Anda di halaman 1dari 4

HAK DAN KEWAJIBAN SEORANG MUSLIM TERHADAP ALLAH

2.1 HAK DAN KEWAJIBAN


Perkataan hak mempunyai bermacam-macam arti. Dalam Ilmu Akhlak yang dimaksud Hak ialah
sesuatu yang dipunyai oleh seseorang atau kelompok orang. Hak yang dimiliki oleh seseorang atau
kelompok orang itu dapat berupa benda atau wewenang melakukan sesuatu.hak juga dapat diartikan
wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan,
mempergunakan atau menuntut sesuatu. sedangkan yang dimaksud kewajiban ialah apa yang harus
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang kepada orang lain atau kelompok orang lainnya.
Ahmad Amin mengatakan : "Ma lil insan yusamma haqqan, Wama 'alaihi yusamma wajiban". Apa
yang dipunyai oleh seseorang dinamakan Hak, dan apa yang harus diperbuat oleh seseorang kepada
orang lain dinamakan Kewajiban. Dalam redaksi lain, "Al-haqqu ma laka, wal wajib ma 'alaika".Hak
ialah yang engkau punyai, dan kewajiban ialah apa yang engkau harus lakukan (kepada orang lain).
Sebagian ulama menjelaskan yang dimaksud kewajiban ialah "perbuatan akhlak yang ditimbulkan
atau digerakan oleh hati nurani". Dalam bahasa arab. seperti ditulis oleh Ahmad Amin, "al-'amal al-
akhlaqi alladzi yab'atsu 'alal ityani bihi al-dhamir". Perlu diberikan catatan bahwa pengertian
kewajiban atau wajib menurut akhlak berbeda dengan pengertian wajib menurut ilmu fiqh. Kewajiban
menurut akhlak mengandung arti segala sesuatu yang dipandang baik oleh hati nurani, mencakup
segala sesuatu yang wajib maupun yang sunnah hukumnya menurut kategori hukum dalam ilmu fiqh.
Hak dan Kewajiban merupakan dua hal yang saling berkaitan. Oleh karena hak itu merupakan
wewenag dan bukan kekuatan, maka ia merupakan tuntutan, dan terhadap orang lain hak itu
menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati terlaksananya hak hak orang lain. Dengan
cara demikian orang lain pun akan berbuat yang sama pada dirinya. Jika seseorang mempunyai hak,
misalnya hak memiliki sebuah rumah atau sebidang tanah, maka wajib bagi orang lain menghormati
hak itu. Demikian pula wajib bagi yang memiliki hak mempergunakan haknya untuk kebaikan dirinya
dan kebaikan orang banyak. Jadi ada dua kewajiban : pertama, kewajiban yang dibebankan kepada
yang memiliki hak; kedua, kewajiban yang dibebankan kepada orang lain.
2.2 HUBUNGAN ANTARA HAK, KEWAJIBAN DENGAN AKHLAK
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang disebut akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, mendarah daging, sebenarnya dan tulus ikhlas karena Allah. Hubungan
dengan hak dapat dilihat pada arti dari hak itu sendiri yaitu sebagai milik yang dapat digunakan oleh
seseorang tanpa ada yang dapat menghalanginya. Hak yang demikian itu merupakan bagian dari
akhlak, karena akhlak harus dilakukan seseorang sebagai haknya.
Akhlak yang mendarah daging itu kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang
dengannya timbul kewajiban untuk melaksanakannya tanpa merasa berat. Dengan terlaksananya hak
dan kewajiban, maka dengan sendirinya akan mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki.
Disinilah letak hubungan fungsional antara hak dan kewajiban dengan akhlak.
2.3 HAK DAN KEWAJIBAN SEORANG MUSLIM TERHADAP ALLAH
2.3.1 Hak Seorang Muslim Terhadap Allah
Hak yang dimaksud disini adalah, apa yang harus dilakukan hamba terhadap Allah, apa kewajiban
hamba yang merupakan hak Allah. Dan apapula yang menjadi balasan yang pasti Allah berikan
kepada hamba tatkala hamba sudah menunaikan haknya Allah yaitu untuk beribadah kepada Allah
semata dan tidak syirik.
Dan bukan berarti hamba mewajibkan sesuatu terhadap Allah, karena tidak ada sesuatupun yang
dapat memaksa Allah. Akan tetapi yang dimaksud hak hamba terhadap Allah adalah Allah yang telah
menjanjikan terhadap hambanya dan Allah mewajibkan terhadap diri-Nya sendiri untuk memberikan
hak hamba yang sudah menunaikan kewajibannya.
2.3.2 Kewajiban Seorang Muslim Terhadap Allah
Sekurang kurangnya Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam
kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya, Allah adalah
pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup
dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam
diri setiap muslim, maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali
harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.
Namun dengan demikian tidaklah menjadi alasan bahwa Allah SWT butuh disembah dan diagungkan
oleh makhlukNya, bagi Allah baik manusia mau menyembahNya ataupun tidak, maka tidak akan
mengurangi kebesaran dan kemuliaanNya. Hanya saja sudah seharusnya manusia, sebagai ciptaan
Allah, menunjukkan akhlak yang baik kepadaNya.
Di antara beberapa akhlak seorang muslim kepada khaliknya adalah:
a. Tidak Menyekutukan Allah SWT
Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah tidak
menyekutukan Allah. Hanya Allah lah Tuhan yang patut disembah, dan hanya Allah lah Tuhan yang
pantas diagungkan, oleh karena itu tidak ada alasan apapun bagi manusia untuk menyekutukanNya.
Adapun amal manusia seharusnya hanya ditujukan untuk Allah SWT. sehingga manusia harus
membuang jauh-jauh riya’ (menampakkan amal/beramal agar dilihat oleh orang lain).

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan
dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya
(QS. An-Nisa’:116)
b. Taat Terhadap Perintah-Perintah-Nya
Selanjutnya yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah dengan
mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia tidak mentaati-Nya, padahal
Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):
Artinya: “Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemdian mrekea tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap ptutusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.”
Karena taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seorang muslim kepada Allah SWT.
Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya keimanan. Dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan makna ayat di atas dengan bersabda yang artinya:
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa
yang telah datang dariku (Al-Qur’an dan sunnah)." (HR. Abi Ashim al-syaibani)
.
c. Memiliki Rasa Tanggung Jawab Atas Amanah Yang Diembankan Padanya
Etika ketiga yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki rasa tanggung
jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya, kehidupan inipun merupakan
amanah dari Allah SWT. Oleh karenanya, seorang mukmin senantiasa meyakini, apapun yang Allah
berikan padanya, maka itu merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari
Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW
bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang
dipimpinnya. Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi
keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan
pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab
terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa
yang dipimpinnya." (HR. Muslim)
d. Ridha Terhadap Ketentuan Allah SWT
Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha terhadap
segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga
yang berada maupun oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau
hal-hal lainnya. Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin (baca; tsiqah)
terhadap apapun yang Allah berikan pada dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa
keburukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: " sungguh mempesona perkara orang
beriman. Karena segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan
kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan
jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi
dirinya." (HR. Bukhari)
Apalagi terkadang sebagai seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita terhadap sesuatu
sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap baik justru buruk, sementara sesuatu
yang dipandang buruk ternyata malah memiliki kebaikan bagi diri kita.
e. Bersyukur kepada Allah SWT
Tidak ada yang lebih pantas bagi sesuatu “yang telah diberi” selain berterimakasih dan memanfaatkan
segala sesuatu yang telah diberikan untuk tujuan diberikannya. Adapun manusia yang telah diberi
banyak kenikmatan, seharusnya selalu bersyukur kepadaNya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

Artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah:152)
f. Senantiasa Bertaubat Kepada-Nya
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa. Karena hal
ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika kita kepada Allah, manakala sedang
terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera
bertaubat kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 3 : 135) :

Artinya: "Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa dosa mereka. Dan
siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu sedang mereka mengetahui."
g. Obsesinya adalah Keridhaan Ilahi
Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, akan memiliki obsesi dan orientasi dalam
segala aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT. Dia tidak beramal dan beraktivitas untuk mencari
keridhaan atau pujian atau apapun dari manusia. Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan Allah
tersebut, ‘terpakasa’ harus mendapatkan ‘ketidaksukaan’ dari para manusia lainnya. Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW pernah menggambarkan kepada kita: "Barang siapa yang mencari keridhaan
Allah dengan ‘adanya’ kemurkaan manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan manusia juga.
Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah, maka Allah akan
mewakilkan kebencian-Nya pada manusia." (HR. Tirmidzi, Al-Qadha’I dan ibnu Asakir).
Dan hal seperti ini sekaligus merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam dirinya. Karena orang
yang tidak memiliki kesungguhan iman, otientasi yang dicarinya tentulah hanya keridhaan manusia.
Ia tidak akan perduli, apakah Allah menyukai tindakannya atau tidak. Yang penting ia dipuji oleh
oran lain.
h. Merealisasikan Ibadah Kepada-Nya
Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT adalah
merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah yang bersifat mahdhah, ataupun ibadah
yang ghairu mahdhah. Karena pada hakekatnya, seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada
Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berberfirman (QS. 51 : 56):

Artinya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.”
Oleh karenanya, segala aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain sebagainya merupakan ibadah
yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah. Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup
mahdhah saja, seperti shalat, puasa haji dan sebagainya. Perealisasian ibadah yang paling penting
untuk dilakukan pada saat ini adalah beraktivitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak
hokum Allah di muka bumi ini. Sehingga Islam menjadi pedoman hidup yang direalisasikan oleh
masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada umumnya.
i. Banyak Membaca Al-Qur’an
Etika dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah dengan
memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan firman-firman Nya.
Seseeorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga
dengan mukmin, yang mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut nyebut Asma-Nya dan
juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi menakala kita mengetahui keutamaan
membaca Al-Qur’an yang dmikian besxarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan
kepada kita: "Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di
hari kiamat kepada para pembacanya." (HR. Muslim)

DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. H. Ali Anwar Yusuf, M. Si. 2003. Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum.
Bandung: Pustaka Setia.
2. Sayyid Ahmad Hasyimi Al-Mishri. Tt. Mukhtar Al-Ahadits An-Nabawiyyah. Surabaya: Haromain
Jaya.
3. Drs. Umar Barmawi. 1976. Materi Akhlak. Bandung: CV. Ramadhani

Anda mungkin juga menyukai