Anda di halaman 1dari 7

BERTEOLOGI DI TENGAH PANDEMI:

Gereja dan Agama-agama Merespons Pandemi Covid-19


Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa, D.S.A.

I
Sebagai dosen di sekolah tinggi teologi dan juga anggota badan pengurus sinode gereja di mana
saya menjadi anggota serta aktif dalam dua kelompok ekumenis di kota di mana saya
berdomisili, ada dua persoalan pokok yang menjadi perhatian saya selama pandemi ini. Yang
pertama adalah bagaimana Gereja dan orang-orang Kristen merespons pandemi Covid-19? Dan
yang kedua, bagaimana orang-orang beragama merespons pandemi Covid-19?
Sejumlah persoalan yang saya temukan mengemuka di kalangan Gereja dan orang-orang
Kristen di dalam gereja saya dan juga di gereja-gereja lain di awal pandemi adalah sbb.: apakah
yang harus kita lakukan bila ibadah secara tatap muka tidak lagi diizinkan? Haruskah kita pindah
begitu saja ke ibadah online? Apakah pikiran-pikiran teologis yang dapat membantu kita
memahami bahwa model ibadah itu masih dapat diterima sebagai sebuah ibadah? Apakah
bentuk-bentuk ibadah online yang masih bisa kita terima dalam kerangka pemahaman teologis
kita tentang ibadah? Adakah opsi-opsi lain yang tersedia bila ibadah online tidak dimungkinkan?
Persoalan teologis ini semakin hangat ketika menyentuh soal perjamuan kudus? Mungkinkah
PK dilakukan secara online? Seperti apakah bentuknya jika memang dimungkinkan? Adakah
alternatif-alternatif lain yang tersedia bila PK tidak dimungkinkan secara online?
Persoalan lain yang dihadapi Gereja ialah bagaimana pelayanan pastoral terbaik yang dapat
diberikan kepada anggota-anggota Gereja di tengah-tengah situasi pandemi ini? Apakah yang
harus dibuat para pemimpin dan pelayan Gereja di tengah situasi ini supaya jemaat dapat terus
tergembalakan dengan baik?
Persolan khusus yang menarik perhatian saya dengan orang-orang beragama adalah apakah
yang akan terjadi pada relasi agama dan sains karena pandemi dan setelah pandemi ini? Isu ini
menarik perhatian saya karena di banyak bagian dunia ini termasuk di Indonesia, di antara
orang-orang beragama – agama apa saja – muncul sikap-sikap yang terlihat mengecilkan
keseriusan penyakit ini, masa bodoh dan bahkan terang-terangan menolak mengikuti arahan-
arahan medis-ilmiah untuk terhindar dari penyakit ini. Data-data medis-ilmiah dan informasi-
informasi temuan sains mengenai cara-cara penularan dan bagaimana mencegahnya dengan
mudahnya diabaikan “karena percaya bahwa urusan sakit ada di tangan Tuhan, atau karena

1
ibadah adalah perintah Tuhan.”1 Argumennya, kika Tuhan memerintahkan ibadah maka Ia
tentu akan menjaga dan melindungi para pengikut-Nya dari penyakit itu.
Sikap orang beragama yang seperti ini menimbulkan berbagai reaksi. Sebagian orang beragama
melihat sikap dan laku semacam itu sebagai bentuk pengingkaran kepada hakikat agama yang
seharusnya melindungi dan merawat kehidupan. Pihak lain berpendapat lebih jauh dengan
melihat agama dan orang beragama justru berbahaya bagi kelangsungan spesies manusia di
bumi ini. Karena itu orang disarankan supaya berhenti menaruh percaya pada agama dan
pemimpin agama. Bahkan berdoa sekalipun tidak menolong. Satu-satunya hal yang tepat untuk
dilakukan dalam pandemi ini dan ke depan ialah menaruh percaya dan beriman kepada sains.
Dua kenyataan inilah yang kemudian membuat saya bertanya tentang bagaimana kemudian
posisi dan peran agama dalam kehidupan manusia setelah pandemi ini. Jika dalam perang
melawan Covid-19 sebagian orang mendapati bahwa agama dan orang orang beragama malah
menjerumuskan manusia dalam kebinasaan sementara sains dan ilmuwan lebih menjanjikan
kelestarian umat manusia di bumi, lantas bagaimanakah rupa agama dan hidup keagamaan
dalam relasinya dengan sains kemudian? Dan bagaimana sains akan memberi pengaruh kepada
orang Kristen dalam berteologi dan menghayati imannya di tengah dunia?
II
Untuk persoalan-persoalan yang dihadapi Gereja dan orang-orang Kristen di atas, saya menulis
dua tulisan yang disebarkan secara sirkular di dalam lingkungan gereja di mana saya berada dan
gereja-gereja lain melalui teman-teman alumni Sekolah Tinggi Teologi Aletheia (STTA) dan
melalui kawan-kawan saya di gereja-gereja lain. Dua tulisan tersebut berjudul Mengapa
Beribadah Minggu dalam Keluarga Jauh Lebih Tepat Dilakukan daripada Beribadah Secara
Virtual/Onlen dan Mengapa dalam Situasi Kritis Covid-19 Pelaksanaan Sakramen Perjamuan
Kudus Sebaiknya Ditunda. Tulisan pertama saya publikasikan pada 23 Maret 2020; sementara
tulisan kedua pada 27 Maret 2020.
Terlepas dari ada yang sependapat dan tidak sependapat dengan argumen-argumen yang saya
sajikan di situ namun melaluinya dan dalam proses diskusi dan percakapan tentang kedua isu
itu dan isu-isu lain yang dihadapi Gereja di masa pandemi ini, saya menemukan tiga hal yang
barangkali penting untuk jadi bahan refleksi kita kini dan ke depan.
Pertama, sebagai seorang pendeta, pelayan firman Allah di Gereja, juga sebagai pengajar iman
Gereja, saya berpendapat sudah sepatutnya pendeta dan orang-orang yang mengajar iman
Gereja mengambil sikap dan langkah dari sebuah refleksi teologis yang memadai. Di antara
alasan-alasan yang saya temukan waktu itu umumnya pragmatis saja, “Lha, kalau tidak online
nanti kita tidak beribadah!” Atau, “Ini ‘kan situasi darurat. Apalagi teknologi memungkinkan kita

1
Markus Dominggus Lere Dawa, “Agama, Sains, dan Wabah: Menimbang Wajah Agama di Indonesia
Pasca Pandemi Covid-19”, Berteologi di Tengah Pandemi, Brury Eko Saputra & Linus Baito, peny. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2021), 77.

2
untuk melakukannya!” Atau, “Gereja lain sudah lakukan, apa salahnya kita lakukan juga?” Yang
lain memakai pernyataan Tuhan Yesus kepada Perempuan Samaria dalam Yohanes 4:23-24
sebagai dasar bahwa ibadah tidak harus di ruang fisik dan tatap muka. Selain ini, tak satupun
yang saya temukan waktu itu, yang memberikan penjelasan lebih jauh, seperti apa
sesungguhnya hakikat dan makna ibadah Kristen; kenapa umat Allah beribadah dan kenapa
beribadah dengan cara seperti yang selama ini dilakukan; apakah yang sedang dikerjakan Allah
pada umat-Nya ketika mereka beribadah.
Dalam soal Perjamuan Kudus juga demikian. Alasan-alasan yang saya temukan senada, lebih
banyak bersifat pragmatis dan tidak betul-betul dibangun di atas sebuah refleksi teologis yang
serius tentang apa yang sedang dilakukan.
Dalam perdebatan mengenai soal-soal ini, percakapan lebih banyak diisi dengan debat tentang
ketersediaan jaringan dan kuota daripada tentang sesuatu yang lebih mendalam mengenai apa
yang terjadi dengan penghayatan iman, dengan makna persekutuan dan keterjalinan kita satu
sama lain dalam persekutuan sebagai manusia yang utuh: tubuh dan jiwa, materi dan roh.
Tugas pastoral seorang pendeta atau pemimpin gereja dalam satu dan banyak hal mungkin
tidak terlihat berbeda dari profesi-profesi lain yang berurusan dengan manusia. Namun satu
dari antara banyak hal yang membuatnya berbeda ialah karena pendeta bekerja di atas
landasan-landasan atau asumsi-asumsi teologis tertentu tentang orang-orang yang dilayani dan
tugas yang sedang dikerjakan atau akan dikerjakannya. Bahwa tugasnya dapat begitu praktis
seperti memimpin jemaat beribadah, berkhotbah, mengunjungi orang sakit, menghibur yang
sedih, menolong yang miskin dan lemah namun tidak berarti bahwa pekerjaan-pekerjaan itu
dapat dikerjakan tanpa sebuah landasan teologis yang mendalam. Pekerjaan yang dilakukan
seorang pendeta atau pelayan firman dalam tradisi Gereja Protestan, dan lebih khusus lagi
dalam tradisi Reformed (Calvinist), dilakukan “out of a burden to bless their people with rich
biblical theology even as scholars labored to nourish, strengthen, and captivate the church
through their scholarship.”2 Dalam ungkapan Wallace M. Alston, Jr., teolog Gereja Presbyterian
Amerika yang pernah bekerja di Center of Theological Inquiry, Princeton, para pendeta adalah
“always more than a theologian, to be sure, but the minister is never less.” Para pendeta adalah
“the minister [as well] as theologian are.”3 Karena itu sudah seharusnya ia membangun karya
pastoralnya di atas suatu refleksi teologis yang baik agar apa yang dilakukan tidak semata baik
untuk dilakukan namun merupakan respons iman yang bertanggung jawab kepada Allah.
Bagaimana sampai terjadi refleksi teologis yang memadai tidak mendahului atau menyertai
sebuah praktik pastoral yang mau dilakukan? Situasi emergency dan disruptive yang dibawa
oleh pandemi ini menyebabkan kita semua harus bertarung dengan urusan-urusan lain yang
mendesak untuk dilakukan daripada yang penting untuk dikerjakan. Dan itu masuk akal. Tetapi

2
John Piper & D.A. Carson, The Pastor as Scholar and the Scholar as Pastor: Reflections on Life and
Ministry (Wheaton, IL.: Crossway, 2011), 13-14.
3
W. Wallace Alston, Jr., “The Ministry of Christian Theology”, Theology in the Service of the Church: Essays
in Honor of Thomas W. Gillespie, M. Wallace Alston, Jr., ed. (Grand rapids, MI.: Eerdmans, 2000), 25.

3
mungkin sekali hal itu tidak terjadi karena para pendeta atau pelayan gereja kita tidak memiliki
kecakapan yang memadai untuk melakukannya. Indikasi ke arah ini tidak susah ditemukan.
Pendidikan teologi kini dan ke depan tampaknya perlu bekerja lebih keras lagi untuk
melengkapi calon-calon pendeta dengan kecakapan bernalar kritis secara teologis dan trampil
membangun dasar-dasar teologis yang baik untuk aksi dan karya pastoralnya di tengah dunia
yang sedang berubah cepat ini.
Kedua, saya juga menemukan bahwa keluarga adalah elemen yang benar-benar terlupakan dan
terabaikan dalam proses pembinaan warga jemaat. Lewat apa yang dibuat Gereja selama ini
dengan keluarga, misalnya, Bulan Keluarga, Ibadah Keluarga, Ibadah Generasional, Komisi
Perempuan, Komisi Pasangan Muda, Komisi Pria atau Komisi Bapak, Komisi Remaja, Taruna,
Pemuda, Anak-anak, menurut pemahaman saya “seolah-olah” saja memperlihatkan keluarga
penting tetapi sebenarnya yang sedang dilakukan adalah memfragmentasi keluarga dan tidak
memperlakukannya sebagai satu unit kesatuan. Menjadi kelihatan dalam survei internal yang
saya lakukan di gereja saya dan juga dari temuan Bilangan Research Center yang sudah dibahas
kemarin bahwa sebenarnya keluarga masih jauh dari dilayani secara utuh. Kurikulum
pembinaan kategorial yang diberikan kepada tiap-tiap kelompok itu tidak saling bersentuhan
sama sekali. Gereja di rumah, ibadah dalam keluarga, yang pernah menjadi inti gerakan Kristen
di tiga abad pertama sejarahnya, kini telah menjadi gagasan dan praktik yang asing sekali.4
Gedung gereja, mimbar, dan pelayanan-pelayanan di sebuah gedung gereja kini menjadi
aktivitas utama formasi spiritual Gereja. Ayah dan ibu dan keluarga tidak lagi menjadi lokasi
perjumpaan anggota-anggota keluarga dengan Allah. Tren ini harus segera dibalik. Syukurlah,
pandemi ini malah membuka mata kita tentang kemerosotan ini. Dan kita membutuhkan
sebuah teologi tentang Gereja yang di dalamnya keluarga mendapat tempat dan peran yang
penting bagi tercapainya misi Allah di tengah dunia.
Ketiga, pengalaman menulis dan meneliti sejumlah materi untuk kedua tulisan itu membawa
saya menemukan betapa kayanya sumber-sumber yang tersedia dalam sejarah pemikiran
Kristen dan praktik Gereja Kristen di masa lampau untuk membantu kita menemukan jalan kita
di tengah zaman yang sedang berubah ini. Pandemi Covid-19 memang adalah sebuah novel
phenomenon, fenomena baru dalam dunia medis. Tetapi pandemi ini bukanlah satu-satunya
pandemi yang pernah dihadapi manusia. Sudah ada banyak pandemi lain yang terjadi. Dan
sudah banyak pula pemikiran teologis dan praktik bergereja yang dikembangkan dalam
mensiasati masa-masa sulit ketika karena satu dan lain hal praktik-praktik umum Kristen tidak
dapat dilaksanakan. Dan kita seharusnya bisa belajar darinya untuk menolong kita menghadapi
situasi-situasi sulit serupa dengan mereka. Sayang sekali, oleh karena keterbatasan wawasan
dan sekat-sekat tradisi teologis dan denominasi yang terbangun selama sejarahnya, kita
menjadi kekurangan pilihan-pilihan yang tidak kurang maknanya untuk dapat diambil.

4
Untuk pergerakan

4
Dalam kaitan dengan Perjamuan Kudus, misalnya, saya mendapati praktik spiritual communion
dalam tradisi Katolik dan Anglikan menjadi sebuah alternatif pastoral yang sesungguhnya
sangat bermakna, selain punya sejarah panjang di belakang juga kaya secara teologis, namun
tidak dikenal di tradisi dan denominasi lain. Praktik love feast, atau perjamuan kasih, yang
dikenal sejak lama dalam denominasi Methodist juga menjadi alternatif-alternatif menarik
namun tidak dikenal dalam tradisi lain.
Corak kita mempersiapkan para pendeta dan pelayan Gereja sudah waktunya ditinjau ulang.
Gereja kita masing-masing bukan satu-satunya gereja di dunia ini. Gereja kita hanya salah satu
dari Gereja yang kudus, am dan rasuli, sebagian kecil saja dari persekutuan orang-orang kudus
yang sudah ada dari sejak masa lampau dan telah mewariskan kepada kita kekayaan pemikiran
dan praktik berharga untuk kita. Kita perlu melatih calon-calon pendeta dan pelayan Gereja
untuk membaca dari kacamata pergulatan kontemporer warisan berharga itu dan dari situ
mengkonstruksi suatu pemikiran teologis dan praktik yang relevan bagi pergumulan Gereja
dalam dunia kekinian.
Terkait dengan bagaimanakah layanan pastoral terbaik yang dapat diberikan kepada jemaat di
tengah pandemi, ada dua survei yang saya lakukan di dalam gereja di mana saya melayani.
Survei pertama dilakukan pada bulan April 2020, di masa awal pandemi; dan survei kedua di
bulan November 2020. Survei dilakukan secara online di mana partisipan menjawab sejumlah
pertanyaan yang disiapkan dengan medium Google Formulir. Survei disebar di seluruh
kalangan, pendeta, pengabar Injil, anggota Majelis Jemaat dan anggota jemaat. Penelitian
mencakup pemeriksaan kesiapan dan kesigapan masing-masing Jemaat dalam memberikan
layanan pastoral di tengah pandemi ini, sekaligus kesukaran-kesukaran dan kesempatan-
kesempatan yang tersedia. Hasil survei itu kemudian ditindaklanjuti di level Jemaat dan sinodal.
Dalam dua kali survei itu, satu hal yang mengemuka dan mungkin baik untuk jadi bahan refleksi
kita di sekolah-sekolah teologi dan lembaga-lembaga penyiapan calon pendeta atau pelayan
Gereja ialah bagaimana melengkapi calon-calon pelayan Gereja ini untuk menguasai dan
trampil dalam memanfaatkan hasil kemajuan teknologi informasi dan digital yang berada di
sekelilingnya bagi pelayanan anggota-anggota jemaat. Kita juga memerlukan sebuah teologi
pelayanan pastoral yang di dalamnya pola dan gaya komunikasi serta interaksi baru manusia
yang difasilitasi teknologi informasi itu dikaji secara kritis dan diwujudkan dalam praktik-praktik
yang bukan mereduksi kemanusiaan melainkan menyuburkan dan merayakannya.
III
Terkait dengan bagaimana agama dan orang beragama merespons pandemi serta bagaimana
efeknya kemudian kepada agama itu sendiri dan hidup keagamaan manusia selanjutnya sudah
saya tuliskan dalam artikel yang termuat dalam buku Berteologi Di Tengah Pandemi, yang
diterbitkan BPK pada tahun 2021 ini.5 Tulisan itu sendiri lahir dari upaya STT Aletheia untuk

5
Brury Eko Saputra & Linus Baito, peny., Berteologi di Tengah Pandemi (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2021), bab 4-5.

5
merespons pandemi Covid-19 lewat pendidikan publik melalui seri kuliah Aletheia Course of
Theology (ACT). Bersyukur sekali bahwa ikhtiar itu disambut baik oleh anggota-anggota Gereja
dari bermacam-macam gereja dari berbagai daerah dan pulau di Indonesia.
Tulisan itu dibangun di atas dua tesis yang mengemuka selama 10-15 tahuh terakhir tentang
tempat dan peran agama agama dalam kehidupan manusia kemudian. Tesis pertama bersifat
optimistik, yang melihat agama-agama akan terus hidup dan memainkan peran penting dalam
hidup orang. Di sebagian wilayah dunia ini, mengikuti konteks sosial-historis orang-orang
beragama di situ, agama-agama itu akan tampil dalam rupa yang konservatif.6 Tesis kedua
bersifat pesimistik, yang melihat masa depan buram agama-agama. Kepentingannya akan
semakin meredup dan mengecil; sementara posisi dan perannya dalam kehidupan manusia
akan digantikan oleh sains dan teknologi.7
Apakah yang terjadi dengan dua tesis ini dengan adanya pandemi Covid-19 sekarang?
Bagaimana rupa agama dan hidup keagamaan orang kini dan kemudian, khususnya dalam
relasinya dengan sains? Apakah tesis pertama selesai? Apakah tesis kedua yang menang?
Ataukah ada bentuk-bentuk lain yang akan dicapai di mana keduanya akan sama-sama hidup
dan berkembang?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, saya mencoba menoleh kepada sejarah pandemi
wabah maut hitam yang pernah melanda Eropa dan bagian lain dunia ini di abad ke-14 dan 15,
untuk memeriksa apa yang diperbuat oleh orang-orang beragama dan para pemimpin agama di
masa itu serta efeknya kemudian pada agama dan hidup keagamaan orang. Dalam tulisan itu
saya temukan bahwa wabah maut hitam mengubah wajah agama dan cara-cara orang
menghayati agamanya. Jika hari ini kita mendengar ada orang beragama yang menyebut
pandemi ini sebagai hukuman Tuhan pada orang-orang berdosa maka pandangan ini
sesungguhnya bukan gagasan baru. Ia juga hadir di sana di abad XIV dan XV. Di satu pihak ia
menambah susah hidup orang yang menderita oleh wabah itu namun di pihak lain, ketika
wabah itu juga membunuh para imam, uskup dan biarawan, teologi itu malah mentransformasi
gagasan orang tentang kesucian dan status sosial orang-orang itu. Mereka “didesakralisasi” –
diubah menjadi manusia biasa, sama-sama fana, buruk dan pendosa seperti orang lain yang
meninggal karena wabah itu. Bisa jadi, perubahan pemahaman religius macam ini sedang
terjadi pula sekarang di sebagian orang beragama.
Kematian demi kematian masif di mana-mana menimbulkan perasaan ngeri dan cemas yang
semakin intens terhadap maut dan murka Allah, yang kemudian direspons oleh orang-orang
beragama dengan dua cara hidup yang berlawanan: epikurian-hedonistik dan stoik-asketik.
Yang satu memilih hidup senang-senang mengikuti hasrat sementara yang lain

6
Lihat Phillip Jenkins, The Next Christendom: The Coming of Global Christianity (New York, NY.: Oxford
University Press, 2002) dan The New Faces of Christianity: Believing the Bible in the Global South (New York, NY.:
Oxford University Press, 2006).
7
Lihat Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia (Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2018).

6
mengembangkan praktik-praktik kesalehan agama yang bertujuan melepaskan diri dari murka
Allah. Latihan spiritual yang semula dikurung dalam biara kini dipraktikkan orang banyak dalam
cara-cara yang dikembangkan sendiri. Dalam proses ini, muncul gejala privatisasi agama,
dengan bermunculannya kapel-kapel keluarga dan misa-misa privat serta terbentuknya paduan
suara-paduan suara yang khusus untuk menunjang ibadah-pibadah privat di kapel-kapel itu.
Dari segi pemikiran keagamaan di level elit agama di pusat-pusat pendidikan tinggi, model
pemahaman realitas yang sempat kuat kuat dipengaruhi oleh realisme Aristotelian digantikan
oleh idealisme Platonik, membuat perubahan yang terjadi – dalam ungkapan Robert S.
Gottfried – sebagai “away from rational thought” dan “flight from the intellect.”8 Ilmu
kedokteran yang waktu itu masih terkait erat dengan ilmu agama (baca: teologi) lantas
terhimpit perkembangannya dan dipaksa menjelaskan sebab-musabab penyakit pada aktivitas
makhluk-makhluk spiritual lain seperti iblis atau jin, dan pada substansi-substansi spiritual, non-
material. Jalan-jalan untuk mengobati dan menghindari penyakit menjadi dominan bersifat
spiritual.
Masih butuh waktu panjang bagi ilmu kedokteran melepaskan dirinya dari teologi. Dan dalam
proses pelepasan itu, sejumlah wabah lain datang silih berganti. Entah sedikit atau banyak,
wabah demi wabah itu membantu sains dan praktik kedokteran melepaskan dirinya dari
cengkraman kuku tajam agama. Di masa kini agama tidak lagi menjadi payung besar di mana
sains kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya berteduh tetapi hanya menjadi salah satu payung saja
dari banyak payung lain yang dipergunakan manusia.
Sampai sebelum pandemi Covid-19, posisi yang diambil agama terhadap sains, atau sebaliknya,
dapat digambarkan dalam empat model: model konflik, model penggantian, model rekonsiliasi
dan model independen. Model yang kelihatannya dominan di Indonesia adalah model
independen. Dalam model ini agama dan sains tidak dipandang sebagai dua hal yang
bertentangan seperti model konflik. Keduanya adalah dua bidang independen dan mengurusi
ranah kehidupan yang berbeda: sains di ranah empiris sementara agama di ranah moral dan
nilai. Keduanya memiliki domain masing-masing dan metode-metodenya sendiri, yang tidak
bisa dicampurbaurkan. Sains urusan dunia, agama urusan akhirat.
Mungkinkah sikap dan perilaku sebagian orang beragama yang bertolak belakang dengan
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan pandemi Covid-19 di Indonesia merupakan
bayangan dari model independen ini? Hal ini masih harus diteliti kembali. Yang mungkin baik
untuk menjadi bahan refleksi teologis kita adalah bagaimana membuat beriman dan berilmu itu
benar-benar menjadi bagian yang utuh dari identitas kita sebagai orang percaya di tengah dunia
ini? Tampaknya, kita memerlukan sebuah teologi Kristen yang baik, yang khas Indonesia,
mengenai tempat dan peran sains dalam hidup kita sebagai orang percaya, yang diutus untuk
mengerjakan misi Allah di negeri ini.∞

8
Robert S. Gottfried, THE BLACK DEATH: Natural and Human Disaster in Medieval Europe (New York, NY.:
The Free Press, 1983), Ch. 7.

Anda mungkin juga menyukai