Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Antibioka adalah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi atau jamur
yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini
dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh, namun dalam praktiknya antibiotika
sintetik tidak diturunkan dari produk mikroba. Antibiotika yang akan digunakan untuk
membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas
selektif setinggi mungkin, artinya antibiotik tersebut harus bersifat sangat toksik untuk
mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia.
Antibiotika tersebut merupakan obat yang sangat ampuh dan sangat bermanfaat
jika digunakan secara benar, namun jika digunakan secara tidak semestinya antibiotika
akan mendatangkan berbagai mudharat dan yang harus diingat antibiotika hanya ampuh
dan efektif membunuh bakteri tetapi tidak dapat membunuh virus, karena itu penyakit
yang dapat diobati dengan antibiotika adalah penyakit-penyakit infeksi yang di sebabkan
oleh bakteri.
Penyebab timbulnya resistensi antibiotika terutama adalah karena penggunaan
antibiotika yang tidak tepat, baik tidak tepat sasaran atau tidak tepat dosisnya.
Ketidaktepatan dosis menyababkan bakteri tidak terbunuh, tetapi malah merangsangnya
untuk membentuk turunan yang lebih kuat daya tahannya sehingga resisiten tehadap
antibiotika
Penggolongan Antibiotik :
1. Antibiotika golongan Aminoglikosid
 Bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri
2. Antibiotika golongan sefalosporin
 Bekerja menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim
Autolisis pada dinding sel bakteri
3. Antibiotika golongan kloramphenikol
 Bekerja menghambat sintesis protein dari bakteri
4. Antibiotika golongan makrolida
 Bekerja menghambat sintesis protein dari bakteri
5. Antibiotika golongan penisilin
 Bekerja menghambat sintesis peptidoglikan
6. Antibiotik golongan beta-laktam
 Bekerja menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim
Autolisis pada dinding sel bakteri
7. Antibiotik golongan kuinolon
 Bekerja dengan menghambat satu atau lebih enzim topoisomerase ynag
bersifat esensial untuk replikasi dan transkripsi DNA bakteri
8. Antibiotik golongan tetrasiklin
 Bekerja menghambat sintesis protein dari bakteri
BAB II
ANALISIS MASALAH

A. KASUS
Ibu Ani (29 tahun) datang dengan keluhan badan panas, sering buang air kecil dan terasa
sakit Pada test urinnya ditemukan darah dan Leukosit dan ibu Ani sedang Hamil 20
minggu. Pilihlah antibiotik yang tepat untuk ibu Ani

B. ANALISIS MASALAH
1. Tinjauan penyakit
Infeksi saluran kemih atau ISK adalah infeksi bakteri pada saluran kemih terluar
(pembuangannya) sampai ke ginjal. Wanita lebih rentan untuk terkena infeksi ini
dibanding pria, karena saluran urethra pada wanita yang lebih pendek dibandingkan
dengan pria. Selain itu, berbagai perubahan hormon pada wanita hamil juga
meningkatkan risiko menderita infeksi saluran kemih. Infeksi saluran kemih sering terjadi
selama hamil. Kemungkinan karena pembesaran uterus yang menghambat aliran air
kemih. Jika aliran air kemih lambat, bakteri tertahan di saluran kemih dan inilah yang
menyebabkan peningkatan peluang terjadinya infeksi saluran kemih. Selanjutnya, infeksi
akan memperbesar risiko terjadinya persalinan prematur dan pecahnya ketuban sebelum
waktunya. Tidak jarang infeksi kandung kemih akan menyebar ke saluran kemih, bahkan
sampai ke ginjal dan menyebabkan infeksi ginjal.
ISK hampir selalu diakibatkan oleh bakteri aerob dari flora usus. Penyebab ISK
bagian bawah atau radang kandung kemih adalah terutama kuman gram negaif yakni
untuk bagian terbesar E. coli. Pada umumnya seseorang dianggap menderita ISK bila
terdapat lebih dari 100.000 kuman dalam 1 ml urine.

2. Tinjauan obat pada ibu hamil


Pemakaian obat pada kehamilan merupakan salah satu masalah pengobatan yang
penting untuk diketahui dan dibahas. Hal ini mengingat bahwa dalam pemakaian obat
selama kehamilan, tidak saja dihadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu,
tetapi juga pada janin. Hampir sebagian besar obat dapat melintasi sawar darah/plasenta,
beberapa diantaranya mampu memberikan pengaruh buruk, tetapi ada juga yang tidak
memberi pengaruh apapun. Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan
mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek
teratogeniknya. Secara umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke
dalam plasenta dan memberikan efek pada janin adalah:
(1) sifat fisikokimiawi dari obat
(2) kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin
(3) lamanya pemaparan terhadap obat
(4) bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin
(5) periode perkembangan janin saat obat diberikan dan
(6) efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.
Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipolik dan
ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi ke
dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang sering digunakan pada seksio sesarea, dapat
menembus plasenta segera setelah pemberian, dan dapat mengakibatkan terjadinya apnea
pada bayi yang dilahirkan. Obat yang sangat terionisasi seperti misalnya suksinilkholin
dan d-tubokurarin, akan melintasi plasenta secara lambat dan terdapat dalam kadar yang
sangat rendah pada janin.
Dalam upaya mencegah terjadinya yang tidak diharapkan dari obat-obat yang
diberikan selama kehamilan, maka oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA-USA)
maupun Australia Drug Evaluation Commitee, obat-obat dikategorikan sebagai berikut
(Australian Drug Evaluation Commitee).
- Kategori A:
Yang termasuk dalam kategori ini adalah obat-obat yang telah banyak digunakan
oleh wanita hamil tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh
buruk lainnya. Obat-obat yang termasuk dalam kategori A antara lain adalah
parasetamol, penisilin, eritromisin, glikosida jantung, isoniazid serta bahan-bahan
hemopoetik seperti besi dan asam folat.
- Kategori B:
Obat kategori B meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada wanita
hamil masih terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan frekuensi malformasi atau
pengaruh buruk lainnya pada janin. Mengingat terbatasnya pengalaman pemakaian
pada wanita hamil, maka obat-obat kategori B dibagi lagi berdasarkan temuan-
temuan pada studi toksikologi pada hewan, yaitu:
B1: Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan
janin (fetal damage). Contoh obat-obat yang termasuk pada kelompok ini misalnya
simetidin, dipiridamol, dan spektinomisin.
B2: Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk tidak
meningkatnya kejadian kerusakan janin, tikarsilin, amfoterisin, dopamin,
asetilkistein, dan alkaloid belladona adalah obat-obat yang masuk dalam kategori
ini.
B3: Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin,
tetapi belum tentu bermakna pada manusia. Sebagai contoh adalah karbamazepin,
pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol.
- Kategori C:
Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin tanpa disertai
malformasi anatomik semata-mata karena efek farmakologiknya. Umumnya
bersifat reversibel (membaik kembali). Sebagai contoh adalah analgetika-narkotik,
fenotiazin, rifampisin, aspirin, antiinflamasi non-steroid dan diuretika.
- Kategori D
Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin
pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak
dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini juga mempunyai efek
farmakologik yang merugikan terhadap janin. Misalnya: androgen, fenitoin,
pirimidon, fenobarbiton, kinin, klonazepam, valproat, steroid anabolik, dan
antikoagulansia.
- Kategori X
Obat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti mempunyai
risiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang menetap (irreversibel) pada janin jika
diminum pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini merupakan kontraindikasi
mutlak selama kehamilan. Sebagai contoh adalah isotretionin dan dietilstilbestrol.
3. Tinjauan antibiotik
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah risiko
terjadinya infeksi pada periode ini lebih besar, seperti misalnya infeksi saluran kencing
karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal kehamilan dan menetap
sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan dengan infeksi,
pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu, tetapi juga segi
janin, mengingat hampir semua antibiotika dapat melintasi plasenta dengan segala
konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan maupun yang harus
dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat tercapai semaksimal
mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan seminimal mungkin.
a. Penisilin
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah
menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan amnion.
Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun perlu
pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat kemungkinan efek
samping yang dapat terjadi pada ibu.
- Ampilisin:
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar
ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya
pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan,
kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal
janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan janin pada masa
tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain
pada janin telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu.
Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama kehamilan. Dengan meningkatnya
volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh
sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak
hamil. Dengan demikian penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa
kehamilan.
- Amoksisilin :
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik
dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah
pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan dosis
amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu
maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin, kadarnya
hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.

b. Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada
trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama
beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah
pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh
buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang
dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada trimester terakhir
kehamilan.

c. Tetrasiklin:
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah
melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan pada
trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero,
yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada
bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat pulih
kembali setelah proses remodelling, namun sebaiknya tidak diberikan pada periode
tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan
mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat
menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar
dibanding manfaat yang diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh
mungkin harus dihindari.
d. Aminoglikosida
Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh
wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan kerusakan janin
yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak
dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan
ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada
janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII
juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat
aminoglikosida pada kehamilan.

e. Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III, di
mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi,
ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah,
abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping pernafasan
yang cepat & tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C,
yaitu obat yang karena efek farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada
janin tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel.
Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada
minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.

f. Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk dalam
sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya dalam
sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari, terutama pada
akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari
tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada
bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap sampai 7 hari setelah bayi
lahir.

g. Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat
terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan serebrospinal),
tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di
samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan
kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan
oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan penularan ke janin cukup baik,
meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama. Namun ditilik dari segi keamanan dan
manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding
antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.

h. Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal
hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya
tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika
diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga
bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika
terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan,
diperlukan pemberian suplementasi asam folet.

i. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Jika
diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi
dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin bertambahnya
umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma janin juga meningkat. Sejauh ini
belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian malformasi janin.
Namun perhatian harus diberikan terutama pada kehamilan cukup bulan, di mana
pemberian nitrofurantoin pada periode ini kemungkinan akan menyebabkan anemia
hemolitik pada janin.

4. Tinjauan Analgetika
Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan
masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena
kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan
proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu
relatif pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan
pengobatan dalam jangka waktu tertentu. Penilaian yang seksama terhadap penyebab
nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat.
 Parasetamol
Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika diberikan selama
kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping hepatotoksisitas
tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih besar dari yang
dianjurkan.
 Antalgin
Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah satu efek
samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini adalah terjadinya
agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang, tetapi
pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari.

C. Pilihan terapi
Pilihan antibiotik untuk infeksi saluran pada ibu hamil adalah golongan sefalosporin
generasi ke-3 yaitu :

Cefixime
Dengan dosis 100 mg

Farmakologi:
Aktivitas antibakteri
Cefixime bersifat bakterisid dan berspektrum luas terhadap mikroorganisme gram positif
dan gram negatif, seperti sefalosporin oral yang lain, cefixime mempunyai aktivitas yang
poten terhadap mikroorganisme gram positif seperti streptococcus sp., Streptococcus
pneumoniae, dan gram negatif seperti Branhamella catarrhalis, Escherichia coli, Proteus
sp., Haemophilus influenzae.
Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis dinding sel. Cefixime memiliki afinitas
tinggi terhadap “penicillin-binding-protein” (PBP) 1 (1a, 1b, dan 1c) dan 3, dengan
tempat aktivitas yang bervariasi tergantung jenis organismenya.
Cefixime stabil terhadap β-laktamase yang dihasilkan oleh beberapa organisme, dan
mempunyai aktivitas yang baik terhadap organisme penghasil β-laktamase.

Farmakokinetika:
Konsentrasi dalam serum.
Pemberian per oral dosis tunggal 50,100 atau 200 mg (potensi) cefixime pada orang
dewasa sehat dalam keadaan puasa, kadar puncak serum dicapai setelah 4 jam pemberian
yaitu masing-masing 0,69; 1,13; dan 1,95 μg/ml. Waktu paruh serum adalah 2,3-2,5 jam.
Pemberian per oral dosis tunggal 1,5; 3,0; atau 6,0 mg (potensi)/kg cefixime pada
penderita pediatrik dengan fungsi ginjal normal, kadar puncak serum dicapai setelah 3-4
jam pemberian yaitu masing-masing 1,14; 2,01; dan 3,97 μg/ml. Waktu paruh serum
adalah 3,2-3,7 jam.
Distribusi (penetrasi ke dalam jaringan)
Penetrasi ke dalam sputum, tonsil, jaringan maxillary sinus mucosal, otorrhea, cairan
empedu dan jaringan kandung empedu adalah baik.
Metabolisme
Tidak ditemukan adanya metabolit yang aktif sebagai antibakteri di dalam serum atau
urin.
Eliminasi
Cefixime terutama diekskresikan melalui ginjal. Jumlah ekskresi urin (sampai 12 jam)
setelah pemberian oral 50,100 atau 200 mg (potensi) pada orang dewasa sehat dalam
keadaan puasa kurang lebih 20-25% dari dosis yang diberikan. Kadar puncak urin
masing-masing 42,9; 62,2 dan 82,7 μg/ml dicapai dalam 4-6 jam setelah pemberian.
Jumlah ekskresi urin (sampai 12 jam) setelah pemberian oral 1,5; 3,0; atau 6,0 mg
(potensi)/kgBB pada penderita pediatrik dengan fungsi ginjal yang normal kurang lebih
13-20%.

Indikasi:
Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi-infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang rentan antara lain:
Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Escherichia coli dan
Proteus mirabilis.
Otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenzae (strain β-laktamase positif) dan
Streptococcus pyogenes.
Faringitis dan tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes.
Bronkitis akut dan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae (strain beta-laktamase positif dan
negatif).

Kontraindikasi:
Penderita dengan riwayat shock atau hipersensitivitas.

Dosis:
Dewasa dan anak-anak dengan berat badan ≥30 kg, dosis harian yang direkomendasikan
adalah 50-100 mg (potensi) cefixime diberikan per oral dua kali sehari.
Dosis sebaiknya disesuaikan dengan usia penderita, berat badan dan keadaan penderita.
Untuk infeksi yang berat dosis dapat ditingkatkan sampai 200 mg (potensi) diberikan dua
kali sehari.
Pada kasus overdosis:
Lavage lambung bisa dilakukan bila tidak ada antidot yang spesifik. Cefixime tidak
dikeluarkan dalam jumlah yang spesifik. Cefixime tidak dikeluarkan dalam jumlah yang
signifikan dari sirkulasi dengan hemodialisis atau dialisis peritoneal.

Efek samping:
Shock
Perhatian yang cukup sebaiknya dilakukan karena gejala-gejala shock kadang-kadang
bisa terjadi. Jika beberapa tanda atau gejala seperti perasaan tidak enak, rasa tidak enak
pada rongga mulut, stridor, dizziness, defekasi yang tidak normal, tinnitus atau
diaphoresis; maka pemakaian sediaan ini harus dihentikan.
Hipersensitivitas
Jika tanda-tanda reaksi hipersensitivitas seperti rash, urtikaria, eritema, pruritus atau
demam maka pemakaian sediaan ini harus dihentikan dan sebaiknya dilakukan
penanganan lain yang lebih tepat.
Hematologik
Granulositopenia atau eosinophilia jarang terjadi. Kadang-kadang thrombocytopenia
dapat terjadi. Pemakaian sediaan ini sebaiknya dihentikan bila ditemukan adanya
kelainan-kelainan ini.
Dilaporkan bahwa terjadi anemia hemolitik pada penggunaan preparat cefixime lainnya.
Hepatik
Jarang terjadi peningkatan GOT, GPT atau alkaline phosphatase.
Renal
Pemantauan fungsi ginjal secara periodik dianjurkan karena gangguan fungsi ginjal
seperti insufisiensi ginjal kadang-kadang dapat terjadi. Bila ditemukan adanya kelainan-
kelainan ini, hentikan pemakaian obat ini dan lakukan penanganan lain yang lebih tepat.
Saluran Cerna
Kadang-kadang terjadi kolitis seperti kolitis pseudomembranosa, yang ditunjukkan
dengan adanya darah di dalam tinja. Nyeri lambung atau diare terus menerus memerlukan
penanganan yang tepat, jarang terjadi muntah, diare, nyeri lambung, rasa tidak enak
dalam lambung, heartburn atau anoreksia, nausea, rasa penuh dalam lambung atau
konstipasi.
Pernafasan
Kadang-kadang terjadi pneumonia interstitial atau sindroma PIE, yang ditunjukkan
dengan adanya gejala-gejala demam, batuk, dyspnea, foto rontgen thorax yang tidak
normal dan eosinophilia, ini sebaiknya hentikan pengobatan dengan obat ini dan lakukan
penanganan lain yang tepat seperti pemberian hormon adrenokortikal.
Perubahan flora bakterial
Jarang terjadi stomatitis atau kandidiasis.
Defisiensi vitamin
Jarang terjadi defisiensi vitamin K (seperti hipoprotrombinemia atau kecenderungan
pendarahan) atau defisiensi grup vitamin B (seperti glositis, stomatitis, anoreksia atau
neuritis).
Lain-lain
Jarang terjadi sakit kepala atau dizziness.
Pada penelitian terhadap anak tikus yang diberi 1.000 mg/kgBB.hari secara oral,
dilaporkan adanya penurunan spermatogenesis.
Pengaruh terhadap tes laboratorium
Dapat terjadi hasil false positive pada penentuan kadar gula urin dengan menggunakan
larutan Benedict, larutan Fehling dan Clinitest. Tetapi dengan tes-tape tidak terjadi false
positive.
Dapat terjadi positive direct Coombs test.

Peringatan dan perhatian:


Perhatian umum
Hati-hati terhadap reaksi hipersensitif, karena reaksi-reaksi seperti shock dapat terjadi.
Sediaan ini sebaiknya jangan diberikan kepada penderita-penderita yang masih dapat
diobati dengan antibiotika lain, jika perlu dapat diberikan dengan hati-hati. Penderita
dengan riwayat hipersensitif terhadap bahan-bahan dalam sediaan ini atau dengan
antibiotika cefixime lainnya.
Cefixime harus diberikan dengan hati-hati kepada penderita, antara lain sebagai berikut:
Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap penisilin.
Penderita dengan riwayat personal atau familial terhadap berbagai bentuk alergi seperti
asma bronkial, rash, urtikaria.
Penderita dengan gangguan fungsi ginjal berat.
Penderita dengan nutrisi oral rendah, penderita yang sedang mendapatkan nutrisi
parenteral, penderita lanjut usia atau penderita yang dalam keadaan lemah. Observasi
perlu dilakukan dengan hati-hati pada penderita ini karena dapat terjadi defisiensi vitamin
K.
Penggunaan selama kehamilan
Keamanan pemakaian cefixime selama masa kehamilan belum terbukti. Sebaiknya
sediaan ini hanya diberikan kepada penderita yang sedang hamil atau wanita yang hendak
hamil, bila keuntungan terapetik lebih besar dibanding risiko yang terjadi.
Penggunaan pada wanita menyusui
Belum diketahui apakah cefixime diekskresikan melalui air susu ibu. Sebaiknya tidak
menyusui untuk sementara waktu selama pengobatan dengan obat ini.
Penggunaan pada bayi baru lahir atau bayi prematur
Keamanan dan keefektifan penggunaan cefixime pada anak-anak dengan usia kurang dari
6 bulan belum dibuktikan (termasuk bayi baru lahir dan bayi prematur).
BAB III
PEMBAHASAN

Pada urine bu Ani ditemukan adanya darah dan leukosit yang menunjukkan
adanya infeksi saluran kemih. Untuk mengatasi infeksi saluran kemih digunakan
Sefalosporin, karena Sefalosporin relatif lebih aman dikonsumsi ibu hamil dibandingkan
Penicilin sebagai obat infeksi saluran kemih. Sefalosporin yang dipilih adalah dari
generasi ketiga yaitu Cefixime karena stabil terhadap β-laktamase yang dihasilkan oleh
beberapa organisme, dan mempunyai aktivitas yang baik terhadap organisme penghasil
β-laktamase. Sedangkan sefalosporin generasi keempat yaitu sefpirom tidak dianjurkan
untuk ibu hamil selain itu hanya tersedia dalam bentuk injeksi.
Nyeri yang terjadi adalah karena adanya infeksi, sehingga perlu diberikan analgesik.
Selain itu ibu Ani mengalami demam yang disebabkan juga oleh karena infeksinya
sehingga perlu diberikan antipiretik. Dalam kasus ini diberikan Parasetamol karena
Parasetamol merupakan analgesik-antipiretik yang relatif aman diberikan selama
kehamilan.

Anda mungkin juga menyukai