Anda di halaman 1dari 4

ARTIKEL KONFLIK HORIZONTAL

Faktor penyebab konflik antar agama

A.           Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental

Konflik sebagai kategori sosiologi bertolak belakang dengan pengertian perdamaian dan
kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses assosiatif, sedangkan yang pertama
dari proses dissosiatif. Proses assosiatif adalah proses yang mempersatukan; dan proses
dissosiatif sifatnya menceraikan atau memecah. Fokus kita tertuju kepada masalah konflik atau
bentrokan yang berkisar pada agama. Dalam konteks ini konflik sebagai fakta social melibatkan
minimal dua pihak (golongan) yang berbeda agama bukannya sebagai konstruksi kayal
(konsepsional) melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi pada zaman sekarang
juga. Misalnya; bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba, benturan umat Kristen dengan
penganut agama Romawi (agama kekaisaran) dalam abad pertama sampai dengan ketiga. Dalam
penyorotan sekarang ini kita hanya ingin mengkhususkan pada satu sumber bentrokan saja,
yaitu: perbedaan iman. Berkaitan dengan iman juga perbedaan mental setiap umat beragama.

Bahwa perbedaan iman (dan doktrin) de facto menimbulkan bentrokan tidak perlu kita
persoalkan, tetapi kita menerimanya sebgai fakta dan mencoba untuk memahami, dan
mengambil hikmahnya. Semua pihak umat beragama yan g sedang terlibat dalam bentrokan
masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab utama
dari benturan itu. Sadar atau tidak setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya,
membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan
agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan
kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan (reference
group), sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu. Skala fiktif kurang lebih sebagai berikut.
1.               Agama A (agama yang saya anut) adalah paling benar dan paling lengkap.
2.               Agama B (agama lawan) mempunyai unsur-unsur kebenaran (tidak lengkap).
3.               Agama C (agama lain) mempunyai sedikit kebenaran (amanat tak lengkap).
4.               Agama D adalah agama kafir (tiada punya kebenaran).

Skema penilaian di atas, kendali lokasinya ada dalam alam pikiran namun tidak jarang
terungkap dalam kata-kata dan tulisan. Bukan saja dari pihak agama A, tetapi agama B pun tidak
akan tinggal diam dan akan menempatkan agama sendiri (B) pada jenjang yang paling atas dan
lainnya ada ditingkat bawah. Mudah diterka bahwa pernyataan diatas tidak bebas dari salah
paham, praduga, dan argumentasi yang bernada emosi. Bentuk bentrokan pada tingkat kongnitif-
evaluatif ini dikenal sejak dahulu dengan istilah “apologia dan apologetika”, menurut tingkat
keilmiahannya. Apologetika adalah suatu bagian dari teologi yang membela dan
mempertahankan kebenaran agama yang diimaninya, terhadap serangan yang datang dari dalam
maupun dari luar. Ciri konfrontatif dari apologetika tampak jelas jika dipakai metode antitetis.
(Sumber : Puspito hendro, Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).

Karena dalam metode itu ditonjolkan kekurangan dan kelemahan agama lain. Yang
menggunakan metode simpatetis sifatnya lain lagi. Apologetika yang demikian itu tidak
menunjukkan batas pendirian yang tegas, berbau kompromistis, mengatakan bahwa agama-
agama itu sama saja, perbedaannya sedikit sekali. Dengan demikian batas perbedaan yang secara
tegas memang ada menjadi kabur. Metode lain lagi ialah yang disebut metode positive-tetis.
Uraian di atas menunjukkan kebenaran dan pernyataan-pernyataan Allah yang terkandung dalam
kitab suci yang dipercayainya, tanpa menjelekkan agama lain dengan menyerang kitab suci dan
demikian tidak melukai hati orang lain. (Sumber : Puspito hendro, Sosiologi agama, Yogyakarta,
1983).

B.            Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama


Bahwa perbedaan suku dan ras berkat adanya agama bukan menjadi penghalang untuk
menciptakan hidup persaudaraan yang rukun hal itu sudah terbukti oleh kenyataan yang
menggembirakan dan hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Yang menjadi masalah disini ialah,
apakah perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat
untuk menimbulkan perpecahan antar umat manusia. Khususnya apakah dalam satu Negara yang
terdiri dari berbagai suku bangsa dan yang menerima adanya agama yang berbeda-beda
bukannya membina dan memperkuat unsur penyebab yang lebih kuat untuk menimbulkan
perpecahan bangsa dan Negara itu.

Bahwa faktor ras itu sendiri terlepas dari agama sudah membuktikan bertambahnya
permusuhan dan pencarian jalan keluarnya, dan kesemuannya itu menjadi bahan menarik dalam
diskusi ilmiah maupun dalam kalngan kaum politisi, adalah merupakan masalah yang tetap
actual yang tidak dijadikan sasaran dari pembicaraan kita sekarang ini. Masalah itu telah menjadi
bahan pembicaraan ilmiah dari ilmu biologi dan politik namun demi lebih jernihnya masalah
yang kita bicarakan ada satu hal sangat menarik dari kalangan sarjana biologi, perlu kita
tampilkan disini. Asumsi yang terkenal itu dan telah mengundang banyak sanggahan yang gigi
ialah dari Arthur de Gobineau, dalam karangannya yang menjadi klasik “Essai sur I’negalite des
races humaines, tahun 1853-1855. Asumsi itu pada intinya menyatakan bahwa ras kulit putih
merupakan ras tertinggi bangsa manusia, dan bahwa ras itu dipanggil untuk membawakan obor
kemajuan di dunia ini dan bahwa ras yang bukan kulit putih ditakdirkan untuk tidak dapat
menhasilkan sesuatu yang yang berarti dalam bidang kemajuan.

Kesombongan rasial itu bertumbuh mencapai klimaksnya dalam pendirian bangsa Jerman
bahwa bangsa itu merupakan “manusia super”, yang mendapat tugas di dunia ini dari kekuasaan
ilahi, untuk menghancurkan jenis ras yang lebih rendah. Patut disayangkan bahwa ilusi congkak
itu telah diwujudkan oleh regim Hitler dalam pembunuhan kejam terhadap jutaan manusia dari
suku bangsa Yahudi. Namun dalam keseluruhan perbuatan anti rasial yang tak mengenal
perikemanusiaan itu tidak ditemkan unsurperbedaan agama sebagai dasar pertimbangannya.
Kebenaran asumsi akan lebih penuh bagi sekelompok bangsa yang berpendirian bahwa setiap
bangsa mempunyai agamanya sendiri.Misalnya; agama Islam untuk bangsa arab, agama hindu
dan budha untuk India, agama jawa untuk bangsa jawa.
C.          Perbedaan Tingkat Kebudayaan

Fenomena agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan
bahwa tingkat kemajuan budaya berbagai bangsa didunia ini tidak sama. Demi mudahnya
pendekatan kita bedakan saja dua tingkat kebudayaan, yaitu kebudayaan tinggi dan kebudayaan
rendah, meskipun pembagian dikhotomis dan simplistic ini menanggelamkan nuansa kekayaan
kultural yang memang ada diantara ujung yang tinggi dan rendah. Tolak ukur untuk menilai dan
membedakan kebudayaan dalam dua kategori itu berupa asumsi yang sudah umum, pertama
akumulasi ilmu pengetahuan positif dan teknologis disatu pihak dan hasil pembangunan fisik di
lain pihak dan kedua yaitu bahwa agama itu merupakan motor penting dalam usaha manusia
menciptakan tangga-tangga kemajuan.

Dari asumsi tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ketegangan antara
bangsa yang berbudaya tinggi dan bangsa yang berbudaya masih rendah yang dialami dunia dari
masa lampau hingga sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari pertanggung jawaban agama-agama
yang dianut oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan. Secara moral agama-agama tidak bisa cuci
tangan atas terjadinya jurang (dan garis) diskriminatif antara bangsa yang maju dan bangsa yang
terbelakang. Keterlibatan agama-agama dalam hal tanggung jawab atas masalah tersebut tidak
terelakan, bila kita berpegangan pada asumsi bahwa ilusi keunggulan ras (kulit putih) sebagai
faktor penyebab kemajuan kebudayaan tidak dapat kita terima. Agama mengamankan
masyarakat manusia dan menampilkannya didepan mata manusia dalam istilah nilai-nilai, dan
mengajak manusia untuk menghargai dan menghormatinya.

Anda mungkin juga menyukai