Anda di halaman 1dari 18

Pidato Peradaban Prof. Dr.

Bustanul Arifin
PERBERASAN NASIONAL: Upaya Mencari Solusi Integratif
Institut Peradaban, tanggal 20 Maret 2018 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat:
Pimpinan Institut Peradaban, Profesor Salim Haji Said dan Segenap Pengurus
Para Tokoh, Tamu Kehormatan dan Pemimpin Negara
Rekan-Rekan Dosen, Peneliti, Pekerja Seni, Jurnalis dan Profesi lain
Para undangan dan hadirin yang saya muliakan

Pertama, mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
memberi nikmat dan karunia yang tiada tara, sehingga kita dapat berkumpul di
ruangan yang megah ini dalam keadaan sehat dan afiat, menghadiri Pidato Peradaban
yang alhamdulillah untuk pertama kalinya diseleggarakan di Indonesia. Kedua,
izinkan saya menghaturkan terima kasih atas kehadiran Bapak, Ibu, dan Saudara
sekalian dalam acara yang membanggakan ini. Semoga Allah SWT mencatatnya
sebagai ibadah, yang kelak akan mendapat pahala yang layak di sisi-Nya. Amin.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya di hadapan Bapak/Ibu/Saudara dan
hadirin sekalian untuk menyampaikan Pidato Peradaban yang saya beri judul:
”Perberasan Nasional: Upaya Mencari Solusi Integratif”. Walaupun saya telah
bekerja, mengajar, melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat tentang
beras selama lebih dari 30 tahun karir akademik saya, tema pidato ini tidak sederhana.
Saya harus bekerja kerjas membaca lagi, berfikir, merenung, dan mencerna kembali
tentang peradaban perberasan ini. Kita seakan kembali merasa asing dan jauh dari
pangan pokok yang nyaris setiap hari kita bangsa Indonesia masih menyantapnya.
Saya tetap harus berusaha sekuat tenaga dan pikiran, agar pidato peradaban ini dapat
bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan pengambilan keputusan bagi upaya
pencarian solusi integratif terhadap perberasan nasional.
Pada waktu saya menyampaikan Orasi Ilmiah dalam rangka Pengukuhan Guru
Besar Ilmu Ekonomi Pertanian di Universitas Lampung tanggal 20 Februari 2016,
saya mempersembahkan orasi itu kepada para petani Indonesia yang telah berjasa
membentuk kepribadian dan perjalanan karier dan kehidupann saya. Pidato peradaban
saya sekarang ini tidak hanya dipersembahkan kepada petani Indonesia, tapi juga
kepada konsumen beras dan masyarakat umum di Indonesia, yang seakan tidak
memiliki jalan keluar yang mencerahkan. Apakah beras telah mampu mengubah
peradaban Indonesia dan begerak ke arah yang tidak dapat diterka? Atau apakah
peradaban Indonesia belum mampu mengubah peradaban beras (rice civilization)
yang sebenarnya bukan peradaban asli Indonesia, tapi mendapat tempat di Indoensia,
sehingga kini semakin banyak orang terbelenggu dengan perberasan nasional?
PERBERASAN NASIONAL: UPAYA MENCARI SOLUSI INTEGRATIF
Bustanul Arifin
Disampaikan dalam rangka Pidato Peradaban tanggal 20 Maret 2018 di Jakarta

1. Pendahuluan

Izinkan saya memulai dengan empat fenomena menarik atau masalah serius
berikut ini. Pada saat Rapat Kerja Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI) dengan Direkur Utama Bulog tanggal 15 Maret 2018 pekan lalu,
terungkap beberapa fakta terakhir yang cukup mengkhawatirkan.
Pertama, stok beras Bulog saat ini hanya tinggal 650.000 ton, suatu rekor
terburuk yang belum terjadi sebelumnya, apalagi pada bulan Maret, menjelan musim
panen raya. Cadangan Beras Pemerintah (CBP), suatu stok besi yang harus ada (iron
stock), yang dititipkan Pemerintah di Gudang Bulog sekarang sudah berada pada
posisi minus 27.888 ton. Seandainya Indonesia mendapat serangan bencana atau
serangan militer, maka sistem pertahanan logistik bangsa Indonesia benar-benar
berada di ujung tanduk. Masyarakat menyaksikan banyak sermoni panen raya di
mana-mana. Tapi, dibawa ke manakah gabah atau beras hasil panen raya tersebut?
Kedua, usulan kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan
beras, sampai sekarang belum memperoleh respons yang memadai. Harga gabah
petani hanya dihargai Rp 3.700 per kilogram sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor
5 Tahun 2015 (Inpres 5/2015), jauh sekali dari biaya produksi yang telah melebihi Rp
4.000 per kilogram. Jika petani harus menghasilkan beras sendiri, Pemerintah hanya
menghargai Rp 7.300 per kilogram, jauh lebih rendah dari harga eceran yang berlaku
di pasaran yang telah melampaui Rp 10.000 per kilogram untuk jenis beras medium.
Upaya Pemerintah untuk memberikan toleransi fleksibilias harga sebesar 20 persen di
atas HPP, ternyata belum berdampak banyak terhadap kinerja penyerapan gabah dan
beras oleh Bulog, walaupun telah melibatkan militer untuk melakukan serap gabah
(sergab) tersebut. Peradaban seperti apakah yang sedang kita mainkan sekarang ini?
Ketiga, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah
belum dapat ditegakkan secara baik, sekadar tidak mengatakan hanya berlaku untuk
satu-dua perusahaan tertentu. Hampir semua pedagang kini menjual berasnya di atas
HET dan tidak ada penegakan hukum yang memadai. Apakah kebijakan yang diambil
Pemerintah terlalu berlebihan, seakan mau mengatur atau mengawasi setiap aktivitas
masyarakat? Atau, apakah terdapat keraguan atau ketidakpahaman aparat penegak
hukum tentang fenomena ekonomi yang berkembang cepat akhir-akhir ini?
Keempat, banyak politisi dan masyarakat awam terlalu sering meributkan jika
terdapat berita di media massa bahwa Indonesia mengimpor beras. Impor beras sering
dianggap aib atau signal kegagalan politik. Bahkan, tidak berlebihan jika masyarakat
menyimpulkan bahwa pemimpin politik di Indonesia jatuh karena beras. Di lain
pihak, tidak banyak yang menyadari bahwa selama lebih dari tiga tahun terakhir,
Indonesia telah mengimpor beras sekitar 3 juta ton setara Rp 17 triliun lebih. Impor

1
beras yang masih jauh di bawah 2 persen ini seakan menjadi sandra bagi para politisi
dan pemimpinn politik Indonesia. Para ilmuwan politik berargumen bahwa sejarah
politik Indonesia yang pro-petani kecil dan kental dengan sejarah ekonomi nasionalis
seakan menjadi konstrain tersendiri bagi politisi untuk senantiasa mengurangi impor
atau menetapkan target swasembada beras, agar terlihat lebih populis.
Hadirin yang saya hormati.
Empat fenomena di atas mungkin sering kita dengar atau kita baca di media
massa, walau dengan struktur kalimat atau redaksi yang berbeda. Kami di dunia
ekonomi pertanian hampir setiap hari bergelut dengan persoalan sejenis dengan kadar
dan magnitude yang cukup beragam. Beras telah mengambil sebagian porsi perhatian
dari masyarakat Indonesia, apalagi para politisi dan pemimpin politik. Beras telah
menjadi bagian dari peradaban dan sejarah Indonesia modern. Mungkin masih ada
yang tidak terlalu rela dan terus mempertanyakan mengapa beras memiliki posisi yang
demikian istimewa dari sistem ekonomi dan politik Indonesia. Banyak akademisi yang
berusaha menjawabnya, tapi banyak juga yang menerima kenyataan tersebut sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan peradaban bangsa Indonesia dan
sekian bangsa-bangsa lain lagi di Asia, Afrika, bahkan kini telah merambah Amerika,
Eropa dan tentu Australia sebagai tentangga sebelah rumah, dengan pasang-surut
hubungan yang menyertainya.
Pidato peradaban ini merupakan sebuah refleksi dari penelusuran akademik,
pengalaman empiris dan pergulatan pemikiran tentang perberasan nasional, dikupas
dari dimensi ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan. Terkadang struktur dan alur
pembahasan cukup deterministik, berbasis teori-teori yang mudah ditelusuri dan telah
diketahui masyarakat banyak. Tapi, terkadang argumen yang berkembang agak
stokastik, karena sekian macam kepentingan yang bertautan saling berseliweran,
sehingga respons kebijakannya pun sering tidak menyelesaikan masalah. Walaupun
demikain, saya tetap harus menyampaikan upaya untuk mencari solusi yang integratif
terhadap permasalahan beras nasional, yang seakan tidak pernah selesai.
Setiap tahun dan setiap babak dari sistem pemerinahan, cerita seputar
perberasan sering berbeda. Perhatian masyarakat pun sering berbeda pula. Kalaulah
ingin dibuatkan suatu pola atau kecenderungan, setidaknya hal itu dapat dituliskan
sebagai berikut. Musim panen raya beras umumnya terjadi pada bulan Maret-April,
sehingga harga gabah di tingkat petani dan harga beras di pasaran relatif rendah.
Kemudian neraca keseimbangan beras mulai menipis pada puncak musim kemarau,
atau pada bulan Juli-Agustus dan menyebabkan harga beras naik secara perlahan tapi
pasti. Indonesia kembali menikmati panen gadu pada bulan September-Oktober
sehingga harga beras kembali stabil. Panen musim gadu cukup kecil, hanya sekitar 35
persen dari volume beras setiap tahunnya, jauh lebih rendah dari panen musim rending
yang mencapai 65 persen dari total suplai beras di Indonesia. Para ekonom pertanian
dan pejabat Pemerintah yang menangani perberasan seharusnya sudah amat paham
tentang siklus suplai dan siklus harga tahunan tersebut. Pola laju inflasi tahunan sering
sekali paralel atau mengikuti pola perkembagan harga tersebut.

2
2. Ekonomi Perberasan

Bapak/Ibu sekalian yang saya muliakan,


Ekonomi perberasan melibatkan sekitar 14,1 juta rumah tangga petani padi atau
sekitar 80 juta jiwa, 182 ribu penggilingan padi atau lebih dari satu juta orang yang
bekerja di sektor pengolahan beras, ratusan ribu lagi pedagang beras, dan tentu 265
juta konsumen beras atau penduduk Indonesia yang masih makan nasi tiga kali sehari.
Di daerah perdesaan, jumlah uang yang berputar di sektor perberasan sekitar Rp 325
triliun, dihitung dari angka paling konservatif 70 juta ton produksi gabah keting giling
(GKG) dengan harga di tingkat petani sekitar Rp 5.000 per kilogram. Angka Rp 325
triliun itu aka meningkat lebih besar jika produksi beras dan harga gabah di tingkat
petani lebih tinggi lagi.
Di daerah perkotaan (dan juga perdesaan), jumlah uang yang beredar di sektor
perberasan sekitar Rp 384 triliun, dihitung dari angka paling konservatif tingkat
konsumsi beras 32 juta ton, dengan harga eceran tingkat konsumen Rp 12.000 per
kilogram Jumlah uang yang beredar pada subsektor penglahan, penggilngan dan
perdagangan beras sebenarnya lebih besar dari Rp 61 triliun atau selisih nilai ekonom
beras di perkotaan dan nilai ekonomi beras di perdesaan. Saat ini telah semakin
banyak perusahaan yang memproduksi beras premium atau kualitas sangat bagus
dengan harga eceran yang sangat mahal, bahkan melebihi Rp 20.000 per kilogram
atau lebih. Konsumen dari kelompok kelas menengah-atas telah mengkonsumsi beras
kelas premium dengan harga tidak kurang dari Rp 15.000 per kilogram. Masyarakat
berhak bertanya-tanya, siapakah atau siapa sajakah yang menikmati rente ekonomi
beras yang amat besar tersebut selama ini.
Di tingkat usahatani, rumah tangga petani beras masih harus menggantungkan
produksi beras pada lahan pertanian yang semakin sempit. Lebih dari 53 persen total
26,1 rumah tangga petani Indonesia hanya menguasai lahan pertanian 5.000 meter
persegi atau kurang. Sebagaian besar dari petani berlahan sempit itu menanam padi
dan palawija, sebagian lagi menanam hortikultura dan hanya sedikit yang
mengusahakan tanaman perkebunan. Bahkan, banyak sekali petai padi, terutama di
Jawa yang hanya menguasai lahan 3,000 meter persegi. Benar, bahwa usahatani padi
masih menguntungkan secara ekonomi, ditunjukkan dari nilai rasio keuntungan
terhadap biaya (B/C ratio) masih di atas 1,5. Setiap Rp 1 juta biaya usahatani yang
dikeluarkan, masih menghasilkan pendapatan usahatani Rp 1,5 juta. Tapi, di sini kita
sedang membahas petani padi yang berlahan amat sempit, hanya 0,5 hektar. Jika
musim sedang bersahabat, usahatani padi masih menghasilkan 5 ton per hektar atau
setara penerimaan Rp 25 juta per hektar per musim. Setelah dikurangi biaya produksi,
tanpa mempertimbangkan biaya tenaga kerja keluarga, petani padi masih mendapat
keuntungan bersih Rp 15 juta per hektar per musim. Jika seorang petani hanya
menguasai lahan 0,5 hektar, maka keuntungan bersih itu equivalen dengan Rp 7,5 juta
per musim atau tidak sampai Rp 1,8 juta per bulan. Angka itu tentu masih jauh di
bawah upah minimum regional (UMR) rata-rata pekerja pabrik di seluruh Indonesia.
Pertanyaannya adalah mengapa petani padi Indonesia masih mampu bertahan hidup
dengan lahan sesempit itu? Peradaban seperti apa yang mereka pertahankan?

3
Hadiri yang saya muliakan,
Teman-teman ekonom pertanian sedang berusaha untuk mencari jalan keluar
dari persoalan skala usaha ekonomi rumah tangga petani padi tersebut. Suatu model
konsolidasi lahan sedang dicoba dikembangkan di beberapa tempat di Jawa, karena di
sana jumlah rumah tangga petani berlahan sempit paling besar dibandingkan daerah-
daerah lain di Indonesia. Model tersebut mungkin lebih tepat disebut konsolidasi
manajemen pengolahan lahan sawah berbasis masyarakat, bukan model konsolidasi
lahan an sich karena di sana sama sekali tidak terdapat akuisisi lahan atau alih
kepemilikan lahan oleh petani berlahan lebih besar atau sejenisnya. Pertama, para
petani sawah berlahan sempit itu diberikan penjelasan oleh teman-teman dosen yang
dibantu oleh beberapa mahasiswa, tentang manajemen bersama (co-management)
berbasis masyarakat. Sekian macam tujuan strategis dan manfaat dari aktivitas
tersebut juga disampaikan, misalnya dalam konteks efisiensi tenaga kerja, tanam dan
panen serempak, pengendalian hama dan penyakit tumbuhan, memutus siklus
kehidupan hama dan penyakit, meningkatkan daya tawar (bargaining position) petani
dengan dukungan negosiasi harga gabah yang dibeli oleh pedagang pengumpul atau
tengkulak lokal, dan sebagainya.
Kedua, sebagai salah satu wujud manajemen bersama, para petani diminta
untuk menghilangkan pematang sawah, yang umumnya sekaligus menunjukkan batas
kepemilikan atau penguasaan lahan sawah. Tujuannya adalah agar traktor untuk
pengolahan lahan dan pemanenan padi (combined harvester) dapat lebih efisien
beroperasi pada lahan sempit petani tersebut. Para peneliti meyakini bahwa
penggunaan alat dan mesin pertanian mampu menanggulangi persoalan kelangkaan
tenaga keraja pertanian di perdesaan. Telah banyak hasil studi yang menyimpulkan
bahwa beras Indonesia selalu kalah bersaing dengan beras Vietnam atau Thailand
karena sistem usahatani padi di Indonesia kalah efisien. Biaya produksi untuk
menghasilkan satu kilogram padi di Indonesia ternyata 2,4 kali lebih tinggi dari biaya
produksi padi di Vietnam, atau 1,8 kali lebih besar dari biaya produksi padi di
Thailand. Komponen biaya produksi padi yang paling tinggi di Indonesia adalah
biaya sewa lahan dan biaya upah buruh. Saat ini semakin sulit untuk mencari tenaga
kerja pertanian, terutama kaum muda perdesaan, yang dengan senang hati mau bekerja
di sawah, apalagi yang sedikit berpendidikan. Mereka lebih memilih menjadi tim
sukses calon bupati dan mulai terjun ke politik lokal, apalagi pada musim pemilihan
kepala daerah seperti sekarang. Dengan kata lain, penggunaan alat dan mesin
pertanian untuk meningkatkan efisiensi usahatani nyaris menjadi keniscayaan. Hanya,
jika tidak secara hati-hati membenahi masa-masa transisi yang sensitif seperti saat ini,
upaya penggunaan teknologi produksi padi sawah atas nama efisiensi, justeru menjadi
titik balik dari pembangunan pertanian atau yang sering disebut sebagai involusi
pertanian. Lahan-lahan pertanian sawah akan beralih fungsi menjadi kegunaan lain
karena potensi penerimaan ekonomi yang lebih besar atau akan beralih kepemilikan
kepada para tuan tanah yang “senantiasa mematuhi” hukum-hukum ekonomi untuk
meningkatkan skala usahanya.
Apa yang terjadi dengan upaya konsolidasi lahan di atas? Tidak mudah, alias
perkembangannya sangat lambat. Petani masih sangat resisten dan was-was jika
pematang sawahnya dihilangkan, mereka seakan-akan kehilangan hak kepemilikan

4
terhadap lahan usahataninya. Diskusi maraton sampai siang-malam selama berbulan-
bulan yang dilakukan teman-teman di lapangan masih belum menemukan titik-terang,
walaupun petani sudah diyakinkan bahwa tidak akan ada proses alih fungsi lahan,
apalagi alih kepemilihan lahan sawah. Para petani sawah ini secara jujur dan polos
akan merasa salah tingkah dan kikuk, jika mereka tidak setiap hari bekerja di sawah.
“Lantas, kulo ndamel nopo, Pak?” (Lalu, saya nanti kerja apa, Pak?). Para kaum
terpelajar mungkin akan dengan mudah menjawab bahwa pekerjaan atau profesi lain
di luar sana, termasuk di kota, di sektor industri jasa, masih amat terbuka.
Dari cerita singkat di atas, tampak nyata bahwa usahatani sawah telah menjadi
budaya hidup, jalan hidup (a way of life) atau bahkan peradaban tersendiri bagi para
petani, bahkan bagi masyarakat perdesaan. Perubahan yang tiba-tiba tentu tidak akan
terlalu mudah dilakukan, jika tidak dengan kekuatan besar. Dari sini juga tersirat
bahwa pendidikan petani dan keterampilan petani menjadi faktor yang amat krusial
dalam proses pembangunan ekonomi dan pembangunan peradaban. Theodore W.
Schultz, seorang Penerima Hadiah Nobel Ekonomi, alumnus University of Wisconsin-
Madison yang berkarir di University of Chicago, jauh-jauh hari telah menyampaikan
bahwa pendidikan petani dan penyuluhan kepada petani merupakan suatu investasi
sumberdaya manusia dengan biaya rendah yang mampu menghasilkan tambahan
pendapatan tinggi permanen bagi petani dan bagi pembangunan bangsa secara umum.

3. Perubahaan Teknologi

Hadirin yang berbahagia,


Bagaimana tentang perubahan teknologi dalam pembagunan pertanian atau
lebih khusus dalam sistem usahatani padi sawah? Tidak diragukan lagi bahwa
perubahan teknologi telah berkontribusi sangat besar pada pembangunan pertanian di
Indonesia, bahkan sejak awal 1960an ketika Presiden Soekarno mempopulerkan
bimbingan masal (BIMAS) dan intensifikasi masal (INMAS). Pada waktu itu,
perguruan tinggi besar di Indonesia, terutama Institut Pertanian Bogor (IPB),
Universitas Gadjah Mada (UGM) dan beberapa lainnya, melaksanakan pendampingan
dan pemberdayaan petani melibatkan dosen dan mahasiswa tingkat akhir. Mereka
memberikan bimbingan langsung kepada petani padi, sekaligus mengenalkan benih
padi baru atau disebut benih unggul yang mampu menghasilkan produktivitas berlipat.
Varietas padi lokal yang hanya menghasilkan produksi padi 1 ton per hektar atau
kurang dianjurkan untuk diganti dengan varietas unggul yang mampu menghasilkan
produksi padi 3 ton per hektar atau bahkan 4 ton per hektar.
Presiden Soeharto terus menyempurkan konsep BIMAS dan INMAS itu sejak
1970an, memasukkan elemen atau faktor produksi lain seperti pupuk kimia, pestisida,
infrastuktur irigasi dan lain-lain. Paket benih dan pupuk pada BIMAS dan INMAS itu
juga dilengkapi dengan dukungan kredit murah atau subsidi bunga kepada kepada
petani, ditambah dengan dukungan penyuluhan dan pemasaran hasil. Tidak
berlebihan untuk dikatakan bahwa perubahan teknologi produksi padi itu yang
berkontribusi pada pertambahan produktivitas padi, secara perlahan meningkat dari 3

5
ton menjadi 4 ton, dan kini sedikit di atas 5 ton per hektar. Presiden Soeharto ikut
menikmati hasil perubahan teknologi pertanian itu, karena dianggap menjadi role
model bagi negara-negara berkembang lain, mengubah status importir beras terbesar
menjadi negara yang mencapai swasembada beras dan memperoleh penghargaan
Medali Emas dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada tahun 1984.
Lebih dari 30 tahun kemudian, perubahan teknologi pertanian Indonesia tidak
sepesat seperti pada masa lalu. Kapasitas produksi pertanian kini sudah semakin
menurun, sehingga potensi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pun juga
semakin menurun. Faktor ketergantungan berlebihan pada pupuk kimia dan pestisida
juga ikut menyebabkan kelelahan lahan (land fatigue) yang amat serius, karena bahan
organik di dalam tanah telah semakin berkurang. Bukti-bukti fenomena kelelahan
lahan itu semakin mudah terlihat. Pada musim kemarau atau pada saat sistem irigasi
sawah terganggu, lahan sawah menjadi cepat kering dan kerontak alias pecah-pecah.
Pada kondisi seperti ini, peluang gagal panen pasti semakin besar. Singkat kata,
peningkatan produksi beras dan pangan lain di Indonesia kini tidak banyak didorong
oleh perubahan teknologi pertanian atau adaptasi inovasi baru. Produksi pertanian –
jika terjadi peningkatan – lebih banyak didorong pertambahan luas panen. Untuk
sementara waktu, Indonesia belum mampu lagi meghasilkan perubahan teknologi
pertanian yang spektakuler dan membawa lonjakan produktivitas yang layak dicatat
dan dikenang atau dijadikan pelajaran.
Apakah para peneliti dan ilmuwan Indonesia tidak mampu menghasilkan
perubahan teknologi? Jawaban atas pertanyaan tersebut “Tentu mampu”. Masalahnya
mengapa kinerja inovasi dan laju adopsi teknologi pertanian begitu lambat? Hal ini
menjadi pertanyaan yang lebih penting dan menarik, apalagi para peneliti dan
ilmuwan telah menghasilkan sekian varietas padi baru yang menurut hasil percobaan
di laboratorium menghasilkan produksi dan produktivitas yang sangat tinggi.
Sebagian besar ptani padi Indonesia masih senang menggunaka varietas padi
Ciherang, suatu varietas unggul yang telah dihasilkan pada tahun 2000an. Tetua dari
varietas Ciherang ini adalah varieas IR-64 yang juga sudah dikenal lama di Indonesia,
dengan ciri khas produktivitas tinggi, cocok ditanam pada musim hujan dan musim
kemarau, rasa nasinya enak dan pulen. Varietas padi yang dihasilkan dalam 5 tahun
terakhir, seperti jenis Inpari (Inbrida Padi Irigasi) dan Inpago (Inbrida Padi Gogo)
tidak banyak ditanam petani. Tingkat adopsi varietas baru jenis Inpari 13 misalnya,
hanya ditanam oleh sekitar 4 persen petani di sentra-sentra produksi padi di Indonesia.
Argumen yang berkembang pun bermacam-macam. Misalnya para penyuluh pertanian
dan peneliti tidak terlalu gencar menyampaikan atau mengkomunikasikan varietas
baru yang mereka hasilkan, dengan berbagai faktor pertimbangannya. Petani padi
sawah yang tidak terlalu berani ambil risiko, tentu cukup sulit untuk mengadopsi
teknologi baru atau mengganti jenis varietas yang ditanamnya jika tidak terdapat
jaminan akan keberhasilan varietas baru tersebut. Banyak petani yang menunggu dan
melihat (wait and see) hasil produksi varietas baru tersebut, mungkin sampai tingkat
produksi dan produktivitas cukup stabil. Petani padi Indonesia masih banyak yang
menganggap bahwa “seeing is believing” jauh lebih berharha dibandingkan sekadar
mencoba-coba varietas baru dengan hasil yang belum pasti. Ada juga cerita mistis di
balik rendahnya tingkat adopsi teknologi baru atau varietas padi unggul seperti jenis

6
Inpari tersebut. Misalnya, penamaan varietas padi biasanya merujuk pada nama
sungai di Indonesia, seperti Ciherang, Cisadane, Kahayan, Batang Lembang dan
sebagainya. Cerita ini tentu tidak ilmiah dan sulit dijelaskan dengan sains positif, tapi
dengan ilmu meta-fisika dan kekuatan supra natral lainnya. Percaya tidak percaya,
faktanya adalah tingkat adopsi varietas padi baru yang bukan bernama sungai hanya
sedikit sekali diadopsi (di bawah 5 persen) dan ditanam petani. Wallahu a’lam.
Beberapa negara bahkan telah maju dan berkembang dengan teknologi tinggi,
khususnya dengan bioteknologi modern, bahkan degan teknologi rekayasa genetika
(PRG). Para pejabat Indonesia sekarang nampak tidak terlalu tertarik tentang
pemanfaatan dan pengembangan produk bioteknologi, jika tidak dikatakan
menentang, walaupun proses kontroversi itu saat ini tidak terlalu mencuat. Dalam
dunia akademik, seberapa pun besarnya kontroversi produk bioteknologi diskusi
ilmiah dan debat publik pasti jauh lebih berharga dibandingkan “kesunyian” atau
apatisme dan tentu saja “kekerasan” atau pemaksaan kehendak, baik oleh pendukung
maupun oleh penentang produk bioteknologi. Kemajuan suatu proses berfikir ilmiah
tidak akan mampu berkembang hanya dengan “kesunyian” belaka yang cenderung
berimplikasi “kemandulan”, apalagi yang beranggapan bahwa langkah yang
dilakukannya berada pada kebenaran absolut.
Namun demikian, pengembangan bioteknologi pertanian di Indonesia tidak
akan membawa hasil yang memuaskan jika masih diliputi sekian macam ignorance
atau bahkan cenderung apatisme tersebut. Sependek pemahaman saya, diskusi
akademik dan debat publik yang mewarnai perjalanan bioteknolgi pertanian,
khususnya PRG atau yang sangat umum dikenal dengan istilah “pertanian transgenik”
masih belum menghasilkan titik temu yang dapat dijadikan referensi berharga oleh
masyarakat. Fokusnya pun masih tetap, sama dengan ketika pertama kali digulirkan
30 tahun lalu, yaitu bahwa pertanian transgenik dapat menjadi ancaman bagi
kemaslahatan umat manusia atau justru dapat menjadi harapan besar ketika upaya
peningkatan produksi dan produktivitas praktis tidak mengalami kemajuan berarti.
Dibandingkan dengan negara-negara maju yang telah demikian jauh, di Indonesia
diskusi terbuka mengenai pertanian transgenik masih amat jarang. Subyek pertanian
transgenik bukan dianggap sebagai persoalan masyarakat banyak seperti persoalan
harga beras dan bahan lain, namun dilihat sebagai “persoalan elit” para akademisi,
pejabat pemerintah dan segelintir pengusaha dan pekerja lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
Misalnya dalam konteks proses produksi beras yang sedang kita bicarakan.
Para peneliti bioteknologi pertanian telah bekerja keras untuk menghasilkan beras
emas (golden rice), yang sengaja direkayasa untuk menghasilkan beras khusus yang
juga dibutuhkan oleh konsumen berkebutuhan khusus. Para peneliti “memanipulasi”
genetika atau sel inti beras dengan memasukkan protein khusus ke dalam benih beras,
yang kelak bermanfaat untuk menambah kandungan Vitamin A pada beras atau
bahkan mengurangi kandungan gluten atau Indeks Glikemik. Beras dengan kandungan
Vitamin A tinggi akan bermanfaat bagi konsumen yang memiki maalah dalam
kesehatan mata. Beras dengan kandungan gluten rendah akan sangat bermanfaat bagi
konsumen yang memiliki gangguan penyakit gula. Contoh-contoh teknologi inovatif
seperti ini tidak mendapat porsi pengembangan memadai di dalam negeri, karena

7
sampai saat ini, tidak satu pun varietas unggul beras dari hasil proses bioteknologi ini
yang telah dilepas ke pasar atau boleh dimanfaatkan secara bebas oleh petani padi.
Benar, pelepasan varietas unggul beras hasil pengembangan bioteknologi
masih harus melewati proses uji lengkap oleh Komisi Keamanan Hayati dan
Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetika (KKH-PRG). Uji lengkap biasanya
berupa uji multi-lokasi dan uji adaptasi. Uji multi-lokasi dimaksudkan untuk
menjawab apakah varietas unggul tersebut menghasilkan hasil yang stabil dan sama
tinggi pada berbagai lokasi pengujian lapangan. Uji adapatasi dimaksudkan untuk
menjawab apakah varietas unggul padi hasil proses bioteknologi mampu beradaptasi
dengan berbagai lingkungan agro-ekosistem di seluruh Indonesia. Indonesia adalah
negara besar dengan berbagai karakteristik bio-fisik, sosial-ekonomi dan agro-
eksosistem yang berbeda, dari paling ujung Barat Sumatera di Pulau Weh di Aceh,
sampai palingg ujung Timur di Merauke, Papua. Akan tetapi, langkah-langkah yang
memperlambat atau menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam berbagai bentuk, tentulah bukan menunjukkan suatu peradaban masyarakat
yang tinggi. Masyarakat yang beradab akan senantiasa memfasilitasi atau bahkan
mendorong pembembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi baru,
sepanjang mampu meberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Lambatnya perubahan teknologi dalam pembangunan pertanian di Indonesia
juga tercermin dari kontroversi atau saling klaim tentang kinerja peningkatan produksi
beras dan pangan strategis lainnya. Fenomena atau masalah pertama yang
disampaikan pada bagian-bagian awal di atas, juga berhubungan dengan fakta
lambatnya perubahan teknologi pertanian, sehingga menghasilkan kualitas data
produksi yang tidak baik. Pada kesempatan ini tidak akan diuraikan tentang berapa
besar overestimasi data produksi beras saat ini karena hal tersebut akan menimbulkan
debat kusir yang berkepanjangan. Masyarakat pasti masih ingat ketika pada awal
Januari 2018, Pemerintah akhirnya mengambil keputusan untuk mengimpor beras
sebesar 500 ribu ton. Secara tidak langsung, Pemerintah mengakui terdapat masalah
yang serius dalam akurasi estimasi data produksi beras. Klaim surplus beras sampai
belasan ton setiap tahun menjadi sulit dibuktikan di lapangan setelah harga beras terus
bergerak naik, bahkan kinerja stok beras yang berhasil dikumpulkan Bulog jauh
berada di bawah 1 juta ton.
Metode estimasi produksi beras yang digunakan saat ini cenderung untuk
menghasilkan angka produksi yang overestimate. Lebih jelasnya begini. Produksi
beras di Indonesia diestimasi dari perkalian data produktivitas padi (dalam satuan ton
per hektare) dengan luas panen (dalam satuan hektare). Data produktivitas diperoleh
dengan menggunakan ukuran objektif (objective measurement) dari sekitar 21.000
sampel lahan petani berukuran 2,5 x 2,5 meter (atau disebut ubinan). Butir-butir padi
pada ubinan tersebut kemudian ditimbang secara teliti, lalu hasilnya diekstrapolasi
menjadi angka produktivitas dengan satuan ton per hektare. Data luas panen diperoleh
bukan dari pengukuran, tapi diturunkan dari luas lahan baku sawah, laporan luas
tambah tanam (LTT) dari daerah dan metode kira-kira sejauh mata memandang (eye
estimate) dengan sistem blok pengairan, dan lain-lain. Orang Betawi biasa menyebut
dengan metode estimasi seperti ini dengan istilah LUKI (Lu kire-kire aja deh..)

8
Sejak Juli 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai otoritas data tertinggi di
Indonesia untuk sementara berhenti merilis angka estimasi produksi beras dan pangan
lain sambil berupaya meningkatkan kualitas data. Tujuannya pun cukup strategis,
yaitu untuk berkontribusi pada perbaikan kredibilitas kebijakan ekonomi beras dan
pangan strategis nasional lainnya. BPS bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) sedang mengembangakan metode kerangka sampel area
(KSA) dengan mengkombinasikan data spasial dari Badan Informasi Spasial (BIG),
Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) dan data lapangan dari
Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Pemerintah Daerah dibantu
sekian ahli dalam bidang penginderaan jauh (remote sensing), pertanian, statistika,
ekonometrika, dan lain-lain. Pada saat naskah ini ditulis, pekerjaan estimasi dari
metode KSA ini sedang dilakukan di semua sentra produksi padi di Jawa dan sentra
produksi lain di Luar Jawa. Menurut perkiraan, angka estimasi produksi beras yang
lebih utuh paling cepat baru akan diperoleh pada Agustus 2018. Pertanyaannya adalah
apakah Pemerintah akan berani mengumumkan hasil estimasi produksi dengan
metode baru tersebut berapa pun hasilnya? Kita tunggu saja.

4. Politik Beras

Hadirin yang saya muliakan,


Politik beras bukan barang baru di Indonesia, yang memiliki sejarah panjang
jauh sampai zaman Kerajaan Mataram, yang mengalami zaman keemasan pada abad
ke-16 sampai abad ke-18 juga berhubungan dengan beras. Beras telah menjadi
penyokong kekuasaan Ki Ageng Pemanahan, pendiri Kerajaan Mataram. Raja
Pemanahan ini yang berhasil “menyulap” tanah mataram dari hutan dan semak
belukar menjadi padang sawah hijau royo-royo, kemudian berubah menjadi padi yang
menguning keemasan ketika musim panen tiba. Pada masa kepemimpinannya,
Mataram menjadi negeri yang makmur. Sandang dan pangan murah, harga terjangkau
dan cukup stabil. Mataram menjadi salah satu tujuan orang untuk datang, bekerja, dan
mengadu nasib mencari penghidupan yang lebih baik.
Awal kemunduran Kerajaan Mataram juga berpangkal dari beras, tepatnya
setelah pasokan bermasalah dan harga mulai liar tidak terkendali. Pasukan Raja
Trunojoyo dari Madura – yang sebenarnya merupakan kekuasaan satelit Kerajaan
Mataram – melakukan penyerbuan ke Mataram, juga berhubungan dengan buruknya
suplai pangan atau yang biasa dihubungkan dengan ketidakadilan dalam dalam
“pembagian kekauasaan”. Raja Amangkurat I terpaksa mengungsi hingga wafat di
tempat pengasingan. Faktor kemarau panjang yang mengganggu produksi pangan
seringkali tidak dilihat secara jernih oleh masyarakat. Ukuran yang kasat mata adalah
bahwa banyak punggawa kerajaan kekurangan pangan, apalagi rakyat biasa. Singkat
kata, Kerajaan Mataram mengalami kemunduruan secara signifikan, salah satunya
karena tidak mampu mengurus ekonomi perberasan di negerinya sendiri. Pada saat
yang sama Penjajah Belanda yang diwakili oleh Perusahaan Dagang India Timur
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) telah mulai menjalankan siasat politik

9
untuk menguasai dan mengadu domba antar komponen bangsa. Raja Amangkurat II
diberi kekuasaan khusus untuk memindahkan ibu kota ke Kartasura. Namun demikian,
situasi stabilitas pangan telah terlanjur sulit, harga beras terus melonjak naik, akses
pangan terganggu dan kesehatan masyarakat terganggu. Ada buku sejarah yang
menuliskan bahwa Raja Amangkura II hidup berwewah-mewah tanpa menghiraukan
penderitaan yang dialami prajurit kerajaan dan rakyatnya.
Pangeran Puger, Adik Amangkurat II, mengambil suatu kebijakan khusus
tentang stabilisai harga pangan. Puger sering harus menyamar, berganti busana rakyat
biasa, dan melakukan harga beras dan pangan lainnya di pasar. Pemantauan dan
pengendalian harga benar-benar dilakukan dengan seksama, sampai terkadang Puger
melakukan blusukan menemui petani padi, yang tidak memperoleh harga jual yang
layak. Pangeran Puger juga sering mengunjungi markas pasukan atau prajurit kerajaan
yang terpaksa makan umbi gadung dan ubi sebagai pengganti masi. Puger kemudian
menetapkan harga jual beras dan memantaunya atau mengendalikannya dengan baik.
Puger terus berkeliling ke pasar-pasar selama sekitar 40 hari, hingga akhirnya panen
padi berhasil dengan baik dan harga pangan kembali terkendali. Kartasura atau
Kerjaaan Mataram kembali pulih. Petani padi tenang dan konsumen beras dapat
membeli pangan dengan terjangkau.
Politik beras seperti itu telah terbukti ampuh untuk mendukung atau
melanggengkan suatu kekuasaan politik. Tidak kurang dari pimpinan VOC Mayor
JAB van Hohendorff juga menganjurkan agar Ibu Kota Kartasura dipindah ke Desa
Sala, untuk mendekati sentra produksi padi. Di luar politik pecah-belah yang
dijalankan, setidaknya faktor pasokan beras menjadi pertimbangan utama VOC dalam
bereksperimen dengan ekonomi regional. Desa Sala yang kelak menjadi Surakarta
Hadiningrat ini terletak di lembah sungai Bengawan Solo, dan daerah-daerah
sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo juga merupakan sentra
produksi padi, seperti Sragen, Ngawi, Madiun, Ponorogo dan sebagainya. Kerajaan
Mataram juga menggunakan politik beras untuk ekspansi kerajaan dan menaklukkan
kerajaan-kerajaan kecil di Jawa, bahkan sampai Batavia. Mataram memainkan kartu
penguasaan logistik beras sebagai senjata ampuh dalam melakukan perang atau
ekspansi kekuasannya. Tidak jarang, pasukan Kerajaan Mataram melakukan isolasi
musuh dari pasokan pangan, sehingga musuh hanya makan seadanya, seperti bonggol
pisang, umbi-umbian dan pangan lain yang sebenarnya tidak layak. Akibatnya, musuk
mengalami demoralisasi, berkelahi antarmereka sendiri, bahkan saling bunuh sesama,
hingga dengan mudah dikuasai oleh Kerajaan Mataram. Begitulah seterusnya.
Bukan suatu kebetulan belaka jika Presiden Soeharto yang berasal dari Daerah
Mataram melakukan politik beras yang mirip-mirip dengan yang dilakukan Kerajaan
Mataram. Soeharto secara serius membangun keluatan logistik dengan mendirikan
Komando Logistik Nasional (Kolognas) dan dipimpin oleh seorang Jenderal, tentara
aktif. Kolognas ini yang kelak kemudian dikenal dengan Badan Urusan Logisik
(Bulog), yang bertanggung jawab mengamankan pasokan pangan, sebagai logistik
utama dalam falsafah perang. Penguasaan sistem logistik akan sangat menentukan
stabilisasi harga pangan nasional, sekaligus menjadi basis utama melakukan
pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan lain-lain. Seperti disampaikan
sebelumnya, Presiden Soeharto diwarisi BIMAS dan INMAS, suatu paket program

10
inovatif pada masanya untuk meningkatkan produksi beras, menggunakan teknologi
modern, seperti pupuk dan pestisida, jarak tanam, pengaturan air irigasi dan lain-lain.
Baru kemudian teori-teori ekonomi tentang stabilisasi harga pangan juga mulai
dibangun dan dikembangkan, dengan pelajaran atau bukti empiris dari Indonesia.
Politik stabilisasi harga pangan ini sesungguhnya berakar dari politik beras, yang
sering disebutkan dalam literatur dengan full-belly approach atau pendekatan perut
kenyang. Fondasi strategi stabilisai harga beras atau pangan secara umum memiliki
landasan yang dapat dijustifikasi, yaitu apakah negara membiarkan proses
pembentukan harga diserahkan kepada mekanisme pasar atau apakah negara harus
melakukan intervensi. Teori-teori eonomi neoklasik atau mainstream memang masih
konsisten menolak keras campur tangan pemerintah dalam stabilisasi harga pangan,
terutama dalam rentang jangka panjang. Adalah Peter Timmer, Scott Pearson dan
Walter Falcon asal Harvard University dan Stanford University yang mengembangkan
teori ekonomi intervensi pemerintah, terutama pada tahap awal pembangunan. Mereka
menolak tegas pemikiran simplifikasi dan kesalahan persepsi para ekonom
mainstream yang tidak paham sejarah perkembangan bangsa-bangsa Asia. Tiga
serangkai ekonom Timmer-Pearson-Falcon (TPF) secara resmi membantu menjadi
arsitek pembangunan ekonomi pada masa awal Presiden Soeharto, terutama dalam
mendesain strategi stabilisasi harga.
Fungsi strategis stabilisasi inilah yang menjadi falsafah utama kebijakan harga
dasar gabah dan harga atap beras, serta sebagai justifikasi pendirian Bulog sebagai
lembaga logistik nasional, yang kini menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Perum Bulog. Tanpa mengurangi peran Kepala Bulog lainnya, Jenderal Bustanil
Arifin menjadi amat fenomenal karena kemampuannya secara ketat dan militeristik
dalam menjalankan stabilisasi harga. Esensinya adalah fluktuasi harga beras masih
dapat dibenarkan, sepanjang tidak lebih tinggi dari harga atap beras, dan tidak lebih
rendah dari harga dasar gabah. Koperasi Unit Desa (KUD) seakan menjadi prasyarat
dalam pelaksanakan kebijakan stabilisasi harga, karena berhubungan langsung dengan
petani untuk memenuhi syarat mutu beras seperti teknis kadar air, tingkat patahan,
kotoran, sosoh dan lain-lain. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, politik beras ini
yang juga mengantarkan Presiden Soeharto menuju mimbar terhormat dan panggung
utama FAO di Roma untuk menyampaikan pidato keberhasilannya dalam mencapai
swasembada beras. Sebagian besar masih paham bahwa setelah Indonesia mencapai
swasembada beras tersebut, semua seakan merasa puas dan mulai lengah dalam
menjalankan strategi pembangunan yang selama sekian tahun berjalan dengan baik.
Pada akhir 1990an, strategi stabilisasi harga terebut mulai menghadapi masalah
di lapangan, terutama karena persoalan governansi, bahkan sampai pada lembaga
negara yang bertanggung jawab menjalankan stabilisasi harga dan fungsi logistik.
Para ekonom mainstream mulai meragukan strategi intervensi negara, terutama jika
menimbulkan distorsi ekonomi dan inefisiensi yang cukup akut. Setelah Presiden
Soeharto berhenti pada Mei 1998, pilar-pilar yang mendukung politik beras dalam
menjalankan strategi stabilisasi satu-persatu mulai ikut rontok. Kebijakan ekonomi
tidak lagi dapat dijalankan secara sentralistik. Bulog sendiri sebagai lembaga negara
juga sedang disorot sekian banyak kasus hukum yang mengganggu perjalanan utama
untuk melakukan stabilisasi. Bulog tidak lagi memiliki privilis untuk memperoleh

11
Kredit Likuidatas Bank Indonesia (KLBI), yang menjadi salah satu pilar kokoh untuk
secara leluasa menjalankan pembelian atau pengadaan gabah, melakukan operasi
pasar dan lain-lain sebagai elemen penting dalam stabilisasi harga pangan.
Periode tahun 1998-2001 adalah masa transisi yang paling sulit yang dialami
Bulog dan Pemerintah dalam menjalankan politik beras atau kebijakan stabilisasi
harga pangan secara umum. Di tengah rezim Pemerintahan transisi pimpinan Presiden
Bacharudin Jusuf Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Bulog juga
memperoleh tekanan politik yang besar. Di satu sisi, kinerja produksi beras sangat
tidak baik karena Indonesia menderita kekeringan hebat, akibat musim kering ekstrem
El-Nino, yang terjadi pada saat Krisis Ekonomi Asia yang parah. Indonesia harus
melakukan impor beras lebih dari 6 juta ton (beberapa ada yang menyebutkan 8 juta
ton), laju inflasi sangat tinggi, jumlah orang miskin meningkat pesat sampai 24 persen
dan lain-lain. Pada sisi lain, euforia otonomi daerah juga ikut memberi tekanan
kepada Pemerintah Pusat dan Bulog untuk menyerahkan kewenangan manajemen
logistik pangan kepada Pemerintah Daerah. Secara konstitusional, manajemen logistik
pangan adalah jenis urusan yang memang harus didaerahkan, karena bukan termasuk
urusan keuangan-moneter, keagamaan, kehakiman, dan diplomasi luar negeri.
Setelah melalui diskusi berkepanjangan dan debat publik yang sengit, pada
tahun 2003 Pemerintah akhirnya memutuskan bahwa Bulog kemudian diubah dari
Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) menjadi BUMN yang berbentuk
Perusahaan Umum (Perum). Format ini dianggap sebagai pilihan terbaik di antara
sekian opsi buruk yang tersedia. BUMN bernentuk Perum masih memberikan diskresi
atau rentang-kendali Pemerintah Pusat kepada Bulog dan kepada Divisi Regional
Bulog di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Sesaat setelah berubah bentuk
menjadi Perum, Bulog masih melaksanakan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan,
distribusi, dan pengendalian harga beras serta usaha jasa logistik.
Pada masa transisi inilah, strategi stabilisasi harga terebut mulai menghadapi
masalah di lapangan, terutama karena persoalan governansi, bahkan sampai pada
lembaga negara yang bertanggung jawab menjalankan stabilisasi harga dan fungsi
logistik. Para ekonom mainstream kembali meragukan strategi intervensi negara,
terutama jika menimbulkan distorsi ekonomi dan inefisiensi yang cukup akut.
Argumennya adalah bawha manfaat yang dapat dipetik dari tindakan upaya stabilisasi
harga umumnya sangat kecil, bahkan negatif. Biaya transaksi yang ditimbulkan dari
upaya intervensi pemerintah tersebut ternyata sangat besar. Korupsi kronis yang
senantiasa menyertai strategi stabilisasi harga bahan pangan, terutama di kebanyakan
negara berkembang adalah salah satu bentuk biaya transaksi yang harus ditanggung
masyarakat luas. Di negara-negara Asia lainnya, politik pangan dalam format
stabilisasi harga pangan melalui suatu lembaga parastatal seperti Bulog, seperti yang
dijalankan oleh Food Corporation of India (FCI), National Food Authority (NFA) di
Filipina, Vina Food di Vietnam, Bernas di Malaysia dan lain-lain. Politik beras seperti
itu akan melahirkan kelompok kepentingan (vested interests) selalu melingkupi proses
perumusan, organisasi dan implementasi kebijakan intervensi, bukan untuk tujuan
stabilisasi harga semata, melainkan untuk kepentingannya sendiri dam kelompoknya.

12
5. Konsumsi Beras

Hadirin yang berbahagia,


Mari kita fokuskan pada persoalan konsumsi beras, yang masih sangat tinggi
untuk standar Asia Tenggara sebagai pemakan beras. Angka resmi Pemerintah yang
diturunkan dari Survai Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan BPS
menunjukkan bahwa konsumsi beras saat ini adalah 114 kilogram pre kapita per
tahun. Konsumsi beras langsung oleh rumah tangga masih sekitar 93 kilogram per
kapita, dan lainnya adalah konsumsi tidak langsung dalam bentuk tepung beras, kue-
kue dan konsumsi beras di luar rumah, termasuk di hotel, restoran dan katering.
Betapa strategisnya fungsi beras dibandingkan pangan lain telah diuraikan panjang
lebar sebelumnya. Pada saat pasokan bermasalah, maka harga beras menjadi mahal,
dan memukul kelompok miskin, karena 23 persen garis kemiskinan di Indonesia
ditentukan oleh harga beras. Jika sedikit saja terdapat masalah, maka potensi masalah
sosial-politik yang lebih besar telah menunggu.
Tingkat konsumsi beras ini sering digunakan sebagai indikator kecukupan
pangan atau kualitas konsumsi pangan secara umum. Di satu sisi, konsumen beras,
terutama dari kelompok berpanghasilan menengah ke atas juga telah mempengaruhi
pola dan sistem produksi beras. Kelompok kelas menengah ini sangat amat peduli
tentang jenis dan kualitas beras, bahkan rela membayar harga beras cukup mahal
sepanjang mampu memenuhi selera dan kebutuhannya. Cukup banyak studi yang
menyebutkan bahwa tingginya konsumsi beras di Indonesia juga berkontribusi pada
tingginya angka penyakit diabetes melitus (DM) atau penyakit gula, yang juga
menjadi pintu masuk bagi beberapa penyakit degeneratif lainnya, dan menjadi salah
satu perenggut jiwa yang cukup besar di Indonesia. Pola makan, pola hidup, pola kerja
dan tekanan hidup sehari-hari juga ikut berkontribusi pada penyakit degeneratif ini,
yang umumnya beriiringan dengan darah tinggi, jantung, kolesterol dan lainnya. Ada
juga pendapat yang tentu memerlukan klarifikasi akademik, yang mengaitkan bahwa
di dalam beras terdapat zat adiktif, sehingga senantiasa ingin makan banyak. Pendapat
lain yang mengaitkan bahwa bangsa pemakan beras jarang sekali mampu menjadi
juara dunia sepak bola atau jara ratu kecantikan sejagat, merupakan serpihan-serpihan
pendapat bahwa betapa strategisnya konsumsi beras di Indonesia.
Sementara itu di sisi lain, persoalan akses pangan, khususnya pangan pokok,
juga telah menjelma menjadi tiga beban gizi (triple burden) yang tidak dapat dianggap
ringan, karena akan mempengaruhi kualitas pembangunan masa depan bangsa. Anak
umur balita (bawah lima tahun) banyak yang menderita prevalensi gizi kurang
(malnutrition), pendek (stunting) dan kegemukan (obesity) karena keterbatasan akses
pangan dan gizi tidak seimbang. Menariknya, fenomena stunting tidak hanya diderita
oleh mereka yang berada pada kelompok pendapatan rendah di daerah perdesaan, tapi
juga yang berpendapatan tinggi di daerah perkotaan. Sumber-sumber data resmi
menunjukkan bahwa beban gizi bangsa Indonesia belum dapat ditanggulangi, karena
buruknya akses pangan, kualitas sanitasi lingkungan, pola asuk anak di dalam rumah
tangga, dan pemahaman para penyelenggara negara dari tingkat pusat sampai daerah.
Beberapa fakta tersebut diikhtisarkan berikut ini:

13
Pertama, tingkat prevalensi kurang gizi (malnutrition), terutama Balita di
Indonesia 19,6 persen (terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang).
Angka tersebut meningkat dari 17,9 persen pada tahun 2010 (4,9 persen gizi buruk
dan 13 persen gizi kurang). Sebanyak 18 provinsi di Indonesia memiliki angka
prevalensi kurang gizi di atas angka rata-rata nasional. Angka prevalensi kurang gizi
terbesar diderita Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mencapai 33,1 persen, disusul
Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku dan seterusnya. Provinsi-provinsi tersebut juga
memiliki angka kemiskinan yang masih tinggi, karena prevalensi kurang gizi amat
dekat berhubungan dengan tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.

Kedua, fenomena anak pendek atau gagal tumbuh (stunting) saat ini tercatat
37,2 persen, meningkat dari 35,6 persen pada tahun 2010. Secara teknis kesehatan,
anak pendek adalah salah bentuk output dari kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama. Tingkat kesejahteaan ibu hamil
dan menyusui menjadi amat krusial karena stunting terjadi mulai janin masih dalam
kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Sebanyak 20 provinsi
memiliki prevalensi anak pendek (stunting) yang lebih buruk dari rata-rata nasional,
yaitu: NTT, Sulawesi Barat, NTB, Papua Barat dan lain-lain.
Ketiga, masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun cukup tinggi, yaitu 18,8
persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen, sangat gemuk (obesitas) 8,0 persen, yang
merupakan beban gizi tersembunyi karena kualitas asupan pangan dan gizi cenderung
tidak baik. Sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi obesitas di atas rata-rata nasional,
yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Timur, Bali, dan lain-lain.
Bukti-bukti ilmiah telah amat kuat, bahwa Balita yang mengalami masalah gizi
buruk sperti berat badan kurang, kurus (wasting), stunting dan obesitas kelak akan
mengalami gangguan kesehatan yang serius. Penyakit degeneratif seperti stroke,
jantung, diabetes, darah tinggi semakin banyak terjadi, baik di perkotaan maupun
perdesaan adalah konskuensi persoalan akses pangan, kualitas gizi, pola asuk dan pola
hidup tidak sehat sejak usia dini. Prevalensi obesitas pada orang dewasa cukup tinggi
26,6 persen, yang juga dapat berujung pada penyakit degeneratif yang amat bahaya,
dan membahwa konsekuensi ekonomi yang tidak kalah serius.
Persoalan akses pangan dan kualitas gizi tidak terpisahkan dari perubahan gaya
hidup modern, konsumsi pangan cepat saji, atau pertumbuhan industri pangan yang
juga pesat dengan iklan promosi amat gencar nyaris tanpa kontrol. Teknologi pangan
mampu menghasilkan pangan padat energi, mengandung gula, garam, dan lemah
berlebih. Porsi pangan berlebih dan minimnya aktivitas fisik juga berpotensi
mengganggu metabolism tubuh dan meningkatkan risiko penyakit degeneratif berhaya
yang jelas akan menurunkan produktivitas tenaga kerja. Bahkan, persoalan penyakit
tidak menular dan amat degeneratif yang disampaikan di atas kini telah menjadi beban
berat bagi sistem jaminan kesehatan nasional saat ini. Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit Rp 9 triliun pada tahun 2017, sedikit
menurun dari defisit Rp 9,7 triliun pada tahun 2016.

14
6. Penutup

Hadiri yang saya muliakan,


Izinkan saya menutup Pidato Peradaban tentang “Perberasan Nasional—Upaya
Mencari Solusi Integratif” yang pertama kali dilaksanakan oleh Institut Peradaban ini
dengan pesan-pesan untuk dibawa pulan seperti berikut ini:
Pertama, solusi integratif tersebut perlu tetap bervisi bahwa perberasan
nasional perlu dipecahkan melalui langkah-langkah integrasi dengan pembangunan
ekonomi, yaitu fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat, terutama di
perdesaan. Dari total 27,7 juta (10,64 persen) penduduk miskin di Indonesia, sebanyak
62,2 persen di perdesaan dan 37,8 persen di perkotaan. Berhubung pangsa
pengeluaran terhadap pangan masih amat besar 65 persen, maka penurunan inflasi
yang disebabkan oleh volatilitas harga pangan masih tetap relevan dilakukan baik di
perdesaan, maupun di perkotaan. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa peningkatan
pendapatan petani, tidak identik dengan peningkatan produksi pangan saja.
Maksudnya adalah bahwa solusi kebijakan perberasan yang menekankan sisi suplai
saja tentu tidak cukup. Kebijakan perberasan juga perlu disempurnakan dengan
perbaikan sisi permintaan pangan. Intinya adalah bahwa pendapatan petani yang lebih
tinggi dapat mengurangi kemiskinan di pedesaan. Harga pangan yang lebih rendah
dapat mengurangi inflasi, sehingga kemiskinan di perkotaan (dan juga di pedesaan)
akan menurun. Kombinasi strategi peningkatan produksi dan penyerapan
(permintaan) produk pangan, seharusnya mampu mengatasi kemiskinan dan
mendorong stabilasasi harga pangan
Kedua, kombinasi itu masih perlu dijabarkan menjadi kebijakan perberasan
dari sisi suplai atau peningkatan produksi pangan melalui langkah-langkah berikut: (1)
Perbaikan manajemen usahatani, sistem insentif baru berbasis inovasi dan teknologi
baru, benih unggul, teknik budidaya dan penanganan panen-pascapanen; (2)
Pembangunan infrastruktur pedesaan untuk mendukung rantai nilai beras dan pangan
lain; (3) Pengembangam teknologi informasi untuk memotong rantai dan marjin biaya
tataniaga, petani dapat menerima harga lebih tinggi, konsumen membayar harga relatif
lebih rendah, dan (4) Dukungan alokasi anggaran penelitian dan pengembangan
(R&D) pertanian, follow-up kebijakan promotif untuk pengembangan bioteknologi.
Kebijakan perberasan dari sisi demand dilakukan melalui langkah-langkah berikut: (1)
Pengembangan agregator bisnis untuk melakukan pembelian langsung dari petani
dengan memanfaatkan e-commerce; (2) Pendalaman industri atau proses hilirasi dan
pengolahan beras dan pangan lain, (3) Pemanfaatan produk samping penggilingan
beras, seperti dedak, bekatul, dan olahan lain untuk beras; dan (4) Pemanfaatan
potensi dan kearifan pangan lokal, pengembangan industri kuliner dan peningkatan
gizi masyarakat, pengembangan kewirausahaan usaha kecil menengah dan koperasi
(UKMK) pedesaan.
Ketiga, khusus tentang diversifikasi pengganti sumber karbohidrat dari beras,
pengembangan pangan lokal sesuai kearifan masyarakat, seperti pemberian insentif
bagi investasi baru yang berbasis penguasaan teknologi tepat-guna. Dalam konteks

15
yang lebih spesifik, strategi diversifikasi pangan dirumuskan untuk mencapai tingkat
keseimbangan gizi, yang akan menghasilkan dampak jangka menengah dan panjang
yang lebih produktif. Sistem sistem dis-insentif pangan impor perlu dirumuskan
secara terukur untuk memberikan insentif pengembangan pangan lokal di daerah.
Misalnya, akan amat sulit berharap tepung mocaf (modified cassava flour) dapat
berkembang pesat dan menjadi andalan pengembangan pangan lokal jika pelaku usaha
masih dibebani pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen, sementara impor gandum
tidak dikenai pajak impor.
Keempat, perbaikan strategi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) gizi,
terutama bagi kaum wanita dan ibu muda pada golongan menengah ke bawah. Di
sinilah bahwa integrasi pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan
pembangunan gizi masyarakat, mulai dari pangan pekarangan, pos pelayanan
kesehatan terpadu (Posyandu), pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) akan saling
bahu-membahu mampu berkontribusi pada pembangunan ketahanan pangan dan gizi
yang lebih menyeluruh.
Terima kasih atas perhatian dan dukungannya. Insya Allah kita berjumpa lagi.

Wasalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh.


Bintaro Jaya, 22 Maret 2018

Bustanul Arifin

16
Biodata Singkat

BUSTANUL ARIFIN, dilahirkan di Bangkalan, 27 Agustus 1963, meraih Sarjana


Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (1985), Master of Science (M.Sc.)
dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) bidang Resource Economics (1995) dari University
of Wisconsin-Madison (AS). Pada tahun 2005 Bustanul Arifin diangkat sebagai Guru
Besar Ilmu Ekonomi Pertanian di Universitas Lampung (UNILA) dan aktif juga
sebagai Professorial Fellow di Sekolah Bisnis, Institut Pertanian Bogor (SB-IPB).
Sejak 1996 Bustanul Arifin tercatat sebagai Ekonom Senior di INDEF, menjadi Guru
Besar Tamu di University of Wisconsin-Madison (2002-2003) dan University of
Sydney, Australia (2007-2008). Arifin kini mengabdikan dirinya sebagai Ketua Forum
Masyarakat Statstik (FMS) dan Anggota Komite Penyuluhan Pertanian Nasional
(KPPN), Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia
(PERHEPI) dan Koordinator FG Pangan dan Pertanian, Pengurus Pusat Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia (ISEI). Arifin pernah menjadi Ketua Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan (DKP), Anggota Komite Inovasi Nasional (KIN) dan Penasehat
Timnas Perundingan Perdagangan Internasional (PPI). Arifin telah menulis 40 judul
buku (16 judul sebagai penulis tunggal), lebih 80 artikel di jurnal ilmiah, lebih 100
makalah untuk konferensi internasional, dan lebih 500 makalah untuk seminar
nasional. Buku-buku karyanya antara lain: Pengendalian Risiko Lingkungan di DAS
Sekampung (Indef, 2018); Sosial Ekonomi Pertanian (IPB Press, 2016); Ekonomi
Pembangunan Pertanian (IPB Press, 2015); Kebijakan Perdagangan Pangan (Unila
Press, 2012); Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian (Rajawali, 2007), dll.
Arifin telah menjadi konsultan dan nara sumber di berbagai lembaga nasional dan
internasional, dan menulis sekitar 1.000 artikel ekonomi pertanian dan ekonomi
pembangunan di media massa.

17

Anda mungkin juga menyukai