LP 7 Diagnosa Jiwa 2
LP 7 Diagnosa Jiwa 2
1. Aktualisasi diri : Pernayataan diri tentangkonsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
2. Konsep diri positif : apabila individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negative
dari dirinya
3. Harga diri rendah : Individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan
merasa rendah dari orang lain.
4. Kerancuan identitas : Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial kepribadi
an pada masa dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi : Perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri
sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.
D. Faktor Predisposisi
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistis.
2. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang sesuai
dengan jenis kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran yang sesuai dengan
kebudayaan
3. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak percaya
pada anak, tekanan teman sebaya dan kultur social yang berubah.
E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian anggota
tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta
menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri : harga diri rendah ini dapat
terjadi secara situasional maupun kronik.
1. Situasional
Gangguan konsep diri : harga diri rendah yang terjadi secara situasional bisa
disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus
dioperasi, mengalami kecelakaan, mejadi korban perkosaan, atau menjadi
narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu dirawat di rumah sakit
juga bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit
fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang
tidak tercapai akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh serta perlakuan petugas
kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga.
2. Kronik
Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung
sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien
sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin
meningkat saat dirawat.
F. Akibat (Effect)
Harga diri rendah kronis dapat beresiko terjadinya isolasi sosial. Isolasi sosial
merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Isosial sosial dapat mengakibatkan
perubahan persepsi sensori: halusinasi yang pada akhirnya menyebabkan resiko
tinggi perilaku kekerasan.
H. Mekanisme Koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek dan jangka panjang
serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri yang
menyakitkan.
1. Pertahanan jangka pendek
a. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis identitas
(misal : bermain musik, bekerja keras, menonton TV)
b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara (ikut serta
dalam aktivitas sosial, agama, klub politik, kelompok/geng)
c. Aktivitas yang secara sementara menguatkan perasaan diri (misal : olahraga
yang kompetitif, pencapaian akademik, kontes untuk mendapatkan
popularitas)
d. Aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat masalah
identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan idividu (misal :
penyalahgunaan obat)
2. Pertahanan jangka panjang
a. Penutupan identitas : Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh
orang penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi dan
potensi diri individu tersebut
b. Identitas negatif : Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat
diterima oleh nilai dan harapan masyarakat.
II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN
A. Gangguan konsep diri : HDR
Data Mayor :
DS : Klien hidup tak bermakna, tidak memiliki kelebihan apapun,
merasa jelek
DO : Kontak mata kurang, tidak berinisiatif berinteraksi dengan orang
lain
Data Minor :
DS : Klien mengatakan malas, putus asa, ingin mati.
DO : Klien malas-malasan, produktivitas menurun
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba
Medika.
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari
Pocket Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3rd ed. Jakarta :
EGC.
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1. Bandung : RSJP.
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
D. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
C. Rentang Respons
Respons Adaptif Respons Maladaptif
D. Etiologi
Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor
presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor
predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya
merupakan faktor predisposisi terjadi perilaku menarik diri. Kegagalan
perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada
diri orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan
orang lain, menghindari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa
tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan
orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan
kegiatan sendiri terabaikan.
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam
hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat
menimbulkan masalah.
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan
Interpersonal.
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Mengembangkan otonomi dan awal
Masa Bermain
perilaku mandiri
Belajar menunjukkan inisiatif, rasa
Masa Prasekolah
tanggung jawab, dan hati nurani
Belajar berkompetisi, bekerja sama,
Masa Sekolah
dan berkompromi
Menjalin hubungan intim dengan
Masa Praremaja
teman sesama jenis kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan
Masa Remaja jenis atau bergantung pada orang
tua.
Menjadi saling bergantung antara
orangtua dan teman, mencari
Masa Dewasa Muda
pasangan, menikah, dan mempunyai
anak.
Belajar menerima hasil kehidupan
Masa Tengah Baya
yang sudah dilalui.
Berduka karena kehilangan dan
Masa Dewasa Tua mengembangkan perasaan
keterikatan dengan budaya.
Sumber : Stuart dan Sundeen (1995)
b. Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk
masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan
(double bind) yaitu suatu keadaan di mana seorang anggota keluarga
menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan atau
ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk
berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan
suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini
disebabkan oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga, dimana
setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti usia lanjut, berpenyakit
kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
d. Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien
skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki
struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan
ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal.
2. Faktor Presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal
dan eksternal seseorang. Faktor stresorpresipitasi dapat dikelompokkan sebagai
berikut.
a. Faktor eksterna
Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang ditimbulkan oleh
faktor sosial budaya seperti keluarga.
b. Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas yang
berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan
individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.
E. Dampak Menarik Diri Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai dampak gangguan interaksi sosial menarik
diri terhadap kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan oleh Abraham Maslow.
1. Kebutuhan Fisiologis
Klien dengan interaksi sosial menarik diri kurang memperhatikan diri dan
lingkungannya sehingga motivasi untuk makan sendiri tidak ada. Klien kurang
memperhatikan kebutuhan istirahat dan tidur, karena asyik dengan pikirannya
sendiri sehingga tidak ada minat untuk mengurus diri dan keberhasilannya.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Klien dengan gangguan interaksi menarik diri cenderung merasa cemas,
gelisah, takut dan bingung sehingga akan menimbulkan rasa tidak aman bagi
klien.
3. Kebutuhan Mencintai dan Dicintai
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri cenderung memisahkan diri
dari orang lain.
4. Kebutuhan Harga Diri
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri akan mengalami perasaan
yang tidak berarti dan tidak berguna. Klien akan mengkritik diri sendiri,
menurunkan dan mengurangi martabat diri sendiri sehingga klien terganggu.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri akan merasa tidak percaya
diri, merasa dirinya tidak pantas menerima pengakuan dan penghargaan dari
orang lain dan klien akan merasa rendah diri untuk meminta pengakuan dari
orang lain.
D. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh
dari klien atau keluarga. Faktor predisposisi meliputi:
1. Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
2. Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkarkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan yang
membesarkannya.
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang
mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethytransferase (DMP).
4. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda
bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stres
dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
5. Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
E. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang
lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama
diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah
sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat
meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat
halusinogenik.
F. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman,
gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak
nyata. Rawlins dan Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi
berlandaskan atas hakikat keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun
atas unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5
dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan eksternal
yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa
kondisi fisik seperti: kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu
lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan, sehingga klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap ketakutannya.
3. Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang
akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri. Individu asik
dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau
orang lain. Dengan demikian intervensi keperawatan pada klien yang mengalami
halusianasi adalah dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan penngalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan agar klien tidak menyendiri.
5. Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan
manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang mengalami
halusiansi cenderung menyendiri dan cenderung tidak sadar dengan
keberadaanya serta halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut.
G. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat
mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan.
Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan
sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang
berhasil.
H. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri.
I. Tahapan Halusinasi
1. Tahap I ( non-psikotik )
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat
orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang
menyenangkan bagi klien. Karakteristik :
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadaran
Perilaku yang muncul :
a. Tersenyum atau tertawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Tahap II ( non-psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat
kecemasan yang berat. Secara umum, halusinasi yang ada dapat menyebabkan
antipasti.
Karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan oleh
pengalaman tersebut
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita
3. Tahap III ( psikotik )
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat,
dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Karekteristik :
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV ( psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panic
Perilaku yang muncul :
a. Resiko tinggi menciderai
b. Agitasi atau kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan
seseorang yang menarik diri dari lingkungan karena orang tersebut menilai dirinya
rendah. Bila klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya yang
menyuruh pada kejelekan maka akan berisiko terhadap perilaku
C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkemabangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat menigkatkan stress dan ansiets yang berakhir
dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi yang tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.
c. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau
perubahan pada sel kortikal dan limbik.
e. Genetis
Diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
f. Neurobiologis
Adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
g. Neurotransmitter
Abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
h. Virus paparan virus influensa pada trimester III
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti
atau diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari
kenyataan yang menyenangkan.
F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
1. Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas
2. Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
3. Menarik diri
4. Pada keluarga ; mengingkari
C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan eksternal :
1. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunya
percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain.
2. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis dan
lain-lain.
Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
penganiayaan antara lain sebagai berikut :
1. Kesulitan kondisi social ekonomi
2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
3. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya
dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa
4. Pelaku mungkin mempuanyai riwayat anti sosial seperti penyalahgunaan obat
dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa
frustasi
5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
F. Mekanisme Koping
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego
seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat
berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat
menyebabkan seseorang rendah diri (Harga diri rendah), sehingga sulit untuk
bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak
diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang
meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat berdampak
pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain
dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga
yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi
perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan
klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan
keluarga tidak maksimal (regimen teurapeutik inefektif).
Data Minor :
DS : mengatakan ada yang mengejek dan mengancam, mendengar
suara yang menjelekkan, merasa orang lain mengancam dirinya
DO : menjau dari orang lain, katatonia
III. DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk, 2003 ,Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo,
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Keliat Budi Ana, 1999, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC,
Keliat Budi Ana, 1999, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC,
Stuart GW, Sundeen, 1995, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).
St.Louis Mosby Year Book,
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran,EGC;Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO TINGGI BUNUH DIRI
C. Rentang Respon
Respons Adaptif Respon Maladaptif
Peningkatan diri Beresiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
tidak langsung
Keterangan :
1. Peningkatan diri : Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri
secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
2. Beresiko destruktif : Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi
yang seharusnya dapat mempertahankan diri.
3. Destruktif diri tidak langsung : Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya unSP
mempertahankan diri.
4. Pencenderaan diri : Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencenderaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh diri : Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang
penuh stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya :
1. Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses kontemplasi dari bunuh
diri, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan,
bahkan klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak
ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu menyadari bahwa pasien pada
tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan unSP mati
2. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan
perencanaan yang konkrit unSP melakukan bunuh diri
3. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan
hasrat yang dalam, bahkan ancaman unSP mengakhiri hidupnya
4. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang
diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam
kehidupannya tetapi sudah pada percobaan unSP melakukan bunuh diri. Hal
ini terjadi karena individu mengalami ambivalen antara mati, hidup dan tidak
berencana unSP mati. Individu ini masih memiliki kemauan unSP hidup, ingin
di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap ini
sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan
stres yang tidak mampu di selesaikan
5. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai
indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat
yang mematikan, walaupun demikian banyak individu masih mengalami
ambivalen akan kehidupannya.
D. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik dan teori biologi
Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya.
Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang
berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.
2. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi bunuh diri dalam 3 kategori yaitu : Egoistik (orang
yang tidak terintegrasi pada kelompok sosial) , atruistik (Melakukan bunuh diri
unSP kebaikan masyarakat) dan anomik ( Bunuh diri karena kesulitan dalam
berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).
3. Teori psikologi, memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego,
trauma interpersonal, dan kecemasam berkepanjangan yang nungkin dapat
memicu seseorang unSP mencederai diri. Sigmund Freud dan Karl Menninger
meyakini bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri
sendiri.
4. Teori interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai kegagalan
dari pertemuan dalam hidup, masa anak-anak mendapat perlakuan kasar serta
tidak mendapatkan kepuasan (Stuart dan Sundeen, 1995)
5. Penyebab lain :
a. Adanya harapan yang tidak dapat di capai
b. Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidak-berdayaan
c. Cara untuk meminta bantuan
d. Sebuah tindakan untuk menyelesaikan masalah
E. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami individu.
Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang
dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai
orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang
emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
F. Masalah dan Data yang Perlu dikaji
Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
1. Riwayat masa lalu :
a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid,
antisosial, gangguan persepsi sensori, gangguan proses pikir, dlsb
f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka
2. Symptom yang menyertainya
a. Apakah klien mengalami :
a) Ide bunuh diri
b) Ancaman bunuh diri
c) Percobaan bunuh diri
d) Sindrom mencederai diri sendiri yang disengaja
b. Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan anhedonia
dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait dengan resiko bunuh diri.
3. Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk membunuh diri
mereka sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih mendalam lagi diantaranya :
a. Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
b. Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau
perencanaan untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan rencananya.
c. Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk
merencanakan dan mengagas akan bunuh diri
d. Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu diakses oleh
klien.
e. Hal – hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan pengkajian tentang
riwayat kesehatan mental klien yang mengalami resiko bunuh diri :
f. Menciptakan hubungan saling percaya yang terapeutik
g. Memilih tempat yang tenang dan menjaga privasi klien
h. Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam dan
mendorong komunikasi terbuka.
i. Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata – kata yang
dimengerti klien
j. Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat pengobatannya
k. Mendaptakan data tentang demografi dan social ekonomi
l. Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan
m. Peroleh riwayat penyakit fisik klien
Salah satu Instrumen yang dapat dipekai untuk mengukur bunuh diri :
SAD PERSONS
NO SAD PERSONS Keterangan
1 Sex (jenis kelamin) Laki laki lebih komit melakukan suicide 3 kali lebih
tinggi dibanding wanita, meskipun wanita lebih sering
3 kali dibanding laki laki melakukan percobaan bunuh
diri
2 Age ( umur) Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau lebih
muda, 45 tahun atau lebih tua dan khususnya umur
65 tahun lebih.
3 Depression 35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri mengalami
sindrome depresi.
4 Previous attempts 65- 70% orang yang melakukan bunuh diri sudah
(Percobaan pernah melakukan percobaan sebelumnya
sebelumnya)
5 ETOH ( alkohol) 65 % orang yang suicide adalah orang
menyalahnugunakan alkohol
6 Rational thinking Loss ( Orang skizofrenia dan dementia lebih sering
Kehilangan berpikir melakukan bunuh diri disbanding general populasi
rasional)
7 Sosial support lacking ( Orang yang melakukan bunuh diri biasanya kurannya
Kurang dukungan dukungan dari teman dan saudara, pekerjaan yang
social) bermakna serta dukungan spiritual keagaamaan
8 Organized plan Adanya perencanaan yang spesifik terhadap bunuh
( perencanaan yang diri merupakan resiko tinggi
teroranisasi)
9 No spouse ( Tidak Orang duda, janda, single adalah lebih rentang
memiliki pasangan) dibanding menikah
10 Sickness Orang berpenyakit kronik dan terminal beresiko tinggi
melakukan bunuh diri.
II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN
A. Risiko bunuh diri
Data Mayor :
DS : Mengatakan hidupnya tak berguna lagi, ingin mati, mengatakan
pernah mencoba ingin bunuh diri, mengancam bunuh diri
DO : Ekspresi murung, tak bergairah, ada bekas percobaan bunuh diri
Data Minor :
DS : Mengatakan ada yang menyuruh bunuh diri, mengatakan lebih
baik mati saja, mengatakan sudah bosan hidup
DO : Perubahan kebiasaan hidup, perubahan perangai
III. DAFTAR PUSTAKA
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor.
Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) unSP 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S-1 Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B. A. 1998. Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Orientasi Realitas.
Jakarta: EGC.
Maramis, F. W. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press.
Stuart & Sundeen. 1998. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.