Anda di halaman 1dari 1

Pemetaan Paradigma Sosial Menurut Jürgen Habermas.

Penulis: Isba

Jürgen Habermas (pemikir mazhab Frankfurt) memetakan ilmu sosial ke dalam tiga paradigma yaitu:
1) Paradigma Instrumental knowledge 2) Paradigma Interpretatif 3) Paradigma kritik.
Secara berturut-turut akan dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, paradigma interpretatif knowledge (pengetahuan instrumental), paradigma ini sebenarnya


adalah paradigma positivisme. Dimana positivisme ini adalah paradigma yang diadopsi dari
pandangan dan metode ilmu alam untuk memahami realitas. Positivisme berangkat dari pemahaman
bahwa realitas sosial dapat dipahami dengan metode penelitian ilmu alam. Dalam bahasa lain bahwa
penelitian sosial harus didekati dengan metode ilmiah yaitu objektiv, netral, dan bebas nilai.

Kedua, paradigma interpretatif. Paradigma ini beriringan dengan lahir dan berkembanganya
fenomenologi, etnometodologi, dan teori-teori aksi. Dasar filsafat dari paradigma ini adalah
fenomenologi dan hermeneutics. Paradigma interpretatif ini kerap kali menentang aliran yang
disebutkan pada poin sebelumnya yaitu aliran sosiologi positivisme. Ungkapan terkenal dari
paradigma interpretatif ini adalah "biarkan fakta bicara atas namanya sendiri".

Ketiga, paradigma kritik. Berbeda dengan dua paradigma sebelumnya, paradigma kritik dalam ilmu
sosial berarti ilmu tidaklah boleh hanya sekedar dipahami, melainkan ilmu hadir untuk membebaskan
manusia dari ketertindasan. Kritikannya pada postivisme adalah ilmu tidak ada dan seharusnya tidak
netral sebab seyogyanya ilmu itu hadir membawa misi pembebasan dari ketertindasan.

Kritikan paradigma kritis pada positivisme misalnya adalah, positivisme meletakkan rakyat sebagai
objek pasif (passive objects) untuk diteliti. Positivisme meletakkan rakyat sebagai objek rekayasa
sosial. Postivisme sosial menganggap bahwa rakyat tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri.

Dengan demikian, paradigma kritis menekankan pentingnya subjektifitas manusia, pemihakan serta
kesadaran dalam mengembangkan teori. Sekali lagi, ilmu seharusnya dijadikan sebagai alat
pembebasan dari penindasan. Demikian misi dari paradigma kritis ini.

Referensi: M. Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.

Anda mungkin juga menyukai