). Kegiatan terakhir yang disebutkan oleh Becker 'terdiri dari
(creating and maintaining the rationale alasan/argumen mengapa
diciptakan dan dipelihara (7). Sesuai dengan yang semua kegiatan
lainnya yang masuk kal dan layak dilakukan' (p. 4. atau HVM).
Argumen Danto tentang keniscayaan dunia seni, kerangka penting,
gagasan, serta ide Dickie, tampaknya bergema di sini, tetapi itu
akhirnya tampak begitu saja, setelah disajikan dalam daftar kegiatan
yang harus dilakukan 'tentang setiap karya seni yang muncul (hal. 5),
Becker suka untuk menekankan bahwa, jika beberapa kegiatan tidak
akan dieksekusi, pekerjaan itu akan terjadi dalam beberapa cara lain,
meskipun 'tidak didukung,' 'tidak dihargai. ' 'ini tidak akan menjadi
pekerjaan yang sama, tetapi itu jauh berbeda, dengan mengatakan
bahwa hal itu tidak bisa ada sama sekali, kecuali kegiatan ini dilakukan
'(ibid).
Contoh berikut menunjukkan bagaimana penyair, bahkan bisa
memutuskan untuk tidak membutuhkan publik sama sekali (Emily
Dickinson)89. Hal ini dapat dipertanyakan, tentu saja, apakah contoh
meng-atasi teori, dari beberapa halaman selanjutnya, Becker
menekankan lagi bahwa otonomi penuh adalah mustahil bagi para

89
Elizabeth Emily Dickinson (10 Desember 1830 -15 Mei 1886) adalah seorang
penyair Amerika. Lahir di Amherst, Massachusetts, dari sebuah keluarga yang
sukses dengan ikatan komunitas yang kuat, ia menjalani kehidupan sebagian besar
tertutup dan penyendiri. Setelah ia belajar di Akademi Amherst selama tujuh tahun
di masa mudanya, ia menghabiskan waktu singkat di Seminari Holyoke Mount
Female sebelum kembali ke rumah keluarganya di Amherst. Dianggap sebagai
seorang eksentrik oleh penduduk setempat, dia menjadi terkenal karena
kegemarannya berpakaian dan keengganannya untuk menyambut tamu di kemudian
hari, malah meninggalkan kamarnya. Sebagian besar dari persahabatannya
dilakukan melalui korespondensi.
189
seniman, jika hanya karena 'latar belakang terhadap pekerjaan mereka
yang masuk akal. Meski begitu penyair mandiri sebagai Emily
Dickinson tetap membutukhan penonton amerika, terutama untuk
mengenali dan menanggapi karyanya'(14).
Menurut Becker, untuk mengetahui berapa banyak orang yang
berpartisipasi kerja seni tidak penting, (karena hal ini dapat bervariasi
dari satu orang atau sejumlah besar spesialis dan semua kemungkinan
di antara), tetapi perlu diketahui mereka memiliki 'sekumpulan tugas':
untuk menganalisis suatu dunia seni kita mencari jenis karakteristik
pekerja dan bundel tugas masing-masing yang dikerjakannya' (9).
Sekali lagi, sejumlah contoh pembagian kerja dan kegiatan
pelatihan atas dasar pembagian kerja yang dapat terjadi dan disajikan
untuk meyakinkan pembaca akan pentingnya pandangan ini. Selain
pertanyaan apakah struktur dari dunia seni benar-benar dapat dianalisis
dengan mengetahui jenis pekerjaan dan orang yang terlibat di
dalamnya, masalah utama yang diangkat oleh gagasan Becker adalah
kekhawatiran adanya kerja sama atas bundel tugas dan posisi seniman
dalam aktivitas kolektif. Dia membuat perbedaan yang baik antara
pekerjaan untuk semua semua orang dalam kerja sama yang disebutnya
'penting untuk hasil akhir', dan kegiatan inti dari seniman, yang tanpa
kerja ini tidak akan menghasilkan seni '(24-25).
Menurut Maanen (2009) apa bundel inti dari tugas seniman, tidak
dijelaskannya secara eksplisit, mungkin bagi Becker berarti bahwa
seniman 'pencipta' dan akibatnya bahwa tugas utamanya adalah untuk
menghasilkan 'ide-ide artistik' yang asli, dan apa pun yang mereka
mungkin kerjakan. 90 tetapi dalam arti bahwa dia mempertanyakan
posisi inti seniman dengan menanyakan seberapa besar kontribusinya
untuk dan harus dikerjakannya sehingga dia dapat disebut seniman, dan

90
Becker sendiri memiliki kesulitan memberikan artis posisi khusus. Dia menekankan
bahwa dalam berbagai budaya dan periode sejarah, kerajinan telah memainkan dan
bahkan masih bisa memainkan bagian yang dominan dalam apa yang dianggap
'bakat kreatif seni. '. Contohnya dari kegiatan teknis yang dipandang sebagai seni
pada saat tertentu dalam sejarah, Ini adalah pendapat yang berbaur antara seni dan
kerajinan, dan ini pula titik lemahnya, sebab campuran ini dari kerajinan menjadi
seni hanya dari berbagai jenis aktivitas yang tidak selalu ada kaitannya dengan
maksud seni (secara tradisional).
190 Nasbahry Couto & Indrayuda
dengan pertanyaan siapa yang harus disebut seniman dalam sebuah
karya kolektif, seperti dalam karya film atau pertunjukan.
Pertanyaan pertama, "betapa sedikit kegiatan inti dapat dilakukan
seseorang dan untuk klaim menjadi seorang seniman? Pertanyaan ini "
secara implisit dijawab dengan bantuan dari sejumlah contoh terkenal
bervariasi dari komposisi kasar oleh John Cage dan Karlheinz
Stockhausen -yang harus diputuskan oleh musisi apa harus dimainkan
oleh mereka -atau lukisan Duchamp tentang kumis pada reproduksi
lukisan Monalisa atau penambahan tanda tangan pada urinoir. Jadi
jawabannya hanya tampaknya: sesedikit yang bisa dibayangkan dan hal
ini lebih dari cukup.

Gambar 26. Lukisan karya Duchamp, repro Monalisa yang diberi kumis, di
samping kanan lukisan Monalisa asli, oleh Leonardo da Vincy

Pertanyaan kedua, sedikit lebih kompleks karena dalam karya


kolektif seperti film, konser atau pertunjukan teater, partisipan yang
berbeda juga dapat memberikan 'ide-ide artistik'. Dalam film, karya
penulis script, komposer, direktur dan konduktor, serta aktor dan setting
desainer dapat dilihat sebagai kegiatan inti artistik.
Meskipun Becker cenderung untuk mempertimbangkan musisi
klasik dan aktor teater sebagai tenaga pelaksana, yang terakhir terutama
telah bebas dengan memperkuat posisi mereka dalam kaitannya karena
mereka harus bermain. Dengan kata lain, mencoba untuk mewakili
sosok yang ditulis, mereka hadir sebagaimana yang mereka alami
dengan diri mereka sendiri, dapat dianggap sebagai 'tugas artistik'.

191
Becker menunjukkan bahwa orang-orang yang ingin memberikan
kredit artistik bagi sebuah karya kolektif intinya tergantung dari niat
dari kontributor sebagai pusat kerja seni. Akan tetapi, saat ia mencatat,
penafsir atau bahkan niat penonton juga bisa mendominasi pengalaman
kerja. Menurut Becker masalah akan timbul 'ketika peserta tidak setuju
dan atau praktik standar akan menghasilkan konflik' (21). Ia berpikir
bahwa ia telah menemukan solusi sosiologis untuk mempelajari
'masalah filosofis dan estetika,' akan baik-baik saja. Jika ada, itu pun
hanya masalah sosiologis Karena pertanyaan filosofis tentang siapa
yang harus menjadi seniman dalam karya kolektif, dengan mudah dapat
dijawab secara pluralistik/ majemuk berdasarkan analisis estetik
keseluruhan dari pekerjaan mereka. Ini akan menjadi jelas bahwa kerja
seni sebagai kegiatan koperatif didasarkan pada apa yang disebut
Becker link-koperatif (sambungan kerja sama), yang untuk bagian
mereka dieksekusi dalam praktik bersama berdasarkan pada
pengetahuan dan konvensi bersama. Fitur penting dari link ini adalah
saling ketergantungan seperti yang dikatakannya:
'siapapun ia [artis, dari sudut pandang HVM] sebenarnya
tergantung pada orang lain, link koperatif harus ada' (25). Semua
ini akan lebih menarik ketika personel khusus, seperti musisi,
pencetak atau teknisi, berpartisipasi dalam melaksanakan
pekerjaan (yang sama?). Mereka memiliki kepentingan mereka
sendiri dan terutama keahlian mereka sendiri, yang dapat
bertentangan dengan ide-ide seniman, misalnya ketika musisi
menemukan komposisi musik terlalu sulit untuk dimainkan atau
ketika tanda rol harus menjadi bagian dari desain yang artistik.
Namun, di mata pencetak dapat muncul pikiran sebagai kurangnya
keahlian si pencetak.
Becker terutama menjelaskan bagaimana konvensi/kesepakatan
seniman untuk saling berhubungan dan berbagai orang terlibat dalam
domain distribusi dan penerimaan seni:
komposer menulis musik, membutuhkan sebuah organisasi
pemain lebih dari yang bisa dibayar. Dramawan menulis, tetapi
dimainkan begitu lama sehingga penonton tidak akan duduk
menonton mereka. Novelis menulis buku untuk pembaca yang
kompeten, yang akan membutuhkan teknik pencetakan inovatif dari
penerbit, (27)

192 Nasbahry Couto & Indrayuda


Menurut Becker hasilnya adalah bahwa seniman seharusnya
membuat lembaga distribusi agar dapat diasimilasi dan diapresiasi
penonton. Sehubungan dengan tidak diapresiasi, dirasakan miskinnya
estetik, adalah hal pengecualian karena adanya ‗saluran distribusi
nonstandar, pengusaha petualang dan khalayak sebagai penyebabnya.
Dalam hal ini sekolah seni sering memberikan sebuah peluang '(28).
Dari titik pandang akhir abad ke-dua puluh Eropa, estetika adalah tema
sentral, dan sangat konvensional, hal ini terdengar sangat tidak
diharapkan, tetapi mungkin inilah perbedaan budaya antara Amerika
Serikat dan dunia seni Eropa pada tahun 1980-an yang dipertaruhkan di
sini.

b. Conventions (Kesepakatan Sosial)


Konvensi memainkan peran penting dalam membuat kemungkinan
kerja sama. Mereka 'mendikte' material yang digunakan, "abstraksi
yang digunakan untuk menyampaikan ide-ide tertentu atau
pengalaman-pengalamannya '(29) dan' bentuk-bentuk di mana material
dan aspek abstrak akan dikombinasikan '(ibid). Konvensi
'menunjukkan' dimensi yang sesuai pekerjaan dan mereka mengatur
hubungan antara seniman dan penonton, menentukan hak dan
kewajiban dari keduanya '(ibid).
Becker memberikan perhatian khusus terhadap peran konvensi
dalam hubungan antara seniman dan distributor, pada satu sisi, dan
antara seniman dan penonton, pada sisi lain. Titik tolaknya adalah
bahwa domain distribusi yang ada untuk menghasilkan pendapatan para
seniman, sehingga mereka dapat membuat pekerjaan baru dan
seterusnya dan seterusnya:
“Dunia seni sepenuhnya dikembangkan menyediakan sistem
distribusi yang mengintegrasikan seniman ke dalam perekonomian
masyarakat mereka, membawa karya seni agar publik menghargai
mereka dan akan membayar dengan cukup sehingga pekerjaan
dapat dilanjutkan “

193
c. Sistem Distribusi Seni dan Sistem Ideologi, serta Konsep
Seniman Miskin
Apa apresiasi oleh masyarakat di sini, berarti mungkin akan
menjadi lebih jelas yaitu atas kerja sama antara seniman dan penonto.
Akan tetapi perlu dicatat bahwa sistem distribusi juga bisa dapat
dibayangkan dengan mengintegrasikan seniman atau karya mereka
dengan dunia ideologi masyarakat, di mana orang menggunakan
mereka untuk mengalami dunia, dan atau untuk memeriksa nilai moral
mereka. Pemikiran ekonomi, bagaimanapun akan membawa Becker -
dan lain-lain sebagai hal positif 91-ke titik di mana ia berbalik apa yang
Max Weber menyebut substantif-rasionalitas (mengacu pada esensi
kegiatan sosial) dan instrumental rasionalitas (mengacu pada bentuk
organisasi), dengan menempatkan yang kedua di tempat pertama.
Abbing dalam sebuah jurnal menulis sebagai berikut.
“Ironically and strangely enough, many artists are very
money-conscious. They often have second jobs. Most of my models,
for instance, are young artists who earn extra money working
second jobs. But this income allows them to survive as artists. As
soon as they have what they perceive as enough money to survive,
they lose further interest in earning more money and instead spend
more hours making their art. Nevertheless, a lack of interest in
money for consumption or leisure purposes does not necessarily
mean that artists are unconcerned about rewards and are thus
considered selfless. Artists are not that exceptional. But it is likely
that artists, more than other professionals, prefer personal
satisfaction, recognition, and status to money. This preference is
hardly a virtue. Upbringing and education have taught them the
proper attitudes to take with regard to art and money. Through a
process of socialization artists have internalized earlier rewards
and naturally evolve as 'selfless' artists. ”

91
Lihat buku terbaru oleh ekonom seni Belanda dan artis Hans Abbing, Why Are
Artists Poor? (2002). Untuk jurnal artikelnya lihat di http://www. hansabbing.
nl/DOCeconomist/SUMMARY. pdf
194 Nasbahry Couto & Indrayuda
Gambar 27. Buku karangan Hans
Abbing, 2002, Why are Artists Poor?:
The Exceptional Economy of the Arts,
Amsterdam: Amsterdam University
Press, June 2002, ISBN 90 5356 5655,
adalah kajian ekonomi seni oleh Hans
Abbing.

Menurut Becker, mungkin kekuatan distribusi terletak pada


kenyataan bahwa sistem penjualan ke publik dapat dianggap sebagai
jenis yang paling umum dari distribusi seni di dunia industri. Becker
meringkas enam 'kerja dasar' distribusi seni itu berikut ini.
1. Permintaan yang effektif dihasilkan oleh orang-orang yang
menghabiskan uang untuk seni (misalnya kolektor)
2. Apa yang mereka tuntut adalah apa yang telah mereka
pahami/pelajari agar dapat dinikmatinya dan inginkannya, dan
itu adalah hasil dari pendidikan dan pengalaman mereka
(kolektor dan pecinta seni).
3. Harga yang bervariasi antara permintaan dan kuantitas.
4. Kerja dalam sistem agar dapat mendistribusikan secara cukup
efektif dan agar tetap beroperasi.
5. Sistem kerja seniman yang efektif agar menghasilkan dan
mendistribusikan karyanya dan agar tetap beroperasi.
6. Seniman yang karyanya tidak dapat atau tidak menemukan cara
lain untuk menangani sistem pendistribusian distribusi dan
alternatifnya, pekerjaan mereka akan percuma karena tidak
terdistribusi.

Untuk saat ini, penting untuk dicatat bahwa perantara yang


menjalankan sistem distribusi 'ingin merasionalisasi produksi yang

195
relatif stabil dan yang tidak menentu atas pekerjaan kreatif karena
mereka berada dalam core bisnis' (93-94)92. Seperti dikatakan
sebelumnya, Becker sepenuhnya -dan benar -yakin akan, posisi pusat
sering bahkan adalah sistem yang mendominasi, sebab kerja seni dan
distribusinya memiliki tanda tentang sistem yang mendistribusikan
mereka' (94).
Tetapi kesempatan bagi seniman untuk melarikan diri dari
kekangan yang kuat dan kendala yang dihadapinya dari sistem
distribusi tampaknya ada. "Anda selalu dapat melakukan sesuatu yang
berbeda jika Anda siap untuk membayar harga dalam upaya
peningkatan atau penurunan sirkulasi pekerjaan Anda '(33). Salah satu
kemungkinan yang telah disebutkan sebelumnya: seniman terlempar
dari sistem yang ada atau dapat mencoba untuk mengembangkan sistem
yang baru, yang lebih memadai dari pekerjaan mereka. Jika pekerjaan
mereka sudah cukup kuat dan sudah menawarkan sistem distribusi yang
ada, kesempatan untuk membuat uang atau untuk memiliki harapan
untuk melakukannya pada waktu mendatang, mereka dapat melakukan
penyimpangan, bahkan dapat mencoba mengubah sistem distribusi
yang ada. 93
Menurut Maanen (2009) dua kemungkinan lain untuk menghindari
keterbatasan yang disebabkan oleh sistem distribusi, dibahas dalam
bab-bab buku Becker tentang distribusi. Namun, tidak banyak memiliki
hubungan dengan: dukungan-seniman sendiri dan patron (pola,
paradigma) yang dapat mengatur seniman bebas dari sistem distribusi
yang ada (dalam arti keuangan) atau tidak dari distribusi seperti itu,
setidaknya jika ia ingin menjadi seorang seniman. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, menurut Becker karya harus dialami
(dipahami) oleh orang lain agar terlihat seninya, dan karya seni itulah
yang menjadikannya seniman, (1) Jadi diri, (2) dukungan dan patron --
yang dapat dianggap sebagai sistem sumber daya dalam domain

92
Cf. Bourdieu berpendapat bahwa penerbit dan seni dealer memiliki posisi antara seni
dan ekonomi dan karenanya hal ini atau seniman dapat memiliki ideologi yang
ganda.
93
Ini adalah strategi Brecht dan Benjamin yang melihat tugas seniman sayap kiri:
untuk mengubah produksi (film) dan distribusi (teater) kepada sistem yang sesuai
dengan faham yang dapat mereka terima.
196 Nasbahry Couto & Indrayuda
produksi --yang dapat memutus rantai produksi-presentasi-jual-beli dan
bahan pembuatan untuk pekerjaan baru.
Dalam sistem patronase, kendala mungkin ada pada tingkat
produksi, serta pada tingkat distribusi --meskipun sama sekali berbeda
dibandingkan dengan sistem penjualan –publik sale (penjualan barang
kebutuhan sehari-hari), tidak begitu jauh. Dalam sistem yang mandiri -
seniman adalah mandiri secara finansial– berada dalam sistem distribusi
yang dipilihnya sendiri, sebagai 'pencetus' agar menjadi seorang
seniman, pasti tidak bisa dianggap sebagai bebas dari konvensi,
biasanya tidak ada peluang untuk menghindarinya. Cara yang paling
umum -meskipun tidak disebutkan oleh Becker --bagi seniman untuk
melarikan diri dari kebutuhan pasar untuk menghasilkan karya yang
melayani penonton dengan cara konvensional adalah untuk
mendapatkan subsidi negara, yang tidak sama dengan patron
pemerintah.
Dalam kasus terakhir, telah terjadi sesuatu situasi kerja, di mana
seniman memberikan jenis karya dan sekaligus meminta self-support,
dukungan negara agar seniman diberi kesempatan berkarya-jika
rencana mereka lulus dari sub lembaga yang mendanainya-dan untuk
membuat apa yang mereka inginkan, yang berarti lepas dari sistem
sebab dalam banyak kasus hal ini tidak akan mengubah atau
menghindari sistem distribusi konvensional. Karena itu, dalam
pertukaran untuk subsidi yang mereka dapatkan, mereka harus
membuat produksi mereka tersedia untuk umum (publik).
Untuk menantang sistem distribusi konvensional bukan tanpa
makna karena distribusi lembaga, seperti museum atau konser dan
ruang teater adalah penyelenggara pertemuan antara seni dan penonton.
Namun, cara konvensional mengiorganisasi pertemuan estetika, itu
akan selalu adalah jenis seni tertentu dan untuk masyarakat dengan latar
belakang seni tertentu. Usaha seniman, mahasiswa, amatir, selain
seniman ' umumnya selalu siap untuk bertarung dan akan
membiayainya agar "bisa menciptakan area kerja seni baru dan
pertemuannya dengan khalayak barunya, yang akan mendapatkan jenis
baru dari pengalaman estetik pula. Namun, selalu ada tantangan untuk
menerobos hal-hal yang sudah konvensional dalam hal pengalaman
seni--yang cirinya tidak hanya memusat --hal ini ada dalam sebagian
besar program kebijakan seni negara demokratis-- dan juga memiliki
197
tempat dalam diskusi Becker tentang hubungan antara produksi seni
dan penerimaan seni walaupun ambigu.
Berbicara tentang peran konvensi dalam pengalaman estetika,
Becker menyatakan bahwa 'setiap pekerjaan, dan kerja masing-masing
seniman akan mengundang kita ke dunia yang didefinisikannya,
sebagian oleh penggunaan bahan yang sampai sekarang tidak diduga,
dan karena itu pada awalnya sepenuhnya tidak akan dimengerti' (64),
dan: "Setiap pekerjaan itu sendiri, berdasarkan perbedaannya dari
semua karya lain, sehingga mengajarkan sesuatu yang baru buat
pemirsa, yaitu: simbol, bentuk baru, modus presentasi baru '(66), yang
aneh bukan apa yang kedengarannya sangat akrab dari sudut pandang
filsafat seni, oleh Becker disebut bahwa seniman yang mencoba untuk
bermain dengan konvensi. Namun, tidak akan dipublikasikan,
dipentaskan atau dipamerkan. Masalahnya, dalam kata-kata sendiri
Becker, adalah bahwa:
Melanggar konvensi dan manifestasi mereka yang ada akan
meningkatkan kesulitan seniman 'dan mengurangi sirkulasi
pekerjaan mereka, tetapi pada saat yang sama meningkatkan
kebebasan mereka untuk memilih alternatif konvensional dan untuk
berangkat dari praktik substansi adat. Jika itu benar, kita dapat
memahami pekerjaan sebagai produk pilihan antara kemudahan
konvensional dan keberhasilan dan masalah yang tidak
konvensional dan kurangnya pengakuan, (34)
Nampaknya, kedengarannya tidak masuk akal, bagaimanapun
bahwa ada seniman yang tidak memutuskan hubungan dengan konvensi
yang ada, dan agar dapat kemudahan dan kesuksesan, membuat sebuah
karya seni. Namun, pada saat yang sama mengundang penerima 'ke
dunia yang tidak dikenal dan 'mengajarkan mereka sesuatu yang baru.
Sebuah solusi Becker yang mungkin dan berarti bahwa setiap
sistem estetika didasarkan pada konvensi yang dikenali oleh para
peserta, termasuk kemungkinan pembaharuan konvensi ini dan bahwa
peserta yang tidak menggunakan kemungkinan ini tidak bisa disebut
seniman. Menurut Maanen, hal ini solusi yang menarik, berarti bahwa
pembuat film, musikal, lagu, lukisan atau bermain dan bekerja di dunia
seni sepenuhnya konvensional, mereka juga bukan seniman sejati,
meskipun karya mereka dapat mengajarkan audiens sesuatu yang baru.

198 Nasbahry Couto & Indrayuda


Kemungkinan yang disebut terakhir tergantung pada kesiapan
penonton untuk bekerja sama dengan seniman dalam menanggapi
karyanya dan dengan cara ini menyediakan sumber daya keuangan
untuk terus membuat karya seni (yang dimaksud mereka). Becker
mengkategorikan tiga kelompok public sebagai berikut.
1) Orang yang disosialisasikan secara baik, 'yang resmi kenal atau
tidak dengan dan atau pelatihan seni untuk berpartisipasi sebagai
anggota penonton' (46).
2) Penonton yang serius dan berpengalaman, yang tahu tentang
'karakteristik fitur gaya yang berbeda dan periode dalam sejarah
seni, pengembangan dan praktik seni' dan 'memiliki kemampuan
untuk merespon secara emosional dan kognitif terhadap manipulasi
elemen standar dalam kosakata media' seni (48).
3) Mantan mahasiswa seni, yang tahu 'masalah teknis kerajinan dan
kemampuan untuk memprovokasi respon emosional dan estetika
dari penonton' (54).

Kelompok pertama dapat dianggap sebagai tulang punggung dunia


seni dalam arti luas karena anggotanya memberi kehidupan/pendapatan
bagi 'bentuk-bentuk seni yang dirancang untuk mencapai jumlah
maksimum pemakainya/penonton dalam masyarakat' (46). Kelompok
kedua adalah kelompok yang memperhatikan harapan seniman, juga
yang akan mengerti sepenuhnya apa yang dimasukkan ke dalam
pekerjaan seni'(48) dan menyediakan basis pendapatan yang solid bagi
seniman. Sebuah elemen menarik dalam kerja sama dengan kelompok
ketiga adalah bahwa 'karena berada pada sisi lain dari garis itu, ' adalah
'pemahamannya sebagai penonton, dan kemampuan mereka untuk
beradaptasi dengan pekerjaan yang berisiko dalam seni dan bukan seni
yang dapat dicoba' (54). Konsekuensinya adalah dalam pandangan
Becker bahwa penonton ini membantu kedua kelompok lainnya untuk
menemukan bentuk-bentuk baru dari seni yang bisa menjadi bernilai
bagi mereka.
2. Masalah dan Manfaat Pendekatan Howard S.
Becker
Seperti telah disebutkan pada awal bab ini, Becker mencoba untuk
memposisikan dirinya dalam kaitannya dengan filsuf seperti Danto dan
199
Dickie, dan mengklaim untuk menghasilkan wawasan yang lebih dalam
dunia seni, dengan menawarkan analisis sosiologi seni bukan sebagai
teori estetika. Konsep filosofis dunia seni tidak memiliki daging di
tulangnya yang cukup, 'menurut Becker, terutama untuk dapat
memberikan pemahaman yang konkret tentang apa yang terjadi di
dunia itu. Salah satu aspek penting dari analisis sosiologis di dunia
sosial menurutnya adalah bagaimana pengamat menarik garis antara
apa yang khas bagi dunia itu dan apa yang tidak.
Dunia seni mencoba untuk mencari tahu 'apa yang seni dan apa
yang bukan seni, apa yang bisa dan tidak dari jenisnya, dan siapa yang
bisa dan tidak bisa disebut sebagai seorang seniman' (36). Sehubungan
dengan hal ini, Becker mengklaim bahwa 'dengan mengamati
bagaimana dunia seni membuat perbedaan itu, dan dapat mengerti lebih
banyak tentang apa yang terjadi di dalam dunia' (ibid). Ini jelas benar,
tetapi apakah itu bisa disebut analisis sosiologis dapat dipertanyakan.
Becker mengembangkan dua konsep, 'kegiatan koperasi' dan 'konvensi'
dan menggunakannya untuk menggambarkan 'apa yang terjadi' di dunia
seni. Ini memberikan banyak informasi, bahkan memang dapat
dipahami, tetapi untuk menyebutnya analisis dunia seni (world Arts),
terus terang menurut Maanen, terlalu membesar-besarkan.
Kesulitan yang bersifat teoretis menurut Maanen (2009) yang
pertama menyangkut hubungan antara karakter inti dari kegiatan
seniman dan konsep kooperatititas. Becker merasa dipaksa oleh
masyarakat (dan oleh perasaan bahwa seseorang berada di
kelompoknya dapat melakukan sesuatu yang istimewa) untuk
memberikan 'seniman' posisi khusus dan berbicara tentang 'dukungan
pribadi'. Sebaliknya, hal ini bertentangan dengan keinginan untuk
menyamakan status semua anggota kelompok. Masalah ini tidak dapat
diselesaikan tanpa menggunakan konsep teoretis dari 'tindakan artistik'
dengan kata lain, tanpa berkonsultasi dengan filsafat seni.
Hal yang sama berlaku untuk kesulitan kedua yang menyangkut
pandangan Becker bahwa konvensi bersama oleh seniman, distributor,
dan penonton memberikan sistem tertutup lebih atau kurang kehidupan
estetik dalam suatu masyarakat. Seperti telah menjadi jelas, Becker
tidak bisa dan tidak akan mempertahankan pandangan ini terhadap
pendapatnya sendiri bahwa seni menjadi seni hanya dengan tantangan
konvensi, tetapi ini harus mengarah pada gagasan bahwa apa yang
200 Nasbahry Couto & Indrayuda
disebut seniman yang tidak lagi berinovasi (persepsi estetika
konvensional) yang seyogyanya tidak dapat disebut seniman lagi,
setidaknya tidak dalam studi sosiologi seni. Menurut Maanen (2009)
dari titik-titik kritik ini, tidak berarti bahwa buku Becker tidak
membantu kita dalam usaha memahami bagaimana organisasi dunia
seni berkontribusi terhadap fungsi seni dalam masyarakat.
Di tempat pertama, Becker adalah benar ketika ia menyatakan
bahwa tidak ada studi lain telah membuka begitu banyak dilihat pada
begitu banyak kegiatan dan hubungan antara mereka dalam dunia seni.
Ini jelas memberikan gambaran yang sangat konkret tentang apa yang
terjadi di dunia itu, banyak material dan pemahaman baru dari apa yang
layak untuk dipelajari lebih lanjut. Di tempat kedua, perjuangan Becker
dengan peran konvensi dalam produksi seni dan penerimaan di jantung
pembahasan tentang fungsi seni dalam masyarakat karena
menghubungkan aspek organisasi dunia seni dengan pertanyaan
substantif nilai resepsi (penerimaan) seni untuk masuk ke penonton dan
budaya mereka.
Kontribusi yang paling penting adalah untuk memahami dunia seni
dan fungsinya. Namun perhatian Becker dicurahkan pada sistem
distribusi. Meskipun tidak mendefinisikan, mengkategorikan,
mensitemikasikannya, dia sepakat hal itu sebagai domain utama dalam
dunia seni, di mana produksi dan penerimaan itu harus bersamaan dan
di mana fungsi seni dalam masyarakat ini diselenggarakan untuk
sebagian besar. Ini adalah langkah maju yang besar dalam arah
penelitian ini harus berangkat.
3. Sosiologi Seni dan Institusionalis Baru
Institusionalisme adalah bidang yang berkembang kuat dalam
sosiologi yang dapat ditelusuri kembali konsep Emile Durkheim94,
94
David Émile Durkheim (lahir 15 April 1858 – meninggal 15 November 1917 pada
umur 59 tahun) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan
fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan menerbitkan
salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L'Année Sociologique
pada 1896. mile Durkheim adalah tokoh yang sering disebut sebagai eksemplar dari
lahirnya teori fungsionalisme. Ia anak seorang rabi Yahudi yang lahir di Epinal,
Perancis timur, tahun 1858. Namun Durkheim tidak mengikuti tradisi orang tuanya
untuk menjadi rabi. Ia memilih menjadi Katholik, namun kemudian memilih untuk
tidak tahu menahu (agnostic) tentang Katholikisme. Ia lebih menaruh perhatian pada
201
sebagai pencetus sosiologi modern yang mendefinisikan disiplin baru -
godfather lain dari sosiologi adalah, Max Weber95, mencatat -sebagai
'ilmu lembaga, dari mereka genesis dan fungsi mereka '11. Dalam arti,
sosiologi tanpa berpikir institusional tidak benar-benar dibayangkan,
tetapi masalah utama di balik banyak konflik antara sekolah sosiologis
menyangkut hanya ini: sejauh mana lembaga mendominasi perilaku
peserta atau sebaliknya. Becker, seperti yang kita lihat, nyaris tidak
membahas konsep lembaga dan lebih memilih untuk berpikir sepanjang
garis konvensi karena mereka meninggalkan lebih banyak ruang
terbuka untuk mempertimbangkan peserta sendiri sebagai bertanggung
jawab atas jenis mereka interaktivitas. Paul DiMaggio96 dan Walter

masalah moralitas, terutama moralitas kolektif. Durkheim terkenal sebagai sosiolog


yang brilian dan memiliki latar belakang akademis dalam ilmu sosiologis. Dalam
usia 21 tahun ia masuk pendidikan di Ecole Normale Superiure. Dalam waktu
singkat ia membaca Renouvier, Neo Kantian yang sangat dipengaruhi pemikiran
Saint Simon dan August Comte, dan bahkan melahap karya-karya Comte sendiri.
Disertasinya The Divisionof Labor in Society yang diterbitkan tahun 1893
memaparkan konsep-konsep evolusi sejarah moral atau norma-norma tertib social,
serta menempatkan krisis moral yang hebat dalam masyarakat modern. Itu sebabnya,
disertasi itu menjadi karya klasik dalam tradisi sosiologi.
95
Max Weber seorang sosiolog berkebangsaan Jerman yang lahir di kota Erfurt pada
21 April 1864 sebagai anak tertua dari tujuh bersaudara. Selain sosiolog beliau juga
seorang ahli budaya, ahli politik, ahli hokum, bahkan ahli ekonomi. Max Weber
berasal dari keluarga yang terbiasa dengan kebudayaan borjuis dan juga termasuk
orang protestan kelas menengah atas. Ayah beliau adalah seorang politisi Jerman
dan ibunya adalah seorang penganut agamanya yang saleh, kedua watak yang
berbeda dari ayah dan ibunya ini yang membuat Max Weber merasakan konflik
batin selama hampir seluruh kehidupan dewasanya. Ketika masih kecil Weber
adalah seorang yang pemalu dan sering sakit-sakitan, namun dia sangat jenius
pemikirannya berbeda dengan anak seusianya, dia senang membaca dan menulis
sesuatu secara ilmiah ketika dia remaja. Pada usia 18 tahun Weber mulai
mempelajari hokum di Universitas Heidelberg, namun studinya terganggu karena
tugas militer di Strasbourg selama satu tahun, kemudian akhirya dia meneruskan
studinya di Berlin dan pada tahun 1899 dia menyelesaikan tesis doktoralnya, pada
tahun 1893 dia menikah dengan seorang wanita bernama Marianne Schnitzer, dan
pada tahun 1894 dia mendapat kedudukan sebagai professor di Universitas Freiburg
2 tahun kemudian dia kembali ke Universitas Heidelberg sebagai professor
ekonomi.
96
The New Institutionalism in Organizational Analysis, yang dieditori oleh Powell and
Di Maggio (1991) Chicago: University of Chicago Press. Mereka memperkenalkan
neoinstitutional theory yang dipengaruhi pemikiran Max Weber dan Herbert Simon
= bagaimana munculnya lapangan organisasi yang lalu membatasi perilaku aktor.
202 Nasbahry Couto & Indrayuda
menyatakan Powell bahwa' lembaga mulai sebagai konvensi, yang
karena mereka didasarkan pada kebetulan yang menarik, rentan
terhadap naik pembelotan, renegosiasi, dan bebas '(DiMaggio dan
Powell 199: 24). Lembaga, pada sisi lain, dapat dilihat sebagai 'aturan
saling terkait dan norma yang mengatur hubungan sosial,' (Victor Nee,
1998: 80). Bagaimana compellingly mereka mengatur hubungan sosial
dan berapa banyak ruang untuk perubahan atau penyimpangan mereka
pergi, poin diskusi di kalangan institusionalis.
Mengapa institusionalis baru yang aktif dalam studi sosiologi
organisasi, dibahas di sini? Menurut Maanen (2009) karena beberapa
dari mereka, terutama DiMaggio97, telah menerapkan pandangan
mereka ke bagian dari dunia seni. Selain kritik implisit dari
institusionalis interaksionisme simbolis, mereka melembagakan cara
penelitian empiris, proses lembaga dalam dunia seni dan melegitimasi
pengenalan institusionalis baru khususkan untuk Howard Becker.
Selain itu, seperti yang menjadi jelas, mereka menawarkan jembatan
bagus untuk teori Bourdieu.

97
Paul Joseph Di Maggio lahir 10 Januari 1951 di Philadelphia, Pennsylvania, dia
adalah seorang pendidik Amerika, dan profesor sosiologi di Universitas Princeton
sejak tahun 1992.
203
Gambar 29. Max Weber seorang
Gambar 28. David Émile Durkheim sosiolog berkebangsaan Jerman yang
(lahir 15 April 1858 – meninggal 15 lahir di kota Erfurt pada 21 April 1864
November 1917 pada umur 59 tahun) sebagai anak tertua dari tujuh
dikenal sebagai salah satu pencetus bersaudara. Selain sosiolog beliau juga
sosiologi modern seorang ahli budaya, ahli politik, ahli
hukum, bahkan ahli ekonomi.

4. Tema Utama Kelembagaan yang Baru


Mengandaikan institusionalisme baru hubungan dengan institusi-
onalisme lama, DiMaggio dan Powell mencoba untuk menelusuri
hubungan ini dalam bab pendahuluan mereka di The New
Institutionalism dalam Organizational Analysis (1991), menyoroti
karya Philip Selznick (1949, 1957)98 dan Talcott Parsons (1951)99.
Kedua institutionalisms berbagi skep-tisisme terhadap model organisasi
rasional-aktor dan setiap pelembagaan dilihat sebagai tergantung proses
negara. Keduanya menekankan hubungan antara organisasi dan
lingkungan mereka. Setiap pendekatan menekankan peran kebudayaan
dalam membentuk realitas organisasi, (1991: 12)

98
Philip Selznick = analisis institusi pada organisasi melalui proses pelembagaan
dengan membedakan organisasi sebagai: the structural expression of rational action,
sebagai a mechanistic instrument designed to achieve specified goals, dan sebagai
an adaptive organic system terhadap pengaruh lingkungan
99
Talcott Parsons = mensintesa institutionalist ideas yang menyatukan pemikiran
Durkheim, Weber, Pareto, and Tonnies ke dalam structural-functionalist framework
untuk sosiologi modern. Institutions = as organized systems of cultural beliefs,
norms and values common to most individuals in a society, systems giving rise to
socially structured interests which organize incentives for individuals.
204 Nasbahry Couto & Indrayuda
Perbedaan yang signifikan antara institusionalisme lama dan baru,
menurut DiMaggio dan Powell, kepentingan yang lebih besar dari yang
pertama di latar belakang politik perilaku dalam organisasi, lokasi
irasionalitas organisasi dalam struktur formal itu sendiri, seperti yang
disorot oleh institusionalisme baru, bukan menjelaskan irasionalitas ini
oleh adanya pengaruh eksternal, dan skala di mana lingkungan yang
dipelajari: institusi-onalisme lama menganalisis organisasi sebagai
tertanam dalam masyarakat lokal, sedangkan institusionalisme baru
berfokus pada bidang organisasi, sering pada tingkat internasional,
lingkungan yang 'bukannya terkooptasi oleh organisasi menembus
organisasi, menciptakan lensa melalui aktor melihat dunia' (1991: 13).
DiMaggio dan Powell menjelaskan bentuk-bentuk baru dari
institusionalisme dalam sosiologi organisasi sebagai 'bukan hanya
kembali ke akar ilmiah, tetapi upaya untuk memberikan jawaban segar
untuk pertanyaan lama tentang bagaimana pilihan sosial berbentuk,
dimediasi, dan disalurkan oleh pengaturan kelembagaan' (DiMaggio
dan Powell 1991: 2). Juga, berhipotesis bahwa paradigma institusionalis
baru terletak pada tradisi pilihan-teori '(1998: 10), tetapi menambahkan
bahwa asumsi dasar dari teori pilihan rasional yang diperdebatkan oleh
para institusionalis baru, mendu-kung konsep' konteks-lingkup rasional
(favoring a concept of „context-bound rationality‟) '(ibid).
Nee dan Brinton100 memperkenalkan bagian I dari The New
Institutionalism dalam sosiologi, dengan mengatakan bahwa penulis
'mengeksplorasi cara-cara di mana lembaga-lembaga sebagai sistem
aturan yang membatasi atau mendorong aksi individu agar inovatif'
(1998: XVI). Mereka tidak hanya mengacu pada hubungan antara
pengaruh individu dan institusi pada proses sosial, tetapi untuk
pertanyaan tentang bagaimana lembaga memungkinkan perubahan
terjadi. Biasanya lembaga yang dianggap sebagai menghambat
perubahan dan tindakan yang inovatif dalam organisasi, terutama
karena mereka mengurangi ketidakpastian. Nee101 dan Ingram102

100
Brinton, Mary C, dan Victor Nee. The New Institutionalism in Sociology. Russel
Sage Foundation, NewYork.
101
Victor Nee = bagaimana institutions berinteraksi dengan social networks dan norma
untuk membentuk economic action.
102
Nee, Victor dan Paul Ingram. 1998. Embeddednes and Beyond: Institutions,
Exchange, and Social Structure.
205
menunjukkan bagaimana perubahan paradigma dalam lingkungan
kelembagaan (sering diluncurkan pada tingkat pemerintah) membuat
bentuk-bentuk organisasi baru yang mungkin, dan sebaliknya,
bagaimana perubahan norma formal di organisasi yang berasal dari
pelaku organisasi (1998: 32). DiMaggio dan Powell mendekati Nee dan
Ingram, mencatat bahwa lembaga-lembaga yang berbeda dapat
bertentangan satu sama lain pada tingkat organisasi dan pada saat yang
sama, terutama dalam organisasi yang bergantung pada profesionalisme
yang tinggi, "klaim bersaing secara profesional menciptakan konflik
dan meningkatkan ambiguitas '( ibid).
Akhirnya, institusionalisme baru sebagai pendekatan teoretis
sosiologi seni harus bersaing dengan teori jaringan. Nee dan Ingram
menggambarkan jaringan hubungan sosial sebagai 'selalu di fluks
(mengalir) sejauh individu menanggapi persepsi biaya dan manfaat
dalam pertukaran dan berinvestasi atau memisahkan diri mereka dari
ikatan sosial tertentu' (1998: 19)103. Kemudian Nee menyatakan bahwa
'penekanan pada norma-norma budaya sebagai keyakinan yang
membatasi oportunisme membedakan pendekatan institusionalis baru
dari pandangan instrumental hubungan jaringan '(1998: 8-9). Jadi,
jaringan dipandang sebagai set hubungan langsung terhubung dengan
kegiatan pertukaran atau transaksional, sedangkan lembaga fungsinya
terkait dengan jaringan ini sebagai set membimbing dan mengen-
dalikan prinsip, norma, dan pola bertindak, beroperasi di seluruh
jaringan, serta di dalamnya dan diinternalisasi oleh para pelaku dalam
jaringan. DiMaggio dan Powell menunjukkan bahwa aspek thelast telah
dikembang-kan lebih lanjut dalam konsep habitus Bourdieu, yang
dibahas kemudian.
5. Riset Di Maggio dalam Bidang Organisasi (di
Dunia Seni)
Pada tahun 1985, Di Maggio dan Stenberg menerbitkan hasil
'analisis empiris' mereka dari berlatar belakang untuk inovasi di bioskop
pemukiman di Amerika Serikat (Poetics 14). Mereka meneliti pengaruh
faktor lingkungan dan organisasi pada inovasi artistik. Hasil utama

103
Ide ini membawa mereka dekat dengan apa yang dikenal sebagai 'Teori Jaringan
Aktor' (‗Actor Network Theory) (ANT)
206 Nasbahry Couto & Indrayuda
tampaknya bahwa program teater yang dapat didasarkan pada kehadiran
sejumlah besar modal kultural -baik itu dalam bentuk tenaga artistik
sangat terlatih maupun dalam bentuk pelanggan berpendidikan tinggi
dan penonton -lebih inovatif daripada program teater yang sangat
tergantung pada 'pilihan pasar umum'.
Para penulis menyimpulkan bahwa 'inovasi artistik tergantung
pada perilaku organisasi formal' dan bahwa 'jika kita memahami seni,
kita harus memahami dinamika organisasi dan prinsip-prinsip yang
mengatur hubungan mereka dengan lingkungan ekonomi dan sosial'
(1985: 121). Beberapa aspek metodologis dari penelitian ini adalah
pasti lebih layak disebut daripada hasilnya adalah penelitian Di Maggio
dan Stenberg yang menekankan bahwa perhatian --biasanya terlalu
banyak ditujukan --pada seniman individu dalam hal inovasi karena
karya seni dibutuhkan sosial dan dikendalikan sampai batas tertentu,
dan organisasi formal 'telah [semakin] menjadi kunci "gatekeeper",
menentukan struktur peluang artistik, dan mengatur aliran kerja baru
untuk masyarakat '(1985: 108). Sebagai dasar mereka berpegang
kepada Becker (1982) dan Bourdieu untuk memahami teater daripada
seniman kreatif sebagai unit analisis mereka104

Pierre Bourdieu adalah


seorang pemikir Perancis yang
hendak mema-hami struktur
sosial masyarakat, sekali-gus
perubahan dan perkembangan
yang terjadi di dalamnya.
Baginya, analisis sosial selalu
bertujuan untuk mem-bongkar
struktur-struktur dominasi
ekonomi maupun dominasi simbolik dari masyarakat, yang selalu
menutupi ketidakadilan di dalamnya. Untuk itu, ia mengembangkan
beberapa konsep yang diperolehnya dari analisis data sosiologis,

104
Tentang riset ini lihat di: http://www. anpad. org. br/periodicos/arq_pdf/a_596. pdf
207
sekaligus pemikiran-pemikiran filsafat yang ia pelajari. Pierre Bourdieu
lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Perancis. Ia meninggal pada 23
Januari 2002 di Paris, Perancis . 105 Ia dikenal sebagai seorang
intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan
Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang ia kembangkan sangat
berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial dan filsafat pada abad 21.
Sebelum meninggal, ia mengajar di lycée di Moulins (1955–1958),
University of Algiers (1958–1960), University of Paris (1960–1964),
École des Hautes Études en Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège
de France (1982).
Di Perancis, ia mendirikan Centre for the Sociology of Education
and Culture. Dia sudah menulis beberapa buku, antara lain Sociologie
de l‟Algérie (1958; The Algerians, 1962), La Distinction (1979;
Distinction, 1984), Le Sens pratique (1980; The Logic of Practice,
1990), La Noblesse d‟état (1989; The State Nobility, 1996), dan Sur la
télévision (1996; On Television, 1998). Tema-tema bukunya berkisar
kritik terhadap konsep sekaligus praktik ekonomi neoliberal,
globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi.
Bourdieu juga menjadi editor untuk jurnal ―Actes de la Recherche
en Sciences Sociales. ‖ Pada 1989, ia mendirikan Liber, sebuah review
atas karya-karya ilmiah di Eropa. Pada 2001 lalu, untuk menghormati
karya-karyanya, dipublikasikan sebuah film dokumenter tentangnya.
Judul film itu adalah ―Sociology is a Combat Sport”. Film tersebut
disambut dengan baik di Perancis. Beberapa konsepnya adalah berikut
ini
1. Habitus
Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis
dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-
nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses
sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap
menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri
manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi

105
Untuk memperkenalkan Bourdieu, para penulis buku ini mempedomani uraian dari
http://www. britannica. com/EBchecked/topic/860434/Pierre-Bourdieu 10 maret
2012
208 Nasbahry Couto & Indrayuda
tubuh fisiknya. Habitus begitu kuat tertanam dan mengendap menjadi
perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis.
2. Kapital
Kapital adalah modal yang memungkinkan manusia untuk
mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak
jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi
(uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital bisa
diperoleh jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya.
Habitus membaca, menulis, dan berdiskusi akan menghasilkan kapital
intelektual dan kapital budaya. Sementara, sikap rajin bekerja dan
banyak jaringan bisnis akan menghasilkan kapital ekonomi. Kapital
bukanlah sesuatu yang mati, melainkan hidup dan bisa diubah. Karena
memiliki kapital intelektual (pendidikan), orang bisa bekerja sebagai
pendidik dan memiliki uang (kapital ekonomi) untuk hidup. Kapital
intelektual juga bisa diubah menjadi kapital budaya (jaringan yang
banyak), sehingga bisa memperkaya kapital intelektual itu sendiri.
Kapital ekonomi juga bisa diubah, misalnya dengan investasi, sehingga
menghasilkan kapital ekonomi dan kapital budaya yang lebih besar.
3. Arena
Arena adalah ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Ada
beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman,
dan arena politik. Jika orang ingin berhasil pada suatu arena, ia perlu
untuk mempunyai habitus dan kapital yang tepat. Misalnya di dalam
arena pendidikan, jika ingin berhasil, orang perlu memiliki habitus
pendidikan (belajar, menulis, berdiskusi, membaca) dan kapital
intelektual (pendidikan dan penelitian) yang tepat. Jika tidak memiliki
habitus dan kapital yang tepat untuk dunia pendidikan, ia tidak akan
berhasil di dalam arena pendidikan. Hal yang sama berlaku di dalam
arena bisnis. Jika ingin berhasil dalam bisnis, ia harus memiliki habitus
yang tepat (ulet bekerja dan hemat) dan kapital bisnis (uang sebagai
modal usaha) atau kapital budaya (jaringan kenalan yang luas) yang
tepat. Jika orang memiliki habitus dan kapital seorang pendidik dan ia
terjun ke dalam dunia bisnis, kemungkinan besar, ia tidak akan berhasil.
Dengan demikian, konsep habitus, kapital, dan arena terkait erat.
Untuk bisa berhasil dalam salah satu arena dalam hidup, orang perlu
209
mempunyai habitus dan kapital yang tepat untuk arena itu. Jika ia tidak
memiliki habitus dan kapital yang tepat untuk satu arena, ia,
kemungkinan besar akan gagal dalam arena yang telah ia pilih tersebut.
4. Pendidikan
Bourdieu juga banyak berbicara tentang pendidikan. Baginya,
pendidikan adalah suatu proses penciptaan ulang dominasi sosial yang
telah ada sebelumnya. Pendidikan menutup pintu bagi orang-orang
yang tidak memiliki habitus dan kapital sebagai seorang pembelajar.
Orang-orang yang ditolak ini adalah umumnya kelas ekonomi bawah
yang memang tidak memiliki habitus dan kapital untuk belajar secara
akademik. Dengan demikian, pendidikan, pada hakikatnya, bersifat
diskriminatif. Secara tidak langsung, pendidikan menindas orang-orang
yang memang sejak awal sudah ―kalah‖, baik secara ekonomi atau
secara habitus belajar. Secara mekanis, nyaris otomatis, pendidikan
melestarikan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, antara si
―pintar‖ (memiliki habitus dan kapital intelektual), dan si ―bodoh‖
(tidak memiliki habitus dan kapital intelektual). Pendidikan, dengan
demikian, menutupi sekaligus melestarikan ketidakadilan serta
kesenjangan sosial yang telah berlangsung lama di dalam masyarakat.
Argumen ini diperoleh Bourdieu dari analisis terhadap data-data
mahasiswa yang memasuki fakultas-fakultas tenar di Perancis. Jika
Anda berasal dari keluarga yang cukup kaya dan memiliki habitus
membaca, menulis, dan berdiskusi sejak kecil, kemungkinan besar
(tidak mutlak), Anda akan belajar di fakultas-fakultas tenar di
perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama di negara Anda. Tentang
pendidikan moral, Bourdieu berpendapat bahwa yang terpenting
bukanlah apa yang ternyatakan (eksplisit) dalam ajaran dan aturan
moral, melainkan apa yang tidak ternyatakan (implistit), yang hanya
dapat dilihat dalam perilaku sehari-hari. Secara sederhana, baginya,
dalam konteks pendidikan moral, yang terpenting adalah teladan, dan
bukan perintah moral yang keluar dari mulut. Oleh karena itu, sarana
pengajaran moral yang paling baik bukanlah ajaran moralitas agama
yang penuh dengan pengharusan dan larangan, melainkan melalui
sastra. Di dalam karya sastra, orang secara bebas memilih, tokoh apa
yang menjadi favoritnya. Tokoh tersebut pasti memiliki kualitas
kepribadian yang khas, sehingga orang menyukainya. Ada kebebasan di
210 Nasbahry Couto & Indrayuda
dalam memilih teladan. Sementara, dalam ajaran-ajaran agama, yang
banyak terdengar adalah keharusan dan larangan. Di dalam pola
semacam itu, tidak ada kebebasan, yang ada adalah paksaan atau
dominasi dan terdapat dominasi, selalu ada perlawanan. Itulah
sebabnya, mengapa ajaran agama tidak bisa menjadi alat yang efektif
untuk melakukan pendidikan moral.
5. Pembedaan
Bourdieu juga merumuskan konsep pembedaan (distinction).
Secara singkat, pembedaan berarti tindakan membedakan diri yang
dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan kelasnya dalam
masyarakat. Biasanya, pembedaan dilakukan oleh kelas menengah
ekonomi ke atas untuk menunjukkan statusnya yang khas dibandingkan
dengan kelas ekonomi yang lebih rendah. Misalnya, orang yang berasal
dari kelas ekonomi menengah ke atas akan menggunakan pakaian
ataupun mobil dengan merk yang khusus, yang harganya jauh lebih
tinggi dari apa yang bisa dicapai oleh kelas ekonomi yang lebih rendah.
Proses penempatan diri ini adalah ciri khas kelas ekonomi menengah ke
atas yang ingin mendapatkan pengakuan dari kelas ekonomi yang lebih
rendah. Dalam konteks pendidikan, lulusan perguruan tinggi luar negeri
biasanya melakukan pembedaan terhadap lulusan perguruan tinggi
dalam negeri. Mereka merasa ―berbeda‖, jika mampu membaca,
menulis, ataupun berbicara dalam bahasa asing, sesuatu yang tidak
dimiliki oleh mereka yang lulus dari perguruan tinggi dalam negerti.
Inilah permainan distinction dalam konteks pendidikan.
Kelas ekonomi menengah ke bawah juga melakukan hal yang
sama. Bagi Bourdieu, tindakan tersebut bukanlah pembedaan,
melainkan suatu bentuk perlawanan. Jadi, jika datang dari atas,
pengambilan posisi untuk mendapatkan pengakuan disebut sebagai
distinction. Jika datang dari kelas ekonomi menengah ke bawah,
misalnya dengan menggunakan pakaian-pakaian antikemapanan atau
justru tertarik membaca buku dalam bahasa-bahasa Sanksekerta kuno,
disebut sebagai perlawanan (resistance).
6. Status Bahasa
Bourdieu juga banyak menulis soal bahasa. Baginya, bahasa
bukanlah alat komunikasi yang bersifat netral, tanpa kepentingan.
211
Pandangan semacam itu sangat naif. Jika tidak mau dikatakan sebagai
picik. Sebalik-nya, bagi Bourdieu, bahasa adalah alat simbol kekuasaan.
Di dalam bahasa tersembunyi dominasi simbolik serta struktur
kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. Tata bahasa yang digunakan
oleh seseorang mencerminkan kelas sosial ekonominya dalam
masyarakat. Dalam arti ini, sebagai sebuah simbol, bahasa adalah suatu
―teks‖ yang perlu untuk terus dipahami secara kritis. Ilmu pengetahuan
modern memiliki cita-cita untuk menjadi jalan utama manusia sampai
pada kebenaran. Para ilmuwan modern yakin bahwa bahasa ilmu
pengetahuan adalah bahasa objektif yang terbebaskan baik dari
prasangka maupun kekuasaan itu sendiri. Ilmu pengetahuan adalah
jalan netral dan bebas hambatan untuk sampai pada kebenaran. Bagi
Bourdieu, pandangan semacam ini amatlah picik. Dengan mengira
bahwa bahasa yang ia gunakan adalah netral, para ilmuwan secara sadar
menyembunyikan kepentingan-kepentingan dan pengaruh kekuasaan
yang terkandung dalam bahasa itu. Ini berarti mereka melakukan
penipuan pada masyarakat. Jika tidak sadar akan hal ini, mereka
menjadi boneka dari ―kekuasaan simbolik‖ yang tengah berlangsung
dalam masyarakat. Orang yang berasal dari tingkat pendidikan tertentu
memilih menggunakan bahasa yang lebih formal daripada mereka yang
lebih rendah tingkat pendidikannya. Di masyarakat-masyarakat tertentu,
orang yang berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi menggunakan
bahasa yang berbeda dengan orang lainnya yang berasal dari kelas
sosial yang lebih rendah.
7. Dominasi Simbolik dan Doxa
Dominasi simbolik adalah penindasan dengan menggunakan
simbol-simbol. Penindasan ini tidak dirasakan sebagai penindasan,
tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya,
penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang
ditindas itu sendiri. Misalnya, guru yang otoriter di kelas, tetapi tidak
mendapatkan perlawanan apa pun dari muridnya karena muridnya
telah menyetujui ―penindasan‖ yang dilakukan oleh gurunya. Contoh
lain, seorang istri yang tidak dapat membela diri, walaupun telah
dirugikan oleh suaminya karena ia secara tidak sadar, telah menerima
statusnya sebagai yang tertindas oleh suaminya. Konsep dominasi
simbolik (penindasan simbolik) juga dapat dengan mudah dilihat dalam
212 Nasbahry Couto & Indrayuda
konsep sensor panopticon (penjara yang bentuknya bundar). Sensor
panopticon adalah konsep yang menjelaskan mekanisme kekuasaan
yang tetap dirasakan oleh orang-orang yang dikuasai, walaupun sang
penguasa tidak lagi mencurahkan perhatiannya untuk melakukan
kontrol kekuasaan secara nyata. Misalnya, di dalam penjara, ada
menara penjaga yang berdiri di tengah berbagai unit-unit tempat tinggal
narapidana. Menara penjaga itu menjadi simbol kontrol yang bersifat
permanen terhadap narapidana, walaupun tidak ada penjaga yang
sungguh menjaga di dalam menara tersebut. Sensor dan kontrol tetap
terasa, walaupun sang penjaga dan penguasa tidak lagi secara nyata
melakukan sensor dan kontrol. 106
Mekanisme dominasi simbolik nantinya memuncak pada
pemikiran Bourdieu tentang doxa. Secara singkat, doxa adalah
pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan masyarakat.
Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa.
Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana,
populer, dan sangat mudah dicerna oleh rakyat banyak. Walaupun
secara konseptual pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan.
107

Doxa menunjukkan bagaimana penguasa bisa meraih, memper-


tahankan, dan mengembangkan kekuasaannya dengan mempermainkan
simbol yang berhasil memasuki pikiran yang dikuasai, sehingga mereka
kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Pihak yang dikuasai melihat
dirinya sama dengan penguasa. Mereka ditindas, tetapi tidak pernah
merasa sungguh ditindas karena mereka hidup dalam doxa.
Doxa juga berlaku di dalam ranah ilmu pengetahuan. Paradigma
positivisme kontemporer (realitas dilihat sebagai sesuatu yang bisa

106
Dalam konteks Indonesia, mekanisme kekuasaan Orde Baru adalah contoh yang
paling jelas. Kekuasaan Suharto pada masa itu (Orde Baru: 1966-1998) terasa
sampai ke berbagai pelosok Indonesia, walaupun ia tidak secara fisik hadir untuk
memastikan kekuasaannya. Bahkan sampai sekarang, ada beberapa kelompok
masyarakat yang mengakui legitimasi kekuasaan Orde Baru, walaupun eranya telah
lama berlalu.
107
Misalnya, banyak penguasa otoriter di dunia ini beranggapan bahwa pandangan
mereka mewakili pandangan rakyat, maka mereka harus dipatuhi. Biasanya, mereka
menggunakan slogan-slogan populis semacam ini, ―Musuh Pemerintah=Musuk
Rakyat!‖, ―Pemerintah hadir untuk membawa kemakmuran untuk Rakyat!‖, dan
beragam slogan-slogan lainnya
213
diukur dan dihitung, seperti menghitung ―uang belanjaan‖) dan
empirisme dogmatis (terjebak hanya pada apa yang dapat dilihat oleh
panca indera) menjadi pandangan penguasa (komunitas ilmiah) yang
dianggap sebagai pandangan seluruh ilmuwan (yang dikuasai). Banyak
ilmuwan modern terjebak pada doxa penguasa di bidang penelitiannya.
Mereka menerima begitu saja pandangan penguasa sebagai
pandangannya. Mereka kehilangan sikap kritis. Pada akhirnya, mereka
hanya mengabdi pada kepentingan penguasa dan kehilangan sentuhan
dengan kebutuhan manusia yang nyata di dunia.
8. Perubahan Sosial dan Kebebasan
Bourdieu juga berbicara soal perubahan sosial. Menurutnya,
perubahan sosial bisa dilakukan jika orang memiliki habitus, kapital,
dan mampu menempatkan keduanya dalam konteks yang tepat pada
suatu arena. Prinsip ini berlaku untuk semua arena, mulai dari arena
pendidikan, arena budaya, dan sebagainya. Misalnya, Anda ingin
membuat perubahan sosial di dalam arena politik. Hal pertama yang
Anda lakukan adalah mendapatkan habitus yang tepat sebagai seorang
politikus (mampu mendapatkan dukungan, mampu memperluas, dan
mempertahankan jaringan, mampu bernegosiasi, tingkat pendidikan
yang sesuai). Habitus tersebut akan menghasilkan kapital yang tepat
(kapital budaya, kapital intelektual, kapital ekonomi) yang akan
membuat Anda memiliki posisi yang bagus untuk membuat perubahan
sosial di arena politik. Namun, itu semua belum cukup. Anda harus bisa
menempatkan dalam diri Anda (positioning) dalam arena politik yang
terkait. Jaringan luas dan kepintaran akademik bisa menjadi bumerang
yang menghancurkan karier politik Anda jika Anda tidak bisa
menempatkan diri secara tepat pada arena politik yang ada.
Kemampuan menempatkan diri ini misalnya mampu berbicara dengan
tema yang tepat, nada yang tepat, pada orang yang tepat, dan pada
waktu yang tepat. Pada hemat saya, ini adalah bagian dari kapital
intelektual yang sangat diperlukan untuk berhasil membuat perubahan
sosial dalam satu arena tertentu. Perubahan sosial hanya mungkin jika
manusia bukan ―budak‖ dari sistem sosial yang mengitarinya. Dengan
kata lain, perubahan sosial hanya mungkin jika ada kebebasan. Sejauh
penulis pahami, Bourdieu tidak berbicara spesifik tentang kebebasan.
Namun, pembaca bisa menafsirkan arti kebebasan yang tersembunyi di
214 Nasbahry Couto & Indrayuda
balik tulisan-tulisannya. Bagi Bourdieu, kebebasan adalah suatu bentuk
improvisasi yang menghasilkan variasi. Artinya, kebebasan adalah
perubahan atau faktor X, yang membuat seluruh konsep habitus,
kapital, arena, dan doxa menjadi relatif, tidak mutlak. Dalam arti ini,
manusia bukan hanya produk dari sistem-sistem yang mengitarinya,
melainkan makhluk yang mampu membuat improvisasi, dan membuat
perubahan sosial. Pada hemat saya, ketika mencoba memahami
pemikiran Bourdieu, ada satu poin penting untuk pembaca renungkan
bersama bahwa ilmu pengetahuan sosial dan filsafat harus mampu
mengangkat dan menganalisis berbagai situasi di dalam masyarakat
yang menciptakan ketidakadilan dan penindasan sosial. Ia menyebutnya
sebagai sosiologi reflektif dan sosiologi kritis. Untuk memahami teks
dan konteks produksi (maupun konsumsi) seni diperlukan suatu
pemahaman terhadap dua hal, yakni semesta si pencipta dan semesta
ciptaannya. Tulisan mengacunya pada konsep arena produksi kultural
Pierre Bourdieu. Bourdieu (2010: 211) menyatakan secara tepat kondisi
yang dimaksud ini dengan analisisnya terhadap Gustave Flaubert, ―pada
satu sisi ada sosiologi Flaubert, yaitu sosiologi yang diproduksi oleh
Flaubert, sedangkan pada sisi lain sosiologi tentang Flaubert sendiri,
yaitu sosiologi yang menjadikan Flaubert sebagai objek kajian. ‖
Pendeknya, setiap kita memiliki sebuah sosiologi makro, dan pada sisi
lain sebuah psikologi mikro, sehingga tanpa hubungan keduanya
pemahaman terhadap teks dan konteks akan sulit dilanjutkan. 108
Produksi kultural, yang termasuk di dalamnya adalah seni sebagai
objek kultural, berbeda dari produksi objek-objek pada umumnya
karena di dalamnya kebudayaan harus diproduksi bukan hanya objek
dalam dimensi materialitasnya. Namun, juga nilai dari objek tersebut,
yakni pengakuan terhadap legitimasi artistiknya. Dengan demikian,
produksi kultural tidak bisa dipisahkan dari produksi seniman sebagai
pencipta nilai (Bourdieu, 2010: 216).
9. Pembahasan: Bourdeau dan Area Produksi Kultural
Ringkasnya, dalam arena produksi kultural terdapat tiga produksi
yang diproduksi, yaitu objek material (lukisan/sastra dengan segala

108
Lihat Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi
Budaya. Bantul: Kreasi Wacana.
215
kualitas terindranya), pencipta (dengan segala latar historis dan arena
kulturalnya sendiri), dan nilai-nilai legitimasi yang ada di dalam (dan di
regangan) objek akibat status penciptanya dan kekuatan luar. Kekuatan
luar yang dimaksud-kan ialah kritikus/kurator sebagai pengkaji;
institusi pedagogis sebagai peletak hukum-hukum; lembaga-lembaga
seni sebagai wadah (kawan sekaligus lawan) bagi para seniman; dan
museum sebagai wadah legitimasi objek, yang kesemuanya memiliki
kemampuan legitimasi di arena seni (dan arena kekuasaan secara tidak
langsung).
Berdasar hal-hal di atas, ada beberapa term yang perlu kita kuasai.
Pertama, arena kekuasaan yang mendominasi arena seni. Arena adalah
ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri,
dengan relasi kekuasaannya sendiri yang melingkupi berbagai arena
seperti politik, ekonomi, kultural, dan seterusnya (Bourdieu, 2010:
xvii). Setiap arena memiliki otonominya sendiri yang relatif, dan saling
terkait satu sama lain. Keterkaitan antararena menimbulkan arena-arena
terdominasi dan mendominasi karena perubahan posisi-posisi agen di
dalamnya selalu memberikan kemungkinan pergeseran kekuasaan
arena, sehingga lahir suatu arena kekuasaan.
Arena seni berada pada posisi terdominasi oleh arena yang lebih
berkuasa, yang mempengaruhi. Arena seni memiliki otonomi relatif
yang mampu menolak pengaruh dari arena kekuasaan, walau pun tidak
sepenuhnya bebas dominasi. Arena otonom ini disebut oleh Bourdieu
(2010: 216) sebagai coin de folie (pojok kegilaan) yang di dalamnya
agen-agen berpartisipasi dalam dominasi-mendominasi, suatu struktural
kontra-diktif. Mereka menempati sebuah posisi terdominasi dalam kelas
dominan. Para seniman sebagai agen arena seni menurut Bourdieu,
menempati posisi genting yang menakdirkan mereka mengalami sejenis
ketidakpastian objektif sekaligus objektif: citra yang dikirimkan
kembali kepada mereka oleh orang lain, terutama mereka yang
mendominasi di dalam arena kekuasaan –sebenarnya juga di dalam
arena seni sendiri, yakni pihak pelegitimasi nilai suatu karya– ditandai
oleh ambivalensi yang diciptakan semua masyarakat karena menjadi
penentang klasifikasi umum atau pendeknya, memiliki status rangkap
antara peran yang berkuasa dan peran sebagai pengacau ilusi-ilusi
sosial. Bourdieu sebenarnya juga mengkategori-kan seniman dalam
arena ini sebagai individu kelas dominan-minus-uang atau
216 Nasbahry Couto & Indrayuda
diistilahkannya parents pauvres (kerabat miskin), tetapi ini sulit kita
ikut sertakan melihat sekarang banyak timbul individu kaya modal
ekonomi yang sengaja tertarik ke arena seni.
Kedua, segala unsur yang membentuk sekaligus terlibat di dalam
arena seni. Unsur-unsur ini sederhananya diklasifikasikan: (1) semesta
besar atau arena (sudah dijabarkan di atas) yang melingkupi segalanya,
semesta sesungguhnya, tempat terjadinya akumulasi bentuk-bentuk
modal tertentu, sekaligus tempat relasi-relasi kekuasaan berlangsung;
(2) pihak-pihak, ins-titusi atau individu, yang memiliki kompetensi
artistis untuk memberi legiti-masi terhadap ciptaan dan pencipta; (3)
pihak-pihak, komun atau individu, yang menjadi konsumen tanpa
memiliki latar belakang artistik; (4) karya seni, yakni segala objek
kultural yang memenuhi syarat-syarat bahwa objek tersebut mampu
disebut karya seni (sebenarnya pada bagian ini Bourdieu merangkul
lebih luas, yakni melibatkan nama pencipta, nama konsep baru, nama
mahzab, apa pun itu asalkan mampu menjadi tanda sehingga bisa
dijadikan barang simbolis); dan (5) seniman, sebagai pencipta ciptaan.
Bagan berikut ini –walau pun tidak lengkap karena menyisihkan
penerbit, penjual, seniman senior, guru, pencari talenta dan banyak
mediator artistik lainnya– menggambarkan bagaimana sebuah arena
produksi seni dipengaruhi oleh unsur-unsur di dalamnya. Tiap
pergeseran unsur (agen menurut Bourdieu), mau tidak mau
menyebabkan adanya struktur arena, dan setiap pergeseran atau (jika
dimungkinkan) pergantian unsur akan mengubah arenanya bahkan
karya-karyanya. Relasi antarunsur mempunyai peran penting untuk
dimengerti.

217
Gambar 30. Bagan area seni dalam masyarakat, diadaptasi dari Bourdieu
(2010), telah dimodifikasi, sumber asli Maanen (2009:66)

Bourdieu (2010: xxxvii-xxxviii) memiliki konsep kunci


menjelaskan hal tersebut, yaitu konsep strategi dan konsep lintasan.
Strategi bisa dimengerti sebagai orientasi spesifik praktik sebagai
produk habitus hasil dari disposisi tidak sadar terhadap praktik. Ia
bergantung pada agen dalam arena dan juga pada problematika
legitimasi. Sementara lintasan suatu cara di mana hubungan antara agen
dan arena diobjektivikasikan. Lintasan mendeskripsikan serangkaian
posisi yang silih berganti ditempati seorang seniman di tengah keadaan
arena seni yang juga silih berganti. Artinya, posisi yang silih berganti
ini hanya bisa didefinisikan menurut struktur arenanya.

218 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 31. Bagan asli area seni oleh Bourdieu, sumber: Maanen (2009:66)

Menurut Bourdieu (2010: 148), makna publik (atau orang biasa


pada bagan) terhadap sebuah karya berakar di dalam proses sirkulasi
dan konsumsi yang didominasi oleh hubungan-hubungan objektif
antara institusi-institusi dan agen-agen yang terlibat di dalam proses.
Relasi-relasi sosial yang memproduksi makna publik ini ditentukan
oleh posisi relatif agen-agen yang menempati struktur arena produksi.
Relasi-relasi semisal relasi seniman dan galeri, tersingkap sebagai
rangkaian relasi yang hadir di dalam publikasi sebuah karya, yaitu
ketika karya menjadi objek publik. Satu hal lagi yang perlu dicermati
ialah relasi antara nilai legitimasi hasil produksi kritikus
(institusi/individu) membaca ciptaan dengan publik. Pada posisi ini
terjadi pengetatan makna akibat posisi internal publik (misal, ia adalah
kaum jetset) dan eksternal (misal, legitim seni rakyat) terhadap sebuah
karya seni (misal, Jatilan). Dengan demikian, setiap agen di dalam
219
arena seni memiliki ciri posisi-posisinya di arena kekuasaan sekaligus
juga memiliki fungsi posisi-posisi di arena seni. Dengan kata lain,
posisi arena seni di dalam arena kekuasaan mempengaruhi segala
sesuatu yang terjadi pada arena kekuasaan dan sebaliknya. Memahami
pencipta dan semestanya adalah hal selanjutnya yang perlu di dalami
sebelum melangkah terhadap karya ciptaannya. Meringkas apa yang
dilakukan Bourdieu (2010: 211-232) dalam analisisnya terhadap
Flaubert sebagai landasan bagaimana memahami pencipta dan
semestanya. Pertama, Bourdieu melihat Flaubert sedikitnya melalui dua
bentuk besar, yakni psikologi mikro dan sosiologi makro Flaubert. Pada
bentuk pertama, dapat dipilah menjadi dua bentuk kecil, yakni
Bourdieu melihat Flaubert melalui (1) karya-karya terpublikasi (novel)
sebagai representasi samar si pencipta dan (2) karya-karya tersem-bunyi
(surat-surat pribadi) sebagai representasi mendekati nyata si pencipta.
Kemudian pada bentuk kedua, dapat dipilah menjadi empat bentuk
kecil, yakni Flaubert dilihat melalui (1) semangat zaman masa itu, (2)
kondisi sosial politik ekonomi dan status Flaubert sendiri, (3) historitas
keluarga Flaubert atau latar belakang sosial dan pendidikan, dan (4)
lingkungan fisik dan psikis Flaubert.
Kedua, Bourdieu menganalisis dua bentuk besar tadi dengan
pertama-tama mengurai hubungan relasional Flaubert dengan
keluarganya (kakaknya, Achille) yang secara tidak langsung merujuk
pada relasi dengan kelas-kelas sosial di sekeliling keluarganya,
sehingga Bourdieu menemukan tumpang tindih determinasi yang luar
biasa. Selanjutnya Bourdieu mengurai relasi Flaubert dengan
lingkungannya sehingga tampak suatu arena kekuasaan. Pada posisi ini,
ia mencari siapakah Flaubert sebagai penulis dari posisi yang
ditentukan baginya di dalam arena itu. Selanjutnya, ia berusaha
membentuk ulang hubungan pihak dominan dan terdominasi di dalam
arena sastra di mana ia menemukan struktur yang homolog yang
terdapat di dalam arena kekuasaan. Setelah menemukan strategi habitus
Flaubert sekaligus posisi-disposisi serta struktur arena, ia menguji
posisi awal Flaubert di ruang sosial untuk menemukan bagaimana
lintasan Flaubert. Hingga akhirnya, melalui analisis yang baik, ia
mampu melihat lebih banyak visi-visi dalam karya-karya Flaubert.
Dengan bermodalkan sistematika analisis Bourdieu di atas, kita
dipermudah untuk memahami ciptaan (karya seni) dan semestanya.
220 Nasbahry Couto & Indrayuda
Pada prinsipnya, menurut Bourdieu (2010: 301),
keterbacaan/pemaknaan sebuah karya seni bagi individu tertentu
bergantung pada divergensi/ ketersebaran tingkat-tingkat emisinya.
Tingkat emisi ini dibentuk oleh dua komponen: (1) tingkat keterbacaan
karya seni yang ditentukan oleh taraf kompleksitas dan kehalusan kode
yang intrinsik di dalamnya dan (2) tingkat penerimaan pengamat yang
ditentukan oleh taraf penguasaan individu atas kode-kode sosial yang
kurang lebih memenuhi syarat bagi kode-kode yang dibutuhkan untuk
menafsirkan karya seni tersebut.
Setiap individu memiliki kapasitas yang terbatas untuk memahami
kode-kode di dalam sebuah karya seni. Kapasitas ini bergantung
sepenuhnya pada pengetahuan mereka tentang kode lazim untuk
menerima pesan terkait. Ketika pesan melebihi kemungkinan
pemahamannya atau lebih tepatnya, saat kode karya seni melebihi
kehalusan dan kompleksitas kode yang dipahami pengamatnya, dia
akan kehilangan minat karena menganggap karya tersebut percampuran
tanpa sajak atau birama atau seperangkat warna yang tidak dibutuhkan
olehnya (Bourdieu, 2010: 301). Untuk meningkatkan keterbacaan karya
seni dan untuk mereduksi kesalahpahaman oleh pengamat, diperlukan
menurunkan taraf emisinya atau menaikan taraf penerimaannya
(Bourdieu, 2010: 302). Pilihan yang disebut terakhir adalah opsi yang
paling menyenangkan, pada satu sisi seniman tidak perlu
menyederhanakan karyanya, sementara pada sisi lain pengamat meraih
kemampuan baru dalam upaya mengasah kompetensi diri. Opsi ini
tentunya dapat diraih, selain melalui capaian di lembaga/institusi
pendidikan seni, melalui banyaknya modal kultural yang dimiliki
pengamat. Modal kultural adalah suatu bentuk pengetahuan, suatu kode
internal atau suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial
dengan empati, apresiasi atau kompetensi terhadap pemilahan relasi-
relasi dan artefak-artefak kultural. Bourdieu menyatakan bahwa
―sebuah karya seni mengandung makna dan kepentingan hanya bagi
orang yang memiliki kompetensi kultural yakni kode, tempat ke mana
karya itu dikodekan. ‖ Kepemilikan terhadap kode atau modal kultural
ini diakumulasikan melalui satu proses panjang akuisisi atau kalkulasi
yang mencakup tindakan pedagogis keluarga, formasi sosial, dan
lembaga-lembaga sosial (Bourdieu, 2010: xix-xx).

221
Keterkaitan antara modal kultural, karya seni, seniman, arena
produksi dan segala unsurnya, pada dasarnya memberi pandangan yang
serupa tentang bagaimana memahami relasi teks karya seni dengan
konteks yang melingkarinya, bahkan mampu memberi peluang
memahami relasi antarteks. Bourdieu menyuguhkan cara berpikir
sosiologis, psikologis sekaligus antropologis (dalam konteks
keterlibatan) untuk memahami lebih dalam setiap karya-karya seni
tanpa kita terkecoh pengaruh laten akademi, institusi, museum atau
pandangan la vie en rose atau en noir atau apa pun itu. Dengan
memahami apa yang dijabarkan di atas, mulai arena seni hingga modal
kultural, mengacu pada konsep yang ditawarkan Pierre Bourdieu, sudah
barang tentu akan mempermudah pemahaman terhadap teks dan
konteks produksi (maupun konsumi) seni. Oleh karena itu, sebagai
penutup, disimpulkan dengan mengutip Bourdieu, ―Setiap karya seni
dibuat dua kali, pertama oleh penciptanya dan kedua oleh
pengamatnya. ‖

222 Nasbahry Couto & Indrayuda


1. Pendahuluan
Teori jaringan aktor adalah
pendekatan interdisipliner pada studi
ilmu-ilmu, ilmu sosial dan studi
teknologi. Actor-Network-Theory atau
sering disingkat ANT yang digagas
oleh Latour, sebenarnya (sampai
sekarang) telah berevolusi sangat jauh
dan berkembang ANT dipakai dalam
berbagai bidang pengetahuan termasuk
seni dan teknologi. Menurut Latour
pada awalnya (konsep ini) belum
menjadi teori atau setidaknya belum
Bruno Latour, lahir 22 Juni 1947,
pernah dimaksudkan untuk menjadi
adalah seorang ilmu sosiolog dan sebuah teori.
antropolog Perancis, teorinya ini Menurut penulis, dengan
berpengaruh besar ke bidang memahami teori ini dan atau
Studi Sains dan Teknologi menggunakan teori ini, kita akan
(STS/Saince & Technology mengetahui mengapa seni tertentu
Study) Setelah mengajar di.
École des Mines de Paris (Centre
dapat berkembang dan jenis seni
de sociologie de l'Inovasi) 1982- lainnya mati dalam suatu masyarakat.
2006, dia sekarang Profesor Ilmu Kita juga akan mengetahui (melalui
Po di Paris (2006), di mana ia penelitian) bahwa ada aktor dan
adalah direktur ilmiah dari Ilmu jaringan aktor dalam lembaga seni,
Po Medialab. Ia terkenal karena seperti sekolah seni, perguruan tinggi
bukunya We Have Never Been
seni, Taman Budaya, Museum, tidak
Modern (1991; English
translation, 1993), Laboratory berfungsi dalam sebuah jaringan yang
Life (dengan Steve Woolgar, akan menunjang hidupnya seni,
1979) dan Science in Action seniman dan karyanya, dan sekaligus
(1987). menghidupkan seni budaya dalam
masyarakat.

223
Salah satu tokoh penulis dan kurator Indonesia, Jim Supangkat109
melihat sisi aktor sejarah dan penulisan seni, dan menyatakan seni rupa
Indonesia itu "tak bunyi" tidak dikenal karya-karyanya, tokohnya, nilai-
nilainya karena ketiadaan "infrastruktur" seni.
R. Gilang Cempaka dari Universitas Paramadina110, pernah
meneliti seni dari segi ekonomi (market) melihat bahwa aktor itu adalah
seniman, institusi seni, yaitu galeri, art dealers, kurator, kritikus, dan
publik seni atau audiens. Keseluruhannya itu disebutnya sebagai art
world (Dunia Seni) dalam konteks teori medan sosial seni Howard
Becker). Secara samar dia menyatakan bahwa perkembangan seni
sekarang ini lebih dipengaruhi oleh pasar dan jaringan pasar oleh etnis
tertentu. 111
Menurut teori ANT, seni itu hidup dalam sebuah jaringan. Hal ini
juga akan menjawab pertanyaan, 'kenapa seorang seniman atau desainer
itu miskin?112 Mungkin saja karena dia tidak berada dalam sebuah
jaringan atau boleh jadi dia ada dalam jaringan, tetapi tertindas oleh
aktor lain yang berfungsi sebagai aktan, yang menarik adalah teori ini
berlawanan dengan teori sosial konvensional, dan anehnya lagi teori ini
telah berkembang sangat jauh dan dipakai untuk memahami jaringan
media, dan juga internet.
Maanen (2009) dalam penelitian dan bukunya menulis sebuah bab
yang berjudul From Theory to the Methodology of Singularity Bruno
Latour and Nathalie Heinich (yang dapat diterjemahkan menjadi Teori
ke Metode ―Tunggal (Ganjil)‖ dari Bruno Latour dan Nathalie Heinich.
Hal ini dapat dimengerti sebab pengertian sosial dalam ANT itu aneh,
karena memasuk-kan nonmanusia sebagai bagian dari ―sosial‖. Namun,
dalam tulisan ini penulis ingin membahas mengenai ANT dari sisi
Bruno Latour saja dan tidak akan membahas tulisan Nathalie Heinich.

109
Jim Supangkat di http://indonesiaartnews. or. id/artikeldetil. php?id=168
110
R. Gilang Cempaka, di http://jurnal. pdii. lipi. go. id/admin/jurnal/7410287303_1412-
0755. pdf,
111
Gumilar Ganjar, Sedikit Tinjauan (Lagi) Terhadap Pasar Seni Rupa Indonesia, di
http://gumilarganjar. wordpress. com/2013/01/26/sedikit-tinjauan-lagi-terhadap-
pasar-seni-rupa-indonesia/
112
Lihat buku terbaru oleh ekonom seni Belanda dan artis Hans Abbing, Why Are
Artists Poor? (2002). Untuk jurnal artikelnya lihat di http://www. hansabbing.
nl/DOCeconomist/
SUMMARY. pdf
224 Nasbahry Couto & Indrayuda
Setelah gagasan ini muncul, Latour kemudian mengembangkan ANT
sebagai upaya untuk memahami proses inovasi dan penciptaan
pengetahuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama pada
pekerjaan di STS (Studi Sains dan Teknologi ).
Sekitar tahun 1990 dan seterusnya, ANT mulai menjadi populer
sebagai alat analisis dalam berbagai bidang di luar STS (Science &
Technology & Study) dikembangkan oleh penulis dalam berbagai
bidang, misalnya analisis organisasi, informatika, studi kesehatan,
geografi, sosio-logi, antropologi, studi feminis dan ekonomi. Jadi, kalau
kita mempelajari ANT menurut bidang ilmu tertentu dapat salah tafsir -
-walaupun tidak banyak perbedaannya dengan teori awal ANT --sebab
ANT telah dikem-bangkan menurut versi kelompok bidang ilmu
masing-masing (Pasca ANT).
Menurut Wikipedia (2013), ANT pada STS (Studi Sains dan
Teknologi) muncul sejak 1980-an, adalah salah satu hasil
pengembangan ANT yang dirintis sejak dasawarsa 1960-an. Teori ini
awalnya digagas dan dikembangkan oleh Bruno Latour, Michel Callon,
dan John Law. Para penggagas ANT berpendirian bahwa masyarakat
itu bukan hanya sekadar berisi unsur-unsur individu manusia dan norma
yang mengatur kehidupan mereka, tetapi lebih dari itu, dia bergerak
dalam sebuah ―jaringan‖. Teori Jaringan-Aktor atau Actor-Network-
Theory atau sering disingkat ANT berpendapat bahwa sebuah
penemuan ilmiah tidak berasal dari satu orang tertutup saja. Namun
demikian, sebuah teori ilmiah berasal dari jaringan-jaringan, baik suatu
subjek (manusia) atau objek mati (non-manusia).

225
Umumnya ANT mengembangkan
konsep mengenai jaringan, aktor, translasi,
dan inter-mediari. Penjelasannya adalah
sebagai berikut. Konsep jaringan tidak hanya
berfokus pada relasi sosial aktor manusia,
tetapi mencakup aktor-aktor nonmanusia, --
yaitu sebuah jaringan heterogen. Aktor
didefinisikan sebagai sesuatu yang ikut
beraksi, yang bukan hanya manusia,
melainkan juga objek teknis. Translasi
berarti penjajakan dan penyesuaian aksi-aksi
yang berlangsung antara aktor-aktor sampai Buku teori Jaringan Aktor,
tercapai suatu relasi yang stabil sehingga dalam konteks sain dan
objek teknis dapat terus berfungsi. teknologi, karangan Sonny
Intermediari adalah aktor yang ‖bersirkulasi‖ Yuliar, terbitan tahun
di antara aktor-aktor dan yang memelihara 2009, adalah salah satu
buku awal yang mem-
relasi di antara mereka.
bahas teori jarinan aktor
(ANT) Bruno Latour,
a. Aktor 2005, Reassembling the
Aktor adalah pelaku, yang menjadi Social: An Introduction to
perta-nyaan berapa banyak pelaku dalam Actor-Network-Theory,
NY: Oxfor University
melaksanakan sebuah aksi. Sebagai contoh
Press.
dari ANT ini, adalah Newton sebagai salah
satu aktor tidak benar-benar bertindak sendiri dalam menciptakan teori
gravitasi. Ia membutuhkan aktor lain (data pengamatan dari beberapa
temannya) Astronomer Royal dan John Flamsteed, sebagai pelaku ilmu
astronomi, membutuhkan aktor lain (dukungan publikasi dari Royal
Society dan anggotanya) Edmund Halley membutuhkan geometri
Euclid, astronomi dari Kepler, Galileo bukan itu saja ada aktor lain
seperti ilmu mekanika, ruangan, laboratorium, makanan. Trinity
College, seorang asisten untuk bekerja di laboratorium, ide mistik (yang
akan disanggah), dan lebih banyak.

b. Jaringan Aktor/Pelaku
Jaringan (network) adalah jejala, atau yang terangkai atau
terhubung. Sebagai illustrasi ketika berbisnis, menyetir mobil atau
226 Nasbahry Couto & Indrayuda
menulis dokumen, kita menggunakan kata prosesor (alat untuk
memproses data yang masuk), ada banyak hal yang mempengaruhi saat
beraksi. Misalnya, ketika mengendarai mobil, kita dipengaruhi
(diproses) oleh peraturan lalu lintas, diproses pengalaman menyetir dan
kemampuan manuver mobil. Kata prosesor sama dengan pelaku yang
memproses berdasar pengalaman sebelumnya. Semua faktor ini
terhubung (terjaring) yang menyebabkan bagaimana kita bertindak.
Kita tidak akan melakukan bisnis dalam keadaan kosong (tanpa
petunjuk), tetapi di bawah pengaruh berbagai faktor, semua faktor-
faktor yang mempengaruhi harus dipertimbangkan bersama-sama, yang
disebut dengan ―Jaringan aktor‖. Sebaliknya, semua tindakan yang
terhubung bersama-sama, segala faktor yang mempengaruhi,
terhubung, akan menghasilkan jaringan. Jaringan aktor terdiri atas
jaringan bersama-sama, baik elemen teknis maupun nonteknis. Sesuai
dengan contoh di atas, tidak hanya kapasitas mesin mobil, tetapi juga
pelatihan mengemudi mobil. Oleh kaena itu, ANT berbicara tentang
sifat heterogenitas jaringan aktor.

c. Aktan = Aktor Pengendali


Dalam teori jaringan (ANT) telah dikembangkan suatu kosakata
yang tidak mengambil perbedaan antara subjek dan objek, subjektif dan
objektif, ke dalam pertimbangan sebagai aktor. Aktor mungkin terdaftar
sebagai sekutu untuk memberi kekuatan untuk suatu posisi. Sebuah
aktor ada yang berdaya dan ada yang tidak berdaya dalam
mengendalikan sistem jaringan. Dalam teori ini disebutkan terdapat
aktor dan jaringan. Aktor adalah semua elemen yang terhubung dalam
sistem yang nantinya akan membentuk jaringan secara alamiah. Aktor
yang mampu mengontrol aktor lain disebut aktan. Aktan memiliki
kemampuan untuk bergerak masuk dan keluar suatu jaringan
berdasarkan kemauan dan kepentingannya. Saat aktan memasuki suatu
jaringan, jaringan tersebut akan memberi nama atau julukan, aktivitas,
perhatian, serta peranan dalam jaringan tersebut. Dengan kata lain,
aktan inilah elemen utama dan menjadi penggerak dalam jaringan.
Sebagai ilustrasi, kita dapat mengambil contoh sistem akademik,
yang disebut aktor adalah mahasiswa, dosen, mata kuliah, IP, ruang
kelas, dan lain sebagainya. Aktan adalah mahasiswa dan dosen yang
dapat mengen-dalikan aktor lain, seperti mahasiswa mampu
227
mengendalikan mata kuliah yang akan diambil atau dosen yang mampu
mengendalikan IP mahasiswa-nya dan lain-lain. Setiap aktan akan
memiliki nama atau julukan seperti ―dosen pemrograman‖, aktivitas
―mengajar‖, perhatian ―evaluasi‖, dan peranan ―mencerdaskan
mahasiswa‖.
ANT tidak menjelaskan mengapa ada Jaringan, tetapi lebih tertarik
pada infrastukturnya, bagaimana dia terbentuk dan rusak dan lain
sebagainya. ANT memakai Principle of Generated Symmetry, manusia
dan nonmanusia digabungkan dalam sebuah framework konseptual
yang sama. Dalam hal ini manusia dan nonmanusia sering keduanya
dapat bertindak sebagai „actant‟ (aktan).
Di sinilah kemudian Bruno Latour menyebutkan perlunya
memahami asal-muasal sebuah realita. Latour Bruno menjelaskan
adanya aktor atau subjek yang memulai untuk membuat sebuah realita.
Karena aktor ini memiliki hubungan sosial dalam kehidupan sosial,
pemahaman si aktor terhadap realita sosial menjadi pemahaman
bersama di dalam kehidupan sosial. Aktor atau subjek berfungsi dalam
jaringan terdistribusi lebih besar daripada interaksi timbal balik dan
umpan balik. Pemahaman si aktor terhadap realita sosial menjadi
sumber referensi bagi individu lain dalam suatu kehidupan sosial.
Pemahaman itu kemudian menyebar melalui proses interaksi sosial
antara aktor dengan individu lain. Hubungan harus berulang kali
―dilakukan‖ atau jaringan akan larut. Hubungan sosial diproses dan
harus dilakukan terus menerus. 113

d. Translasi
ANT mempostulasikan bahwa di antara manusia dan objek
teknologi berlangsung dua proses, pada satu sisi adalah proses translasi
dalam bentuk desain dan konstruksi. Pada sisi lain adalah pembelajaran
melalui pembuatan dan penggunaan. Melalui desain, konstruksi, dan
pembelajaran tersebut, objek teknologi berubah dan manusia pun
berubah. Melalui proses pembelajaran itulah nilai-nilai kemanusiaan
113
Kontrofersi dan profokasi karena gerakan ANT membuat Bruno Latour menegaskan
ada empat kata yang dapat dikelirukan penafsirannya dalam ANT, kata Actor,
Network, Theory dan Hypen. Dia kemudian berceramah untuk meredefinisi term-
term itu dan untuk menempatkannya pada diskursus yang dia bantu untuk ciptakan
sendiri.
228 Nasbahry Couto & Indrayuda
diterapkan dalam ranah teknologi. Teknologi ditata kelola sedemikian
rupa agar tidak mengukuhkan relasi-relasi sosial yang otoriter atau
hierarkis. Tidak cukup hanya itu, sebaiknya pula teknologi selaras
dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan sosial.
Secara harafiah, translasi artinya adalah "terjemahan". Menurut
Gabriela Bosco, ada dua bentuk translasi, (1) direc translation dan
oblique translation. Teknik direct translation adalah teknik
penerjemahan langsung digunakan ketika elemen struktural dan
konseptual dari bahasa sumber dapat dialihkan ke dalam bahasa
sasaran. Teknik penerjemahan langsung termasuk (1) peminjaman
(borrowing), (2) teknik calque, (3) literal translation.
Peminjaman (borrowing) adalah mengambil kata-kata langsung
dari satu bahasa tanpa menerjemahkan. Banyak kata bahasa Inggris
yang "dipinjam" ke dalam bahasa lain, untuk perangkat lunak misalnya
dalam bidang teknologi dan funk dalam budaya. Bahasa Inggris juga
meminjam banyak kata dari bahasa lain, abbatoire, kafe, passé dan
resume dari Perancis, hamburger dan TK dari Jerman, bandana, musk
dan sugar dari bahasa Sansekerta dan seterusnya.
Teknik oblique translation, teknik penerjemahan oblique,
digunakan ketika elemen struktural atau konseptual dari bahasa sumber
tidak dapat secara langsung diterjemahkan tanpa mengubah arti atau
mengganggu unsur-unsur tata bahasa dan gaya bahasa dari bahasa
target. Teknik pener-jemahan oblique meliputi: transposisi, modulasi,
reformulasi atau equiva-lence, adaptasi, kompensasi. Dapat
disimpulkan teknik translasi adalah bagian dari semiotika bahasa yang
dipakai untuk menerjemahkan/ transfer kode tanda, dari berbagai
bahasa dan budaya untuk menentukan aktor dalam jaringan. 114
Komitmen teoretis ANT dalam penataan sosial, adalah komitmen
untuk bersandar pada prinsip kemitraan, konsultasi, dan proses
pengambilan keputusan yang bersifat partisipatif dan bukan akumulasi
kekuasaan dan kelembagaan. Itulah sebabnya mengapa ANT relevan
sebagai dasar teoretis atau kerangka analitis bagi tata kelola
(governance) dan teknologi.

114
Keterangan lebih lanjut lih di Gabriela Bosco http://www. interproinc. com/
articles. asp?id=0303.
229
ANT umumnya memakai principle of generated symmetry,
manusia dan nonmanusia digabungkan dalam sebuah framework
konseptual yang sama. Kedua aktor manusia dan nonmanusia dapat
direferensi sebagai „actant‟. Aktan (actant, yaitu istilah yang dipakai
untuk aktor yang dapat mengatur aktor lain, misalnya dalam jaringan
akademik, dosen dan mahasiswa adalah aktan), yang membentuk suatu
jaringan yang terhubung satu dengan yang lainnya. ANT menjelaskan
kaitan antara artefak dan konteks sosial, termasuk proses penyesuaian
antara karakteristik teknologi dan kemauan manusia. Dengan teori ini,
semua aktor, baik dari pihak artefak atau dari pihak pemanfaat atau
pengguna, masuk dalam hitungan.
Latour menyatakan dalam Actor-Network-Theory bahwa
kehidupan sosial ibarat tubuh dan manusia sebagai sel jaringan yang
membentuk tubuh itu sendiri. Menurut Latour, tidak ada pengetahuan
dunia yang begitu saja terjadi. Pengetahuan ada karena ―dibangun‖
melalui bahasa dan semua tanda bebas yang kemudian disepakati
bersama.
Latour berpendapat bahwa ada yang dianggap hilang dari teori-
teori sosial sebelumnya, yaitu elemen nonmanusia (nonhumans ). Oleh
sebab itu, dibutuhkan pendefinisian ulang mengenai apa itu
‖masyarakat‖ (sosial). Dalam hal ini, masyarakat adalah suatu
kolektivitas yang terdiri atas dua elemen. Elemen manusia (entitas
sosial) dan elemen nonmanusia (entitas teknis). ANT memandang
masyarakat sebagai asosiasi-asosiasi heterogen yang terdiri atas
elemen-elemen yang tidak stabil, yang saling memengaruhi, dan yang
mencoba mendefinisikan ulang secara terus-menerus.

e. Intermediary
Intermediary adalah sebuah layer, perantara, seorang perunding
yang bertindak sebagai penghubung antara pihak aktor atau sekumpulan
aktor, seseorang yang atau hal yang akan menengahi; antar interagent
atau perantara. Sinonim dari intermediary-nya adalah sebagai ini

230 Nasbahry Couto & Indrayuda


ANT mempostulasikan bahwa di antara manusia dan objek
teknologi berlangsung dua proses, pada satu sisi adalah proses translasi
dalam bentuk desain dan konstruksi. Pada sisi lain adalah pembelajaran
melalui pembuatan dan penggunaan. Melalui desain, konstruksi, dan
pembelajaran tersebut, objek teknologi berubah dan manusia pun
berubah. Melalui proses pembelajaran itulah nilai-nilai kemanusiaan
diterapkan di ranah teknologi. Teknologi ditata kelola sedemikian rupa
agar tidak mengukuhkan relasi-relasi sosial yang otoriter atau hierarkis.
Tidak cukup hanya itu, sebaiknya pula teknologi selaras dengan
prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan sosial.
Postulat ini semakin menegaskan komitmen teoretis ANT dalam
penataan sosial, yakni komitmen untuk bersandar pada prinsip
kemitraan, konsultasi, dan proses pengambilan keputusan yang bersifat
partisipatif dan bukan akumulasi kekuasaan dan kelembagaan. Itulah
sebabnya mengapa ANT relevan sebagai dasar teoretis atau kerangka
analitis bagi tata kelola (governance) teknologi.
Teori jaringan aktor (ANT) memakai principle of generated
symmetry, manusia dan nonmanusia digabungkan dalam sebuah
framework konseptual yang sama. Hasilnya manusia dan nonmanusia
sering keduanya direferensi sebagai „actant‟. Aktan (actant, adalah
istilah yang dipakai untuk aktor yang dapat mengatur aktor lain,
misalnya dalam jaringan akademik, dosen dan mahasiswa adalah aktan,
yang membentuk suatu jaringan yang terhubung satu dengan yang
lainnya. aktor Network Theory menjelaskan kaitan antara artefak dan
konteks sosial, termasuk proses penyesuaian antara karakteristik
231
teknologi dan kemauan manusia. Dengan teori ini, semua aktor, baik
dari pihak artefak atau dari pihak pemanfaat atau pengguna, masuk
dalam hitungan.
Apa yang dianggap hilang dari teori-teori sosial sebelumnya adalah
elemen nonmanusia (nonhumans ). Oleh sebab itu, dibutuhkan
pendefinisian ulang mengenai apa itu ‖masyarakat‖ (sosial). Dalam hal
ini, masyarakat adalah suatu kolektivitas yang terdiri atas dua elemen.
Elemen manusia (entitas sosial) dan elemen nonmanusia (entitas
teknis). ANT memandang masyarakat sebagai asosiasi-asosiasi
heterogen yang terdiri atas elemen-elemen yang tidak stabil, yang
saling memengaruhi, dan yang mencoba mendefinisikan ulang secara
terus-menerus.
2. Awal Mula Teori Jaringan Aktor
Awal mula timbulnya ide ANT ini dijelaskan oleh Maanen
(2009:84) dalam bukunya How To Study art Worlds: On the Societal
Functioning, terbitan Amsterdam University Press. Berikutnya,
beberapa uraian di bawah ini adalah cuplikan tulisan Maanen yang
dimaksud.
Menurut Maanen (2009, ibid), secara umum, komentar kritis pada
teori medan Bourdieu (lihat mengenai Bourdieu) datang dari sosiolog
yang memiliki masalah dengan usahanya untuk mengungkap
'keobjektifan' hubungan dan mekanisme dalam bidang seni serta
pengembangkan teori yang didasarkan pada upaya ini. Heterodoksi
(aspek teoretis yang bertentangan) telah membela teori Gielen115,
misalnya, kecenderungan memberikan posisi artistik yang berlebihan
dan penting bagi setiap kelembagaan seni, dengan mengorbankan
gagasan bahwa adanya aturan tertentu yang harus ditaati secara umum
adanya unsur-unsur lain yang berperan. 116

115
Maanen membaca tulisan Gielen, P. (2003) Kunst in netwerken. Artistieke selecties
in de hedendaagse dans ende beeldende kunst. Leuven: Lannoo. Lihat: Maanen,
2009, p. 83
116
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, Bourdieu secara khusus telah menyatakan
bagaimana, dalam pandangannya tentang struktur harapan (illusio, orthoand
heterodoksi, nomos, dalam l) dan peran (posisi, pendudukan posisi, habitus, dalam l)
serta fungsi.
232 Nasbahry Couto & Indrayuda
Dalam pendekatannya kepada bidang tari dan seni visual di
Flanders (Belanda) dari perspektif teori sistem, Bourdieu jelas sangat
terinspirasi oleh karya/tulisan Bruno Latour117 dan terutama oleh apa
yang dia sebut The Glorious Entry of Nathalie Heinich‟ (Gielen 2003:
115). Kedua tulisan (Bourdieu dan Gielen) itu menurut Maanen (2009)
adalah aktor Network Theory (Teori Jaringan Aktor) atau ANT, yaitu
menarik garis tajam antara kaum strukturalis dan sosiologi sesuai
dengan praktik mereka sendiri, yang disebut oleh Latour sebagai
sosiologi asosiasi (versus sosiologi sosial tradisional).
Pada halaman pertama dari Reassembling the Social (2005), Latour
menyatakan bahwa baik domain yang bisa disebut ‗social‘
(kemasyarakatan) atau entitas yang bisa disebut 'society' (misal
perkumpulan) dan yang seharusnya berfungsi sebagai konteks untuk
aktivitas manusia, itu harus diyakinkan benar-benar ada. Sebaliknya,
dalam sosiologi asosiasi, istilah 'sosial' menunjuk 'jenis hubungan di
antara yang tidak sosial. Dalam pandangan ini menurut Latour,
sosiologi sosial menganggap dunia manusia juga terbuat dari barang-
barang sosial dan bekerja atas dasar struktur sosial yang dapat
menjelaskan aktivitas masyarakat.
Hal ini terutama penting bagi sosiolog -sering dipahami oleh
Latour, Heinich dan Gielen sebagai (pasca) sosiolog strukturalis -yang
berhutang dan membayar untuk pergeseran makna ini. Ketika
dihadapkan dengan situasi baru dan benda-benda baru, [sosiologi kritis
atau HVM]118, risikonya bahwa mereka hanya mengulangi rajutan dari

117
Meskipun studinya praktik ilmiah beradapada satu waktu yang berkaitan dengan
konstruksionis sosial, pendekatan filsafat ilmu, Latour telah menyimpang secara
signifikan dari pendekatan tersebut. Latour terkenal karena menarik diri dari divisi
subjektif /objektif dan mengembangkan pendekatan untuk bekerja dalam praktik.
Seiring dengan Michel Callon dan John Law, Latour adalah salah satu pengembang
utama dari aktor-teori jaringan (ANT), . pendekatan konstruksionisnya dipengaruhi
oleh ethnomethodology dari Harold Garfinkel, semiotika generatif Greimas, dan
(baru-baru ini) sosiologi saingan Durkheim Gabriel Tarde. Monograf Nya
membuatnya mendapatkan tempat 10 di antara yang paling-dikutip penulis buku di
humaniora dan ilmu sosial sejak tahun 2007.
118
HVM adalah Hierarchical Value Map: Sebuah HVM direpresentasikan oleh total
kumpulan ladder yang membentuk beberapa rantai (chains) di dalam sebuah peta.
Tujuan dalam membuat sebuah HVM adalah untuk menghubungkan semua rantai
yang memiliki arti di dalam sebuah peta. Setelah penyusunan selesai dilakukan,
233
repertoar kecil sebuah terminologi yang sudah diakui misalnya:
kekuasaan, dominasi, eksploitasi, legitimasi, fetishization, reifikasi.
Masalah sosiologi kritis adalah bahwa hal itu tidak pernah bisa tidak
berhasil menjadi benar. 119
Kemudian, sudut pandang ini, sekarang sudah dekat dengan teori
aktor Network Theory (Teori Jaringan Aktor /ANT), yang menekankan
proses yang terus menerus dari perubahan dalam apa yang terjadi di
antara aktor: sebab menurutnya aktorlah yang membuat aktor-aktor lain
melakukan hal-hal, seperti bepergian dari satu titik ke titik lain dalam
jaringan yang lain, yang tidak bisa terjadi tanpa perubahan sosial,
adalah makna yang aneh dari reasosiasi dan pemasangan kembali sang
aktor', yang berarti bahwa asosiasi, koneksi dan hubungan yang bukan
hanya akibat dari 'sosial', melainkan dibentuk dan diperbaharui lagi dan
lagi dalam sebuah jaringan (tanpa perubahan sosial). Disinilah para
pemikir ANT berpendapat bahwa mereka berbeda secara mendasar dari
sosiologi konvensional.
Menurut Maanen (2009), teori jaringan aktor dan Setelah tahun-
tahun (1999, 2004) tidak hanya menyajikan sejumlah diskusi baru dan
aplikasi dalam ANT, tetapi juga ditelaah langsung melalui sumbangan
pemikiran Bruno Latour dan John Law secara langsung. Latour
membahas apa yang dia sebut 'empat paku (pemaku)' yang dia pakai

dapat diperhatikan jumlah hubungan langsung dan tidak langsung dari elemen –
elemen untuk menentukan orientasi persepsi dominan
119
Actor–network theory (Aktor-teori jaringan), sering disingkat sebagai ANT, adalah
pendekatan berbasis agen (agent-based approach) untuk teori sosial dan
penelitiannya, yang berasal dari bidang studi ilmu, yang memperlakukan benda
sebagai bagian dari jaringan sosial. Meskipun terkenal karena penekanan yang
kontroversial di lembaga nonhumans, ANT juga berkaitan dengan kritik
konvensional yang kuat dan sebagai sosiologi kritis. Dikembangkan oleh penelitian
ilmu pengetahuan dan teknologi sarjana Michel Callon dan Bruno Latour, sosiolog
John Law, dan lain-lain, dapat lebih teknis digambarkan sebagai metode "semiotik-
materi" ("material-semiotic"). Ini berarti bahwa dia memetakan hubungan yang
simultan antara materi (antara hal-hal) dan semiotika (antara konsep-konsep). Ini
mengasumsikan bahwa banyak hubungan yang baik material dan semiotik. Secara
umum, ANT adalah pendekatan kelompok konstruktivis, yang dalam hal itu
menghindari penjelasan esensialis peristiwa atau inovasi (misalnya menjelaskan
teori sukses dengan mengatakan itu adalah "benar" dan yang lain adalah "palsu").
Namun, dibedakan dari STS lain dan teori jaringan sosiologis (sociological network
theory) untuk membedakannya dari pendekatan semiotik-materi.
234 Nasbahry Couto & Indrayuda
untuk 'membuat kotak (peti) ANT', setiap unsur itu disebut pendekatan:
(1) aktor/Actor, (2) jaringan (network), (3) teori/theory (4) “hypens”
atau hubung antara aktor dan network 120. Menurut Latour pada
awalnya (konsep ini) belum menjadi teori atau setidaknya belum pernah
dimaksudkan untuk menjadi sebuah teori. Kempat faktor ini, seperti
kemudian kita lihat berubah maknanya sesuai dengan pengembangan
ilmu yang menggunakan ANT sebagai titik awal pandangannya (lihat
uraian selanjutnya)
Pada dasarnya, ANT lebih dapat dilihat sebagai salah satu gerakan
antiesensialis, yang menurut Latour121, tampaknya menandai akhir abad
ke-20. Seperti yang telah kita lihat sebelumnya dalam teori seni,
antiesensialis ini sudah hadir pada titik sebelumnya pada abad ketika
Moritz Weiss dan George Dickie merumuskan pernyataan mereka pada
kurangnya fitur intrinsik atau esensi dari karya seni. Kemudian,
posmodernisme menguatkan cara berpikir ini dan disebarluaskan ke
seluruh dunia teoritik.
Latour menghubungkan sifat nonteoretis ANT yang kuat dengan
salah satu latar belakang yang paling penting, yaitu ethnomethodology,
didasarkan pada wawasan bahwa 'aktor tahu apa yang mereka lakukan
dan kita harus belajar dari mereka bukan hanya apa yang mereka
120
Dalam karyanya Reassembling the Social (2005) Latour meminta maaf karena
memakai istilah ANT, daripada orang terus mengkritik istilah aktor Network Theory.
Sekarang ia melihat akronim ini netral, dan terbuka untuk koneksi.
121
bagi Anti-Esensialisme, tidak ada kebenaran, subjek, ataupun identitas yang berada di
luar bahasa. Dalam pandangan ini, kategori—sebagai konstruksi diskursif—
mengubah maknanya sesuai waktu, tempat dan penggunaannya. Sebagai contoh
karena tidak mengacu pada esensi, identitas dianggap bukan sebagai sesuatu yang
universal, melainkan deskripsi-deskripsi dalam bahasa. Bahasa dipandang tidak
memiliki acuan tetap, dan karena itu tidak mungkin bisa merepresentasi identitas
atau kebenaran-kebenaran yang tetap. Dengan demikian, identitas kulit hitam bukan
sesuatu yang tetap dan universal, melainkan deskripsi-deskripsi (Barker, 2005: 27).
Pada dasarnya, Anti-Esensialisme tidak melarang kita bicara tentang kebenaran
identitas. Hanya saja, Anti-Esensialisme memandang bahwa kebenaran atau
identitas bukanlah sesuatu yang universal, yang berasal dari alam, melainkan hasil
produksi budaya dalam waktu dan tempat tertentu. subjek yang berbicara selalu
tergantung pada posisi-posisi diskursif yang lebih dulu ada. Kebenaran bukan
sesuatu yang ditemukan, melainkan diciptakan, dan identitas adalah konstruksi
diskursif. Jika Esensialisme memberikan kepastian ilmiah, maka Anti-Esensialisme
menawarkan ironi, yaitu suatu kesadaran akan sifat tidak tetap dan terkonstruksi dari
keyakinan dan pemahaman-pemahaman kita yang tidak memiliki landasan universal.
235
lakukan, tetapi bagaimana dan mengapa mereka melakukan itu (Latour
2004: 19). Dia melihat ANT sebagai 'metode untuk belajar dari aktor
tanpa memaksakan pada mereka definisi secara apriori' atas dunia
mereka, dan dia mengkritik pretensi ilmuwan sosial 'yang bertindak
sebagai legislator'. Menurut Latour 'Ikuti aktor' adalah sebuah slogan,
dan karenanya harus ada observasi, wawancara yang berfokus pada
kelompok (jaringan aktor?) dan analisis dokumen --yang juga
memainkan peran penting dalam karya Heinich --termasuk metode
penelitian standar ANT.
Pendekatan ini tidak mencoba untuk menjelaskan perilaku sosial
dengan bantuan gagasan teoretis, tetapi mencoba untuk menemukan
bagaimana orang menggunakan prosedur dalam kegiatan sosial
(prosesnya bagaimana, prosedurnya bagaimana?, apa saja yang
terlibat), akibatnya elemen nonhuman juga terlibat dan ikut ―menjadi
aktor‖.
Oleh karena itu, praktik ANT menurut pendapat Latour itu,
'menyim-pulkan interaksi melalui berbagai jenis perangkat seperti:
inskripsi, bentuk, formula dapat menjadi lokus, sangat lokal dan sangat
praktis, sangat kecil' (Latour, idem: 17). Hal ini dapat mengejutkan,
dengan cara, bagaimana formulasi ini dapat menerapkan konsep
Howard Becker tentang sebuah ―lembaga‖ --seperti yang dikritik oleh
Bourdieu --, tetapi dipuji oleh Latour, karena deskripsinya tetap selalu
tidak lengkap, terbuka berakhir dan ragu-ragu (Latour 2005: 243).
Istilah kunci dalam praktik ANT adalah, tidak diragukan lagi,
'jaringan'. Kedua orang itu, Latour dan Law mendiskusikan gagasan ini
lebih jauh lagi. Latour menunjukkan bahwa istilah ANT dan jaringan
adalah istilah yang segar dan terbuka, yang memberikan kesempatan
untuk menghadapi konsep yang lebih baru, dalam era teknologi baru,
masyarakat baru yang digunakan di institusi ataupun masyarakat.
Jika jaringan dianggap oleh orang lain sebagai struktur hubungan
antara pelaku (manusia), jaringan di ANT adalah struktur yang
terstruktur yang dibangun oleh peneliti sendiri --yang berubah dan
berkembang terus-menerus--dan di mana pelaku bisa 'bepergian,
berangkat lebih jauh' dengan memasukkan koneksi baru, seperti kata-
kata Pascal Gielen ' sebuah persimpangan dan titik hubung satu sama
lain' (2003:130).

236 Nasbahry Couto & Indrayuda


Akibatnya, batas antara jaringan yang berbeda, seperti dalam
bidang seni, pendidikan, politik atau ekonomi jauh lebih terbuka
dibandingkan dalam pendekatan lainnya. Bidang ini memiliki rezim
mereka sendiri, tetapi justru dalam jalinan-jalinan, dan sebuah/seorang
aktor bisa diubah dengan memindahkannya dari satu titik ke titik lain.
'Akibatnya, sebuah karya seni, misalnya, adalah sesuatu yang bermuka
banyak: dia dapat bermuka ekonomis, politik, pedagogis dan sekaligus
artistik dan bahan organik sesuai dengan terjemahan mereka dalam
jaringan' (ibid). Ini juga berarti bahwa ketika pelaku masuk ke dalam
koneksi baru, mereka, pada prinsipnya, berubah:
'Aktor adalah akibat efek' jaringan atau bahkan, seperti
Callon, Law dan Rip mengatakan, 'aktor adalah jaringan dan titik
yang baik di dalamnya '(1986: xvi). Itu akan muncul dan--tidak
mengherankan bahwa susunan yang relatif kecil--dari istilah yang
digunakan dalam studi Jaringan Aktor, termasuk sejumlah besar
yang merujuk pada gerakan dan perubahan dari: bacaan,
terjemahan, transmutasi, dan pusat penerjemahannya adalah inti
dalam ANT.

Memahami Jaringan dan Terjemahannya (Translasi)


Bagian jaringan dapat dipahami dalam dua cara:
1) sebagai kegiatan yang akan melalui sebuah pusat
translasi/penerjemahan dari satu (tempat dalam) jaringan ke yang
lain jaringan atau
2) sebagai pusat penerjemahan itu sendiri yang harus dilewati.

Sedangkan Maanen (2009) lebih memilih gagasan pertama, Gielen


memilih untuk yang kedua: "Dalam ANT bagian ini juga disebut
terjemahan pusat '(2003: 131), tetapi Moser dan Law menggambarkan
sebuah bagian sebagai 'Gerakan di antara kekhususan' sedangkan
gerakan ini 'juga adalah kekhususan dalam dirinya sendiri' (2004: 200-
201). 'Kekhususan' harus dipahami di sini sebagai set tertentu dari
hubungan antara bahan, aktor dan entitas lainnya, seperti sekelas
sekolah yang mengunjungi teater, ruang publik persegi dari museum,
pertemuan politik dan siarannya atau karya seni yang menjadi objek
ekonomi. Bagian dan akibat terjemahan dapat terjadi dalam satu

237
jaringan tertentu, misalnya ketika seseorang ingin menikmati drama dan
untuk alasan ini dia mengunjungi teater.
Tapi sebuah pusat penerjemahan, juga dapat terletak di perbatasan
antara jaringan, misalnya ketika seorang direktur museum, bangga dan
setia kepada koleksinya sebagai kurator, harus menjual salah satu
karyanya dan menemukan dirinya dalam hubungan murni semata
ekonomi (berubah dari pelaku museum ke aktor ekonomi).
Dalam kedua kasus, para aktor berubah karena dua alasan, (1)
posisi baru dalam jaringan menghasilkan satu set hubungan baru di
mana fungsi seorang aktor, dan karenanya seorang aktor baru juga atau
karena seorang aktor dianggap sebagai hasil dari hubungan dengan
badan lain, seperti yang kita lihat di atas, (2) terjemahan pusat, seperti
pengaturan kelembagaan formal dan informal teater, galeri, organisasi
pendidikan atau debat politik, meminta aktor beradaptasi dalam
kaitannya dengan pengaturan ini.
Terjemahan ini juga disebut transmutasi karena pada prinsipnya
berasal dari perubahan aktor. Akibatnya, Gielen benar ketika ia
menunjukkan bahwa apa yang benar-benar penting dalam dunia seni
adalah pengorganisasian bagian-bagian di mana aktor (misalnya, karya
seni) dapat memainkan peran mereka sebagai mediator dan menyadari
nilai-nilai mereka (Gielen 2003: 194)
Penulis menulis terutama tentang tanda hubung antara aktor dan
jaringan. Dari awal Latour keberatan dengan tanda hubung (hypens)
karena akan mengingatkan sosiolog dari perdebatan tentang struktur
kelembagaan ini, dan menggiring mereka untuk menempatkan ANT di
dalam frame ini. ANT tidak mencoba untuk mengambil posisi dalam
perdebatan ini, juga tidak mencoba untuk mengatasi kontradiksi antara
agen dan struktur, dan hanya ingin mengabaikannya. Untuk
menjelaskan hal ini, Latour bergeser dari kecenderungan sosiolog
'untuk memilih antara (1) struktur (structure) dan (2) lembaga
(institutional) untuk melihat ketidakpuasan kecenderung dua jenis
sosiolog ini.
Pertama, kebutuhan untuk penjelasan yang lebih abstrak daripada
fakta-fakta konkret, dan kedua, sebaliknya, kebutuhan untuk memahami
dunia pada tingkat yang lebih konkret daripada abstrak, seperti budaya,
struktur, nilai-nilai, dan sebagainya, memungkinkan. Latour melihat

238 Nasbahry Couto & Indrayuda


ANT 'sebagai cara memperhatikan kedua ketidakpuasan' itu (Latour
2004: 17), bukan untuk mengatasinya, tetapi untuk memahami mereka.
'Mungkin', tulisnya, 'sosial memiliki properti aneh tidak
terbuat dari lembaga dan struktur sama sekali, melainkan adalah
sebuah entitas beredar' (ibid). Dalam ANT tidak ada 'binatang
besar yang masuk akal dari interaksi lokal, tetapi hanya, seperti
yang telah dikatakan sebelumnya, ' yang disimpulkan sebagai
interaksi melalui berbagai jenis perangkat, tulisan, bentuk dan
formula, menjadi sangat lokal, sangat praktis lokus, sangat kecil
'(ibid), di mana seluruh elemen kecil sosial hadir, tanpa struktur
(struktur yang pasti).
Akhirnya, kita bisa kembali ke aktor itu sendiri, aktor adalah
sebuah titik dalam jaringan yang adalah hasil pada saat tertentu: 'Jika
seorang aktor dalam jaringan-aktor, itu adalah pertama-tama untuk
digarisbawahi bahwa aktor itu adalah sumber utama ketidakpastian
tentang asal-usul sebuah tindakan '(Latour 2005: 46). Dengan kata lain,
'aktor adalah apa yang dibuat atau tindakan banyak orang' (ibid). Pada
sisi lain, seorang aktor hanya aktor jika mewakili dan yang
memodifikasi suatu keadaan, dengan kata lain jika ia meninggalkan
jejak.
Apa pun yang membuat perbedaan dapat dipahami sebagai seorang
aktor: orang, organisasi, binatang dan benda-benda juga, asalkan
'mereka mungkin terkait sedemikian rupa sehingga mereka membuat
orang lain melakukan sesuatu hal' (idem: 107). Atas dasar ini, Latour
bahkan cenderung untuk mengatakan selamat tinggal pada gagasan
aktor (yang lama), (kecuali jaringan), tidak hanya karena akan dengan
mudah dipahami sebagai aktor manusia, tetapi terutama karena istilah
menunjukkan inisiatif atau titik awal saja.
3. Actor–Network -Theory (ANT) dan Fungsi Seni
Pada pandangan pertama, ANT tidak menawarkan banyak
kesempatan untuk menemukan koneksi yang stabil antara bagaimana
dunia seni diatur atau bagaimana fungsi seni dalam masyarakat. Dia
hanya menyimpulkan adanya interaksi, membuat perhitungan
deskriptif, mene-lusuri singularitas dan mengikuti aktor, semua
tampaknya hanya untuk memberikan berbagai data empiris -termasuk
tentang koneksi -tetapi pada saat yang sama kegiatan ini muncul untuk

239
menghalangi pola yang lebih umum atau dinamikanya. Menurut
Maanen (2009), hal itu tidak terlalu aneh karena penulis ANT hanya
mencari senjata yang dapat digunakan untuk menyerang sosiologi
strukturalis, yang menurut mereka, mengubah dunia agar terbalik
dengan menganalisis dari segi konsep kalibrasi (pengujian) sosiologis.
Sebagai hasilnya, Maanen (2009) berpendapat bahwa pada
halaman-halaman awal teks ANT pembaca sering dihadapkan pada
karikatur (pasca) sosiolog strukturalis. Seperti jika rekan mengklaim
bahwa apa yang terjadi di dunia seni sepenuhnya ditentukan oleh pasar
dan pergerakan ekonomi (yang terstruktur itu) atau bahwa hubungan
kekuasaan harus dianggap sebagai konsep sentral dalam mempelajari
seni. Karikatur ini berguna dan bahkan mungkin diperlukan untuk
mendapatkan perhatian untuk cara berpikir yang baru di lapangan,
tetapi pembaca yang telah melalui bagian ini akan menemukan
beberapa tempat di mana radikalisme ANT adalah lemah dan bahkan
dalam beberapa kasus mendekati musuhnya itu. Dua aspek dari
pekerjaan ini khususnya pembahasan di atas menunjukkan pendekatan
ini atau setidaknya kesulitan dalam melarikan diri dari itu. Pertama,
ketika Nathalie Heinich membahas otonomi artis, dan kedua, ketika
ingin mengungkapkan gambaran tentangnya.
Menurut Maanen (2009), tidak ada yang lebih terbatas
dibandingkan dengan seniman dalam berkarya. Jika ia mencoba untuk
menyeberangi perbatasan lapangan dan bekerja sesuai dengan aturan
sendiri, ia akan dikeluarkan. Berarti dia memang mencoba untuk
memperbaiki teori institusional Dickie dengan memberikan kegiatan
para seniman 'tempat di dalamnya -mengatakan bahwa pengakuan
kelembagaan adalah hasil dari manipulasi oleh seniman- tetapi dia juga
menekankan bahwa manipulasi sesuai dengan aturan yang sama sesuai
dengan kategori dan klasifikasi karya seni lembaga. Ingat contoh
pemain catur, merasa dirinya benar-benar bebas dalam pilihan
gerakannya, tetapi sebenarnya sepenuhnya terikat oleh aturan
permainan. Nathalie Heinich menyebut kebebasan seniman hanya
kedok yang oleh sosiolog disebut 'keyakinan ilusi', 'seseorang yang
lebih siap untuk memahami kendala kolektif yang mendasari kegiatan
sosialisasinya'.
Menurut Maanen (2009), teori jaringan aktor (ANT) menawarkan
dua konsep penting yang dapat membantu dalam memahami bagaimana
240 Nasbahry Couto & Indrayuda
organisasi dunia seni, dalam tahap yang berbeda dari produksi,
distribusi dan penerimaan, terhubung dengan fungsi karya seni dalam
kehidupan manusia.
a. Yang pertama adalah gagasan bahwa aktor ANT (benda, orang,
hewan, organisasi) melakukan sesuatu atau lebih baik membuat
aktor lain melakukan hal-hal, sehingga mereka mengubah keadaan.
Apa yang mereka lakukan harus ditelusuri oleh para peneliti.
Heinich meringkas daftar aktor karya seni yang bisa dilakukan,
seperti orang yang bergerak, mereka yang bicara dan menulis atau
yang mengubah kerangka persepsi, adalah aspek penting tentang
fungsi seni dalam masyarakat. Teori ANT berguna untuk melihat
organisasi dalam dunia seni, seperti perusahaan, tempat, museum
dan departemen mereka, apa yang mereka lakukan sebagai
kontribusi atau dalam hubungan dengan, apa karya seni lakukan
dalam masyarakat.
b. Konsep kedua yang sangat membantu adalah bahwa 'bagian'nya,
dengan alam yang mentransmutasikan nya. Aktor, yaitu sering
disebut orang, dapat dilihat kembali dalam koneksi lanskap baru,
ketika mereka melalui sebuah pusat penerjemahan: aktor lain untuk
berhubungan dengannya, benar-benar menjadi aktor lain, serta
dipaksa oleh sifat dari pusat penerjemahan itu sendiri -gereja,
sebuah teater tempat, pusat komunitas, alun-alun publik, sekolah,
stadion, taman, trem, pusat pertemuan, kantor, museum, studio,
ruang konser -untuk membuat koneksi yang memadai dengan aktor-
aktor lain (karya seni, orang-orang di sekitarnya dan pusat
penerjemahan itu sendiri). Ini akan menjadi jelas bahwa gambaran
apa yang terjadi dengan kelompok-kelompok orang yang berbeda
ketika mereka pergi melalui berbagai jenis bagian dunia seni yang
disediakan, juga di pusat pertanyaan tentang bagaimana seni dibuat
untuk berfungsi dalam masyarakat. Sebaliknya, konsep yang
menantang dunia seni adalah untuk berpikir tentang bagaimana
terjemahannya ―fungsi pusat‖, dan mungkin bisa ditata ulang untuk
menghasilkan efek lain atau tambahan.

Teori jaringan aktor atau actor-network theory yang lebih dikenal


dengan ANT adalah analisis dari serangkaian ―susunan‖ yang meng-
gambarkan bagaimana kemajuan sebuah jaringan --di mana antara
241
manusia dan nonmanusia-- diidentifikasi (diakui) sebagai aktor (pelaku)
sesuai dengan strategi yang berlaku pada sebuah interaksi (dalam
jaringan). Identitas dan kualitas aktor/pelaku ditetapkan selama
negosiasi di antara wakil manusia dan nonmanusia/nonhuman. Dalam
perspektif ini, representasi (gambaran) aktor dipahami dalam dimensi
politik (kekuasaan) sebagai proses pendelegasian.
Yang paling penting dalam negosiasi adalah penafsiran tentang
interaksi multi-aset di mana aktor/pelaku ―umum‖ membangun sebuah
definisi dan makna. Mendefinisikan representativities (keterwakilan),
dan kooptasi (pemilihan anggota) satu sama lain (human dan
nonhuman) dalam mengejar tujuan individual dan kolektif. Dalam teori
jaringan aktor ini, baik aktor dan berbagi adegan dalam rekonstruksi
interaksi jaringan selalu mengarah pada pemantapan sistem, tetapi
perbedaan penting antara mereka adalah bahwa hanya aktor/pelaku
yang mampu menetapkan bagaimana sebuah posisi (anggota) yang
beredar dalam sistem. Teori jaringan aktor dapat dilihat sebagai cara
yang sistematis untuk menciptakan infrastruktur yang biasanya berada
di luar bidang sain dan teknologi.
4. Teori ANT dan Impilikasinya pada Media dan
Teknologi
Teori aktor-jaringan (ANT) dapat digunakan untuk menganalisis
bagaimana sebuah teknologi kemudian tersebar luas di tengah
masyarakat. Dalam perkembangan teknologi, tidak lepas adanya
―manusia‖ dan ―teknologi‖. Pada teori aktor-jaringan dikenal ―aktan‖,
yaitu aktor pengendali yang mampu mengembangkan kosakata yang
tidak mengambil perbedaan antara subjek dan objek, subjektif dan
objektif. Aktan bisa saja aktor manusia, tetapi bisa juga nonmanusia.
Bruno Latour menyebutkan aktan sebagai pembuka pintu otomatis
untuk membuat sebuah definisi realita sosial atau kehidupan sosial pada
masyarakat.

242 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 32. Representasi grafik sederhana dalam jaringan sosial, garis yang
menghubungkan individu-individu tersebut. Adanya jaringan aktor (ANT)
secara teoretis tidak akan mengubah sosial budaya walaupun dia ada.

Misalnya, awal mulanya blog digunakan sebagai catatan harian di


dunia militer Amerika Serikat. Akan tetapi karena kemudian fungsinya
mulai berkembang, akhirnya blog mampu menjadi ruang ekspresi
individu atau kelompok individu atau kelompok tersebut bebas
menuliskan apa yang dipikirkan, terjadi persebaran informasi mengenai
fitur blog sebagai media menuliskan dan publikasi tulisan besifat ranah
pribadi atau kelompok.
Perubahan fungsi blog yang tadinya hanya dipergunakan oleh
kalangan militer dan kemudian menyebar luas digunakan masyarakat
menunjukkan adanya peran aktor jaringan. Aktor berperan
menyampaikan kegunaan blog sebagai ruang ekspresi pribadi kepada
masyarakat.
Satu hal yang perlu diingat dalam teori aktor jaringan ialah adanya
kesepakatan bersama mengenai referensi yang disampaikan oleh aktor-
jaringan. Referensi artinya, apabila referensi si aktor kemudian tidak
mendapat respon bersama melalui interaksi sosial, referensi itu tidak
akan diterima oleh masyarakat dan menjadi referensi yang dipatuhi
bersama. Referensi itu kembali hanya menjadi milik aktor saja, apabila

243
masyarakat menerima maka referensi aktor menjadi pedoman
masyarakat.

a. Aplikasinya pada Teori Jaringan di Internet


Keberadaan internet sebagai produk teknologi media baru pun
dalam penggunaannya memiliki jaringan aktor yang melingkarinya.
Jaringan aktor internet dapat diidentifikasi sebagai bagian dari unsur
manusia dan nonmanusia. Bila merujuk bahwa manusia dan
nonmanusia memiliki peran dan fungsi dalam pengembangan dan
penggunaan internet, dapat dikatakan bahwa ketiadaan dari salah satu
unsur yang terdapat dalam jaringan aktor itu akan bermasalah. Internet
adalah contoh dari sistem yang kompleks, yang berisi banyak
komponen baik dari komponen elektronik, mekanik, jaringan, struktur
bahan, fitur, fasilitas pembangkit listrik --dan semua yang pada
dasarnya tersembunyi dari pandangan pengguna--yang hanya berurusan
dengan internet semata sebagai objek tunggal.
Menurut Latour, efek itulah yang dimaksud functualisation. Jadi,
ketika sebuah jaringan aktor rusak, efek functualisation cenderung
berhenti juga. Misalnya Anda sedang menyelesaikan tugas, tugas itu
akan dikirim via website atau fasilitas email, yang dimiliki seorang
dosennya. Ada banyak hal yang mempengaruhi bagaimana Anda
menyelesaikan tugas itu. Anda akan terpengaruh dengan sinyal operator
untuk dapat mengakses dengan cepat. Anda akan terpengaruh dengan
kondisi komputer yang sering error karena sudah agak rusak atau Anda
terpengaruh dengan minimnya pengalaman dalam memanfaatkan
website, yang belum pernah dicoba sebelumnya, atau tiba-tiba mati
listrik sampai batas pengiriman tugas, terlewat. Anda tidak mampu
berbuat banyak, padahal Anda adalah terbilang jago dibidang komputer,
misalnya.
Dalam contoh di atas, semua faktor ini berhubungan atau
tersambung dengan bagaimana Anda bertindak. Karena itu, Anda
sebagai aktor yang bekerja menyadari bahwa internet adalah kumpulan
bagian-bagian, dari hanya sebuah media yang mampu mengirimkan
berbagai keperluan manusia atau ke berbagai hubungan kerja. Hal
inipun, dapat juga terjadi ketika unsur-unsur sebaliknya, manusia
sebagai aktor tidak bisa mengoperasikan komputer untuk
memanfaatkan media internet dalam mencari berbagai informasi dan
244 Nasbahry Couto & Indrayuda
pengetahuan. Inilah istilah menyelesaikan jaringan aktor. Jaringan aktor
adalah tindakan dihubungkan bersama-sama dengan segala faktor-
faktor yang mempengaruhi untuk menghasilkan jaringan.
Tatanan sosial dan fungsi internet mewujudkan melalui interaksi
yang sukses dari masing-masing aktor jaringan, dan teori jaringan aktor
mengacu pada ciptaan ini sebagai bukti atau quasi benda yang melalui
di antara aktor-aktor dalam jaringan. Sebagai bukti semakin
ditransmisikan atau melewati jaringan, akan semakin punctualized dan
juga semakin tereifikasi. Ketika seorang aktor gagal untuk mengirim
bukti, functualization dan reifikasi menurun juga. Dapat dikatakan
kembali, teori jaringan aktor adalah wacana yang membahas tentang
entitas baik manusia maupun bukan manusia, yang muncul atau tampil
dalam koneksi di jaringan internet. Bahwa pilihan menjadi siapa atau
apa di dalam jaringan terdapat gambaran diri dan konsep aktor itu.
Entitas itu menjadi tetap, stabil, dan secara terus menerus menggunakan
identitas yang sama dalam jaringan di internet. Ia bisa dikatakan
menjadi salah satu bagian dari tautan serta relasi.

Gambar 33. Implementasi teori jaringan aktor sederhana untuk melihat aktor
mana yang berinteraksi tidak sesuai dengan perencanaan inisiatornya yaitu
Pemkot Bandung, Masih melihat dalam struktur kelembagaan
sumber: http://dc352. 4shared. com/doc/i41coxdR/preview_html_m1258c6b2.
png
Latour menegaskan bahwa koneksitas yang terjadi di dalam
jaringan internet itu akan berjalan dengan adanya entitas yang
terhubung satu dengan yang lainnya. Dalam beberapa hal Latour
245
berbeda pendapat, misalnya tentang adanya karakteristik yang tidak
tunggal di antara masing-masing entitas itu. Dengan demikian, lagi-lagi
dapat dikatakan bahwa teori yang dirujuk teori jaringan aktor
memandang teknologi dalam satu kesatuan yang berasal dari bagian-
bagian kecil proses terbentuknya sebuah teknologi. Teknologi tidak
hanya berarti sebagai artefak atau fisik yang tercipta. Namun, pada
ranah pemanfaatannya pun, menyangkut secara keseluruhan adanya
proses negoisasi yang terja di antara kedua, yang sebenarnya
melibatkan berbagai aktor baik berupa manusia atau materialnya.
Dalam pemahamannya, teori jaringan aktor, pun tidak lepas dari
kritik. Kritik yang ditujukan teori ini, terlebih karena memandang teori
yang dicetuskan, Bruno Latour, menganggap mesin dan teknologi
sebagai artefak nonhuman yang sejajar dengan manusia. Wiebe
Bijker122 misalnya, menanggapi bahwa amoralitas teori jaringan aktor,
bukanlah suatu keharusan. Posisi moral dan politik yang mungkin,
tetapi harus terlebih dahulu menggambarkan jaringan sebelum
mengambil posisi semacam itu. Kritik lain, yang dihujamkan pada teori
yang dikembangkan Bruno Latour adalah bahwa semua pelaku sama
dalam jaringan. Tidak memperhatikan struktur yang sudah ada
sebelumnya, kekuasaan misalnya. Sebaliknya, melihat struktur ini
sebagai muncul dari tindakan pelaku dalam jaringan.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa temuan
sebuah hasil teknologi, tidak lahir tunggal atas tindakan sendiri seorang
ilmuwan, melainkan ada aktor lain, baik manusia maupun nonmanusia
yang menyertainya untuk bertindak sebagai suatu keseluruhan.
Pemahaman itulah, kemudian menjadi turunan ketika sebuah produk
teknologi dimanfaatkan oleh manusia, teknologi sebagai artefak atau
terlihat berbentuk fisik, dan teknologi practice atau bagaimana manusia
menggunakannya. Pemahaman praktik teknologi sebagai sebuah
jaringan aktor, aktor manusia dan nonmanusia membentuk satu
kesatuan utuh. Bila ada salah satu aktor rusak, pemanfaatan sebuah
produk teknologi pun, menjadi pertimbangan lain, aktor lain cenderung
berhenti.

122
Wiebe Bijker E. (lahir 19 Maret 1951, Delft) adalah seorang profesor Belanda, ketua
Departemen Ilmu Sosial dan Teknologi di Universitas Maastricht di Belanda.
246 Nasbahry Couto & Indrayuda
b. Penutup
Teori jaringan aktor adalah pendekatan interdisipliner pada studi
ilmu-ilmu sosial dan studi teknologi. Actor-Network-Theory atau sering
disingkat ANT yang digagas oleh Latour, sebenarnya (sampai
sekarang) telah berevolusi sangat jauh dan berkembang. ANT dipakai
oleh berbagai bidang pengetahuan, termasuk bidang seni dan teknologi.
Menurut Latour pada awalnya (konsep ini) belum menjadi teori atau
setidaknya belum pernah dimaksudkan untuk menjadi sebuah teori.
Menurut penulis, dengan memahami teori ini dan atau
menggunakan teori ini, kita akan mengetahui mengapa jaringan seni
tertentu dapat berkembang dan jaringan seni lainnya mati dalam suatu
masyarakat. Kita juga akan mengetahui bahwa lembaga-lembaga seni
seperti sekolah seni, perguruan tinggi seni, Taman Budaya, Museum,
dapat berperan dalam sebuah jaringan dan multijaringan, yang akan
menunjang hidupnya seni, seniman dan karyanya, dan sekaligus
menghidupkan seni budaya dalam masyarakat.

Seperti Howard S. Becker, Niklas


Luhmann menulis hanya satu buku
sosiologi seni, lainnya sosiologi dengan
konteks tertentu, meskipun tulisan ini
sangat menye-luruh dan luas tentang
dunia seni, di antara sajian yang sangat
luas itu dia menemukan kohesi yang
kuat dalam teori-sistemnya. Dia dididik
sebagai ahli hukum, ia memulai
kariernya sebagai seorang sarjana pada
tahun 1960, dengan publikasi di bidang
hukum dan organisasi pemerintahan.
Sudah dalam judul mereka bekerja sistem-pendekatannya teori dapat
dilihat: Funktionen und Folgen formaler Organization (1964),
Grundrechte als Lembaga (1965) dan Zweck-begriff und
Systemrationalität (1968). Baris ini penyelidikan berakhir di sintetik
studi Das nya Recht der Gesellschaft (1993). Antara 1970-an sampai
247
1980-an, bagaimanapun, dia bekerja keluar pikiran umum nya,
diuraikan di Soziale Systeme. Grundriss einer algemeinen Theorie
(1984), dalam studi yang sangat komprehensif tentang sistem agama
(1977), sistem pendidikan (1979), sistem ekonomi (1988) dan,
akhirnya, sistem seni, berjudul Die Kunst der Gesellschaft (1995)
(diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Seni sebagai Sistem
Sosial, 2000). Publikasi terakhir adalah yang paling penting untuk
menemukan kontribusi kemungkinan Luhmann terhadap studi ini,
lebih-lebih karena dalam buku ini ia sekali lagi menyajikan dan
sebagian update pandangan umumnya pada sistem sosial, yang
dikembangkan pada tahun 1984.
1. Pendahuluan
Dalam suatu debat dengan salah
seorang teoretikus sosial terkemuka
Jerman, Jürgen Habermas, Niklas
Luhmann pernah berkata, ―Seluruh
analisis Anda mengenai teori
diskursus untuk mencapai konsensus
tidaklah relevan dan tidak pernah
dapat diterapkan!‖.
Mendengar kritik semacam
itu, Habermas pun
menjawab, ―Seluruh Die Kunst der Gesellschaft analisis
teori sistem yang Anda (1995), diterjemahkan sebagai bangun
tidak akan pernah bisa Art as Social System, (2000), menjadi
landasan teoretis bagi cita- oleh Niklas Luhmann, Eva M. cita
emansipatoris!‖ Kiranya, Knodt ISBN 0804739072 (0-
8047-3907-2),Softcover,
perdebatan panas ini Stanford University Press.
menunjukkan posisi teoretis
masing-masing pemikir. Habermas dan Luhmann memang berada di
kutub pemikiran yang berbeda.
Habermas masih mengandaikan bahwa manusia memiliki
kebebasan dengan kebe-basan itulah ia mengonstruksikan dan mengu-
bah dunianya ke arah lebih baik. Analisis Habermas memang sudah

248 Nasbahry Couto & Indrayuda


terdengar familiar di telinga kita. Akan tetapi, pemikiran Luhmann
masih terdengar asing di tengah dunia pemikiran di Indonesia. 123
Niklas Luhmann adalah salah seorang teoretikus sosial terkemuka
di Jerman. Teorinya sendiri berangkat dari keterbatasan teori-teori
sosial pada zamannya.124 Ia berpendapat bahwa masyarakat dewasa ini
telah sampai pada satu titik, di mana sistem sosial politik masyarakat
justru bisa mengatur dan membentuk dirinya sendiri dengan cara-cara
yang tidak dapat diramalkan.
Dengan kata lain, sistem sosial berubah menjadi suatu bentuk
organisme yang cukup diri, dan bahkan bisa membentuk dirinya sendiri
terlepas dari peran individu-individu di dalamnya. Teori-teori
tradisional, terutama yang masih mendasarkan diri pada konsep-konsep
filosofis klasik, seperti pada strukturalisme, hermeneutika, dan filsafat
analitis, ―tidak dapat menghalangi proses erosi yang disebabkan oleh
modernitas…‖125 Teori-teori
tersebut gagal membedah kompleksitas dunia sistem sekarang ini,
ataupun mengajukan alternatif solusi atas berbagai krisis yang terjadi.
126

Luhmann melihat gejala ini. Akan tetapi, tidak seperti Habermas,


ia menolak untuk menggambarkan semua situasi ini dalam analisis
negatif, seperti krisis legitimasi (legitimation crisis) ataupun krisis
komunikasi. Ia mau mencari cara baru untuk menanggapi kompleksitas
ini. Ia juga tidak setuju dengan analisis para teoretikus posmodern yang
melihat semua ini sebagai suatu gejala matinya narasi-narasi besar
(grand narrative). Bagi Luhmann sendiri, berakhirnya apa yang disebut

123
Lihat: http://rumahfilsafat. com/2010/01/03/teori-sistem-masyarakat-niklas-
luhmann/
124
Lihat, Eva M. Knodt, ―Foreword‖, dalam Niklas Luhmann, Social Systems,
California: Stanford University Press, 1995, hal. x. ―But the questions remain. The
need for more pertinent analyses of today‟s complex social reality and the
correponding demand for methodologies that can “illmuniate convergences between
disclipines”. ”
125
Knodt, 1995, hal. xi. “. . seperti hermeneutika, strukturalisme, dan filsafat analitis
tidak mampu menghentikan erosi kepercayaan modernitas dalam deskripsi diri
sendiri-…”
126
Lihat: Luhmann, Niklas, Social Systems, California: Stanford University Press,
1995, Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, Cambridge,
Cambridge Univ Press, 1992.
249
sebagai narasi besar bukanlah sebuah akhir dari teori, melainkan
tantangan bagi teori-teori itu sendiri, yakni suatu undangan untuk
―membuka diri terhadap perkembangan teoretis di dalam beberapa
displin yang, selama beberapa waktu, secara sukses bekerja sama
dengan model sibernetik yang tidak membutuhkan fiksi ataupun
pengamat eksternal. 127

Gambar 34 Kategori/Klassifikasi dari sistem menurut Luhman, (1984:16),


sumber: Maanen, (2009:107)

Luhmann adalah seorang sosiolog, dan terus menganggap dirinya


sebagai seorang sosiolog. Ia ingin mengkaitkan refleksinya tentang
masyarakat dengan berbagai teori lainnya, seperti fisika modern, teori
informasi, teori sistem klasik, neurofisiologi, dan sains lainnya. Dengan
intensinya itu, teori sosial klasik yang cenderung ahistoris dan
mekanistis ala Newton akan digantikan dengan refleksi yang lebih
bersifat rekursif (recursive), yakni teori yang menekankan
perkembangan nonlinear, serta tidak dapat diramalkan mekanismenya.
Di dalam teori multidispliner semacam itu, pengamat dan objek yang
diamati tidak lagi dibedakan secara jelas. Luhmann sendiri sangat
dipengaruhi teori fisika modern (modern physics). Fisika modern
memiliki tendensi dasar untuk merumuskan suatu teori besar yang

127
Ibid “…Bagi Luhmann, akhir metanarasi tidak berarti akhir dari teori, tetapi
sebuah tantangan untuk teori, undangan untuk membuka diri terhadap
perkembangan teoretis dalam sejumlah disclipines yang, untuk beberapa waktu,
telah berhasil bekerja dengan model cybernetic bahwa tidak ada lagi memerlukan
fiksi pengamat eksternal. . ”
250 Nasbahry Couto & Indrayuda
mampu menjelaskan seluruh alam semesta. 128 Sintesis antara teori
sosial dengan refleksi fisika modern adalah suatu bentuk perubahan
pendekatan teori-teori sosial yang menjadi latar belakang pemikiran
Luhmann. Pertanyaan yang menjadi kegelisahannya yang paling
mendasar adalah mungkinkah dan sejauh manakah perkembangan sains
abad kedua puluh dapat digunakan untuk merefleksi realitas sosial yang
menjadi objek kajian teori-teori sosial?
Di dalam bukunya yang berjudul Social Systems, ia mengajukan
jawaban yang menyeluruh dan mendalam terhadap pertanyaan ini. Ia
tidak mau menggunakan analisis-analisis krisis untuk melihat realitas
sosial, seperti yang dilakukan Habermas dengan teori krisis
legitimasinya, tetapi merumuskan teori yang dapat menggali seluruh
kemungkinan yang ada dari sains modern (modern science) untuk
merefleksikan realitas sosial. Buku ini berjumlah 627 halaman. Di
dalamnya, ia menyediakan semacam landasan teoretis untuk melihat
masyarakat modern sebagai sistem-sistem komunikasi yang kompleks
yang mendiferensiasi dirinya sendiri ke dalam subsistem-subsistem
yang saling terhubung. Setiap sistem ini memproduksi dirinya sendiri
secara rekursif dengan dasar logika internalnya sendiri. Setiap sistem
melihat dirinya sendiri, tetapi selalu dari sudut pandang internalnya
sendiri. ‗Tidak ada‖, demikian tulis Knodt, ―titik Archimedes yang
melihat semua jaringan termasuk ke dalam pengetahuan yang
mencangkup semua. ‖ Analisis semacam ini adalah ciri khas Luhmann.
Seperti semua teori yang memiliki tendensi universal lainnya, analisis
Luhmann ini menekankan universalitas dari klaim-klaim yang
dibuatnya. Hal ini tidak berarti bahwa teori ini mengklaim
kebenarannya yang ultim dan tidak terpengaruh kultur serta sejarah. Ia
menekankan bahwa teori sistem umum haruslah merefleksikan semua
yang terkait dengan dunia sosial, termasuk teori itu sebagai bagian dari
realitas yang dianalisisnya. Salah satu yang khas dari pemaparan

128
Bdk, Stephen Hawking, A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes,
New York, 1988, hal. 12, seperti dikutip Knodt, 1995, hal. Xii. Knodt menulis, “. .
Fisika modern terus bermimpi akan adanya sebuah teori terpadu besar yang akan
menjelaskan fisik alam semesta secara keseluruhan dan teorinya. . ”
251
Luhmann dibuku itu adalah keinginannya ―mengatur perbedaan melalui
konsep-konsep. ‖129

Gambar 35. Detail kategori/klassifikasi dari sistem berdasarkan tulisan


Luhman, (1984, 1995, dan 1997), sumber Hans van Maanen (2009:108)

Tulisan ini adalah sebuah pengantar ke dalam teori sistem Niklas


Luhmann, terutama pada bukunya yang berjudul Social Systems. Untuk
mengantarkan pembaca pada beberapa tesis pokoknya. Penulis
mengikuti uraian Eva Knodt di dalam pengantar Social Systems. Untuk
itu, penulis akan menjabarkan pengantar tersebut ke dalam empat
bagian. penulis akan menjelaskan riwayat hidup dan intelektual
Luhmann. Lalu, penulis akan menjelaskan tentang makna kompleksitas
di dalam teori sistem, autopoiesis autopoiesis dalam kaitannya dengan
komunikasi, landasan epistemologi dan konsep modernitas di dalam
teori sistem. Seluruh tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan.
2. Riwayat Luhmann dan Pemikirannya
Niklas Luhmann lahir di Lüneburg, Jerman, pada 1927. Ia meraih
gelar sarjana hukum dari Universitas Freiburg pada 1949. Akan tetapi,
ia sendiri tidak bertahan lama menggeluti bidang ini. Pada 1955, ia
mulai berkarier di bidang politik. Selama masa itu, pada waktu

129
Niklas Luhmann, Archimedes und wir: Interviews, Dirk Baecker dan Georg
Stanitzek (ed), Berlin, 1987, hal. 260, seperti dikutip oleh Knodt, 1995, hal. xiii. “. .
Luhmann sendiri lebih suka berbicara tentang kemampuan untuk mengontrol
heterogeneties melalui konsep …”
252 Nasbahry Couto & Indrayuda
senggangnya, ia banyak membaca tulisan-tulisan Descartes, Kant,
Husserl, serta teori-teori sosial fungsionalis dari Malinkoswski dan
Radcliff-Brown. Sampai saat itu, ia tidak pernah berpikir untuk bekerja
di bidang akademik. Pada 1960, ia mengambil cuti setahun untuk
mengambil kuliah yang dibimbing oleh Talcott Parsons di Harvard. Hal
ini tampak sangat berkesan baginya. Kembalinya dari Harvard, ia
memutuskan untuk menghentikkan kariernya di bidang politik dan
bekerja di bidang akademik untuk mengejar ketertarikan intelektualnya.
―Sebagai seorang sosiolog‖, demikian tulisnya pada suatu kesempatan,
―Saya bisa melakukan apa pun tanpa harus terjebak pada satu tema
yang partikular130‖. Pada 1965–1968, ia menjabat sebagai staff di
Administrative Science di Speyer, Institute of Social Research di
Dortmund dan Universitas Münster. Sampai pensiunnya pada 1993, ia
mengajar di Universitas Bielefeld.
Pada awal dekade 1970-an, Luhmann dikenal sebagai seorang
kritikus yang sangat tajam terhadap teori sosial Jürgen Habermas,
teoretikus dari Mazhab Frankfurt. Sebuah karangan bersama pun
diterbitkan pada 1971 dengan judul Theory of Society or Social
Technology: What Does Systems Research Accomplish?. Buku itu
terjual lebih dari 35. 000 kopi hanya dalam beberapa tahun. Buku ini
pun dikenal sebagai ‗pertempuran‘ intelektual antara Frankfurt dan
Bielefeld yang juga sebagai simbol polarisasi antara Gerakan Kiri Baru
dan apa yang disebut sebagai Gerakan Neo Konservatif Antipencerahan
di Jerman. Habermas mengkritik Luhmann dengan menyatakan bahwa
teorinya bersifat teknokratik-fungsionalis yang menutup semua
kemungkinan bagi politik emansipatoris. Sementara, Luhmann melihat
teori Habermas tentang etika diskursus yang berorientasi pada
konsensus tidaklah memadai untuk menanggapi berbagai problematika
di dalam masyarakat kompleks postindustrial yang terdiferensiasi.
Berbagai kritik dari para pemikir Kiri Baru terus dilontarkan terhadap
pemikiran Luhmann. Akan tetapi, teori sistem tetap berkembang
sebagai salah satu teori sosial terkemuka sampai sekarang, dan bukan
hanya sekedar teori yang membenarkan dominasi borjuis, seperti yang
diklaim para teoretikus kiri.

130
Ibid, hal. 141, dalam Knodt, ibid, “…sebagai seorang sosiolog, seseorang bisa
melakukan apa saja tanpa terbatas pada topik tertentu …”
253
Pada pertengahan dekade 1980-an, pendulum mulai bergerak, dan
penerimaan publik atas pemikiran Luhmann memasuki fase kedua.
Dunia intelektual Jerman mulai menerima apa yang disebut Luhmann
sebagai ―teori sosial yang dirumuskan secara solid‖. Dengan terbitnya
buku Social Systems, pemikirannya pun dapat diakses oleh publik yang
lebih luas. Lebih jauh dari itu, ia juga merumuskan suatu perubahan
paradigma di dalam teorinya sendiri yang ditandai dengan
berkurangnya pengaruh teori struktural-fungsionalis yang dirumuskan
oleh Parsons, serta peralihannya ke model-model teori yang
dikembangkan di dalam biology of cognition dan teori-teori sibernetik.
Kebuntuan analisis teori-teori posmodern juga menciptakan semacam
kebutuhan akan teori-teori masyarakat yang lebih kompleks dan
menyeluruh. Luhmann pun terus memperluas teori sistemnya. Ia
menulis buku-buku lain, seperti Ecological Communication, The
Economy of Society, The Sociological Risk, sehingga ia pun
mendapatkan perhatian serius dari lingkaran intelektual Jerman, baik di
dalam atau di luar displin sosiologi. 131
Selama waktu-waktu itu, penerimaan dunia intelektual atas
pemikirannya memasuki fase ketiga, yang ditandai dengan semakin
kuat ketertarikan dan kepedulian publik terhadap latar belakang teoretis
dari karya-karya Luhmann. Ia pun terlibat di dalam perdebatan tentang
―pembalikan autopoietic‖ di dalam ilmu-ilmu sosial bersama dengan
Maturana, Foerster, dan Varela. Seluruh perdebatan ini dikenal dengan
nama ―diskursus konstruktivisme radikal‖ yang mendominasi panggung
intelektual Jerman pada waktu itu. Pada hakikatnya, diskursus ini
bersifat mutldispliner dan sama sekali tidak homogen. Konstruktivisme
radikal sama sekali bukan suatu teori utuh dan satu, melainkan berbagai
analisis yang menyelidiki masyarakat dari macam-macam sudut dan
dengan konteks yang juga bervariasi. Walaupun berbeda, semua teori
itu berkaitan dengan ―pembalikan autopoietic‖. 132

131
Lihat, Knodt, xv. “…sebagai Luhmann terus mengelaborasi teori sistem sosial
dalam arah teori masyarakat modern . . . karyanya mulai mendapat perhatian serius
di kalangan akademisi di luar dan sosiologi …”
132
Bdk, ibid “…'Konstruktivisme radikal' label -sebuah mata uang oleh physchologist
kognitif . . . tidak berdiri untuk sebuah doktrin tunggal atau teori terpadu, namun
mengacu pada tubuh tumbuh sastra yang menggali, dari sudut yang berbeda dan
254 Nasbahry Couto & Indrayuda
Secara literer, autopoiesis berarti penciptaan diri sendiri. Kata ini
berasal dari kata Yunai auto yang berarti diri dan poiesis yang berarti
penciptaan atau produksi. Kata ini pertama kali diperkenalkan oleh
biolog asal Chile, yakni Francisco Varela dan Humberto Maturana pada
1973. Sesuatu yang bersifat autopoiesis berarti sesuatu (dalam arti satu
dan utuh) yang diatur sebagai jaringan dari proses-proses produksi dari
bagian-bagian yang ―melalui interaksi di antara mereka dan perubahan
yang berkelanjutan terus mereproduksi dan menyatadi proses jaringan
yang memproduksi mereka; membentuknya sebagai satu kesatuan yang
konkret di dalam ruang di mana mereka berada dengan mengkhususkan
ranah realisasinya seperti jaringan‖. 133 ―Ruang‖, demikian tulis
mereka, ―yang didefinisikan oleh sistem yang autopoiesis bersifat
cukup diri dan tidak dapat digambarkan menggunakan dimensi yang
mendefinisikan ruang lainnya. ‖134
Contoh yang paling jelas untuk menggambarkan apa yang
dimaksud dengan sistem yang bersifat autopoiesis adalah sel-sel
biologis makhluk hidup. Sel-sel eukaryotic, misalnya, terdiri atas

dalam berbagai konteks, satu set terkait dengan gagasan masalah autopoietic
tertutup …”
133
Maturana dan Varela, 1980, hal. 78. Coba lihat buku ini Maturana, Humberto &
Varela, Francisco ([1st edition 1973] 1980). autopoiesis and Cognition: the
Realization of the Living. Robert S. Cohen and Marx W. Wartofsky (Eds. ), Boston
Studies in the Philosophy of Science, New York, Oxford University Press, dalam
http://en. wikipedia. org/wiki/ autopoiesis “…Autopoiesis literally means "auto
(self)-creation" (from the Greek: auto – αυτό for self-and poiesis – ποίησις for
pembuatan atau produksi) dan menyatakan dialek mendasar antara struktur dan
fungsi. Istilah ini awalnya dierkenalkand oleh ahli biologi Chilean Humberto
Maturana dan Francisco Varela in 1973. . ”
134
Ibid, hal. 89. “…"Sebuah mesin autopoietic adalah mesin terorganisir (didefinisikan
sebagai satu kesatuan) sebagai jaringan proses produksi (transformasi dan
kehancuran) dari komponen yang: (i) melalui interaksi dan transformasi terus
menumbuhkan dan mewujudkan jaringan proses (hubungan) yang diproduksi
mereka, dan (ii) hal (mesin) sebagai kesatuan nyata dalam ruang di mana mereka
(komponen) yang ada dengan menentukan domain topologi realisasinya seperti
jaringan "(Maturana, Varela, 1980, hal 78. . ) . . . "[. . . ] ruang didefinisikan oleh
sistem autopoietic yang mandiri dan tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan
dimensi yang mendefinisikan ruang lain. Ketika kita merujuk pada interaksi kita
dengan sistem autopoietic beton, namun, kami memproyeksikan sistem ini pada
ruang manipulasi dan membuat deskripsi proyeksi ini. " Sebagaimana dikutip di
dalam http://en. wikipedia. org/wiki/Autopoiesis
255
berbagai komponen biokimia, seperti asam nucleid dan protein.
Komponen tersebut diatur di dalam sebuah struktur dengan sel lainnya,
seperti sel nukleus, berbagai bentuk organelles, membran sel, dan
cytoskeleton. Semua struktur ini menghasilkan komponen-komponen
yang nantinya akan membantu mengatur struktur yang pada awalnya
justru membentuknya. Sistem yang bersifat autopoiesis seringkali
dikontraskan dengan sistem allopoietis, yang kedua ini dapat dilihat
pada pabrik mobil yang menggunakan material ataupun komponen
untuk membuat mobil (struktur yang terorganisir) yang berbeda dari
dirinya sendiri. Secara umum, kata autopoisesis seringkali ditujukan
pada suatu struktur-struktur yang tertata dan tetap stabil dalam jangka
waktu yang lama lepas dari masuk dan keluarnya energi ke dalam
struktur tersebut.
Dari sudut pandang ini, autopoiesis dapat diartikan sebagai
pengorganisasian diri sendiri (self-organization). Luhmann menerapkan
konsep ini dalam kerangka analisis sosiologi, sehingga berkembang
menjadi teori sistem. Ia sendiri merasa skeptis dengan perkembangan
dari diskursus ini, terutama karena banyak sekali pihak yang ingin
menyederhanakan refleksi yang ada di dalam diskursus tersebut untuk
menerbitkan publikasi yang lebih mudah dijual. Tidak ada hal lain yang
lebih ―menganggu‖ dia dari komodifikasi instan atas teori-teori sistem
yang dirumuskan sebelumnya. 135Ketika suatu teori dikomodifikasi
untuk memperoleh produk instan yang mudah terjual, simplifikasi,
reduksi, dan kesalahpahaman pun tidak terhindarkan. Untuk menentang
arus komodifikasi itu, Luhmann tetap teguh melanjutkan refleksi teori
sistemnya dengan penekanan pada titik tolak pengamat yang netral.
3. Kompleksitas di dalam Teori Sistem
Karyanya yang paling banyak diacu, adalah Social Systems. Social
Systems adalah buku yang sulit dibaca, sangat ambisius di dalam ruang
lingkup analisisnya dan memiliki tingkat abstraksi yang sangat tinggi.

135
Luhmann, 1987, hal. 93, seperti dikutip dalam Social Systems, hal. xv-xvi. “. . tidak
ada yang lebih 'mengganggu' kepadanya daripada komodifikasi instananeous ide-
ide baru dalam hal apa yang telah dipikirkan sebelumnya …”
256 Nasbahry Couto & Indrayuda
136
Analisisnya melintasi dan bahkan melampaui, berbagai displin ilmu
untuk memperoleh perangkat konseptual guna menganalisis berbagai
problematika sosial yang ada di dalam masyarakat. Gaya menulis dan
alur buku tersebut mirip dengan sistem filsafat idealisme yang
dirumuskan oleh Hegel. Jika Hegel memulai dan mengakhiri sistemnya
dengan kesatuan yang menuju sintesis universal, Luhmann justru
memulai dan mengakhiri teori sistemnya dengan perbedaan
(difference). Proses membaca Social Systems untuk pertama kali adalah
proses yang sangat melelahkan, kecuali pembacanya memiliki
―kesabaran, imajinasi, kemampuan intelektual, dan rasa penasaran yang
mencukupi untuk mengadopsi sikap eksperimental. ‖137
Untuk menghindari penafsiran yang salah atas buku tersebut, kita
harus terlebih dahulu mengerti tujuan utama permusan karya itu. Social
Systems tidak bertujuan untuk melakukan analisis sosiologis ataupun
merumuskan teori tentang masyarakat (Gesellschaftstheorie), tetapi
hendak mengelaborasi kerangka konseptual atas teori-teori masyarakat
tersebut. Social Systems menyediakan suatu instrumen konseptual untuk
mengamati berbagai gejala yang ada di dalam realitas sosial, seperti
masyarakat, organisasi-organisasi, dan interaksi-interaksi yang terjadi
di dalamnya. Dengan kata lain, teori sistem hendak mempertanyakan
kondisi-kondisi kemungkinan bagi analisis tentang dunia sosial138.
Tidak seperti yang dilakukan oleh Kant, teori sistem Luhmann tidak
menganalisis subjek yang mengetahui, tetapi berpaling pada realitas
sosial yang memiliki karakter penentuan dan pengaturan dirinya sendiri
yang dapat diamati secara inderawi. Fokus dari seluruh analisis teori
sistem adalah problematika kompleksitas sosial yang dilihat dari satu

136
Lihat, Knodt, 1995, hal. xvi. “. . Sistem sosial, sebagai Diakuinya Luhmann, adalah
sebuah buku yang sulit, ambisius dalam lingkup dan tidak kenal lelah dalam
abstraksi yang …”
137
Luhmann, 1987, hal. 128, seperti dalam Social Systems, hal. xvi. “…Membaca
Sistem Sosial untuk pertama kalinya dapat menjadi cukup pengalaman
menjengkelkan kecuali pembaca memiliki cukup kesabaran, imajinasi, kecerdasan,
dan rasa ingin tahu. Knodt mengutip dari wawancara dengan Luhmann, Archimedes
un Wir, op. cit.
138
Knodt, 1995, hal. xvii. “In positing a difference between „what‟ questions and „how‟
questions, the theory of social systems situated itself with…. a level a abstraction
where, . . to speak in Kantian sense, questions concerning conditions of possibility
arise…”
257
subsistem yang bersifat partikular, yakni dari ilmu-ilmu (Wissenschaft).
139

Luhmann mendefinisikan apa yang dimaksud kompleksitas


(complexity) dengan dua konsep, yakni antara sistem yang saling terkait
dengan elemen-elemen ataupun sistem-sistem di sekitarnya, dan yang
keterkaitan tersebut tidak lagi menjadi signifikan. Di dalam analisis-
analisis teori-teori informatika, kompleksitas sistem tidak lagi dapat
diteropong melalui keterkaitannya dengan sistem ataupun dengan
lingkungan (sesuatu yang di luar sistem), tetapi dengan keseluruhan
sistem itu sendiri. Kompleksitas selalu membutuhkan pemilahan untuk
dapat dimengerti dan pemilahan seringkali menciptakan reduksi.
Reduksi ini adalah reduksi kompleksitas melalui pembedaan, yakni
pembedaan antara sistem pada satu sisi, dan lingkungan (environment)
pada sisi lain. Luhmann menyebut pembedaan ini sebagai ‗pembedaan
kompleksitas‘ (komplexitätgeffälle) antara sistem dan lingkungan.
Pembedaan ini sangatlah penting. Tanpanya, tidak ada yang disebut
sebagai sistem sosial yang memiliki cirinya masing-masing, yang ada
hanyalah kekacauan. Kebutuhan akan sistem yang dapat dipilah dan
dibedakan dengan lingkungan tersebut mirip dengan metafora sistem
fisik psikologis manusia. Keadaan psikis manusia yang terlalu
kompleks akan cenderung menjadi patologis. Artinya, manusia akan
mengalami ketidakmampuan untuk membuat keputusan, melakukan
kerja-kerja yang sederhana, ataupun berperan di dalam kehidupan
bermasyarakat. ―Apa yang kita sebut sebagai kegilaan‖, demikian tulis
Knodt di dalam pengantar buku Social Systems, ―tidak lain adalah
kompleksitas yang berlebih di dalam sistem-sistem psikis yang tidak
dapat membedakan lagi dirinya dari lingkungannya. ‖140
Dengan demikian kemampuan untuk mereduksi kompleksitas
dapat juga dianggap sebagai mekanisme perlindungan diri (defense
mechanism) dari sistem tersebut. Reduksi juga memungkinkan sistem

139
Di dalam bahasa Jerman, Wissenschaft mengacu baik pada ilmu-ilmu alam atau
ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Lihat, Ibid, hal. 493, dalam Social
Systems, hal. xvii. “Mereka fokus pada masalah-masalah spesifik sosial-
kompleksitas dari dalam salah satu dari subsytems tertentu masyarakat, ilmu …”
140
Knodt, 1995, hal. xvii-xviii. “Apa yang kita sebut 'kegilaan' tidak lebih dari
kompleksitas hiper-sistem psikis yang tidak bisa lagi membedakan diri dari
lingkungan mereka. . ”
258 Nasbahry Couto & Indrayuda
untuk mengatur dimensi internalnya sendiri, sehingga kompleksitas
yang tidak tertata dapat diubah menjadi kompleksitas yang tertata
(organized complexity). Seperti sudah disinggung sebelumnya,
kompleksitas membutuhkan pemilahan. Pemilahan tentu menyediakan
kemungkinan-kemungkinan pembedaan dan kemungkinan itu tentunya
mengandaikan adanya resiko. Kemungkinan selalu sudah
mengandaikan adanya resiko (risk). Pilihan yang tidak tepat dari
berbagai kemungkinan akan membuat sistem hancur. Tantangan
terberatnya tentu saja adalah sulitnya memberikan definisi-definisi yang
koheren terhadap kompleksitas masyarakat tersebut. Kompleksitas
tidak pernah sungguh dapat diamati dan dipilah-pilah. Setiap upaya
memahami kompleksitas sudah selalu mengikutsertakan proses reduksi,
yakni mengubah kompleksitas yang tidak terorganisir menjadi
teorganisir. Oleh karena itu, proses reduksi haruslah dilakukan dengan
perhitungan-perhitungan yang bersifat strategis, yakni ―dengan mata
yang melihat potensi perkembangan dari kompleksitas teoretis141. ‖
Artinya, seorang analis harus siap menerima bahwa ia adalah bagian
dari objek yang dianalisis, dan objek yang dianalis tidak bisa
diramalkan perkembangan ataupun perubahannya.
Social systems dimulai dengan sebuah pernyataan ontologis yang
sederhana, yakni ―sistem-sistem itu ada. ‖ Sistem juga dibedakan
dengan lingkungan. Pembedaan ini berfungsi sebagai ―pembedaan
untuk membimbing‖ (leitdifferenz). Pembedaan ini dapat ditemukan di
dalam berbagai analisis teori sistem, seperti analisis waktu, tentang
makna, dan tentang komunikasi. Bahkan, teori sistem juga menjadikan
dirinya sendiri sebagai objek analisis. Dengan kata lain, teori sistem
membentuk analisis tentang berbagai konsep yang saling berkaitan
dengan berbagai cara, sehingga dapat digunakan untuk menganalisis
fenomena sosial.
Konsekuensinya, teori sistem memiliki karakter yang kontingen
dan dapat digunakan untuk menganalisis berbagai macam hal secara
fleksibel. ―Luhmann‖, demikian tulis Knodt di dalam foreword buku
tersebut, ―secara eksplisit mengajak pembacanya untuk bereksperimen

141
Ibid, hal. xviii. “Untuk mengatasi masalah ini, teori harus melakukan pengurangan
dalam cara yang strategis, yaitu, dengan mata ke arah potensi kenaikan
kompleksitas teoretis. . ”
259
dengan teorinya dan merumuskan dengan cara-cara yang dapat
menampung berbagai dan secara progresif membuka pertanyaan dan
menjelajah pertanyaan-pertanyaan yang ada. ‖142 Ia bahkan
mencontohkan bagaimana suatu bab kesimpulan di dalam suatu buku
sebagai titik tolak awal bagi analisisnya. Artinya, tulisan-tulisan
Luhmann membentuk pola-pola yang sirkuler, di mana akhir analisis
justru adalah titik awal bagi analisis serupa yang lebih mendalam.
Pendekatan semacam inilah yang banyak dipraktikkan pada karya-
karya akhirnya.
Buku Social Systems dapat digambarkan sebagai ―sebuah labirin
pemikiran dan bukan sebuah jalan bebas menuju matahari terbenam.
‖143 Sebuah pengantar pun tidak akan dapat mengupas tuntas seluruh
pemikiran Luhmann di dalam buku itu, terutama karena tidak mengupas
tuntas itu sendiri sama sekali berlawanan dengan tujuan penuliasan dari
buku itu ditulis. Maksimal, pengantar dapat berfungsi sebagai pemandu
bagi pembaca, sehingga mereka dapat menempatkan analisis Luhmann
di dalam kerangka perbandingan dengan tradisi-tradisi pemikiran
lainnya, yang paling jelas, seluruh analisis Luhmann dirumuskan di
dalam pengaruh refleksi sosiologi yang dibuat oleh Emile Durkheim
dan Talcott Parsons yang banyak dikenal sebagai teori fungsionalis.
Tradisi ini berupaya menjelaskan fakta-fakta sosial dengan tidak
memperhitungkan peran aktor-aktor individual, sehingga individu
hanya dianggap sebagai bagian dari keseluruhan fakta sosial tersebut.
Di samping itu, Luhmann juga dipengaruhi oleh tradisi filsafat
kesadaran Kant dan Hegel serta beberapa aspek dari pemikiran
posmodern. Akan tetapi, teori sistem kemudian mengkritik tradisi
filsafat ini dengan menggunakan kerangka konseptual dari teori-teori
sains yang bersifat autopoetic, yakni teori-teori yang digunakan untuk
mengamati fenomena-fenomena yang bisa membentuk dan

142
Ibid, hal. xix. “Luhmann eksplisit mengajak pembaca untuk bereksperimen dengan
teori dan menyajikan sedemikian rupa untuk fascilitate rekombinasi dengan
membangun teks dalam kecil, unit yang relatif diskrit, yang semakin membuka dan
mengeksplorasi, dengan amplifikasi lebih lanjut dan lebih lanjut, pertanyaan yang
diberikan. ”
143
Ibid, “Tidak peduli apa pendekatan yang diperlukan, namun, tidak ada jalan pintas
ada melalui buku yang 'menyerupai labirin lebih dari satu cara gratis menuju
matahari terbenam'. ”
260 Nasbahry Couto & Indrayuda
mereproduksi dirinya sendiri, yang terakhir ini adalah ciri khas
pendekatan teori sistem. Dengan demikian, teori sistem kental dengan
gaya analisis yang bersifat autopoiesis kemudian diintegrasikan dengan
tradisi-tradisi intelektual lainnya dengan cara yang tidak terduga, tetapi
luar biasa.
4. Autopoiesis
Luhmann banyak dipengaruhi oleh Humberto Maturana, terutama
pada tesisnya bahwa sistem memiliki ciri yang bersifat autopoiesis.
―suatu sistem‖, demikian Maturana, ―terdiri atas jaringan-jaringan
produksi dari komponen-komponen, yang melalui interaksinya,
membentuk dan menya-dari jaringan yang memproduksi mereka, di
dalam ruang di mana mereka ada, batas-batas jaringan sebagai
komponen yang berpartisipasi di dalam perwujudan jaringan tersebut.
‖144 Yang membedakan sistem yang bersifat autopoiesis dengan sistem
tertutup adalah karakter rekursifitasnya, yakni ―bahwa mereka tidak
hanya memproduksi dan mengganti sendiri struktur-struktur mereka,
tetapi semua yang digunakan sebagai unit di dalam sistem diproduksi
juga sebagai unit di dalam sistem itu sendiri. ‖145
Refleksi tentang teori sistem sebenarnya dapat dirunut di dalam
sejarah filsafat itu sendiri. 146 Ide tentang adanya sistem yang mampu
mengatur dan mereproduksi dirinya sendiri memiliki logika internal
bahwa adanya tujuan final dari seluruh gerak alam. Semua refleksi
semacam ini dapat ditemukan di dalam metafisika Aristoteles,
monadology tulisan Leibniz, dan Critique of Judgment-nya Immanuel
Kant. Dengan munculnya era dominasi kaum borjuis pada abad ke-18,
hampir semua teori politik, ekonomi, dan etika mulai menyelidiki
bagaimana relasi antara bagian dengan keseluruhan, yakni tentang
bagaimana individu-individu sebagai bagian dari komunitas akhirnya
144
Humberto Maturana, ―Autopoiesis‖, dalam Milan Zeleny (ed), Autopoiesis: A
Theory of Living Organization, New York, 1981, hal. 21, seperti dikutip Knodt,
1995, hal. xx. “Menurut Maturana, sistem tersebut adalah 'jaringan produksi
komponen yang rekursif, melalui interaksi mereka, menghasilkan, dan menyadari
jaringan yang memproduksi mereka dan di ruang di mana mereka ada, lingkaran
jaringan sebagai komponen yang berpartisipasi dalam jaringan. . ”
145
Luhmann, 1987, hal. 3, seperti dikutip Knodt, hal. xx. . ”
146
Knodt, 1995, hal. xxi. “. . ide dasar dari diri-organisasi adalah setua filsafat,
dengan akar mencapai kembali ke zaman antik. . ”
261
dapat membentuk komunitas bersama tanpa saling menghancurkan.
Refleksi ini banyak dikenal sebagai problem tatanan (problem of
order). Sampai sekarang, problematika tatanan tetap berada di dalam
selubung misteri yang hanya dapat dipikirkan secara spekulatif dalam
perdebatan yang panjang dan tampak tidak pernah berakhir.
Dalam kerangka perdebatan yang serupa, teori sistem banyak
dipengaruhi oleh terjadinya dua perubahan paradigma yang membuat
problematika tatanan tidak lagi sekedar spekulasi metafisika, tetapi
menjadi bagian dari penelitian saintifik. Perubahan paradigma pertama
dimotori oleh Ludwig von Bertalanffy, seorang biofisiolog dari Jerman
pada pertengahan dekade 1950-an. Ia mengganti pembedaan antara
bagian dan keseluruhan dengan pembedaan antara sistem dan
lingkungan. Pembedaan ini memungkinkan refleksi tentang
problematika tatanan berelasi dengan analisis dari displin ilmu lainnya,
seperti sibernetik, teori informasi, dan ilmu komputer. Sementara,
perubahan paradigma kedua ditandai dengan perubahan distingsi antara
sistem dan lingkungan menjadi suatu teori tentang sistem yang dapat
membentuk dan mereproduksi dirinya sendiri. 147 Prinsip pengaturan
diri ini disebut oleh Heinz von Foerster sebagai ―tatanan yang muncul
dari kegaduhan‖. 148 Penelitian tentang hal ini pun berkembang menjadi
sebuah kajian multidispliner yang melibatkan fisika, sibernetika, dan
biologi. Jika para ahli dapat menemukan kesamaan pola di dalam
gerakan atom-atom yang berkumpul, sel-sel biologis, pola pergantian
cuaca, terciptanya koloni-koloni serangga, serta pergerakan pasar, maka
mereka dapat merumuskan sebuah teori yang mampu
mengkonseptualisasi semua kesamaan itu tanpa menghilangkan
perbedaan antara fenomena yang beragam tersebut.
Luhmann ikut ambil bagian di dalam proyek multidispliner ini.
Akan tetapi, setelah melalui penelitian yang terus-menerus, proyek ini
pun mengalami halangan yang besar, terutama dari argumen yang

147
Ibid “…perbedaan sistem /Environtment didefinisikan kembali dalam teori umum
sistem diri-referensial …”
148
Heinz von Foerster, ―On Self-Organizing Systems and Their Environment‖, dalam
M. C Yovits dan S. Cameron (ed), Self Organizing Systems, London, 1960, hal. 31-
50, seperti dikutip Knodt, 1995, hal. Xxii. “…In 1960, Heinz von Foerster
memperkenalkan 'order dengan prinsip kebisingan' sebagai karakter definisi diri-
sistem organisasi diri …”
262 Nasbahry Couto & Indrayuda
menyatakan bahwa ada perbedaan yang bersifat ontologis antara
realitas kehidupan sosial manusia dengan realitas nonsosialitas
manusia. Oleh karena itu, pendekatan untuk memahaminya pun
berbeda. Setiap upaya mereduksi realitas sosial ke dalam sistem dan
fungsi selalu dicurigai sebagai timpang baik secara etis atau secara
politis. Pendekatan yang bersifat autopoiesis terhadap masyarakat pun
mendapatkan tantangan baru, pada satu sisi pertanyaan tentang
pelestarian dan reproduksi sistem beralih menjadi pertanyaan tentang
bagaimana struktur sistemik dapat digambarkan sebagai tatanan yang
timbul mencuat dari kekacauan. Dengan perkembangan ini, Luhmann
pun menolak teori Parsons yang bersifat fungsionalis. pada sisi lain,
konsep autipoiesis tidak dapat diterapkan untuk menganalisis realitas
sosial. Alasannya, jika kita sepakat bahwa masyarakat sebagai suatu
sistem sosial dibentuk oleh elemen-elemen organisme yang hidup,
yakni manusia, tidaklah mungkin menjelaskan proses reproduksi sistem
sosial tersebut tanpa menjelaskan elemen-elemen pembentuknya.
Dengan manuver teoretis yang brilian, Luhmann mengajukan
solusi atas dilema ini dengan mengkonseptualisasi ulang realitas sosial
sedemikian rupa, sehingga memungkinkan penerapan konsep
autopoiesis. Ia berpendapat bahwa premis Aristoteles yang menyatakan
bahwa sistem sosial analog dengan organisme hidup (living organism)
haruslah dilepaskan. Sistem sosial jangan dipikirkan sebagai sebuah
organisme hidup, melainkan sebagai sistem yang terdiri atas
komunikasi-komunikasi sebagai elemen terdasarnya, peristiwa-
peristiwa yang terjadi di dalam waktu, dan membentuk tatanan yang
muncul dari kompleksitas (complexity) masyarakat yang bersifat
temporal (temporality). Tentu saja, karakter temporalitas tidak hanya
dapat diterapkan di dalam analisis tentang sistem sosial, tetapi dapat
diobservasi pada proses reproduksi sel-sel tubuh, sel-sel otak, serta
perkembangan sistem psikis manusia. Akan tetapi, pola autopoiesis,
temporalitas, dan kompleksitas sistem sosial berbeda dengan sistem-
sistem biologis. Begini, proses reproduksi sel terjadi berdasarkan pada
proses-proses kimia. Otak berfungsi juga dengan berdasarkan impuls-
implus neurofisiologis. Sementara itu, sistem sosial berfungsi dan
berkembang dengan menjadikan kesadaran (consciousness) sebagai
elemen dasarnya. Kesadaran tersebut terlihat di dalam proses
komunikasi (social systems communications), dan proses komunikasi
263
membutuhkan makna (sign) untuk proses reproduksinya. Konsep
makna memiliki peranan sentral di dalam teori sistem Luhmann.
Konsep ini digunakan tidak dalam oposisi dengan
―ketidakbermaknaan‖ (meaninglessness), seperti dalam tradisi-tradisi
hermeneutika, tetapi dalam arti fenomenologis (phenomenological
sense). Artinya, konsep makna adalah sebuah kerangka kemungkinan
yang hadir di dalam semua bentuk sistem sosial. Dengan kata lain,
makna adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan sistem sosial
terbentuk dan beroperasi. Tentu saja, Luhmann tidak memaksudkan hal
ini sebagai kesadaran diri transendental yang menurut Kant menjadi
kondisi yang paling mendasar bagi terciptanya pengetahuan, tetapi
sebagai kondisi kemungkinan yang terlebih dahulu harus dipenuhi bagi
gerak empiris dari sistem sosial yang memiliki karakter autopoiesis. 149
Dengan demikian memandang masyarakat sebagai sistem berarti
memandang masyarakat sebagai proses-proses komunikasi makna yang
membentuk sebuah realitas sosial yang bersifat kompleks, temporal,
dan autopoiesis. Tesis ini tentunya mengubah seluruh konsepsi kita
tentang hakikat tindakan sosial individu, peran bahasa, dan status
subjek di dalam analisis sosiologi. Dalam hal ini, Luhmann
menggabungkan analisis fungsionalis di dalam sosiologi dengan
pendekatan fenomenologis di dalam filsafat yang dirumuskan oleh
Husserl. ―Upayanya‖ demikian tulis Knodt, ―untuk mendekatkan dua
tradisi ini membuka ruang di mana berbagai displin tradisional dapat
dipikirkan kembali dengan cara yang mungkin dapat membawa tradisi
berpikir humaniora melampaui hermeneutika dan menuju era informasi.
‖150
5. Autopoiesis dan Komunikasi
Teori sistem dapat dipandang sebagai oposisi dari analisis-analisis
hermeneutika yang banyak dikembangkan oleh Gadamer dan
Habermas. Hermeneutika mementingkan peranan subjek di dalam

149
Lihat, Knodt, 1995, hal. xxiv. “Tentu saja, titik acuan bagi Luhmann tidak lagi
subjek transendental tetapi operasi empiris diri-referensial sistem. "
150
Ibid “Namun justru upaya untuk mempertemukan kedua tradisi membuka ruang di
mana konfigurasi disiplin tradisional membuka ruang di mana disiplin tradisional
dapat dinegosiasi ulang dengan cara yang mungkin memang memimpin humaniora
melampaui hermeneutika ke dalam era informasi. ”
264 Nasbahry Couto & Indrayuda
menangkap realitas sosial dan kemudian mengintegrasikannya di dalam
pengetahuannya. Pikiran subjek bersifat konsruktif terhadap objek,
sehingga pikiran bukan hanya sekedar tabula rasa yang bersifat pasif,
melainkan elemen individu yang bersifat aktif dan produktif di dalam
membentuk pengetahuan. Akan tetapi, apakah ada cara yang paling
ideal untuk mengetahui apa yang ada di dalam pikiran individu?
Goethe, seorang sastrawan dan filsuf romantisisme dari Jerman, pernah
menulis bahwa individu dan segala sesuatu yang menempel di dalam
karakternya adalah sesuatu yang tidak terkatakan dan tidak dapat
digambarkan (the individual is ineffable). ―Kita‖, demikian tulis
Herder, seorang filsuf romatis Jerman, lebih dari satu abad yang lalu,
―berpikir dalam kebingungan tentang diri kita sendiri seperti kita dalam
sebuah mimpi di mana kita berupaya mengumpulkan satu bagian demi
bagian, memotongnya, tetapi tetap tidak selesai, . ‖151
Sejarah hermeneutika adalah sejarah kegagalan manusia untuk
melawan keraguan semacam itu. Pertama-tama, hermeneutika adalah
sebuah upaya untuk menemukan makna yang berada di balik kata-kata
(Dilthey dan Schleirmacher). Kemudian, hermeneutika menyatakan
universalitasnya dengan menunjuk bahasa sebagai elemen terdasar dari
pengalaman atau pengetahuan manusia (Heidegger dan Gadamer).
Perkembangan terakhir hermeneutika adalah perumusan tindak
komunikatif yang berdasar pada transedentalisme apriori, seperti pada
Habermas dan Apel, yang terakhir ini adalah perumusan yang ditujukan
untuk menghadapi berbagai kritik dari dekonstruksi (Derrida),
psikoanalisis (Freud), dan genealogi (Nietzsche dan Foucault). Namun,
apa itu individu tetap menjadi pertanyaan dasar yang tetap tidak
terjawab. 152

151
Johann Gottfried Herder, ―Über Thomas Abbts Schriften‖, dalam Sämtliche Werke,
Bernhard Suphan, 33 volume, Berlin, 1877-1913, vol. 2, hal. 258, seperti dikutip
Knodt, 1995, hal. xxiv. “Kami pergi bulat dengan ide yang jelas namun bingung
diri kita seolah-olah dalam mimpi yang kita ingat kadang-kadang satu bagian atau
yang lain, memotong, tidak lengkap, tanpa koneksi. ”
152
Lihat, Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, Cambridge,
Cambridge Univ Press, 1992, dalam Knodt, 1995, hal. xxv. “Pasca strukturalis
intervensi ke dalam ruang hermeneutik telah frustrasi dengan demikian, difficulity:
kritik terhadap asumsi idealisasi dari tradisi hermeneutik selalu dapat ditampilkan
untuk menegaskan, setidaknya dalam arti minim, validitas praktis justru yang
menimbulkan pertanyaan. ”
265
Teori sistem hendak melampaui keraguan tentang pengetahuan
akan individu tersebut. Teori sistem mau melepaskan analisis-analisis
tentang realitas sosial dari keraguan tentang hakikat individu yang
dianggap sebagai pembentuk masyarakat. Pengadaian tradisi
hermeneutik tentang individu yang memiliki kesadaran pun diganti
dengan refleksi tentang bagaimana suatu sistem sosial yang bersifat
autopoiesis dapat memungkinkan terjadinya perubahan. Di dalam
kerangka teori sistem, kesadaran tidaklah dianggap sebagai partisipasi
sadar dari individu pembentuk masyarakat, tetapi sebagai sesuatu yang
tumbuh mencuat di dalam proses gerak sistem sosial. Bagi Luhmann,
ketidakmampuan para filsuf merefleksikan hakikat dari kesadaran
manusia bukan lagi sebuah halangan yang harus disingkirkan dalam
merumuskan suatu teori tentang realitas sosial yang memadai,
melainkan justru sebagai kondisi kemungkinan bagi proses komunikasi
yang menghasilkan makna sebagai pembentuk masyarakat. Ia
mengubah titik tolak analisis teori-teori hermeneutika dari berfokus
pada kesadaran individu menjadi berfokus dari perspektif sosialitas
masyarakat yang menjadi ciri khas teori sistem.
Dengan tesis ini, ia menantang pengandaian-pengandaian dasar
filsafat kesadaran yang menjadi pegangan semenjak abad ke-18.
Pengandaian-pengandaian itu adalah tentang subjek yang utuh dan
otonom, pengandaian tentang realitas sosial sebagai konsekuensi
turunan dari inter subjektivitas antar individu, pengandaian bahwa
proses komunikasi adalah konsekuensi logis dari interaksi antar subjek,
pengandaian bahwa komunikasi adalah hubungan mental antara dua
kesadaran yang berbeda, dan pengandaian bahwa bahasa adalah
representasi dari realitas. 153 Untuk mengkritik semua pengandaian ini,
Luhmann banyak dipengaruhi oleh fenomenologi. Ia mengintegrasikan
fenomenologi untuk menganalisis fenomena kesadaran di dalam
kerangka sistem sosial yang bersifat autopoiesis. Di dalam kerangka ini,
makna adalah dampak dari produksi informasi. Dengan demikian,
makna dimengerti sebagai produk dari sistem struktural yang bersifat
autopoiesis yang terbentuk dari dan melalui pergerakan sistem tersebut
tanpa pernah melewati batas-batasnya, tidak ada satu pun yang dapat

153
Lihat, Knodt, 1995, hal. xxv. “…gagasan yang sesuai bahasa sebagai representasi
dari isi tersebut.”
266 Nasbahry Couto & Indrayuda
disebut sebagai subjek transendental. Seluruh analisis dan refleksi teori
sistem menolak adanya subjek otonom yang memiliki kesadaran penuh
dan bersifat transendental, yang mutlak adalah bahwa sistem itu ada
dan sistem tersebut menentukan makna atau kesadaran semua elemen
yang membentuk sistem tersebut. Manusia hanyalah salah satu elemen
yang membentuk suatu sistem sosial.
Luhmann memandang bahasa bukan sebagai medium reflektif
yang memungkinkan individu memahami dunianya, melainkan bahasa
sebagai satu elemen fungsional di dalam sistem komunikasi sosial yang
bersifat autopoiesis. Karena eksistensi sistem sosial tidak bisa
diturunkan dari keberadaan subjek yang bebas dan otonom, maka
sistem psikis manusia dan sistem sosial harus juga dipandang sebagai
sistem autopoiesis yang berbeda. Setiap sistem tersebut, yakni sistem
psikis dan sistem sosial, membatasi dirinya sesuai dengan logika
internal masing-masing sistem dan kondisi ―keterhubungan‖
(connectivity) masing-masing, yang pada akhirnya juga menentukan
apa yang membentuk lingkungan (yang bukan sistem) bagi sistem
tersebut. Tesis ini sebenarnya ingin menekankan status otonom dari
setiap sistem yang ada di dalam realitas sosial, baik itu sistem psikis
atau sistem sosial.
Sistem terbentuk dari proses komunikasi yang melibatkan makna
yang bersifat autopoiesis. Bagi Luhmann, komunikasi yang membentuk
sistem sosial adalah sintesis dari tiga elemen yaitu, informasi
(information), ungkapan (utterance), dan pengertian (understanding).
Ketiga proses memainkan peranan sentral di dalam proses komunikasi
dan pembentukan makna. karena makna adalah kondisi kemungkinan
bagi terciptanya sistem dan karena makna juga merupakah elemen yang
memungkinkan komunikasi, maka ketiga faktor di atas adalah tiga pilar
pembentuk sistem sosial.
Di dalam kerangka teori sistem, komunikasi berada di atas
kesadaran, sehingga ―komunikasi dianggap mampu mengamati
kesadaran‖. 154 Akan tetapi, pengamatan itu dilakukan dari luar, dan
dalam batas-batas logika internal sistem yang tengah diamati.
Komunikasi dan kesadaran beroperasi secara bersamaan tanpa
melibatkan yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, ketika

154
Ibid, hal. xxvii. “Komunikasi dapat mengamati kesadaran, …”
267
kesadaran dan sistem sosial benar-benar terpisah, relasi antara
keduanya dapat disebut sebagai ―interpenetrasi‖ (interpenetration)
adalah suatu konsep yang menggambarkan status interdependensi
antara sistem yang muncul bersama sebagai hasil dari proses evolusi
sistem yang kompleks. Pada titik ini, sistem sosial selalu sudah
mengandaikan sistem kesadaran dan sebaliknya. Kesadaran dapat
berpartisipasi di dalam komunikasi untuk membentuk sistem sejauh
berfungsi sebagai salah satu unsur yang berperan di dalam karakter
autopoiesisnya. Secara sederhana, kesadaran bersifat subordinat
terhadap sistem, dan justru sistem yang mendeterminasi kesadaran
individu, bukan sebaliknya. Sistem terbentuk dari jaringan-jaringan
komunikasi yang bersifat autopoiesis yang melampaui kesadaran dan
kebebasan individu.
Salah satu ciri khas pendekatan teori sistem adalah karakternya
yang menjadikan struktur sebagai subordinat dari fungsi. Artinya,
struktur berada di bawah fungsi. Hal inilah yang membedakan
pendekatan teori sistem dengan teori-teori semiotika, hermeneutika, dan
teori tindakan. Di samping itu, struktur di dalam kerangka analisis teori
sistem dipandang sebagai tatanan yang muncul (emergent order) yang
bersifat dinamis dan selalu berubah. Pendekatan teori sistem dimulai
dari pengandaian bahwa komunikasi itu bersifat kontingen. Artinya,
masyarakat itu sendiri adalah komunikasi. Komunikasi tidak dipandang
sebagai perjumpaan dua individu atau lebih untuk menyampaikan
maksud dan pendapat mereka tentang satu hal, tetapi komunikasi
sebagai esensi dari masyarakat dan sistem itu sendiri. Luhmann, di
dalam teori sistemnya, juga banyak menganalisis tentang kontingensi
ganda (double contingency). Kontingensi ganda ini adalah ―suatu
keadaan yang memiliki potensial keruntuhan yang muncul dari situasi
di mana dua kotak hitam membuat perilaku mereka menjadi kontingen
terhadap perilaku yang lainnya. ‖155 Baginya, suatu tindakan tidaklah
mungkin dilakukan jika problematika yang muncul akibat kontingensi
ganda ini tidak diselesaikan. Parsons, yang banyak pendapatnya dikritik
sekaligus menjadi inspirasi bagi analisis Luhmann, berpendapat bahwa

155
Ibid, hal. xxviii. Keadaan kelumpuhan potensial yang dihasilkan dari situasi di
mana dua kotak hitam membuat kontingen perilaku mereka sendiri atas perilaku
lainnya. ”
268 Nasbahry Couto & Indrayuda
persoalan kontingensi ganda ini dapat diselesaikan dengan mengacu
pada konsensus sosial yang sudah ada sebelumnya, seperti norma-
norma kultural, dan tradisi. Bagi Luhmann, pendapat semacam itu tidak
memadai untuk menyelesaikan problematika kontingensi ganda karena
tidak mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang kemungkinan
besar terjadi seiring dengan berjalannya waktu.
Marilah kita perjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
probematika kontingensi ganda (double contingency). Problematika
kontingensi ganda muncul karena adanya karakter proaktif dan bebas
dari makhluk hidup. Ketika makhluk hidup, manusia misalnya,
bertindak dengan pola reaktif yang klasik, maka tindakannya akan
mudah diramalkan oleh pengamat yang berada di luar dirinya.
Walaupun begitu, setiap orang, meskipun ia bertindak dengan pola-pola
yang jelas, tetap memiliki rasa ketidakpastian di dalam dirinya sendiri.
Kepastian itu hanya dapat diperoleh ketika ia mampu menegaskan
dirinya, bertindak proaktif, dan belajar untuk memprediksi situasi untuk
menghindari situasi yang tidak diinginkan. Akan tetapi, pada waktu
yang sama ketika seseorang menegaskan kepastian hidupnya,
kemampuan pengamat luar untuk meramalkan pola-pola tindakan orang
tersebut justru berkurang. Tindakan dan pola orang tersebut pun akan
menjadi tidak dapat ditebak dan menjadi semakin kompleks.
Problematika kontingensi ganda muncul ketika interaksi di antara
dua orang yang bersifat proaktif dan bebas terjadi. Begini, ketika
seseorang menjadi pribadi yang proaktif dan kemudian ia bertemu
dengan pribadi yang proaktif lainnya, ia mengalami kesulitan untuk
menebak reaksi dari lawan bicaranya karena kedua-duanya tidaklah
dapat dipastikan. Kedua orang yang memiliki pribadi yang bersifat
proaktif akan bertemu dalam situasi ketidakpastian. Dengan kata lain,
dalam situasi semacam itu, ketidakpastian adalah satu-satunya yang
pasti. ―Problematika kontingensi ganda‖, demikian Knodt, ―memenuhi
tuntutan fungsional katalistik di dalam munculnya tatanan sosial yang
terus berubah secara konstan di mana ketidakstabilan adalah satu-
satunya sumber bagi kestabilan. ‖156 Tentang hal ini, Luhmann menulis,

156
Ibid, hal. xxix. “Masalah kontingensi ganda memenuhi fungsi katalitik dalam
munculnya suatu tatanan sosial yang terus berubah ketidakstabilan adalah satu-
satunya sumber stabilitas. ”
269
―Dua kotak hitam, apa pun sebabnya berinteraksi satu sama lain.
Keduanya menentukan sikapnya sendiri dengan mengacu pada dirinya
secara kompleks di dalam batas-batasnya… keduanya mengasumsikan
yang sama tentang yang lainnya. Dengan demikian, apa pun usaha yang
mereka lakukan dan berapapun waktu yang mereka gunakan, kedua
kotak hitam tersebut tidaklah dapat dikenali. ‖157
Jadi, supaya komunikasi antara dua pribadi yang bebas dapat
terjadi, beberapa aspek yang ada di dalam keduanya haruslah
diungkapkan. Dengan kata lain, ketidakpastian kedua belah pihak
haruslah dikurangi. Akan tetapi, jika komunikasi (communication)
adalah cara untuk menyelesaikan problematika kontingensi ganda ini,
tiga elemen komunikasi, yakni informasi (information), ungkapan
(utterance), dan pengertian (under-standing) harus disintesiskan
sedemikian rupa, sehingga dapat berfungsi produktif bagi sistem yang
ada. Jika ketiga elemen tersebut dapat berfungsi produktif, komunikasi
yang membentuk sistem dapat dilaksanakan lebih jauh. Di dalam
komunikasi, pengertian (understanding) bukanlah tujuan (telos), seperti
pada teori-teori hermeneutika. Sistem bersifat autopoiesis, komunikasi
juga bersifat autopoiesis. Artinya, tujuan utama komunikasi adalah
reproduksi dirinya sendiri dan bukan mencapai saling pengertian
(mutual understanding). Masalahnya berakar pada kesalahpahaman atas
arti komunikasi itu sendiri. Di dalam teori-teori hermeneutika, terutama
Habermas dan Apel, komunikasi dipahami sebagai suatu tindakan
komunikatif yang berorientasi pada konsensus. Luhmann tidak sepakat
akan hal itu. Pertama, konsensus tidaklah dapat dicapai melampaui
lokalitas dan temporalitas karena komunikasi tetap membutuhkan
ketidaksetujuan untuk melanjutkan prosesnya. Jika konsensus universal
dapat dicapai, sistem pun akan berakhir. pada sisi lain, konsep tentang
tindakan, seperti tindakan komunikatif, tidak dapat menjadi dasar bagi
suatu teori sosial karena di dalam perspektif teori sistem, tindakan
adalah suatu akibat (effect) dan bukan sebab (cause). Oleh karena itu,

157
Luhmann, 1995, hal. 109. “Dua kotak hitam, dengan apa pun kecelakaan, datang
untuk berurusan dengan satu sama lain. Masing-masing menentukan perilaku
sendiri oleh kompleks operasi referensial diri dalam batas-batas sendiri. Setiap
menganggap hal yang sama tentang yang lain. Oleh karena itu, namun berbagai
upaya mereka mengerahkan dan waktu namun banyak yang mereka gunakan . .
kotak hitam tetap buram satu sama lain. ”
270 Nasbahry Couto & Indrayuda
teori tindakan komunikatif tidak pernah dapat menjadi dasar bagi
refleksi sosial karena masih ada penyebab yang lebih mendasar dari itu,
yakni sistem itu sendiri. Teori sistem memandang komunikasi bukan
sebagai tindakan aktif, melainkan sebagai keniscayaan, sebagai kondisi
kemungkinan bagi keberadaan sistem itu sendiri yang bersifat
autopoiesis. Jadi, komunikasi tidak pernah dapat dipahami sebagai
sebuah tindakan.
Salah satu tema yang juga menjadi banyak perdebatan adalah
tentang bahasa. Filsafat abad ke-20 seringkali ditandai dengan apa yang
disebut ―linguistic turn‖. Artinya, bahasa menjadi pusat refleksi
filosofis para filsuf. Mereka menunjukkan batas-batas dari bahasa
dalam kaitannya dengan realitas. Derrida bahkan mengajak
pembacanya untuk ―melampaui‖ bahasa untuk mencapai suatu entitas
―ketidakmungkinan‖, yakni suatu konsep posmetafisika yang tidak lagi
ditentukan oleh makna, representasi atau bahkan oleh kebenaran. Akan
tetapi, refleksi semacam itu tidak menyentuh analisis tegangan tentang
batas-batas antara sains dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Di dalam The
Postmodern Condition, Lyotard berpendapat bahwa sains modern tidak
lagi membutuhkan suatu metadiscourse sebagai landasan legitimasinya.
Jika tidak ada satu kerangka metadiscourse yang melandasi sains,
apakah dialog dan interaksi antara berbagai displin sains masih
mungkin? Di samping itu, analisis Lyotard justru mempertebal tembok
pembatas yang sudah ada antara sains dan ilmu-ilmu kemanusiaan
lainnya. Teori sistem secara jelas dan tegas ingin menghancurkan
tembok pembatas semacam itu. Teori sistem hendak meletakkan bahasa
bukan sebagai pusat refleksi, melainkan sebagai ―problematika umum
dari tatanan yang muncul (emergent order)‖. 158 Ketika distingsi antara
bahasa (language) dan dunia (world) diganti dengan distingsi antara
sistem (system) dan lingkungan (environment), bahasa dapat dipandang
sebagai elemen yang membentuk dan mereproduksi proses komunikasi
sebagai dasar dari sistem itu sendiri. Dengan demikian, teori sistem dan
dekonstruksi tampaknya ingin ―melampaui‖ peran bahasa itu sendiri.
Namun, dengan cara yang berbeda dan justru berlawanan. Derrida
merefleksikan bahasa dengan tujuan untuk mengungkapkan aspek
―ketidakmungkinan‖ (the impossibility) dari bahasa itu sendiri. Dengan

158
Knodt, 1995, hal. xxxii. “. . masalah umum muncul teratur…”
271
kata lain, ia hendak mencegah terjadinya formalisasi pemaknaan dan
penggunaan bahasa. Sementara, bagi Luhmann, bahasa bukanlah
sistem, melainkan satu elemen saja dari sistem tersebut. Sistem dan
kesadaran tidaklah tergantung pada ada tidaknya bahasa karena sistem
atau kesadaran dapat berjalan tanpa bahasa. Hal ini sama seperti bahwa
interaksi sosial bahkan dapat berlangsung tanpa menggunakan bahasa
itu sendiri (preverbal interaction). Alih-alih memaknai bahasa sebagai
suatu sistem, ia merumuskan beberapa aspek khusus dari bahasa, pada
satu sisi bahasa sebagai makna (meaning) kesatuan antara aktualitas
(actuality) dan potensialitas (potentiality) dan komunikasi
(communication), di mana sintesis antara informasi (informasi),
ungkapan (utterance), dan pengertian (understanding) terjadi. 159 pada
sisi lain, bahasa sebagai medium. Bahasa sebagai simbol yang
memungkinkan sistem sosial terbentuk melalui proses ―generalisasi
simbolik‖ (symbolic generalization). Bahasa sebagai simbol
memungkinkan proses penyederhaan sistem sosial yang tadinya begitu
kompleks, sehinggai stabilitas sistem dapat dicapai.
Proses komunikasi di dalam pembentukan sistem membutuhkan
bahasa. Dalam arti ini, bahasa adalah titik tolak bagi refleksi tentang
sistem. Teori sistem berpendapat bahwa pada level komunikasi, suatu
sistem tidak dapat bergerak dan beroperasi di luar batas-batasnya
sendiri. Untuk melakukan distingsi guna penyederhanaan kompleksitas
masyarakat, sistem yang satu tentunya harus dibedakan dengan sistem
yang lain. Pembedaan itu memerlukan proses pembatasan yang
dilakukan dari dalam masyarakat itu sendiri, tetapi seolah-olah (as if)
dilakukan dari luar masyarakat tersebut. Akan tetapi, pembatasan dari
luar sistem ini hanyalah seolah-olah karena pengamat pun pada
akhirnya bagian dari sistem. Ia tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya
dari apa yang menjadi objek analisisnya.
6. Landasan Epistemologis dan Modernitas
Luhmann merumuskan konsekuensi epistemologis dari teori
sistemnya di dalam bab ―Consequences of Epistemology‖. Di dalam bab

159
Lihat, ibid, “. . aspek bahasa: makna . . , dan komunikasi (sintesis informasi, ucapan,
dan pemahaman) . . . pada satu sisi, dan, pada sisi lain, gagasan tentang bahasa
sebagai media. ”
272 Nasbahry Couto & Indrayuda
itu, ia berpendapat bahwa pembedaan antara sistem (system) dan
lingkungan (environment) berjalan paralel dengan pembedaan antara
pengetahuan (Erkenntnis) dan objek pengetahuan (Gegenstand)
tersebut. Pembedaan ini tidak terlalu menonjol di dalam bab-bab awal
Social Systems. Analisis di dalam buku tersebut dimulai dengan
deskripsi realitas. Kemudian, analisis pun berkembang dengan
perumusan bahwa realitas itu adalah hasil konstruksi, jadi tidak
alamiah. Ia menggunakan metode fenomenologi dalam hal ini.
Luhmann menegaskan bahwa teori sistem tidak lagi mengacu pada teori
pengetahuan (theory of knowledge) yang menggunakan rumusan-
rumusan yang bersifat metanaratif (metanarrative), tetapi dengan
―menjelaskan gerak kognitif dari teori di dalam kerangka yang bersifat
evolutif.‖160 Artinya, teori sistem tidak mau menjelaskan masyarakat
sebagai sistem dengan menggunakan analisis-analisis yang dibangun
berdasarkan ―keberjarakan‖ dengan masyarakat itu sendiri, tetapi
dengan menjelaskan sistem yang ada melalui logika internal masyarakat
secara fenomenologis.
Epistemologi semacam ini disebut juga sebagai epistemologi
konstruktivis. Salah satu ciri khas dari epistemologi semacam ini adalah
bahwa ia memandang seluruh bentuk pengetahuan sebagai kontingen,
termasuk klaim pengetahuannya sendiri. Pengamatan akan objek
penelitian dilakukan sedemikian rupa, sehingga pengamat tetap
‗berjarak‘ sekaligus berada di dalam objek tersebut. Di dalam teori
sistem, objek penelitian tersebut adalah masyarakat dan masyarakat
adalah objek analisis yang kompleks (complexity). Kompleksitas
tersebut tidak akan pernah dapat dianalisis, jika kita tidak melakukan
distingsi (distinction). ―Tanpa distingsi‖, demikian tulis Knodt, ―realitas
tidak akan pernah dapat diamati, walaupun realitas itu sendiri sama
sekali tidak mengenal distingsi. ‖[40]
Epistemologi yang menjadi dasar dari teori sistem Luhmann juga
disebut sebagai epistemologi post-transendental (posttransendental
epistemology). Di dalam paradigma ini, pertanyaan tentang bagaimana
pengetahuan itu mungkin di dalam kondisi masyarakat yang bersifat
autopoiesis tidaklah dapat dipisahkan dengan kondisi sosial historis, di

160
Ibid, hal. xxxxiv. “…berusaha untuk menjelaskan operasi kognitif teori dalam
kerangka evolusi. . ”
273
mana pengetahuan tersebut muncul. Relasi antara pengetahuan dengan
realitas sosial pun menjadi problem yang harus dianalisis lebih jauh.
Dengan demikian, epistemologi post-transendental mengandaikan dan
tidak dapat dipisahkan dari refleksi yang bersifat sistematik atas
posisinya sendiri di dalam masyarakat modern. Bab terakhir buku
Social Systems banyak mengupas tentang tema ini. Bahkan, bab itu
dapat juga disebut sebagai awal dari sebuah buku baru atau ―buku di
dalam buku‖. Tampaknya, buku yang dimaksud ini adalah Die
Wissenschaft der Gesellschaft (The Social Systems of Science, 1990).
Sementara itu, Luhmann mengkonsepsikan modernitas sebagai
sistem diferensiasi (systems of differentiation). Seperti semua sistem
yang bersifat autopoiesis, sistem sosial berkembang bersama waktu
karena kemampuannya untuk mengubah kompleksitas masyarakat dari
tidak tertata (unorganized complexity) menuju kompleksitas yang
tertata (organized complexity). Penataan masyarakat tersebut dicapai
melalui distingsi. Dengan ini, ia berpendapat bahwa modernisasi adalah
proses perubahan dari masyarakat yang terstratifikasi (stratified society)
menuju masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional (functionally
differentiated). Artinya, settiap sistem memiliki logika internalnya
masing-masing dan tidak ada sistem yang mampu mengatur,
mendominasi, ataupun menggantikan sistem yang lain. Hal ini terjadi
pada akhir abad ke-18, di mana tatanan masyarakat, terutama
masyarakat Eropa, yang diatur secara hierarki al digantikan oleh pola
distribusi yang mencakup berbagai sistem yang berbeda-beda, seperti
ekonomi, seni, hukum, dan politik. Kesemuanya beroperasi dengan
logika internalnya masing-masing. Tampaknya akan sangat menarik
jika seluruh analisis Luhmann tentang teori sistem ini ditempatkan
dalam konteks perdebatan posmodernisme sebagai berikut.
“Jika ada perbedaan yang signifikan antara analisis Luhmann
dengan analisis modernitas atau posmodernitas”, demikian tulis
Knodt, “perbedaan tersebut haruslah, pada hemat saya, dilihat
pada keketatan analisis teoretis yang dilakukan Luhmann melalui
pemikiran yang mendalam dan mencangkup semua konsekuensi
dari modernitas-bukan karena masyarakat tempat kita hidup
sekarang ini adalah masyarakat yang paling baik, tetapi karena
penerimaan tanpa nostalgia terhadap pembatasan struktural dari
modernitas adalah suatu prakondisi, dan mungkin satu-satunya

274 Nasbahry Couto & Indrayuda


cara, untuk menemukan solusi kreatif terhadap masalah-masalah
yang timbul. ”161
7. Apa yang Dilihat Luhmann Sebagai Ciri Khas Seni?
Menurut Maanen (2009), seperti yang dinyatakan sebelumnya,
pemikiran Luhmann tentang apa seni dan apa yang dilakukannya,
singkatnya, teorinya seni yang membentuk bagian penting dari bukunya
pada sistem seni. Setelah pertimbangan lebih dekat, bagaimanapun,
berbagai jenis reaksi terhadap ucapan-ucapan estetika, seperti ulasan,
katalog dan debat, juga muncul untuk dipertimbangkan oleh Luhmann
sebagai komunikasi dalam sistem seni. Hal ini dapat dijelaskan oleh
fakta bahwa semua jenis komunikasi dalam sistem ini, pada akhirnya
adalah yang diproduksi oleh karakter tertentu dari karya seni, yaitu
kemampuan menarik mereka untuk membuat bentuk ucapan (atau
informasi berupa diperlukan dalam ucapan ini) dan objek objek
pengamatan. Komunikasi tentang seni dan karya seni dapat dipahami
sebagai komunikasi dalam sistem seni karena mereka dihasilkan oleh
dan bereaksi terhadap kapasitas tertentu karya seni. Seperti tulisan
Luhmann berikut ini.
“Ia karya seni. hanya datang menjadi ada berdasarkan
jaringan rekursif dengan karya seni lain, dengan komunikasi verbal
luas tentang seni, dengan salinan teknis direproduksi, pameran,
museum, teater, gedung, dan sebagainya, (Luhmann 2000: 53)”
Semua jenis komunikasi yang dihasilkan dalam 'jaringan'
dipandang sebagai bagian dari sistem seni karena mereka berkontribusi
pada ketertutupan operasi dan kohesi internal dari sistem. Lebih
tepatnya, Luhmann menyatakan bahwa karya seni memimpin
autopoiesis (produksi sendiri) komunikasi artistik dalam dua arah yang
berbeda dan dalam melakukannya, 'memperluas dan mengamankan

161
Ibid, hal. xxxvi. “If there is a significant difference between Luhmann‟s diagnosis of
modernity and the contemporary discourse on postmodernism, it would have to be
sought, it seems to me, in the theoretical rigor with which Luhmann thinks through
and embraces the consequences of modernization-not because the society which we
live is the best of all possible worlds, but because an acceptance without nostalgia
of the structural limitations of modernity is a precondition, and possibly the only
way, of finding creative solutions to its problems…”
275
kelanjutan', pada satu sisi pengamatan karya seni dapat menghasilkan
karya seni yang baru, pada sisi lain, 'ternyata satu ke media bahasa
sementara, yang tetap mempertahankan seni dan karya sebagai topik '
Fakta bahwa dalam pembuatan serta dalam persepsi seni dan
komunikasinya tentang hal itu dalam sistem seni, bentuk ujaran adalah
objek sentral yang membuat sistemnya berbeda dari yang lain. Di
tempat pertama, karakter simbolik yang bekerja dimiliki seni dengan
ucapan-ucapan sakral yang menawarkan kemungkinan perbedaan
antara realitas dan imajinasi, dan akibatnya 'posisi dari mana sesuatu
yang lain dapat ditentukan sebagai realitas' (Luhmann 2000: 142).
Jelas hal ini berbeda dengan agama, sistem seni menyadari
kemungkinan ini dalam ranah persepsi, dengan hasil bahwa bermain
dengan bentuknya yang jelas, karya seni sepakat dengan realitas. Untuk
sistem sosial yang jelas berbeda satu sama lain (seperti ekonomi,
agama, politik atau sistem seni), Luhmann menerapkan konsep kode
biner, struktur dasar sistem, yang diketahui hanya dalam dua nilai yang
berlawanan, berbeda dari satu sama lain dalam sistem yang
bersangkutan.
Kode biner ini mengungkapkan nilai tengah dari semua operasi
dalam sistem dan dibuatnya, dalam hal seni, mungkin untuk
membedakan ucapan estetik sebagai jenis tertentu dari pengamatan.
Sebagai contoh kode biner adalah benar/salah karena itu sistem
ekonomi adalah yang memiliki/tidak memiliki kekayaan karena sistem
hukum yang benar/salah. Akan tetapi, Luhmann memiliki masalah
nyata dalam merumuskan kode biner untuk sistem seni. Dia mencoba
kata art /nonart (seni/tidak seni) dan indah/jelek, tetapi semuanya ini
tidak memuaskan jika hanya karena tidak ada sarana makna pertama
dan makna yang kedua karena hasil historis /sejarah yang ketat.
Dalam pembacaan Laermans tentang Luhmann, operasi dalam
sistem seni didasarkan pada perbedaan antara pas/tidak pas, yang dapat
dianggap kode biner dari sistem seni. Memang, Luhmann
mengeluarkan banyak perhatian untuk pasangan biner ini, tetapi hanya
dapat dipahami sebagai sistem kode biner seni jika dihubungkan
dengan karakteristik yang lebih spesifik dalam komunikasi estetika,
untuk operasi di setiap sistem sosial didasarkan pada pemilihan
komunikasi adalah pas. Sistem seni, bagaimanapun, adalah untuk
Luhmann bermain dengan bentuk seperti yang dikatakannya.
276 Nasbahry Couto & Indrayuda
“Bentuk bermain dengan bentuk, tetapi permainannya tetap
formal, tetapi hal ini tidak pernah sampai 'dipedulikan', tidak
pernah berfungsi sebagai tanda untuk sesuatu yang lain. Setiap
fungsi penentuan resmi sekaligus iritasi yang menyisakan ruang
untuk keputusan selanjutnya, dan memajukan dari satu bentuk ke
berikutnya adalah percobaan yang baik berhasil atau gagal. Inilah
sebabnya mengapa. 'kode' muncul dalam seni, orientasi biner terus
dipertahankan mengenai 'kurangnya fit' 'cocok' atau bentuk, (2000:
118; Hierarchical Value Map/HVM )”
Hal ini menjadi jelas dari kutipan ini bahwa jika pas/tidak pas
harus menjadi kode yang membedakan sistem seni dari sistem sosial
lainnya, itu akan lebih baik disebut bentuk 'Pas/tidak pas'. Mungkin ada
fitur lain yang penting bagi Luhmann untuk menyatakan dalam kode
biner. Sebagaimana yang kita lihat, ia menyatakan bahwa 'seni
membagi dunia menjadi dunia nyata dan dunia imajiner' (2000: 142).
Karakter imajinatif komunikasi seni adalah dasar ide Luhmann tentang
fungsi seni, ditunjukkan dalam kutipan yang luas di bawah ini sebagai
berikut.
“Hanya dalam perbedaan dibedakannya antara yang nyata
dan realitas, fiksi dibayangkan dan dihubungkan dengan realitas
khusus yang muncul, sedangkan seni mencari bentuk yang berbeda -
apakah untuk 'meniru' realitas apa, tidak menunjukkan (bentuk
esensi, ide nya), untuk 'mengkritik' yang tidak mau mengakui
kekurangannya, terkait dengan aturan, orientasi komersil, dan atau
untuk menegaskan kenyataan dengan menunjukkan bahwa
representasnyai yang berhasil, pada kenyataannya, berhasil dengan
baik sehingga menciptakan karya seni dan dilihat itu
menyenangkan. Konsep imitasi/kritik/penegasan tidak menguras
kemungkinan. Maksud lain mungkin mengatasi pengamat sebagai
individu dan merancang suatu situasi di mana ia menghadapi
kenyataan (dan akhirnya dirinya) dan belajar bagaimana untuk
mengamati dengan cara dia tidak pernah bisa belajar dalam
kehidupan nyata, (2000:143)”
Memang ini adalah pandangan singkat, tetapi komprehensif dari
fungsi dan kemungkinan fungsional dari seni, yang kebetulan tidak
berbeda jauh dari pendekatan yang paling terkenal dalam filsafat seni,
seperti yang ditunjukkan kemudian dalam uraian selanjutnya. Muncul
pertanyaan: apa faktanya kalau imajinasi adalah dasar untuk sistem seni
277
bermakna untuk menentukan kode biner sistemnya? Kode ini
menggambarkan semua operasi dalam sistem dan membedakannya dari
sistem sosial lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka untuk
mengungkapkan ide-ide Luhmann tentang kekhususan dari sistem seni,
akan lebih baik untuk memanggil bentuk imajinatif kode biner yang pas
/tidak pas.
8. Bagaimana Sistem Seni Menghasilkan Fungsi
Sosial Seni
Jenis inti dari komunikasi dalam sistem seni menurut Luhmann
adalah karya seni, lukisan, puisi, pertunjukan, konser, film, dan
sebagainya. Mereka bereaksi secara langsung atau tidak langsung satu
sama lain dalam wacana seluruh 'komunikasi komentar', terstruktur oleh
harapan dan peran, disebut oleh Luhmann sebagai struktur sosial dari
sistem.
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, Bourdieu secara khusus
telah menyatakan pandangannya tentang struktur harapan (illusio,
orthoand heterodoksi, nomos, dan lain-lain) dan peran (posisi,
pendudukan posisi, habitus, dan lain-lain) serta fungsi, yang baru yang
paling penting pandangan Luhmann memperkenalkan adalah bahwa
sistem ini bukan struktur (hubungan) organisasi dan dengan aktor-aktor
lain, tetapi satu set sosial (harapan-based) terstruktur dalam
komunikasi.
Dalam arti, pendekatan interaksi simbolik yang digunakan oleh
Becker dapat dianggap sebagai pendahulunya (tidak terlalu dipikirkan
dengan baik) keluar dari pemikiran Luhmann. Dalam pendekatan yang
terakhir, bagaimanapun, adalah sudut pandang sangat dominan
materialistis, dalam sistem sosial (di antaranya sistem seni), sistem
makna dalam komunikasi, didasarkan pada bentuk format. Komunikasi
berada di tempat pertama dalam ujaran yang membentuk menentukan
pengamatan, tidak lebih dan tidak kurang, dengan hasil bahwa
kemungkinan himpunan bentuk (bahasa) adalah bahan dasarnya, media
dalam arti materi sistem komunikasi.
Kenyataan bahwa komunikasi hanya menjadi mungkin melalui
cakrawala bergabungnya harapan (Sinn atau 'makna', yang dapat
dihubungkan ke sisi simbolik interaksionisme) adalah aspek lain yang
sebagian dapat menjelaskan mengapa bagian besar dari komunikasi
278 Nasbahry Couto & Indrayuda
dalam suatu sistem sosial terjadi dalam sistem interaksi, setting
komunikasi yang diucapkan oleh orang-orang yang secara fisik
bersama-sama dalam suatu situasi.
Ketika berbicara tentang apa komunikasi yang dilakukan dalam
sistem seni, kita dapat membedakan tiga jenis yang penting
diperhatikan: (1) karya seni, (2) komunikasi tentang seni, dan (3)
sebagai bagian dari kelompok kedua adalah, ucapan-ucapan tentang
pengalaman bagaimana karya seni dihasilkan. Ada hubungan yang kuat
di antara ketiganya, terutama antara yang pertama dan yang terakhir. Di
tempat pertama, karya seni menurut Becker dan Nathalie Heinich
adalah sebagai berikut.
“Dari orang-orang bepergian ke suatu tempat untuk melihat
produksi seni (dan harus dilihat ada) misalnya pembuatan frame
untuk lukisan, dan dari membuat uang dari kegiatan asuransi untuk
pendirian sebuah festival. Pada akhirnya, meskipun, semua jenis
kegiatan didasarkan pada reaksi yang mampu dibawa karya seni.
Luhmann mencurahkan banyak perhatian pada apa yang dia
anggap fungsi khas karya seni sebagai komunikasi artistik, tetapi
pendekatannya tidak membuatnya mudah untuk menggabungkan
reaksi langsung ke karya seni sebagai bagian dari sistem seni
karena reaksi berlangsung dalam psikis sistem pengguna seni.
Komunikasi tidak dilanjutkan sampai hasil dari sistem psikis yang
menghasilkan ucapan-ucapan komunikatif sebagai reaksi terhadap
karya seni. ”
Sebagaimana yang kita lihat, pandangan Luhmann pada apa yang
dilakukan karya seni, meskipun koheren (masuk akal) dan meyakinkan
juga, tidak terlalu mengejutkan. Karena peran fundamental bentuk
dalam komunikasi pada umumnya, dan dalam komunikasi artistik pada
khususnya, karya seni menciptakan 'kesatuan perbedaan' antara
informasi (apa yang diamati) dan ucapan (bagaimana hal-hal yang
diamati). Pada saat yang sama ini membuka kesempatan untuk bermain
dengan bentuk, pada atau di atas batas realitas, dan sebagainya dalam
domain imajinasi. Dengan kata lain, untuk mengambil posisi pada sisi
'bukan-realitas', tetapi seni dapat menghasilkan berbagai jenis hubungan
mereka dengan realitas, seperti pendekatan konfirmasi, mengkritik dan
meniru. Akhirnya, meskipun ketertutupan operasi dari sistem yang
berbeda, namun berkat kopling struktural antara mereka, karya seni

279
dapat membuat hasil dari sistem persepsi tersedia untuk sistem
komunikasi karena karya seni memang dipersepsi dalam bentuk materi.
Pertanyaan yang paling menarik untuk studi ini adalah apakah ada
atau tidak ketersediaan untuk komunikasi ini, dalam batasan untuk
bereaksi terhadap komunikasi seni (karya seni lainnya) dan ucapan-
ucapan dalam wacana sekitar karya seni. Hal ini juga berlaku untuk
komunikasi di mana pengguna menjadi penonton biasa, pendengar atau
pembaca, mengungkapkan pengalaman artistik mereka karena seperti
Luhmann jelaskan, komunikasi artistik menghasilkan intensitas
pengalaman dalam sistem psikis orang dan untuk mengulang bagian
dari kutipan akhir dari bagian terakhir ini.
“Maksud lain mungkin mengatasi pengamat sebagai individu
dan merancang suatu situasi di mana ia menghadapi kenyataan
(dan akhirnya dirinya) dan belajar bagaimana untuk mengamatinya
(seni) dengan cara dia tidak pernah bisa dipelajari dalam
kehidupan nyata, (2000: 143)”
Jadi pertanyaannya adalah apakah dan bagaimanakah pengalaman
artistik itu dalam sistem psikis manusia akan berkelanjutan dalam
sistem komunikasi, baik itu dalam sistem seni atau di luar seni, dalam
sistem pendidikan atau mungkin dalam sistem komunikasi kehidupan
sehari-hari itu, yang paling dekat dengan ini adalah apa yang ditemukan
oleh Luhmann yang disebut sistem interaksi yang ditulis pada tahun
1984 dalam bukunya, Einfaches Sozialsystem (sistem sosial yang
sederhana). Jenis-jenis sistem, seperti yang yang kita lihat, ditandai oleh
fakta bahwa orang-orang yang secara fisik hadir dalam situasi, seperti
pada makan malam, pesta, di jalan atau di pasar, dalam situasi 'sosial'
biasa. Faktanya adalah bahwa banyak komunikasi dalam jenis sistem
ini bukan tentang situasi interaksi, seperti tetapi bisa mengenai semua
sistem yang mungkin membentuk inti dari sistem fungsional itu. Dalam
arti bahwa sistem interaksi banyak yang tidak dapat dibedakan sama
sekali.
Bahwa komunikasi berdasarkan pengolahan psikis komunikasi
artistik, dan dikontekstualisasi dalam sistem selain sistem seni itu
sendiri, mungkin harus membantu seni agar berfungsi dalam
masyarakat. Hal ini dapat terjadi dengan cara yang berbeda. Di tempat
pertama, semua jenis komentar dapat disajikan dalam semua jenis

280 Nasbahry Couto & Indrayuda


media dalam sistem yang berbeda dan melakukan pekerjaan mereka
dalam kaitannya dengan kode biner dari sistem tersebut.
Pada tempat kedua, interaksi sistem dalam sistem seni situasi di
mana komunikasi dapat dipertukarkan secara sosial dan sebagai
hasilnya bisa berubah pada beberapa arah, dan melintasi batas-batas
dari sistem seni juga. Dalam kedua kasus itu pasti dibayangkan bahwa
komunikasi berdasarkan persepsi artistik yang memperoleh tempat
sedemikian rupa dalam rantai komunikasi (dengan kata lain, akan
menjadi komunikasi yang nyata) akan mempengaruhi hasil psikis, dan
tempatnya dalam sistem mental komunikator sebagai keseluruhan,
dalam semacam umpan balik ke sistem psikis. Sepanjang garis-garis,
penyebaran efek artistik dan karenanya fungsi seni dalam masyarakat
dapat diakui dalam teori sistem Luhmann.
9. Kesimpulan
Setelah menempuh berbagai analisis terhadap beberapa argumen
Luhmann di dalam Social Systems, ada baiknya seluruh tulisan
dijelaskan ke dalam beberapa butir kesimpulan.
Pertama, teori sistem Niklas Luhmann adalah suatu alternatif cara
berpikir ataupun kritik terhadap teori-teori hermeneutika, baik
posmodern atau teori kritis, terutama dengan analisisnya yang banyak
terinspirasi dari teori-teori fisika modern, biologi, dan teori-teori
sibernetik.
Kedua, ia memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang
bersifat autopoiesis. Artinya, masyarakat adalah sistem yang bersifat
cukup diri, dan mampu membentuk serta mereproduksi dirinya sendiri
lepas dari pengaruh individu-individu yang ada di dalamnya.
Ketiga, Luhmann memandang komunikasi sebagai elemen utama
pembentuk sistem. Komunikasi adalah kondisi-kondisi yang
memungkinkan adanya sistem. Akan tetapi, komunikasi di sini
bukanlah dalam artian teori-teori hermeneutika, yakni sebagai diskursus
antara dua pihak yang saling berbeda kepentingan untuk mencapai
konsensus, melainkan komunikasi sebagai gerak niscaya yang
membentuk sistem.
Keempat, ia melihat kesadaran bukan sebagai elemen konstruktif
yang menciptakan masyarakat dan berperan aktif terhadap masyarakat
tersebut, melainkan sebagai bagian dari sistem, yakni sistem psikis, di
281
mana kesadaran tersebut justru sangat tergantung pada operasionalisasi
sistem sosial yang ada. Dengan kata lain, kesadaran, dan juga
kebebasan, yang dalam kosakata Luhmann disebut juga sebagai
kontingensi ganda, bersifat subordinat terhadap sistem sosial.
Kelima, bagi Luhmann, perubahan bukanlah hasil dari sikap aktif
dari individu yang sadar diri dan bebas, melainkan dari munculnya
tatanan yang baru (emergent order) setelah tatanan lama menjadi
stagnan. Dalam konteks ini, kemunculan (emerge) tersebut tampak
sebagai sesuatu yang niscaya. Kritik Maanen (2009) terhadap Luhmann
juga berkaitan dengan tesis ini. Apakah keniscayaan tersebut adalah
suatu optimisme tanpa dasar? Dapatkah kita mengharapkan bahwa
perubahan akan muncul, jika kita berdiam diri menunggu munculnya
tatanan yang baru setelah tatanan yang lama mengalami stagnasi?
Supaya tidak terlalu masuk ke dalam kesimpulan yang mendetil,
dan lupa pada gambaran besar teori sistem Luhmann, Maanen
(2009:142) mencoba merumuskan tesis Luhmann di dalam Social
Systems dalam satu kalimat.
“Teori sistem mengajak kita untuk berpikir kembali tentang
makna kesadaran, makna kebebasan, serta makna komunikasi, serta
menempatkan seluruh analisis kita tentang hal-hal mendasar
tersebut di dalam relasinya dengan ilmu-ilmu sains, seperti fisika
modern dan teori-teori biologi, sehingga optimisme naif dari cita-
cita pencerahan dapat kita tanggapi secara kritis dengan berbekal
analisis yang bersifat multidispliner tanpa menghilangkan bobot
emansipasinya. Teori sistem, pada hemat saya, dapat melengkapi
amunisi teoretis kita dalam menjelaskan berbagai problematika
sosial yang ada sekarang ini, dan mungkin bisa menjadi benih bagi
solusi yang kreatif atas masalah-masalah tersebut”

Tulisan ini mengharapkan dapat menelaah bagaimana organisasi


dunia seni melayani fungsi seni dalam masyarakat'. Kemudian, fungsi
ini seni dipahami sebagai realisasi potensi nilainya. Pada bagian
pertama itu bisa diamati dan dibahas secara umum, tentang pendekatan
kelembagaan atau atasnya variasi, hampir tidak menyinggung cara di
mana seni memperoleh makna dalam masyarakat. Fokus mereka adalah
terutama pada dinamika di bidang produksi estetika -mungkin
282 Nasbahry Couto & Indrayuda
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di bidang lain -dan pada gagasan
dimana dinamika ini dapat dipelajari. Dalam hal itu, cukup paradoks
bahwa penulis tentang teori kelembagaan masih terjebak dalam
autonomism (Seseorang yang menganjurkan otonomi) tertentu atau
setidaknya, tidak cenderung untuk mengadopsi sifat relatif otonomi
bahwa mereka dengan tegas mengakui, sebagai dasar untuk
mempelajari cara di mana nilai-nilai estetika dapat
dikontekstualisasikan.
Namun demikian, hasil dari bagian pertama ini adalah pertanyaan
kunci sosiologis seni dan 'apa yang dilakukan seni? "Demikian
pertanyaan yang diajukan tidak hanya tentang nilai-nilai seni, tetapi
tentang cara dan rute di mana nilai-nilai seni mendapatkan fungsi dalam
sistem selain estetika, yaitu dalam kehidupan yang layak dibicarakan.
Dalam hal ini banyak yang dapat dipelajari dari disiplin yang
populer di tempat pertama, tetapi, seperti semua disiplin ilmu estetika,
yang menghasilkan sesuatu yang dekoratif, kenyamanan serta
pengalaman artistik: musik pop. Ini jelas menempati posisi yang tidak
biasa ketika dikaitkan dengan nilai-nilainya. Ini telah berhasil, juga
dalam ucapan artistik, untuk menemukan hubungan antara bentuk dan
materi di mana penggunaan lagu -serta konsep yang bekerja dalam diri
mereka -memfasilitasi komunikasi kehidupan sosial. Lebih jauh lagi, itu
adalah satu-satunya disiplin yang, dilalui sejauh mana para seniman
sebagai orang 'pencipta' karya seni, terkait dengan nilai disiplin
ekonomi, secara teratur mampu melepaskan diri dari kode biner dari
sistem media dan membiarkan suaranya sendiri didengar.
Komunikasi musik pop terus melebar dengan sistem sosial lainnya:
orang bernyanyi bersama dalam paduan suara dengan lagu atau
bernyanyi mereka untuk diri sendiri atau untuk orang lain selama acara-
acara khusus, genre musik pop berjalan paralel dengan atau kadang-
kadang bahkan menentukan perbedaan dalam identitas budaya, dan
mereka melakukan yang secara khusus didasarkan pada hal-bentuk
hubungan khas berbagai genre. Musisi pop bahkan bisa masuk konsep
yang sudah ada dalam musik yang ada dalam politik, sosial atau media
di mana mereka dibuat menonjol, misalnya, untuk melayani tujuan
amal, kadang-kadang sementara melarikan diri dari dominasi kode
biner dari sistem media, setidaknya dalam domain penerimaan.

283
Singkatnya, musik pop memainkan peran yang berarti dalam dunia
sedang dialami.
Apakah ini juga mungkin dalam subsistem estetika lain yang, jauh
kurang populer dari musik pop, dapat dipahami? Selain memiliki
dampak pribadi, membaca puisi, melihat sebuah drama, kabaret atau
film atau mengambil bagian dalam instalasi, juga bisa memiliki dampak
sosial?
Menurut Maanen (2009) pada prinsipnya, ada tiga cara keluar yang
pantas untuk dicoba: 1) mereka yang terlibat dalam peristiwa estetika
dapat berkomunikasi lagi dengan satu sama lain atas dasar pengalaman
asli, terutama dalam konteks sistem selain estetika, 2) orang dapat
mencoba untuk 'share' dengan nilai-nilai pengalaman artistik dengan
orang-orang yang tidak ada di sana, dan 3) adalah mungkin bahwa
ucapan artistik atau peristiwa dapat melalui berita dan/atau hiburan
bahwa mereka memang dapat ditemukan dalam kehidupan (dan
berbeda) melalui media.
Salah satu hasil yang paling menantang dari uraian ini adalah
bahwa jika uraian dimulai dari nilai-nilai khas yang ditawarkan oleh
produksi seni, pertanyaan tentang bagaimana seni berfungsi dalam dan
untuk masyarakat hanya dapat dijawab dengan mempelajari sistem
distribusi karena mereka mengatur pertemuan antara seni dan
penggunanya.
Pertimbangan ini meminta cara lain untuk mempelajari nilai-nilai
ucapan estetika juga karena mereka harus dibahas dalam kerangka
estetika secara keseluruhan, di mana komunikasi estetika diatur dan
berlangsung. Selain itu, harus menekankan bahwa domain distribusi
mengatur hubungan sendiri dengan sistem selain sistem seni. Cara-cara
di mana hal ini dilakukan -dari mengisolasi acara estetika dari sistem
lain untuk praktik sistem lain -menentukan kontekstualisasi
kemungkinan persepsi estetika sampai batas yang tinggi.
Selama dekade terakhir, bagaimanapun, kaburnya batas antara
sistem sosial yang berbeda tidak hanya menguntungkan fungsi sosial
dari seni, tetapi juga terlibat domain ekonomi dan politik melihat
peluang yang baik untuk memanfaatkan seni untuk keuntungan mereka
sendiri, tanpa mendasarkan penggunaan seni pada nilai-nilai intrinsik
mereka. Hal ini tidak selalu masalah, tetapi akibatnya segera terasa,
segera setelah ada perbedaan antara nilai-nilai estetika dan
284 Nasbahry Couto & Indrayuda
kemungkinan lainnya, nilai aslinya mulai menghilang digantikan nilai
ekonomi atau yang lain. Ini sesuatu yang sangat berbahaya sebab
menurut Maanen (2009). Bahaya ini menunjukkan dirinya dalam
tingkat di mana konsep 'budaya' telah menggantikan konsep 'seni'
selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah bahaya serius, bukan karena
perlindungan disiplin seni tradisional seharusnya tidak lagi dilindungi
terhadap bentuk-bentuk seni yang baru -karena disiplin masing-masing
memiliki tipe sendiri nilai-nilai dekoratifnya, yang tersedia untuk orang
-tetapi karena masyarakat, masyarakat dan individu akan terbatas
kesempatan mereka untuk mendapatkan keuntungan dari nilai-nilai
tertentu dari seni, nilai estetika dan komunikasi artistik pada khususnya,
yang dapat diberikan kepada masyarakat. Untuk alasan ini bahwa
pemikiran tentang nilai-nilai seni telah mendapat posisi yang sentral
dalam uraian ini.
Menurut Maanen (2009) untuk menolak upaya sistem sosial di
sekitar sistem seni untuk mendorong nilai-nilai ekstrinsik agar maju
dengan mengorbankan nilai intrinsik adalah tanggung jawab yang
penting dari domain distribusi karena (kepentingannya) melebihi
domain produksi, yang rentan terhadap pengaruh heteronom
(ketergantungan kepada aturan, kekuasaan), dan karenanya domain
produksi dan penerimaan sepenuhnya tergantung pada domain
distribusi jika fungsi intrinsik dari seni dalam masyarakat
dipertaruhkan.

285
286 Nasbahry Couto & Indrayuda
S
eperti yang kita ketahui, topik seni modern adalah topik yang
paling kontroversial dalam wacana seni Indonesia, sebab akan
menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia sudah menjadi
negara modern seperti Jepang, Korea di Timur atau seperti model
Turki, dan Mesir di Barat. Hal ini pernah menjadi polemik dalam
sejarah seni Indonesia, misalnya, polemik kebudayaan di antara para
cendekiawaan Indonesia pada tahun 1935--1936. Polemik tersebut
mengemuka karena adanya kesadaran perihal bentuk kebudayaan
seperti apa yang akan mengisi Indonesia ketika merdeka kelak. di
antara dua pihak yang saling berpolemik, yaitu Sutan Takdir
Alisjahbana pada satu pihak, yang menginginkan agar meniru
kebudayaan Barat dengan Sanusi Pane, Poerba Tjaraka, Sutomo,
Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara yang
menolaknya, dan ingin menonjolkan kebudayaan asli daerah.
Dikemudian hari disadari pula bahwa kemajuan Indonesia memang
tidak terlepas dari kemajuan bangsa Barat (Eropah). Di samping itu,
para ahli seni dan budaya menemukan kesulitan pula untuk
merumuskan kesenian, yang dimaksud kecuali, disebut di berbagai
undang-undang dan peraturan sebagai sebagai puncak-puncak
kebudayaan daerah (lihat Repelita).
Menurut Wiyoso Yudosaputro (2005)162, ada lima unsur yang
mempengaruhi seni Indonesia, di antaranya (1) kesenian masyarakat

162
Lih Wiyoso Yudosaputro, Historiografi seni Indonesia, 2005, Bandung: pen. ITB.
Wiyoso (alm), adalah dosen Seni Rupa UPI dan ITB Bandung, pernah menjadi
Dekan fak Seni Rupa di IKJ Jakarta.
287
asli suku Indonesia, (2) kesenian Hindu-Budha yang datang dari India
dan Asia (3) kesenian Islam, (4) kesenian semasa kolonial Belanda, dan
(5) kesenian modern (baru). Kelima unsur itu tumpang tindih dalam
peta sejarah seni Indonesia.
Kesenian modern dan kontemporer hanya dikenal di kota-kota
besar yang memiliki lembaga-lembaga pendidikan seni, dan juga
komunikasi dengan dunia luar, yang menumbuhkan kesenian modern
itu, terutama komunitas-komunitas seni, yang bersentuhan dengan
kebudayaan Barat. Sejalan dengan pertumbuhan kota-kota di Indonesia
--juga pengaruh dari kebudayaan luar --berkembanglah seni modern
Indonesia. Perkembangan itu tentu tidak terlepas dari perkembangan
seni dunia, khususnya seni modern Barat yang berasimiliasi dengan
kebudayaan Indonesia. Mengingat apa yang telah diuraikan di atas,
tentu saja bab ini tidak akan mengkaji kesenian asli Indonesia dan
tradisional Indonesia, tetapi perkembangan dan alur pemikiran yang
mendasari seni modern itu baik, di Barat atau di Timur.
Jelas bahwa, kajian sosiologis menghendaki agar kita meneropong
fenomena yang terjadi dalam masyarakat, berikut tokoh yang terlibat di
dalamnya yang disebut seniman, penonton, kolektor seni, pecinta seni,
pemakai, pemerhati, kritikus, galeri dan sebagainya, berikut bentuk-
bentuk organisasi sosial yang ada di di dalamnya yang menggerakkan
kesenian itu, tetapi sebelum mengkaji hal itu, perlu dibahas materi seni
modern, kontemporer, dan perkembangannya.

Batasan modern dapat diartikan sebagai hal-hal yang baru


(mutakhir) atau bisa juga diartikan dengan sikap atau cara berpikir serta
bertindak sesuai dengan tuntutan zaman (KBI. 1989:589).
Modern biasanya merujuk pada sesuatu yang "terkini", mutakhir
(up-to-date) "baru", dan bisa juga diartikan kontemporer. Istilah modern
yang terkait dengan seni dapat merujuk pada istilah berikut ini.
1. Seni modern, yaitu salah satu bentuk seni.
2. Modernitas, yang sering diartikan secara salah dari akhir abad ke-
19 hingga awal abad ke-20
3. Tari modern, tari yang dikembangkan dari awal abad ke-20

288 Nasbahry Couto & Indrayuda


4. Puisi modernis163
5. Modernisme
6. Pascamodernisme
7. Musik modern
1. Teori Modernitas dalam Ilmu Sosial
Modernitas dalam konteks ilmu sosial adalah suatu kondisi
perubahan masyarakat. Pengertian modernitas berasal dari perkataan
"modern"; dan makna umum dari perkataan modern adalah segala
sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan
modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan
masa lampau. Jadi, modernitas adalah pandangan yang dianut manusia
untuk menghadapi masa kini. Selain bersifat pandangan, modernitas
juga sikap hidup. Sikap hidup yang dianut dalam menghadapi
kehidupan masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, yang
dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan (Suryohadiprojo,
1994). 164
di antara teori yang paling mencolok dari perubahan sosial adalah
mereka yang berangkat dengan nama "modernitas" atau "modernisasi"
dan termasuk istilah terkait lainnya, seperti "pembangunan‖. Namun,
dalam hal ini keluarga teori modernisme, memiliki perbedaan yang
signifikan tentang apakah modernisasi itu melibatkan kontinuitas atau

163
Puisi modernis dalam tradisi sastra modernis, mengacu pada puisi yang ditulis,
terutama di Eropa dan Amerika Utara, antara tahun 1890 dan 1950, tetapi tanggal
istilah tergantung pada sejumlah faktor, termasuk asal bangsa (misalnya puisi
modern di Indonesia) perkembangannya berbeda dengan negara lain. Hal ini juga
karena penetapkan tanggal oleh kritikus dipengaruhi sekolah tertentu dan bias. Puisi
modern umumnya dipatok oleh gerakan simbolis di Perancis, secara artifisial
berakhir dengan perang dunia II. Penetapan awal dan akhir periode modernis tentu
saja sangat sewenang-wenang. Penyair seperti WB Yeats (1865-1939) dan Rainer
Maria Rilke (1875-1926) dimulai dalam masa pasca-Romantis, simbolis dan
dimodernisasi ungkapan puitis mereka setelah terpengaruh oleh perkembangan
politik dan sastra. Lainnya oleh gaya bahasa bahasa penyair Inggris, seperti T. S.
Eliot, Ezra Pound atau EE Cummings melanjutkan untuk menghasilkan karya
setelah perang dunia II.
164
Lih:http://www. pendidikankarakter. com/wajah-sistem-pendidikan-di-
indonesia/Suryohadiprojo, Sayidiman. (1994). Makna Modernitas dan
Tantangannya terhadap Iman. Diakses pada tanggal 24 April 2012 dari
http://sayidiman. suryohadiprojo. com/ ?p=198
289
diskontinuitas, apakah teori relatif optimis atau pesimis, apakah fase
pembangunan sosial "modern" telah memberikan sebuah cara dalam
beberapa era. 165
Dua contoh tokoh yang telah menekankan kesinambungan pemba-
ngunan adalah Weber dan Parsons. Deskripsi Weber tentang
rasionalisme sangat menekankan kesinambungan organisasi antara
sistem bentuk sosial yang beragam seperti kapitalisme borjuis rasional
dan sosialisme. Parsons mengemukakan keteguhan nilai-nilai tertentu
(terutama prestasi yang universal) dalam modernisasi dan dalam
perkiraan‖ optimisme yang relatif ", menurut anggapanya saat itu
modernitas akan terus berkembang selama 100--200 tahun (Parsons
1971, 141). 166
Lainnya menganggap proses sebagai gambaran yang agak lebih
kacau. Pada tahun 1883 Charles Baudelaire menandai modernitas
sebagai setengah "fana, stabil, memungkinkan" dan atau setengah
"abadi, yang tidak berubah" (Baudelaire 1925, 168). Hanns-Georg
Brose, mengikuti sudut pandang ini, dan dari posisi Habermas, telah
berpendapat bahwa karakteristik umum dari modernitas adalah
"kontradiksi antara inovasi dan pembusukan, baru dan abadi, serta
konservasi dan pengembangan oleh waktu dalam pengalaman modern"
(1985, 537).
Kebanyakan abad kesembilan belas teori modernitas (meskipun
tidak diberi nama) adalah sebuah optimisme dengan sifat-sifat
berdasarkan ide kemajuan. Meskipun semacam penafsiran ini telah cair,
beberapa orang masa kini masih mempertahankan unsur-unsur itu. Pada

165
Lihat artikel Hanafi, Hassan dalam jurnal Asian Journal of Social Science, Volume
33, Number 3, 2005, pp. 384-393(10). Artikel ini membahas tiga model kontinuitas
dan diskontinuitas sebagai subjek dari sebuah filsafat antarbudaya berdasarkan
pengalaman sejarah masyarakat dan budaya, bukan pada refleksi hipotetis dan murni
teoretis. Ada tiga model utama, masing-masing dari mereka mendominasi wilayah
budaya spesifik: (1) model Barat diskontinuitas antara tradisi dan modernitas,
(2) model Timur menyandingkan yang lama dan yang baru, (3) dan model
perubahan Islam melalui kontinuitas seperti yang ada, misalnya, di Asia Tenggara.
Setiap model adalah cara tertentu negosiasi tradisi dan modernitas. Masing-masing
dari mereka telah mengembangkan alat khusus untuk modernisasi dan ditandai
dengan ketegangan tertentu dan tantangan serta dengan berjuang dengan
kemunduran dan ketidakseimbangan.
166
Lih Talcott Parsons, 1971, The system of modern societies,
290 Nasbahry Couto & Indrayuda
umumnya, para ahli teori berfokus pada karakteristik khusus dari
"masyarakat industri maju" dan sering berasumsi secara implisit bahwa
kapitalisme, demokrasi, ekonomi pasar, dan masyarakat yang sejahtera
adalah diri mereka sendiri dan hidup (Zapf 1983, 294). Sebuah
optimisme serupa oleh Dieter Senghaas (1982) yang beranggapan
bahwa tidak ada musim gugur modernitas. Memang, perasaan
kegembiraan terus berlanjut, semacam perasaan kaum borjuis Eropa
pada abad kesembilan belas, yang dialami oleh orang Amerika Serikat
(selama) sebagian besar abad kedua puluh, dan kemudian yang telah
dikembangkan pula di Jepang, termasuk Korea Selatan masa kini, yaitu
oleh para para pemimpin bisnis konglomerat mereka. "
2. Tema Seni Tradisi-Modern: Kontinuitas dan
Diskontinuitas dalam Perkembangan Seni 167
Sampai saat ini para ahli masih memperdebatkan apakah sebuah
perkembangan ke arah modern itu adalah suatu proses yang
berkesinambungan atau tidak? Banyak sekali pendapat ahli yang
berbeda, terutama penekanan bahwa perkembangan itu bersifat
kontinuitas, dan ada pula yang menekankan bahwa perkembangan itu
bersifat diskontinuitas. Perkembangan bersifat kontinuitas
(berkesinambungan) maksudnya bahwa perkembangan itu berlangsung
secara bertahap dan terus menerus. Perkembangan bersifat
diskontinuitas atau tidak berkesinambungan, adalah proses
perkembangan yang melibatkan proses -proses berbeda secara
kualitatif.
Berbagai perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dari suatu tahap
ke tahap berikutnya, terkait dengan persoalan dalam konteks pelestarian
seni dan budaya serta pencarian karakter bangsa. Dalam hal ini kita
dapat masuk ke diskusi paling panas, misalnya seni dan budaya apa
yang harus dipertahankan sebagai jati diri bangsa dan sekaligus
manusia modern ? Perubahan-perubahan bentuk seni itu sangat banyak
terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia. Budaya-budaya besar seperti

167
Lihat tulisan Michel Foucault (1926-1984), discontinuity and continuity
mencerminkan aliran sejarah dan fakta bahwa beberapa "hal-hal yang tidak lagi
dirasakan, dijelaskan, diungkapkan, ditandai, diklasifikasikan, dan dikenal dengan
cara yang sama" dari satu era ke depan. (1994).
291
dari India dan Cina, Arab masuk ke Indonesia sekaligus membawa
anasir seni, kemudian diserap dan berkembang menjadi bagian dari seni
Indonesia, yang banyak menjadi pertanyaan adalah bagaimana
melestarikan kebudayaan itu, hal ini terkait dengan teori kontinitas dan
diskontinuitas dalam seni.

a. Teori Diskontinuitas Foucault (1994)


Seperti yang diketahui, sejarah seringkali diartikan sebagai sebuah
rangkaian peristiwa berkesinambungan yang dapat disusun
kronologisnya secara sinkronik 168dan diakronik169. Pemaknaan
tradisional juga cenderung menafsirkan sejarah secara sinkronik dan
sebagai kajian tentang relasi kausalitas antara peristiwa terdahulu
dengan setelahnya. Merujuk teori kesinambungan, sejarah memang
dianggap sebagai sekumpulan wacana yang dilapisi peristiwa yang
konstan. Sejarah juga hanyalah penghimpun peristiwa yang menjadi
acuan dan pembukti adanya hubungan sejumlah peristiwa, tetapi teori
ini tidak selamanya dapat dimaknai secara struktural. teoretikus asal
Prancis, Michel Foucault, mencoba menolak premis ini.
Foucault dalam bukunya yang berjudul The Order of Things: An
Archaeology of the Human Sciences, 1994 (arkeologi ilmu
pengetahuan) menyatakan sejarah tidaklah sesederhana itu.
Menurutnya, adanya kemungkinan anomali dan retakan sejarah yang
kadang diabaikan oleh sejarawan. Lagipula sejarawan seringkali
terjebak dalam hubungan kausalitas sejumlah peristiwa. Retakan ini
yang disebut oleh Foucault sebagai diskontinuitas dalam sejarah.
Menurutnya diskoninuitas adalah sesuatu yang ada dalam sejarah, tetapi
ditutupi oleh peristiwa lainnya.
Menurut Foucault, sejarawan tidak hanya ―bertugas‖ mengurutkan
tahun terjadinya peristiwa, ia juga harus mengungkap apa yang
terselubung di dalam peristiwa tersebut. Selubung itu, terbentuk akibat
tertutupi oleh tradisi dan konvensi dalam masyarakat. Tradisi, ibarat
penyelamat, sekaligus pembelenggu dan pengikat leher seseorang untuk

168
Berkenaan dengan pendekatan thd bahasa dengan melihat perkembangan sepanjang
waktu; bersifat hitoris
169
Terjadi atau yang ada pada waktu yang sama atau memiliki periode yang sama atau
fase
292 Nasbahry Couto & Indrayuda
pembenaran, sehingga merasa tidak merasa perlu untuk berpikir kritis
tentang kebenaran yang menjadi objek sejarah itu, lebih dalam. Bahkan,
selubung untuk objek sejarah itu diperlukan oleh kepentingan politik
atau rezim yang berkuasa untuk menghapus ―cacat objek sejarah‖.
Lebih lanjut, Foucault mencoba mengungkapkan bahwa karya seni
seperti karya sastra, tari, drama, dan film juga berperan dalam
diskontinuitas. Hal ini terjadi karena karya sastra dan film memiliki
daya tarik yang besar untuk mengkonstruksi pemikiran seseorang, yang
pada akhirnya, mereka tidak ingin menerima adanya sesuatu yang baru
yang akan menyempurnakan tradisi yang sudah ada. Menurut Foucault,
tantangan sejarawan dalam mengungkap diskontinuitas itu agar tidak
terjadi kesalahan pemahaman dalam menafsirkan suatu peristiwa.
Dengan demikian, kebenaran sejarah dapat diungkap, termasuk adanya
intervensi ataupun konstruksi kekuasaan dan atau pengaruh lain dalam
dokumen sejarah. 170
Pendekatan Foucault disebut teori arkeologi ilmu pengetahuan
Foucault171. Hal itu disebabkan, Foucault mencoba untuk menganalisis
kode pokok budaya digunakan untuk membangun episteme atau
konfigurasi pengetahuan yang menentukan perintah empiris praktik
sosial dari setiap era sejarah tertentu. Dia menerapkan diskontinuitas
sebagai alat kerja yang positif. Beberapa wacana akan teratur dan
berkesinambungan dari waktu ke waktu sebagai pengetahuan terus
menumpuk dan masyarakat secara bertahap menetapkan apa tentang
kebenaran itu atau alasannya untuk sementara waktu. Namun, dalam
transisi dari satu era ke era berikutnya --yang progresif ke depan, akan
ada tumpang tindih dan istirahat sejenak--diskontinuitas dalam
masyarakat dalam bentuk reconfigures (rekonstruksi figur) adalah
wacana untuk mencocokkannya dengan lingkungan baru.

170
Kelebihan buku ini, memberikan pandangan baru bahwa sejarawan harus lebih
―teliti‖ dalam mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang tidak terungkap. Secara
berkesinam-bungan dari bab ke bab, ia memberi penjelasan konsep-konsep
diskontinuitas dan bagaimana sejarah dapat dan perlu ditilik hingga akar-akarnya.
Pembahasannya yang mendalam kiranya mampu memuaskan dahaga para skeptis
dan pecinta posmodernis untuk membedah dan menemukan manfaat yang tertuang
dalam buku ini.
171
Lihat karangan Foucault, M. The Order of Things: An Archaeology of the Human
Sciences. Vintage; Reissue edition (1994) ISBN 0-679-75335-4
293
Tahap berikutnya analisis wacana, bertujuan adalah untuk
memahami total kompleksitas kekuasaan dan efek yang dihasilkannya.
Dia melihat kekuasaan sebagai sarana untuk menyusun identitas
individu dan menentukan batas-batas otonomi mereka. Ini
mencerminkan hubungan simbiosis antara kekuasaan (pouvoir) dan
pengetahuan (savoir). 172 Dari uraian-uraian nanti akan terlihat bahwa
yang mengekang dan atau memajukan seni justru kedua unsur ini.
Sebagai contoh, dalam studi Foucault tentang penjara dan rumah
sakit, ia mengamati bagaimana individu modern, baik sebagai objek
atau subjek pengetahuan. Ilmu muncul sebagai sarana mengarahkan dan
membentuk kehidupan. Dia memberi contoh tentang konsepsi modern
tentang seksualitas yang muncul dari kode moral Kristen, ilmu
psikologi, hukum, dan strategi penegakan hukum yang diadopsi oleh
polisi dan peradilan, dengan cara di mana isu seksualitas dibahas dalam
media publik, dan sistem pendidikan. Hal ini adalah bentuk terselubung
penguasaan (jika tidak penindasan), dan pengaruh mereka dapat
ditemukan tidak hanya dalam apa yang dikatakan, tetapi yang lebih
penting dalam apa yang tidak dikatakan pada semua keheningan dan
kekosongan, pada semua diskontinuitas. Jika satu ide dibahas, tidak
dibahas lagi kepentingan siapa dilayani oleh perubahan nilai tersebut.
Menurut Hanafi (2005), di Indonesia ada tiga model kontinuitas
dan diskontinuitas sebagai subjek dari sebuah filsafat antarbudaya
berdasarkan pengalaman sejarah masyarakat dan budaya, bukan pada
refleksi hipotetis dan murni teoretis. Menurutnya, di Indonesia ada tiga
model utama, masing-masing dari mereka mendominasi wilayah
budaya spesifik sebagai berikut ini.
1) model diskontinuitas Barat yaitu antara tradisi dan modernitas,
2) model diskontinuitas Timur menyandingkan yang lama dan yang
baru,
3) model perubahan Islam melalui kontinuitas yang ada, misalnya di
Asia Tenggara.

Setiap model adalah cara tertentu negosiasi antara tradisi dan


modernitas. Setiap mereka telah mengembangkan alat khusus untuk

172
Lihat juga Foucault, Michel. Arkeologi Pengetahuan. Terj. Mochtar Zoerni.
Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002.
294 Nasbahry Couto & Indrayuda
modernisasi dan ditandai dengan ketegangan tertentu dan tantangan
serta dengan berjuang dengan kemunduran dan ketidakseimbangan
masing-masing.

b. Kontinuitas dalam Seni Indonesia


Walaupun teori Foucault ini muncul dikemudian hari,
pembahasan-pembahasan awal tentang kontinuitas dalam seni sudah
ada dan mendahului teori Foucault itu, justru dalam kerangka teori
budaya, yaitu dalam konteks akulturasi budaya (cultural acculturation).
173
Salah satu buku yang membahas tentang kontinuitas seni di
Indonesia adalah buku karangan Claire Holt yang berupaya melacak
kontinuitas sejarah seni dan kebudayaan Indonesia. Claire Holt adalah
seorang wanita kelahiran Riga, Latvia pada tahun 1901. Keluarganya
pindah ke Moskow pada tahun 1914 pada tahun 1920 ia menikah dan
tidak lama kemudian dia dan suaminya beremigrasi dari Uni Soviet.
Pada tahun 1921 mereka menetap di New York. Holt bekerja di
Brooklyn Law School, Cooper Union art School, dan Columbia
University School of Journalism. Dari tahun 1928-1930, Holt adalah
seorang reporter untuk koran New York World. Tugasnya antara lain
menulis tinjauan tari yang diterbitkan di bawah nama Barbara Holveg.
Holt melakukan perjalanan
pertamanya ke Indonesia pada tahun 1930
dan menghabiskan waktu sepuluh tahun di
Indonesia. Dia belajar tari, bekerja untuk
antropolog Willem Stutterheim, dan
kemudian membantu juru arsip tari
Swedia dan pelindungnya Rolf de Maré
dengan foto dan dokumentasi film tari
Indonesia. Setelah perang dunia kedua

173
Akulturasi adalah suatu proses di mana anggota dari satu kelompok budaya
mengadopsi keyakinan dan perilaku dari kelompok lain. Meskipun akulturasi
biasanya ke arah kelompok minoritas mengadopsi kebiasaan dan pola bahasa
kelompok dominan, akulturasi dapat timbal balik -yaitu, kelompok dominan juga
mengadopsi pola khas dari kelompok minoritas. Asimilasi dari satu kelompok
budaya ke lain dapat dibuktikan dengan perubahan preferensi bahasa, adopsi sikap
umum dan nilai-nilai, anggotanya panggul pada kelompok sosial umum dan
lembaga-lembaga, dan hilangnya identifikasi politik atau etnis tersendiri.
295
membayanginya, Holt kembali ke Amerika Serikat, di mana dia bekerja
sejak 1940-an dan awal 50-an sebagai asisten penelitian untuk Margaret
Mead, sebagai analis penelitian untuk Office of Strategic Services, dan
sebagai spesialis urusan luar negeri untuk Departemen Luar Negeri. Dia
mengundurkan diri dari dinas pemerintah pada tahun 1953, melakukan
protes regulasi keamanan McCarthy. Sisa hidup Holt dihabiskan
mengajar di Cornell University, di mana pada tahun 1962 ia membantu
mendirikan Proyek Indonesia Modern. Dia kembali ke Indonesia pada
pertengahan tahun 1950-an, kemudian menyusun buku pada tahun 1969
yang berjudul Art In Indonesia: Continuities And Change, yang
diterbitkan oleh Cornell University Press tahun 1971. Holt meninggal di
Ithaca, New York, pada tahun 1970. Dia meninggal sebelum bukunya
diterbitkan. 174
Buku ini sudah diterjemahkan oleh R. M. Soedarsono (2000)
berjudul Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia (Bandung:
Arti. line MSPI). Mengenai Seni Plastis Bali: Tradisi dalam Perubahan.
Ia menggunakan bahan yang amat luas, mulai data arkeologi sampai
relief-relief. Buku ini terdiri atas tiga bagian: warisan, tradisi yang
hidup, dan seni modern. Setiap bagian adalah periode tersendiri dalam
sejarah seni Indonesia, dari zaman prasejarah hingga seni rupa
Indonesia pada paruh pertama abad ke-20. Holt (1901-1970) mampu
menyajikan argumentasi, ada benang merah yang tidak terlihat antara
lukisan-lukisan di dinding gua di Pasemah dan lukisan Sudjojono.

174
Buku yang lebih lengkap tentang ini lihat di Perpustakaan Nasional Australia, yaitu
situs: http://trove. nla. gov. au/result?q=%22%20Art, %20Indonesian%22
296 Nasbahry Couto & Indrayuda
Holt, Claire, (1971) memang
,meletakkan Sudjojono sebagai titik
sentral perkembangan seni rupa modern
di Indonesia. Memang, kalau melihat
sejarah seni rupa Indonesia, boleh
dikatakan Sudjojono termasuk sebagai
salah seorang peletak dasarnya175. Holt
sewaktu melakukan perjalanan Indonesia
untuk mempelajari tari Nias, sumber
Foto. Dances Of Sumatra And Nias:
Notes By Claire Holt, 1939.

c. Aspek Kontinuitas dan


Diskontinuitas Seni Lukis Bali
Seperti yang diketahui, kesenian Bali bertautan erat dengan
upacara agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali.
Semua bentuk kesenian di Bali pada awalnya untuk menunjang dan
mengabadikan kehidupan upacara keagamaan Hindu Bali. Begitu pula
pada kehidupan seni lukisnya yang juga memiliki peran besar pada
upacara agama Hindu di tempat-tempat pemujaan yang terdapat di
seluruh pelosok daerah Bali. 176
Namun, budaya Bali sekarang adalah hasil akulturasi budaya lokal
dan budaya yang datang dari luar, dan hal itu berpengaruh kepada
ragam gaya dan ornamen seni Bali, yang terlihat pada seni arsitektur,
seni tari, pakaian, dan seni rupanya. Mengenai pencampuran
kebudayaan ini dapat disebut progresif, inovatif (diskontinuity) dan
dapat pula sebagai penyempurnaan yang lama (kontinuity) Tumbuhnya
elemen kebudayaan yang baru itu bisa terjadi karena dua kemungkinan,
yaitu karena ada penemuan (inovasi) atau karena adanya pencampuran
(akulturasi). Kontinuitas seni dan budaya Bali bisa terjadi akibat proses
akulturasi dan disebabkan oleh karakter masyarakat Bali yang sangat

175
Lihat juga Dances of Sumatra and Nias: Notes, artikel karangan Claire Holt (1971)
176
Lukisan dianggap sebagai dasar dan bentuk ekspresi kesenian tinggi di Bali. Karya
seni tersebut menjadi artefak yang sangat berharga dalam kehidupan ritual dalam
tradisi Bali.
297
terbuka, dan kreatif. Ada pandangan bahwa pengaruh dari luar seperti
apa pun setelah jatuh ke tangan seniman Bali selalu akan berciri Bali177.
Dengan ‗keterbukaan kreatifnya‘ masyarakat Bali mampu
menyelaraskan kebudayaan luar yang masuk dan disesuaikan dengan
kekayaan seni dan budaya setempat.
Pada awalnya, Bali dipengaruhi unsur dari luar yang tidak
terelakkan sebagai penyebaran agama Hindu dari India ke kawasan
Indonesia, termasuk ke Bali. Claire Holt (1971) menjelaskan bahwa
penyebaran ini dibawa langsung oleh para pendeta atau biarawan dari
India, yang berhubungan dengan perdagangan atau kerajaan-kerajaan di
Bali, dan juga sebagai pengaruh kerajaan Hindu di Jawa. Hal itu
diperkuat dengan kontak-kontak masyarakat Bali dengan Cina, dan
beberapa daerah di India Belakang (Asia Tenggara). Beberapa faktor
itu, mungkin telah menyumbangkan pembentukan kebudayaan Bali dan
termasuk seninya, khususnya seni lukis.
Menurut data arkeologis, seni rupa prakolonial Bali adalah warisan
dari tatanan ideoreligius budaya agraris Hindu-Buddha yang
berkembang di Bali sejak paling sedikit abad ke-10, ketika didirikan
kerajaan-kerajaan yang "bercorak India" yang pertama. Sementara seni
lukis baru dikenal sekitar abad ke-11, ketika sejumlah inskripsi yang
dikeluarkan oleh Raja Anak Wungsu, yang memberikan tanda adanya
kaula kerajaan yang memiliki kepandaian melukis. Dalam analisis Jean
Counteau, seorang antropolog dari Perancis, ragam budaya
prapenjajahan Bali, adalah campuran gaya lokal dengan aneka unsur
Jawa, yang terutama setelah adanya penyerangan kerajaan Majapahit
tahun 1343 ke Bali.
Bentuk seni rupa di Bali mengalami perkembangan yang berbeda
dengan daerah di Jawa. Bentuk perubahan ini bersifat sebagai
penyesuaian terhadap karakter orang Bali yang ekspresif, yang kasar
dalam lelucon, serta bersungguh-sungguh; mewah dengan warna-warna
emas dan terang: musiknya, walaupun kaya dan melodis, adalah

177
Istilah tersebut memiliki pengertian sebagai kemampuan kebudayaan setempat
(local) dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua
kebudayaan itu berhubungan. Sebagai akibat dari hubungan itu terjadilah suatu
proses akulturasi (Noerhadi Magetsari, 1986). lih. Noerhadi, Magetsari. 1986. Local
Genius dalam Kehidupan Beragama, dalam Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta:
Pustaka Jaya
298 Nasbahry Couto & Indrayuda
karakteristik eksplosif (meledak-ledak), (Claire Holt, 245). Dalam
pandangan Alvin Boskoff ada dua teori tentang perubahan sosial
budaya, yaitu teori-teori eksternal dan internal. Teori eksternal
memandang bahwa inti terjadinya perubahan budaya disebabkan oleh
adanya kontak antarbudaya berbeda, sedangkan perubahan internal
disebabkan oleh adanya dorongan perubahan dari dalam masyarakat itu
sendiri 178 Untuk menguatkan pandangan di atas, William A. Haviland
mengemukakan bahwa mekanisme yang terlibat dalam perubahan
kebudayaan antara lain adalah akulturasi179. Seiring perkembangan
kebu-dayaan dan pengaruh dari luar tersebut, berkembang pula teknis
penciptaan, bentuk, fungsi, dan makna dari lukisan tradisional Bali180.
Terlihat bahwa dari tulisan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa kontinuitas yang dimaksud adalah dari segi tematik seni (konsep
seni) dan perubahan (akulturasi) adalah dari segi teknis berkarya.
Kemudian sesuai dengan topik subbab ini, timbul pertanyaan dimana
letaknya aspek perubahan yang ada pada budaya dan seni Bali? Hal ini
diterangkan secara samar oleh Kadek Suartaya (2008) dalam tulisannya
yang bertajuk Teater "Happy Ending" Bali dengan mengatakan sebagai
berikut ini.
Akan tetapi, kompleksitas kehidupan agaknya telah
mendistorsi kemuliaan-kemuliaan yang kita usung selama ini.
Kearifan yang direplekasikan oleh dunia seni rupanya tidak
menunjukkan kharismanya lagi. Tradisi menonton dan menghayati
nilai estetik dan etik yang disajikan oleh khususnya ekspresi seni

178
Lihat Alvin Boskoff, ―Recent Theories of Social Change‖ dalam Warner J.
Cahnman dan Alvin Boskoff, ed. , Sociology and History (London: The Free Press
of Glencoe, 1964), 143-147.
179
Willian A. Haviland, Antropologi, jilid. 2, terj. R. G Sukadijo (Jakarta: Erlangga,
1988), 253.
180
Sucitra, Arya (2012) telah membahas selintas tentang pokok permasalahan proses
akulturasi estetis antara seni lukis Bali klasik gaya Kamasan dengan persentuhan
pengetahuan seni rupa modern yang diperkenalkan pelancong Barat yang masuk
melalui proses kolonisasi penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 sehingga
selanjutnya akan ditemukan varian-varian turunan seni rupa di Bali dan dengan
segala perbedaan konsep, tema, material lukis hingga teknis penciptaannya.
Perpaduan ini kemudian melahirkan seni lukis Pitamaha yang berkembang pesat
pada era 1930-an di desa Ubud, Gianyar Bali. Lihat selengkapnya dalam Sucitra,
Arya (2012) Transformasi Seni Rupa Bali, Pita Maha ‗Koalisi‘ Estetis Seni Lukis
Klasik Bali dengan Seni Rupa Modern, pada situs http://karyajurnal. blogspot. com/
299
yang dulu begitu intim dengan kehidupan masyarakat, kini
cenderung tergerus. Tontonan teater tradisi sebagai wahana
pembelajaran hidup, belakangan tampak begitu kikuk berinteraksi
dengan komunitasnya sendiri. Cermin itu telah retak.
Sebuah cermin retak tentu tidak mampu memantulkan
bayangan secara utuh. Gejala kesenjangan antara masyarakat Bali
dengan bentuk-bentuk teater yang dulu berpengaruh kuat di tengah
masyarakat mungkin yang kini bereskalasi dalam wujud kekeringan
nurani. Moral happy ending yang disuguhkan dalam pertunjukan
teater sepertinya tidak menjadi rujukan lagi dalam teater kehidupan
nyata di tengah-tengah masyarakat Bali masa kini. Kembali, tengok
konflik-konflik sosial yang jarang tuntas terselesaikan secara
rekonsiliatif, happy ending. Diskontinuitas moral seni dan praktik
kehidupan kian menganga. 181

d. Diskontinuitas Lembaga Sosial Seni (Kasus Kesenian Istana)


Dari sudut pandang kelembagaan seni, kita melihat dua pola dalam
kesenian di Indonesia (1) seni tradisional dan (2) seni modern.
Kesenian tradisonal menurut Wiyoso Yudosaputro (2005) ada dua
bentuk, pertama yang berasal dari rakyat jelata dan yang kedua dari
keraton. Oleh karena itu, ditinjau dari segi bentuk kelembagaan seni
tradisional- modern kita dapat melihat dua pola kelembagaan seni,
seperti yang digambarkan Indrayuda (2013), dikontinuitas itu dapat
diperlihatkan pada gambar 36.

181
Lihat: http://www. balipost. co. id/mediadetail. php?module=detailberitaindex&kid=
15&id=7270
300 Nasbahry Couto & Indrayuda
Gambar 36. Diskontinuitas dalam kelembagaan seni, seni yang
tadinya untuk kelembagaan yang berbentuk feodal (di keraton)
(pola I), sekarang masuk ke bentuk kelembagaan yang bersifat
komersil (pola II), sumber Indrayuda, 2013.
Hal ini dijelaskan lebih rinci oleh Indrayuda (2013) sebagai
berikut.
“Seperti contohnya dalam tradisi keraton Yogyakarta seperti
sekarang ini, pelembagaan produksi dan distribusi berbentuk
lembaga keabdileman yang disebut kawedanan hageng punakawan
Kridhamardawa. Dalam lembaga produsen itu terdiri atas para
abdi dalem dengan berbagai macam profesi, dari seniman pencipta,
pekerja kreatif, pelaku sampai pada pembantu pelaksana seni.
Mereka terhimpun dalam satu wadah yang mempunyai fungsi dan
tugasnya sendiri-sendiri untuk mencapai satu tujuan yaitu perintah
raja mencipta, memelihara, dan mengembangkan kesenian. Untuk
memberikan satu gambaran pentingnya pengelolaan atau kontrol
terhadap para abdi dalem seniman itu dibutuhkan manajemen atau
kepemimpinan. Sekarang sifat kontrol langsung dari sultan lebih
301
dikuasakan kepada para pemimpin atau pengageng. Mereka itu
adalah putra sultan, sehingga melalui cara itu dapat dilihat sifat-
sifat patrimonial yang ideologinya tetap kawula-gusti, yakni
bangsawan-bangsawan itu sebagai wakil sultan sendiri, yang
secara tradisional ada pada tingkat tertinggi dalam stratifikasi
sosial itu. ”
“Dalam kategori sejarah kapitalis dan teknokratis, dengan
munculnya patron baru, skemanya menjadi dua jenis arah yang
mempunyai sifat hubungan horizontal patron-konsumen. Seniman
mencipta karya seni sebagai karya baru untuk kepentingan
konsumen. Arahnya datang secara realis dari si seniman, tetapi
pada sisi lain dapat datang dari konsumen sebagai patron baru
memesan seni/karya kepada si Seniman. Pada dasarnya seniman
baru ini hidup secara bebas dengan patron baru yakni kelas
menengah atau pasaran. Sifat-sifat profesionalisme baru berbeda
dengan profesionalisme tradisional. Apabila profesionalisme lama
(tradisi) bersumber pada patronnya yaitu raja yang bersifat
hierarki, profesional baru didukung oleh adanya pasaran seni, yaitu
berasal dari dan hidup dalam kelas yang sama dengan patronnya
(kelas menengah), sehingga profesionalisme baru menjadi
profesionalisme modern yang pada dasarnya mempunyai kebebasan
kreatif lebih besar dari profesionalisme. ”
Lisa Clare Mapson (2010), justru melihat institusi atau
kelembagaan seni seperti sekolah seni serta institusi seni ikut berperan
dalam diskontinuitas itu seperti yang dikatakannya.
“. . . . Perubahan ini berpotensi mengasingkan atau
menjauhkan kesenian dari kebudayaan aslinya karena bentuk-
bentuk lokal yang berkaitan dengan kisahan dan sejarah lokal
terancam hilang. „Ketika bentuk ISI menjadi dominan, ‟ Davies
menjelaskan dengan merujuk kepada kasus tari Legong, Bali,
„tariannya bertahan lebih sebagai contoh museum. ‟ Apalagi, baik
di ISI atau sekolah umum, kesenian yang kaya unsur-unsur mistis,
agama atau sejarah dikurangi menjadi kesenian murni, tanpa
ikatan kepada kebudayaan aslinya. Hanya di desa, jauh dari
tatapan wisatawan, perbedaan berdasarkan gaya lokal dan unsur-
unsur spiritual dipertahankan, di mana pertunjukan „mengalir di
antara perbatasan tertembus dari alam semesta spiritual dan
duniawi, melanggar peraturan nasional. ‟ Diskontinuitas ini
mewakili perubahan yang sedang terjadi dalam kesenian di
302 Nasbahry Couto & Indrayuda
Indonesia, dipertajam oleh keberadaan wisatawan asing dan status
kesenian Bali sebagai daya tarik wisatawan tersebut. ”182

Mapson, Lisa Clare (2010) juga menjelaskan peran kelembagaan


ini, misalnya kasus ‗Pencurian‘ Reog Ponorogo, oleh negara Malaysia,
untuk kepentingan pariwisata, adalah salah satu bentuk diskontinuitas
dalam seni dan budaya antarbangsa. Bagi pihak Malaysia diskontinuitas
ini adalah hal penting, sebaliknya bagi Indonesia dianggap merugikan
karena melanggar hak cipta. Jadi, pengertian diskontinuitas dapat diberi
makna positif dan makna negatif tergantung tujuan dan cara
melihatnya.

e. Kontinuitas Seni Barat di Indonesia


Agus Sachari (2006) juga melihat peranan lembaga dalam menjaga
kontinuitas seni, khususnya perkembangan seni dari Barat. Hal ini
terlihat dari tulisannya yang bertajuk ―Mazhab Bandung Menggilas
Sebuah Aliran‖, dia berpendapat bahwa mashab Bandung adalah
kontinuitas berkesenian dunia (Ero-merika), seperti yang dikatakannya:
183

“Generasi pengembang dalam bidang kesenirupaan sebagai


benang merah kesinambungan falsafah kesenirupaan universal di
antaranya AD Pirous, Imam Buchori, Yusuf Affendi, Kaboel Suadi,
Srihadi Soedarsono, G. Sidharta, Soedjoko, Widagdo, Sanento,
Primadi, Rita W, Adjat Sakri, Wiyoso, dan lain-lainnya. Kemudian
generasi selanjutnya diikuti oleh Umi Dachlan, Abay Subarna,
Sunaryo, Surya Pernawa, Hariadi, Sutanto, dan lain-lainnya,
mengalami proses transformasi lanjut adanya kesinambungan
budaya dari generasi sebelumnya.
Pengaruh estetik universal yang dipelajari dari berbagai
negara semasa menempuh pendidikan pascasarjana, baik di
negara-negara Eropa atau Amerika, kemudian dicangkokkan ke

182
Lihat tulisan Kesenian, Identitas, dan Hak Cipta: Kasus ‗Pencurian‘ Reog Ponorogo,
Lisa Clare Mapson, Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies,
(ACICIS) Angkatan 30, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Muhammadiyah Malang, Juni 2010, http://www. acicis. murdoch. edu.
au/hi/field_topics/lisa_mapson. pdf
183
Lihat di: http://budayavisual. blogspot. com/
303
dalam pendidikan kesenian profesional. Hal itu disadari sebagai
usaha untuk menjadikan seni rupa Indonesia menjadi bagian
penting perkembangan seni dunia. Namun demikian, warna lokal
yang telah menjadi kekayaan bangsa Indonesia selama berabad-
abad tetap menjadi sumber inspirasi yang penting. ”
Para mahasiswa yang belajar di ITB, secara bertahap
mengenal Sejarah Kebudayaan Dunia, sejarah seni rupa Asia, seni
rupa Islam, teori seni rupa Modern, serta cabang-cabang ilmu
kesenirupaan, dan berbagai hal yang sebelumnya diperoleh secara
terbatas di dalam negeri. Tidak semua yang diperoleh dari
pendidikan lanjut itu diterapkan dalam praktik, tetapi mengalami
proses pencangkokkan dan proses “Indonesiasi” yang terus
menerus. Kita kemudian bisa mengenal “diri” posisi seniman
Indonesia dalam peta kesenian dunia dan posisi kebudayaan
Indonesia di tengah-tengah percaturan Asia.

Kontinuitas antara seni Barat (abstrak) dan seni Timur


(kontemplasi) dalam seni lukis, Ahmad Sadali. ―Gunungan‖, adalah
filsafat pewayangan membuat orang merenungkan hakikat, asal dan
tujuan hidup, manunggaling kawula Gusti (hubungan gaib antara
dirinya dengan Tuhan), kedudukan manusia dalam alam semesta, dan
sangkan paraning dumadi (kembali ke asal) yang dilambangkan dengan
tancep kayon oleh sang dalang pada akhir pagelaran. Konon kata kayon
berasal dari bahasa Arab ―khayyu‖ yang berarti hidup. Kayon atau
Gunungan adalah pembuka dan penutup pagelaran wayang kulit
(Gambar atas)
Kesinambungan dan kontinuitas itu kemudian mengambil bentuk
dengan terjadinya pluralisme dalam seni, sebagai berikut ini. Hal ini
akan menimbulkan pertanyaan, apakah memang ujung dari gaya seni
304 Nasbahry Couto & Indrayuda
dari sebuah lembaga akan selalu pluralisme? Seperti yang
dikatakannya.
“Ketika generasi perintis mulai uzur, Mazhab Bandung pada
generasi kritis mengalami proses pemantapan melalui berbagai
terobosan alternatif berekspresi seni kontemporer, di antaranya
gaya „realisme kritis‟, „Realisme Kerakyatan‟, sensualitas, seni
massa, dekonstruksifis hingga pop (vulgaristik), „multieklektik‟,
„green design‟, „posmo‟, dan berbagai gaya yang diadopsi dari
kebudayaan dunia kritis menjadi bagian kehidupan berekspresi. Di
paruh kedua tahun 90-an, para pengajar, seniman, para
mahasiswa, di lingkungan pendidikan seni rupa ITB mengalami
kebebasan yang luar biasa dalam menentukan gaya. Mazhab
Bandung yang berdomisili di lingkungan kampus ITB mengalami
pergeseran ke arah multikultur, multidisiplin dan pluralitas secara
radikal. Beberapa seniman dan perupa generasi kebebasan ini, di
antaranya Tisna Sanjaya, Setiawan Sabana, Maman Noor,
Hendrawan Riyanto, Asmudjo Irianto, dan lain lainnya. Dalam
bidang desain sejak akhir tahun 90-an, juga muncul generasi baru
yang lebih bebas dari pemikiran aliran Bandung „posstrukturalis‟,
di antaranya Yasraf Amir Piliang, Duddy Wiyancoko, Rizki Zaelani,
dan lain-lain. ”
Sachari (2006) tidak membahas bagaimana diskontinuitas seni
yang terjadi dalam konteks kelembagaan (mazhab Bandung) ini, tetapi
secara samar dia menjelaskan adanya diskontinuitas dalam seni dan
peran tokoh (actor/aktor) dalam menjaga diskontinuitas itu sebagai
berikut ini.
“Sejak But Mukhtar “dipindah” dan menjabat rektor ISI-
Jogyakarta, tidak tertutup kemungkinan Mazhab Bandung juga
mengalami proses metamorfosa dalam bentuk lain di Yogyakarta,
baik dalam bentuk kebijakan (konsorsium seni), atmosfir berkarya
dan keterbukaan informasi. Hal itu terbukti dari semakin
dinamisnya gaya-gaya seni modern hidup di kota ini, di samping
tumbuhnya tradisi akademis yang kuat (Agus Sachari, 2006) “184

184
Ibid 2006
305
f. Peran Kelembagaan terhadap Seni dalam Islam
Menurut hemat penulis, diskontinuitas dalam seni boleh jadi dapat
berasal dari lembaga-lembaga sosial politik dan keagamaan dan aktor-
aktor yang ada di dalamnya. Misalnya lembaga-lembaga agama dan dan
jaringan kekuasaan di antaranya (sesuai dengan teori Foucault yang
berperan (1) kekuasaan dan (2) ilmu pengetahuan (ideologi yang
dianutnya).
Menurut Danusiri (2013) dalam mengkaji seni dalam Islam akan
selalu terbentur karena terdapat pro dan kontra di kalangan Islam
sendiri (menurut penulis adalah aliran-aliran/mazhap dalam
kelembagaan Islam sendiri). Sampai sekarang belum ada lembaga
Islam apa pun juga yang secara formal dan sistematis melakukan kajian
seni secara menyeluruh, termasuk perihal filosofis atau filsafat seni
Islam, yang dapat merumuskan nilai seni menurut pandangan Islam --
yang diakui secara kelembagaan, antara lain teori (sejarah, struktur, dan
klasifikasi: apakah ada seni Islam ataukah hanya ada seni muslim),
praktik (kajian tentang teknik-teknik perbidang), dan apresiatif (kritik
seni yang mengkaji perkembangan seni Islam dalam hubungan dengan
perkembangan masyarakat muslim) yang mengatasnamakan lembaga
seni Islam (di Indonesia). Umumnya inti pendirian kelompok ini
menyatakan bahwa seni Islam itu tidak ada, dan yang ada adalah orang
Islam yang berseni.
Menurut Danusiri (2013), sebagian umat Islam atau bisa disebut
seniman muslim bersemangat menunjukkan berbagai dalil „aqliyah‟
(rasional) bahwa Alquran sendiri mengandung nilai seni yang amat
tinggi dan bahwa musabaqah tilawatil quran telah digelar di mana-mana
secara demonstratif. Demikian juga seni kaligrafi Islam-Arab atau
naqliyah (teks yang bersumber dari Alquran dan as-Sunnah; Alfaruqi,
1999: v-vi) menjelaskan tentang keindahan sebagai buah karya seni.
Inti pendirian kelompok ini adalah: ‖seni adalah salah satu dari
kandungan atau jangkauan Islam‖. Dalam tulisan Danusiri, dinyatakan
bahwa seni Islam itu ada, tetapi konflik ide seni dalam kelembagaan

306 Nasbahry Couto & Indrayuda


Islam ini tidak dapat terhindarkan, disebut oleh Danusiri sebagai
berikut. 185
“Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan yang
memiliki misi: (1) menegakkan keyakinan tauhid yang murni; (2)
menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber kepada Alquran
dan as-Sunnah‟ dan (3) mewujudkan amal Islami dalam kehidupan
pribadi keluarga, dan masyarakat (Sukaca, 2008:4),
menghindarkan penyakit TBC+S [tahayyul, bid‟ah, khurafat, dan
syirik) menimbulkan efek pemiskinan kebudayaan, termasuk di
dalamnya seni sehingga secara luas Muhammadiyah kurang
diminati oleh masyarakat awam luas. Muhammadiyah akan
mendapat respon di kalangan masyarakat luas jika mampu
mencipta karya seni apa saja, khususnya seni musik yang merakyat,
tetapi tidak bertentangan dengan syariat.
Kawan-kawan di NU mampu berbuat itu. Mereka sangat
adabtatif, mampu menggunakan instrumen yang mestinya bukan
alirannya, melainkan diaransemen demikian apik. Instrumennya
campursari, tetapi gubahan iramanya padang pasir. Instrumen
karawitan dikolaborasi dengan samrah atau sebaliknya dapat
mencipta karya seni yang dapat dinikmati orang awam. Hanya saja
karena saking luwesnya, aspek akidah kurang menjadi
pertimbangan penting sehingga sebuah karya seni sering dikritik
oleh mereka yang berasal dari Muhammadiyah sebagai sesuatu
yang berbau syirik. ”
Lembaga di bawah Naungan NU melihat dengan cara lain sebagai
berikut ini. 186
“Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi‟iyah,
Asembagus, Situbondo, KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy ternyata
mempuyai pandangan yang “netral” tentang seni. Menurutnya, seni
musik bisa dimanfaatkan untuk sarana dakwah. Dakwah bisa
dilakukan melalui apa saja asalkan tidak bertentangan dengan
syariat Islam. “Karena bahasa Islam itu universal, sehingga bisa

185
Lihat: Pandangan Islam Tentang Seni, oleh M. Danusiri Dosen DPK UNIMUS dari
IAIN Wali 9 Semarang, dalam am http://danusiri. dosen. unimus. ac. id/materi-
kuliah/fbba/pandangan-islam-tentang-seni/
186
Dalam situs resmi NU, Tentang eni Budaya, butir 9. disebutkan 9. Lembaga Seni
Budaya Muslimin Indonesia disingkat LESBUMI, bertugas melaksanakan kebijakan
Nahdlatul Ulama dibidang pengembangan seni dan budaya. .
307
disampaikan melalui bahasa seni” tukasnya saat mengunjungi
Studio Musik Purwacaraka di Kaliwates belum lama ini. ”187

g. Kandungan Ideologi Seni Islam: Imitasi Realitas Seni dalam


Islam, Tashwir (Gambaran), Shuwar (Gambar)
Sebenarnya penganut agama Islam telah menyadari keindahan itu
ada di alam, seperti keindahan yang ada pada bunga, daun-daunan,
pemandangan alam, kecantikan manusia dan sebagainya. Mereka
menyadari bahwa keindahan itu adalah ciptaan Tuhan, tetapi dalam
menggambarkan kembali keindahan alam itu menjadi masalah karena
terdapatnya ―keyakinan‖ adanya larangan, terutama dalam hadits-hadits
Agama Islam. Pandangan ini disebut dengan "iconoclastik", sebagai
lawan dari "iconografik" (ide imitasi yang terdapat pada Yunani
Klassik, Kristen, Hindu dan sebagainya). Secara umum diketahui
bahwa Islam melarang pembuatan patung-patung atau lukisan manusia
karena alasan penyembahan berhala (paganisme). Dalam masyarakat
Islam banyak dijumpai larangan itu secara langsung atau tidak langsung
bahwa ―peniruan bentuk alam atau ikon‖ itu di haramkan.
Lavoix pada tahun 1859, adalah orang pertama yang menjelaskan
bahwa Al quran sendiri sebenarnya tidak mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan penggambaran atau seni lukis188. Dalam Sunnah
Rasul memang ada beberapa hadits yang isinya menentang pembuatan
gambar atau lukisan makhluk hidup. Hadits-hadits tersebut dan
penafsirannya tidak akan dikemukakan dalam tulisan ini, dan perlu
dilihat realitas penafsiran larangan ini dalam sejarah seni Islam --bahwa
di awal-awal kebudayaan Islam ternyata seni lukis itu tidaklah dilarang.
Seni lukis tetap tumbuh dalam peradaban Islam meskipun mendapat
tantangan oleh masyarakat Islam sendiri yang menumbuhkan seni lukis
ini. Terutama kalangan atas dan golongan kaum berada189. Kita
menemukan bahwa hanya sedikit hadits yang dipergunakan oleh para
ahli hukum sebagai penjelasan atau penafsiran tentang larangan itu,

187
http://www. nu. or. id/a, public-m, dinamic-s, detail-ids, 46-id, 41974-lang, id-c,
pesantren-t, KHR+Ahmad+Azaim+Ingin+Satrinya+Bisa+Rekaman-. phpx
188
) Orang pertama yang menunjukkan bahwa larangan terhadap lukisan bukan berasal
dari Al-Qur‘an, akan tetapi dari hadits, adalah Lavoix pada tahun 1859, dalam ‗les
Peintures musulmans, ‖ hal. 353-354
189
) Abdul Jabbar Beg, 1981. Seni Dalam Peradaban Islam, Bandung, hal. 7. .
308 Nasbahry Couto & Indrayuda
tidak membolehkan atau tidak mengizinkan melihat, memiliki dan
pembuatan citra makhluk hidup, sedangkan dalam Al-Qur‘an sendiri
tidak ada larangan itu (lihat pula tulisan Abdul Hadi W. M. (2011)
dalam situs http://wangsadita. org/pemikiran-awal-estetika-seni-lukis-
dalam-islam/.

Ahmad Muhammad Isa (1981), dalam tulisannya tentang muslim


dan tashwir, sampai pada kesimpulan bahwa di antara hadits Nabi ada
yang bertentangan penafsirannya oleh orang-orang terdahulu. Akan
tetapi ,tidak seorang pun yang dapat mengatakan baik secara jelas atau
tersirat bahwa Alquran memberi larangan terhadap tashwir190. Tidak
dapat diingkari bahwa seni Islam dipengaruhi oleh pandangan para
ulama yang berpegang pada larangan membuat gambar. Pandangan
demikian adalah rintangan bagi seniman untuk membuat gambar
manusia dan binatang. Akibatnya karya-karyanya menjadi kaku, kering
dan jauh dari kemiripan alam. Terdapat sedikit kritik Ahmad
Muhammad Isa bahwa penolakan oleh sebagian besar umat Islam itu,
terhadap gambar dan seni patung telah merugikan umat Islam sendiri
seperti yang dikatakannya:
“Karena agama kristen sejak semula telah memanfaatkan
pemakaian gambar (shuwar) untuk meluaskan ajarannya dan
membawa ajaran itu dari suatu tempat ke tempat lain melalui cara

190
) Op. Cit. 1981: 44
309
gambar-gambar yang mempunyai arti simbolis (rusum), maka
gambar-gambar itu telah melestarikan ajaran-ajaran agama dalam
seni, dan dengan demikian, betul-betul dibutuhkan sebagai
pelukisan ajaran-ajarannya. Seni itu dapat dipakai untuk
membawakan arti Injil, dan lebih mudah melekat dalam pikiran dan
lebih mudah dipahami oleh orang-orang. Seni dipakai untuk
menggambarkan kejadian-kejadian penting dalam agama Kristen
dan kehidupan rasul dan pendeta. Dapatlah disebut dengan aman
bahwa hingga abad ke 8 Masehi, tidak pernah ada muncul suatu
penentang atau kekhawatiran akan kembalinya paganisme atau
pemurtatan dari agama Kristen. ”191
Sebagai kompensasi dari keadaan ini, menurut Ahmad
Muhammmad Isa seniman muslim beralih pada motif-motif dekoratif
yang bercorak floral dan geometris. Para seniman Muslim sangat
terlatih dengan ornamen seperti ini dan menggunakan dekorasi untuk
menghiasi berbagai objek seni. Seni rupa ini oleh orang Barat disebut
dengan ―Arabesque‖ sesuai dengan asal dari ornamen itu.
Namun demikian, Ahmad Muhammad Isa menyimpulkan dari
kenyataan yang memperlihatkan bahwa umat Islam akhirnya tidak
mempersoalkan larangan dalam hadits, sejauh tidak bertentangan
dengan ajaran Islam yang merepresentaikan makhluk hidup untuk
tujuan pemujaan. Beberapa kesimpulan Isa adalah sebagai berikut.
1) Kaum Muslim tidak takut pada penggambaran makhluk hidup,
dalam sejarah diperlihatkan oleh seniman Islam yang menghiasi
Istana raja di masa Al-Walid I (92-96)
2) Kaum Muslimin telah menggunakan gambar-gambar dan lukisan
untuk menghiasi karpet, furniture, gelas, piala, bendera dan
berbagai bahan lainnya seperti kayu, logam, gading dan
sebagainya, dan ini juga sudah berlaku sejak lama sekali.
Kecendrungan ini menghasilkan seni rupa yang memiliki
karakteristik Islam, menghasilkan lambang-lambang atau simbol
bentuk yang bercorak Islami.
3) Dari semua pandangan, diyakini bahwa gambar-gambar atau
patung tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan masalah halal dan
haram, sebagaimana yang telah diperselisihkan oleh para fuqaha.

191
) Op. Cit. 1981:55
310 Nasbahry Couto & Indrayuda
Sesung-guhnya, pembuatan gambar atau patung adalah suatu
bidang keahlian yang mampu meninggikan jiwa, karya yang dapat
meninggikan kecerdasan manusia dalam peradabannya. 192
4) Bahwa sebenarnya ada kontinuitas seni dalam Islam, terjadinya
diskontinuitas disebabkan oleh dasar filosofi yang dianut lembaga-
lembaga dalam masyarakatnya, tetapi dalam praktik kontinuitas
dan konsistensi seni Islam itu sebenarnya ada, hal ini dapat dilihat
dalam sejarah Islam Wiki (2013) menggambarkannya sebagai
berikut ini.
“. . . Seni rupa Islam adalah seni rupa yang berkembang pada
masa lahir hingga akhir masa keemasan Islam. Rentang ini bisa
didefinisikan meliputi Jazirah Arab, Afrika Utara, Timur Tengah,
dan Eropa sejak mulai munculnya Islam pada 571 M hingga mulai
mundurnya kekuasaan Turki Ottoman. Sebenarnya Islam dan
keseniannya tersebar jauh lebih luas daripada itu dan tetap
bertahan hingga sekarang. Seni rupa Islam adalah suatu bahasan
yang khas dengan prinsip seni rupa yang memiliki kekhususan jika
dibandingkan dengan seni rupa yang dikenal pada masa kini, tetapi
perannya sendiri cukup besar di dalam perkembangan seni rupa
modern, antara lain dalam pemunculan unsur kontemporer seperti
abstraksi dan filsafat keindahan. Seni rupa Islam juga
memunculkan inspirasi pengolahan kaligrafi menjadi motif hias.
Dekorasi di seni rupa Islam lebih banyak untuk menutupi sifat asli
medium arsitektur daripada yang banyak ditemukan pada masa
kini. Dekorasi ini dikenal dengan istilah arabesque. Peninggalan
seni rupa Islam banyak berbentuk masjid, istana, ilustrasi buku, dan
permadani “193

192
) Abdul Jabbar Beg, Hal. 71-72
193
Sumber: Wikipedia, Seni Rupa Islam, 2013
311
Gambar 37. Contoh seni kontemporer Islam, apakah sebagai kontinuitas
atau diskontinuitas? Bangsa Arab, sangat konvensional dalam berseni,
namun hal ini juga terjadi berubah: Pameran Seni Kontemporer Pertama
di Arab Saudi: kiri adalah Instalasi 'Street Pulse' karya seniman Arab
Saudi, Ahmad Angawi, kanan adalah Sebuah karya instalasi ditampilkan
dalam pameran seni kontemporer 'We need to talk' yang digelar di
Furusia Marina, Jeddah, Senin (23/01/2012),
(Foto: REUTERS/Susan Baaghil ditampilkan dalam pameran
seni kontemporer 'We need to talk' di Jeddah, Senin (23/01/2012)
194

h. Diskontinuitas akibat Modernisasi Seni: Kasus Opera Van


Java
Fenomena munculnya OVJ (Opera Van Java) adalah sebuah kasus
yang menarik, bukan hanya sekedar tontonan. Akan tetapi, dapat
dipakai sebagai ilustrasi bagaimana teknik pengembangan seni tradisi
dan pembaruannya. Banyak yang menganggap bahwa OVJ adalah
sebuah model kontinuitas atau malah sebaliknya justru merusak seni
tradisi. 195. Tayangan tersebut menarik perhatian masyarakat Jawa yang

194
Untuk pertama kalinya, pameran seni kontemporer dibuka untuk publik di Arab
Saudi. Bertempat di Furusia Marina, Jeddah, pameran bertajuk 'We need to talk'
tersebut menampilkan 50 karya 22 seniman Saudi. Salah satu karya yang
ditampilkan adalah instalasi berjudul 'Food for Thought'. Karya ini terdiri atas
ratusan kaset ceramah agama yang direkam dan didistribusikan pada 80-an ketika
Saudi mengalami gelombang ekstremisme religius. Sejak 2008, kelompok 'Edge of
Arabia' yang berada di balik pameran tersebut telah menggelar pameran serupa di
sejumlah kota dunia, di antaranya London, Dubai, Venice, Istanbul dan Berlin.
(Foto: REUTERS/Susan Baaghil)
195
Aktor, Parto Patrio alias Eddy Soepono nampaknya melejit dan tayangannya
mendapatkan rating tinggi. Bermula dari tayang seminggu sekali, lalu meningkat
seminggu dua kali, kini program komedi Opera Van Java (OVJ) muncul lima kali
dalam sepekan. Itu menandakan acara milik Trans7 tersebut makin digemari
312 Nasbahry Couto & Indrayuda
tersebar se antero dunia. Kita dapat memahami bagaimana tayangan ini
memanfaatkan esensi seni wayang, dan tayangan Opera Van Java bisa
menjadi inspirasi bagi budayawan bagaimana mengembangkan wayang
ke bentuk baru yang inovatif.

Gambar 38. Jingle Iklan Opera Van Java di Siaran Televisi


(http://vimeo. com/31794173)

i. Penutup
1) Masalah kontinuitas dan diskontinuitas adalah masalah pokok
dalam seni Indonesia, yang erat hubungannya dengan topik
pelestarian budaya, modernitas, dan inovasi seni berdasarkan
tradisi. Indonesia mau menjadi negara modern atau negara kuno
dan statis masih disikapi mendua sampai sekarang (ingat polemik
kebudayaan, 1936).
2) Oleh karena banyaknya ragam seni dan budaya di Indonesia yang
akan dijaga kontinuitas dan diskontiunitas seninya bukankah lebih
praktis dengan mengawinkannya dengan budaya baru dan
memodernkannya tanpa meninggalkan ciri asli, seperti yang terjadi
di Bali? Ada lima elemen pokok seni Indonesia, yaitu (1) kesenian
masyarakat asli suku Indonesia, (2) kesenian Hindu-Budha yang
datang dari India dan Asia (3) Kesenian Islam, (4) Kesenian
semasa kolonial Belanda, dan (4) kesenian modern (baru). Kelima
unsur itu tumpang tindih dalam peta sejarah seni Indonesia.
kesenian modern dan kontemporer, hanya dikenal di kota-kota
besar, yang memiliki lembaga-lembaga pendidikan seni, dan juga

pemirsa. Acara yang diadopsi dari beberapa unsur wayang yakni orkesta gamelan
(yang diadaptasi keluar filsafatnya), dalang, karakter-karakter punakawan
mendominasi meski telah jauh dari filsafat punakawan
313
komunikasi dengan dunia luar yang menumbuhkan kesenian
modern itu, terutama komunitas-komunitas seni, yang bersentuhan
dengan kebudayaan Barat
3) Peran kelembagaan atau institusional sangat besar terhadap
munculnya kontinuitas dan diskontinuitas dalam seni dan budaya.
Oleh karena itu, objek penting dari kontinuitas dan diskontinuitas
seni yang diper-masalahkan bukan hanya muncul dari segi konflik
kepentingan kelembagaan, melainkan dari segi ideologi seni
lembaga itu.
4) Untuk dapat terjadinya kontinuitas dalam pekembangan seni,
seyogyanya lembaga seni di Indonesia, meniru model sekolah seni
di Jepang. Sekolah-sekolah seni membagi diri menjadi dua jurusan
yaitu jurusan seni modern dan jurusan ―seni tradisional lokal‖,
sehingga kedua unsur itu tidak saling merusak atau mengganggu.
3. Tema Internasional dan Tema Global dalam
Sosiologi
Modernitas ditandai oleh lebih dari nilai-nilai baru, struktur
kelembagaan baru, pola baru ketidaksetaraan, dan gerakan sosial baru.
Karena masyarakat dunia tumbuh semakin saling tergantung di
sepanjang jalur ekonomi, politik, dan budaya, modernitas juga ditandai
dengan meningkatnya globalisasi dan internasionalisasi.
Tentu saja proses ini adalah sangat variatif. Beberapa masyarakat
yang relatif terisolasi dari pengaruh eksternal, tetapi yang lain, yang
nasibnya terikat dengan masyarakat lain oleh karena perdagangan,
penetrasi ekonomi, dan konflik internasional, kemudian ada yang
sangat terjerat dalam sistem internasional. Kelompok yang berbeda
dalam masyarakat secara berbeda terlibat dalam dunia internasional.
Misalnya, dunia dari beberapa bankir, politisi, ilmuwan, cendekiawan,
dan selebriti olahraga internasional terutama dalam hal karakternya.
Meskipun dunia-nasional hubungan masyarakat telah menjadi
semakin menonjol selama dua abad terakhir, para ilmuwan sosial telah
relatif lambat secara eksplisit memasukkan hubungan ini ke dalam
analisis mereka dengan cara yang lebih sistematis. Tentu saja nama-
nama Adam Smith, Karl Marx, Lenin Vladimir, Franz Boas, dan Max
Weber datang ke pikiran kita sebagai pengecualian untuk generalisasi
ini. Sampai sekitar 1950 --perhatian sosiologi terutama terfokus --
314 Nasbahry Couto & Indrayuda
hampir secara eksklusif ke pada masyarakat nasional dan kelembagaan
dan kelompok kehidupan mereka. Setelah tahun 1950, minat
masyarakat untuk global dan masuk ke sistem internasional terus
meningkat.
Pemikir Stein Rokkan dan Niklas Luhmann di Eropa dan Talcott
Parsons di Amerika Serikat terkait dengan hal ini. Pada akhir 1960-an
dan awal 1970-an teori ketergantungan (Cardoso 1969) dan dunia-teori
sistem (Wallerstein 1974) lebih mengkristal dan secara perspektif lebih
maju lagi. Pada tahun 1987 Norbert Elias menyatakan bahwa saat ini
sosiologi mungkin hanya sebagai sosiologi masyarakat dunia.
Dalam karya yang lain (1956, 1985) Elias bergabung dengan
ilmuwan politik yang banyak berfokus pada hubungan antara Amerika
Serikat, Uni Soviet, dan masyarakat ketergantungan pada mereka.
Dalam kompleksitas itu, dan dalam analisis multidimensinya Elias
berpendapat bahwa ruang lingkup pertempuran dunia di antara
kelompok-kelompok kekuatan dominan telah menjadi lebih besar dan
bahwa sekarang hampir seluruh dunia yang terjerat dalam perjuangan
sebagai perpanjangan tangan negara adidaya. Mengingat perkembangan
ini seharusnya tidak mengejutkan bahwa empat dari kontributor buku
ini (Robertson, Eisenstadt, Smelser, dan Hondrich) menekankan tema
globalisasi dan internasionalisasi.
Salah satu cara untuk mengatur pembahasan sosiologi baru perlu
dicatat bahwa setiap melibatkan peran kritik eksplisit akan dominan,
jika tidak secara eksklusif akan diberikan kepada faktor ekonomi
internasional oleh para sarjana seperti Program "Wallerstein. Ekonomi
dalam masyarakat sosiologi dunia "telah diserang paksa oleh pikiran
Bendix (1978) yang mengidentifikasi jalur lain berbagai pengaruh
internasional. Kaum intelektual, ilmuwan, dan jurnalis misalnya, adalah
penyalur dan atau saluran satu negara ke negara lainnya. Mekanisme ini
jelas memungkinkan terjadi bahwa para pelaku mengidentifikasi
lembaga dari masyarakat lain akan mereka anggap sebagai unggul dari
mereka sendiri dan menjadi ujung tombak reformasi dan perubahan
sosial di dalam masyarakat mereka sendiri. Lembaga-lembaga ini
adalah jenis yang paling beragam: demokrasi parlementer Perancis,
hukum pidana dan perdata Jerman, sistem pabrik Inggris, dan teknologi
komputer dari berbagai negara dan sebagainya. Dalam tulisannya
Robertson juga mengakui pentingnya faktor ekonomi, tetapi
315
menempatkan‖ program budaya-sosiologis yang jelas" di samping
program ekonomi. Banyak analisis Robertson yang macet pada konsep
"gambaran dunia, " yaitu sebagai pengaruh Max Weber (1920).
Robertson berpendapat bahwa perlu untuk melampaui pendekatan
sosio-sentris dan mempertimbangkan keseluruhan dunia.
Masyarakat, khususnya kelompok elitis mereka, membentuk dunia
sesuai dengan definisi mereka tentang dunia dan gambaran mereka
tentang tatanan dunia. Ingatan terhadap sejarah dan prosesnya menjadi
penting. Penolakan pascaperang dunia kedua, dan generasi politik masa
peredaan 1960-an, penolakan yang lebih agresif sejak politik perang
dingin, menunjukkan gagasan dunia yang lebih menyentuh sosiologi,
menggambarkan ilmu-ilmu sosial dan lainnya yang berada di bisnis.
Gambaran-gambaran ini mempengaruhi pemikiran para bankir, politisi,
dan lain-lain yang bertanggung jawab untuk membentuk peristiwa
dunia, kadang-kadang melalui proses pendidikan dan kadang-kadang
melalui jalan yang lebih langsung. Friedrich H. Tenbruck (1984) telah
mengumpulkan bukti-bukti tentang bagaimana Amerika dan, kemudian,
sosiolog Jerman Barat mengambil bagian dalam proses penyebaran
gambaran tentang dunia tertentu di Barat setelah 1945.
4. Seni Modern Barat
Menurut Wiki, seni modern (Barat) adalah karya seni yang
dihasilkan dalam periode terentang antara 1860-an sampai 1970-an
dengan menggunakan gaya dan filosofi seni yang dihasilkan pada masa
itu. Pada dasarnya, dunia seni modern berada dalam struktur budaya
sosial yang lebih luas sebagai hasil perkembangan dunia selama akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Seniman-seniman modern pada
umumnya bereksperimen dengan gaya baru yang unik dan dengan
menghasilkan ide-ide yang segar mengenai fungsi dari seni dan atau
bahan dan alat yang digunakan. Mereka cenderung menciptakan karya
seni dengan perasaan yang dalam dan kreatif. Di samping itu, ada karya
yang terlihat tidak memiliki tujuan atau makna apa pun. Akan tetapi,
karya tersebut dapat terlihat oleh pengamatnya memiliki maknanya
sendiri, sesuai pula dengan perkembangan intelektual masyarakat
pengamatnya.

316 Nasbahry Couto & Indrayuda


5. Asal Usul Seni Modern Barat
Seperti yang telah banyak ditulis orang, seni rupa modern Barat
erat hubungannya dengan seni klasik Yunani dan Romawi. Hal itu
terlihat dari perkembangan sejarahnya, terlihat hubungan seni modern
Barat kepada kedua kebudayaan ini. Kedua budaya tersebut adalah
dasar bagi seni rupa bangsa Eropah dan kemudian Amerika, yang
dianggap melahirkan seni modern. Jarang yang dapat menyangkal
bahwa bangsa-bangsa Barat adalah bangsa-bangsa yang lebih dahulu
memantapkan pencapaian kebudayaannya. Bangsa Barat mengawali
modernisasi di segala bidang kemudian meluas ke seluruh dunia. Di
bidang seni rupa terlihat tahap-tahap menuju seni rupa modern sebagai
berikut.
a. Dasar-dasar seni Eropa
1) seni Yunani,
2) seni Mesopotamia,
3) seni Helenis.
b. Seni abad pertengahan:
1) Seni kristiani purba
2) Seni bizantium,
3) Seni romaneska,
4) Seni gotik.
c. Seni renaisans
1) Seni renaisans kuno,
2) Seni renaisans menengah,
3) Seni renaisans akhir.
4) Seni barok dan rokoko.
5) Seni klasik.
f. Dasar-dasar seni modern di Eropah
1) neoklasik,
2) romantik,
3) realisme,
4) impresionisme.

Seni klasik di Yunani juga tidak muncul begitu saja, tetapi melalui
suatu perjalanan yang cukup panjang. Sebagaimana bangsa-bangsa lain,

317
seperti seni Mesir, Mesopotamia, dan Parsi, bangsa Yunani pun
mengalami beberapa tahap budaya. Pada tahap awal seni Yunani
disebut dengan seni Mycenae, yaitu seni di kawasan kepulauan yang
masih kuat dipengaruhi tradisi seni Mesir, misalnya dalam hal seni
patung. Bukti sejarah memperlihatkan seni patung Mycenae ini mirip
dengan seni patung Mesir. Seni patung ini kemudian dikembangkan ke
bentuk yang lebih natural (alami) dan ideal. Seni bangsa Mycenae ini
sebenarnya berawal dari seni dari dua bangsa, yaitu bangsa Doria dan
bangsa Ionia. Kedua bangsa ini masing-masing mempunyai ciri khas
yang disebut seni Doria dan Ionia 196 Kemudian muncul gaya yang
ketiga disebut seni Korintia. Ketiga seni dan budaya ini memberi
sumbangan kepada budaya Yunani, 197 dan seni Yunani terangkat ke
taraf yang lebih tinggi dalam hal (1) segi teknik, (2) bentuk seni yang
naturalis-idealis, dan (3) ide seni dari pengambaran dewa-dewi
(mitologi agama politeisme Yunani) yang digambarkan sebagai wujud
manusia secara naturalistik sempurna (ideal)198. Pada era ini seni
Yunani disebut dengan masa klasik, masa klasik ini akhirnya runtuh. 199

Seni Yunani-Romawi
Seni Yunani kemudian diambil alih oleh bangsa Romawi yang
menguasainya yang berasal dari (Italia sekarang), mula-mula, bangsa

196
(Sumber. www. en. wikipedia. org)
197
Lebih jauh dapat dilihat di: http://www. ancientgreece. com/s/Art/
198
Dikatakan ideal karena pada kenyataan sehari-hari, tidak mungkin menemukan
manusia sesempurna bentuk patung-patung tadi, ketampanan, ukuran badan, dan
lainnya. Semua itu dibentuk sedemikian sempurna serta serba ideal.
199
Keruntuhan ini sebenarnya telah dimulai sejak masa Helenis, yaitu ketika budaya ini
bercampur baur dengan budaya dari Asia tua atau kebudayaan di sekitar lautan
Mediterania. Pulau Rhodos, kota Pergamon, serta Iskandariah adalah tempat-tempat
terpenting sebagai pusat kebudayaan Helenis. Faktor pudarnya masa klasik ini
sebetulnya bukan karena berbaurnya dengan budaya Asia tua, melainkan para
seniman pada masa itu mulai meninggalkan sifat-sifat klasik, seperti kesederhanaan
gaya adiluhung, yakni keharmonisan. Sifat-sifat tersebut hilang karena para seniman
sudah betul-betul menguasai teknik berkarya sehingga apa pun dan bagaimana pun
bentuk yang mereka buatdapat diselesaikan dengan sempurna. . Inis memunculkan
gaya lincah dan gaya rupawan yang berlebihan sehingga sulit membedakan paras
perempuan dengan laki-laki, di satu sisi kesenian mulai memudar, di lain sisi, politik
pun semakin tidak menentu sehingga akhirnya runtuhlah masa Yunani dan
diteruskan oleh masa Romawi.
318 Nasbahry Couto & Indrayuda
Romawi lebih banyak memanfaatkan potensi budaya dan seni yang
sudah dimiliki bangsa Yunani dan sebenarnya mereka hanya meniru
kebudayaan dan seni Yunani. Kenyataan ini tidak terlepas dari bangsa
Etruska yang sebelumnya sudah lama dipengaruhi oleh kebudayaan
Yunani. Dalam sejarah diperlihatkan bahwa bangsa Etruska kemudian
menduduki Italia. Bangsa Etrus memiliki keahlian terutama dalam
membangun jembatan. 200 Kebudayaan Romawi dengan kepercayaan
politeisme berlangsung sampai 100 SM. Setelah itu, mereka pun
mengalami kehancuran. Kehancuran budaya Romawi berbeda dengan
kehancuran kebudayaan Yunani sebab peninggalan kebudayaan dan
kesenian Yunani masih tetap terpelihara atau sebenarnya dilanjutkan
oleh Romawi yang menguasainya, walaupun Romawi kemudian runtuh
(yang berubahfungsinya). Kemudian agama Kristen muncul di Romawi
jika sebelumnya kesenian lebih bebas pada periode setelah berakhirnya
kejayaan Romawi seni diabdikan untuk tujuan pengembangan agama
kristen era ini disebut zaman Pertengahan (Kristen Purba, Bizantin,
Romaneska dan Gotik). 201
Tabel 2. Ciri Khas Gaya Seni Gotik di Zaman Pertengahan

200
Keahlian nai dimanfaatkan oleh bangsa Romawi dalam menyerang Yunani. Dengan
peran bangsa Etrus pula, bangsa Romawi akhirnya mendapat masa keemasannya.
201
Pada mulanya, raja Romawi sebenarnya menolak agama Kristiani dan seringkali
memburu para pengikutnya. Oleh sebab itu, akhirnya banyak pengikut agama
Kristiani yang melakukan gerakan "bawah tanah". Gerakan 'bawah tanah" ini tidak
hanya sebagai ungkapan, Namun j uga banyak pengikut agama Kristiani yang benar-
benar bersembunyi di lorong-lorong bawah tanah dan terowongan-terowongan di
bawah kota. Dari situlah kemudian muncul seni Katakombe, yaitu tradisi bangunan
kubur di bawah kota di dalam terowongan tersebut. Namun karena pertimbangan
politik, akhirnya raja Romawi mengakui penganut Kristiani dengan alasan untuk
mempersatukan rakyat Romawi dalam menghadapi serangan bangsa Parthia dan
Parsi.
319
Gaya Gotik
pada abad
Pertengahan

Pengakuan terhadap Kristiani ini membebaskan pemeluknya


melakukan apa saja, termasuk kegiatan-kegiatan lain di samping
kegiatan keagamaan. Dalam sejarah itulah kemudian terjadi sinkretisme
antara agama penyembah banyak dewa dan ajaran Kristiani. Hal ini
tentu berdampak pula pada kelangsungan budaya, dalam hal ini
keberlangsungan kesenian. Bahkan, Romawi beralih pada tradisi baru
yang berupa pengabdian pada kekuasaan ajaran agama (Kristiani) yang
menemukan puncak idealismenya pada zaman Gotik abad ke-13.
Zaman gotik ini sering disebut sebagai zaman kegelapan. Lambat laun,
zaman Gotik pun menemui masa runtuhnya. Hal ini terjadi karena para
seniman masa itu merasa dikekang oleh aturan yang mengharuskan
pengabdian kepada agama.

Gambar 39. Arsitektur gaya Gotik,


(Encyclopaedia Encarta CD, 2009)

320 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 40. Munculnya Kota pada abad Tengah (History of Art)

Giotto (1276-1337) seorang seniman Italia muncul dan mengubah


cara berseni, khususnya teknik dalam bidang seni lukis yang berbeda
dengan kebiasaan masa itu. Berdasar pada ketajaman pandangannya, ia
melukis lebih realistik mirip seperti seni Yunani dan Romawi yang
sudah tenggelam berabad-abad lamanya. Dia mengawali seni dan
budaya yang disebut dengan zaman renaisan. Dapat disimpulkan, pada
zaman renaisan, tercapailah suatu seni yang realistis, di zaman ini
kemudian ditemukannya ilmu perspektif. Dengan ilmu ini, gereja-
gereja dipenuhi lukisan-lukisan cerita keagamaan dari Injil sehingga
tidak ubahnya Injil yang dikomikkan. Karya-karya lukisan tersebut
dibuat secara ilustratif.

321
Gambar 41. Pelukis Giotto dan Potret Dirinya (Encyclopaedia Encarta CD)
Kehadiran tradisi naturalis yang berasas kaidah-kaidah Yunani
kuno, yang dipelopori Giotto, mendapat sambutan yang cukup antusias
dari rakyat dan para seniman lukis lainnya. Semangat itu semakin
bergelora hingga mendapat tempat dan kejayaannya. Mereka mampu
melepaskan diri dari abad kegelapan. Pada abad kegelapan, lukisan para
pelukis selalu berkisar pada keagungan Bunda Maria dan yang lainnya,
yang berkaitan dengan ajaran dan kepentingan agama. Walaupun
memakan waktu yang cukup lama dalam tekanan tersebut, akhirnya
mereka lepas juga. Zaman kebangkitan atau yang lebih dikenal dengan
zaman renaisans pun tumbuh.

Barok Renesan
Gambar 42. Karakter seni Renesan dan barok (Couto Nasbahry CD)

322 Nasbahry Couto & Indrayuda


Pada zaman renaisan, tercapai suatu seni yang realistis, terutama
setelah ditemukannya ilmu perspektif. Dengan ilmu ini, gereja-gereja
dipenuhi lukisan-lukisan cerita keagamaan dari Injil sehingga tidak
ubahnya injil yang dikomikkan. Karya-karya lukisan tersebut dibuat
secara ilustratif.
6. Seni Rupa Modern Barat
Dalam bidang seni rupa, ide ‖modern‖ juga bertentangan dengan
ide "tradisional‖, "klassik" atau yang semacam ini. Dalam bidang seni
rupa pengertian modern, bisa juga diartikan sebagai suatu ide seni rupa
baru. Jadi kata seni rupa modern sebenarnya dapat dipergunakan untuk
tidak dalam hubungan yang bersifat kronologis, tetapi definisi seni yang
memiliki sifat-sifat kebaruan, yang kreatif atau inovatif. Jika di tarik
sebuah garis lurus perkembangan sejarah seni tentu akan timbul
pertanyaan, ada yang baru, yang baru (sebelumnya) juga akan lama,
dengan datangnya yang baru lagi. Jadi, semua karya seni rupa adalah
modern atau baru (dalam pandangan waktu setempat) jika karya itu
diciptakan lebih baru dari yang lama (Atkins, Robert, 1990:102). Jadi,
definisi baru adalah menurut pandangan waktu dan tempat orang yang
membuatnya. Akibatnya ide modern dapat ditafsirkan sebagai seni rupa
masa kini di New York, yang sama modernnya dengan seni rupa abad
ke-14 di Floren Italia. Oleh karena itu, perlu batasan-batasan dalam
sejarah.
Menurut batasan ahli sejarah seni, faham modernisme dalam seni
secara kasar diperkirakan terjadi sejak 1860-an sampai dengan 1970-an.
Pengertian modern ini dipakai karena munculnya ideologi karya seni
rupa dan yang spesifik terjadi pada masa itu. Pernyatan masyarakat
bahwa filosofinya modern. Sehubungan dengan itu, maka timbul
pertanyaan apakah yang menjadi ciri kemodernannya itu?
Menurut Atkins, Robert, cirinya adalah suatu sikap radikal baik
terhadap seni rupa masa lampau dan kepada seni rupa yang akan
datang. Baru dan modern menurut mereka adalah "potret" hari ini. 202
Sesuai dengan konsep modern ini, Gustave Courbet dan Edouard
Manet adalah pelukis Paris yang pertamakali memotret kehidupan
kontemporer masa itu. Kesetiaan mereka terhadap kebaruan dapat

202
) modern art & Architecture, Encyclopedia Americana, 1978:295).
323
disamakan dengan konsep "avant garde" atau garda depan, yang oleh
militer disebut dengan "advance guard" (barisan depan). Perupa garda
depan adalah pelopor bagi zamannya. Meskipun populer, gagasan-
gagasan perupa modern memiliki potensi untuk keluar dari
"kesejarahan seni", sebab bisa bertentangan dengan hal-hal yang umum
pada suatu masa, apalagi jika tidak punya pengikut, maka dia bisa
disisihkan oleh para penulis sejarah seni rupa pada zamannya. Salah
satu perubahan yang penting dalam hal ini adalah beralihnya perhatian
seniman untuk menggambarkan kejadian ideal dan historis, kepada hal-
hal yang realistis dan keadaan zamannya. Bersama dengan ini teknik
melukis menjadi penting dan malahan akhirnya teknik atau cara
melukis mendapat peranan utama, tema menjadi faktor sekunder. Seni
bukan lagi mencatat gambaran yang ideal dan klassik, melainkan
mencatat pengalaman yang nyata.
Menurut Atkins, Robert, kekacauan perkembangan seni modern
disebabkan oleh terputusnya dukungan finansial oleh kaum agama,
pemerintah dan kelompok aristokratis terhadap seniman. Pada masa
lampau penyokong perupa adalah institusi atau individual tertentu
dalam masyarakat. Mereka diberi mandat untuk mengerjakan suatu
karya seni. Para perupa modern terbebas dari ikatan itu, mereka
merdeka untuk mendefinsikan kembali isi karyanya, dan bebas
menggunakannya untuk kepentingan pasar dan masyarakat kapitalis
yang baru. Pandangan dan cara kerja para seniman modern mirip
sebagai seorang penjual yang bereksperimen untuk kepentingan
konsumen. Istilah "seni" untuk "selera seni", muncul pada permulaan
abad ke-19 adalah sebagai akibat sikap ini, dan istilah ini sekarang
dipakai secara luas untuk bereksperimen, tidak ada satupun aturan
sosial dan keagamaan yang mengikat eksistensi mereka.

324 Nasbahry Couto & Indrayuda


Lukisan Klasik Romantik Lukisan Klassik Romantik

Tari balet sebagai tari klassik Tari klassik Indonesia: Tari Bali
Eropa
Gambar 43. Contoh seni lukis dan seni tari klassik (Google 2013)

Seni modern dapat dikatakan sebagai bagian dari masyarakat Barat


yang tumbuh dari masyarakat urban, industrial dan sekular yang
dimulai pada pertengahan abad-19. perupa itu berubah oleh nilai-nilai
golongan kelas menengah untuk menemukan subjek-subjek dan gaya
baru yang mengandung aspek kemajuan teknologi, spiritualitas, dan
ungkapan primitif. Jadi, yang paling khas dalam abad kesembilan belas,
dan dalam batas-batas tertentu pada abad dua puluh, ialah sikap para
perupa yang terus menerus berusaha mencari ide-ide baru di tengah
kehadiran ide lama dan ide masa kini di rantau orang. Mereka ingin
menemukan wahana yang cocok untuk mengungkapkan gejolak batin
yang kuat, perupa mengutamakan kebebasan pribadi.
Di antara usaha para perupa abad kesembilan belas itu, tidak hanya
bercermin kepada hasil-hasil seni rupa masa lalu yang dianggap sebagai
„master piece‟, tetapi juga belajar kepada karya seni rupa bangsa
lainnya seperti karya seni rupa Jepang dan Cina dalam batas tertentu hal
ini juga sudah berlangsung sejak abad kedelapan belas), seni rupa
Afrika, seni rupa Kepulauan Samudera dan seni rupa kebudayaan
primitif yang lain. Semua bentuk itu dan berbagai ragamnya diubah
suaikan dengan kebutuhan pelukis, pematung, grafikawan, dan
perancang (designer) di akhir abad kesembilan belas dan dua puluh.
Bagi arsitek dan pematung yang berpandangan kuno pad abad
kesembilan belas, corak Yunani dan Romawi masih memberikan udara

325
kemuliaan yang mereka butuhkan. Pelukis romantisisme yang
mendambakan penyaluran gejolak perasaan seperti yang terdapat dalam
seni rupa barok dan seni rupa abad tengah dan seni rupa timur dekat.
Pelukis dan pematung akademis atau yang berpandangan kolot,
bersandar dengan kuatnya pada seni rupa Renesan, yang bercirikan
pembuatan gambar yang cermat, struktur yang tertutup dan mantap.
Jika di Eropah gerakan kebaruan lebih didasari oleh krisis sosial
gerakan kebaruan seni rupa di Amerika lebih didasari oleh kesadaran
individu sebagai pencipta seni-rupa
Ide pembaruan di Barat telah melahirkan kerumitan dalam gaya
dan paham seni-rupa. Gerakan ini lebih banyak berkembang dalam
bidang karya lukis dan dimulai dengan lahirnya ide-ide seperti
neoklassik dan romantisme, realisme, lukisan lanscap: naturalisme,
impressionisme, postimpresionisme, fauvisme yang umumnya bercorak
seni rupa representasional. Kemudian lahirnya ide-ide baru yang lebih
kaya dalam konsep yang berintikan penemuan individual seperti: cara
ekspresi, art noveau, kubisme: Picasso, abstract art: abstractionisme,
nonobjectivisme, nonfiguratif), dadaisme, surealisme, abstrac-
expresionisme, postabstraction, ‗pop art‟, optic art dan kinetic art,
happening art, environmental art dan sebagainya.
Tokoh-tokoh perupa yang dianggap sebagai pelopor dari seni rupa
modern ini di antaranya adalah (perupa pascaimpresionisme) George
Seurat (1859–1891), Paul Cezanne (1839–1906), Vincent van Gogh
(1853–1990) dan Paul Gauguin (1843–1903), yang mula-mula beralih
dari menggambarkan alam ke menggambarkan piktorial dalam sejarah
seni rupa barat adalah Paul Cezanne (1839–1906).
Karya Paul Cezanne misalnya, berawal dari romantisisme dalam
isi, barok dalam struktur, dan dilukis dengan warna yang lembut dan
pigmen yang tebal seperti karya Courbert. Setelah berkenalan dengan
kaum impressionisme, terutama dengan Pissaro yang mengajarkan
teknik melukis, ia menggunakan teori warna dan mengambil objek dari
hal-hal kehidupan sehari-hari. Kajiannya terhadap karya perupa masa
lampau di Louvre menunjukkan bahwa pelukis impressionisme telah
menghilangkan bentuk dan struktur (racana) pada lukisan mereka.

326 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 44. Contoh Karya Pelopor seni lukis modern
"View of Bonnieres" oleh Paul Cezanne
(http://www. paul-cezanne. org/View-Of-Bonnieres. html)

Terdorong oleh pengetahuannya tentang Tintoretto dan Poussin,


yang berhasil menyusun ruang dengan menakjubkan, ia berusaha pula
untuk tidak meniru, tetapi menciptakan susunan ruang dengan
mengambil sarana lama untuk tujuan yang baru, yang dijadikan dasar
bagi seni-rupanya adalah kajiannya tentang alam sebagai pemusatan
pengamatan yang sangat tajam. Kalau kita lihat lukisan-lukisan
Cezanne bukanlah tiruan alam, melainkan realitas gambar itu sendiri
sebagai karya cipta yang sejajar kedudukannya dengan realitas natural,
dan dalam arti filosofi realitas piktorial lebih penting dari kenyataan
alam yang nampak. Jika pada kaum Impresionisme pemandangan itu
adalah sumber teori dan eksperimen, bagi Cezanne pemandangan
adalah subjek untuk diubahnya kepada sesuatu yang menetap sebagai
piktorial. Sebagai contoh pada lukisan Cezanne yang banyak itu tentang
pemandangan di Mont-Sainte-Victoire kita bisa melihat bagaimana
keadaan udara yang berubah-ubah itu diganti dengan suasana yang
lebih tetap berupa ruang yang luas dan terang. Ruang itu membentang
hingga ke belakang dan ke samping, ke luar bidang kanvas yang
dikuatkan oleh bentuk pohon cemara di latar depan, dan terdiri atas
unsur kecil-kecil seperti jalan, jalan lapangan, rumah dan aquaduk dan
sebagainya, yang masing-masingnya dilihat dari sudut pandang yang
agak berbeda
Cezanne dianggap seorang yang pertama keluar dari tradisi
Impresionisme dan mempengaruhi perupa/pelukis yang lain. Seurat
mengadakan eksperimen dengan melukis dengan teknik bintik-bintik
327
warna kecil yang kira-kira sama besarnya, suatu cara melukis yang
disebut ―divisionisme‖ (sering keliru di katakan pointilisme), divisi
artinya pembagian berdasarkan faset-faset kecil yang akhirnya
menghasilkan citra bentuk. Dengan demikian, Seurat mengubah cara
menggambar Impresionisme tentang kenyataan alam menjadi suatu
susunan yang tertib tentang manusia dan alam benda.

Gambar 45. Beberapa Bentuk atau Corak Modern art, (Google (2013)

Van Gogh adalah pelukis dengan tekanan di kanvas menghasilkan


kesan gerak cepat yang banyak dipengaruhi oleh karya cetak Jepang.
Paul Gauguin, juga menolak melukis dengan cara objektif dan dia
memakai realitas untuk mengungkapkan sesuatu yang subjektif,
lukisannya seperti panorama dalam mimpi. Itulah beberapa gaya perupa
abad kesembilan belas yang perlu dipahami sebagai dasar bagi
perkembangan seni rupa abad kedua puluh yang disebut dengan
modernitas dalam seni rupa.
Seperti yang dikatakan oleh Nikos Stangos (1981:9), seni rupa
modern itu adalah refreksi dari beberapa sikap yang berasal dari
masyarakat (Eropah dan Amerika khususnya), yang mencerminkan sifat
liberal (kebebasan) yang dimulai pada abad kekedua puluh. Di dalam
karya lukis, hal itu tercermin sejak tahun 1910, yaitu sejak timbulnya
gerakan impresionisme yang termasuk kepada apa yang disebut dengan
gerakan seni avant-garde (garda depan) Eropah, yang penting dicatat di
sini adalah suatu kenyataan bahwa gerakan ini sinonim dengan gerakan
―eksperimental‖. Dengan kata lain bereksperimen adalah suatu cara
dalam kerja seni yang bersifat rasional atau irrasional, yaitu suatu trend

328 Nasbahry Couto & Indrayuda


yang umum ditemui dalam seni rupa modern 203. Beberapa ciri dari seni
rupa modern ini antara lain :
1) Seni rupa itu memiliki konsep berdasarkan teori atau ide tertentu
yang berasal dari kondisi seni itu sendiri atau kondisi alamiah dari
seni yang diprakondisikan kembali.
2) Senirupa modern dan konsepnya selalu memberi tekanan dan
berhubungan langsung dengan program setiap dia hendak
memulainya. Mereka selalu berhubungan dengan manifestasi
(pernyataan), dokumen, dan program deklarasi tertentu
3) Tiap gerakan bebas diciptakan, apakah oleh perupa sendiri ataukah
hanya oleh kritikus seni dalam membentuk dasar-dasar pemikiran
serta konsep mereka dalam gerakan seni tertentu atau dalam
membentuk konsep mereka.
4) Ada gerakan seni rupa modern yang semata hanya ‗konsep‘saja dan
atau karya-karya seni yang disadari sebagai dalam satu definisi,
misalnya abstrak-ekspresionisme. Ada pula perupa yang tidak
hanya berada dalam satu gerakan saja tetapi masuk ke dalam
berbagai gerakan seni rupa modern misalnya, Picasso.

a. Pelopor Seni Patung modern


Perintis seni patung modern
umumnya dianggap orang
adalah Auguste Rodin, yang
dipandang sebagai nenek
moyang patung modern. Rodin
sendiri sebenar-nya tidak
menentang seni masa lalu, ia
hanya menciptakan cara baru
untuk membangun karya-
karyanya, mem-buka jalan ke
Gambar 46. Karya Auguste Rodin, The
Burghers of Calais, 1889 Hirshhorn
masa depan. "Rodin melepaskan
Museum and Sculpture Garden, diri dari cara-cara seni patung
Washington, D. C, cor 1943 akademis Yunani Baru dan
(Wikipedia). dengan demikian, dia
menciptakan konsep sintesa

203
) Nikos Stangos, Op. Cit, Hal. 9
329
antara kepadatan/ kepekatan (opacity) dan transparansi (menerawang),
dengan demikian konsep volume dan dia hindari. Seiring dengan itu,
muncul seniman lainnya pada akhir abad ke-19 dengan eksperimen dan
visi artistik baru dalam patung seperti karya seniman Edgar Degas, dan
Paul Gauguin, Rodin menemukan pendekatan baru yang radikal dalam
penciptaan patung. Patung modern bersama dengan semua seni modern,
"muncul sebagai bagian dari upaya masyarakat Barat untuk berdamai
dengan masyarakat, industri dan urban sekuler yang muncul selama
abad kesembilan belas".
Kecendrungan terakhir dari gerakan seni rupa modern adalah
penekanan kepada konsep seni dan mengabaikan materialnya. Seni
konsep sebagai suatu ide adalah suatu gerakan yang akhirnya
membawahi berbagai bentuk kesenian. Bagaimana pun ‗immaterialnya‘
Konseptualisme, sebagai seni ia berkaitan dengan masalah abstraksi
dari gagasan, ide atau konsep. Seni konsep yang awalnya
memperjuangkan ide murni dan immaterial pada akhirnya larut dalam
abstraksi berkesenian dan menimbulkan berbagai bentuk seni baru yang
ada kesamaannya, tetapi satu sama lain memiliki perbedaan yang jelas,
misalnya ―performance art, proccess art, earth atau land art,
happening art, environments ‗ dan sebagainya.

b. Arsitek Amerika Frank Lloyd Wright, Pelopor Arsitektur


Modern
Salah satu ciri seni modern adalah sifat "internasionalnya‖. Ciri ini
sangat menonjol pada bidang-bidang tertentu, misalnya arsitektur.
Konsep desain yang sangat terkenal adalah konsep "bentuk mengikut
fungsi" (form follow function) di bidang arsitektur diikuti mula-mula
secara konsisten dan menyeluruh, sebelum terbitnya gagasan baru yang
lebih radikal. Konsepsi ini menyebabkan karya arsitektur modern
menjadi sama di mana-mana, dan melahirkan gaya "international
style".

330 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 47. Contoh arsitektur modern. Karya Arsitek
Amerika Frank Lloyd Wright

Gaya international adalah gaya arsitektur yang muncul sekitar


tahun 1920-an dan 1930-an, yaitu yang disebut sebagai dekade
pembentukannya arsitektur modern. Istilah ini berasal dari nama sebuah
buku oleh Henry-Russell Hitchcock dan Philip Johnson, The
International Style.
Buku ini ditulis untuk merekam Pameran Internasional Arsitektur
Modern diselenggarakan di Museum of Modern art di New York pada
tahun 1932 dan yang diidentifikasi, dikategorikan dan diperluas sebagai
karakter umum untuk gaya arsitektur modern di seluruh dunia. Tujuan
Hitchcock dan Johnson adalah untuk menentukan gaya intisari gaya
arsitektur modern ini. Para penulis mengidentifikasi tiga prinsip dalam
gaya ini: ekspresi volume daripada massa,
penekanan pada keseimbangan daripada
simetri terbentuk sebelumnya, dan
penghilangan ornamen dari bangunan.
Semua karya dalam pameran itu dipilih
dengan cermat, hanya menampilkan karya
dari arsitek yang mengikuti aturan-aturan
ini. Istilah ini, sebelumnya juga dipakai
dalam konteks yang sama yang terkait
dengan pameran Internationale Architektur
dari Walter Gropius dan Ludwig
Hilberseimer di Internationale neue Baukunst.

331
7. Tari Modern
Tari modern adalah sebuah seni tari modern, gerakan tari ini
dibuat oleh setiap orang atau penari sesuai dengan penafsiran masing-
masing dengan mengikuti irama musik. Dengan kata lain, tarian ini
tidak mengikuti gerakan-gerakan yang terstruktur.
Tari modern mulai dikembangkan pada tahun 1990, tarian ini
dianggap sebagai cerminan dari jiwa seseorang, ini adalah tentang
kebebasan gerakan dengan keselarasan musik, lalu dikomunikasikan
dengan penonton. Ini adalah salah satu bentuk terbaik dari komunikasi
nonverbal. Tari modern juga dianggap sebagai penghilang stress dan
cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan atau suasana hati
seseorang. Tarian ini identik dengan kostum, sepatu, dan berbagai
aksesoris modern lainnya. Puncak popularitas tarian ini terjadi pada
tahun-tahun awal abad ke-20, dengan bentuk tarian yang santai, tetapi
tidak membatasi diri pada teknik gerakan atau kostum. Tarian ini
berfokus pada kreativitas untuk mengekspresikan diri sendiri.
Modern dance atau dalam bahasa Indonesia berarti tari modern,
adalah suatu bentuk tarian yang terbentuk dan berkembang sejak awal
abad- 20 (Horosko, 2002. P. 1). Pada beberapa tempat yang belum
begitu mengenal tari modern seperti di Indonesia, ballroom dance serta
concert dance juga masih dianggap sebagai bagian dari tari modern ini,
tetapi apabila dilihat dari latar belakang sejarah, tari modern ini
sebenarnya dipelopori oleh penari-penari dari Amerika Serikat, serta
penari-penari pada beberapa negara di Eropa Barat yang
―memberontak‖ terhadap ballet dance serta classical dance yang
sedang booming saat itu.
Beberapa penari yang paling terkenal dengan aksinya saat itu
adalah Loie Fuller, Isadora Duncan dan Ruth St. Denis. Aksi mereka
dilandasi dengan faktor kelemahan dari ballet dan classical dance
sendiri, yaitu diperlukannya perlengkapan khusus selain musik, seperti
kostum, sepatu tari, serta bahkan tata rias yang tebal.

332 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gambar 48. Beberapa bentuk Tari Modern, (Google (2013)
Beberapa dari perlengkapan tersebut tidak mampu dimiliki oleh
orang-orang biasa dengan latar ekonomi yang rendah, yang juga punya
ketertarikan besar untuk menari. Oleh sebab itu, ketiga penari tersebut
kemudian menciptakan suatu free dance, kemudian dikenal dengan
cikal bakal dari tari modern (Horosko, 2002. P. 1).

Gambar 49. Pelopor Tari Modern


eropah
Loie Fuller [juga Loïe Fuller]
(15 Januari 1862 -1 Januari
1928) adalah seorang pelopor
baik tari modern dan teknik
pencahayaan teater. (Wikipedia)

Blood-Elf Dance
Ini adalah tarian flexible atau tarian lentur yaitu tarian
baru era zaman sekarang, banyak anak muda mengikuti
tarian ini.

333
Breakdance
B-boying atau yang sering disebut sebagai
breakdancing, adalah gaya tarian yang berevolusi
sebagai bagian dari budaya hip-hop di antara pemuda
Hitam dan Amerika Latin di Bronx Selatan, New York
City Amerika tahun 1970-an, tarian hip-hop dan genre
musik ini adalah campuran. di antara praktik tarian ini
disebut b-boy, b-girl atau breaker. Meskipun
“breakdance” adalah istilah umum, ―b-boying‖ dan
breaker adalah bentuk seni yang lebih disukai sebagian
besar para pionir dan praktisi tari.
Moonwalk Dance
The Moonwalk atau backslide adalah sebuah teknik
tarian yang menghadirkan ilusi penari ditarik ke
belakang ketika mencoba untuk berjalan maju. Gerak
breakdancing itu menjadi populer di seluruh dunia
setelah dipopulerkan oleh Michael Jackson dalam
pertunjukannya pada “Billie jean “on Motown 25:
Yesterday, Today, Forever pada tanggal 25 Maret 1983.
Tarian ini juga diperlihatkan melalui gerakan tangan
dan sekarang menjadi salah satu teknik tari yang
terbaik dan terkenal di dunia.
Running Man/Shuffle Dance
The Running Man (Shuffle Dance) adalah tarian yang
berasal dari tahun 1980-an dan dilakukan terutama oleh
MC Hammer selama konser live show dan video
musik, tetapi baru mencapai popularitas pada tahun
2000-an. Tarian ini diciptakan oleh Paula Abdul
sementara ia adalah seorang koreografer bagi Janet
Jackson pada akhir ‗80-an. The Running Man ini
pertama kali dilakukan pada tahun 1987 dan 1988
sebagai bagian dari konser Janet Jackson tur. Ia juga
digunakan dalam beberapa bentuk tarian gaya
Melbourne Shuffle, terdiri atas langkah hopping atau
geser dilakukan sedemikian rupa pada kecepatan untuk
mensimulasikan seorang pelari.
Gambar 50. Contoh Tari Modern (Google, 2013)

Awalnya Loie Fuller bereksperimen melakukan tarian dengan


gerakan bebas sehingga kemudian melahirkan bentuk tarian yang kini
populer dengan 'modern dance'. Selama periode yang sama Ruth Denis

334 Nasbahry Couto & Indrayuda


mencoba mengembangkan gerakan tarian versi dirinya sendiri yang
berdasarkan pada berbagai insiden mitologi.
Penari besar lainnya seperti Martha Graham, Doris Humphrey,
Isadora Duncan mengikuti jejak mereka berdua. Tarian ini terus
berkembang dengan gerakan-gerakan yang tidak terbatas. Setiap penari
atau koreografer bebas mengekspresikan gerakan-gerakan dengan tidak
membatasi diri pada metode dan ideologi penggagas modern dance.
Kemudian inovasi berbagai bentuk tarian ini dilakukan oleh penari-
penari, seperti Martha Graham, Merce Cunningham, Isadora Duncan.
Inovasi ini telah mengilhami perubahan sehingga koreografinya
kemudian menggunakan emosi dan penuh ekspresi.
Sejalan dengan perkembangannya, tari modern di Indonesia ini
dapat dikategorikan menjadi beberapa macam, antara lain adalah hip-
hop dance, concert dance, break dance, R&B dance, freestyle dance,
dan yang terakhir baalroom dance (Sedyawati dan Damono, 1991. P.
5).
8. Musik Modern
Sejak abad ke-2 dan abad ke-3 sebelum Masehi, di Tiongkok dan
Mesir ada musik yang mempunyai bentuk tertentu. Dengan mendapat
pengaruh dari Mesir dan Babilon, berkembanglah musik hibrani yang
dikemudian hari berkembang menjadi musik gereja. Musik itu
kemudian disenangi oleh masyarakat karena adanya pemain-pemain
musik yang mengembara serta menyanyikan lagu yang dipakai pada
upacara gereja. Musik itu tersebar di seluruh Eropa kemudian tumbuh
berkembang, dan musik instrumental maju dengan pesat setelah ada
perbaikan pada alat-alat musik, misalnya biola dan cello. Kemudian
timbulah alat musik orgel. Komponis besar muncul di Jerman, Prancis,
Italia, dan Rusia. Dalam abad ke-19, rasa kebangsaan mulai bangun dan
berkembang. Oleh karena itu, perkembangan musik pecah menurut
kebangsaannya masing-masing, meskipun pada permulaannya sama-
sama bergaya romantik. Mulai abad 20, Prancis menjadi pelopor
dengan musik impresionistis yang segera diganti dengan musik
Ekspresionistis.

335
Gambar 51. Beberapa gambar peralatan dan
kelompok pemusik modern, (Google, 2013)

Perkembangan Musik Dunia


Musik sudah ada sejak zaman purbakala dan dipergunakan sebagai
alat untuk mengiringi upacara-upacara kepercayaan. Perubahan sejarah
musik terbesar terjadi pada abad pertengahan, karena terjadinya
perubahan keadaan dunia yang makin meningkat. Musik tidak hanya
dipergunakan untuk keperluan keagamaan, tetapi dipergunakan juga
untuk urusan duniawi. Perkembangan musik dunia terbagi dalam enam
zaman sebagai berikut ini.

a. Zaman Abad Pertengahan


Zaman abad pertengahan dalam sejarah kebudayaan Barat adalah
zaman antara berakhirnya Kerajaan Romawi (476 M) sampai dengan
zaman reformasi agama Kristen oleh Marthen Luther (1572M).
Perkembangan Musik pada zaman ini karena terjadinya perubahan
keadaan dunia yang semakin meningkat, yang menyebabkan
penemuan-penemuan baru dalam segala bidang, termasuk dalam
kebudayaan. Perubahan dalam sejarah musik adalah bahwa musik tidak
lagi dititik beratkan pada kepentingan keagamaan tetapi dipergunakan
juga untuk urusan duniawi, sebagai sarana hiburan. Perkembangan
selanjutnya adalah adanya perbaikan tulisan musik dan dasar-dasar teori
musik yang dikembangkan oleh Guido d‘ Arezzo (1050 M). Musik
dengan menggunakan beberapa suara berkembang di Eropa Barat.
Musik Greogrian disempurnakan oleh Paus Gregorius. Pelopor Musik

336 Nasbahry Couto & Indrayuda


pada Zaman Pertengahan diantaranya Gullanme Dufay dari Prancis dan
Adam de la halle dari Jerman.

b. Zaman renaisans (1500 – 1600)


Zaman renaisans adalah zaman setelah abad pertengahan, renaisans
artinya kelahiran kembali tingkat kebudayaan tinggi yang telah hilang
pada zaman Romawi. Musik dipelajari dengan ciri-ciri khusus, contoh
nyanyian percintaan, nyanyian keperwiraan. Sebaliknya musik gereja
mengalami kemunduran. Pada zaman ini alat musik piano dan organ
sudah dikenal, sehingga munculah musik instrumental. Di kota
Florence berkembang seni opera. Opera adalah sandiwara dengan
iringan musik disertai oloeh para penyanyinya. Komponis-komponis
pada zaman renaisans di antaranya adalah seperti Giovanni Gabrieli
(1557 – 1612) dari Italia, Galilei (1533 – 1591) dari Italia, Claudio
Monteverdi (1567 – 1643) dari Venesia dan Jean Baptiste Lully (1632 –
1687) dari Prancis.

c. Zaman Barok dan Rokoko


Kemajuan musik pada zaman pertengahan ditandai dengan
munculnya aliran-aliran musik baru, di antaranya adalah aliran barok
dan rokoko. Kedua aliran ini hamper sama sifatnya, yaitu adanya
pemakaian ornamentik (hiasan musik). Perbedaannya adalah bahwa
musik barok memakai ornamentik yang deserahkan pada Improvisasi
spontan oleh pemain, sedangkan pada musik rokoko semua hiasan
ornamentik dicatat. Komponis-komponis pada Zaman Barok dan
Rokoko di antaranya: pertama, Johan Sebastian Bach, lahir tanggal 21
Maret 1685 di Eisenach Jerman dan meninggal tanggal 28 Juli 1750 di
Lipzig Jerman. Hasil karyanya yang amat indah dan terkenal adalah St.
Mathew Passion, Misa dalam b minor, Tigabelas buah konser piano
dengan orkes, dan Enam buah Konserto Brandenburg. Gubahan-
gubahannya mendasari musik modern. Sebastian Bach menciptakan
musik koral (musik untuk khotbah gereja) dan menciptakan lagu-lagu
instrumental. Pada akhir hidupnya Sebastian Bach menjadi buta dan
meninggal di Leipzig
Kedua, George Fredrick Haendel yang Lahir di Halle Saxony 23
Februari 1685 di London dan meninggal di London tanggal 14 April
1759. Semasa kecilnya dia sudah memperlihatkan bekat keahlian dalam
337
bermain musik. Pada tahun 1703, ia pindah ke Hamburg untuk menjadi
anggota orkes opera. Tahun 1712 ia kembali mengunjungi Inggris.
Hasil ciptaannya yang terkenal adalah messiah (oratorio) yaitu nama
sejenis musik yang terkenal, water musik (musik air), fire work music
(musik petasan).
water music dan fire work music adalah orkestranya yang paling
terkenal. Dia meninggal di London dan dimakamkan di Westminster
Abbey.

d. Zaman Klasik 1750 – 1820)


Sejarah musik klasik dimulai pada tahun 1750, setelah berakhirnya
musik barok dan rokoko. Ciri-ciri zaman musik klasik di antaranya:
penggunaan dinamika dari keras menjadi lembut, crassendo dan
decrasscendo, perubahan tempo dengan accelerando (semakin cepat)
dan ritarteando (semakin lembut), pemakaian ornamentik dibatasi, dan
Penggunaan accodr 3 nada. Komponis-komponis pada Zaman Klasik
antara lain:
1) Frans Joseph Haydn (1732 – 1809),
Lahir di Rohrau Austria, ia meninggal tanggal 31 Mei 1809 di
Wina Austria. Karya ciptaannya, yaitu Sonata Piano, 87 buah kuartet,
24 buah opera, 100 buah simfoni, yang paling terkenal adalah The
Surprisse Sympony. Dalam sejarah musik, Joseph Haydn termashur
sebagai Bapak Simfony yang mewujudkan bentuk orkes dan kuartet
seperti yang kita kenal sekarang. Di Wina ia diakui sebagai komponis
Austria yang handal.
2) Wolfgang Amandeus Mozart (1756 – 1791)
Lahir pada tanggal 27 Januari 1756 di Salzburg Austria, meninggal
tanggal 5 Desember 1791 di Wina Austria. Hasil karyanya adalah
Requiem Mars, 40 buah Simfony, Opera Don Geovani, Kuintet Biola
Alto, Konserto Piano. Pada usia 3 tahun ia telah dapat menghasilkan
melodi dan menerapkan accor pada hrpsikord. Pada usia 5 tahun ia
telah mulai menciptakan lagu dan muncul di depan umum. Pada usia 6
tahun, bersama saudara perempuannya mengadakan tour keliling Eropa.
Pada tahun 1781 ia pindah ke kota Wina dan mengarang ciptaan-
ciptaannya yang termasyhur. Permainannya sangat menakjubkan,
sehingga dijuluki anak ajaib. Biar pun memperoleh banyak sukses,
338 Nasbahry Couto & Indrayuda
tetapi ia sangat miskin dan sengsara, ia meninggal di Wina dalam usia
35 tahun dan dikuburkan di pekuburan fakir miskin. Ia menulis banyak
komposisi dalam bentuk yang berbeda-beda, tetapi berpegang kuat pada
gaya klasik murni.

e. Zaman Romantik (1820 – 1900)


Musik romantik sangat mementingkan perasaan yang subyaktif.
Musik bukan saja dipergunakan untuk mencapai keindahan nada-nada,
melainkan digunakan untuk mengungkapkan perasaan. Oleh karena itu,
dinamika dan tempo banyak dipakai. Komponis-komponis pada zaman
romantic seperti Ludwig Von Bethoven dari Jerman, Franz Peter
Schubert dari Wina, Francois Fredrick Chopin dari Polandia, Robert
Alexander Schumann dari jerman, dan Johanes Brahms dari Hamburg
Jerman.
1) Ludwig Von Beethoven (1770 – 1827)
Lahir Desember 1770 di Bonn Jerman, ia meninggal tanggal 26
Maret 1827 di Wina Austria. Ia menamakan dirinya sebagai pujangga
nada. Sejak usia 4 tahun dia belajar musik di bawah asuhan ayahnya.
Pada usia 17 tahun, ia pergi ke Wina menemui komponis Mozart,
kemudian Mozart memberi bimbingan musik kepadanya, sehingga ia
dapat menjadi pemain musik yang baik dan komponis yang berbakat.
Pada usia 30 tahun pendengarannya mulai berkurang dan usia 50 tahun
ia tidak bias mendengar sama sekali. Pada waktu ciptaannya Ninth
Symphonies lahir, ia tidak mampu lagi mendengarkan hasil karyanya
itu. Pada tanggal 26 Maret 1827, dia meninggal di Wina. Ia hidup
dengan sangat menderita, tetapi mampu menciptakan Sonata dunia
yang paling indah. Hasil ciptaannya antara lain: (1) 5 buah sonata cello
dan piano, (2) 9 buah symfoni, dan (3) 32 sonata piano.
2) Franz Peter Scubert (1797 – 1828)
Lahir di Wina 31 Januari 1797, dia meninggal tanggal 19
Desember 1828, ciptaannya antara lain: Ave Maria, The Erl King,
Antinghed Symphony, Gretchen At The Spining Sheel, The Wild Rose.
Schubert mempunyai suara yang merdu dan menjadi penyayi paduan
suara imperial choir. Kemudian ia memperdalam pengetahuan
musiknya di bidang komposisi. Pada waktu meninggal, Ia tidak dikenal
orang banyak dan berpasan agar dikuburkan dekat makan Beethoven.
339
Dia meninggalkan seratus buah hasil karyanya, kebanyakan lagu-lagu
solo.

3) Wilhelm Richard Wagner (1813 – 1883)


Lahir tanggal 22 Mei 1813 di Leipzig Jerman, meninggal 13
Februari 1883 di Venesia. Hasil ciptaannya antara lain: Tannhauser,
Die Maistersinger Von Hurberg, Lohengrin, dan Der Fliegende
Holander.
4) Johannes Brahms (1883 – 1897)
Lahir 7 Mei 1883 di Hamburg Jerman, ia meninggal 3 April 1897
di Wina Austria. Hasil ciptaannya: Hungarian Dance, Muskoor Ein
Deusches Requiem, Kuartet gesek pada usia 14 tahun ia telah menjadi
pianis yang baik. Dia adalah seorang komponis terakhir dari aliran
romantik, karyanya sangat indah.

f. Zaman Modern (1900 – sekarang)


Musik pada zaman ini tidak mengakui adanya hukum-hukum dan
peraturan-peraturan karena kemajuan ilmu dan teknologi yang semakin
pesat, misalnya penemuan di bidang teknik seperti Film, Radio, dan
Televisi. Pada masa ini orang ingin mengungkapkan sesuatu dengan
bebas. Komponis-komponis pada zaman modern adalah (1) Claude
Achille Debussy dari Prancis, (2) Bella Bartok dari Honggaria, (3)
Maurice Ravel dari Prancis, (4) Igor Fedorovinsky dari Rusia, dan (5)
Edward Benyamin Britten dari Inggris.
9. Posmodern 204
Posmodern sebagai filsafat pemikiran akhirnya banyak
mempengaruhi berbagai perkembangan kebudayaan, termasuk bidang
seni. Seni modern dengan faham formalisme (aliran yang
mengutamakan bentuk dan fungsi) sebagai puncaknya --seniman

204
Istilah posmodernisme dipopulerkan oleh para seniman, penulis, dan kritikus sastra
yang menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme berhenti dalam
birokrasi. Dalam bidang filsafat, posmodernisme berarti kritik-krtik filosofis atas
gambaran dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain,
istilah posmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik
atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya.
340 Nasbahry Couto & Indrayuda
semata hanya memikirkan pencarian bentuk-bentuk keindahan semata--
seperti pada gaya lukisan abstrak. Seni modern hanya dipahami sebagai
sesuatu yang otonom dan universal lepas dari hubungannya dengan
agama, tradisi, dan sosial-politik. Akibatnya, modernisme dalam seni
dianggap telah menjauhkan seni dengan konteks realitas sosialnya.
Pada lain pihak, modernisme telah menyebabkan seni menjadi terkotak-
kotak, seperti seni lukis, seni patung, seni grafis, hal inilah yang lalu
ditolak oleh seni-seni post-modern. Oleh posmo, pencarian bentuk yang
indah dan identifikasi-identifikasi seni tidak lagi menjadi perhatian.
Bagi seni-seni post-modern, sekarang adalah bagaimana
merepresentasikan seluruh gagasan yang berakar dari historis atau
sejarah budaya, dan dikomunikasikan secara segar dan baru kepada
publik.
Seni posmodern pun menentang konvensi seni modern
sebelumnya, misalnya dalam seni rupa, melukis bukan harus selalu di
atas kanvas, melainkan juga bisa di atas aspal bahkan realitas itu, bukan
realitas yang ada di kanvas tetapi kanvas itu sendiri. Demikian juga
dengan seni patung yang semata harus menggunakan bahan tanah liat,
tetapi juga tubuh si seniman itu sendiri.

Seni Lukis Posmo


Francis Berry, Pilihan Baru: Hotei Lukisan
akrilik di atas kanvas, 36 "x 54", 2005,

Arsitektur Posmodern
Arsitektur posmodern pada tahun 1970-an
mulai dikenal sebagai salah satu bentuk
perkembangan gaya yang terbaru dalam seni.
Gaya posmodern seperti ini tidak hanya dikenal
pada dunia arsitektur namun dikenal juga pada
seni lainnya seperti seni lukis, patung, film atau
seni tari. Antistesis dari modernisme adalah isi
dari posmodern. Kedua hal tersebut sebenarnya
sangat sulit dispisahkan seperti 2 buah mata uang
logam dan memiliki sifat keterkaitan. Dalam
sejarah, perkembangan modernisme adalah titik

341
awal yang mempengaruhi gaya posmodernisme.

Patricia Piccinini: The Long Awaited, Monday,


December ke-29, 2008

Gambar 52. Contoh Seni Rupa Posmodern (Google, 2013)

Dengan kata lain, seni posmodern telah melenyapkan batas antara


seni lukis, keramik, patung, grafis. Bahkan batasan antara seni rupa,
musik, sastra, tari, dan teater, Seni bagi mereka telah menjadi
keseluruhan yang sifatnya total. Pablo Piccasso, dianggap sebagai titik
putar dalam dunia seni yang menggeser dari seni modern menuju pada
seni posmodern. Piccasso hidup dengan membelah bentuk seni menjadi
dua format, yaitu sebelum 1907, lukisannya masih berformat
naturalisme dan impressionisme yang setelah itu menjadi seni yang
objektif dengan sedikit nuansa subjektif dan selanjutnya berubah total
menjadi seni subjektif (Cubisme), yang sudah tidak dapat dilihat secara
wajar lagi.
Setelah itu seluruh seni pada abad 20 berubah semangatnya men-
jadi seni yang total subjektif, muncul tokoh yang bernama Salvador
Dali dengan surealisme yang sudah melampaui realisme. Akhirnya seni
itu berkembang kepada abstrak dimana lukisan sudah benar-benar tidak
dapat dimengerti secara wajar. Hal inilah yang membuat kita akhirnya
jatuh dalam subjektivitas total dan sudah terjadi kesenjangan relasi
antara si pelukis dengan si penerima. Inilah format posmodern yang
disebut sebagai “the dead of the author principle” yang artinya apabila
telah membuat sesuatu maka antara seniman dengan karyanya dan pe-
nerima sudah putus hubungan sama sekali. Setiap orang bebas
berinterpretasi, semuanya adalah satu ungkapan subjektivitas yang tidak
pernah mungkin bisa ditangkap oleh penerima (metafora).

Di lingkungan internasional perkembangan seni rupa kontemporer


atau seringkali dikenal dengan sebutan posmodern era 1980-an yang
342 Nasbahry Couto & Indrayuda
ditunjang oleh perkembangan teori-teori pascamodernisme. Pasca-
modernisme atau posmodern artinya suatu masa ketika orang
mempercayai bahwa zaman modern telah berlalu digantikan oleh era
baru yang memiliki paradigma atau pandangan yang berbeda terhadap
berbagai persoalan dalam masyarakat.
Hal ini diawali dengan adanya perubahan pandangan tentang
bahasa di Prancis. Awalnya, dalam bidang bahasa di Prancis berlaku
pandangan Ferdinand de Saussure. Menurut Saussure, bahasa bukanlah
mencerminkan dunia. Makna kata tidak dihubungan dengan benda yang
ada di dunia. Makna kata dihubungan dengan makna kata yang lain.
Contohnya, kata "bunga. " bukan menunjuk pengertian bunga, yakni
berdasarkan kenyataan menunjuk bagian tumbuhan yang akan menjadi
buah. Menurut pandangan itu, pengertian bunga berkaitan dengan
perbedaannya dengan pengertian kata lain, seperti buah.
Makna kata ini terbentuk dalam suatu tatanan yang sudah tersusun
rapi dan dapat dilihat berdasarkan perbedaan. Misalnya, hitam berbeda
dengan putih atau merah berbeda dengan hijau. Makna kata itu
didasarkan pada kesepakatan yang menunjukkan perbedaannya dengan
yang lain. Makna tersebut berlaku umum.
Pandangan ini kemudian dikritik oleh Derrida. Menurut Derrida,
pengertian kata "bunga" bukan terletak pada perbedaannya dengan
pengertian kata yang lain. Pengertian bunga menurut Derrida
tergantung pada konteks. Kata bunga, misalnya, mula-mula bisa
menunjuk bagian tumbuhan yang akan menjadi buah dalam konteks
tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi, dalam konteks lain bunga bisa
mempunyai pengertian perempuan (bunga desa), kekasih (bunga hati),
jalur pada ban (bunga ban) atau imbal jasa (bunga uang). Konteks ini
menunjukkan bagaimana seseorang melihat atau merasakan sesuatu dan
mengungkapkannya sesuai dengan apa yang dia lihat dan rasakan. Hal
ini terjadi dalam situasi tertentu di mana dia berada. Misalnya, di
kalangan perbankan, kata bunga langsung dikaitkan dengan imbal jasa
atas penggunaan uang. Di kalangan petani, kata bunga langsung
merujuk ke bagian tumbuhan yang akan menjadi buah. Di kalangan
teknisi di sebuah bengkel ban mobil, kata bunga langsung mengarahkan
pengertian pada jalur yang tinggi rendah pada ban baru yang membuat
tidak licin. Di sini tampak pengertian umum tentang bunga tidak

343
berlaku lagi. Hal itu lama kelamaan membentuk aliran pemikiran
posmodernisme.

Modernisme Posmodernisme
Berlaku selama-lamanya Hanya untuk sementara waktu
Kurang memperhatikan budaya Sadar akan budaya lokal atau
lokal atau tradisi tradisi

Menurut aliran ini, tidak ada pengertian yang berlaku umum dan
stabil. Pengertian itu tergantung pada konteks. Perdebatan dalam
wacana pemikiran itu kemudian berpengaruh ke dalam dunia kesenian,
dalam hal ini seni rupa. Dari sinilah muncul seni rupa kontemporer,
dalam arti gaya berkesenian yang mempertanyakan konsep-konsep
berkesenian pada masa sebelumnya, yakni seni rupa modern. Jadi, jika
seni rupa modern dilatarbelakangi paradigma modern, seni rupa
kontemporer dilatarbelakangi paradigma posmodern. Berikut ini bagan
yang menunjukkan perbedaan seni rupa modern dengan posmodern .
Salah satu jenis kesenian kontemporer yang cukup menonjol
adalah seni rupa instalasi. Seni instalasi sebenarnya sudah dikenal sejak
1920-an karena senantiasa tampil pada gerakan avant garde radikal:
gerakan dadaisme di Jerman, konstruktivisme di Russia, gutai di
Jepang, dan pop art di Amerika. Namun, penamaan instalasi bermula di
Amerika pada dekade 1970, bukan di kalangan posmodernis, melainkan
di kalangan minimalis (minimal art), corak modernisme yang
berkembang pada akhir dekade 1960.
Ciri seni rupa minimal ini dapat dilihat dari karya-karya struktural
yang dikonstruksikan di ruang pameran. Di sini penginstalasian
menjadi utama: Pada tahun 1967-1968, pematung Robert Morris, salah
seorang di antara minimalis itu, memamerkan serangkaian karya yang
diberi judul Installation. Kecenderungan minimalis itu konon
dipengaruhi film Stanley Kubrick 2001: A Space Odyssey menerapkan
prinsip Clement Greenberg secara sangat ekstrem, yakni kemurnian
bentuk bagi mereka adalah kekonkretan. Istilah minimalisme sendiri
diambil dari pandangan filsuf Richard Wollheim, "Objek seni abad ke-
20 adalah objek seni yang paling minimal mengandung nilai seni. "

344 Nasbahry Couto & Indrayuda


Pada modernisme awal, gerakan dada (dadaisme) di Jerman
menentang prinsip "seni untuk seni" dengan menentang institusi seni
rupa avant garde dengan menolak pembedaan museum dan pabrik, seni
murni, dan desain. Pada dekade 1960, avant garde radikal kembali
menentang modernisme sebagai institusi yang kali ini telah tumbuh
menjadi sangat berpengaruh. Di Eropa, penentangan ini muncul di
Prancis dan Jerman. Perupa-perupa radikal seperti Allan Kaprow,
Joseph Beuys, dan Nam June Paik melancarkan pemberontakan
bersama gerakan-gerakan mahasiswa penentang perang Vietnam (ini
dikenal pula sebagai tanda-tanda awal kemunculan seni rupa
kontemporer).
Di Jepang pada awal dekade 1960, gerakan Gutai205 memberontak
melalui eksperimentasi seni rupa. Para tokohnya, seperti Kuniharu
Akiyama, Toshi Ichiyanagi, dan Toru Takemitsu, menyajikan seni rupa
pertunjukan dan seni rupa kejadian dengan berbagai idiom-film
dokumenter amatir, asap, tuangan cat, musik, dan water di Osaka dan
Tokyo. Di Amerika, avant garde radikal 1960-an tampil sebagai
gerakan yang lahir dari budaya lokal. Seni rupa ini muncul bersama
tumbuhnya `kegilaan" masyarakat Amerika pada seni rupa populer,
pemujaan tokoh-tokoh komik, seperti Charlie Brown, Batman,
Superman, dan Flash Gordon.
Dalam perspektif Charles Jencks, seorang pemikir posmodern,
pop art kembali mengkaji jarak antara seni dan kehidupan. la menulis,
"Andy Warhol malah menganggap yak itu tidak pernah ada. Pernyataan
Warhol, 'Saya ingin menjadi mesin karena mesin tidak bikin pusing',
membuat semua etos avant garde yang positivistis menjadi terbalik.

205
Menurut Koichi Kawasaki, gerakan seni yang diusung oleh Gutai sama sekali tidak
memiliki intensi politis dan tidak dapat dikatakan sebagai seni mengedepankan
artikulasi konsep tertentu. Apa yang mereka lakukan semata-mata adalah aksi yang
kongkrit dalam melakukan eksplorasi material dan adalah sebuah bentuk
penjelajahan berbagai kemungkinan ekspresi artistik yang personal untuk
menangkap spirit zaman serta sensasi akan kebaruan. Namun, dalam konteks yang
lebih luas, apa yang dilakukan oleh kelompok ini pada kenyataannya memiliki
dampak yang politis, terutama ketika karya-karya personal yang dikembangkan oleh
para seniman Gutai menjadi sebuah gerakan seni yang tidak hanya berpengaruh di
Jepang, tetapi juga pada beberapa negara Eropa dan Amerika, lih di:
http://visitingjapan. wordpress. com/2008/11/09/studi-tentang-gutai-art-di-hyogo-
prefectural-museum-of-art/
345
Keyakinan Warhol bahwa makna karyanya adalah uang membuat
semua konsep avant garde memperjuangkan kebudayaan-sebagai
alternatif kebudayaan massa-mati. " Dalam pandangan Jencks, pop art
adalah dasar pemberontakan semua avant garde yang (dan) menentang
tradisi seni "high culture" yang selama ini menjadikan modernisme
terpisah dari kehidupan.
Salah satu jenis kesenian kontemporer yang cukup menonjol
adalah seni rupa instalasi. Seni instalasi sebenarnya sudah dikenal sejak
1920-an karena senantiasa tampil pada gerakan avant garde radikal:
gerakan dadaisme di Jerman, konstruktivisme di Russia, gutai di
Jepang, dan pop art di Amerika. Perkembangan selanjutnya dapat kita
lihat dari seni yang muncul dari berbagai konsep yang menentang seni
sebelumnya, misalnya seni konseptual.
1. Conceptual Art
Istilah konseptual berasal dari bahasa Latin conceptus yang artinya
pikiran, gagasan atau ide. Konseptual berarti ‗conceptus' yang artinya
pikiran, gagasan dan ide atau segala sesuatu yang berkaitan dengan
konsep (Webster, 1969)
Arti dari seni rupa konseptual lebih kurang adalah seni rupa yang
berkaitan dengan konsep. Istilah seni rupa konseptual pertama kali
dikemukakan oleh beberapa perupa dari Kalifornia, misalnya Edward
Keinholz dan Hendry Flint pada awal tahun 1960. Istilah ini sinonim
dengan ‗idea art‟.
So Le Witt seorang perupa minimalis secara formal menggunakan
istilah tersebut dalam sebuah artikelnya ―Paragraph on Conceptual
Art‖ yang dimuat dalam ―Art Forum‖, sebuah majalah terbitan berkala
pada tahun 1967. Le Witt menjelaslah bahwa konsep atau ide penting
dalam penciptaan Seni-rupa. Gerakan ini menempatkan konsep sebagai
hal yang penting dari yang lain. Teorinya adalah bahwa objek seni rupa
atau material adalah akibat samping dari konsep perupa. Mereka
menggunakan batasan-batasan seperti ‗dematerial, immaterial‟ dan
‗anti form‟ (Wheeller, Daniel, 1992: 246-262)
Seni-rupa konseptual adalah gerakan seni rupa yang lahir
bersamaan waktunya dengan seni rupa minimalis dan super-realisme,
pada pertengahan tahun 1960. Pengaruh ketidakjelasan politik dan
pertumbuhan kesadaran sosial di Eropah dan Amerika Serikat pada
346 Nasbahry Couto & Indrayuda
tahun 1960-an mendorong hasrat sebagian perupa untuk menjauhi
tradisi elite seni rupa. Beberapa perupa tidak lagi tertarik dan menolak
gaya-gaya, nilai-nilai dan pengaruh gaya objektif yang imitatif. Di
samping itu, sistem pasar yang tidak masuk akal, keterbatasan ruang
gerak perupa semakin mempertajam reaksi perupa untuk menciptakan
seni rupa konseptual
Perupa konseptual lebih mengutamakan gagasan atau ide daripada
yang lainnya. Mereka menawarkan sikap ekstrim, yang keberatan
dengan media seni rupa konvensional, dan mencari kemungkinan yang
paling radikal dengan konsep dan sungguh-sungguh
memperjuangkannya pada karya mereka. Conseptual art dapat
disatukan oleh suatu sikap penggunaan bahasa verbal, bahasa, ide
menjadi penting dalam seni, sedangkan aspek visual yang
menyenangkan mata hanyalah bersifat sekunder. Apa saja halal
dilakukan, baik yang puritan, yang berpengaruh maupun tanpa
pengaruh secara visual.
Sejak kehadiran seni rupa konsep pengkotakan seni rupa yang satu
dengan yang lain secara fisik mulai kabur. seni rupa konsep mengambil
(annexation) hampir semua potensi jenis seni rupa atau tidak seni rupa.
Mereka menemukan nuansa baru dalam seni rupa sebagai pengganti
lukisan atau patung. Bahasa, surat kabar, majalah, advertising, pos,
telegram, buku-buku, katalogus, foto copy, film, video, anggota badan,
penonton, bahkan dunia ini bisa dijadikan medium atau objek seninya.
Seni-rupa konsep ibarat “black hole” (lubang hitam di angkasa
raya) yang sanggup menelan apa saja yang mendekatinya. Begitu
banyaknya jenis seni rupa konsep, tetapi dalam perkembangannya
dibagi atas tiga kelompok besar.
1. Pra-Konseptual
Kelompok ini bisa dilihat dengan melihat proto-tipe karya-karya
seni rupa sebelum munculnya gerakan ini dan sikap perupanya dalam
seni rupa. Gejala-gejala seni rupa konsep tampak pada fenomena seni
rupa nonformalis yang mendahuluinya, terutama ide karya ‗siap pakai‘
Duchamp. Kemudian ide karya-karya Rouschenberg dengan judul‗
Erased de Kooning Drawing‘ tahun 1953 dan karya fotografinya yang
berjudul ‗Potrait‘ tahun 1959. Ide-ide dari Ferdinand de Saussure,
seorang penulis semiotik, ide-ide karya Ed Ruscha awal yang berjudul ‗

347
Standard Station‘ yang memanfaatkan kata dan materi visual, yang
mirip dengan ide-ide karya Ruscha dapat kita jumpai pada karya Jasper
John, Roy Lichtenstein, Robert Indiana dan Andy Warhol.
2. Seni-rupa Konseptual Murni
Jenis karya konseptual ini menekankan perhatian pada penerapan
ide yang menjadi hakikat dari suatu karya seni. Sebagai gerakan yang
progresif, mereka merumuskan „dematerialization of the art objeck‟
atau ‗antiform movement‟ sebagai suatu evolusi seni rupa yang
mengarah kepada suatu ‗immaterial‘ Meskipun pada akhirnya para
perupa konseptual murni juga menggunakan material atau bentuk,
tetapi itu bukanlah menjadi tujuan utama; sebab akibat dari ide atau
konsep mereka. Pada masa ini mereka banyak memanfaatkan
penggunaan bahasa, terutama bahasa verbal dan biasa dengan objek
seni rupa statis, berupa huruf, kata atau kalimat. Untuk melengkapi
deskripsi, mereka juga memanfaatkan ikon inkonvensional lainnya,
dingin tanpa keunikan, tanpa pengaruh, tanpa apa saja karena yang
penting adalah idenya.
3. Seni Rupa Ultra-Konseptual
Seni-rupa konsep sebagai suatu ide adalah suatu gerakan yang
akhirnya membawahi berbagai bentuk kegiatan dan ini salah satu alasan
mengapa disebut sebagai ultra-konseptual. Bagaimana pun
‗immaterialnya‘ konseptualisme, sebagai seni rupa berkaitan dengan
masalah abstraksi dari konsep. seni rupa konsep yang awalnya
memperjuangkan ide murni dan immaterial pada akhirnya larut dalam
abstraksi, dan menimbulkan berbagai bentuk seni rupa baru, yang
meskipun ada kesamaannya, satu sama lain memiliki perbedaan yang
jelas, antara lain: ―performance art, proccess art, earth atau land art,
happening art, environments‗ dan sebagainya, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut ini.

348 Nasbahry Couto & Indrayuda


Performance art :Nao Bustamante-@ The Cat, Performance Art: performance
Noon 4/24, April 22, 2008, menampilkan diri artist, menampilkan diri sendiri
yang telah dipoles sebagai benda sebagai benda seni (Wikipedia,
seni(http://youwillneverfind. 2013)
us/marginrelease/wp-
content/uploads/2008/04/rhyme2. jpg)
Gambar 53. Contoh Performance Art
1. Performance Art, idenya berdasarkan fenomena bahasa, yaitu
ketika kata-kata tertulis dan media statis dianggap sebagai
material yang mengikat. Beberapa perupa konseptual berusaha
membebaskan diri, mencari alternatif baru dalam ‗performance
art‟ adalah transformasi narasi (teks tertulis) ke dalam bentuk
teatrikal, personal atau kolektif.

Contoh Proccess art karya Chalsie Williamson,


Birmingham, Inggris http://chalsiewilliamson.
blogspot. com/2010/11/process-art. html

Karya Lynda Benglis New York, NY


United States (Dalam karya Benglis ', tindakan
penciptaan artistik tertanam dalam penyajian
proses dan pergerakan material. Meskipun hal ini
dapat dilihat mengejar formalistik, dalam karya
Benglis 'adalah tindakan transformasi
http://www. brooklynmuseum. org/eascfa/

349
feminist_art_base/gallery/lynda_benglis. php

Gambar 54. Contoh Proccess Art


2. Proccess Art. Secara eksternal karya jenis ini tampak pada
substansi organisnya. Material yang digunakan bisa berupa
minyak, kayu, karet, rumput, es, debu, daging, dan sebagainya
serta memanfaatkan kekuatan alam, grafitasi, temperatur,
atmosfir yang selalu membuat subjek karya selalu berproses
seperti mengembang, menyusut, membusuk

Gambar 55. Contoh Earth atau


Land Art,

4. Earth atau Land Art adalah seni rupa yang memanfaatkan


kekayaan alam, bentuk amorf, bentuk abstrak, kerucut,
ketahanan alam, perubahan alam, geologi, cuaca, berbagai ilusi
yang ditimbulkan untuk kepentingan seninya.
5. Environments Art adalah seni rupa yang memanfaatkan
berbagai material. Sebagian besar adalah material bekas atau
material yang tidak layak dipakai untuk berkesenian, para
perupa punya misi tertentu terhadap lingkungannya. Dalam
format yang kecil, gaya ini disebut ‟Assemblage Art‟.
6. Happening Art. Happening mengacu kepada aksen dalam
„action painting‟. Para perupanya sebagaimana gaya ‘action
painting‘ mengu-tamakan spontanitas dengan berbagai gerakan
improfisasi seperti halnya „performance art‟, bedanya
„happening‟dalam ruang dan waktu yang sebenarnya (tidak
350 Nasbahry Couto & Indrayuda
dibuat-buat) sedangkan „performance‟pada kesem-patan tertentu
saja. environment dan happening seperti pasif dan aktif dalam
sesuatu yang bermuka dua seperti koin. )

Seni-rupa konseptual adalah gerakan seni rupa yang paling besar,


paling cepat tumbuh dan paling luas pengaruhnya diabad ke-20 ini.
Meskipun sangat banyak karya yang dihasilkan seni rupa tersebut yang
dikoleksi oleh museum atau galleri seni rupa tidaklah seberapa kalau
dibandingkan dengan gerakan seni rupa abad ke-19-an. Parameter
kebesaran seni rupa konsep bukanlah pada banyaknya yang dikoleksi
atau harga karya, melainkan idealisme yang diperjuangkannya.
Meskipun pada akhirnya seni rupa konsep surut juga, tetapi spiritnya
masih kita rasakan sampai hari ini, berdampingan dengan kemapanan
karya lukis dan karya patung yang konvensional.
Umumnya perupa konseptual berpameran secara berkelompok atau
dalam pameran tunggal. Salah satu pameran mereka yang cukup
kontroversial dan dianggap inovatif adalah pameran yang diorganisir
oleh ‗Seth Siegelaub‘. Satu di antaranya hanya berupa katalog, mereka
adalah Kosuth, Weiner, Hubler dan Barry.

Gambar 56. Contoh Happening Art, Published December 27, 2009 at 2048 ×
1536 in Pameran Mahasiswa Angkatan 2006 di UNJ, Rawamangun, Jakarta,
http://seniruparawamangun. wordpress. com/2009/12/27/pameran-
mahasiswa-angkatan-2006/happening-art-pembukaan/

Perupa konseptual lainnya; Terry, Mell Bochner, Jhon Baldessari,


Joseph Beuys, Chris Burden, Gilbert & George, Nam June Paik, Barry
Le Va, Eva Hesse, Jannis Kounellis, Michael Heizer, Max Baker, Claes
351
Oldenburg, dan sebagainya. Beberapa perupa dan konsepnya adalah
sebagai berikut ini.
1) Yoseph Kosuth Perupa ini lahir di Toledo, USA, pada 31 Januari
1945, kepeloporannya dalam seni rupa konseptual tampak sekali
dalam penggunaan bahasa, kemungkinan hal ini dilatarbelakangi
oleh profesinya sebagai reporter (merangkap editor) di Art
Magazine dan Fox Magazine. Perupa ini sangat kontroversial sebab
dialah yang memberikan penekanan seni rupa sebagai ide dalam
berbagai pengantar pameran seni rupa konsep atau berbagai
pernyataan-pernyataannya, karyanya antara lain, One and Three
Chairs, 1985; As ide as Idea, 1963; Zero and Not.
2) On Komara. Perupa ini kelahiran Aichi, Januari 1933. Awal
kariernya adalah pematung, kemudian merambah pada karya-karya
lingkungan. Pada tahun 1959-1965 dia mengembara di Eropah,
Amerika Serikat, dan Mexico. Sejak itu karya-karyanya mengarah
pada ‗dematerilization‟. Karyanya antara lain: I am Still alive; To
day On going dimulai sejak 1966
3) Alan Karow. Alan adalah perupa konseptual kelahiran kota
Atlantic USA tahun 1927, dia adalah penjelajah, kariernya mulai
dari ‗Assemblage Art‟, Environmenst art dan akhirnya ‗Happening
Art‖. Karyanya adalah; Yard, sebuah karya lingkungan yang
memanfaatkan ban bekas, dilaksanakan di Martha Jakson Gallery
1961. Soap, sebuah karya happening, yang dilakukan di florida,
USA, 1965.
4) Vito Acconi. Perupa ini memanfaatkan berbagai unsur seni rupa
konseptual secara terpadu, bahasa, tulisan, tape, film, kursi,
tubuhnya, bahkan penonton pun menjadi objek seninya. Karyanya:
Series of Performance, 8. a. m. each day, 1970; Hand in Mouth
Piece, 1970; Learning Piece, 1970; Seedbed, 1972.
5) Bruce Nauman, adalah perupa konseptual is yang cenderung pada
‗performance‘, salah satu karyanya ada yang nyata-nyata mengacu
pada Duchamp, karyanya Self Potrait as a Fountain; Punch & Judi,
1985. Neon dan kaca di atas aluminium
6) Robert Smithson, adalah perupa ―Earth atau land Art‖, karyanya,
Sand stone comer Piece, 1960, terbuat dari pasir dan batu merah,
tiga lempengan cermin dan persegi empat transparan. "Spiral Jetti"

352 Nasbahry Couto & Indrayuda


1969-1970, menggunakan material batu karang hitam, kristal
garam dan daratan
7) Linda Benglis, seorang perupa wanita yang awalnya menyenangi
berbagai material buatan pabrik, seperti kaum minimalis, kemudian
menerapkannya pada karya ‗proccess art‘. Karyanya adalah:
Bounce II, 1969, dengan material pigmen ‗polyurethane‟; Apus,
1986, dibuat dengan aluminium.
2. Light & Space Art
Pengembang gagasan ini adalah Robert Irwin, Maria Nordman,
Eric Orr, James Turrell, Dough Wheeler206. Waktunya sekitar tahun
1960-1979-an di Kalifornia. Penggunaan secara radikal material dan
dematerial adalah sifat utama dari seni cahaya dan ruang, yang
pertamakalinya diperlihatkan di Los Angeles Amerika Serikat, melalui
eksperimen dengan materi yang tidak biasa yaitu "cast resin" dan "fiber
glass". Sebagaimana seni rupa tanpa materi, "light & space art justru
memfokuskan diri pada karya tanpa ide, dan mengutamakan sensasi-
persepsi. Robert Irwin menciptakan beberapa karya Instalasi yang
kelihatannya berubah oleh cahaya alam, melalui filter transparant yang
dipergunakkannya untuk menciptakan ruang. Bagi pengamat, sorotan
lingkungan cahaya misterius itu secara intensif merangsang
kesadarannya, mengamati bentuk-bentuk melalui cahaya.

Karya: Irwin, Robert (1928-) Cahaya sebagai elemen seni: oleh


Light and Space II. Cahaya sebagai elemen seniman Mona Hatoum seorang British-
seni: Movement: Conceptual art, Theme: Palestina terdiri atas kandang kawat
Abstract, Technique: Installation, Museum: ditumpuk dan kedipan lampu, (Google,

206
Wheeler, Op. Cit. Hal.

353
Private collection, Location: No info (Google, 2013)
2013)
Gambar 57. Contoh Light & Space Art
3. Pengalihan Fungsi Benda Pakai
Hasil dari industrial produk sebenarnya ditujukan untuk utilitas,
tetapi para perupa kemudian mengalihkan produk benda pakai ini
sebagai benda seni rupa murni. Di antara gerakan seni rupa yang
menggunakan desain produk ini sebagai medium seni adalah: craft as
art, ceramic sculpture, artis book, artists furniture, fashion estetic
picture, video art.
4. Craft as Art
Kenyataan memperlihatkan bahwa tidak ditemukan dikotomi
antara fungsi produk kriya tradisonal sebagai benda utilitas dan sebagai
benda artistik. Dalam kerangka yang lebih luas, kriya bahkan memiliki
kelebihan dalam dimensi sosio-budaya, sebagai medium eksistensi
etnik tertentu, dan gerakan kembali ke akar budaya seperti pada
gerakan posmodern. Namun gerakan yang memadukan antara
perkembangan ―visual art‖ murni dengan kriya yang serius baru pada
tahun 70-an.
Menurut Atkins, Robert (1990), dalam bukunya ― Art Speak‖, kriya
rupa (craft-as-art) muncul pertamakalinya di Amerika Serikat tahun
1970-an melalui tokoh-tokoh seperti Rudi Autio, Wendell Castle, Dale
Chihuli, Dan Daile, Marvin Lipofsky, Harvey Litteton, Sam Maloof,
Nance O‘Banion, Albert Paley, Peter Voulkos, Claire Zeisler. Term
kriya rupa, berkaitan dengan penggunaan material kriya kepada ― visual
art ‖, antara lain tanah liat untuk patung keramik, gelas untuk patung
gelas dan sebagainya, kemudian yang lebih penting adalah pengakuan
status beberapa kriyawan yang diangkat menjadi perupa.
Latar belakang timbulnya ―kriya rupa‖ ini menurut Atkins, Robert
adalah setelah perang dunia ke II, timbulnya beberapa eksperimen
penggunaan bahan baru di samping material konvensional seperti cat
dan tembaga. Sepanjang tahun 1950-an, garis perbedaan antara ― visual
art ‖ dan kriya mulai kabur. Kriyawan tidak hanya menciptakan barang
pakai, tetapi juga objek yang bersifat ― visual art ‖.

354 Nasbahry Couto & Indrayuda


Gagasan penggunaan material kriya ini pertama kalinya di
Kalifornia, munculnya para pematung keramik dan perupa yang bekerja
dengan gelas dan metal sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an. Mereka
dipengaruhi perupa-perupa seperti Faith Ringgold, Miriam Schapiro
dan Cristhopher Wilmarth yang mencoba beberapa material baru. Sama
seperti ini, sebaliknya beberapa perupa pada zaman ini tertarik pada
objek-objek utilitas dan menghasilkan hibrida baru yaitu gabungan
antara ― visual art ‖ dan ―nonvisual art ‖ antara lain timbulnya perupa
mebel/furniture, hibrida yang lain adalah gabungan antara karya perupa,
arsitek, desainer mebel dan kriyawan.
5. Artist Furniture
Artist furniture adalah furniture yang dirancang atau juga yang
dibuat oleh pelukis, pematung, pengkriya, dan arsitek. Ide ini
berkembang sejak tahun 1970-an. Terutama di Amerika Serikat. Karya
furnitur yang diciptakan umumnya hanya sebuah dan digunakan untuk
dipamerkan. Scott Burton misalnya, menciptakan patung tempat duduk
(bangku), untuk dalam atau luar ruang yang dianggapnya sebagai "
public art ". Sebelumnya banyak perupa yang bereksperimen dengan
furnitur, misalnya Picasso dan Brancusi.

Gambar 58. Contoh furniture artist Quoted from: Rainbow Desk by furniture
artist Allan Lake207

207
freshome. com/wp-content/uploads/2008/09/rainbow-desk-2b. jpg
355
Gambar 59. Beberapa Karya Contoh Karya furniture Artist, (Google 2013)
6. Antiart (Antiseni)
Antiseni adalah istilah yang longgar-digunakan diterapkan pada
berbagai konsep dan sikap yang menolak definisi seni dan jawaban
pertanyaan apa itu seni sebelumnya. Antiseni cenderung melakukan ini
pertanyaan dan penolakan dari sudut pandang seni konvensional. 208
Istilah ini dikaitkan dengan gerakan dada, disebabkan Marcel
Duchamp pra-perang dunia I, ketika ia mulai menggunakan benda-
benda yang ditemukan begitu saja misalnya barang hasil industri
sebagai seni 209 Sebuah ekspresi antiseni dapat mengambil bentuk seni
atau tidak 210. Secara umum, antiart hanya menolak beberapa aspek
seni. Tergantung pada kasusnya211, "anti karya seni" mungkin menolak
standar seni konvensional 212. Karya antiseni juga dapat menolak pasar
seni (art market), dan seni tinggi (hight art).
Antiart mungkin menolak individualisme dalam seni213. antiart
mungkin menolak "universalitas" sebagai faktor diterimanya sesuatu
dalam seni, dan beberapa bentuk antiart ada yang menolak seluruh

208
David Graver. The aesthetics of disturbance: antiart in avant-garde drama. University
of Michigan Press, 1995, p. 7.
209
"Glossary: Anti-art", Tate. Retrieved 23 January 2010.
210
Paul N. Humble. ―Anti-Art and the Concept of Art‖. In: "A companion to art
theory". Editors: Paul Smith and Carolyn Wilde, Wiley-Blackwell, 2002, p. 250.
211
Martin Puchner. ―Poetry of the revolution: Marx, manifestos, and the avant-gardes‖.
Princeton University Press, 2006, p. 226.
212
Kathryn Atwood. "The Triumph of Anti-Art: Conceptual and Performance Art in the
Formation of Post-Modernism". Afterimage, Sep 1, 2006.
213
Peter Bürger ―Theory of the Avant-Garde‖. Trans. Michael Shaw. Minneapolis:
Minnesota. 1984, p. 51
356 Nasbahry Couto & Indrayuda
kteria seni. Tergantung pada kasus ini, karya seni antiart mungkin
menolak seni sebagai wilayah yang terpisah atau sebagai spesialisasi214.
Karya seni antiart mungkin menolak seni yang didasarkan pada
pertimbangan seni sebagai penindas segmen populasi. 215

Gambar 60. Contoh anti art, Sebagai sesuatu yang


menentang konvensi seni, menampilkan kanvas kosong dan
dipajang, (Google, 2013)

Karya seni antiart dapat mengartikulasikan perselisihannya dengan


gagasan secara umum, seharusnya ada terjadi pemisahan antara seni
dan kehidupan. Memang, karya seni antiart dapat menyuarakan
pertanyaan, apakah "seni" benar-benar ada atau tidak 216"Anti-art"
kemudian dianggap orang sebagai "Kata baru yang paradok
(bertentangan), " sebab dalam kenyataannya dia hanya bersifat oposisi
terhadap seni seni abad kedua puluh atau "seni modern, " --yang dalam
gerakan seni tertentu--secara sadar berusaha untuk melanggar tradisi
atau lembaga seni 217 sebab antiseni itu sendiri bukanlah sebuah

214
Sadie Plant. ―The most radical gesture: the Situationist International in a posmodern
age‖. Taylor & Francis, 1992, p. 40.
215
Interview of Roger Taylor by Stewart Home. "Art Is Like Cancer". Mute Magazine.
2004.
216
Paul N. Humble. ―Anti-Art and the Concept of Art‖. In: "A companion to art
theory". Editors: Paul Smith and Carolyn Wilde, Wiley-Blackwell, 2002. Page 244
217
" Ernst Van Alphen, seorang sarjana Clark dari Belanda, menyarankan bahwa
Modernisme itu sendiri bisa dikategorikan sebagai antiseni bahwa sejak awal
gerakan Dada dan Futurisme, seni sering dipandang sebagai transformasi dan
357
gerakan seni yang jauh berbeda dengan gerakan seni. Beberapa gerakan
seni sekalipun, bisa diberi label "anti-art. " Gerakan Dada umumnya
dianggap gerakan antiart yang pertama, istilah antiseni itu sendiri
dikatakan telah diciptakan oleh pelopor Dadaist Marcel Duchamp
sekitar tahun 1914, terutama dengan karya siap-pakainya telah ditiru
sebagai contoh awal dari gerakan antiart objek. 218 Theodor W. Adorno
dalam Teori Estetika (1970) menyatakan bahwa
". . . bahkan penghapusan seni menghormati seni karena
mengambil klaim kebenaran seni serius. " 219 antiart telah menjadi
umumnya diterima oleh dunia seni menjadi seni, meskipun beberapa
orang masih menolak readymades Duchamp sebagai seni, misalnya
kelompok seniman Stuckist yang sekarang telah "anti-anti-art"220.

a. Sejarah Antiseni
Sejarah antiseni dimulai oleh gerakan seni dada, gerakan seni dada,
adalah tren singkat dalam sejarah seni yang kisruh pada abad ke-20, dan
gerakan ini masih bersifat paradoks. Gerakan ini adalah sebuah gerakan
yang menyatakan diri untuk tidak menjadi gerakan. Meskipun "anti-art,
" dia juga menghasilkannya seni rupa, sastra dan seni performansi yang
masih berpengaruh sampai saat ini. Walaupun berada secara kokoh
dalam era seni modern dan bersikap menghindari semua paham yang
telah datang sebelumnya, dada juga menginspirasi posmodernisme dan
seni kontemporer.

b. Seni Modern Sebelum Dada


Premis yang mendasari seni modern adalah penolakan pada aliran
seni sebelumnya, pada seni tradisional, yang telah berusaha untuk

produktif, merusak dan memisahkan diri dari lembaga. " Source: http://www.
berkshirefinearts. com/?page=article&article_id=128&catID=3
218
Ini adalah salah satu definisi anti-art:. "Sebuah istilah longgar digunakan yang telah
diterapkan pada karya atau sikap yang menghilangkan prasangka terhadap konsep
seni tradisional Istilah ini disebut diciptakan oleh Marcel Duchamp di sekitar tahun
1914, dan dia memberi contoh dengan benda siap pakainya sebagai contoh awal dari
anti art. Dada adalah gerakan antiseni pertama, dan kemudian diikuti oleh -kalangan
avant-garde lainnya. "Source: http://www. encyclopedia. com/doc/1O5-antiart. html
219
. T. W. Adorno. "Aesthetic Theory". 1970, p. 43.
220
Ferguson, Euan. "In bed with Tracey, Sarah . . . and Ron", The Observer, 20 April
2003. Retrieved on 2 May 2009.
358 Nasbahry Couto & Indrayuda
mewakili ide-ide, gambaran dan kiasan visual. Seni modern berubah
bukan untuk menjadi bentuk semakin abstrak, di mana gambar hanya
disebut untuk dirinya sendiri. Pada awal abad 20, gerakan futurisme
tampaknya mengambil konsep ini untuk menjadi ekstrim, dia berasal
dari konsep kekuatan jiwa muda, teknologi dan abstraksi sebagai
inspirasi artistik. Meskipun Marcel Duchamp sering mengolok-olok
pada ilmu pengetahuan dan teknologi, itu bukan bagian dari gerakan
futurist, karya Marchel Duchamp seperti "Nude Descending a
Staircase" nya tahun (1912) adalah contoh karya Futurisme untuk
menggambarkan gerakan manusia melalui rekahan dinamis dan bentuk
mekanik.

c. Dada di Paris dan munculnya Surealisme


The art Class dari Sketchy's
antiart dapat mengambil bentuk seni atau
tidak Hal ini mengemukakan bahwa antiart
bahkan tidak perlu mengambil bentuk seni,
dalam rangka mewujudkan fungsinya
sebagai antiart. Hal ini masih
diperdebatkan. Beberapa bentuk antiseni
Hasil karya dari anti arts. Kelas A dari Sketchy yang adalah seni berusaha untuk
adalah seperti persilangan antara acara mengungkapkan batas konvensional seni
alternatif olok-olok dan overdosis kekacauan dengan memperluas sifat-sifatnya222
artistik. Dalam kelas dari Sketchy ini adalah
model, bukan mahasiswa, yang menjadi pusat
perhatian, dan apa yang menjadi model
mereka. Orang bertato, berbalut kulit, penari
ditutupi bulu, dan atau dewi Hindu yang dihiasi
tengkorak-melakukan semacam pertunjukan
panggung. Para siswa, sementara itu,
menggambar adegan surealis itu, dan
sementara pemimpin kelas mengatur
permainan dan lomba menggambar. 221
Gambar 61. Contoh kegiatan anti art dan nonanti art (Google, 2013

Seperti gerakan seni modern Futurisme dan, Dada keduanya


menolak seni tradisional dan menciptakan ideologi untuk dirinya
sendiri secara ekstrem. Namun, alih-alih mempromosikan setiap etos

221
Lihat http://www. showmeperth. com. au/event/dr-sketchy%E2%80%99s-anti-art-
school-april
222
Lihat http://schmiede. ca/content/photos/details/289/
359
tertentu, Dada adalah jelas memiliki etos juga. Dada lahir dari rasa
frustrasi beberapa seniman yang melarikan diri ke Zurich dan New
York selama perang dunia I, Dada adalah jawaban atas kengerian atas
konflik paling berdarah dari perang dunia I yang pernah disaksikannya.
Melihat akibat perang ini, dan sebagai akibat pembenaran atau
"objektivitas" dan norma-norma budaya yang mengakibatkan perang
ini. Para seniman dan orang –orang merasa terpanggil untuk menyerang
kembali dengan kekacauan, imajinasi, dan anarki melalui banyak
pernyataan, demonstrasi dan pertunjukan. Duchamp adalah salah satu
contoh gerakan ini dengan ", Fountain" urinoir dengan "R MUTT"
tertulis di atasnya. Karyanya ditolak oleh Masyarakat Seniman
Independen pada tahun 1917 itu karena karena tidak seni, dan upaya
yang berani untuk mempertanyakan dan atau merusak kebiasaan dunia
seni sebelumnya.
Pada pertengahan 1920-an, kaum revolusioner Dada telah
berkumpul di Paris, di mana gerakan itu sudah dalam tahap akhir dari
penghancuran diri yang tidak terelakkan. Rombongan garis keras yang
paling didedikasikan --untuk kecenderungan keseluruhan Dada--
menyebarkan manifesto nihilistik yang ditulis dengan semangat tetapi
akhirnya mati. Salah satu cabang gerakan ini berubah menjadi gerakan
Surealis, yang juga, seperti Dada, menggembar-gemborkan kekacauan,
hal ini tampak sebagai ungkapan batin yang disadari. Surealisme
tampaknya banyak berangkat dari karakteristik abstraksi visual seni
modern, tetapi masih menganut konsep bahwa kebenaran itu ada, hanya
sekarang itu harus dibuka melalui eksplorasi mimpi dan ketidaksadaran
seniman bukan oleh logika dan akal sehat.

d. Posmodern sebagai After-Effects Dada


Dalam "akar yang tidak dikenal dan peniruan yang terang-
terangan", David Locher mengkritik secara sinis posmodernisme yang
telah "mencuri" fondasi filosofis Dada. Locher benar dalam
menghubungkan beberapa alat seni antara dua gerakan, seperti
memanfaatkan gambar atau hal-hal yang berasal dari kehidupan sehari-
hari, tetapi tampak bahwa keragaman maksud di balik seni posmodern
menentang hubungan mendasar terhadap mentalitas antiseni murni
Dada, Posmodernisme rela menggunakan motif historis untuk
menciptakan seni eklektik, Dada menjauhi semua bentuk seni
360 Nasbahry Couto & Indrayuda
sebelumnya dan melihat dirinya sebagai inheren anti-art. Seni
posmodern memberikan suara kepada orang-orang yang sebelumnya
tidak dianggap (masuk kotak seni modern)223. Namun, Dada dicari
hanya untuk mencela dan menghancur-kan norma-norma budaya yang
didefinisikan estetika kontemporer, dan banyak praktisi yang paling
terkenal tetap sebagai budaya konservatif luhur mereka.
7. Stuckism Versus Posmodern dan Anti-Art: Kembali
ke modern isme
Stuckism adalah gerakan seni internasional yang didirikan pada
tahun 1999 oleh Billy Childish dan Charles Thomson untuk
mempromosikan lukisan figuratif dan menentang seni konsep (concept
art). Billy Childish dan Charles Thomson 224, telah mengeluarkan
beberapa pernyataan tentang "Stuckism, terutama tentang mencari
keaslian. Pernyataan lain adalah remodernism, yaitu kritik terhadap
aliran posmodernisme yang menggali seni lokal, historis. sebaliknya,
Stuckis bertujuan untuk kembali pada semangat sejati modernisme,
untuk menghasilkan karya seni dengan nilai spiritual terlepas dari gaya,
dan kaitannya dengan kelas menengah. Dalam pernyataan lain mereka
juga mendefinisikan diri mereka sebagai anti-antiart, yang melawan
antiseni dan untuk seni.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa secara paradoks,
kebanyakan bentuk antiart secara bertahap telah benar-benar telah
diterima sebagai seni yang normal dan konvensional. Bahkan gerakan
yang menolak seni ini karyanya banyak dikumpulkan oleh lembaga
kebudayaan yang paling bergengsi. Seni antiseni telah menjadi
konvensional dan menggambarkan diri mereka sebagai anti-antiart.
Stuckisme (stuckism) adalah sebuah gerakan kesenian yang terjadi
di Inggris dimulai pada tahun 1999 dengan tokoh pendirinya Billy
Childish dan Charles Tompson yang tergabung dalam kelompok

223
Sebelumnya yang dianggap seni modern hanya yang ada di pusat-pusat seni seperti
New Yotk dan Paris.
224
Dalam sebuah buku sejarah seni rupa kontemporer Eropa, istilah Stuckisme atau
gerakan stuckism banyak dijadikan rujukan gerakan kesenian kala itu. Adalah Billy
Childish dan Charles Tompson yang memulai gerakan itu. Gerakan seni ini muncul
sebagai reaksi dari dominasi wacana estetika dan pasar seni dari eksponen-eksponen
Young British Artists (YBA).
361
stuckist pertama dengan anggota 13 orang. Gerakan seni ini muncul
sebagai reaksi dari dominasi wacana estetika dan pasar seni dari
eksponen-eksponen Young British Artists (YBA). Dominasi mereka
yang begitu besar di Inggris juga didukung oleh monopoli pasar oleh
dealer seni Charles Saacthi, yang ditandai oleh tersingkirnya para
seniman lain yang berada di luar kelompok mereka. Gerakan ini selain
mempertentangkan persoalan monopoli dan dominasi YBA, juga
menentang ideologi seni postmo dan conceptual art yang dianggap
sudah terlalu establish di Inggris. Selain itu, mereka juga menyoroti
permainan-permainan kotor para kurator, dan skandal di Tate Britain.
Aksi mereka banyak mandapat sorotan publik terutama ketika mereka
membeberkan beberapa skandal yang terjadi pada seni rupa kepada
dewan kehormatan seni. Beberapa laporan ini membongkar kebusukan-
kebusukan yang terjadi dalam institusi seni yang dilaporkan tersebut.
Berita ini mendapatkan simpati publik sehingga para stuckist semakin
diterima dimasyarakat.
Penamaan stuckism diambil begitu saja dari sebuah puisi Tracey
Emin ketika mengomentari lukisan Billy Childish, pacarnya. Stuckism
berasal dari kata ―stuck‖ yaitu kata yang sering diulang oleh Tracey
Emin dalam puisinya ‖ Your painting are stuck, …. Stuck! Stuck!
Stuck!). Anggota yang bergabung dalam kelompok stuckisme ini
disebut stuckist.
Untuk menandai keberadaannya, para stuckist ini membuat
manifesto-manifesto yang intinya berisikan sikap mereka terhadap seni
postmo dan conceptual art serta ketidakpercayaan mereka terhadap
para kritikus seni. Manifesto pertama mereka menentang sikap anti
proses dari seni postmo, pemakaian artisan, seniman tidak lagi terlibat
secara fisik dalam pembuatan karya seni. Seorang seniman bagi mereka
harus terlibat langsung dalam pembuatan karyanya. Mereka
menyatakan bahwa ―artist who don‘t paint aren‘t artists ― atau kurang
lebih berarti, seniman tidak terlibat secara fisik dalam pembuatan karya
seni bukanlah seniman. Pada manifesto kedua mereka menyatakan
keinginan mereka untuk menggusur seni postmo dengan paham
remodernisme sebagai periode pembaharuan nilai spiritual seni, sosial,
dan kebudayaan.

362 Nasbahry Couto & Indrayuda


a. Remodernisme
Paham ini dibuat sebagai suatu bentuk protes terhadap kegagalan
seni konseptual dan posmodern dalam membangun jembatan pada
publik. Pada perkembangannya seni postmo jauh lebih bersifat ekslusif,
elit dan jauh dari tataran sosial diluarnya. Seni postmo tidak
menjanjikan apa pun pada pemahaman berkesenian karena hanya
sekedar sebuah interupsi dari seni modern sehingga kondisinya
sekarang dianggap sudah mapan dan tidak berkembang, yang dilakukan
oleh para penganut seni postmo tidak lebih dari sebuah repetisi yang
membosankan dan memperlebar jarak dengan tataran sosio kultural
masyarakat. Seni postmo hanya tinggal sebuah konvensi karena
kegagalannya memberikan nilai-nilai dalam kehidupan manusia.
Remodernisme menerapkan ulang modernisme, memperbaiki visi
dasarnya, disisi lain meninggalkan asas formalismenya. Remodernisme
juga meliputi perbaikan akan nilai-nilai dalam sebuah karya seni bahwa
nilai- nilai kebentukan menjadi sangat penting menyangkut peranannya
sebagai medium dan kegunaannya sebagai bahasa komunikasi, ekspresi
dari emosi dan pengalaman. Remodernisme juga meliputi perbaikan
nilai-nilai spritual seni yang meliputi kajian kemanusiaan dan integritas
antara nilai-nilai holistik dengan seni.

b. Peran Stuckists dalam Seni Kontemporer


Dalam bukunya, ‖The stuckists: The First remodernist art group‖
dinyatakan bahwa stuckists menerapkan prinsip modernisme dan
menggunakannya untuk berkesenian dengan mempertimbangkan nilai
spiritual dan hubungannya dalam realitas sehari-hari. Semua anggota
yang bergabung dalam stuckisme mempunyai komitmen secara alami
dengan hal ini.
Pada prinsipnya, peran stuckists dalam seni kontemporer adalah
usaha untuk menghidupkan kembali semangat integritas personal
sebagai dasar berkesenian. Menolak kompromi dengan trend dan
pemakaian machia-vellian middlemen (perantara/pialang) seni.
Stuckists menolak karya seni yang dihadirkan tanpa sebuah proses
yang melibatkan seniman seperti halnya seni konseptual dan seni
posmodern. Stuckisme membawa sebuah nuansa baru dalam

363
berkesenian untuk mengganti wacana seni konseptual dan seni
posmodern yang dianggap telah mencapai titik mapan (establish).
Pemikiran stuckists lebih banyak diikuti oleh seniman muda dan
siswa seni, jauh berbeda dengan seni postmo yang bekerja pada wilayah
seni yang ekslusif dan umumnya didominasi oleh seniman mapan. Hal
ini adalah sebuah tanda bahwa stuckisme dibuat untuk masa depan seni
kontemporer.

c. Kegiatan
Setelah berdiri tahun 1999, perupa Ella Guru dari kelompok
pendiri stuckists membuat website stuckists. Kelompok ini dimuat
pertama kalinya di media dalam artikel ‖Evening Standart‖. Proses
berdirinya stuckists ini ditandai dengan pameran pertama mereka
berjudul “Stuck! Stuck Stuck!” di Joe Crompton‘s Gallery 108 di
Shoredicth. Pada tahun yang sama mereka berpameran ―Resignation of
Nicholas Serrota”. Tahun 2000 mereka menyedot perhatian publik
dengan melakukan demonstrasi di depan Tate Gallery untuk memprotes
Turner Prize serta diiringi dengan pameran ―The Real Turner Prize‖
pada waktu yang bersamaan dengan Turner Prize versi Tate Gallery.
Kegiatan ini terus dilakukan selama tahun 2000-2006 dan di dalam
demo ini mereka datang dengan berpakaian badut.
Pada Tahun 2002 sampai 2005 Charles Thompson mengelola pusat
stuckists internasional dan galerinya di Shoreditch London. Pada tahun
2003 galeri ini berpameran dengan judul ‖ A dead shark isn‟t art―,
dalam pameran ini dipamerkan ikan hiu yang dulunya pernah
dipamerkan pertama kali oleh Eddy Saunders di tokonya di Shoreditch,
JD Electrical Supplier tahun 1989 (2 tahun sebelum Damien Hirst dari
Young British Artists memamerkan ikan hiunya). Dalam pameran ini
dijelaskan bahwa Damien Hirst pernah datang dan melihat hiu tersebut
dan menjiplaknya dengan demikian, Saunderslah seniman penemunya.
Tahun 2002 mereka berdemo dengan membawa peti mayat bertulis
‖ The Dead of Conceptual Art” ke White Cube Gallery. Tahun 2003
mereka melaporkan Charles Saatchi ke komisi etik perdagangan,
mengadukan monopoli Saatchi terhadap seni. Pada tahun ini pula
kelompok fotografi stuckisme didirikan oleh Lary Dunstan dan Andy
Bullock. Di luar Britania Raya, diselenggarakan demo ‖The Clown
Trial of President Bush‖ dalam rangka protes terhadap perang Irak.
364 Nasbahry Couto & Indrayuda
Tahun 2006 mereka membuat pameran ―Go West‖ di galeri
komersil West End Spectrum London. Pameran ini sebagai tanda
masuknya stuckisme sebagai pemain utama dalam dunia seni. Pada
tahun yang sama, pameran pertama mereka di galeri nasional dengan
judul ―The Stuckist Punk Victorian‖ digelar. Pemeran ini
diselenggarakan di Walker Art Gallery dan Lady Lever Art Gallery
yang tergabung dalam rangkaian Liverpool Biennial. Pameran ini
menampilkan 250 lukisan dari 37 seniman dari Inggris dan seniman
internasional dari jerman, Amerika Serikat, dan Australia. Pameran ini
juga dibarengi dengan peluncuran buku ‖ The Stuckists Punk
Victorian―. Pada saat yang sama digelar pula simposium internasional
di Universitas John Moores Liverpool. Aktivitas ini juga diikuti oleh
pameran pendampingnya di 68 Hope Gallery milik Universitas John
Moores.

d. Pengembangan Internasional
Stuckists berkembang menjadi gerakan internasional dan ditahun
2006 telah bergabung 138 kelompok dari 34 negara. Selanjutnya pada
tahun 2007 telah tergabung sebanyak 163 kelompok dari 40 negara.
Para stuckist di seluruh dunia bergabung atas dasar kesamaan visi,
dan kesadaran yang sama akan nilai-nilai modernisme dan bahaya seni
konseptual. Sampai tahun 2007 telah berdiri 4 Pusat Stuckists
Internasional (International Stuckists Centre) sebagai tempat bagi para
stuckist untuk saling berinteraksi dan bertukar pikiran. Gerakan ini
bekerja secara swadaya, tanpa sponsor, galeri, dan lain-lain, sehingga
kemurnian pemikiran mereka tetap terjaga. Stuckisme adalah gerakan
yang bebas dan anggota yang bergabung masuk secara sukarela.
Setelah simposium pertamanya, stuckists international terus
bertambah jumlahnya hingga sekarang. Hal ini beriringan pula dengan
munculnya kembali pertanyaan akan arti seni dan seniman serta
perenungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, personalitas, dan
keterampilan di dalam seni.
Pameran-pameran stuckists Internasional meliputi, Perancis,
United Kingdom (Inggris/Britania Raya), Amerika Serikat, Australia,
Yunani, Jerman dan Belgia. Pameran mulai digelar tahun 2000 hingga
sekarang.

365
e. Indonesia
Pada dasarnya stuckisme belum disadari secara nyata
keberadaannya di sini, tetapi gejala-gejala kegelisahan yang terjadi di
kalangan pelaku seninya hampir sama, dalam bentuk dan nama yang
berbeda. Seni rupa kontemporer Indonesia belum begitu diracuni oleh
wacana seni konseptual dan postmo, tetapi lebih banyak dirusak oleh
trend pasar dan praktik kuratorial yang tidak sehat225. Pada sisi lain,
pemikiran akan pentingnya sebuah identitas personal dan pentingnya
proses berkesenian tetap terjaga di kalangan seniman dan para siswa
seni. Kondisi ini berbeda dengan seni kontemporer di Inggris yang
sangat didominasi oleh seni posmodern .
Seni rupa kontemporer Indonesia mempunyai masalah yang lebih
kompleks dan spesifik dibanding Inggris atau Eropa. Jika seni Inggris
dikuasai oleh wacana estetika dan pasar seni oleh seni konseptual
Young British Artist, sedangkan seni Indonesia dirusak oleh institusi
eksebitifnya (praktik kuratorial, galeri, machiavellian-
Middlemen/pialang, dan lain-lain). Selain itu infrastruktur seni yang
ada di Indonesia belum selengkap yang ada di Eropa.
8. Nonart (Nonseni)
Nonseni adalah konsep yang muncul sebagai kelanjutan dari
antiart, khususnya di bidang seni rupa dan desain (khususnya barang
hasil industri, hasil grafis, peralatan, lingkungan, media massa modern
seperti hasil film dan video yang dianggap bukan seni tetapi seni).
Konsep nonseni ini adalah konsep yang aneh sebagai kelanjutan dari
konsep antiart, tetapi dengan melihat dua pendapat di bawah ini maka
kita akan dapat memahami bagaimana sebenarnya nonart ini, misalnya
perbedaan seni dengan desain menurut Milton Glaser226
Menurut Milton Glaser ada tumpang tindih perbedaan antara
desain dan seni, tetapi jarang orang memahaminya. Menurutnya
perbedaan antara seni dan desain dan seni dan nonseni begitu

225
Lihat tulisan Jim Supangkat tentang pengaruh pasar terhadap seni di Indonesia, dan
kurangnya infrastruktur seni pada bagian akhir bab ini.
226
Milton Glaser (lahir 26 Juni 1929, di New York City) adalah seorang desainer grafis
Amerika, paling dikenal untuk I ♥ NY logo, [1] nya Bob Dylan poster, bullet DC
logo yang digunakan oleh DC Comics 1977-2005, dan Brooklyn Brewery logo [2].
Ia juga mendirikan New York Magazine dengan Clay Felker pada tahun 1968.
366 Nasbahry Couto & Indrayuda
membingungkan orang. Apalagi jika semua orang ingin berstatus
seniman. Seni sangat penting sebagai mekanisme bertahan hidup dalam
setiap kebudayaan manusia. Misalnya, orang-orang dalam budaya
primitif membuat karya untuk orang-orang yang sangat dihormatinya.
Hal yang sama terjadi dalam budaya manusia sekarang. Akan tetapi
satu-satunya tujuan seni adalah bahwa itu adalah alat yang paling kuat
yang begitu dibutuhkan dalam kebudayaan kita karena sebagai sarana
untuk bertahan hidup. Seperti yang dikatakannya berikut ini:
Seni beralasan untuk muncul dan menjadikan kita
memperhatikannya. Misalnya jika kita melihat sebuah karya seni,
kita bisa melihat sebuah kekenyataan sekali lagi, dan kita akan
melihat perbedaan realitas antara apa yang dipikirkan dan apa
mereka sebenarnya. Karena itu, itu seni adalah mekanisme bagi
species manusia untuk bertahan hidup dan penting dalam
kesadaran manusia, tetapi anehnya, keindahan sering membuat kita
bingung sebab dia hanyalah sebuah mekanisme untuk memindahkan
perhatian. Anda menyadari bahwa kita semua memiliki kapasitas
mengalami keindahan, tetapi keindahan bukanlah hal yang
sebenarnya dan utama untuk seni. Sebab hanyalah perangkat
penuntun agar suatu hal diperhatikan secara khusus.
Menurut Milton Glaser bahwa ketidakmurnian seni disebabkan
sesuatu yang tidak berkontribusi terhadap fungsinya yang dapat
menghasilkan perhatian. Ketidakmurnian sebagian besar karena
statusnya (bukan seni) dan uang, dan kemudian dapatnya kita lihat
bagaimana dunia seni dihubungkan dengan uang. Isu utamanya adalah
bahwa orang-orang hanya peduli hanya kepada harga karya itu (karena
statusnya dinilai tinggi), tetapi bukan karena dalam hal seninya. Itulah
salah satu hal yang mengacaukan isu sentral dalam seni seperti yang
dapat diamati dalam budaya kita saat ini.

Karya Sadie Runge, yang nonart dari Non-art: Kaya desain yang seni?
367
mahasiswa seni, di University Of Atau karya seni yang mengandung
Richmond, Amerika Serikat 227 desain? Live art dari Australia228
Gambar 62. Contoh nonart, karya eksperimental
Menurut Keith Oatley,229 nonart itu berbeda dengan art, walaupun
pada dasarnya kedua hal itu tidak dapat dibedakan sebagai berikut ini.
“Penelitian saya230 dengan Maja Djikic dan Raymond Mar
menunjukkan bahwa membaca cerita fiksi dapat meningkatkan
empati dan kecerdasan sosial, tetapi apakah film, TV, dan video
game membawa manfaat yang sama? Jawabannya adalah ya,
mereka bisa, tetapi itu tergantung pada pokok persoalan dari setiap
pekerjaan dan maksud di balik itu. ”

Gambar 63. Beberapa karya contoh karya desain arsitektur, (Google (2013)
Ketika kita berbicara tentang maksud, kita harus membuat
perbedaan antara seni dan nonseni. Dalam pandangan kami,
komunikasi nonartistik mencoba untuk menghasilkan beberapa
respon emosional tertentu. Dalam cerita misteri, misalnya,
maksudnya adalah untuk menghasilkan kecemasan yang nantinya
akan menimbulkan kelegaan, tetapi dalam seni, maksudnya adalah
untuk memberi orang bahan untuk menciptakan perasaan dan
pemikiran mereka sendiri. Tidak ada batas yang tajam dapat
ditarik: Seni rupa dapat memiliki implikasi politik, iklan dapat

227
Lihat http://thecollegianur. com/2010/09/09/non-art-majors-display-their-
work/13091/
228
Lihat http://lalaishere. net/2011/08/who-needs-live-art/
229
Lihat di http://greatergood. berkeley. edu/article/item/art_vs_non-art
230
Keith Oatley, Ph. D. , adalah direktur Program Ilmu Kognitif di University of
Toronto. Dia adalah penulis dari enam buku psikologi, yang terakhir adalah Emosi:
Sejarah Singkat, dan dua novel, yang pertama, The Case of Emily V. ,
memenangkan Hadiah Commonwealth Writers untuk Hadiah Pertama Novel
Terbaik.
368 Nasbahry Couto & Indrayuda
memiliki aspek artistik. Banyak film fiksi berasal dan berbagi dari
kekayaan cerita pendek dan novel. Sama seperti dalam membaca,
pemirsa film harus dapat menciptakan dunia simulasi (khayalan
mereka). Sorotan kamera ditempatkan di tempat dimana seseorang
tidak akan pernah bisa menjangkaunya. Namun ada perbedaan
antara menulis (novel, fiksi) dan film: fiksis sastra bisa lebih mudah
mendorong refleksi batin dengan membaca, sedangkan film didekati
atau mendekati penontonnya dengan unsur lisan (bicara) dan rupa
(visual) terutama dalam cara-cara yang lebih harafiah dan
manipulatif.
Pertimbangan kedua adalah subjek. Rekan-rekan saya dan
saya berpendapat bahwa fiksi sastra cenderung mengenai
permasalahan bagaimana memahami diri sendiri dan orang lain
dalam dunia sosial, tetapi beberapa film dan video game
sebenarnya berusaha untuk menghalangi pemahaman tersebut,
khususnya dalam pemanfaatan kekerasan. Sebagian besar program
televisi dan game yang kasar, menawarkan pengalaman seperti
dendam dan marah, tetapi sedikit sekali untuk memahami
penderitaan atau akibat dari perbuatan sesuatu. Dalam kasus ini,
kekerasan, media nonseni punya efek yang berlawanan dari cerpen
Anton Chekhov atau novel karya Jane Austen. Alih-alih mendorong
memahami diri kita dan orang lain, mereka justru membatasi
empati dan kecerdasan sosial.
9. Perbedaan antara Seni dan Desain (art atau nonart
?)
Menurut Milton Glaser (2009), ada beberapa butir perbedaan
antara karya seni seperti yang ditulisnya dalam artikel The Difference
Art and Design231. Dia mempertanyakan hal-hal pokok yang dapat
membedakan antara seni dan desain, dan hal ini secara rumit dan telah
diperdebatkan orang dalam waktu yang lama. Seniman dan desainer
keduanya menciptakan komposisi visual dengan menggunakan basis
pengetahuan bersama, tetapi alasan mereka untuk mencipta sama sekali
berbeda. Beberapa desainer menganggap dirinya seniman, tetapi

231
Lihat: http://www. webdesignerdepot. com/2009/09/the-difference-between-art-and-
design/
369
beberapa seniman menganggap diri mereka desainer. Jadi, apa
sebenarnya perbedaan antara seni dan desain?
Pada tulisan ini, kita akan mempelajari dan membandingkan
beberapa prinsip inti dari masing-masing keterampilan. Ini adalah topik
diskusi dengan alasan-alasan yang kuat tentang perbedaan keduanya.
Beberapa butir itu antara lain seperti berikut ini.

a. Good art Inspires. Good Design Motivates (Seni yang baik


dapat mengilhami sedangkan desain yang baik dapat
memotivasi)
Perbedaan yang paling mendasar antara seni dan desain yang kita
semua dapat menyepakati pada adalah tujuan mereka. Biasanya, proses
menciptakan sebuah karya seni dimulai dengan tidak ada sesuatu
(misalnya kanvas kosong). Sebuah karya seni berasal dari pandangan
bahwa artis memiliki sebuah pendapat atau perasaannya sendiri.
Dengan demikian, mereka membuat seni untuk membagikan
perasaannya itu dengan orang lain --untuk memungkinkan penonton
untuk berhubungan dengan itu--dan belajar dari itu atau terinspirasi
olehnya. Jika berhasil, karya itu akan dikenal sebagai karya seni yang
dapat membangun ikatan emosional yang kuat antara seniman dan
penonton mereka.
Sebaliknya, ketika seorang desainer menetapkan untuk membuat
sebuah desain baru, mereka hampir selalu memiliki titik awal yang
tetap dan pasti, dalam bentuk pesan, gambar, ide atau tindakan.
Pekerjaan desainer tidak menemukan sesuatu yang baru, tetapi untuk
mengkomunikasikan sesuatu yang sudah ada, untuk suatu tujuan. Justru
tujuan itulah --hampir selalu dipakai untuk memotivasi penonton agar
melakukan sesuatu: membeli produk, memakai layanan, mengunjungi
lokasi, mempelajari informasi tertentu (misalnya desain grafis).
Desainer yang paling sukses adalah mereka yang paling efektif dapat
mengkomunikasikan pesan kepada penontonnya dan memotivasi
konsumennya untuk melakukan sesuatu.

b. Seni yang baik adalah yang dapat ditafsirkan. Desain yang


baik adalah yang dapat dimengerti.
Perbedaan lain antara seni dan desain adalah bagaimana pesan
masing-masing dapat diinterpretasikan oleh khalayak masing-masing.
370 Nasbahry Couto & Indrayuda
Meskipun seorang seniman menetapkan untuk menyampaikan sudut
pandang atau emosi, tidak berarti bahwa sudut pandang atau emosi itu
memiliki makna yang tunggal. Seni terhubung dengan pengamatnya
dengan cara yang berbeda karena itu ditafsirkan berbeda pula.
Misalnya, lukisan Leonardo Da Vinci, ‗Mona Lisa‘ telah ditafsirkan
dan dibahas selama bertahun-tahun. Hanya oleh sebab mengapa dia
tersenyum?
Para ilmuwan mengatakan itu adalah ilusi yang diciptakan oleh visi
periferal (semua peralatan yang dapat terhubung). Misalnya alat pikir
romantis mengatakan dia sedang jatuh cinta. Alat pikir skeptis
mengatakan tidak ada sebuah alasan pun, namun tidak satu pun dari
mereka yang keliru.
Desain adalah sangat berlawanan. Banyak orang akan mengatakan
bahwa jika desain dapat "ditafsirkan", menurut Glaser (2009) itu sama
sekali salah karena desain itu gagal dalam tujuannya. Tujuan mendasar
dari desain adalah untuk mengkomunikasikan pesan dan atau
memotivasi penonton untuk melakukan sesuatu yang pasti. Jika karya
desain seseorang mengkomunikasikan pesan selain yang desainer
inginkan dan melakukan sesuatu yang didasarkan pada pesan itu lain,
maka hal itu belum memenuhi tujuannya aslinya. Desain yang baik dari
desain, adalah pesan yang tepat, dari perancang dan dapat dipahami
oleh penonton.

c. Seni yang baik adalah sesuatu yang memenuhi rasa/selera.


Desain yang baik adalah yang dapat memenuhi (kebutuhan)
sebuah pendapat (Good art Is a Taste. Good Design Is an
Opinion).
Seni dinilai melalui opini dan pendapat yang diatur oleh rasa.
Untuk seorang penggemar seni yang berpikiran maju dan modern,
karya Tracey Emin, "My Bed", yang terpilih mendapat Hadiah Turner
pada tahun 1999, mungkin merasa bahwa karya itu memiliki nilai
ekspresi seni yang tinggi. Sebaliknya, bagi seorang pengikut aliran seni
tradisional akan menghina medium seni itu. Jadi, kita perlu membahas
lagi tentang interpretasi, misalnya soal rasa, soal suka, khususnya bagi
masyarakat yang tidak suka kepada pesan yang muncul.
Sebaliknya, jika kita amati, karya desain juga memiliki unsur rasa,
ada perbedaan antara rasa karya desain yang baik dan yang buruk
371
sebagian besar timbul dari masalah pendapat (opini), tetapi sebuah
bagian yang baik dari hasil desain masih bisa sukses tanpa adanya
penilaian selera estetik. Hal ini akan dipahami jika desain itu dapat
berhasil mencapai tujuannya, dipahami, dan memotivasi orang untuk
melakukan sesuatu, maka apakah itu baik atau tidak, indah atau tidak
indah itu adalah masalah pendapat. Kita bisa terus membahas hal ini di
titik tertentu, tetapi prinsip yang mendasarinya jelas.
Seni yang baik adalah sebuah bakat (talenta) dan desain yang baik
adalah sebuah keterampilan. Bagaimana dengan kemampuan pencipta
itu? Lebih sering daripada tidak, sebab seorang seniman memiliki
kemampuan alaminya. Tentu saja, sejak dari usia muda, sang seniman
dapat mulai menumbuhkan kemampuannya dalam hal menggambar,
melukis, mematung, dan mengembangkan kemampuan mereka.
Memang seorang seniman yang dilahirkan berbakat (atau
kemampuan alami) dapat dinilai baik, tetapi ada yang tumpang tindih di
sini: seniman yang baik tentu memiliki keterampilan, tetapi memiliki
keahlian artistik tanpa bakat, bisa diakatakan, tidak akan berharga.
Menurut Milton Glaser (2009) desain adalah keterampilan yang dapat
diajarkan dan dipelajari, tidak perlu bakat. Seseorang tidak perlu
menjadi seorang seniman besar untuk menjadi seorang desainer yang
besar, seseorang hanya harus mampu mencapai tujuan desain.
Misalnya, beberapa desainer paling dihormati di dunia yang terkenal
karena gaya minimalis mereka. Mereka tidak menggunakan banyak
warna atau tekstur, tetapi mereka menaruh perhatian besar terhadap
ukuran, posisi, dan jarak, yang semuanya bisa dipelajari tanpa bakat
alami.

d. Seni yang baik mengirim sebuah pesan yang ditanggapi


berbeda oleh setiap orang. Desain yang baik mengirimkan
pesan yang harus ditanggapi sama oleh semua orang.
Konsep ini benar-benar berada di bawah satu titik, tetapi dengan
dua interpretasi dan pemahaman yang sangat berbeda. Jika seseorang
mengambil hanya satu hal dari artikel ini, mengambil titik ini. Banyak
desainer menganggap dirinya seniman karena mereka menciptakan
sesuatu yang secara visual menarik, sesuatu yang akan mereka
banggakan, dan akan digantungnya di dinding rumahnya untuk
dikagumi.
372 Nasbahry Couto & Indrayuda
Komposisi visual dimaksudkan untuk menyelesaikan tugas tertentu
atau mengkomunikasikan pesan tertentu, tidak peduli betapa indah,
bukanlah seni. Ini adalah semacam komunikasi, hanya sebuah jendela
dengan pesan yang dikandungnya. Beberapa seniman menyebut dirinya
desainer karena mereka tampaknya lebih memahami perbedaan.
Seniman tidak membuat pekerjaannya untuk tujuan semata dijual
seperti karya desain. Mereka menciptakan seni sebagai sarana ekspresi
diri, sehingga dapat dilihat dan dihargai oleh orang lain. Jika ada pesan
dan dapat disebut begitu, hal itu bukan kenyataan tetapi perasaan.
10. Kesimpulan Perbedaan Seni dan Desain
Menurut Milton Glaser (2009), perbedaan antara seni dan desain,
tergantung pada bagaimana seseorang melihatnya, perbedaan antara
seni dan desain dapat jelas atau dapat juga kabur. Kedua dapat tumpang
tindih. Namun yang pasti seni lebih personal/individual,
membangkitkan reaksi yang kuat dan terhubung secara subjektif.
Menurut Milton Glaser (2009), dengan mengutip Craig Elimeliah
menyatakan berikut ini.
"Saya tidak mengklaim menjadi ahli mendefinisikan apa yang seni
dan apa yang bukan, tetapi aku tahu bahwa jika kita melihat perbedaan
antara seni dan desain kita akan melihat garis yang sangat jelas ditarik
antara keduanya. Seorang insinyur, jika diberi koordinat yang tepat
untuk menempatkan piksel warna yang berbeda di tempat-tempat
tertentu, bisa membuat website yang indah atau iklan hanya dengan
mengikuti petunjuk-petunjuk tertentu; proyek desain umumnya memiliki
satu set rincian instruksi dan didasarkan pada tren desain yang saat itu
berpengaruh. Sebaliknya, seorang seniman, pada sisi lain, tidak pernah
bisa diberi petunjuk khusus dalam menciptakan karya yang unik dan
baru karena emosi dan jiwanya yang justru mendikte gerakan tangan
dan hasrat untuk memakai media seninya. Tidak ada art director akan
berteriak pada seorang seniman untuk memproduksi sesuatu yang
benar-benar unik karena hal itulah yang membuatnya menjadi seorang
seniman dan bukan menjadi desainer. "
Perbedaan antara seni dan desain terletak tidak terlalu banyak
dalam cara mereka terlihat seperti dalam apa yang mereka lakukan:
Mereka (1) memiliki tujuan yang berbeda, (2) mereka dibuat berbeda,

373
(4) mereka dinilai oleh kriteria yang berbeda, dan (5) mereka memiliki
audiens yang berbeda232.

a. Purpose/Kegunaan/Maksud
Dalam sebuah wawancara tahun 1974, Milton Glaser mencatat
bahwa sementara desain harus menyampaikan sebuah badan tertentu
dari informasi, "fungsi penting" seni adalah untuk "mengintensifkan
persepsi seseorang terhadap realitas. " Kadang-kadang, katanya,
fungsi-fungsi ini bertepatan, seperti dalam sebuah jendela kaca patri
abad pertengahan, tetapi pada zaman modern mereka berpisah.
Desain dibuat agar berfungsi, berbeda dengan seni yang bukan
mengemban fungsi tertentu. Desain adalah bagaimana suatu hal:
bagaimana agar bagian-bagiannya, dapat melayani kepentingan klien,
bagaimana menyampaikan informasi. Seni, pada sisi lain, adalah akhir
tersendiri. Hal ini tidak ada hubungannya dengan manfaat. Hal manfaat
biasa dihubungkan dengan kepentingan seseorang untuk keperluannya
sendiri. Seni tidak menyibukkan dirinya dengan keinginan pembeli
seperti halnya fashion atau selera masyarakat seperti halnya gaya.

b. Bagaimana Mereka Dibuat


Jika kedua ujung seni dan desain berbeda, sarana menuju ke sana
juga berbeda. Kebanyakan dari kita berpikir, benar bahwa seniman
yang berdiri di depan kanvas kosong, merenungkan awal dan akhir
lukisannya secara bersamaan sekaligus. Seniman biasanya sudah
membayangkan akhir lukisannya dalam pikirannya -sesuatu yang biasa
sebagai potret atau lanskap atau sebagai kemarahan dari Picasso dalam
lukisannya Guernica, tetapi pada awal berkarya, semua pilihan yang
tersedia tanpa ada prasyarat, data atau petunjuk.
Sebaliknya, desainer biasanya dimulai memiliki lebih dari sekedar
sebuah kanvas kosong atau segumpal tanah liat dari mana apa mungkin
muncul. Banyak komponen yang diperlukannya seperti teks, foto,
format produksi, dan bahkan warna dasar. Perancang berkonsultasi
dengan klien agar tepat akhirnya digunakan penonton, tentang ukuran
dan skala, dan faktor lainnya. Peran desainer adalah untuk

232
Art and Design: What‘s the Big Difference? Oleh: Michael Brady, 1998, ©1998
Michael Brady. First published in Critique Magazine 1998.
374 Nasbahry Couto & Indrayuda
membayangkan bagaimana berbagai aspek harus digabungkan bersama,
walaupun dia juga membawa kepekaan dalam estetika, rasa, dan
keterampilan teknis.
Seniman umumnya telah diasumsikan bahwa pekerjaannya
mendahulukan produk pikiran dan jiwa mereka dan hanya untuk
kebutuhan sekunder untuk melayani untuk tujuan mendidik,
merangsang, untuk menyenangkan, atau untuk menghias. Sebuah
contoh penting adalah peristiwa yang terjadi saat komisi tahun 1884
untuk patung memorial. Gerombolan dari Calais, yang membuat
pematung Rodin, tetapi ketika para pemimpin kota melihatnya, mereka
menolak karya itu: mereka mengganggap patung itu buruk rupa, tidak
pantas, tidak berjiwa seremonial, dan menghina gagasan mereka
tentang sebuah monumen masyarakat yang heroik. Padahal karya Rodin
mengandung seni yang jenius, mereka (komisi) itu menolak karena
terkunci dengan perasaan tentang kehormatan (unsur heroik).

c. Penilaian
Pada tahun 1820, Keats menulis, "'Kecantikan adalah kebenaran,
yaitu kebenaran beauty' -semua itu ada di bumi dan semua itu perlu
diketahui. " Motto seni yang paling tua adalah, "Ars longa, vita brevis. "
Seni berusaha untuk mencapai keindahan, yaitu kebenaran dari
keindahan itu sendiri, yang mulia dan lebih abadi dari hidup itu sendiri.
Setidaknya, itulah kebijakan kelompok masa itu. Dalam abad ini, seni
telah menekankan tujuan moral, kejujuran visioner, dan integritas dari
visi dalam diri manusia. Seni dinilai dari segi keindahan dan kebenaran,
wawasan dan wahyu, hampir mendekati sesuatu yang metafisis, ketika
mereka tidak dinilai lagi sebagai teks, subteks, dan konstruksi sosial.
Utilitas (kebergunaan) seni tidak sesuai jalan pikiran ini. Keberhasilan
praktis bukanlah ciri dari seni.
Desain dinilai dengan cara lain: keindahan desain itu memang
perlu, dan memang keindahan, tetapi desain bukanlah bertujuan untuk
keindahan, desain itu dianggap tidak baik jika tidak mencapai tujuan
tertentu yang diembannya atau lebih buruk lagi, tidak berhasil. Apakah
yang dilayani desain dari sebuah produk? Apakah desain itu dapat
mencapai wujud akhirnya (seperti lukisan) -apakah artinya menjual,
menginformasikan, membujuk, mengarahkan atau menghibur?
Biasanya, tidak berhasilnya sebuah desain dapat digambarkan dalam
375
data statistik atau kuantitatif, tentang hal-hal yang dianggap cacat dalam
desain. Pada akhirnya, desain harus memenuhi tugas utamanya,
misalnya kemasan atau ilustrasi atau instruksi, dan harus disadari
bahwa tidak ada sejumlah estetik yang akan menggantikan kegagalan
sebuah desain.

d. Penonton
Para penonton untuk seni dan desain mengharapkan hal yang
berbeda. Penonton untuk seni ingin melihat karya seni mungkin untuk
menikmati komposisi --mungkin untuk merenungkan dan
merefleksikan tentang kehidupan, mungkin harus dinikmati melalui
pengalaman estetik yang kuat terhadap adegan yang digambarkan –
sebaliknya pemirsa desain, yang diinginkan agar dia cepat tahu sebuah
informasi dimana dia dapat segera menemukan stasiun kereta bawah
tanah atau dalam memilih produk tertentu.
Desain memang dapat menangkap perhatian dan melibatkan emosi
penonton, tetapi pada titik tertentu, seperti kata Beatrice Warde, desain
itu adalah sebuah objek yang memungkinkan pemirsa untuk
mengumpulkan informasi yang diinginkan, bukan untuk dinikmati
keindahan layoutnya oleh desainer.
Jadi seni itu secara sengaja dibuat untuk menarik perhatian
seseorang kepada dirinya sendiri. Jika bentuknya memikat, itu adalah
sebuah nilai tambah dalam persepsi kita. Misalnya, jika sebuah mesjid
menakjubkan seorang pengamatnya, itu bukan tujuan desain arsitektur,
tetapi bagaimana bangunan itu mudah dicapai dan memberikan manfaat
yang besar kepada pemakainya itulah tujuannya, dan dari titik itupula
dia dinilai.

e. Bahan
Seni dan desain berbeda secara signifikan dalam penggunaan
bahannya. Sebuah desain misalnya hanyalah sebuah simulasi, sebuah
desain yang dibuat perancang dapat dibuat sama bahannya dengan
seorang penggambar, tetapi sebuah gambar jika telah selesai berarti
telah selesai tujuan akhirnya. Berbeda dengan desain sebuah mesjid di
atas kertas gambar, itu belum lagi mesjid yang sebenar-benarnya,
sampai dia dibuat. Demikian juga desain sebuah buku, sampai dia
benar-benar dibuat dari kertas, tinta, dan mengikatnya.
376 Nasbahry Couto & Indrayuda
Jenis lain dari desain produk, dokumen digital, sebenarnya tidak
ada selain manifestasi sementara pada komputer, di mana penampilan
bervariasi dari satu browser atau platform dari yang lain, tergantung
pada monitor, sistem operasi, dan tabel warna layar. Sebaliknya, sebuah
karya seni adalah hasil akhir yang dapat dinikmati melalui materinya.
Dia memiliki kualitas fisik tertentu dipandang secara kritis dan
bermakna, seperti lukisan de Kooning atau tetesan cat pelukis Pollock.
Ukuran itu sendiri adalah penting dalam sebuah karya seni, apakah itu
besar atau mungil, besar atau luas itu semua hanya akan mempengaruhi
imajinasi dan perasaan kita, tidak ada hubungannya dengan harga,
biaya pembuatan, daya beli dan sebagainya.
Hal ini akan dipandang berbeda pada karya desain, setiap
perbedaan ukuran seperti skala, jarak, pencapaian, ukuran tipis, terkait
erat dengan harga, anggaran biaya, daya beli, pemakai, dan faktor
eksternal lainnya. Untuk video, halaman web, compter grafis, dan lain-
lain, ukuran adalah parameter yang didefinisikan oleh pemakainya.
Perbedaan antara seni dan desain sebetulnya tipis, dan itu
tergantung dalam cara kita melihat mereka. Desain dimaksudkan untuk
menghindari masalah seni dan untuk melihat ke dalam fungsinya
sendiri. Desain dibuat untuk meningkatkan kemuliaan peradaban
kehidupan kita, dengan tampilan estetik yang berguna dan bermanfaat,
dan seni bertujuan untuk menggambarkan sesuatu untuk direnungkan
dan memahami kehidupan itu sendiri. Seni dan desain saling erat
terkait, tetapi tetap terpisah. Sebaiknya masing-masingnya itu dapat
dijaga agar dapat memerankan fungsinya dengan benar.
11. Bahasa Sebagai Alat Konsepsi Seni (Nonart yang
Art)
Perkembangan selanjutnya, memperlihatkan bahwa penemuan-
penemuan dalam berbagai bidang ilmu mempengaruhi bidang seni.
Kreasi seni dari visual ke visual itu kaku, konservatif dan justru jadi
menghambat kreativitas. Misalnya menggambar bentuk, hanya terbatas
pada bentuk itu. Kaidah-kaidah dalam teori dasar komposisi dan dasar
seni rupa konvensional juga terbatas sebab pencarian bentuk seni tidak

377
hanya terbatas pada irama, keseimbangan, unity, nada dan sebagainya
yang terbatas konsep estetiknya. 233
Penemuan baru adalah menggunakan konsep kata untuk
memecahkan masalah rupa Pengakuan ini justru muncul dari bidang
desain sebab kreativitas seni justru lebih lentur melalui komponen
bahasa verbal atau yang sering disebut dengan menggunakan konsep-
konsep, walaupun tidak selalu harus berupa konsep tertentu. Namun,
inspirasi umumnya diutarakan dalam konsep verbal. Karya-karya yang
dihasilkan kemudian terlepas dari konteks seni secara umum, dan
masuk ke dalam kategori yang ―bukan seni‖ lagi, sebab batasan itu akan
mengikatnya. Misalnya, seseorang yang ingin menggambarkan
―kejutan‖ (shock) atau ―kekhaosan‖ bukanlah dalam rangka mencari
aspek estetik (unity, irama, balance), tetapi kemungkinan-kemungkinan
visual yang inovatif, kreatif yang muncul dari kata verbal itu. Oleh
karena tidak lagi memakai kaidah-kaidah seni konvensional, banyak
dari karya itu tidak lagi dapat dimasukkan dalam kategori seni
konvensional dan disebut nonart, tetapi dia juga sekaligus art. Dari
sudut pandang ini kita melihat ada empat tahap dalam metoda
verbalistik seni modern 234
a. Pada saat gagasan tidak diperlukan, seniman hanya melukis rupa,
menggambar gagasan verbalnya disusun kemudian.
b. Pada saat diperlukan gagasan (label verbal), tetapi melihat kepada
gagasan yang ada di Barat dan seni modern dan mencoba
mengawinkan-nya dengan konsep lokal, periode ini disebut seni
modern.
c. Pada saat merasa bahwa pentingnya gagasan dari budaya sendiri
dalam berkarya, di antaranya melihat lagi ke sumber-sumber
gagasan lokal) periode ini sering disebut posmodern dalam seni.
d. Tahap keempat adalah pada saat seniman-seniman tidak hanya
berpegang pada budaya lokal, tetapi berusaha secara kreatif
mencipta dengan label-label baru yang diciptakannya sendiri
(kreatif, inovatif).

233
Uraian lebih lengkap lihat buku, karangan Nasbahry Couto, (2008) Seni Rupa, Teori
dan Aplikasi, Padang: UNP, Press
234
Lihat dalam http://www. visualheritageblog. blogspot. com/search?updated-
min=2012-09-01T00:00:00%2B07:00&updated-max=2012-10-
01T00:00:00%2B07:00&max-results=1
378 Nasbahry Couto & Indrayuda
Beberapa gagasan konsep verbal yang dipakai sebagai pemancing
konsep visual yang baru selain dari dasar-dasar konsep verbal yang
berasal dari ilmu dasar komposisi seni rupa seperti irama,
keseimbangan, unity dan sebagainya itu. Antara lain oleh Wiki disebut
dengan estetik baru. Wikipedia (2008) dalam artikelnya mengenai
―Art‖, mencatat beberapa yang termasuk kategori ini, beberapa di
antaranya sebagai berikut.
a. Beautiful /Indah yaitu ―Pleasing to the senses‖: very pleasing and
impressive to listen to, touch, or especially to look at. Misalnya,
sesuatu yang menyenangkan/memuaskan penglihatan mata (good-
looking), dirasakan/diraba dan didengar (musik/suara). Karya seni
yang indah berarti mengungkapkan nilai-nilai sensual (yang
menarik) yang indah dimiliki sebuah karya, disebut mengandung
unsur estetik.
b. Avant-garde yaitu ―artists with new ideas and methods: writers,
artists, film makers, or musicians whose work is innovative,
experimental, or unconventional” Yaitu kepeloporan dalam metode
dan gagasan/ide baru seniman yaitu ide dan metode para penulis,
seniman, pembuat film atau musisi dengan ciptaan barunya, di
mana hasil pekerjaannya inovatif, eksperimental atau di luar
kebiasaan (unconventional). Menguji/menilai gagasan seorang
seniman modern berarti mengungkapkan nilai-nilai avant-gardis
yang dimilikinya atau ide-ide baru yang dimilikinya. Sesuatu yang
estetik umumnya ada pada karya para avantgardis.
c. Unsur sublime. Sesuatu yang sublim mengandung empat nilai
sekaligus, yaitu cantik/bagus, memiliki nilai moral/religius,
ekselen/agung/baik dan komplit (lengkap). Karya seni yang sublim
adalah karya seni yang menonjolkan kesempurnaan. Dalam film
misalnya, ―Supermen‖, ―Hercules‖, ―Tarzan‖ adalah karya sublim
yang menggambarkan kesem-purnaan seseorang. Dalam seni lukis
tercatat beberapa yang bertemakan sublim. Kebesaran dan
keagungan Tuhan hanya dapat dirasakan saat kita berada dalam
sebuah mesjid yang megah dan monumental, bukan oleh unsur
kaligrafinya semata-mata. Jadi, perasaan estetis sublim adalah
perasaan yang distimuli oleh kompleks stimuli. Sebuah lukisan

379
kaligrafi yang ditempatkan sembarang tempat akan menyebabkan
estetika Kitsch (lihat Kitsch).
d. Elegance. Karya yang elegan erat dengan karya yang cantik/bagus
dan mewah. Pengertian elegan berhubungan dengan (1) stilistik, (2)
berbeda dengan yang lain, (3) selera, perilaku, dan (5) gerakan.
Bangunan Partheon dianggap bangunan yang elegen, jadi ada
kecenderungan bangunan masa kini untuk menirunya.
e. Ugliness, yaitu keburukan, ketidakmenarikan (unattractive),
kenakalan. Sesuatu yang tidak menarik ternyata juga menarik
perhatian. Banyak seniman membuat sesuatu yang melawan kaidah
estetis, justru yang dibuatnya adalah sesuatu yang kacau (lihat bab
sebelumnya), tetapi memenuhi syarat yaitu sesuatu yang
mengejutkan, yang jelek adalah hal yang biasa. Sesuatu yang jelek
namun menarik perhatian bisa mengandung nilai estetik.
f. Disgusting, yaitu sesuatu yang menjijikkan, menakutkan. Karya-
karya yang menjijikkan sengaja dibuat oleh seniman, di antaranya
yang terkenal adalah dalam film horor. Kenyataan memperlihatkan
ada konsumen film yang suka dengan film yang menjijikkan atau
menakutkan. Oleh karena itu, film semacam ini dibuat untuk
memenuhi hasrat konsumen film dalam hal yang menjijikkan,
mengerikan.
g. Fun, fun artinya sesuatu yang menghibur, menggembirakan. Fun
tidak sama artinya dengan kelucuan (humor) atau yang
menggelikan. Sesuatu yang funny adalah yang dapat
membangkitkan kegembiraan, tidak selalu dari yang lucu.
h. Cute, artinya mungil, manis, sederhana, tetapi sempurna. Sesuatu
yang mungil biasanya mengenaskan dan estetik
i. Silly, mengandung tiga hal sekaligus yaitu pandir, tolol dan lucu.
Dalam seni, ketiga hal ini sering dieksploitasi, misalnya dalam
drama. Beberapa seni lukis karya Afandi, bisa memperlihatkan
kepandiran, ketololan atau kelucuan. Hal ini tergantung dari cara
kita melihat.
j. Erotic, karya-karya yang erotic adalah karya yang dapat
membangkitkan perasaan seksual. Hal ini tidak perlu dijelaskan
lebih dalam.
k. Entertaining, artinya sesuatu yang dapat memikat perhatian orang
yang menghibur atau menyenangkan. Tidak dapat dipastikan mana
380 Nasbahry Couto & Indrayuda
karya seni rupa yang dapat menghibur atau menyenangkan. akan
tetapi karya-karya yang bertemakan keindahan alam atau
kecantikan seseorang wanita umumnya dapat memikat perhatian.
l. Pretentious, artinya kemegahan, kemewahan. Karya-karya yang
megah dapat dirasakan dari karya-karya monumental (skalanya
lebih besar dari skala manusia). Karya yang mewah dapat dirasakan
dari seni bangunan dan hal itu dianggap unsur estetik, jadi bukan
soal keindahan.
m. Discordant, artinya kontras, pertentangan, berbeda, konflik. Unsur-
unsur yang bertentangan dapat dilihat pada karya seni rupa
misalnya dalam pemberian aksentuasi, point of interest atau kontras
warna bangunan dari lingkungannya. Istilah ini juga dipakai dalam
seni musik.
n. Harmonious, artinya selaras, harmonis, berhubungan/berkaitan.
Warna atau bentuk yang harmonis adalah yang berkaitan sehingga
menimbulkan kesan keselarasan
o. Boring adalah karya seni yang sengaja dibuat untuk membosankan
pengamatnya. Kita mungkin menyatakan tidak, tetapi ternyata ada.
Akan tetapi unsur atau strategi semacam ini tidak disadari oleh
pengamatnya. Misalnya, dalam film sinetron, pengulangan adegan,
pengulangan masalah yang tidak putus-putusnya. Dalam seni rupa
pengulangan garis acak seperti karya Pollock. Hidup manusia
bukankah sebuah pengulangan?
p. Humorous, memiliki dua pengertian (1) sesuatu yang humor, lucu
atau penuh kelucuan atau menggelikan selalu menarik dan estetis
dan (2) kepintaran dan kejenakaan, yang terakhir ini lazim
ditemukan pada seni drama.
q. Tragic, tragis, sesuatu yang tragis biasanya ada dalam seni drama
atau literatur. Dalam seni rupa ditemukan dalam lukisan atau
patung yang bersifat naratif tentang sebuah tragis hidup manusia.
Misalnya, patung Malin Kundang di latarbelakangi oleh kisah
tragis. Sesuatu yang tragis adalah kekeliruan seorang tokoh
sehingga menyebabkan hal itu menjadi penyesalannya dalam
hidupnya.
r. Kitsch adalah seni yang bermain dengan aspek artistik yang kasar,
sentimentil atau sembarangan. Contoh yang paling populer adalah
sampul buku di mana secara acak mengambil apa saja untuk
381
sampul itu. kistsch artinya mencomot, mengambil atau
menempatkan karya seni tanpa pertimbangan holistik. Contoh-
contoh objek kistsch itu banyak sekali, di antaranya adalah benda-
benda koleksi, benda-benda berukir umumnya mencomot apa saja
untuk diukirkan adalah estetika kistsch. Kistsch juga disebabkan
gaya suka pamer, wisatawan yang membelanja-kan uangnya
umumnya didorong oleh aspek estetik kistsch. Seni kistsch
umumnya muncul dari gaya hidup seseorang yang suka pamer
tanpa alasan yang jelas.
s. Camp adalah yang melebih-lebihkan atau pemujaan berdasarkan
gender, misalnya terlalu menonjolkan unsur wanita atau
mengeksploitasi wanita dalam seni. Hal ini tampak dengan jelas
dalam berbagai aspek seni, baik film, literatur maupun seni rupa.

Pencarian bentuk berdasarkan konsep Pencarian bentuk berdasarkan konsep


pretensi/Pretentious, = megah, luxs, anggun, ambisius pretensi/Pretentious dalam seni
dalam desain

Konsep tragic dan terapannya dalam drama Pencarian bentuk berdasarkan konsep
tragic dalam seni

Gambar 64. Beberapa contoh karya berdasarkan konsep verbal (Google, 2013)

382 Nasbahry Couto & Indrayuda


Jadi dapat disimpulkan, konsep-konsep estetik yang diuraikan di
atas bukan hanya berguna untuk memahami apa estetik itu. Akan tetapi
juga konsep-konsep yang dapat diterapkan seniman atau desainer dalam
berkarya, terutama sekali dalam pengembangan konsep visual dari
karyanya. Oleh karena itu, kita perlu untuk memahami keterbatasn
konsep verbal seni yang sifatnya tradisional berikut ini.

Seni modern memang telah berkembang jauh, setidaknya dalam


kelembagaan dan di luar kelembagaan. Akhir-akhir ini banyak keluar
dari konvensi seni akademis, yang justru menentang aspek-aspek seni
dan estetika yang telah menjadi tradisi dan dipelajari di universitas,
sekolah tinggi dan menengah, diberbagai belahan bumi ini. Karya
desain kadang tidak bisa dibedakan dengan karya seni, hal ini telah kita
bahas subbab sebelumnya. Jadi perlu juga untuk dikenal beberapa aspek
estetik seni yang dimaksud dan yang ditentang pada aliran, pemikiran
yang memiliki konsep antiseni, seperti yang diuraikan di bawah ini.
1. Aspek Elemen Seni
Salah satu prinsip untuk memahami seni adalah untuk mahami
elemen dasar seni itu dan mengungkapkannya melalui kosakata seni
atau melalui kata-kata. Kemampuan mengungkapkan kosakata seni
visual ini hanya dapat diperoleh pada orang-orang yang memahami
bagaimana cara mengungkap-kan elemen-elemen seni yang dilihatnya
melalui kata-kata. Contoh di bawah ini memperlihatkan beberapa
elemen dasar seni.

Tabel 3. Elemen Dasar Seni Tari, Musik, Teater dan Seni Rupa serta
Prinsip Penyusunannya

Elemen Dasar Seni


Tari Seni Musik Seni Teater Seni Rupa
 Energi  Durasi  Skenario  Warna
/Kekuatan  Intensitas  Naskah  Form
 Ruang  Lapangan /Teks /Bentuk/Bidang
383
 Waktu  Timbre Setting  Garis
Desain  Ruang
 Tekstur
 Value

2. Aspek Organisasi Elemen Seni


Setiap karya seni ataupun keterampilan yang berhubungan dengan
seni memiliki organisasi elemennya. Tujuan dari seni adalah untuk
menyusun elemen-elemennya sehingga terbentuk sebuah karya seni
yang utuh, yang berfungsi dan indah. Oleh karena itu, dibutuhkan
prinsip atau asas penyusunan elemen dasar seni seperti yang terlihat
pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Prinsip Penyusunan Seni

Tari Seni Musik Seni Teater Seni Rupa


Koreografi Komposisi Keseimbangan Keseimbangan
Bentuk Bentuk Kolaborasi Kontras
Genre Genre Penekanan Penekanan /Focal Point
Improvisasi Harmoni Disiplin Gerakan /Ritme
Gaya Ritme Fokus Proporsi /Skala
Teknik Tekstur Niat Pengulangan
Gerakan Kesatuan
Irama Keharmonisan
Gaya
Suara

3. Aspek Peragaan Karya Seni 235


Apakah yang dimaksud dengan peragaan seni? Peragaan adalah
wujud karya seni dan peragaannya sewaktu dipamerkan. Bagaimana
tampilan atau bentuk yang dapat dipersepsi dari seni, misalnya waktu
sebuah tari diperagakan dalam bentuk gerak. Setiap jenis seni atau
dalam hal ini adalah seni tari, musik, teater dan seni rupa teraga dan

235
Couto, Nasbahry Standar Pendidikan Seni dan Budaya, http: //nasbahrygalleryedu.
blogspot. com/2011/10/standar-pembelajaran-seni-dan-budaya. html, diakses
Nopember 2011
384 Nasbahry Couto & Indrayuda
atau dapat dipersepsi dengan cara yang berbeda. Peragaan seni itu dapat
dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 5. Peragaan Seni tari, Musik, Teater dan Seni Rupa dalam
beragam bentuknya236

Peragaan Peragaan Musik Peragaan Teater Peragaan


Tari dalam dalam bentuk dalam bentuk Seni Rupa
bentuk dalam
bentuk
Gerak Nyanyian/Lagu Produksi, Stage Lukisan
Memainkan Memainkan Alat Membaca Dan Gambar
Tari Musik Menulis Skrip Kriya
Membaca Pembacaan Dan Karya Improvi- Patung
dan Membuat Notasi sasi Teater Cetakan/Gra-
Membuat Musik Menginterpretasi- fis
Notasi Tari Komposisi Dan kan Peran Desain Untuk
Tari dan Aransemen Musik Set Desain Lingkungan
Koreografi Musik Improvisasi Direk Teater Komunikasi
Improvisasi Visual
Tari Multi-Media

Namun demikian, daftar ini dapat diperpanjang lagi, hal ini


tergantung bagaimana cara budaya tertentu memperagakan seni dan
seni rupa sesuai dengan budaya masing-masing.
4. Aspek Teknologi Seni
Karya seni Rupa juga dapat dilihat/dikelompokkan sebagai hasil
budaya tertentu, dalam hal ini misalnya budaya daerah di Indonesia
yang mengembangkan teknik tertentu untuk menghasilkan karya seni.
237

1) Pengertian teknologi dalam seni, dan kreasi seni berbasis budaya.

236
Bahan yang lebih lengkap lihat dalam buku Seni Rupa Teori dan Aplikasi, serta
buku Dimensi Teknologi dalam Seni Rupa, terbitan UNP Press.
237
Bahan yang lebih lengkap lihat dalam buku Dimensi Teknologi dalam Seni Rupa,
terbitan UNP Press, karangan Nasbahry C
385
2) Teknologi dalam Seni yaitu cara dan metoda dalam
mengaplikasikan peralatan tertentu, untuk karya seni tertentu.
3) Teknologi tradisional dalam seni yaitu cara dan metode dalam
mengaplikasikan peralatan tertentu, untuk karya seni tertentu yang
sudah mentradisi atau menurut tradisi budaya tertentu, misalnya
untuk membuat gambar melalui anyaman, ukiran atau melalui
celup batik.
4) Teknologi modern dalam Seni yaitu cara dan metode dalam
mengaplikasikan peralatan tertentu, untuk karya seni tertentu secara
modern, misal menggambar melalui komputer, seni patung cahaya,
pewarnaan melalui sinar laser dan sebagainya.

386 Nasbahry Couto & Indrayuda


B
ab ini berfokus kepada seniman kontemporer, terutama tentang
kerja dan profesi seniman. Pengertian profesi seniman itu dapat
ambigu karena telah bergeser maknanya melalui sejarah sosial
dan budaya. Menurut berbagai penelitian, tenaga kerja artistik
itu secara sosiologis jarang diakui sebagai pekerjaan dan berstatus
profesional yang ‗nyata‘. Memang jika kita meneliti kerja dan profesi
tidak lain adalah kajian kehidupan manusia dalam kelompok sosial,
bahkan bisa budaya.
Seniman adalah sebutan bagi sebuah profesi, sedangkan profesi itu
sendiri memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat diakui sebagai profesi
dan bagian dari budaya juga. penafsiran tentang profesi di Eropah bisa
berbeda dengan di Indonesia, hal ini disebabkan oleh sikap budaya,
misalnya guru apakah profesi atau hanya job (kerja). Orang akan
marah jika guru disebut hanya ― job‖ dan menyebutnya profesi dengan
alasan memerlukan pelatihan dan keilmuan, tetapi akan salah jika job
dikatakan tidak memerlukan pelatihan dan keilmuan? Salah satu hal
yang sering dilupakan orang jika profesi guru ada standar gaji minimal
(yang diatur undang-undang) yang harus dipenuhi agar dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kalau tidak itu hanya job. Disamping itu, ada
anggapan bahwa profesi itu lebih tinggi daripada job, ada faktor-faktor
psikologi sosial tertentu, sehingga profesi itu dinilai lebih tinggi. Ada
standar gaji atau upah minimal yang diperoleh dari profesi tertentu
seperti tarif dokter, advokat, pengacara dan sebagainya yang resmi
dikeluarkan pemerintah dan diatur dalam undang-undang. Sama halnya
dengan buruh pabrik (pekerja) yang diupah dengan UMR (Upah

387
Minimum Regional). Oleh karena itu, hal ini uraian di atas, dapat
menjadi perbincangan dari uraian-uraian selanjutnya dalam bab ini.
Kajian sosiologi memperlihatkan ada gejala bahwa profesi tertentu
seperti seniman pelukis, cenderung bekerja secara terpisah (soliter),
sebagian besar hidup di lingkungan yang tidak diatur oleh organisasi
tertentu, memisahkan diri dari seniman lain, dan memberikan sedikit
kesempatan untuk pembauran. Lalu mengapa dan alasan apa jika
mereka menyebut dirinya seniman? Apakah identitas pekerjaan ini
dipelajari melalui kerja dalam kelompok dan interaksi sosial sehari-hari
dalam berbagi tempat kerja? Ternyata tidak. Oleh karena itu, ada
pendapat, identitas dan profesi seniman itu muncul karena mitos yang
beredar dan stereotipe yang terdapat dalam masyarakat.
Menurut penelitian Yacob Sumarjo, di Indonesia, banyak pelukis
yang kaya dari karyanya, daripada sastrawan dan penulis. Penyanyi ada
yang kaya mendadak karena popularitas, dan banyak pula yang miskin.
Banyak kasus orang tidak perlu sekolah lalu menjadi artis terkenal
(karena faktor popularitas). Tentu saja tidak semua cabang profesi seni
akan diuraikan pada bab ini, dan memfokuskan hanya pada seni rupa
(visual art ).
Setelah membaca bab ini diharapkan pembaca dapat memahami
seniman, penciptaan karya dan kerja seni masa kini. Sehubungan
dengan pokok bahasan ini, dirumuskan tujuan khusus berikut ini.
Setelah membaca pokok bahasan ini, pembaca diharapkan dapat
memahami (1) Karya seni dan Seniman: apakah pekerjaan itu? Dan (2)
Karya Profesi seniman di Asia.

Pengertian Kerja
Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan
oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk
suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam
pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan
profesi (padahal tidak). Pekerjaan yang dijalani seseorang dalam kurun
waktu yang lama disebut sebagai karier. Seseorang mungkin bekerja

388 Nasbahry Couto & Indrayuda


pada beberapa perusahaan selama kariernya, tetapi tetap dengan
pekerjaan yang sama. Lowongan pekerjaan yang paling banyak
diinginkan orang Indonesia rata-rata adalah PNS dan pegawai BUMN.
Anggapan mereka mungkin karena menjadi pegawai negeri atau
pegawai BUMN gajinya stabil dan terjamin
Pengertian kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu (diperbuat),
seperti makan dan minum. Pengertian kerja lainnya adalah untuk
mencari nafkah (menghasilkan uang/ekonomi). Pekerjaan dalam
pandangan ekonomi adalah segala aktivitas yang dilakukan, baik
sendiri maupun melaui organisasi, lembaga atau jasa, di tempat tertutup
atau di tempat terbuka, dari bekerja tersebut diperoleh produk berupa
upah dari hasil pekerjaan sebagai penghasilan. Dalam pengertian lain,
pekerjaan adalah dalam kaitannya dengan organisasi usaha, misalnya
perusahaan. Setiap orang bekerja dalam organisasi perusahaan.
Berdasarkan rumusan di atas, menurut Abdul Kadir Muhammad (1999),
pekerjaan dapat dibagi dalam beberapa unsur yang terkandung dalam
pekerjaan itu, yaitu: (1) Unsur pekerja adalah orang yang melaksanakan
pekerjaan, apakah pekerja perusahaan, swasta atau instansi pemerintah.
Mereka yang bekerja di pemerintahan disebut pegawai, di perusahaan
disebut pegawai atau buruh atau bekerja sendiri yang disebut
berwirausaha, (2) Unsur kegiatan, unsur ini meliputi bidang apa saja
yang bernilai ekonomi (profit oriented), misalnya kegiatan ekonomi
sosial politik, pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, (3)
Kontinuitas, artinya kegiatan yang dilakukan secara tetap dan
berkesinambungan (konsisten), (4) Terbuka, maksudnya dilakukan
secara nyata dan terang-terangan. Pekerjaan yang dikerjakan dan
mendapat pengakuan dari masyarakat (legal), memperoleh izin
pemerintah yang berwenang, dan (5) Profit, maksudnya ada
penghasilan yang diproleh, penghasilan adalah imbalan dalam bentuk
sejumlah uang atau barang yang dibayar secara berkala.
Tenaga Kerja
Pengertian tenaga kerja, dalam Undang-undang dan Jenis
perlindungan dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam atau di luar

389
hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri atau masyarakat.
Tenaga kerja adalah modal utama dari pembangunan masyarakat.
Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut adalah
kesejahteraan. Tenaga kerja pelaksana harus dijamin haknya, diatur
kewajibannya, dan dikembangkan daya gunanya. Dalam peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-04/MEN/1994 pengertian tenaga
kerja adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang belum
wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja karena adanya
pentahapan kepesertaan.
Bentuk perlindungan tenaga kerja wajib dilaksanakan oleh setiap
pengusaha atau perusahaan yang mempekerjakan orang dalam bentuk
jaminan sosial. di
Perlindungan Kerja
Secara teoretis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja yaitu (1)
Perlindungan sosial adalah suatu perlindungan yang berkaitan dengan
usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan
pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan kehidupannya
sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya anggota
masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial disebut juga
dengan kesehatan kerja. (oleh Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, dalam
Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2007, hal 78, berikut ini, (2) Perlindungan teknis
adalah jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk
menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang
ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja., dan
(3) Perlindungan ekonomis adalah suatu jenis perlindungan yang
berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh
suatu penghasilan yang cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari
baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak
mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis
ini biasanya disebut dengan jaminan sosial. Jaminan pemeliharaan
kesehatan adalah jaminan sebagai upaya penanggulangan dan
pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
pengobatan, dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.
390 Nasbahry Couto & Indrayuda
Gambar 65. Toink Art Gallery: Kerja atau Profesi ?
sumber: http://toinkart. wordpress. com/tag/pelukis/
1. Kerja menurut Lembaga Pendidikan
Banyak perguruan tinggi yang menjelaskan prospek kerja bagi
lulusannya, jenis pekerjaan yang ditawarkan itu selalu berkaitan dengan
jenis dan tujuan pendidikan di sekolahnya, antara lain berikut ini.
a. Bidang pendidikan, menawarkan pekerjaan seabgai berikut.
(1) Menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan akademik
dan atau profesional dalam bidang seni rupa (seni murni, desain
dan kriya) yang unggul, andal dan bermartabat sehingga dapat
menyumbang dalam pembangunan pendidikan bangsa (2)
Menciptakan iklim akademik yang kondusif, kreatif dan inovatif
sehingga mampu mengantisipasi perkembangan dunia yang maju
dan cepat berubah. (3) Menjadikan jurusan seni rupa sebagai
lembaga pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat (4)
Menciptakan iklim yang kondusif untuk melakukan berbagai kajian
dan penelitian dalam bidang seni rupa (seni murni, desain dan
kriya) sehingga mampu menghasilkan karya-karya yang bermutu
(5) Menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan dirinya
sendiri dan masyarakat serta mampu menciptakan lapangan kerja
dalam bidang seni rupa (seni murni, desain dan kriya) (6)
Menghasilkan lulusan dengan keunggulan komparatif dan kekuatan
kompetitif (7) Memberikan kontribusi yang berkualitas tinggi bagi

391
masyarakat sekolah dan instansi lainnya dalam peningkatan dan
pengembangan seni rupa (seni murni, desain dan kriya).
b. Bidang seni rupa seorang alumni seni rupa dapat bekerja di
berbagai tempat atau memilih berbagai profesi berikut: (1)
seniman, (2) instansi pemerintah atau swasta (3) pengajar dan
peneliti di instansi pemerintah seperti: perguruan tinggi negeri,
departemen pariwisata, (4) galeri pemerintah atau swasta sebagai
kurator, kritikus seni, (5) majalah seni, chief editor masalah seni,
(6) TV, menjadi pengasuh acara seni dan budaya, (7) art
consultant, membuka sebuah usaha dibidang perencanaan karya-
karya seni, seperti monumental, (8) wiraswasta, art dealer dan art
supply (kurikulum seni rupa murni ITB)
c. Bidang desain, misalnya DKV (Desain Komunikasi Visual),
Prospek kerja setelah lulus dari program studi Desain Komunikasi
Visual ini sangat beragam, tergantung pada minat dan keahlian, di
antaranya: sebagai wirausaha atau freelancer: desainer grafis,
ilustrator, fotografer, animator, web designer dan sebagainya. Biro
konsultan desain (graphic house), Biro iklan (advertising), Rumah
produksi (production house). Stasiun TV. Percetakan dan
penerbitan. Hubungan Masyarakat (public relation) lembaga
swasta dan pemerintah, (kurikulum Bidang Desain ITB)
d. Sarjana Kria setelah lulus dari program studi misalnya bekerja
pada: (1) Fabric desainer; Desainer kain, sebagai desainer kain;
teman-teman dapat mengolah permukaan tekstil dengan
mengaplikasikan teknik-teknik tekstil seperti tie dye, batik, dan
lain-lain atau bisa juga melakukan penggabungan beberapa teknik.
Selain itu, tugasnya adalah mengolah benang yang akan dijadikan
kain sebagai bahan utama pembuatan produk. Fabric desainer
memenuhi kebutuhan bahan bagi fashion desainer untuk digunakan
pada rancangannya. Seringkali, para fashion desainer kesulitan
merealisasikan imajinasi & keinginannya pada kain sebagai
rancangan desain karena kurangnya tenaga profesional yang khusus
mengolah disiplin ilmu tekstil. (2) Seniman kria; seniman kria
mengolah bahan-bahan tekstil seperti serat alam dengan teknik
tertentu untuk dinikmati sebagai elemen estetis yang berfungsi
dekoratif. (3) Konsultan desainer; sebagai konsultan kria tekstil
meramalkan kreasi-kreasi kain yang akan disukai pasar, mencakup
392 Nasbahry Couto & Indrayuda
warna, motif dan bahan. Biasanya konsultan banyak diperlukan
pabrik-pabrik industri dalam skala yang cukup besar, (4) Interior
fabric desainer; lulusan kria juga dapat mensuplai kebutuhan
perlengkapan interior, sama seperti fashion desainer, desainer
interior juga seringkali kesulitan mengolah produk interior yang
berbahan tekstil seperti: bahan sofa, kap lampu, tirai, karpet, dan
lain-lain. Desainer interior dibutuhkan klien untuk menciptakan
kesan tertentu, bila tidak ditunjang dengan meterial yang cocok
desainer interior pun akan kesulitan merealisasikan rancangannya.
(5) Wirausaha/pengusaha; misalnya pengusaha pembuatan kain
batik, industri sepatu kulit, butik, distro, perlengkapan interior atau
sanggar pembuatan keramik seperti F. X Widayanto. (6) Fashion
desainer, (7) Fashion Editor & Wardrobe, (kurikulum Bidang Kria,
ITB)
2. Profesi
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris
"Profess", yang dalam bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang
bermakna: "janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas
khusus secara tetap/permanen". Profesi adalah pekerjaan yang
membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan
khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik,
proses sertifikasi, dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi
tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran,
keuangan, militer, teknik dan desainer. Berikut beberapa istilah profesi
yang dikemukakan oleh para ahli berikut ini.
 Profesi adalah suatu kumpulan atau set pekerjaan yang
membangun suatu set norma yang sangat khusus yang berasal
dari perannya yang khusus dalam masyarakat (Schein, E.
H,1962).
 Profesi menyatakan bahwa ia mengetahui lebih baik dari
kliennya tentang apa yang diderita atau terjadi pada kliennya
(Hughes, E. C, 1963).
 Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk
pelatihan yang diselenggarakan secara formal atau tidak formal
dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok
/badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam
393
melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi
dengan meng-implikasikan kompetensi mencetuskan ide,
kewenangan keterampilan teknis dan moral serta bahwa
perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat
(Daniel Bell, 1973).
 Profesi adalah "komunitas moral" yang memiliki cita-cita dan
nilai bersama (Paul F. Comenisch,1983).
 Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan
keahlian tertentu (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya).
(Kamus Besar Bahasa Indonesia).
 Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral)
yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama (K. Bertens)

Ciri-Ciri Profesi
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada
profesi, cirri/sifat yang dimaksudkan adalahsebagai berikut.
1) Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan
keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan
pengalaman yang bertahun-tahun.
2) Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini
biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode
etik profesi.
3) Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana
profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah
kepentingan masyarakat.
4) Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi
akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, nilai-nilai
kema-nusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup
dan sebagainya untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih
dahulu ada izin khusus.
5) Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.

394 Nasbahry Couto & Indrayuda


3. Pengertian Seniman (artis) dan Efek Kerancuan
Maknanya
Artis dan selebriti adalah istilah yang sering didengar. Mungkin
tidak semua orang Indonesia memahami apa makna kedua istilah
tersebut. Jika kita bertanya kepada orang-orang di sekitar kita. Kita
akan tercengang mendengar jawaban mereka bahwa artis adalah
selebriti dan selebriti adalah artis. Jika memang demikian, mengapa
harus ada dua kosakata berbeda?
Pendapat seperti ini sebenarnya salah kaprah, tetapi tidak disadari.
Hal ini disebabkan setiap hari kita mendengar istilah ini melalui media
massa (TV, koran, majalah, iklan, dan sebagainya) dan media itu secara
tidak langsung ―menggiring‖ orang ke suatu definisi praktis dan
menciptakan ‗dogma‘ bahwa artis itu adalah selebriti dan selebriti itu
artis. Dalam tayangan TV hal ini menjadi jelas, misalnya istilah Insert
(Informasi Selebriti) dan Halo Selebriti, dua program berita hiburan
(infotainment) di TV yang seolah ikut membentuk pola pikir (mindset)
bahwa memang selebriti dan artis tidak berbeda karena program-
program tersebut menampilkan ―artis‖. Hal itu diperkuat oleh media-
media massa lain, seperti surat kabar, majalah, dan online news. Jika
kita cari kolom selebriti di koran, kita akan disuguhi berita-berita
tentang ―artis‖. Jadi apakah perbedaan antara ―artis‖ dan ―selebriti‖?
Benarkah keduanya sama, dan mengapa harus ada dua kosakata
berbeda bila kenyataannya keduanya memiliki arti yang sama? Jadi
media massa, seperti TV seharusnya juga mendidik orang Indonesia
dan menjelaskan perbedaan antara kedua istilah ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). definisi selebriti
dan artis adalah sebagai berikut: Se-le-bri-ti: (n) orang yang masyhur
(biasanya tentang artis) Ar-tis: (n) ahli seni; seniman, seniwati (seperti
penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama). Jadi, jelaslah bahwa
dalam KBBI, selebriti digunakan untuk menyebut orang yang terkenal,
tetapi orang yang terkenal tidak selalu harus artis. Misalnya, seorang
guru yang populer di mata muridnya bisa disebut selebriti, seorang
dokter selebriti jika menemukan vaksin untuk strain virus baru. Bahkan
seorang pelacur bisa jadi seorang selebriti jika dia ―berhasil‖
melakukan sesuatu yang menghebohkan.

395
Efek kerancuan makna
 Efek dari penyingkatan ini adalah ―murahnya‖ pemberian
gelar artis (seniman) pada seseorang yang baru terjun ke
dunia seni, tanpa memperhatikan unsur ―ahli‖ dan dedikasi
terhadap seni yang seharusnya melekat pada predikat artis.
Bisa jadi orang itu sedang membintangi sebuah sinetron
stripping sebagai seorang figuran dengan peran yang tidak
benar-benar menguji kualitas aktingnya, tetapi sudah layak
disebut artis. Adanya persaingan di antara mereka untuk
mencapai popularitas diri sendiri ataupun proyek yang
sedang mereka kerjakan, baik berupa sinetron, film maupun
album, sehingga tidak jarang ada ―informasi‖ lebih yang
mereka sebarkan pada masyarakat.
 Seniman lokal seperti pemain ludruk, pelukis batik, wayang
kulit, dan pemusik tradisional (pemain angklung dan
gamelan) menjadi korban. Mereka tidak mendapat tempat
yang memadai di media dan telah ―dikalahkan‖ oleh artis
sinetron atau grup band baru yang belum tentu teruji
kehandalannya. Hal ini memacu pihak asing mengadopsi
kebudayaan ini sebagai milik mereka karena pihak lokal
tidak menghargai dan memberikan status ini kepada
seniman lokal.
 Secara linguistik, kesenjangan makna ini sangat berbahaya
karena jika dibiarkan, akan berdampak pada pemiskinan
bahasa karena kita tidak memerlukan salah satu dari kedua
kata artis atau selebriti.
 Dalam rangka untuk memahami pandangan kolektif tentang
apa itu seniman dan apakah identitas ini diperlukan, kita
dapat mengamati seniman profesional untuk mengetahui
makna dan kegunaan label kerja 'seniman'.
 Nama 'artis' telah ditafsirkan dalam dunia seni tetapi dia
menemui kesulitan dalam membedakan antara seniman
dengan nonseniman dan profesional dengan amatir karena
profesi itu tidak ada kepangkatan atau lisensi (sertifikasi),
prasyarat atau mandat untuk status seniman.
396 Nasbahry Couto & Indrayuda
 Tanpa parameter definisi yang jelas, berakibat sedikitnya
insentif bagi seniman yang memadai untuk tenaga kerja
mereka. Akibatnya, seperti yang Alison Bain teliti di
Kanada tenaga kerja artistik umumnya cenderung tetap
sebagian besar undervalued, tidak bisa dinilai dan sebagian
besar disubsidi oleh seniman sendiri melalui kerja sekunder
(pekerjaan lainnya misalnya sebagai guru, dosen atau
pekerjaan lainnya).
4. Beberapa Istilah yang Dipakai untuk Kata Seniman
(Artis)
a. Pelukis. Dalam dunia seni, pelukis adalah orang yang menciptakan
karya seni dua dimensi berupa lukisan. Selain pelukis, istilah yang
pernah populer sebagai padanan kata ini adalah ahli gambar. Hal
tersebut dibuktikan dengan pernah berdirinya sebuah komunitas
para pelukis Indonesia dengan nama Persatuan Ahli Gambar
Indonesia (Persagi) pada tahun 1938. Komunitas itu bertujuan
sebagai ajang belajar dan berbagi di antara para pelukis Indonesia
saat itu.
b. Pematung. Dalam dunia seni, pematung adalah orang yang
menciptakan karya seni tiga dimensi berupa patung.
c. Aktor adalah orang yang memerankan tokoh tertentu dalam suatu
pertunjukan di panggung, acara televisi atau film. Semula sebutan
‗aktor‘ secara eksklusif diperuntukkan bagi pemeran laki-laki,
tetapi istilah itu sekarang dipakai untuk pemeran laki-laki atau
perempuan. Meskipun demikian, sebagian orang menyebut ‗aktris‘
untuk pemeran perempuan. Aktor atau aktris biasanya adalah orang
yang dididik atau dilatih secara khusus dalam suatu kursus atau
sekolah akting. Istilah pemeran sering dirancukan dengan istilah
artis (kata artis dalam bahasa Inggris mengacu kepada
artist/seniman). Mungkin kemiripan bunyi dengan actress
(pemeran perempuan) yang menjadi penyebabnya. Seorang aktor
adalah juga seorang intelektual, harus mempunyai minat besar
untuk belajar, membaca, mendengar, dan bergaul. Intensitas dalam
kegiatan menuju tataranintelektual itu menyebabkan seseorang
mampu mencapai kepekaan dalam banyak hal. Kepekaan atau

397
sensitivitas itulah yang nantinya menjadi bekal utama seorang aktor
dalam menyikapi dan menafsirkan perannya, sehingga dia tidak
hanya menjadi robot yang digerakkan sutradara. Aktor harus
memberi bentuk lahir pada watak dan emosi pelaku. Watak yang
harus diperankan itu mempunyai tiga bagian yang harus tampak,
yaitu: watak tubuh, watak pikiran, dan watak emosi. Aktor dituntut
untuk menciptakan keseluruhan hidup sukma manusia di atas
panggung. Sukma manusia itu harus dapat dilihat dari segala segi,
baik fisik, mental atau emosional. Pemeranan yang baik ditentukan
oleh:-casting yang tepat, -make-up yang tepat, -pemahaman dan
penghayatan yang cerdas terhadap tokoh yang diperankan, -
kecakapan pemeran menampilkan emosi-emosi tertentu, -
kewajaran dalam akting, -kecakapan menggunakan dialog, -timing
yang tepat, -adanya adegan dramatik untuk dibawakan oleh
pemain.
d. Aktris adalah Pemeran perempuan dalam sebuah film. Definisi dua
istilah tersebut di atas dikutip dari Kamus Istilah Televisi dan Film.

Gambar 66. Iklan Pelukis


di internet, sumber:
http://www. olx. co.
id/q/pelukis/c-257

398 Nasbahry Couto & Indrayuda


5. Peran kerja dalam Pembentukan Identitas
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pekerjaan umumnya ditafsirkan
dalam pengertian ekonomi konvensional karena dibayar atas status
kerja atau ditafsirkan lebih inklusif berbagai kegiatan. Pekerjaan dapat
menjadi sumber utama kepercayaan dan pemuasan harga diri 'individu
dan sementara itu juga menjadi penting bagi pembentukan standar
hidup, status mereka sebagai warga negara. Seperti kutipan Alison
Baim berikut ini tentang pekerjaan.
“Kerja adalah bagian tidak terhindarkan dari semua kondisi
manusia. Banyak dari kita menghabiskan sebagian besar jam
bangun kita terlibat di dalamnya. Ini menyerap energi kita dan
menyibukkan pikiran kita. Ini melibatkan kita dalam hubungan
kedekatan dengan orang lain dan memberi kita rasa identitas diri.
Bahwa dalam memahami bagaimana orang memilih untuk
mengidentifikasi diri mereka tidak mengejutkan karena berpusat
pada aktivitas kerjanya, terutama jika diingat bahwa ketika orang
asing bertemu, pertanyaan 'Apa yang Anda lakukan?' Adalah
bentuk standar dan kebiasaan pengenalan pertama”
Gagasan bahwa kerja adalah salah satu bagian yang penting dari
individu dan memainkan peran penting pula dalam kisah seorang
individu dalam kehidupan mereka diperkuat melalui berbagai studi.
Selanjutnya elaborasi hubungan antara pekerjaan dan identitas,
misalnya Glaeser (2000) dari Berlin mengidentifikasi lima cara yang
berbeda untuk mengungkapkan makna kerja:
1) oleh kegiatan dan proses kerja,
2) oleh produk akhir kerja;
3) oleh prestise yang terkait dengan pekerjaan tertentu,
4) oleh prestise dari konteks sosial di mana pekerjaan terjadi,
5) dan dengan posisi kerja yang dibandingkan dengan lainnya.

Individu memperoleh rasa tidak hanya dari pekerjaan, tetapi juga


dari budaya kerja bersama. Banyak seniman tidak berbagi hak istimewa
ini. Tanpa lingkungan fisik kerja yang sama, mitos dan stereotip
menjadi sumber informasi penting tentang apa artinya menjadi seorang
seniman seni rupa profesional dan bagaimana identitas yang dapat tepat
diungkapkan kepada orang lain.

399
6. Mitos Identitas dan Kerja dan Budaya Stereotip
dari Seniman Barat
Mitos telah didefinisikan sebagai keyakinan yang berakar dalam
diri seseorang yang memandu dan melampaui tindakan kita. Kekuatan
mitos berasal dari kemampuan untuk tidak hanya menafsirkan realitas,
tetapi juga untuk membuat dan menciptakan realitas baru /khayalan.
Malinowski (1954: 125-6) menjelaskan seperti berikut ini:
“hal yang sangat penting tentang mitos adalah karakter dari
aktualitas, retrospektif selalu ada di dalam dan selalu muncul lagi
dalam pikiran mahkluk hidup. Ini adalah. bukan cerita fiktif atau
sejumlah cerita dari masa yang tmati, itu adalah pernyataan dari
sebuah realitas yang lebih besar dan sebagian besar masih hidup. ”
Uraian Malinowski selanjutnya menunjukkan bahwa mitos selalu
mengalami regenerasi dan berkelanjutan, baik pada masa sekarang oleh
individu dan kelompok, untuk mencari legitimasi dari kontinuitasnya
dengan masa lalu yang bermakna. Sejarah adalah sumber daya yang
berharga dalam identifikasi individu atau kolektif, Alison Bain
mendapat kesan bagaimana status dan peran seniman dalam masyarakat
Barat telah berubah dan bagaimana mitos sosok seniman telah
dibangun.
Selama periode Kristen abad pertengahan, Allah dianggap pencipta
primer dan seniman dipahami hanya saluran untuk meneruskan
inspirasi ilahi. Dalam kerangka agama, seniman laki-laki bekerja secara
anonim dan kolektif pengrajin dalam serikat Gilda. Guilds/Gilda
berfungsi sebagai 'penjaga perdagangan kriya' melalui penciptaan dan
penegakan aturan yang diatur dengan metode produksi dalam berbagai
seni, penetapan standar, kondisi kerja, dan organisasi Gilda (Coleman,
1988: 70).
Serikat pekerja ini dikendalikan melalui pelatihan/keterampilan
dan selanjutnya murid Gilda ini (disebut aprentis) magang di toko
sebagai journeymen milik master (Krause, 1996). Setiap pelantikan
diawasi oleh seorang empu yang mempekerjakan asisten yang mampu
memproduksi kriya dalam jumlah besar, berkualitas tinggi dengan
jadwal yang ketat, disamping mengawasi pemagang dan muridnya
(aprentis). Dalam mempelajar bagaimana guru besar' (master) melukis
pemagang belajar unsur-unsur praktis dari profesi ini, dan

400 Nasbahry Couto & Indrayuda


berkonsentrasi pada semua jenis kerja dalam bengkel produksi (Krause,
1971). Pada zaman ini, seniman visual relatif memiliki status sosial
yang rendah. Namun, pada zaman renaisans akhir, status sosial seniman
secara radikal menjadi tinggi dan terhormat (Woods-Marsden, 1998).
Pada awal abad 17, terjadi pergeseran budaya dan ukuran atas
segala sesuatu dan mengubah seniman harus sarjana, manusia dinilai
dari keterpelajarannya dengan potensi yang tidak terbatas untuk
menciptakan karya seni yang asli (Apostolos-Cappadona dan Ebersole,
1995). Dengan lepasnya patron dan persyaratan yang ketat dari sistem
Gilda, seniman itu diangkat ke status sosial elit dan intelektual, sebagai
individu yang ber-kemampuan kreatif. Seniman semakin dihormati dan
muncul mitos seniman adalah genius dan pria yang heroik.
Getzels dan Csikszentmihalyi (1973: 101) menjelaskan bahwa
'ketika lingkungan budaya renaisans telah menjadi agresif, inovatif, dan
memandang orisinalitas yang terbaik, seorang jenius, yang visinya
benar, harus mengisolasi dan menarik diri dari pusat perhatian' sosial.
Pada akhir abad ke-18, seniman telah menjadi 'semakin
dipisahkan/terasing dari arus utama kehidupan sosial' (Coleman, 1988:
78) dan semua gagasannya yang aneh dianggap sifat penting dari setiap
seniman sejati.
Selama era romantis muncul sebuah pengakuan umum tentang
seniman adalah orang yang terasing dan tokoh menggelora diperkuat
oleh penekanan pengertian/pemahaman seni adalah gelora perasaan,
imajinasi jenius, dan mencari 'keindahan' abstrak ciri gaya romantisme
itu (Steptoe, 1998).
Seperti yang diceritakan Kristeller (1990:250) bahwa seniman
tidak lagi dibimbing oleh alasan dan atau oleh aturan, tetapi oleh
perasaan dan sentimentil, intuisi dan imajinasi'. Imajinasi semakin
dipuja sebagai 'sumber kebenaran yang lebih dalam, memberikan akses
kepada realitas kepuitisannya, dan di bawah permukaan peristiwa
sehari-hari yang hanya bisa dieksplorasi melalui kepekaan artistik'
(Coleman, 1988: 78). Semangat Romantisisme ini diwujudkan dalam
citra stereotip tentang kehidupan seniman yang kelaparan dan tinggal di
loteng rumahnya.
Akhirnya gambaran keglamoran dan kegentingan hidup seniman,
diperlihatkan dalam definisi baru oleh kritikus adalah seorang

401
bohemian238 pemberontak, yang mengorbankan status, uang, dan
kenyamanan materi demi kebebasannya, dan semata mengejar ekspresi
kreatif individu itu semua adalah asosial. Status seniman dibenci dan
diberi status negatif itu semua adalah mitos.
Jadi, apa yang benar? Sebenarnya kehidupan pribadi seniman, ide
tentang sistem Gilda, ide jenius, keintelektualan, kebohemianan, itu
sangat bertolak belakang dengan kebutuhan sosial dan ekonomi yang
membutuh-kan karya seni (musik, sastra, film, seni publik, dan banyak
lagi yang lain). Status seniman hanya jadi budak sosial, pekerja seni
melayani kebutuhan sosial, misalnya dalam hal hiburan. Jadi dalam
masyarakat modern seniman jangan dihinakan, direndahkan. Bahkan
lembaga pendidikan pun berpandangan demikian seperti kutipan di
bawah ini.
Meskipun mitos marjinalitas, keterasingan, dan statusnya sebagai
'orang luar', kebebasan kreatif seniman tetap kuat dan atau dipegang
kuat oleh seniman sendiri, realitas kebutuhan pasar saat menentukan
yang berbeda tuntutan. Kelly (1974: 138) menyatakan secara ringkas
seperti berikut ini.
"art adalah bisnis dan harus didekati setiap perusahaan
kapitalis lainnya 'Pada seniman abad ke-21 dituntut untuk
eksperimental dan inovatif, dan untuk mendorong batas-batas seni
sementara memanfaatkan pada pengembangan viduality-indi khas
dan berharga. Dalam peran pasar-savvy kewirausahaan, seniman
didorong untuk membesar-besarkan dan mengeksploitasi
individualitas mereka dan untuk memberi makan ke mitos populer
untuk memperkuat keaslian pekerjaan mereka. Jadi banyak seniman
kontemporer secara sadar atau tidak sadar berusaha untuk
melestarikan marjinalisasi simbolik mereka (sosial, ekonomi atau
budaya) dan keterasingan mereka yang dimitoskan”
Mitos 'keterpinggiran posisi sosial seniman tidak selalu konstan
sebab menurut Adler (1979:8) banyak juga seniman yang terintegrasi
secara sosial. Adler melihat bagaimana banyak seniman yang
dipekerjakan, ber-pendidikan, bergaji, dan memiliki kepastian kerja
yang lebih besar, kemudian memiliki status sosial kelas menengah yang

238
Bohemian adalah istilah yang dipakai untuk orang yang hidupnya tidak teratur, suka
berpindah tempat, dan dianggap sebagai sampah sosial pada abad 19
402 Nasbahry Couto & Indrayuda
bebas dari tirani pasar seni, dan memiliki kontak yang teratur dengan
seniman lain.
7. Peran kreativitas dalam praktik Artistik
a. Profesi seni dikagumi karena dipandangusaha untuk menciptakan
sesuatu yang bernilai universal dan permanen. Tindakan kreatif ini
didorong oleh kekuatan imajinasi dan visi estetik yang mereka
miliki, ditafsirkan sebagai sesuatu yang abadi.
b. Kreativitas diberi nilai khusus oleh masyarakat karena
kemampuannya untuk menantang, menginspirasi dan mengubah
sesuatu menjadi baru. Oleh karena itu, dianggap'salah satu prestasi
tertinggi dari manusia.
c. Kreativitas adalah kemampuan yang diasosiasi dengan kegiatan
kesenian yang tampaknya melebihi pemikiran dan perilaku
rutinitas, otomatis yang mendominasi kehidupan sehari-hari.
d. Beberapa psikolog telah berusaha untuk menghilangkan misteri
seputar kreativitas dengan memperlakukannya sebagai kapasitas
mental yang dapat dipahami bukan bakat yang unik, melainkan
kemampuan manusia biasa yang terjadi setiap hari. Meskipun
upaya untuk menekankan konvensionalitas praktik artistik, banyak
penelitian psikologis pada kreativitas telah memperkuat keunikan
dari kepribadian artistik.
e. Namun, psikolog telah menandai persona artistik sebagai
hipersensitif, agresif, otonom, dan independen, sibuk dengan
pekerjaan sendiri dengan mengesampingkan kegiatan sosial, tidak
toleran terhadap ketertiban dan mencari hal-hal baru dan
perubahan, diliputi dengan emosi yang intens, tetapi kacau, dan
bertentangan dengan kebiasaan dan dangkal (Steptoe, 1998: 253).
f. Sebuah usaha untuk meneliti kepribadian seniman memperkuat
gagasan bahwa individu-individu kreatif cenderung emosional,
labil, menunjukkan kecenderungan asosial yang kuat (introvert,
mandiri, sikap bermusuhan, dan arogan) dan menyangkal dan atau
memberontak terhadap sesuatu yang alamiah (Csikszentimihalyi,
1990, Piirto, 1992; Boden, 1994; Dacey dan Lennon, 1998; Feist,
1999).
g. Seniman cenderung untuk memberontak terhadap norma, selalu
bertanya, dan menantang batas penerimaan-mungkin telah menjadi
403
ciri dari seniman masyarakat kontemporer (Feist, 1999). Ditambah
dengan ide pemberontakan romantis bawaannya. Secara
keseluruhan, karakter dari kepribadian artistik, apakah fakta atau
fiksi, telah memberikan sebuah repertoar tentang atribut seniman
yang berhubungan dengan penegasan kembali identitas pekerjaan
mereka.
8. Siapakah Seniman itu?
a. Kriteria seniman. Kriteria apa yang kita gunakan untuk
mendefinisikan seorang seniman? Apakah definisi kita bergantung
pada pendidikan, kualifikasi atau jumlah waktu yang dihabiskan
bekerja sebagai seorang seniman atau pendapat informasi dari
kritikus seni, kurator galeri seni, dan komite hibah atau pengakuan
kontemporer oleh lembaga dalam dunia seni? Ini semua adalah
pertimbangan berlaku untuk definisi formal dari apa yang disebut
seniman (artis). The United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization's (UNESCO) International Art Association,
misalnya, telah menghasilkan definisi seniman yang meliputi:
‗setiap orang yang menciptakan atau memberikan ekspresi kreatif
atau re-menciptakan karya seni, yang menganggapnya kreasi
artistik dia menjadi bagian penting dari/nya hidupnya, yang
memberikan kontribusi pada pengembangan seni budaya, dan yang
meminta untuk diakui sebagai seorang seniman, apakah ia/dia
terikat oleh hubungan kerja atau asosiasi (Burgoyne, 1990: 29).
b. Kriteria pekerjaan seniman. The Canadian Artists 'le Front des
Artistes Canadiens (CAR-FAC) mendefiniskan seniman
profesional sebagai: siapa saja yang hidup melalui seni, yang
memiliki ijazah dalam salah satu jenis seni rupa, yang mengajar di
sekolah seni, yang menunjukkan secara teratur dalam pameran
individu atau acara kelompok atau yang diakui dalam profesi
sebagai seorang seniman.
c. Seniman karena pengakuan kelompok. Kedua definisi di atas
menunjukkan keragaman tentang makna pekerjaan seniman, dan
cenderung terfokus pada melatih individu di studio. Seorang
seniman dapat bekerja sebagai organizer kurator, kritikus,
fotografer penerbit atau perupa. Seperti profesi lainnya, seniman
juga membentuk kelompok dan memberi peringkat satu sama lain,
404 Nasbahry Couto & Indrayuda
menerima beberapa rekan-rekan mereka (khususnya yang mereka
berinteraksi dan bersosialisasi melalui program akademik)
sementara benar-benar mengabaikan orang lain.
d. Seniman karena konsistensi berkarya. Sementara itu banyak
seniman menganggap diri mereka dalam kaitannya dengan media
dan material kreatif mereka, seniman lain menggunakan berbagai
definisi yang menggabungkan standar dan harapan yang berbeda:
Seniman sejati adalah orang yang menunjukkan secara teratur di
galeri dan diakui oleh rekan-rekan merekaseniman serius dan
mereka umumnya memasuki usia pertengahan, (Jaan, 23November
1999), tetapi ada juga orang yang menyebut diri mereka seniman
karena semua orang bisa melakukan itu (melukis misalnya), tetapi
hal itu umumnya ditolak sebagai seniman. Misalnya Anda mungkin
seorang ibu rumah tangga atau seorang pengacara yang tidak
melakukan apa pun sepanjang hari. Dia mengambil kelas melukis
pada hari Minggu, walaupun bisa melukis, itu jarang diakui sebagai
seorang seniman. Umumnya pengakuan seniman profesional
karena mereka hidup dari hasil seninya dan diakui oleh kelompok
kerja yang sama.
e. Seniman karena prestise dan reputasi. Dalam masyarakat, profesi
adalah pekerjaan yang dianggap memiliki kekuatan khusus,
prestise dan reputasi. Ada prestise tertentu bagi para seniman hadir
secara konstan dan aktif dalam komunitas seni. Kehadiran
disamakan dengan kesamaan visi, kepemilikan reputasiseorang
seniman di antara mereka yang memiliki kekuasaan untuk
memaksakan legitimasi artistik dan nilai pada seniman dan produk
budaya mereka (dealer seni misalnya, kritikus seni, sejarawan seni,
kolektor seni, sekolah seni dan kurator ).
f. Seniman karena penghargaan masyarakat. Di luar bidang produksi
seni, penghargaan masyarakat terhadap profesi karena adanya
kemampuan/ kompetensi khusus seniman, misalnya pengetahuan
terkait dengan kebutuhan dan nilai-nilai dari sistem sosial, dan
pelayanan atas publik khususnya di bidang seni, tetapi
kelemahannya sering tidak dapat dinilai peringkat seninya oleh
masyarakat. Karena masyarakat buta terhadap bahasa seni, teknik
seni dan gaya seni dan apresiasi karya.

405
g. Seniman karena bakat. Tidak seperti profesi yang sangat diatur
lainnya, seperti hukum, kedokteran, arsitektur atau ilmu teknik
rekayasa, di mana derajat dan lisensi dapat diberikan pada praktisi
seni adalah otentikasi dan legalitas status pekerjaan mereka, dalam
seni tidak ada prasyarat resmi atau mandat untuk membedakan
seniman dari nonseniman, professional dari amatir. Mungkin
perbedaan ini berasal dari asumsi bahwa bakat artistik adalah
hadiah, bukan sebuah keterampilan yang dapat diajarkan.
h. Seniman dan budaya profesi. Namun demikian, tanpa parameter
kelembagaan dan definisi yang jelas untuk membedakan seniman
profesional dari seni hobies. Istilah kualifikasi 'profesional', dalam
seni, adalah, untuk semua maksud dan tujuan, yang tidak memiliki
garansi tentang kualitas atau keunggulan atau tingkat status
ekonomi dan sosial mereka. Selanjutnya, tanpa jaminan
keprofesian menurut Cliche (1996:202), sulit untuk memastikan
bahwa masyarakat dan pasar mengenali bagaimana cara membayar
seniman untuk pekerjaan mereka. Jadi seniman menikmati
beberapa penghargaan dan keistimewaan dan sedikit kekuasaan
politik dan 'kehormatan' yang pada umumnya adalah gabungan
yang berhubungan dengan budaya profesi. Untuk menjadi seorang
seniman profesional, pada dasarnya adanya klaim keberhasilan dan
status profesi yang dibangun dari identitas artistik adalah hanya
komitmen saja dari budaya profesi.
i. Seniman oleh pendidikan seni. Seniman sering memilih untuk
meningkatkan klaim mereka untuk status profesional dengan
melakukan perpanjangan masa pelatihan di sekolah formal dan
keanggotaan dalam organisasi agar memperoleh status profesional.
Dalam istilah ilmiah ada Bachelor of Fine arts dan Master of Fine
Arts, keduanya berkaitan dengan gelar profesional, tetapi gelar
tersebut tidak menentukan status artistik atau menjamin seniman
akademik itu sukses di pasar. Akibatnya, banyak seniman memilih
untuk mengejar pengetahuan informal, nonformal di luar sekolah
atau universitas dan seni, melalui kelas privat, magang atau periode
panjang seni. Berbagai pilihan pelatihan formal dan informal
terbuka untuk seniman utnuk memperkuat status profesional dan
juga karena tidak ada persyaratan keanggotaan yang eksklusif.
Meskipun tingkat pendidikan yang tinggi dan keterlibatan dalam
406 Nasbahry Couto & Indrayuda
organisasi, 'seniman pengangguran dan setengah pengangguran
muncul karena pendapatan dan status sosial mereka rendah, dan
tingkat kontrol dan prediktabilitas yang mereka miliki atas garis
karier relatif rendah dari kelompok profesi lain' (Dubin, 1987: 25).
Marginalisasi sosial yang lama dan ekonomi seniman dan posisi
mereka yang relatif lemah di pasar tenaga kerja dapat disebabkan,
praktik artistik dalam mitos, dan isolasi seniman terhadap satu
dengan lainnya.
9. Seniman Menurut Teori Otto Rank
Otto Rank (lahir di Wina, Austria, 22 April 1884 – meninggal di
New York, 31 Oktober 1939 pada umur 55 tahun) adalah sosok yang
telah meletakkan dasar bagi penemuan teori motivasi, teori reaksi, dan
teori ancaman. Otto Rank menjadi salah seorang psikolog yang
membahas tema mitologi, sastra, seni, dan agama. Beberapa karya
utamanya ialah art and Artist, Truth and Reality, dan Will Therapy. 239
Salah satu hal yang dikaji oleh Rank ialah menyangkut persoalan
lahirnya mitos. Menurut Rank, mitos sangat mudah dipahami. Mitos
adalah alat yang digunakan berbagai kebudayaan yang berbeda-beda
untuk mengekspresikan pengalaman-pengalaman masa kecil komunal.
Mitos mencerminkan keinginan yang ada dalam setiap diri manusia
untuk kembali ke saat-saat nyaman dan damai, saat kita masih
menganggap orangtua kita sempurna dan memberikan yang terbaik
kepada kita. Kotak atau keranjang dalam mitos menyimbolkan rahim
sedangkan air menyimbolkan kelahiran. Binatang atau manusia
setengah binatang menyimbolkan orangtua. Pembalasan dendam adalah
tanda kemarahan terhadap tindakan orangtua yang tidak memperhatikan
kita.
Persoalan lain yang dibahas oleh Rank ialah menyangkut
kreativitas seniman. Menurut Rank, seniman memiliki tekad kuat untuk
mewujudkan kehendaknya sendiri sekaligus menginginkan keabadian
yang hanya dapat dicapai melalui pengidentfikasian dirinya dengan
kehendak kolektif kebudayaan tempatnya hidup. 240

239
C. George Boeree. 2008. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama
Psikolog Dunia. Yogyakarta: Prismasophie.
240
David G. Benner. 1985. Baker Encyclopedia of Psychology. Grand Rapids: Baker
Book House. Hlm. 972-973
407
Seni yang baik harus dipahami adalah peleburan hal material
dengan spiritual, yang spesifik dengan yang universal, dan individu
dengan humanitas. Peleburan itu tidak mudah dan harus dimulai dari
kehendak. Berdasarkan cara bagaimana seseorang berjuang
mendapatkan kemerdekaannya, Rank menggambarkan tiga tipe
kepribadian.
a. Tipe kepribadian adaptif. Orang dengan tipe kepribadian ini belajar
menghendaki apa yang dipaksakan pada mereka. Pribadi semacam
ini biasanya pasifdan dimiliki kebanyakan orang.
b. Tipe kepribadian neurotik. Orang dengan tipe kepribadian ini
memiliki kehendak yang lebih kuat daripada kebanyakan orang,
tetapi sibuk dengan "perang" melawan dominasi internal dan
eksternal. Bahkan, ada yang berusaha memerangi ekspresi dari
keinginan mereka sendiri sehingga tidak ada lagi kehendak yang
tersisa untuk mewujudkan apa yang diinginkan. Secara moral,
mereka memiliki perkembangan moral yang lebih baik daripada
mereka yang berkepribadian adaptif.
c. Tipe kepribadian produktif. Orang dengan tipe kepribadian ini
berusaha menerima dan menyatakan diri mereka sebagaimana
adanya untuk berusaha mencapai yang ideal. Inilah titik yang akan
dituju kehendak. Seniman menciptakan dirinya sendiri, lalu
menciptakan dunia yang sesuai dengan kehendaknya. Oleh Rank,
tipe ini disebut kepribadian seniman, kepribadian genius atau
kepribadian kesadaran diri.
10. Melawan Isolasi Praktik Artistik
Isolasi kegiatan artistik umumnya di lawan dengan cara berikut ini.
a. Kegiatan di pusat kota. Untuk mengatasi isolasi dan keterasingan
dalam praktik artistik mereka, seniman sering memilih untuk
berkumpul, berdiskusi dan bekerja di dekat satu sama lain.
Umumnya konsentrasi awal kegiatan seni cenderung untuk
dikembangkan di pusat kota, mengingat lokasinya pusat kota
mudah diakses dan kemudian menyebar keluar ke ruang
lingkungan terpencil jauh dari dukungan formal lembaga seni.
b. Kegiatan di suatu lokasi. Anda akan menemukan sekelompok
seniman yang bekerja bersama-sama di sebuah bangunan yang
cocok untuk Anda, untuk alasan apa pun, Anda mencoba untuk
408 Nasbahry Couto & Indrayuda
mendorong orang lain untuk bergabung dengan Anda. Anda
mencoba dan menemukan sebuah lingkungan di mana sudah ada
seniman lain yang ada atau Anda dapat mencoba dan menemukan
seniman lain atau seni berbasis organisasi dengan kelompok yang
sama, (Yvonne, 24 Agustus 1999).
c. Membentuk lingkaran pertemanan. Ada juga beberapa kondisi di
mana seniman mendapat peluang untuk berkumpul bersama-sama
untuk berbagi informasi teknis, dukungan keuangan. berkumpul
pada peristiwa tertentu sehingga seniman dapat terinspirasi,
terdorong dan mendukung satu sama lain dalam lingkaran beberapa
pertemanan.
d. Kegiatan pada ivent seni. Banyak dari jaringan sosial informal
berkembang dari koneksi yang terbentuk selama program
pendidikan seni rupa, dalam bentuk peristiwa pameran, dari
ceramah, seminar, perkenalan. Dari dalam kelompok-kelompok
kecil dari teman-teman dan kenalan, seniman akan mendukung
kerja dari rekan-rekan mereka dengan menghadiri pameran mereka,
merekomendasikan pekerjaan mereka untuk kolektor, orang
terkenal atau penyokong seni.
11. Identitas Seniman yang Ambigu karena Kerja
Sekunder
Meskipun tujuan utama bagi banyak seniman adalah kemandirian
finansial berasal sepenuhnya dari penjualan karya seni mereka sendiri,
beberapa seniman benar-benar berhasil dalam membuat penjualan yang
cukup untuk memungkinkan kerja penuh-waktu, dan komitmen tidak
terganggu untuk seni mereka. Beberapa alasan yang menyebabkan
mereka mencari pekerjaan lain disamping kerja seni adalah sebagai
berikut.
 Kerja lain karena pasar seni sepi. Meskipun, kebanyakan
seniman ingin membuat karya seni secara penuh-waktu karena
karya mereka tidak dapat dipasarkan, terpaksa cari kerja lain
(sekunder) untuk menunjang kehidupan. Dari penelitian dapat
diasumsikan bahwa pendapatan kotor rata-rata dari seni perupa
profesional umumnya kurang memadai dan cukup dari upah yang
layak.

409
 Ragam kerja seni. Profesi pengajar dan seniman umumnya berasal
dari integrasi sosial yaitu dengan adanya pengakuan kelembagaan
(umumnya pengajar dianggap memiliki pengetahuan disamping
keterampilan). Seniman yang terpelajar yang memiliki pengetahuan
yang luas umumnya terafiliasi ke pemilik galeri atau asisten,
kurator, menjadi seorang desainer grafis atau ilustrasitor, pembuat
mural atau pelukis pemandangan, editor majalah atau film dan
ragam pekerjaan seni rupa lainnya. Justru hal itu menyebabkan
identitas seniman menjadi ambigu.

Oleh karena itu, wacana seni secara sosiologis dapat juga melihat
kepada tulisan lain misalnya tulisan Clark (1998), dia dengan
prinsip/konsepsi yang sama dengan Hauser melihat sosiologi seni Asia
dan mencoba mengklasifikasikannya dengan caranya sendiri.
Clark (1998) dalam penelitiannya tentang seni modern di Asia,
misalnya mengemukakan istilah "plebeian ars" (seni udik) untuk
menyatakan perbedaan komunitas seni di pusat-pusat kota di Asia
(dengan kaum elite, perupa profesional). Pandangan ini lebih
berdasarkan kuat atau lemahnya sistem informasi (ideologi) yang
dipakai untuk mengekspresikan seni. Jadi, dalam hal ini dia setuju
dengan teori Hauser tentang teori kekuatan seni (hegemoni) atau
lemahnya kekuatan seni itu dalam masyarakat yang mempengaruhi
suatu masyarakat tertentu.
Menurut Clark, umumnya masyarakat seni yang ada di pusat-pusat
kekuasaan di Asia (masyarakat kota) lebih vokal dibandingkan dengan
seni yang ada di daerahnya (propinsi). Bukan karena tinggi atau
rendahnya nilai-nilai seni yang dikandungnya, melainkan karena
kekuatan dan resepsi informasi di pusat-pusat kekuatan politik, sampai
ke mancanegara lebih kuat di pusat-pusat budaya atau kota besar
dibandingan dengan di kota kecil.
Hal ini dapat dibandingkan dengan komunitas seni pada kaum elit
politik, aristokrat dan profesional atau akademisi seni. Menurutnya
setiap komunitas memiliki pasar tersendiri. Artinya suatu komunitas
seni memiliki pengikut atau pecinta seni yang tidak akan melebar atau
mungkin tidak akan diacuhkan oleh komunitas lainnya yang tidak

410 Nasbahry Couto & Indrayuda


menjadi komunitasnya. Jadi, menurut Clark yang terpenting adalah
bagaimana membentuk komunitas dan menciptakan pengikutnya.

Gambar 67. Perupa kota dan desa (plebeian artis) menurut Clark (1998)
Sumber. Nasbahry Couto, 2006, 2010)

Artinya, walaupun ada perbedaan dari segi diskursus dan


penguasaan dasar teoretiknya, namun seni urban lebih dipengaruhi oleh
seni Barat, secara empirik dari segi produksi dan konsumsi seni
memiliki pasar tersendiri
Sesuai dengan sasaran dan tujuan seni, Clark (1998)
mengklassifikasi seniman. Dari beberapa negara Asia yang ditelitinya,
ternyata pengklassifikasian kelompok perupa itu, memperlihatkan
kecendrungan orientasi pasar seni dan komunitas seni yang berbeda-
beda pula.

Tabel 6. Pelaku Seni di Negara Asia Menurut Clark

Kelompok Pelaku seni Negara dan kelompok


modern di Asia seniman dominan
1 Tradisional baru India

411
2 Aristokrat Jepang
3 Plebeians (kampung, Udik) Jepang, India,
4 Seniman Profesional India, Jepang, Cina,
Muangthai, Malaysia,
Indonesia
5 Seniman salon & pameran seni Sda.
6 Seniman avant-gardis Sda.
7 Seniman nasionalis Cina

Tabel 7. Tabel Orientasi pasar pelaku seni di Asia menurut Clark (1998)

Orientasi Pasar/Produk Seni Elit (Aristoktratis)


Asal/tipe Aristokrat Plebeian Profesional
seniman
Aristokrat X
Plebeian (Udik) X
Profesional X

Artinya, setiap kelompok seniman sebenarnya memiliki tujuan dan


pasar serta komunitas tersendiri Misalnya seniman udik, kampung
(plebeians artist), pasarnya juga masyarakat "Udik" dan seniman elit
memiliki pasar masyarakat elit pula. Pembatasan seperti ini, terjadi
sejak lama. Di Indonesia misalnya, seniman keraton, berkesenian
terbatas untuk memenuhi masyarakat golongan bangsawan di keraton.
Sebaliknya, rakyat (yang disebut oleh Clark adalah kaum plebians)
memiliki corak seni tersendiri yang dikonsumsi oleh komunitasnya.
Pelukis Raden Saleh misalnya, dilihat oleh Clark adalah seniman
aristokrat karena dia bergerak di kalangan istana, baik di Eropah atau di
Indonesia pada zaman kolonial (Clark, 1998: 126-128), yang banyak
menjadi pertanyaan bagi komunitas adalah sejauhmana pengaruh
mereka di luar komunitas? Dalam hal ini, misalnya pertanyaan seni
modern di daerah (propinsi) dipertanyakan, apakah masih bisa eksis di

412 Nasbahry Couto & Indrayuda


dalam arus besar (mainstream) seni Indonesia? Ukuran-ukuran
semacam ini menjadi pertanyaan komunitas, terutama seniman daerah.
Bidang-bidang kreasi tertentu seperti seni bangunan (arsitektur)
sebenarnya memiliki pasar tersendiri. Misalnya dalam sejarah terlihat
para perancang bangunan umumnya dekat dengan elite penguasa, dan
ada tuduhan bahwa arsitek hanya melayani kaum elite sosial saja,
bukan rakyat banyak. Tradisi arsitek yang dekat dengan elite ini
diuraikan Johnson (1994) memang demikian sebab mereka (arsitek)
melayani kaum pemilik modal (feodalis, tradisionalis atau kapitalis).
Akan tetapi, tradisi Timur sangat kuat dalam melayani kaum feodal,
dan golongan menengah di kota-kota pusat-pusat urban kuno atau
modern.
Jadi, sebelum meneliti atau mengkaji seni, disain, kerajinan,
bangunan dan sebagainya untuk tujuan sosial, sebenarnya harus dikaji
lebih dahulu, pasarnya siapa, komunitas mana? Menurut Clark, dalam
membicarakan seni tiap negara di Asia, ada pemrakarsa seni, baik dari
dalam atau pengaruh dari luar dan ada yang sama sekali bebas dari
pengaruh luar (independent), seperti Jepang. Jadi, sejarah teori atau
pembicaraan seni (art discourses), tiap negara di Asia dipengaruhi oleh
kondisi setiap komunitas yang berbeda-beda satu dengan lainnya seperti
yang digambarkan oleh Clark (1998: 240)
Dalam skala yang lebih luas ada cita-cita komunitas yang lebih
besar, misalnya mencari identitas komunitas seni secara Nasional. Hal
ini dilakukan misalnya oleh negara komunis seperti RRC, dan beberapa
negara Asia seperti Indonesia. Nasionalisme dalam seni Asia adalah
spirit seni yang oleh Mikel Dufrenne (1973), seorang ahli estetika
Universitas Paris, Nanterre, Perancis, adalah pencarian identitas oleh
kelompok sosial, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa selalu
terjadi konfrontasi antara ide Barat Timur di negara berkembang dalam
seni dan budaya? Dari studinya tentang konsep/gagasan seni di Asia,
Afrika dan Amerika Latin, dia menemukan spirit "anti Barat", sebagai
perlawanan tidak langsung kepada "penjajah" (Barat) -yang
(dahulunya) menguasai mereka, yang mencuat pada paham
nasionalisme- adalah semacam "'antitesis" dunia ilmiah Barat, yang
keluar dari standar internasionalisme. Di antara nya, ungkapan
membela kebudayaan lokal yang terdesak pada masa kolonial.

413
Semua kecendrungan ini nasionalisme dan tradisionalisme pada
akhirnya tidak lain mencari identitas komunitas, yang ruang gerak
sebenarnya sangat sempit, (Supangkat, 1992: 27). mengapa? Hal itu
disebabkan komunitas terdiri atas individu yang sebenarnya tidak solid
membawahi nama komunitasnya, katakanlah identitas daerah, seniman
yang beragam orientasinya.
Menurut Supangkat (1992) tradisi barat berkesenian melalui
pemikiran tidak memiliki kebenaran mutlak, tidak berlaku universal.
Tidak semua kebudayaan mengidentifikasi kondisi mental berkesenian
melalui pemikiran. Terjadinya dikotomi dalam dunia akademisi seni
Timur-Barat atau kalau tidak hibridanya, Timur yang mem-Barat-annya
semacam ekses modernisasi. Oleh karena itu, Jepang mungkin suatu
negara yang tegas, paling tidak dalam membagi studi seninya yang
terbelah menjadi dua macam: jurusan seni Barat atau jurusan seni yang
mendalami Timur. Namun, pengakuan terhadap folk art atau seni yang
berwarna lokal kembali mencuat dengan lahirnya era posmodern pada
tahun 1970'an menunjukkan kekuatan komunitas untuk berkomunikasi.
Disamping seniman profesional, yang umumnya berasal dari
akademis, terdapat seniman " avant garde" yang artinya seniman garda
depan, yang oleh militer disebut dengan "advance guard" (barisan
depan). Seniman garda depan adalah pelopor zamannya. Meskipun
mereka populer, inspirasi-inspirasi seniman modern memiliki potensi
keluar dari "kesejarahan seni" (tidak tercatat) sebab bisa bertentangan
dengan hal-hal yang umum pada masa itu, apalagi jika tidak punya
pengikut seniman itu bisa disisihkan oleh para penulis sejarah seni pada
zamannya .
Seniman avant-gardis sinonim dengan gerakan "eksperimental",
yang menggejala pada seniman modern di Timur, seperti di Indonesia.
Dengan kata lain, bereksperimen dengan kerja seni bersifat rasional
ataupun irrasional, adalah trend yang umum ditemui dalam seni rupa
modern (Nikos Stangos: 1981: 9)

414 Nasbahry Couto & Indrayuda


Buku dan Artikel

Abbing, H. (2002) Why Are Artists Poor? The Exceptional Economy


of the Arts. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Adler, Margot. 1979. Drawing Down the Moon: Witches, Druids,
Goddess-Worshippers, and Other Pagans in America
Today: N. Y: Viking Press
Alexander, R. D. (1989). The Evolution Of The Human Psyche. In P.
Mellars & C. Stringer, (Eds. ), The Human Revolution (pp.
455-513). Princeton, NJ: Princeton University Press.
Armstrong, E. M. 2000. Lessons in control: Prenatal education in
the hospital,
Atkins, Robert, (1990) ArtSpeak: a Guide To Contemporary Ideas,
Movements, and Buzzwords,
Bailey, Conner. 1982. Small-Scale Fisheries of San Miguel Bay,
Philippines: Occupational and Geographic Mobility.
Manila: International Center for Living Aquatic Resources
Management.
Beardsley, M. C. (1958) Aesthetics: Problems in the Theory of
Criticism. New York:Harcourt, Brace and World.
Beardsley, M. C. (1976) ‗Is art Essentially Institutionalist‘ in: L.
Agaard-Morgensen (ed. ) Culture and Art. Atlantic
Highlands: Humanity Press.
Becker. H. S. (1982), art Worlds. Berkeley: University of California
Press.

415
Blumer, H. (1969) Symbolic Interaction, Perspective and Method.
Englewood-Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Bourdieu, P (1996) The Rules of Art, Genesis and Structure of the
Literary Field. Cornwall:Stanford University Press.
Bredow, 2000, Civil-Military Relations and Democracies, artikel,
pada http://staff-www. uni-marburg.
de/~vonbredo/online_texte/Civil-Military-
Relations&Clausewitz_Bredow. pdf
Brinton, M. C and V. Nee (eds. ) (1998) The New Institutionalism in
Sociology. NewYork: Russell Sage Foundation.
Callon, M. (2004) ‗Actor-Network-Theory – The Market test‘ in: J.
Law and J. Hassard (eds. ) (2004), pp 181-195.
Carroll, N. (1999) Philosophy of Art. A Contemporary Introduction.
London andNew York: Routledge.
Cockburn, C. 1983. Brothers. London: Pluto Press Limited.
Couto, Nasbahry dan Minarsih. 2009. Seni Rupa Teori dan Aplikasi.
Padang: UNP Pres.
Couto, Nasbahry. 2000 (2006). Kritik dan Konvensi dalam Seni
Rupa. Padang: Universitas Negeri Padang
Couto, Nasbahry. 2008. Budaya Visual Seni Tradisi Minangkabau,
Padang. UNP Press
Danto, A. (1981). The transfiguration of the commonplace.
Cambridge: Harvard University Press.
Danto, A. (1997) After the End of Art. Contemporary art and the
Pale of History. PrincetonNJ: Princeton University Press.
Davies, S. (1991) Definitions of Art. Ithaca, London: Cornell
University Press. –. (2006) The Philosophy of Art. Oxford:
Blackwell Publishing.

416 Nasbahry Couto & Indrayuda


Deacon, H. J. (1989). Late Pleistocene palaeontology and
archaeology in the Southern Cape, South Africa. In P.
Mellars & C. Stringer, (Eds. ), (pp. 547-564).
Deegan, Mary jo, 1988, W. E. B. Du Bois and the women of hull-
house, 1895-1899
Dickie, G. (1971) Aesthetics, an Introduction. Indianapolis: Pegasus.
Dickie, G. (1974) art and the Aesthetic: An Institutional Analysis.
Ithaca: Cornell UniversityPress.
Dickie, G. (1984) The art Circle: A Theory of Art. New York:
Haven .
Dickie, G. (1988) Evaluating Art. Philadelphia: Temple University
Press.
DiMaggio, P. J. (1987) ‗Classification in art‘ in: American
Sociological Review, pp 440-455. –. (1991) ‗Constructing
Organizational Fields as a Professional Project: U. S.
ArtMuseums, 1920-1940‘ in: Powell and DiMaggio
(1991), pp 267-292.
DiMaggio, P. J. and K. Stenberg (1985) ‗Why Do Some theatres
Innovate Morethan Others. An Empirical Analysis‘ in:
Poetics no 14, pp 107-122.
DiMaggio, P. J. and W. Powell (1991 [1983]) ‗The Iron Cage
Revisited: InstitutionalIsomorphism and Collective
Rationality‘ in Powell and DiMaggio (1991), pp 63-82.
Dissanayake, Ellen (2003) " art in Global Context: An
Evolutionary/Functionalist Perspective for the 21st
Century", International Journal of Anthropology 18:4,
245-258.
Durkheim, E. (1964). The dualism of human nature and its social
conditions. In K. H. Wolff (Ed. ), (C. Blend, Trans. ),
Essays on sociology and philosophy by Emile Durkheim et

417
al. (pp. 325-340). New York: Harper and Row. (Original
work published 1914)
Dutton, Denis (2009). The art instinct: beauty, pleasure, & human
evolution. Oxford University Press US. ISBN 0-19-
953942-1.
Ernst, Cassirer. 1987. Manusia dan Kebudayaan Sebuah Essai
Tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia
Feldman, E. B. 1967. arts as Image and Idea. New Yersey: Prentice
Hll Inc.
Foster, H. (1996) The Return of the Real: The Avant-garde at the
End of the Century. Cambridge, MA: MIT Press.
Fraenkel, Jack, R. dan Wallen Norman, F. (1993) How to Design
and Evaluate Research in Education, New York:
McGraw-Hill. Inc.
Friedson, 1970. Profession of medicine: A study of the sociology of
applied knowledge
Gadamer, H. G. (1986 [1960] Hermeneutik I. Wahrheit und
methode. Grundzüge einer philosophischenHermeneutik.
Tubingen: J. C. B. Mohr.
Gadamer, H. G. (1986) The Relevance of the Beautiful and Other
Essays. CambridgeUniversity Press.
Geist, V. (1978). Life strategies, human evolution, environmental
design. New York: Springer.
Goehr, L. (1989). Being true to the work. Journal of Aesthetics and
art Criticism 47(1), 55-67.
Gottdiener, Mark and Ray Hutchison. 2006. The New Urban
Sociology, 3rd edition. Boulder, CO:Westview Press,
Grint, K. and S. Woolgar (1992) ‗Computers, Guns and Roses:
What‘s Social about being Shot?‘, Science, Technology
and Human Values
418 Nasbahry Couto & Indrayuda
Grint, Keith, 2000 The Sociology of Work: Introduction
Hauser, A, (1978, 1982 ), The Sociology of Art, Chicago: University
of Chicago Press.
Heidegger, M. (1962) Being and Time. New York: Harper & Row.
Heinich, N. (1998c) ‗The Sociology of Contemporary Art:
Questions of Method‘ in: J. Schaeffer (1998). pp 65-76.
Heinich, N. (2000b) ‗Howard S. Becker‘s art Worlds revisited‘ in:
Boekmancahier no 44, pp 200-202.
Hightower, Jim. 
 1973. 
 Selections
 from
 Hard 
Tomatoes,

Hard
 Times. 
Cambridge, 
MA:
Schenkman.
Hofstee, E. W. 1963. "Rural Sociology in Europe. " Rural Sociology
Kamerman dan Martorella, 1983. Performers & performances: the
social organization of artistic work
Kant, I. (2000 [1790]) Critique of the Power of Judgment.
Cambridge: CambridgeUniversity Press.
Katz, R. (1982). Boiling energy: Community healing among the
Kalahari Kung. Cambridge: Harvard University Press.
Kazutaka Hashimoto. 2002. New Urban Sociology in Japan: the
changing debates. International Journal of Urban and
Regional Research, 2002, vol. 26, issue 4, pages 726-736
Kieran, M. (2002) ‗Value of Art‘ in: B. Gaut and D. McIver Lopes
(eds. ) TheLondon, New York: Routledge, pp 215-226.
Kusnadi Dkk. 1986. Sejarah Seni Rupa Indonesia. Jakarta:
Depdikbud.
Laermans, R. (2005) Reassembling the Social. An Introduction to
Actor-Network-Theory. Oxford:Oxford University Press.
Law, J. (2004) ‗After ANT: complexity, naming and topology‘ in: J.
Law and J. Hassard (eds. ) (2004), pp 1-14.

419
Law, J. and J. Hassard (eds. ) (2004 [1999]) aktor Network Theory
and After. Oxford:Blackwell Publishing.
Luhmann, N. (2000) art as a Social System. Stanford: Stanford
University Press.
Maanen, Hans van (2004) ‗How Contexts Frame Theatrical Events‘
in: V. A. Cremona et al. (eds. ). Amsterdam, New York:
Rodopi Editions, pp 243-278.
Maanen, Hans van, 2009, How To Study art Worlds: On the Societal
Functioningn of Aesthetic Values, Amsterdam: Amsterdam
University Press
Mead, G. H. (1934) Mind, Self and Society.
Moser, I. and J. Law (2004) ‗Good passages, bad passages‘ in: J.
Law and L. Hassard(eds. ) (2004), pp 196-219.
Nee, V. (1998) ‗Sources of the new Institutionalism‘ in: Brinton and
Nee (1998), pp 1-16.
Nee, V. and P. Ingram (1998) ‗Embededness and beyond:
Institutions, Exchange, and Social Structure in: Brinton
and Nee (1998), pp 19-45.
Nelson, R. (2004) ‗Live or Wired? Technologizing the Event‘ in: V.
A. Cremona etal. (eds. ) (2004). Amsterdam, New York:
Rodopi, pp 303-316.
Newby, 1980. Research ini rural Sociology,
Popenoe, David. 1983. Sociology, Englewood Cliffs/N. J. : Prentice-
Hall
Powell, W. and P. J. DiMaggio (eds. ) (1991) The New
Institutionalism in OrganizationalAnalysis. Chicago:
University of Chicago Press.
Rogers EM, FF Shoemaker. 1971. Communication of innovations: A
crosscultural approach (2nd ed. of Diffusion of
innovations). New York: Free Press.
420 Nasbahry Couto & Indrayuda
Rosenblum, Barbara, 1978, Photographers at Work: A Sociology of
Photographic Styles
Roucek and Warren. 1962. Sociology. An Introduction. Peterson,
New York: Littlefield, Adam & Co.
Selo Soemardjan & Soelaman Soemardi, Setangkai bunga sosiologi
Buku bacaan untuk kuliah pengantar sosiologi Jakarta:
Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1984
Shils, E. (1966). Ritual and crisis. In J. Huxley (Ed. ), (pp. 447-450).
Spencer, H. (1880-82). The aesthetic sentiments. In
Principles of psychology, 2 (2).
Soedarso Sp. , Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern, CV
Studio Delapanpuluh Enterprise & BP ISI Yogyakarta,
Yogyakarta, 2000
Soekanto, Soerdjono, 1986 Pengantar Ilmu Sosial, Bandung: Bumi
Aksara
Sorokin, Pitirim (1957) Social and Cultural Dynamic, 1-Volume
Edition, Boston: Porter Sargent. Spencer, Herbert, (1967)
Principle of Sociology, edited and with an introduction by
Robert L.
Spencer, Meta dan Alex Inkeles (1982), Foundations of Modern
Sociology, N. Y: Prentice-Hall
Stangos, Nikos (1981), Concepts of Modern Art,
Sutton, P. , (Ed. ) (1988). Dreamings: The art of aboriginal
Australia. New York: B Braziller.
Wajcman, Judi, 1991 Feminism Confronts Technology, N. Y. :
Polity Press
Weber, M. (1958 [1895]), The Rules of Sociological Method. 2nd
ed. New York: FreePress.
Weitz, M. (1956) ‗The Role of Theory in Aesthetics‘in: The Journal
of Aestheticsand art Criticism no 15, pp 27-35.
421
White, R. (1989). Visual thinking in the Ice Age. Scientific
American, July, 92-99.
William Ogburn dan Meyer F, Nimkoff . 1959. A handbook of
sociology, London, K. Paul, Trench, Trubner & Co. , Ltd
Zoest, CV. Aart. van. 1993. Semiotika tentang Tanda, Cara
Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta:
Yayasan Sumber Agung
Sumber Encyclopaedia dan Kamus
Britannica Encyclopaedia. 2012. Pierre-Bourdieu, sumber:
http://www. britannica.
com/EBchecked/topic/860434/Pierre-Bourdieu, diakses 10
maret 2012
Encyclopaedia Encarta, 2009, CD Room. Microsoft ® Encarta ®
2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights
reserved
Kamus Bahasa Indonesia Inggris, sumber:
http://kamusbahasainggris. com/
Kamus Besar Bahasa Indonesia, sumber internet, http://bahasa.
kemdiknas. go. id/kbbi/index. php

Sumber Internet
7th Conference of the Research Network Sociology of the Arts, 5–8
September 2012, Vienna, Austria, Call For Papers,
Sociology of the arts – Artistic Practices, sumber:
http://ebookbrowse. com/call-for-papers-vienna-5-8-sept-
2012-esa-rn021-pdf-d314056890, diakses desember 2012
Abbing, Hans, Why Are Artists Poor?: The Exceptional Economy of
the Arts, sumber: http://www. hansabbing.
nl/DOCeconomist/SUMMARY. pdf, diakses September
2012

422 Nasbahry Couto & Indrayuda


Analytical Possibilities, sumber: http://www. anpad. org.
br/periodicos/arq_pdf/a_596. pdf, diakses September 2012
Art, 2013, sumber: Wikipedia, http://en. wikipedia. org/wiki/Art,
2013
Art_Vs_Non-Art, sumber: http://greatergood. berkeley.
edu/article/item/art_vs_non-art
Autopoiesis, sumber: http://en. wikipedia. org/wiki/Autopoiesis
Balipost. 2008. Bagaikan Cermin yang Retak, sumber: http://www.
balipost. co. id/mediadetail.
php?module=detailberitaindex&kid=15&id=7270, Diakses
pada tanggal 24 April 2012
Berger, John, Ways of Seeing, sumber: http:/v5. books. elsevier.
com/bookscat/samples/9780240516523/9780240516523.
PDF, diakses desember 2011
Cempaka, R. Gilang, sumber: http://jurnal. pdii. lipi. go.
id/admin/jurnal/7410287303_1412-0755. pdf,
Classificatory Disputes About art, 2012, sumber: http://en.
wikipedia. org/wiki/Classificatory_disputes_about_art,
diakses September 2012
Clóvis L. Machado-da-Silva. 2006. Organizational Fields and the
Structuration Perspective:
Cobaunik, Karya Seni Digital: Foto Biasa Yang Luar Biasa. 2012.
sumber: http://cobaunik. blogspot. com/2012/10/karya-
seni-digital-foto-biasa-yang. html,, diakses September
2012
Couto, Nasbahry. 2011. Standar Pendidikan Seni dan Budaya,
sumber: http: //nasbahrygalleryedu. blogspot.
com/2011/10/standar-pembelajaran-seni-dan-budaya. html,
diakses Nopember 2011

423
Couto, Nasbahry. 2013. Kerja Seni dan Istilah Seniman, sumber:
Nasbahry Gallery, http://visualheritageblog. blogspot.
com/
Danusiri, M. , Pandangan Islam Tentang Seni, oleh M. Danusiri
Dosen DPK UNIMUS dari IAIN Wali 9 Semarang,
sumber http://danusiri. dosen. unimus. ac. id/materi-
kuliah/fbba/pandangan-islam-tentang-seni/, Diakses pada
tanggal 24 April 2012
Diskusi Dutton dengan Overing, sumber: http://denisdutton.
com/weiner_review. htm, diakses desember 2012
Dutton, Denis, 1995, Is Aesthetics a Cross-Cultural Category?
sumber: Pacific Arts, http://denisdutton.
com/weiner_review. htm, diakses desember 2012
Dutton, Denis, sumber: http://www. nytimes.
com/2009/02/01/books/review/Gottlieb-t. html?_r=0,
diakses September 2012
Ganjar, Gumilar, Sedikit Tinjauan (Lagi) Terhadap Pasar Seni Rupa
Indonesia, sumber: http://gumilarganjar. wordpress.
com/2013/01/26/sedikit-tinjauan-lagi-terhadap-pasar-
seni-rupa-indonesia/ diakses 2013
Goguen, Joseph A, What Is Art?, sumber: Journal of Consciousness
Studies, 7, No. 8–9, 2000, pp. 7–15, diunduh dari:
http://www. imprint. co. uk/pdf/Introduction. pdf, diakses
desember 2011
Harian Sobek, Damien Hirst, Seonggok Bangkai Yang Menjadikan
Seniman Terkaya di Dunia, sumber: http://www.
hariansobek. com/2010/07/damien-hirst-seonggok-
bangkai-yg. html, diakses September 2012
John, Paul: ‖Seni sebagai Weltanschauung (ideologi): Sebuah
Tinjauan Teori Sosiologi dalam Seni, sumber: http:

424 Nasbahry Couto & Indrayuda


//www. john. paul1@washburn. edu, diakses desember
2011
Jones, Stephen, Interaction Theory and the Artwork, papers,
sumber: http://research. it. uts. edu.
au/creative/interaction/papers/interaction04_21. pdf,
diakses September 2012
Mapson, Lisa. Kesenian, Identitas, dan Hak Cipta: Kasus
„Pencurian‟ Reog Ponorogo, sumber: http://www. acicis.
murdoch. edu. au/hi/field_topics/lisa_mapson. pdf,
Diakses pada tanggal 24 April 2012
Meis, Morgan, (tanpa tahun) The art of Shame, Without an aesthetic
or intellectual experience, is there anything left to art?,
tentang Marchel Duchamp, sumber: http://www.
thesmartset. com/article/article12041201. aspx diakses
desember 2012
Pendidikankarakter, Wajah Sistem Pendidikan Di Indonesia
http://www. pendidikankarakter. com/wajah-sistem-
pendidikan-di-indonesia/, diakses 2013
Pesantren, 2013. KHR Ahmad Azaim Ingin Santrinya Bisa Rekaman,
sumber: http://www. nu. or. id/a, public-m, dinamic-s,
detail-ids, 46-id, 41974-lang, id-c, pesantren-t,
KHR+Ahmad+Azaim+Ingin+Satrinya+Bisa+Rekaman-.
phpx, diakses 2013
Purnama, Ari Ernesto, Memetakan Kompleksitas Kajian dan Teori
Film, sumber: http://cinemapoetica. com/esai/memetakan-
kompleksitas-kajian-dan-teori-film, diakses September
2012
Robert J. Janal, 2011, Institutions Of Art, sumber: http://books.
google. co. id/books/about/Institutions_Of_Art.
html?id=d888SVTIaCsC&redir_esc=y, diakses September
2012

425
Sucitra, Arya (2012), Transformasi Seni Rupa Bali, Pita Maha
„Koalisi‟ Estetis Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa
Modern, sumber: http://karyajurnal. blogspot. com/,
Diakses pada tanggal 24 April 2012
Supangkat, Jim . 2012. Indonesia art News: Infrastruktur, Museum,
Sejarah Seni Rupa Indonesia, sumber:
http://indonesiaartnews. or. id/artikeldetil. php?id=168,
diakses September 2012
Suryohadiprojo, Sayidiman. (1994). Makna Modernitas dan
Tantangannya terhadap Iman. sumber: http://sayidiman.
suryohadiprojo. com/?p=198, Diakses pada tanggal 24
April 2012
The Difference Between art And Design, sumber: http://www.
webdesignerdepot. com/2009/09/the-difference-between-
art-and-design/
Torres & Kamhi, The Definition of Art, sumber: http://www. aristos.
org/whatart/What%20Art%20Is%20-%20Ch.
%206%20(The%20Definition%20of%20Art)%20-
%20full%20text. pdf, diakses September 2012
Visitingjapan, . 2008. Studi Tentang Gutai art Di Hyogo Prefectural
Museum Of Arhttp://visitingjapan. wordpress.
com/2008/11/09/studi-tentang-gutai-art-di-hyogo-
prefectural-museum-of-art/, diakses 2013
Wattimena, Reza A. 2010. Teori Sistem Masyarakat Niklas
Luhmann, sumber: http://rumahfilsafat.
com/2010/01/03/teori-sistem-masyarakat-niklas-luhmann/,
diakses 2013
Who-Needs-Live-Art, sumber: http://lalaishere. net/2011/08/who-
needs-live-art/

426 Nasbahry Couto & Indrayuda


Akulturasi Pembauran atau perpaduan kebudayaan kelompok ras yang
bertemu.
Antropologi Ilmu yang mempelajari tentang manusia.
Arca, Patung, (sculpture) suatu karya seni tiga dimensi, yang dibuat
dengan memahat, dengan modeling, dikonstruksi, atau dicetak.
Arsitektur (architecture)adalah bentuk-bentuk perancangan (designing)
dan perencanaan (planning) pembangunan struktur-struktur
seperti rumah, mesjid, jembatan, pusat perbelanjaaan, bangunan
kantor, sekolah, dan lain-lain. Arsitektur lazim ditemukan pada
sepanjang sejarah kebudayaan manusia.
Budaya AkademikElit, yaitu istilah yang dipakai di mancanegara terhadap
budaya dan pengetahuan yang diajarkan secara resmi melalui in-
struksi dan kurikulum formal oleh sekolah, perguruan tinggi,
museum, dan konservatori, sebagai lawan budaya rakyat atau
budaya populer.
Budaya populer, yaitu budaya dan ilmu pengetahuan yang diteruskan
melalui media massa seperti internet, surat kabar, radio, televisi,
dll
Budaya Rakyat, yaitu pembelajaran yang diteruskan dari waktu ke waktu
secara informal dari mulut ke mulut, melalui imitasi, dan
ketaatan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Selanjutnya juga,
dikenal sebagai budaya tradisional dan kehidupan rakyat.
Budaya visual (visual culture), adalah kategori yang luas dari imaji-imaji
atau persepsi visual yang hidup pada budaya tertentu. Budaya
visual tidak terbatas pada benda seni visual tetapi semua hal yang
dapat dilihat dan dirasakan dan merupakan karakteristik imaji
yang hidup pada budaya tertentu. Produk-produk seperti filem,
kartun, animasi dan video dapat menggambarkan kakarteristik
budaya visual yang khas masyarakat tertentu.
Budaya yaitu cara hidup sekelompok orang, termasuk adat istiadat,
kepercayaan, seni, lembaga dan pandangan dunia. Budaya
diperoleh melalui banyak cara dan selalu berubah.
Cetakan (print), printmaking- proses seni untuk menghasilkan suatu
kesan pada sebuah permukaan, yang dapat di cetakkan
berulangkali untuk menghasilkan gambaran serupa. Beberapa
proses pencetakan yang dapat dilakukan dalam ruang kelas tanpa
427
alat khusus diantaranya adalah teknik stensil, blok, dan
monoprint.
Desain (design)- dalam arti sempit adalah pengorganisasian,
ancangan/rencana atau pengaturan elemen karya karya seni
menjadi karya seni. Desain dalam arti luas adalah pemecahan
masalah pembuatan benda pakai untuk kegunaan industri massal
Disiplin Artistik, yaitu cabang pengetahuan dan instruksi dalam seni,
misalnya, seni rupa, seni pertunjukan, seni sastra, seni rakyat,
seni media.
Ekspresionisme, yaitu aliran seni yang mementingkan ungkapan emosi
dan. Dalam seni rupa pelopornya ialah Vincent, Van Gogh dan
para pengikutnya:Emil Nolde, Karl Scmidt dan Mondesohn.
Empati Memahami perasaan orang lain:kemampuan untuk mengidentifi-
kasi dan memahami perasaan atau kesulitan orang lain.
Estetika , istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf jerman ber-
nama alexander gottlieb baumgarten (1714-1762) lewat salah
satu karyanya. Menurutnya, estetika merupakan ilmu pengeta-
huan tentang keindahan. Secara etimologis (bahasa), kata estetika
berasal dari kata dalam bahasa yunani aesthesis yang berarti pen-
gamatan, pencerapan inderawi atau pemahaman intelektual.
Etika Etika secara etimologi berasal dari bahasa yunani adalah ethos,
yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom).
Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang me-
rupakan istilah dari bahasa latin, yaitu mos dan dalam bentuk ja-
maknya mores, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan),
dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Evaluasi, yaitu penentuan sistematis, senilai, dan pentingnya sesuatu atau
seseorang menggunakan satu set kriteria standar. Evaluasi sering
digunakan untuk mengkarakterisasi dan menilai mata pelajaran
yang menarik termasuk seni.
Fasilitasi Sosial adalah sebuah teori tentang kecendrungan orang berki-
nerja lebih baik jika berada dihadapan orang-orang lain (sosial),
ada tiga teori (1) teori Zajonc (1965) tentang kegairahan, 2) teori
evaluasi Henchi dan Kaca (1968), 3) teori perhatian oleh atas
konflik oleh Robert Barron (1980)
Gambar(drawing) adalah seni (skill) untuk merepresentasi kan sebuah
objek, gagasan, dan lainnya pada sebuah permukaan dengan
menggunakan pensil, krayon, marker, pena, atau lain-lainnya,
428 Nasbahry Couto & Indrayuda
atau menggunakan material penanda lainnya untuk membuat
garis atau nada hitam–putih, pada permukaan datar.
Gaya (style) adalah corak, tipe, karakter seni yang berulang muncul pada
seorang seniman atau kelompok seniman. Gaya adalah sebuah
karakter bagaimana seseorang membuat karya seni atau dengan
ungkapan tertentu yang khas dari komunitas budaya atau periode
waktu tertentu.
Genre yaitu suatu jenis atau kategori (misalnya, musik - opera, oratorio;
teater- tragedi, komedi, tari - modern, balet. Bisa juga diartikan
sebagai seni lukis yang menggambarkan adegan kehidupan
sehari-hari).
Guru profesional. Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan
tugas profesi kependidikan mampu menunjukkan keprofesiona-
lannya yang ditandai dengan penguasan kompetensi akademik
kependidikan dan kompetensi penguasaan substansi dan/ atau bi-
dang studi sesuai bidang ilmunya.
Hasil belajar. Setiap proses pembelajaran, keberhasilannya diukur dari se-
berapa jauh hasil belajar yang dicapai, di samping diukur dari
segi prosesnya. Bloom mengelompokkan hasil belajar dalam tiga
wilayah (domain) atau dikenal dengan taksonomi bloom, yaitu
sebagai berikut. (1) ranah kognitif (pengetahuan), (2) ranah afek-
tif (sikap), dan (3) ranah psikomotor (keterampilan).
Impresionisme, cirinya:melukis kesan alam secara langsung dan cepat
berdasarkan kaidah hukum cahaya, garis kontur/blabar dan kaya
dengan warna, pelukisnya :Claude Monet, Degas, Pisarro dan
lain-lain .
Informal group, adalah kelompok yang tidak mempunyai struktur dan or-
ganisasi biasanya terbentuk karena pertemuan yang berulang kali
menjadi dasar bagi bertemunya kepentingan dan pengalaman
yang sama.
Informances, yaitu istilah yang dipakai di mancanegara, dimana kegiatan
seni yang berpusat pada siswa. Menampilkan karya kelompok,
yang berguna untuk memperlihatkan kemajuan akademik melalui
musik, seni visual, drama, tari, pembacaan, lagu, dan kegiatan
berbasis kinerja lainnya.
Interaksi sosial yaitu suatu hubungan yang terjadi antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelom-
pok yang terjadi dalam suatu masyarakat.

429
Isi (content) adalah pesan (message) atau tema karya seni seorang
seniman, yang diusahakannya untuk dikomunikasikannya pada
karya seni.
Jalinan Tema Kurikulum & Pemetaan Kurikulum, yaitu brainstorming
terhadap ide tunggal dan memperluaside-ide melalui web sebagai
ilustrasi tentang apa yang dapat digunakan dalam tema atau unit
atau pendekatan kepada proyek kurikulum.
Karya Iseng adalah karya yang dapat memancing surprise sebab mengan-
dung unsur kejutan, humor, aneh, yang dilanggar adalah kelazi-
man, jenis karya yang termasuk ini misalnya karya komical, tra-
gedi, ironi, ejekan, satire, kritikan, humor, lucu, aneh
Kelompok sosial Kelompok yang anggotanya mempunyai kesadaran jenis,
berhubungan sosial antar anggota, dan tidak ada kesadaran jenis.
Kolase (collage), adalah teknik seni abad ke duapuluh untuk membuat
gambar dari potongan-potongan- berbagai material, seperti
kertas, foto, lembaran kain, kawat, dll., yang dilekatkan pada
sebuah permukaan datar.
Komposisi (composition)- adalah pengaturan objek-objek, bentuk-bentuk,
warna-warna pada sebuah sebuah karya seni.
Konsep dan prinsip-prinsip desain (principles of design)- adalah konsep-
konsep pengaturan yang berasal dari tradisi seni Eropa Barat,
antara lain, keseimbangan, irama, pusat perhatian (center of
interest), aksentuasi (emphasis), kontras, pengulangan/repetisi,
gerakan, variasi, dan kesatuan. Meskipun hasil karya yang bukan
dari budaya Eropah dapat mengandung prinsip-prinsip seperti ini,
atau tidak diciptakan menurut prinsip-prinsip ini, tetapi karya
budaya non Eropa juga tidak harus dinilai menurut prinsip-
prinsip seperti ini.
Konteks yaitu sebuah set kondisi latar belakang yang saling terkait
(misalnya, sosial, ekonomi, politik) yang mempengaruhi dan
memberi makna untuk pengembangan dan penerimaan pikiran,
ide atau konsep dan yang mendefinisikan budaya pada era
tertentu.
Kreatip, yaitu kemampuan untuk bercipta, kemampuan melihat masalah
dan memecahkan masalah, ber-inovasi atau membuat sesuatu
yang baru
Kriteria estetik yaitu standar untuk membuat penilaian tentang nilai
artistik sebuah karya seni, berasal dari nilai-nilai budaya dan
emosional dan makna kognitif.
430 Nasbahry Couto & Indrayuda
Kritik formal yaitu diskusi dan penilaian dari kosakata (vocabulary)
elemen/unsur-unsur dan prinsip-prinsip penting dari seni.
Kritik Intuitif yaitu diskusi dan penilaian yang berwawasan subjektif dari
seseorang.
Kritik kontekstual yaitu diskusi dan penilaian dengan
mempertimbangkan faktor-faktor sekitar asal usul dan warisan
budaya tertentu.
Kritik seni (art criticism)- adalah bidang yang melakukan pemeriksaan
(inquiry), penginterpretasian (interpret) dan penilaian pekerjaan
seni, yang lazim dilakukan dengan pertimbangan studi
komparatif (perbandingan).
Kurikulum Berbasis Seni dan Budaya, di mana seni dihubungkan dengan
budaya atau menurut pandangan dunia budaya anak didik, lang-
sung pada komunitas mereka misalnya (lingkungan, sekolah dan
atau keluarga, budaya bangsa, budaya dilihat yang secara luas,
sebagai koneksi ke manusia.
Kurikulum Berbasis Seni/Sekolah berbasis Seni, di mana seni sebagai
mata pelajaran pokok dan tampil sebagai titik masuk ke aspek-
aspek lain dari sistem instruksi; di mana seni dipentingkan untuk
diajarkan sementara mata pelajaran lain diajarkan melalui cara
seni. Pendekatan ini memadukan seni di semua bidang
kurikulum.
Kurikulum Seni Interdisipliner, yaitu pembelajaran melalui tema seni ter-
padu, di mana setiap disiplin seni diarahkan oleh tema tunggal.
Guna memberi pengalaman, pertanyaan, dan pemecahan
masalah.
Kurikulum Seni Terintegrasi, merupakan pendekatan yang
menggabungkan seni ke dalam kurikulum inti (juga dikenal
sebagai ―kurikulum seni terintegrasi‖) Siswa terlibat dalam
proses kreatif yang menghubungkan sebuah bentuk seni dan area
subyek lain (misalnya, seni dengan Bahasa Inggris) dan dengan
tujuan mendalami kedua bidang itu.
Kurikulum Seniprofesional, di mana seni diajarkan sebagai pelatihan yang
serius dan persiapan untuk berkarir dalam seni; hal ini sering di-
lakukan di Amerika untuk siswa yang dianggap berbakat dan se-
bagai usaha mencari pelatihan lanjutan dalam bidang seni
tertentu.
Kurikulum Tematik, yaitu kurikulum interdisiplin/ terpadu,
diselenggarakan di sekitar tema, dengan banyak cabang kegiatan
431
seni dan penelitian secara mendalam yang berfokus pada isi
tema.
Kurikulum Terpadu, yaitu istilah yang dipakai di Amerika dimana
pendidik dan seniman yang bekerja sama untuk membuat
rencana untuk memajukan tujuan pendidikan dalam seni dan
bidang kurikulum lainnya.
Kurikulum Adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pe-
doman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu.
Lambang (symbols)- yaitu imaji visual yang mewakili atau menghadirkan
hal lain. Contoh, sebuah kata adalah sebuah lambang yang
mewakili hal lain dari pada kata itu. Bendera misalnya mewakili
sebuah negara, adalah sebuah simbol.
Lukisan benda mati (still life) – adalah sebuah lukisan, atau gambar,
potret, atau karya seni lainnya yang menunjukkan sebuah
susunan/aransir benda-benda mati.
Material/materi- adalah ―sumber‖ (1) untuk menciptakan seni visual,
seperti kanvas, tanah liat, kain, serat, kertas, kayu, film, cat, dll.,
dan (2) untuk mempelajari/studi karya seni, seperti karya seni
repro, buku, videokaset, filemstrip, slide, dan lain lain
Media campuran (mixed media)- yaitu penciptaan karya seni dengan
menggunakan kombinasi lebih dari satu teknik
Media- yaitu pengelompokan material yang dipakai karya seni, seperti
film, minyak, pena dan tinta, pensil dan cat air, Latar tengah
(middle ground) – adalah sebuah area dari sebuah gambaran
diantara latardepan dan latar belakang.
Medium- dalam pengertian umum adalah penggunaan material yang
digunakan oleh seniman untuk menghasilkan suatu karya seni,
seperti campuran pigmen untuk membuat cat lukisan. Dalam
pengertian spesifik adalah penggunaan unsur-unsur visual yang
digunakan seniman atau desainer untuk menghasilkan karya seni.
Sebab pengertian medium tidak dapat di pakai untuk semua jenis
karya seni
Menciptakan, membuat (create)- adalah proses pengerjaan memproduksi
seni dengan menggunakan berbagai material, media dan teknik
tertentu, yang pada umumnya berasal dari sebuah gagasan atau
konsep seniman yang asli, yang disertai keterampilan berpikir
yang tinggi.
432 Nasbahry Couto & Indrayuda
Model Mengajar Berpasangan/Koperatif, halini adalah salah satu cara
mengajar seni di Amerika, dimana pengajaran seni dilaksanakan
melalui pasangan guru biasa dan guru seniman. Gunanyauntuk
mengintegrasikan dan memperkuat satu dengan yang lain
konsep-konsep antara disiplin ilmu seni dan non-seni. Dengan
begitu pengalaman siswa dapat lebih fokus pada bentuk seni atau
pada subjek non-seni, sementara di lain waktu instruksi seni dan
instruksi non-seni dapat dihadirkan dengan lancar. Guru dan se-
niman membuat panduan pelajaran, dan oleh seniman selama
sesi yang berfokus pada seni, dan pembelajaran oleh guru biasa
saat seniman tidak hadir.
Mosaik (mosaic)- lantai atau dekorasi dinding yang dibuat dari potongan
batu kecil, keramic, kulit/kerang, atau gelas/kaca diset ke dalam
plester atau semen pada lantai atau dekorasi dinding itu.
Multi-Disiplin, terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Ketika salah satu subjek
dipelajari dari sudut pandang lebih dari satu disiplin.
Multikulturalisme, adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbe-
daan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendo-
rong terwujudnya pluralisme (keberagaman) budaya sebagai su-
atu corak kehidupan masyarakat.
Multiple Intelligences, satu set teori tentang bagaimana orang belajar
dalam berbagai cara. Teori bahwa tidak ada satu "kecerdasan"
melainkan bahwa ada delapan kecerdasan:linguistik-verbal,
matematika-logis, visual-spasial, kinestetik-jasmani, musikal-
ritmik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.
Naturalisme, melukis objek alam/pemandangan secara visual (forografis)
tanpa ada penafsiran lain. Pelukisnya; Rudolf Bonnet, Le
Mayeur, R. Locatelli dab Albercth Durer.
Neoklasisisme, cirinya objek lukisan sekitar lingkungan istana dan tokoh
agama, bersifat intelektual dan akademis. Semua bentuk dibatasi
dengan garis nyata, berkesan tenang dan agung. Pelopornya
Louis Davis kemudian dilanjutkan oleh Ingres.
Optical Art, cirinya:termasuk seni non objektif dengan menampilkan
bentuk – bentuk geometris atau garis – garis yang diulang secara
teratur rapih dan terperinci dengan warna – warna cemerlang
pelukisnya:Jackson Pollok, William de Kooning dan Andy
Warhol.
Paparan Seni, mengacu kepada kegiatan siswa dalam mengunjungi
organisasi seni dan organisasi budaya untuk melihat contoh seni.
433
Dengan kata lain melaksanakan kunjungan lapangan, atau meli-
hat demonstrasi pagelaran seni yang mungkin terjadi dalam-
lingkungan sekolah. Umumnya, hal ini merupakan peluang
―jangka pendek‖ bagi siswa untuk memahami seni.
Pemandangan (landscape) – yaitu suatu jenis lukisan, gambar, atau foto,
atau jenis karya seni lainnya, yang menunjukkan keadaan alami
atau pemandangan di luar rumah (out door scenes, seperti sungai,
danau, pegunungan, atau pohon.
Pendidikan Estetik, yaitu pendidikan persepsi; pendidikan estetik sebenar-
nya bukan benar-benar adalah tindakan menciptakan karya seni,
tetapi untuk tindakan pengembangan rasa seni. Pendidikan
estetik membantu seseorang mengembangkan kemampuan rasa
melalui karya seni. Dengan kata lain sebagai cara
mengembangkan pengalamancitarasa. Dengan demikian pendi-
dikan estetik adalah pendidikan citarasa, bukan pembelajaran
tentang teori estetik atau filsafat seni.
Pendidikan Kesenian, yaitu istilah kolektif yang mengacu pada
pendidikan yang komprehensif dan sekuensial dalam disiplin
artistik terpisah dan berbeda, seperti:tari, musik, drama, seni
rakyat, seni media dan seni visual. ―pendidikan seni‖ dipakai
sebagai istilah luas, meliputi baik ―seni langsung atau instruksi
bertahap‖ dan ―Seni terintegrasi atau kurikulum seni terinte-
grasi.‖
Pendidikan Nasional, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berda-
sarkan pancasila dan undang- undang dasar negara republik in-
donesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebu-
dayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan peru-
bahan zaman.
Penilaian, yaitu proses menggunakan alat evaluasi yang komprehensif
untuk menentukan nilai, makna, dan tingkat keterampilan atau
prestasi dicapai sebagai hasil dari program pendidikanseni.
Perkakas, Alat (tools)- yaitu instrumen dan peralatan yang digunakan oleh
para siswa untuk menciptakan dan belajar seni, seperti kuas,
gunting, brayers, easel, tungku pengeringan, alat ukir/pahat dan
kamera.
Perluasan Kurikulum Seni, di mana seni dipakai sebagai penggerak untuk
memperpanjang atau memperluas pendidikan seni di luar dinding
sekolah untuk komunitas yang lebih besar dari sekolah seni,

434 Nasbahry Couto & Indrayuda


seperti museum, pusat-pusat seni masyarakat/rakyat, ruang
konser, musik, dll.
Persepsi (perception) adalah sesuatu yang visual dan sensasi yang
disadari, sebagai pembeda (discrimination) dan pengintegrasian
kesan-kesan, kondisi-kondisi, hubungan-hubungan tentang objek,
gambaran dan perasaan.
Persuasif, adalah penggunaan berbagai argumentasi, baik yang benar
ataupun salah yang bertujuan agar pihak lain mengikuti berbagai
teori, kepercayaan atau kegiatan tertentu.
Pilihan Artistik, yaitu pilihan yang dibuat oleh seniman untuk
menyampaikan makna.
Proses kritik yaitu penggunaan dan pemeriksaan berurutan melalui
perbandingan, analisis, pembentukan interpretasi, dan pengujian
hipotesis dan evaluasi untuk membentuk penilaian.
Realisme, cirinya:mengungkapkan kejadian yang sebenarnya dengan
objek lukisan tentang rakyat jelata, kemiskinan atau kepahitan
hidup, penderitaan dan kesibukan – kesibukan, tokohnya
Gustave Courbet dan George Hendrik Breitner.
Respon Estetik adalah sebuah jawaban filosofis untuk kerja seni.
Romantisme, cirinya:bertemakan tentang cerita yang dahsyat atau
kegemilangan sejarah dan peristiwa yang menggugah perasaan,
emosional kaya dengan warna dan kontras cahaya, kesan gerak
lebih menonjol bahkan melebihi kejadian sebenarnya.
Tokohnya:Teodore Gericault, Delaxroix, Cemille Corot,
Rouseau. Millet dan lain-lain .
Ruang Publik yaitu ruang terbuka yang dipakai oleh semua orang atau
komunitas tertentu untuk berintegrasi, menikmati, menonton
pertunjukan, berpidato, dsb.
Sejarah Seni (art history)- adalah bidang pemeriksaan (inquiry),tentang
asal-usul seni visual di seluruh dunia dan atau di dalam
kebudayaan yang spesifik, mencakup unsur sosial, religius,
budaya, filosofis, estetika dan faktor teknologi yang
mempengaruhi perubahan produksinya dari waktu ke waktu.
Seni dalam Kurikulum, salah satu pilihan di mana siswa diminta untuk
mengambil kelas dalam seni visual, drama, tari, dan musik.
Seni dalam Pendidikan, yaitu istilah pendidikan yang dipakai di Amerika
yang mengacu pada masuknya belajar seni dalam arus utama
pendidikan; dimana siswa dan guru bermitra dengan seniman,

435
partisipan seni, dan/atau lembaga budaya untuk menggabungkan
seni ke dalam kurikulum.
Seni EkstraKurikuler, di mana seni diajarkan di luar kurikulum sehari-hari
dan dianggap sebagai kegiatan ekstra kurikuler, sering
dicadangkan untuk jam setelah-sekolah, termasuk dalam hal ini
klub puisi, kelompok musik, klub drama dan produksinya.
Seni komersil (commercial art)- adalah seni grafis yang di produksi untuk
maksud-maksud tertentu seperti iklan dan kemasan.
Seni modern (modern art) – adalah gaya seni yang terakhir, yang sering
dikaitkan orang dengan gagasan dan gaya yang revolusioner di
bidang seni, arsitektur, dan literatur. Seni modern adalah seni
yang dikembangkan pada awal abad 20 sebagai reaksi terhadap
bentuk seni tradisional. Seni Postmodern adalah bagian dari seni
modern, bukan tersendiri, kebanyakan orang mencoba untuk
memisahkannya.
Seni Visual (visual art)- yaitu suatu kategori yang luas yang meliputi
tradisi ilmu seni rupa murni (fine art), seperti gambar, lukisan,
printmaking dan arca; komunikasi visual dan desain seperti film,
televisi, grafis dan desain produk; arsitektur dan seni lingkungan
seperti desain urban, dEsain interior dan desain lanskap; seni
rakyat/folk dan karya seni seperti seni keramik, seni serat,
perhiasan (jewelry), karya kayu, kertas dan material lainnya.
Tanggapan kritik/kritis yaitu tindakan atau proses menggambarkan dan
mengevaluasi media, proses dan makna karya seni dan
menyusun penilaian secara komparatif.
Teknik, adalah sebuah proses/cara dimana material dan alat seni serta
media dipakai untuk menghasilkan seni
Teknologi (technologies)- adalah studi/penyelidikan atau penciptakan
karya seni dengan menggunakan peralatan yang kompleks,
seperti mesin bubut, alat press, komputer, laser dan peralatan
video.
Tema seni, subject matter- yaitu kategorisasi untuk mengidentifikasi tipe
isi karya seni.
Teori Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan
mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.
Misalnya, dalam bidang ilmu ekonomi dikenal teori ekonomi
makro dan mikro, dalam bidang fisika dikenal teori mekanika
Newton dan teori relativitas einstein.

436 Nasbahry Couto & Indrayuda


Terapi Seni, yaitu aplikasi terapeutik melalui sebuah bentuk seni (seni
rupa, tari, dll) sebagai jalan untuk membantu dalam pemulihan
pasien, dan kebutuhan khusus.
Tradisi yaitu pengetahuan, pendapat dan kebiasaan kelompok yang dirasa
penting oleh anggotanya yang terus dilatih dan disebarkan ke
generasi lainnya.
Ungkapan (expression) suatu proses menyampaikan ide-ide, perasaan-
perasaan (feelings) dan maksud-maksud tertentu/ makna
(meanings) yang selektip yang dikomunikasikan dalam berbagai
kemungkinan untuk seni visual, seni tradisi/ rakyat dsb., - pada
lukisan-lukisan dan objek-objek dekoratif seni yang bergaya naif.
Vertical Thinking: yaitu cara berpikir yang ditujukan kepada jawaban
tunggal dan cepat mengambil suatu keputusan, sebagai lawan
berpikir lateral
Workshop, yaitu pengajaran oleh seniman profesional yang bekerja
dengan siswa dan guru di ruang kelas menggabungkan berbagai
pengalaman yang memungkinkan siswa untuk mendapatkan
keterampilan bidang studi.

437
438 Nasbahry Couto & Indrayuda
Nasbahry Couto, lahir di Bukittinggi, 1950, adalah
lulusan S1 dan S, 2 ITB, Bandung. Telah menulis
beberapa buku antara lain: Prinsip dan Konsep Dasar
Visual (1,2) 2007; Budaya Visual Tradisi
Minangkabau (2008), Dimensi Teknologi pada Seni
Rupa (2008), Seni Rupa :Teori dan Aplikasi (2009),
Sejarah Grafis Barat (2009), Konsep Arsitektur
(2010), Psikologi Persepsi pada Kawasan Desain Komunikasi Visual
(2010).

Indrayuda lahir di Padang 17 Juni 1964. S-1


pendidikan Seni Tari pada Sendratasik FPBS IKIP
Yogyakarta dan Magister Sosiologi Antropologi di
Pps UNP serta memperoleh Ph.D pada Universiti
Sains Malaysia dalam bidang kajian Sosiologi
Antropologi Tari dengan Judul Disertasi “Cultural
Development in The Minangkabau Dance Through The Effect of
Social Politics in West Sumatera” (Perkembangan Budaya Tari
Minangkabau dalam Pengaruh Sosial Politik di Sumatera Barat).
Selain menulis beberapa buku Indrayuda juga seorang penulis pada
surat kabar dan Jurnal Ilmiah serta merupakan seorang peneliti. Saat
ini Indrayuda menjadi salah seorang tim Reviewer Penelitian
Desentralisasi UNP dan Super visor dalam bidang seni budaya serta
kritikus seni maupun instruktur dalam bidang Manajemen Seni
Pertunjukan. Indrayuda adalah seorang dosen tetap di Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang.

439
440 Nasbahry Couto & Indrayuda

Anda mungkin juga menyukai