PENDAHULUAN
Antibioka adalah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi atau jamur
yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini
dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh, namun dalam praktiknya antibiotika
sintetik tidak diturunkan dari produk mikroba. Antibiotika yang akan digunakan untuk
membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas
selektif setinggi mungkin, artinya antibiotik tersebut harus bersifat sangat toksik untuk
mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia.
Antibiotika tersebut merupakan obat yang sangat ampuh dan sangat bermanfaat
jika digunakan secara benar, namun jika digunakan secara tidak semestinya antibiotika
akan mendatangkan berbagai mudharat dan yang harus diingat antibiotika hanya ampuh
dan efektif membunuh bakteri tetapi tidak dapat membunuh virus, karena itu penyakit
yang dapat diobati dengan antibiotika adalah penyakit-penyakit infeksi yang di sebabkan
oleh bakteri.
Penyebab timbulnya resistensi antibiotika terutama adalah karena penggunaan
antibiotika yang tidak tepat, baik tidak tepat sasaran atau tidak tepat dosisnya.
Ketidaktepatan dosis menyababkan bakteri tidak terbunuh, tetapi malah merangsangnya
untuk membentuk turunan yang lebih kuat daya tahannya sehingga resisiten tehadap
antibiotika
Penggolongan Antibiotik :
1. Antibiotika golongan Aminoglikosid
Bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri
2. Antibiotika golongan sefalosporin
Bekerja menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim
Autolisis pada dinding sel bakteri
3. Antibiotika golongan kloramphenikol
Bekerja menghambat sintesis protein dari bakteri
4. Antibiotika golongan makrolida
Bekerja menghambat sintesis protein dari bakteri
5. Antibiotika golongan penisilin
Bekerja menghambat sintesis peptidoglikan
6. Antibiotik golongan beta-laktam
Bekerja menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim
Autolisis pada dinding sel bakteri
7. Antibiotik golongan kuinolon
Bekerja dengan menghambat satu atau lebih enzim topoisomerase ynag
bersifat esensial untuk replikasi dan transkripsi DNA bakteri
8. Antibiotik golongan tetrasiklin
Bekerja menghambat sintesis protein dari bakteri
BAB II
ANALISIS MASALAH
A. KASUS
Ibu Ani (29 tahun) datang dengan keluhan badan panas, sering buang air kecil dan terasa
sakit Pada test urinnya ditemukan darah dan Leukosit dan ibu Ani sedang Hamil 20
minggu. Pilihlah antibiotik yang tepat untuk ibu Ani
B. ANALISIS MASALAH
1. Tinjauan penyakit
Infeksi saluran kemih atau ISK adalah infeksi bakteri pada saluran kemih terluar
(pembuangannya) sampai ke ginjal. Wanita lebih rentan untuk terkena infeksi ini
dibanding pria, karena saluran urethra pada wanita yang lebih pendek dibandingkan
dengan pria. Selain itu, berbagai perubahan hormon pada wanita hamil juga
meningkatkan risiko menderita infeksi saluran kemih. Infeksi saluran kemih sering terjadi
selama hamil. Kemungkinan karena pembesaran uterus yang menghambat aliran air
kemih. Jika aliran air kemih lambat, bakteri tertahan di saluran kemih dan inilah yang
menyebabkan peningkatan peluang terjadinya infeksi saluran kemih. Selanjutnya, infeksi
akan memperbesar risiko terjadinya persalinan prematur dan pecahnya ketuban sebelum
waktunya. Tidak jarang infeksi kandung kemih akan menyebar ke saluran kemih, bahkan
sampai ke ginjal dan menyebabkan infeksi ginjal.
ISK hampir selalu diakibatkan oleh bakteri aerob dari flora usus. Penyebab ISK
bagian bawah atau radang kandung kemih adalah terutama kuman gram negaif yakni
untuk bagian terbesar E. coli. Pada umumnya seseorang dianggap menderita ISK bila
terdapat lebih dari 100.000 kuman dalam 1 ml urine.
b. Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada
trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama
beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah
pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh
buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang
dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada trimester terakhir
kehamilan.
c. Tetrasiklin:
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah
melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan pada
trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero,
yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada
bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat pulih
kembali setelah proses remodelling, namun sebaiknya tidak diberikan pada periode
tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan
mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat
menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar
dibanding manfaat yang diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh
mungkin harus dihindari.
d. Aminoglikosida
Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh
wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan kerusakan janin
yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak
dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan
ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada
janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII
juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat
aminoglikosida pada kehamilan.
e. Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III, di
mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi,
ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah,
abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping pernafasan
yang cepat & tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C,
yaitu obat yang karena efek farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada
janin tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel.
Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada
minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.
f. Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk dalam
sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya dalam
sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari, terutama pada
akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari
tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada
bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap sampai 7 hari setelah bayi
lahir.
g. Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat
terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan serebrospinal),
tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di
samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan
kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan
oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan penularan ke janin cukup baik,
meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama. Namun ditilik dari segi keamanan dan
manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding
antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.
h. Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal
hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya
tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika
diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga
bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika
terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan,
diperlukan pemberian suplementasi asam folet.
i. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Jika
diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi
dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin bertambahnya
umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma janin juga meningkat. Sejauh ini
belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian malformasi janin.
Namun perhatian harus diberikan terutama pada kehamilan cukup bulan, di mana
pemberian nitrofurantoin pada periode ini kemungkinan akan menyebabkan anemia
hemolitik pada janin.
4. Tinjauan Analgetika
Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan
masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena
kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan
proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu
relatif pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan
pengobatan dalam jangka waktu tertentu. Penilaian yang seksama terhadap penyebab
nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat.
Parasetamol
Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika diberikan selama
kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping hepatotoksisitas
tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih besar dari yang
dianjurkan.
Antalgin
Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah satu efek
samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini adalah terjadinya
agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang, tetapi
pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari.
C. Pilihan terapi
Pilihan antibiotik untuk infeksi saluran pada ibu hamil adalah golongan sefalosporin
generasi ke-3 yaitu :
Cefixime
Dengan dosis 100 mg
Farmakologi:
Aktivitas antibakteri
Cefixime bersifat bakterisid dan berspektrum luas terhadap mikroorganisme gram positif
dan gram negatif, seperti sefalosporin oral yang lain, cefixime mempunyai aktivitas yang
poten terhadap mikroorganisme gram positif seperti streptococcus sp., Streptococcus
pneumoniae, dan gram negatif seperti Branhamella catarrhalis, Escherichia coli, Proteus
sp., Haemophilus influenzae.
Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis dinding sel. Cefixime memiliki afinitas
tinggi terhadap “penicillin-binding-protein” (PBP) 1 (1a, 1b, dan 1c) dan 3, dengan
tempat aktivitas yang bervariasi tergantung jenis organismenya.
Cefixime stabil terhadap β-laktamase yang dihasilkan oleh beberapa organisme, dan
mempunyai aktivitas yang baik terhadap organisme penghasil β-laktamase.
Farmakokinetika:
Konsentrasi dalam serum.
Pemberian per oral dosis tunggal 50,100 atau 200 mg (potensi) cefixime pada orang
dewasa sehat dalam keadaan puasa, kadar puncak serum dicapai setelah 4 jam pemberian
yaitu masing-masing 0,69; 1,13; dan 1,95 μg/ml. Waktu paruh serum adalah 2,3-2,5 jam.
Pemberian per oral dosis tunggal 1,5; 3,0; atau 6,0 mg (potensi)/kg cefixime pada
penderita pediatrik dengan fungsi ginjal normal, kadar puncak serum dicapai setelah 3-4
jam pemberian yaitu masing-masing 1,14; 2,01; dan 3,97 μg/ml. Waktu paruh serum
adalah 3,2-3,7 jam.
Distribusi (penetrasi ke dalam jaringan)
Penetrasi ke dalam sputum, tonsil, jaringan maxillary sinus mucosal, otorrhea, cairan
empedu dan jaringan kandung empedu adalah baik.
Metabolisme
Tidak ditemukan adanya metabolit yang aktif sebagai antibakteri di dalam serum atau
urin.
Eliminasi
Cefixime terutama diekskresikan melalui ginjal. Jumlah ekskresi urin (sampai 12 jam)
setelah pemberian oral 50,100 atau 200 mg (potensi) pada orang dewasa sehat dalam
keadaan puasa kurang lebih 20-25% dari dosis yang diberikan. Kadar puncak urin
masing-masing 42,9; 62,2 dan 82,7 μg/ml dicapai dalam 4-6 jam setelah pemberian.
Jumlah ekskresi urin (sampai 12 jam) setelah pemberian oral 1,5; 3,0; atau 6,0 mg
(potensi)/kgBB pada penderita pediatrik dengan fungsi ginjal yang normal kurang lebih
13-20%.
Indikasi:
Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi-infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang rentan antara lain:
Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Escherichia coli dan
Proteus mirabilis.
Otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenzae (strain β-laktamase positif) dan
Streptococcus pyogenes.
Faringitis dan tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes.
Bronkitis akut dan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae (strain beta-laktamase positif dan
negatif).
Kontraindikasi:
Penderita dengan riwayat shock atau hipersensitivitas.
Dosis:
Dewasa dan anak-anak dengan berat badan ≥30 kg, dosis harian yang direkomendasikan
adalah 50-100 mg (potensi) cefixime diberikan per oral dua kali sehari.
Dosis sebaiknya disesuaikan dengan usia penderita, berat badan dan keadaan penderita.
Untuk infeksi yang berat dosis dapat ditingkatkan sampai 200 mg (potensi) diberikan dua
kali sehari.
Pada kasus overdosis:
Lavage lambung bisa dilakukan bila tidak ada antidot yang spesifik. Cefixime tidak
dikeluarkan dalam jumlah yang spesifik. Cefixime tidak dikeluarkan dalam jumlah yang
signifikan dari sirkulasi dengan hemodialisis atau dialisis peritoneal.
Efek samping:
Shock
Perhatian yang cukup sebaiknya dilakukan karena gejala-gejala shock kadang-kadang
bisa terjadi. Jika beberapa tanda atau gejala seperti perasaan tidak enak, rasa tidak enak
pada rongga mulut, stridor, dizziness, defekasi yang tidak normal, tinnitus atau
diaphoresis; maka pemakaian sediaan ini harus dihentikan.
Hipersensitivitas
Jika tanda-tanda reaksi hipersensitivitas seperti rash, urtikaria, eritema, pruritus atau
demam maka pemakaian sediaan ini harus dihentikan dan sebaiknya dilakukan
penanganan lain yang lebih tepat.
Hematologik
Granulositopenia atau eosinophilia jarang terjadi. Kadang-kadang thrombocytopenia
dapat terjadi. Pemakaian sediaan ini sebaiknya dihentikan bila ditemukan adanya
kelainan-kelainan ini.
Dilaporkan bahwa terjadi anemia hemolitik pada penggunaan preparat cefixime lainnya.
Hepatik
Jarang terjadi peningkatan GOT, GPT atau alkaline phosphatase.
Renal
Pemantauan fungsi ginjal secara periodik dianjurkan karena gangguan fungsi ginjal
seperti insufisiensi ginjal kadang-kadang dapat terjadi. Bila ditemukan adanya kelainan-
kelainan ini, hentikan pemakaian obat ini dan lakukan penanganan lain yang lebih tepat.
Saluran Cerna
Kadang-kadang terjadi kolitis seperti kolitis pseudomembranosa, yang ditunjukkan
dengan adanya darah di dalam tinja. Nyeri lambung atau diare terus menerus memerlukan
penanganan yang tepat, jarang terjadi muntah, diare, nyeri lambung, rasa tidak enak
dalam lambung, heartburn atau anoreksia, nausea, rasa penuh dalam lambung atau
konstipasi.
Pernafasan
Kadang-kadang terjadi pneumonia interstitial atau sindroma PIE, yang ditunjukkan
dengan adanya gejala-gejala demam, batuk, dyspnea, foto rontgen thorax yang tidak
normal dan eosinophilia, ini sebaiknya hentikan pengobatan dengan obat ini dan lakukan
penanganan lain yang tepat seperti pemberian hormon adrenokortikal.
Perubahan flora bakterial
Jarang terjadi stomatitis atau kandidiasis.
Defisiensi vitamin
Jarang terjadi defisiensi vitamin K (seperti hipoprotrombinemia atau kecenderungan
pendarahan) atau defisiensi grup vitamin B (seperti glositis, stomatitis, anoreksia atau
neuritis).
Lain-lain
Jarang terjadi sakit kepala atau dizziness.
Pada penelitian terhadap anak tikus yang diberi 1.000 mg/kgBB.hari secara oral,
dilaporkan adanya penurunan spermatogenesis.
Pengaruh terhadap tes laboratorium
Dapat terjadi hasil false positive pada penentuan kadar gula urin dengan menggunakan
larutan Benedict, larutan Fehling dan Clinitest. Tetapi dengan tes-tape tidak terjadi false
positive.
Dapat terjadi positive direct Coombs test.
Pada urine bu Ani ditemukan adanya darah dan leukosit yang menunjukkan
adanya infeksi saluran kemih. Untuk mengatasi infeksi saluran kemih digunakan
Sefalosporin, karena Sefalosporin relatif lebih aman dikonsumsi ibu hamil dibandingkan
Penicilin sebagai obat infeksi saluran kemih. Sefalosporin yang dipilih adalah dari
generasi ketiga yaitu Cefixime karena stabil terhadap β-laktamase yang dihasilkan oleh
beberapa organisme, dan mempunyai aktivitas yang baik terhadap organisme penghasil
β-laktamase. Sedangkan sefalosporin generasi keempat yaitu sefpirom tidak dianjurkan
untuk ibu hamil selain itu hanya tersedia dalam bentuk injeksi.
Nyeri yang terjadi adalah karena adanya infeksi, sehingga perlu diberikan analgesik.
Selain itu ibu Ani mengalami demam yang disebabkan juga oleh karena infeksinya
sehingga perlu diberikan antipiretik. Dalam kasus ini diberikan Parasetamol karena
Parasetamol merupakan analgesik-antipiretik yang relatif aman diberikan selama
kehamilan.