net/publication/350104189
PISANG INDONESIA
CITATIONS READS
0 6,428
2 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Fenny MARTHA Dwivany on 17 September 2021.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh bagian dari buku ini tanpa
izin dari penerbit.
Pisang Indonesia
P
isang merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting dan
buahnya dikonsumsi secara global. Indonesia adalah salah satu pusat
keragaman, penyebaran atau produsen pisang. Saat ini telah diidentifikasi
lebih dari 300 kultivar dan diprediksi lebih dari 1000 kultivar pisang ada di
Indonesia. Studi keragaman genetik maupun penyebaran pisang sangat
penting selain pengembangan budidaya pisang dari hulu sampai hilir. Oleh
karena itu, sejak 2004 kami memulai penelitian monodisiplin yang kemudian
berkembang menjadi multidisiplin terkait buah pisang.
Beberapa hasil penelitian kami tuangkan dalam bentuk tulisan dalam buku
ini. Pisang Indonesia adalah buku yang membahas keragaman, penyebaran,
penyakit dari sudut pandang ilmu hayati dan geospasial. Dimulai dengan bab
pertama yang membahas asal usul pisang, penyakit, proses pematangan buah
secara umum dilihat dari perspektif biodiversitas dan biogeografi. Dilanjutkan
dengan bab kedua membahas klasifikasi dan distribusi, keragaman serta penyakit
pisang. Bab ketiga membahas metode biologi molekuler untuk mempelajari
keragaman genetik, dimulai dari isolasi DNA sampai visualisasi dan analisis
molekuler. Bab keempat membahas metode monitoring pertumbuhan pisang
dengan remote sensing. Bab kelima membahas biogeografi pisang kemudian
buku ini ditutup dengan bab keenam yang membahas pematangan buah.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang
membantu penulisan buku ini, terutama The Banana Group-Institut Teknologi
Bandung, Bali International Research Center for Banana (BIRCB), The
Research Foundation of Indonesia Biogeograhy and Biodiversity (INABIG)
dan semua pihak yang sudah berkontribusi, memberikan dukungan dan
dorongan semangat yang tiada henti.
Tim penulis
|v
Daftar Isi
PRAKATA .....................................................................................................v
DAFTAR ISI ...............................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................ix
1: PENDAHULUAN..................................................................................1
2: KERAGAMAN PISANG.....................................................................17
Klasifikasi dan Distribusi........................................................................17
Morfologi ...............................................................................................21
Keragaman..............................................................................................25
Penyakit ..................................................................................................29
| vii
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................73
GLOSARIUM.............................................................................................75
INDEX..........................................................................................................79
BIOGRAFI PENULIS................................................................................81
| ix
Gambar 2.13. Bentuk buah, lengkungan longitudinal: 1. lurus; 2. lurus
pada bagian distal; 3. melengkung; 4. berbentuk ‘S’
(IPGRI, 1996)...................................................................... 29
Gambar 2.14. Bentuk ujung buah: 1. lancip; 2. lancip panjang; 3.
tumpul; 4. leher botol; 5. bulat (IPGRI, 1996)..................... 29
Gambar 2.15. Sisa perbungaan pada ujung buah: 1. tanpa sisa
perbungaan; 2. terdapat sisa perbungaan yang presisten;
3. terdapat dasar perbungaan yang prominan
(IPGRI, 1996)...................................................................... 29
Gambar 2.16. Tanaman pisang yang terserang layu Fusarium: a. yellow leaf
syndrome b. bonggol pisang yang terbelah (Agus Sutanto,
ITFRI).....................................................................................31
Gambar 2.17. Penampang pisang yang terinfeksi penyakit darah (Sutanto,
ITFRI, a) Morfologi luar pisang, b) penampang melintang
batang pisang, dan c) penampang membujur batang
(Meithasari, 2016)................................................................ 32
Gambar 3.1. Elektroforegram hasil isolasi DNA...................................... 39
Gambar 3.2. Pengaturan suhu, siklus, dan waktu PCR............................. 41
Gambar 3.3. Skema ITS-2 pada rDNA.................................................... 42
Gambar 3.4. Struktur Sekunder ITS-2 (Coleman, 2003)......................... 43
Gambar 3.5. Elektroforegram hasil PCR.................................................. 43
Gambar 4.1. Struktur panjang gelombang yang sering digunakan
dalam RS berada pada rentang 300 nm-500c m (atas).
Kanal ultraviolet pada rentang 300 - 400 nm, sinar
tampak pada rentang 400-700 nm, inframerah pada
rentang 700 nm – 0.1 cm (bawah), (Sabins ,1990)............... 48
Gambar 4.2. Kajian fenologi dari sejumlah tanaman pangan dan non
pangan berdasarkan perubahan nilai indeks vegetasi
NDVI (Belgiu & Csillik, 2018)............................................ 50
Gambar 4.3. Empat fase fenologi pohon pisang dari tunas sampai
dewasa (Wairegi dkk. 2014).................................................. 51
Gambar 4.4. Pasangan teknologi RS sesuai dengan fase fenologi
tanaman pisang..................................................................... 52
Gambar 4.5. Daun pisang sehat (a1), dengan black sigatoka (a2) dan layu
(a3). Spektral daun pisang sehat dan dengan black sigatoka
(b), dan komparasi nilai reflektan daun pisang dengan black
x | Pisang Indonesia
sigatoka yang layu (merah), sebagian hijau (hijau) dan sehat
(biru) pada kanal 500-700 nm dan 700-900nm (c1 dan c2)....53
Gambar 4.6. Penggunaan perangkat telepon pintar untuk membantu
petani mengenal karakteristik pohon dan buah pisang
yang sudah dipanen.............................................................. 54
Gambar 4.7. Kondisi perkebunan Cavendish berdasarkan nilai indeks
vegetasi NDVI, NDRE dan NDWI dari data satelit
Sentinel 2. ............................................................................ 56
Gambar 5.1. Peta distribusi kultivar pisang di Desa Pada Kembang,
Tasikmalaya dan Desa Jagabaya-Sindang Panon, Bandung....63
Gambar 5.2. Relasi antar faktor lingkungan untuk tanaman pisang.......... 65
Gambar 6.1. Proses pematangan buah pisang Raja pada hari ke -1, 3,
5, 6, 7, 8, 11, dan 12 (dari kiri ke kanan)............................... 68
Gambar 6.2. Pola spektral buah pisang Raja pada hari ke-5..................... 69
Gambar 6.3. Relasi hasil estimasi kandungan air pada buah pisang
Pada hari ketiga (a) dan hari kelima (b)................................ 71
Gambar 6.4. Relasi hasil estimasi kandungan air pada buah pisang.......... 72
| xi
1
Keja, Genom AA, Sentani- Jayapura (Agus Sutanto dan Edison H.S., 2005)
Pendahuluan
1
P
isang merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting di dunia,
bahkan di Indonesia sendiri pisang menjadi buah dengan produksi paling
tinggi dibandingkan buah lainnya. Tidak hanya itu, tanaman pisang juga
merupakan salah satu dari sepuluh tanaman produksi yang memiliki luasan
area hasil produksi, serta kalori secara global yang paling besar. Berdasarkan
data tahun 2014, produksi pisang merupakan yang paling tinggi dibandingkan
komoditas buah-buahan lainnya yaitu mencapai 6.86 ton. Jumlah tersebut secara
umum menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun 1980 (Kementerian
Pertanian, 2015). Berdasarkan proyeksi dari Kementerian Pertanian tahun
2014, nilai permintaan pisang pada tahun 2019 di Indonesia mencapai 7,2
juta ton. Sebagai upaya untuk memenuhi permintaan tersebut perlu dilakukan
pengembangan produksi pisang di Indonesia yang diikuti dengan peningkatan
kualitas produksi pisang. Hal ini disebabkan karena pisang memiliki banyak
kegunaan dan manfaat, terutama dalam bidang pangan (Rohmah, 2016).
|1
menjadikannya sebagai sumber penghasilan dan pasokan pangan di daerah
tropis dan subtropis. Di Indonesia, pisang merupakan komponen penting
dalam bidang pangan serta ekonomi (Hapsari dkk., 2017). Khususnya di pulau
Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, pisang memiliki peranan
yang sangat penting dalam aspek prosesi adat, budaya, dan upacara keagamaan.
Tidak hanya dalam segi jumlah, keragaman pisang juga sangat penting bagi
masyarakat Bali, terutama untuk prosesi (Lugrayasa 2004; Surata, dkk., 2015;
Rai dkk., 2018). Pisang juga merupakan salah satu tanaman produksi yang
banyak diekspor dan dikonsumsi sehingga memberikan penghasilan dan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Tidak seperti tanaman produksi lainnya
yang musiman, dalam kondisi yang optimal, pisang memiliki siklus produksi
sepanjang tahun atau bahkan lebih (Calberto dkk., 2015).
2 | Pisang Indonesia
hasil persilangan dari dua jenis pisang pendahulunya yaitu Musa acuminata
(genom AA) dan Musa balbisiana (genom BB) sehingga menghasilkan berbagai
variasi genom seperti AAA (pisang Cavendish), AAB (pisang raja), ABB
(pisang lainnya) (Ebelechukwu, dkk., 2013). Salah satu jenis kultivar pisang
yang dapat dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif dan memiliki
potensi yang besar dalam meningkatkan tingkat produksi negara ialah pisang
Tongka Langit (Musa troglodytarum L.).
1: Pendahuluan |3
yang menyebabkan Blood Disease. Hal ini menyebabkan beberapa tanaman
pisang yang rentan penyakit menjadi sulit untuk dikembangkan secara luas.
4 | Pisang Indonesia
Cara untuk mengembangkan tanaman pisang yang resisten terhadap
penyakit adalah melalui pendekatan genetika, yaitu pemuliaan tanaman. Dari
hasil sequensing DNA kultivar-kultivar pisang dapat dibangun peta hubungan
antar kultivar yang ada, serta mengidentifikasi kaitannya terhadap resistensi,
khususnya terhadap layu Fusarium ( Jaccoud dkk., 2001; Hippolyte dkk.,
2010). Selain itu, kemampuan resistensi tumbuhan terhadap suatu penyakit
melibatkan berbagai macam komponen seluler seperti protein, miRNA dan
komponen lainnya seperti long non-coding RNA (lncRNA).
1: Pendahuluan |5
distribusi dan kualitas pertumbuhannya harus dapat dijelaskan dengan baik.
Tentunya dengan menyertakan penjelasan terkait dengan relasi antar faktor-
faktor penentu pertumbuhan tanaman pisang di permukaan bumi.
Faktor geografis terkait dengan lokasi, dan ketinggian tempat tidak terlalu
menjadi faktor pembatas. Dikarenakan tanaman pisang di Indonesia dapat
tumbuh dengan baik di dataran rendah sampai ke dataran tinggi. Sebagai
sebuah gambaran, observasi sederhana yang dilakukan di desa Pasir huni,
Cimaung, Kabupaten Bandung (Gambar 1.1) menjelaskan bahwa tanaman
pisang dapat tumbuh sampai pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan
6 | Pisang Indonesia
laut (mdpl). Sejumlah kultivar pisang seperti pisang Kapas, Ambon putih
dan susu ditemukan tumbuh baik sampai pada ketinggian 915 mdpl dan
tidak ditemukan pada ketinggian tempat yang lebih tinggi sampai 1000
mdpl. Keempat kultivar pisang tersebut tergantikan oleh kultivar lainnya yang
mempunyai ukuran buah lebih kecil seperti dua kultivar pisang lokal bernama
Muli dan Gajrud.
Lebih jauh lagi, Calberto dkk., (2015) menjelaskan bahwa secara global
tanaman pisang dapat tumbuh optimal pada suhu 13OC - 27OC dengan jumlah
bulan kering kurang dari 3 bulan dan curah hujan sekurang-kurangnya 150 mm
tiap bulannya. Lain halnya di Indonesia yang mempunyai suhu paling rendah
18OC dan curah hujan mencapai lebih dari 2500 mm, secara umum pisang
dapat tumbuh dengan baik disini. Meskipun Turner (1995), State dkk.(2016),
Salvacion 2020) dan State dkk. (2016) memastikan bahwa suhu udara, curah
hujan dan kelembaban udara yang terlalu tinggi berkontribusi pada turunnya
produktifitas tanaman pisang. Sama halnya ketika ketiga faktor tersebut berada
pada kondisi sangat rendah.
1: Pendahuluan |7
Selain itu, terdapat faktor edafik yang merupakan faktor yang terkait
dengan tanah, seperti jenis tanah, kelembapan tanah dan pH tanah. Faktor
edafik ini sangatlah penting untuk diketahui sebelum melakukan budidaya
tanaman pisang. Istimewanya, untuk dapat tumbuh optimal, tanaman pisang
dapat tumbuh tidak hanya pada salah satu jenis tanah saja. Namun perlu diingat
bahwa tanaman pisang tidak toleran pada tanah yang mengandung garam
(Ravi dkk., 2000), meskipun di sejumlah daerah pesisir, juga dapat dijumpai
tanaman pisang yang tumbuh dengan baik. Terutama pada tanah-tanah yang
masam dengan pH berada pada rentang 5.5 – 6.6, mempunyai kandungan
humus dengan drainase yang baik karena sistem perakaran tanaman pisang
yang pendek.
8 | Pisang Indonesia
zat esensial dalam buah (misalkan vitamin A, dan C). Harapannya dari proses
pengamatan ini dapat diaplikasikan untuk studi lanjut, misalnya di bidang
kesehatan.
Pada penelitian pendahuluan untuk buah pisang yang terdiri dari tipe
pisang yang dapat langsung dikonsumsi (banana) dan yang harus dimasak
terlebih dahulu (plantain) terdapat perbedaan nilai pantulan dan pola spektral
yang berbeda. Berikut disajikan pola spektral pisang Nangka dan Raja pada
hari pertama proses pematangan. Nilai pantulan direkam menggunakan
Multispectral Radiometer (MSR16R) dari Cropscan (Gambar 1.2).
Gambar 1.2. Grafik pantulan spektral kanal inframerah (760-1650 NM) pada Pisang Nangka
dan Pisang Rajabulu (The Banana Group, ITB)
1: Pendahuluan |9
Sedikit telah disinggung pada bagian sebelumnya, bahwa dalam budidaya
tanaman pisang erat dengan potensi terserang penyakit darah atau lebih dikenal
sebagai blood disease. Yaitu penyakit yang menyebabkan kegagalan panen,
bersifat endemik di Indonesia dan disebabkan oleh Blood Disease Bacterium
(BDB).
Dalam hal ini, remote sensing akan mengambil perannya sebagai satu
pendekatan efektif untuk memahami proses penyakit layu darah ini bisa
menyerang tanaman pisang. Tentunya pemanfaatan data spektral akan tetap
menjadi andalan, bagaimana metode ini dapat menjelaskan perubahan dari
sifat-sifat fisiologis, termasuk perubahan pada kenampakan fisik (fenotip).
Sebagai bagian dari upaya tersebut, perlu dilakukan serangkaian pengamatan
yang dimulai sebelum, pada saat dan setelah bakteri dari Blood Disease Bacterium
(BDB) diinfeksikan terhadap tanaman pisang.
DAFTAR PUSTAKA
Calberto, G., Staver, C., & Siles, P. (2015). An assessment of global banana
production and suitability under climate change scenarios. In Aziz Elbehri
(Ed.), Climate change and food systems: global assessments and implications for
food security and trade (Issue October 2017). Food Agriculture Organization
of the United Nations (FAO).
Campbell, J. B., & Wynne, R. H. (2011). Introduction to Remote Sensing (fifth).
Guildford Press.
Chen, Y., Yang, X., Yang, Q., Li, D., Long, W., & Luo, W. (2015). Factors
Affecting the Distribution Pattern of Wild Plants with Extremely
Small Populations in Hainan Island , China. Plos One, 9(5). https://doi.
org/10.1371/journal.pone.0097751
Daniells, J. (2001). Musalogue: a catalogue of Musa germplasm: diversity in the
genus Musa. Bioversity International.
10 | Pisang Indonesia
De Langhe, E., Vrydaghs, L., De Maret, P., Perrier, X., & Denham, T.
(2009). Why bananas matter: an introduction to the history of banana
domestication. Ethnobotany Research and Applications, 7, 165-177.
De Langhe, E., Hřibová, E., Carpentier, S., Doležel, J., & Swennen, R. (2010).
Did backcrossing contribute to the origin of hybrid edible bananas?. Annals
of Botany, 106(6), 849-857.
Dwivany, F,M., Stefani, G., Sutanto, A., Nugrahapraja, A., Wikantika,
K., Hiariej, A., Hidayat, T., Rai, I.Y., Sukriandi, N. (2020). Genetic
Relationship between Tongka Langit Bananas (Musa troglodytarum L.)
from Galunggung and Maluku, Indonesia, Based on ITS2. Hayati Journal
of Biosciences. 27(3), 258-265.
Ebelechukwu, M. C., Adenubi, A. I., BI, V. I. & Kingsley, U. I., 2013. Single
nucleotide polymorphism (SNP) markers discovery within Musa spp
(plantain landraces, AAB genome) for use in beta carotene (Provitamin
A) trait mapping. American Journal of Biology and Life Sciences, 1(1),
pp. 11-19.
Ekasari, T. W. D., Retnoningsih, A., & Widianti, T. (2012). Analisis
keanekaragaman kultivar pisang menggunakan penanda PCR-RFLP pada
internal transcribed spacer (ITS) DNA ribosom. Jurnal Mipa, 35(1).
El-Khawaga, A. S. (2013). Response of grand Naine Banana plants grown
under different soil moisture levels to antitranspirants application. Asian
Journal of Crop Science, 5(3), 238–250. https://doi.org/10.3923/ajcs
Guzow-Krzeminska, B., Gorniak, M., & Wegrzyn, G. (2001). Molecular
determination keys: construction of keys for species identification based on
restriction fragment length polymorphism. Int. Arch. Biosci, 1057-1067.
Hapsari, L., Kennedy, J., Lestari, D. A., Masrum, A., & Lestarini, W. (2017).
Ethnobotanical survey of bananas (Musaceae) in six districts of East Java,
Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 18(1).
Herbert, J. A., & Marx, D. (1990). SHORT-TERM CONTROL OF
PANAMA DISEASE OF BANANAS IN SOUTH AFRICA.
Phytophylactica, 22, 339–340.
Hippolyte, I., Bakry, F., Seguin, M., Gardes, L., Rivallan, R., Risterucci, A. M.,
... & Piffanelli, P. (2010). A saturated SSR/DArT linkage map of Musa
acuminata addressing genome rearrangements among bananas. BMC
plant biology, 10(1), 65.
Huggett, R. J. (1998). Fundamental of Biogeography ( J. Gerrard (ed.)). Routledge.
INIBAP. (2005). INIBAP Annual Report 2005.
1: Pendahuluan | 11
Jaccoud, D., Peng, K., Feinstein, D., & Kilian, A. (2001). Diversity arrays: a
solid state technology for sequence information independent genotyping.
Nucleic acids research, 29(4), e25-e25.
Ke, L. shang, & Ke, D. fan. (2000). Effect of Soil Moisture and Fertilzer Levels on
the Growth and Yield of Banana (Musa cavendish ).
Kementerian Pertanian. (2015). Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2014 (A.
Promosiana & H. D. Atmojo (eds.)). Kementerian Pertanian Direktorat
Jenderal Hortikultura.
Kemps, B., Leon, L., Best, S., de Baerdemaeker, J., & de Ketelaere, B. (2010).
Assessment of the quality parameters in grapes using vis/nir spectroscopy.
Biosyst. Eng., 105, 507–513.
Kennedy, J. (2009). Bananas and people in the homeland of genus Musa: not
just pretty fruit. Ethnobotany Research and Applications, 7, 179-197.
Liu, Y., Sun, X., & Ouyang, A. (2010). Nondestructive measurement of soluble
solid content of navel orange fruit by visible-nir spectrometric technique
with plsr and pca-bpnn. Lwt-Food Sci. Technol, 43, 602–607.
Lugrayasa, I. N. (2004). Pelestarian pisang dan manfaat dalam upacara adat
hindu Bali. In Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama
Hindu.
Mahouachi, J. (2007). Growth and mineral nutrient content of developing fruit
on banana plants ( Musa acuminata AAA , ‘ Grand Nain ’) subjected to
water. The Journal of Horticultural Science and Biotechnology, 82(6), 839–844.
https://doi.org/10.1080/14620316.2007.11512315
Moore, N. Y., Bentley, S., Pegg, K. G., & Jones, D. R. (1995). Musa Disease
Fact Sheet No 5. Fusarium wilt of banana. Montpellier, France: INIBAP.
Nasution, R. E. (1990). A taxonomic study of the species Musa acuminata
Colla with its intraspecific taxa in Indonesia (Doctoral dissertation, 東京
農業大学).
Nelson, S. C., Ploetz, R. C., & Kepler, A. K. (2006). Musa species (banana and
plantain). Species profiles for Pacific Island agroforestry, 15(2), 251-259.
Nuarsa, I. W., Dibia, I. N., Wikantika, K., Suwardhi, D., & Rai, I. N. (2018).
GIS Based Analysis of Agroclimate Land Suitability for Banana Plants in
Bali Province , Indonesia. Hayati Journal of Biosciences, 25(1), 11–17.
Omar, A. F. (2013). Spectroscopic profiling of soluble solids content and acidity
of intact grape, lime, and star fruit. Sens. Rev., 33, 238–245.
Paofa, J., Sardos, J., Christelova, P., Dolez, J., & Roux, N. (2018). Collection
of new diversity of wild and cultivated bananas ( Musa spp .) in the
12 | Pisang Indonesia
Autonomous Region of Bougainville , Papua New Guinea. Genetic Resources
and Crop Evolution, 65, 2267–2286. https://doi.org/10.1007/s10722-018-
0690-x
Perrier, X., Bakry, F., Jenny, C., Horry, J., Lebot, V., & Hippolyte, I. (2009).
Combining Biological Approaches to Shed Light on the Evolution of
Edible Bananas. Etnobotany Research & Applications, 7, 199–216.
Ploetz, R. C. (2004). Diseases and pests: A review of their importance and
management. Infomusa, 13(2), 11–16.
Ploetz, R. C. (2006). Fusarium -Induced Diseases of Tropical Perennial Crops
Fusarium Wilt of Banana Is Caused by Several Pathogens Referred to as
Fusarium oxysporum f . sp . cubense. Phytopathology, 96(6), 653–656.
Ploetz, R. C., Thomas, J. E., & Slabaugh, W. R. (2003). Diseases of Banana
and Plantain. In R. C. Ploetz (Ed.), Diseases of Tropical Fruit Crops (pp.
73–134). CABI Publishing.
Poczai, P., & Hyvönen, J. (2010). Nuclear ribosomal spacer regions in plant
phylogenetics: problems and prospects. Molecular biology reports, 37(4),
1897-1912.
Rao, N. K. (2004). Plant genetic resources: Advancing conservation and use
through biotechnology. African Journal of biotechnology, 3(2), 136-145.
Rai, I. N., Dwivany, F. M., Sutanto, A., Meitha, K., Sukewijaya, I. M., &
Ustriyana, I. N. G. (2018). Biodiversity of Bali Banana (Musaceae) and its
Usefulness. HAYATI Journal of Biosciences, 25(2), 47.
Ravi, I., Vaganan, M. M., & Mustaffa, M. M. (2000). Management of Drought
and Salt Stress in Banana. National Research Centre for Banana. www.
nrcb.res.in
Remenant, B., de Cambiaire, J. C., Cellier, G., Jacobs, J. M., Mangenot, S.,
Barbe, V., ... & Allen, C. (2011). Ralstonia syzygii, the blood disease
bacterium and some Asian R. solanacearum strains form a single genomic
species despite divergent lifestyles. PLoS One, 6(9), e24356.
Rohmah, Y. (2016). Outlook Komoditas Pisang (L. Nuryati & B. Waryanto
(eds.); 1st ed.). Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat
Jenderal Kementerian Pertanian.
Salvacion, A. R. (2020). Effect of climate on provincial-level banana yield in
the Philippines. Information Processing in Agriculture, 7(1), 50–57. https://
doi.org/10.1016/j.inpa.2019.05.005
Shao, Y., & He, Y. (2007). Nondestructive measurement of the internal quality
of bayberry juice using vis/nir spectroscopy. J. Food Eng., 79, 1015–1019.
1: Pendahuluan | 13
Simmonds, N. W., & Shepherd, K. (1955). The taxonomy and origins of the
cultivated bananas. Journal of the Linnean Society of London, Botany, 55(359),
302–312. https://doi.org/10.1111/j.1095-8339.1955.tb00015.x
Simmonds, N. W. (1962). The evolution of the bananas. The Evolution of the
Bananas.
Soesanto, L., Mugiastuti, E., Ahmad, F., & Witjaksono. (2012). Diagnosis lima
penyakit utama karena jamur pada 100 kultivar bibit pisang. Jurnal HPT
Tropika, 12(1), 36–45.
State, O., Salau, O. R., Momoh, M., Olaleye, O. A., & Owoeye, R. S. (2016).
Effects of Changes in Temperature , Rainfall and Relative Humidity on
Banana Production in Ondo State, Nigeria. World Scientific News, 44, 143–
154.
Suhartanto, M. R., Harti, H., & Haryadi, S. S. (2008). Program Pengembangan
Pisang.
Sulistyaningsih, L. D., & Wawo, A. H. (2011). Kajian Etnobotani Pisang-
pisang Liar (Musa spp.) Di Malinau, Kalimantan Timur. Majalah Ilmiah
Biologi BIOSFERA: A Scientific Journal, 28(1), 43-47.
Surata, I. K., Gata, I. W., & Sudiana, I. M. (2015). Studi Etnobotanik Tanaman
Upacara Hindu Bali sebagai Upaya Pelestarian Kearifan Lokal. Jurnal
Kajian Bali, 05(02), 265–284.
Surendar, K. K., Devi, D. D., Ravi, I., Krishnakumar, S., Kumar, S. R., &
Velayudham, K. (2013). Water Stress in Banana- A Review. Bulletin of
Environment, Pharmacology and Life Sciences, 2(May), 1–18.
Swarupa, V., Ravishankar, K. V., & Rekha, A. (2014). Plant defense response
against Fusarium oxysporum and strategies to develop tolerant genotypes
in banana. Planta, 239(4), 735-751.
Turner, D. W. (1995). The response of the plant to the environment. In S.
Gowen (Ed.), Bananas and Plantains (1st ed., pp. 206–228). Springer.
https://doi.org/10.10007/978-94-011-0737-2
Valmayor, R. V., Espino, R. R. C., & Pascua, O. C. (2002). The wild and
cultivated bananas of the Philippines. PARRFI.
Vezina, A., Sharrock, S., & Frison, E. (2003). An international treaty vital for
future food security.
Wang, H., Peng, J., Xie, C., Bao, Y., & He, Y. (2015). Fruit Quality Evaluation
Using Spectroscopy Technology : Sensors, 15, 11889–11927. https://doi.
org/10.3390/s150511889
14 | Pisang Indonesia
Yao, H., Song, J., Liu, C., Luo, K., Han, J., Li, Y., ... & Chen, S. (2010). Use of
ITS2 region as the universal DNA barcode for plants and animals. PloS
one, 5(10), e13102.
Zhang, W., Yuan, Y., Yang, S., Huang, J., & Huang, L. (2015). ITS2 secondary
structure improves discrimination between medicinal “Mu Tong” species
when using DNA barcoding. PLoS One, 10(7), e0131185.
1: Pendahuluan | 15
2
Telur, Genom AA, Talang Lindung Sei Penuh- Jambi (Agus Sutanto dan Edison .S. 2005)
Keragaman Pisang
2
‘Over the years, the exploitable genetic basis of the collection was further broadened
by unique diversity that was collected in the (primary and secondary) centres of
diversity of the crop. Over 400 accessions, mainly Musa acuminata spp.
Chase et al., 2020
P
isang merupakan herba monokotil yang berasal dari daerah tropis Indo-
Malesia, Asia, dan Australia. Spesies Musa bersifat pantropis. Tanaman
pisang dapat pula tumbuh di daerah beriklim sedang, namun umumnya
tidak dapat menghasilkan buah dikarenakan adanya keterbatasan berupa suhu
dingin. Rentang elevasi dimana tanaman pisang dapat dijumpai umumnya
berkisar antara 0 - 920 m atau mungkin lebih, tergantung pada garis lintang.
Curah hujan minimum untuk pertumbuhan tanaman pisang bergantung pada
jenis tanah, lokasi tanam, paparan sinar matahari, dan kultivar atau spesies.
Untuk sebagian besar daerah yang merupakan distribusi tanaman pisang,
periode musim hujan dan musim kering biasanya normal. Pola curah hujan
musiman dapat ditoleransi dengan baik oleh tanaman pisang. Tanaman pisang
memiliki variasi suhu optimal untuk berkembang, yaitu 26 - 28 °C untuk
pertumbuhan vegetatif pisang dan 29 - 30 °C untuk berbuah. Tanaman pisang
tumbuh di berbagai jenis tanah, asalkan tanahnya memiliki kedalaman yang
cukup, memiliki drainase yang baik, dan tidak dipadatkan. Oleh karena itu,
tanaman pisang tidak dapat tumbuh optimal pada tanah liat, terutama jika
bahan organik dan aerasinya rendah. Adapun pH optimal untuk pertumbuhan
pisang yakni sekitar 5.5 - 7.5 (Nelson dkk., 2006).
| 17
(A) dan Musa balbisiana (B) dalam genom. Terdapat 4 genom berdasarkan
konstitusi genetik pada Musaceae. M. acuminata atau A genom dengan jumlah
kromosom 2n=2x=22, M.balbisiana atau B genom dengan jumlah kromosom
2n=2x=22, M. schizocarpa atau S genom dengan jumlah kromosom 2n=2x=22
dan M. textillis atau T genom dengan jumlah kromosom 2n=2x=20.
Family: Musaceae
Genus: Musa
Section: Eumusa
(1n = 1x = 11)
Section: Rhodochlamys
(1n = 1x = 11)
Section: Callimusa
(1n = 1x = 10, 9)
Section: Australimusa
(1n = 1x = 10)
Gambar 2.1. Taksonomi klasifikasi dari Family Musaceae (dimodifikasi dari Cizkova, 2013)
Musa acuminata atau A genom merupakan pisang yang sangat manis, tidak
berbiji (partenokarpi) dan paling banyak dikembangkan dibandingkan dengan
pisang genom lain. Musa balbisiana atau B genom memiliki karakter buah
seperti partenokarpi (berbiji), struktur keras, pertumbuhan cepat dan tahan
18 | Pisang Indonesia
kekeringan. Musa schizocarpa atau S genom merupakan pisang liar, berukuran
besar, kulit buah berwarna hijau dengan buah berwarna putih, berukuran kecil
dan berbiji. Musa textillis atau T genom berbiji halus, buahnya berwarna oranye
kemerahan, seratnya halus, lembut dan berkilau sehingga sering dimanfaatkan
untuk produk tekstil (Ploetz dkk., 2007).
2: Keragaman Pisang | 19
secara keseluruhan. Pisang-pisang yang dapat dimakan (edible) seperti Musa
acuminata diploid (AA) muncul sebagai hasil sterilitas tanaman betina dan
partenokarpi, kemudian jenis yang dapat dimakan lebih dipilih dan dipelihara
oleh manusia (Perrier dkk., 2011). Menurut Simmonds dan Shepherd (1955),
sebagian besar pisang diploid dan triploid yang dapat dimakan merupakan
hasil persilangan intraspesifik dari Musa acuminata (A) dan Musa balbisianana
(B) serta diklasifikasikan ke dalam kelompok yang mewakili baik ploidi dan
komposisi spesies, yaitu AA, AAA, AAB dan ABB. Kultivar diploid dan
triploid M. acuminata dibawa manusia ke daerah native M. balbisiana (India,
Myanmar, Thailand, Filipina) (Gambar 2.3) dan hibridisasi alami kemudian
menghasilkan keturunan hibrida dengan genom AB, AAB, dan ABB.
Gambar 2.2. Distribusi Musa di Asia Timur (dimodifikasi dari Simmonds, 1962)
20 | Pisang Indonesia
Distribusi sekunder dan tersier Musa (Gambar 2.4) menghasilkan tujuh
area geografis yang masing-masing dikenali dengan kepadatan tinggi kultivar
tertentu (De Langhe, 2009):
1. Kultivar AAB Maia Maoli-Popoulu-lholena berada di Ocenia
2. Kultivar AB (Oval coklat) dan AAB lain berada di India Selatan
3. Kultivar ABB eastern berada di Filipina dan Vietnam
4. Kultivar ABB western berada di timur laut dan Selatan India
5. Kultivar AA dan AAA berada di segitiga antara Indonesia, Filipina dan
Melanesia, dengan kepadatan AA yang tinggi di sekitar New Guinea
6. Pisang Highland AAA berada di daerah Afrika timur (tidak ditampilkan
pada peta di gambar )
7. AAB plantains berada di zona rainforest Afrika (tidak ditampilkan pada
peta di gambar )
Gambar 2.4. Distribusi kelompok pisang (dimodifikasi dari De Langhe dkk., 2009)
MORFOLOGI
Tanaman pisang merupakan tanaman berbunga herba terbesar. Semua bagian
dari tanaman pisang yang ada diatas permukaan tanah tumbuh dari struktur
yang biasa disebut sebagai bonggol (corm). Tanaman pisang sering diidentifikasi
sebagai pohon, namun yang nampak seperti batang sebenarnya adalah batang
palsu (pseudostem). Daun tanaman pisang terdiri dari tangkai daun (petiole)
dan lembaran daun (lamina). Dasar tangkai melebar membentuk selubung.
Selubung yang dikemas rapat membentuk pseudostem, dan pseudostem inilah
yang berfungsi sebagai tanaman tersebut. Tanaman pisang yang dibudidayakan
2: Keragaman Pisang | 21
bervariasi tingginya, tergantung pada kultivar dan kondisi pertumbuhannya.
Buahnya bervariasi dalam ukuran dan warna, namun umumnya memiliki
bentuk yang memanjang dan melengkung, dengan daging buah yang ditutupi
kulit. Kulit buah memiliki beberapa variasi warna seperti hijau, kuning, merah,
atau jingga saat matang. Buah tumbuh dalam kelompok yang tergantung di
bagian atas tanaman (Morton, 1987) Gambar 2.5 menunjukkan morfologi
umum tanaman pisang.
Leaves Bunch of
bananas
Male flowers
Apparent
trunk
Suckers
Batang sejati dari tanaman ini berbentuk rizoma tuber yang biasa disebut
sebagai bonggol pisang. Bonggol pisang tertanam seluruhnya di dalam tanah
dan memiliki internodus yang pendek. Dapat dilihat pada Gambar 2.6,
bonggol pisang dengan bentuknya yang bulat, terbagi menjadi dua bagian,
yaitu silinder pusat dan korteks. Pada ujung pangkal dari bonggol terdapat
daerah meristem apikal yang memungkinkan pertumbuhan daun baru
(Robinson dkk., 2010).
22 | Pisang Indonesia
Gambar 2.6. Struktur Bonggol Pisang (dimodifikasi dari Vézina, 2017)
Akar primer dari tunas pisang tidak bertahan lama. Setelah akar tersebut
mati fungsinya akan segera digantikan oleh sistem akar adventif. Akar primer,
yang berasal dari silinder pusat bonggol, pada awalnya berwarna putih, tetapi
kemudian menjadi coklat dan berlendir. Setelah itu, dari masing-masing akar
tersebut, akan berkembang sistem perakaran sekunder dan tersier lateral.
Rambut akar, yang diproduksi di belakang ujung akar primer dan lateral,
bertanggung jawab untuk pengambilan sebagian besar air dan mineral tanaman.
Distribusi akar secara keseluruhan dipengaruhi oleh jenis tanah, pemadatan
dan drainase. Pada umumnya, pertumbuhan horizontal akar primer mencapai
1 hingga 2 m dan dapat meluas hingga 5 m dari tanaman (Robinson, 2010).
Ujung distal dari selubung daun menyempit ke arah tangkai daun. Petiola
kemudian menjadi pelepah daun membagi lembaran daun menjadi dua bagian.
Daun baru atau daun muda berbentuk gulungan dan muncul dari tengah
pseudostem. Saat berbunga, terdapat 10 hingga 15 daun fungsional pada
tanaman, kemudian seiring dengan penuaan daun jumlah daun turun menjadi
5 hingga 10 saat panen (Robinson, 2010). Setiap daun yang baru muncul
lebih besar dari yang sebelumnya dengan pengecualian 7-11 daun sebelum
berbunga. Perbungaan tanaman pisang berupa struktur kompleks yang terdiri
dari kumpulan bunga yang tersusun spiral, ditutupi oleh daun modifikasi atau
braktea, seperti yang terlihat pada Gambar 2.7. Bunga betina terletak berdekatan
2: Keragaman Pisang | 23
dengan pangkal gagang bunga yang diikuti oleh bunga hermaprodit dan bunga
jantan di ujung distal. Bunga betina berkembang menjadi buah-buahan yang
mengandung biji (pada pisang liar), biji dan buah (buah yang dapat dimakan
hanya pada kultivar budidaya). Buah tanpa biji berasal tanpa penyerbukan oleh
secara partenokarpi vegetatif. Pada umumnya, setiap kelompok buah disebut
tangan dan buah individu disebut jari (Robinson, 2010).
24 | Pisang Indonesia
KERAGAMAN
Berdasarkan morfologinya secara umum, dapat dilihat sifat daun maupun sifat
kerdil dari tanaman pisang. Terdapat tiga pembagian sifat daun seperti yang
terlihat di Gambar 2.8, yaitu Erect dengan bentuk daun tegak, Intermediate
dengan sifat daun lemas, dan Dropping dengan sifat daun jatuh. Berdasarkan
ukurannya, terdapat tanaman yang kerdil dan yang normal. Tolak ukur sebuah
tanaman pisang dikategorikan normal adalah ketika daun tidak saling menimpa,
sedangkan untuk tanaman yang kerdil memiliki daun yang bertumpukan
(IPGRI, 1996).
Berdasarkan tangkai daunnya, dapat dilihat warna dari bercak, margin petiola,
ujung dari margin petiola, warna dari permukaan atas dan bawah daun, warna
2: Keragaman Pisang | 25
dari batang tengah baik dorsal maupun ventral, serta warna dari daun muda.
Selain berdasarkan warna, kita juga dapat mengidentifikasi jenis pisang
berdasarkan bentuk dari bercak, bukaan pada petiola daun ketiga, margin
petiola, tipe sayap, lebar dari margin petiola, panjang dan lebar daun, panjang
petiola, abaksial dan adaksial, keberadaan lilin pada daun, titik insersi daun
pada petiola, bentuk dari dasar daun, korugasi daun, serta keberadaan bercak
pada anakan (IPGRI, 1996).
Untuk bukaan pada petiola daun ketiga seperti yang terlihat pada Gambar
2.9, bukaan dapat berbentuk: terbuka dengan margin melebar, lebar dengan
margin tegak, tegak dengan margin tegak, margin melipat ke dalam, dan margin
yang bertumpukan. Bentuk-bentuk dari bukaan petiola ini dapat dilihat pada
Gambar 2.10. Margin dari petiola juga terbagi ke dalam 5 kategori, antara
lain: undulatus bersayap, bersayap dan tidak memegang pseudostema, bersayap
dan memegang pseudostema, tidak bersayap dan memegang pseudostem, dan
tidak bersayap dan tidak memegang pseudostem. Bersayap dan tidak bersayap
menyatakan apakah margin dari tangkai daun memiliki bentukan sayap
atau tidak. Untuk undulatus, memegang dan tidak terhadap tangkai daun
menyatakan apakah margin dari petiola berbentuk undulatus, menghimpit
atau tidak terhadap tangkai daun. Untuk tangkai daun yang memiliki sayap,
sayap tersebut dapat berbentuk kering atau sebaliknya. Margin dari tangkai
daun juga memiliki warna yang berbeda pada kultivar pisang tertentu. Warna
tersebut berkisar antara hijau, ungu kemerahan atau ungu kebiruan (IPGRI,
1996).
Gambar 2.9. Petiola daun ke-3: 1. terbuka dengan margin melebar, 2. lebar dengan margin
tegak, 3. tegak dengan margin tegak, 4. margin melipat ke dalam, dan 5. margin yang
bertumpukan (IPGRI, 1996)
26 | Pisang Indonesia
Margin dari petiola memiliki ukuran lebar berkisar antara kurang dari 1cm
dan lebih dari 1 cm, serta bagian ujungnya ada yang berwarna dan ada pula
yang tidak. Selain marginnya, identifikasi margin juga dapat dilihat dari ukuran
panjang petiola. Panjang petiola dapat berkisaran antara: kurang dari 50cm,
51-70cm, dan lebih dari 71cm (IPGRI, 1996).
Gambar 2.11. Bentuk pangkal helai daun: 1. ujung tumpul di kedua sisi, 2. salah satu sisi
tumpul dan sisi lainnya berbentuk lancip, dan 3. lancip di kedua sisi (IPGRI, 1996)
2: Keragaman Pisang | 27
Keragaman berdasarkan sifat perbungaan,
posisi tandan dan buah
Seperti yang terlihat pada Gambar 2.12, posisi rachis atau tandan, bisa
terlihat: jatuh vertikal, bersudut, berbelok, horizontal, dan tegak ke atas. Bentuk
dari tandan sendiri pun ada yang berbentuk silinder, kerucut, asimetris, spiral,
dan berliku. Penampakan dari tandannya, buah pisang dapat tersusun padat,
di mana jari masih dapat masuk di sela-sela buah pisang dalam tandannya;
kompak di mana jari tidak dapat masuk ke sela-sela buah; dan jarang (IPGRI,
1996).
Dari semua karakteristik di atas, yang paling sering dan mudah di bedakan
adalah buah pisang itu sendiri. Baik itu dari posisinya, jumlah jari pada pisang,
panjang buah pisang, bentuknya, apeks, warna kulit buah pisang, dan keberadaan
sisa bunga pada buah pisang. Kriteria tersebut dapat terbagi kedalam beberapa
kategori (IPGRI, 1996).
28 | Pisang Indonesia
berukuran kurang dari 15cm, 16-20cm, 21-25cm, 26-30cm, dan lebih dari
31cm. Bentuk dari buah pisang pun bermacam-macam. Ada yang berbentuk
lurus, lurus pada bagian distalnya, berliku, berbentuk S, dan bentuk lainnya
(Gambar 2.13). Apeks dari buah pisang dapat berbentuk lancip, lancip panjang,
ujung tumpul, leher botol dan bulat (Gambar 2.14). Berdasarkan keberadaan
sisa bunganya, buah pisang dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tidak ada
sisa bunga, prominan, dan presisten (Gambar 2.15). Warna dari kulit buah
pisang dapat berwarna kuning, kuning terang, merah, jingga, coklat, dan lain
sebagainya (IPGRI, 1996).
Gambar 2.13. Bentuk buah, lengkungan longitudinal: 1. lurus; 2. lurus pada bagian distal; 3.
melengkung; 4. berbentuk ‘S’ (IPGRI, 1996)
Gambar 2.14. Bentuk ujung buah: 1. lancip; 2. lancip panjang; 3. tumpul; 4. leher botol; 5.
bulat (IPGRI, 1996)
Gambar 2.15. Sisa perbungaan pada ujung buah: 1. tanpa sisa perbungaan; 2. terdapat sisa
perbungaan yang presisten; 3. terdapat dasar perbungaan yang prominan (IPGRI, 1996)
PENYAKIT
Produksi pisang global sedang terancam oleh layu Fusarium yang disebabkan
oleh jamur Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) yang menyebar melalui
2: Keragaman Pisang | 29
tanah. Penyakit layu Fusarium ini juga disebut sebagai Panama disease. F.
oxysporum f.sp. cubense (Foc) merupakan cendawan tanah yang berasal dari
filum askomisetes (ascomycetes) dengan hifa hialin bersepta. Foc termasuk
kedalam cendawan tidak sempurna (imperfect fungus) dikarenakan fase siklus
hidupnya yang belum pernah teramati dan siklus hidup yang dimana fase
reproduksi aseksual yang mendominasi (O’Donnell dkk., 1998). Terdapat tiga
jenis spora yang dimiliki oleh Foc yang berperan dalam reproduksi aseksual
yakni: mikrokondia, makrokondria, dan klamidospora. Klamidospora pada
umumnya dapat bertahan selama 20 tahun di dalam tanah (Stover, 1962) dan
waktu terlama yang tercatat dapat mencapai hingga 40 tahun (Buddenhagen,
2009). Karakterisitik spora tersebut yang menyebabkan pengendalian
penyakit yang disebabkan oleh foc sulit untuk dilakukan. Selain itu, foc juga
dapat menghasilkan senyawa toksik asam fusarat (fusaric acid) yang menyebar
secara sistemik. Asam fusarat yang sudah menyebar di seluruh tanaman dapat
menyebabkan kerusakan sistem membran sel daun. Jika ditinjau dari cara hidup,
foc merupakan patogen hembiotrof dengan strategi biotrof di awal infeksi dan
dilanjutkan dengan fasa nekrotrof yang dapat memicu kematian sel tanaman di
akhir infeksi foc (Lyons, dkk., ,2005)
Infeksi Foc diawali dengan pengenalan antara inang (tanaman pisang) dan
agen penyakit (fusarium) yang melibatkan pengenalan sinyal secara fisik dan
kimia. Hifa yang berada di dalam tanah yang sudah terinfeksi dengan foc akan
terus bertumbuh ke arah permukaan akar inang dan terjadi proses pengenalan
inang oleh foc. Setelah proses pengenalan inang, foc akan mensekresikan enzim
litik yang dapat menembus korteks akar (Di Pietro dkk., 2001) sehingga hifa
foc dapat masuk ke dalam akar dan berproliferasi serta menginvasi jaringan
xilem (Dong dkk., 2012). Hal tersebut yang menyebabkan tanaman layu karena
air dan nutrisi tidak dapat tersalurkan ke seluruh bagian tanaman.
30 | Pisang Indonesia
dengan penguningan pada bagian luar daun tua yang sering disalahartikan
menjadi defisiensi kalium, terutama pada lingkungan yang dingin dan kering.
Penguningan daun bersifat progresif dari daun tua ke daun yang muda. Lama
kelamaan daun menjadi layu dan terjadi pembengkokan pada bagian petiolanya.
Sedangkan untuk Green leaf syndrome, daun tetap mempertahankan warna
dominan hijaunya, hingga terjadi patahan pada bagian petiolanya (Stover,
1962; Pérez-Vicente, 2004).
Gambar 2.16. Tanaman pisang yang terserang layu Fusarium: a. yellow leaf syndrome b.
bonggol pisang yang terbelah (Agus Sutanto, ITFRI)
Dengan kematian dari tanaman pisang, jamur tetap tumbuh di luar xylem,
di sekitar jaringan dan menghasilkan chlamydospore dalam jumlah besar.
Chlamydospore tersebut akan bertahan di dalam tanah ketika tanaman pisang
membusuk. Dalam kasus tertentu, dapat ditemukan beberapa jenis penyakit
dalam satu tanaman pisang. Hal yang paling umum terjadi adalah keberadaan
jamur Fusarium yang berdampingan dengan bakteri R. solanacearum, bakteri
penyebab Blood Disease atau layu bakteri (Perez-Vincente dkk., 2014).
2: Keragaman Pisang | 31
Penyakit Darah (Blood Disease)
Penyakit darah merupakan hama pada pisang yang disebabkan oleh Blood
Disease Bacterium (BDB). BDB merupakan bakteri yang berbentuk batang, tipe
dinding Gram Negatif, dengan ukuran 1-1.5 μm dan tidak motil. Pisang yang
terkena penyakit darah menunjukkan gejala daun yang menguning, kehilangan
turgor, mengering dan kemudian mengalami nekrosis. Pada tumbuhan dewasa
yang terinfeksi BDB daun dewasa menjadi layu dan menggantung pada
sel sehingga terlihat seperti layu pada bagian tangkai daun. Pada jaringan
pembuluh pisang yang terinfeksi akan muncul perubahan warna menjadi
kemerahan (Supriadi, 2005). Pisang yang terinfeksi penyakit darah ditunjukkan
pada Gambar 2.17.
a.
b. c.
Gambar 2.17. Penampang pisang yang terinfeksi penyakit darah (Sutanto, ITFRI, a) Morfologi
luar pisang, b) penampang melintang batang pisang, dan c) penampang membujur batang
(Meithasari, 2016).
32 | Pisang Indonesia
Penyakit darah pada awalnya ditemukan di daerah Sulawesi dan merupakan
endemik di Indonesia. Namun dalam kurun waktu beberapa tahun, penyakit
ini sudah menyebar sempai beberapa negara disekitar Indonesia. Penyebaran
penyakit darah tergolong cukup cepat yaitu dilaporkan mencapai lebih dari 25
km per tahun (Eden-Green & Sastraatmadja, 1990). Hal tersebut disebabkan
oleh beragamnya vektor penyakit darah, diantaranya serangga polinator seperti
lebah atau lalat, serta alat-alat yang digunakan untuk memotong pohon pisang
dari petani. BDB dapat masuk ke dalam jaringan pisang melalui bagian yang luka
atau lubang alami pada bunga kemudian menyebar melalui jaringan pembuluh
ke seluruh bagian tumbuhan lainnya (Buddenhagen & Elsasser, 1962).
DAFTAR PUSTAKA
Atom, A. D., Lalrinfela, P., & Thangjam, R. (2015). Genome classification
of banana genetic resources of Manipur using morphological characters.
Science Vision, 15, 189-193.
Bakry, S.M., & Priyadarshan, P. (2009). Breeding Plantation Tree Crops:
Tropical Species (1st ed., pp. 3-50). Springer.
Buddenhagen, I. W., & Elsasser, T. A. (1962). An insect-spread bacterial wilt
epiphytotic of Bluggoe banana. Nature, 194(4824).
Buddenhagen, I. (2009): Understanding strain diversity in Fusarium oxysporum
f. sp. cubense and history of introduction of “Tropical Race 4” to better
manage banana production. Acta Horticulturae, (828), 193–204.
2: Keragaman Pisang | 33
Chase, R., Sardos, J., Ruas, M., Kempenaers, E., Guignon, V., Massart, S., ... &
Roux, N. (2020). Safeguarding and using global banana diversity: a holistic
approach. CABI Agriculture and Bioscience, 1(1), 1-22.
Cheesman, E. E. (1947). Classification of the Bananas: The Genus Musa L.
Kew Bulletin, 106-117.
De Langhe, E., Vrydaghs, L., De Maret, P., Perrier, X., & Denham, T.
(2009). Why bananas matter: an introduction to the history of banana
domestication. Ethnobotany Research and Applications, 7, 165-177.
Di Pietro, A., García-Maceira, F. I., Méglecz, E., & Roncero, M. I. G. (2001):
A MAP kinase of the vascular wilt fungus Fusarium oxysporum is essential
for root penetration and pathogenesis. Molecular Microbiology, 39(5),
1140–1152.
Dong, X., Ling, N., Wang, M., Shen, Q., & Guo, S. (2012): Fusaric acid is a
crucial factor in the disturbance of leaf water imbalance in Fusarium-infected
banana plants. Plant Physiology and Biochemistry, 60(0), 171–179.
Eden-Green, S. J., & Sastraatmadja, H. (1990). Outbreaks and new records.
Indonesia. Blood disease of banana present in Java. FAO Plant Protection
Bulletin, 35(1), 49-50.
Food and Agriculture Organization of The United Nations. (1984). Bananas.
Diambil pada 26 October 2020, http://www.fao.org/3/t0308e/T0308E00.
htm#TOC
Gaumann, E. (1921). Onderzoekingen over de blocdziekte der bananen op
Celebes I.(Investigations on the blood-disease of bananas in Celebes I).
Ruygrok.
IPGRI. 1996. Descriptors for Banana (Musa ssp.). The International Network
for the Improvement of Banana and Plantain
ITIS. (2020). ITIS Standard Report Page: Musa acuminata. Itis.gov. Retrieved
26 October 2020, diambil dari https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/
SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=42390#null.
Lyons, R., Stiller, J., Powell, J., Rusu, A., Manners, J. M., dan Kazan, K. (2015):
Fusarium oxysporum triggers tissue-specific transcriptional reprogramming
in Arabidopsis thaliana. PLoS ONE, 10(4), e0121902.
Morton, J. (1987). Banana. Fruits of warm climates, 29-46.
Nelson, S. C., Ploetz, R. C., & Kepler, A. K. (2006). Musa species (banana and
plantain). Species profiles for Pacific Island agroforestry, 15(2), 251-259.
Nelson, S. C., Ploetz, R. C., & Kepler, A. K. (2006). Musa species (banana and
plantain). Species profiles for Pacific Island agroforestry, 15(2), 251-259.
34 | Pisang Indonesia
O’Donnell, K., Kistler, H. C., Cigelnik, E., & Ploetz, R. C. (1998): Multiple
evolutionary origins of the fungus causing Panama disease of banana:
Concordant evidence from nuclear and mitochondrial gene genealogies.
Proceedings of the National Academy of Sciences, 95(5), 2044–2049.
Pérez Vicente, L. F., Dita, M., & Martinez De La Parte, E. (2014). Technical
Manual: Prevention and diagnostic of Fusarium Wilt (Panama disease)
of banana caused by Fusarium oxysporum f. sp. cubense Tropical Race 4
(TR4).
Robinson, J. C., & Saúco, V. G. (2010). Bananas and plantains (Vol. 19). Cabi.
Pérez-Vicente, L. (2004). Fusarium wilt (Panama disease) of bananas: an
updating review of the current knowledge on the disease and its causal
agent. Orozco-Santos, M; Orozco-Romero; J; Velázquez-Monreal, J, 1-16.
Perrier, X., De Langhe, E., Donohue, M., Lentfer, C., Vrydaghs, L., Bakry, F., ...
& Lebot, V. (2011). Multidisciplinary perspectives on banana (Musa spp.)
domestication. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108(28),
11311-11318.
Ploetz, R. C., Kepler, A. K., Daniells, J., & Nelson, S. C. (2007). Banana and
plantain—an overview with emphasis on Pacific island cultivars. Species
profiles for Pacific island agroforestry, 21-32.
Price, N. S. (1995). The origin and development of banana and plantain
cultivation. In Bananas and plantains (pp. 1-13). Springer, Dordrecht.
Rijks, A. B. (1916). Rapport over een onderzoek naar de pisangsterfte op de
saleiereilanden.
Simmonds, N. W., & Shepherd, K. (1955). The taxonomy and origins of the
cultivated bananas. Botanical Journal of the Linnean Society, 55(359),
302-312.
Stover, R. H. (1962): Fusarial wilt (panama disease) of bananas and other Musa
species. UK: Commonwealth Mycological Institute.
2: Keragaman Pisang | 35
3
Kutanensis, Genom AAB, Pami Amban – Manokwari (Agus Sutanto dan Edison H.S., 2005)
36 | Pisang Indonesia
Studi Keragaman
Genetik Pisang Indonesia
dengan Teknik Biologi
Molekuler
3
ISOLASI DNA
I
solasi DNA yang digunakan untuk penelitian biodiversitas dari sampel pisang
dapat dilakukan dengan protokol menggunakan Cetrimonium bromide
(CTAB) (Doyle, 1991). Tahapan isolasi DNA diikuti kemudian dengan
analisis secara visual menggunakan metoda elektroforesis. Dilanjutkan dengan
pengukuran kualitas DNA dengan metoda sebelum dilakukan amplifikasi
dengan metoda PCR.
Sampel daun pisang digerus menggunakan mortar dan pastel yang telah
diberi nitrogen cair secara berkala hingga sampel berbentuk bubuk halus. Masing-
masing sampel lalu dimasukkan ke dalam mikrotube dan divorteks selama 1 menit
kemudian diinkubasi selama 5 menit. Proses vorteks dan inkubasi dilakukan
sebanyak 2 kali pengulangan dengan waktu yang sama lalu ditambah C:I dengan
menggunakan mikropipet P1000 sampai penuh dan divorteks selama 10 menit.
Sampel kemudian disentrifugasi pada suhu 4oC, kecepatan 12000 rpm, selama 20
menit. Supernatan diambil sebanyak 500 µL dengan menggunakan mikropipet
P1000 dan dimasukkan dalam mikrotube baru. Isopropanol sebanyak 500 µL
diambil menggunakan mikropipet P1000 lalu ditambahkan ke dalam mikrotube
dan disentrifugasi kembali. Supernatan dibuang dan pelet ditambah etanol 200
µL dengan menggunakan mikropipet P200 kemudian disentrifugasi 5 menit
dan supernatan dibuang. Pelet yang tersisa ditambah dengan TE buffer 50 µL
menggunakan mikropipet P200. Hasil sentrifugasi awal yang telah dibuang
supernatannya disentrifugasi kembali, supernatan diambil, dan ditambah dengan
isopropanol dalam mikrotube baru (duplo), selanjutnya mengikuti metode yang
| 37
telah dijelaskan sebelumnya. Terdapat beberapa modifikasi tahapan isolasi DNA
yang merujuk pada metoda Lodhi dkk. (1994) dengan CTAB untuk isolasi
DNA Tongka Langit Maluku. Pisang digerus dengan nitrogen cair dengan
menggunakan mortar dan pastel lalu dimasukkan dalam 2 mikrotube (duplo)
berisi 1 mL buffer yang telah diinkubasi pada 60oC lalu ditambah 10 mg PVP
dan dibolak-balik. Sampel diinkubasi pada 60oC selama 25 menit, dibolak-balik
dan didiamkan sampai mencapai suhu ruang. Larutan C:I ditambahkan sebanyak
1 mL dengan menggunakan mikropipet P1000 kemudian dibolak-balik 20-25
kali dan disentrifugasi (14.000g, 15 menit, 4oC). Setelah itu fasa cair sebanyak 750
µL dipindahkan menggunakan mikropipet P1000 ke dalam mikrotube baru lalu
ditambah C:I dengan volume yang sama dan dibolak-balik kemudian disentrifugasi
kembali. Sebanyak 450 µL fase air dimasukkan ke dalam mikrotube menggunakan
mikropipet P1000 lalu ditambah 45 µL 0.5 M NaCl dengan menggunakan
mikropipet P200 dan 900 µL etanol absolut dengan menggunakan mikropipet
P1000 kemudian dibolak-balik dan diinkubasi di -80oC selama 1 jam. Homogenat
disentrifugasi kembali selama 3 menit lalu supernatan dibuang dan pelet dicuci
dengan etanol 70% dingin 1 mL. Setelah itu disentrifugasi kembali selama 1 menit,
pelet dikeringkan dan dilarutkan dalam TE buffer sebanyak 200-300 µL.
38 | Pisang Indonesia
DNA sampel pisang diisolasi dan diuji keberadaannya menggunakan
elektroforesis kemudian diuji kemurnian dan konsentrasinya (dengan nanodrop
dan Quantus Fluorometer). Hasil elektroforesis sampel kultivar-kultivar pisang
menunjukkan adanya pita DNA di atas 10.000 bp. Kemurnian dan konsentrasi
DNA sampel kemudian dikuantifikasi. Berdasarkan elektroforegram hasil isolasi
DNA (Gambar 3.1) dapat dilihat bahwa DNA genom sampel pisang berhasil
diisolasi dan memiliki ukuran di atas 10.000 bp.
Tabel 3.1. Contoh hasil pengukuran spektrofotometer kultivar pisang dari Pulau Bali
Rasio Konsentrasi
No Kultivar A260 A280
A260/A280 (µg/mL)
1 Kayu 0.312 0.151 2.07 300.000
2 Hias 0.387 0.273 1.42 372.115
3 Sabe Macan 0.064 0.03 2.13 61.538
4 Mas Bali 0.246 0.141 1.74 236.538
5 Sangket 0.078 0.043 1.81 75.000
6 Keladi 0.087 0.045 1.93 83.654
7 Tulang 0.391 0.189 2.07 375.962
8 Seribu 0.097 0.044 2.20 93.269
9 Kepok Tanjung 0.098 0.049 2.00 94.231
10 Rojo Molo 0.078 0.046 1.70 75.000
11 Tembaga 0.124 0.057 2.18 119.231
12 Gancan 0.198 0.099 2.00 190.385
13 Raja Bulu 0.235 0.109 2.16 225.962
Rasio A260/A280 menunjukkan kualitas isolat DNA yang diuji. Rasio ini
digunakan untuk menentukan kemurnian hasil DNA. Berdasarkan literatur,
rasio yang baik untuk isolat DNA yakni berkisar antara 1,8 – 2,0. Jika rasio
berkisar diantara 1,8 – 2,0 diartikan isolat DNA memiliki kualitas yang baik
dan tidak mengandung kontaminan. Rasio dibawah 1,7 menunjukan adanya
kontaminan pada sampel yakni berupa protein, sedangkan nilai rasio yang lebih
tinggi dari 2,0 menunjukkan adanya kontaminasi berupa RNA (Khosravinia
dkk., 2007). Dari data di atas ada beberapa sampel yang memiliki nilai rasio
yang dibawah 1,8. Diduga beberapa sampel ini memiliki kontaminasi terhadap
fenol atau beberapa reagen yang digunakan dalam protokol isolasi DNA. Selain
itu kontaminasi ini juga dapat menyebabkan overestimasi dari konsentrasi
asam nukleat (Wilfinger, Mackey, & Chomczynski, 1977).
Namun hasil nilai rasio yang kurang baik tidak sepenuhnya mengindikasikan
sampel yang terkontaminasi maupun tidak murni. Ada beberapa faktor lain
yang dapat menyebabkan suatu isolat DNA memiliki nilai rasio yang kurang
baik seperti, masalah peralatan. Kesalahan peralatan dapat diakibatkan plate
yang tersedia sudah tidak optimal lagi untuk digunakan. Selain itu adanya
sedikit perubahan pH sampel akan menyebabkan hasil yang tidak akurat.
Isolat DNA yang bersifat lebih asam akan menyebabkan representasi nilai
rasio yang lebih rendah sekitar 0,2 – 0,3. Isolat DNA yang bersifat lebih basa
akan menyebabkan representasi nilai rasio yang lebih tinggi sekitar 0,2 – 0,3
(Wilfinger, Mackey, & Chomczynski, 1977).
40 | Pisang Indonesia
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
Tahapan perbanyakan DNA (amplifikasi DNA) dapat dilakukan dengan
metoda PCR. Pada studi keragaman genetik dapat digunakan menggunakan
marker genetik seperti ITS-2 (Gu, dkk., 2013, Dwivany, dkk, 2020) dilakukan
dengan mencampurkan 5µL sampel dengan 45 µL PCR MasterMix (GoTaq®
Green Master Mix (Promega Co., USA), Nuclease-free water, primer forward &
reverse ITS-2) di dalam PCR tube setelah itu dimasukkan ke dalam alat PCR
dan diproses dengan suhu denaturasi 94oC, suhu annealing 55oC, dan suhu
pemanjangan DNA 72oC (Gambar 3.2). Proses amplifikasi dilakukan dengan
suhu annealing 48.5 (Gambar 3.2). Sampel yang telah melalui proses PCR
kemudian dielektroforesis dengan agarose 0.8% untuk pengujian amplikon.
Berikut ini merupakan tabel pasangan primer yang digunakan.
Wilayah ITS (terdiri dari ITS1, 5,8S rDNA dan ITS-2) adalah salah satu
lokus genom paling populer dalam studi filogenetik pada tumbuhan. Beberapa
fitur unik menjadikan wilayah ITS target ideal untuk filogenetik molekuler.
Panjang daerah, bervariasi antara 500 dan 700 bp di angiosperma (Baldwin dkk.,
1995; Feliner & Rosselló, 2007), kemungkinan digunakan primer universal yang
dirancang untuk melestarikan sekuens sekitarnya (White dkk., 1990) dan jumlah
salinan tinggi memfasilitasi amplifikasi PCR dan sekuensing berikutnya.
Karena sifat yang disebutkan di atas, wilayah ITS menjadi salah satu urutan
yang paling banyak digunakan untuk kesimpulan filogenetik. Namun, penting
42 | Pisang Indonesia
untuk memperhatikan beberapa proses molekuler yang mempengaruhi variasi
urutan ITS untuk menghindari hasil analisis yang keliru. ITS-2 menyandikan
sinyal untuk pemrosesan yang benar dan melipat transkrip rRNA (Hillis &
Dixon, 1991; Hadjiolova dkk., 1994). Telah ditunjukkan bahwa struktur
sekunder sekuens ITS-2 fungsional sangat lestari di dalam tumbuhan
angiosperm (tumbuhan berbiji) (Hershkovitz & Zimmer, 1996)
VISUALISASI PCR
Isolat DNA kemudian diamplifikasi pada daerah ITS-2 dan didapatkan hasil
elektroforegram pada Gambar 3.5 .
DAFTAR PUSTAKA
Baldwin, B. G. (1992). Phylogenetic utility of the internal transcribed spacers
of nuclear ribosomal DNA in plants: an example from the Compositae.
Molecular phylogenetics and evolution, 1(1), 3-16.t
Baldwin, B. G., Sanderson, M. J., Porter, J. M., Wojciechowski, M. F., Campbell, C.
S., & Donoghue, M. J. (1995). The ITS region of nuclear ribosomal DNA: a
valuable source of evidence on angiosperm phylogeny. Annals of the Missouri
botanical garden, 247-277.
Coleman, A. W. (2003). ITS2 is a double-edged tool for eukaryote evolutionary
comparisons. TRENDS in Genetics, 19(7), 370-375.
Coleman, A. W. (2007). Pan-eukaryote ITS2 homologies revealed by RNA
secondary structure. Nucleic acids research, 35(10), 3322-3329.
Doyle, J. (1991). DNA protocols for plants. In Molecular techniques in taxonomy
(pp. 283-293). Springer, Berlin, Heidelberg.
Dwivany, J., Stefani, G., Sutanto, A., Nugrahapraja, A., Wikantika, K., Hiariej, A.,
Hidayat, T., Rai, I.N., Sukriandi, N. (2020). Genetic Relationship between
Tongka Langit Bananas (Musa troglodytarum L.) from Galunggung and
Maluku, Indonesia, Based on ITS2. HAYATI Journal of Biosciences, Vol 27
(3), 258-265.
Elder Jr, J. F., & Turner, B. J. (1995). Concerted evolution of repetitive DNA
sequences in eukaryotes. The Quarterly review of biology, 70(3), 297-320.
Feliner, G. N., & Rosselló, J. A. (2007). Better the devil you know? Guidelines for
insightful utilization of nrDNA ITS in species-level evolutionary studies in
plants. Molecular phylogenetics and evolution, 44(2), 911-919.
Gu, W., Song, J., Cao, Y., Sun, Q., Yao, H., Wu, Q., ... & Duan, J. (2013). Application
of the ITS2 region for barcoding medicinal plants of Selaginellaceae in
Pteridophyta. PloS one, 8(6), e67818.
Hadjiolova, K. V., Normann, A., Cavaillé, J., Soupène, E., Mazan, S., Hadjiolov, A.
A., & Bachellerie, J. P. (1994). Processing of truncated mouse or human rRNA
44 | Pisang Indonesia
transcribed from ribosomal minigenes transfected into mouse cells. Molecular
and cellular biology, 14(6), 4044-4056.
Harpke, D., & Peterson, A. (2008). Extensive 5.8 S nrDNA polymorphism in
Mammillaria (Cactaceae) with special reference to the identification of
pseudogenic internal transcribed spacer regions. Journal of Plant Research,
121(3), 261-270.
Hershkovitz, M. A., & Zimmer, E. A. (1996). Conservation patterns in angiosperm
rDNA ITS2 sequences. Nucleic acids research, 24(15), 2857-2867.
Hillis, D. M., & Dixon, M. T. (1991). Ribosomal DNA: molecular evolution and
phylogenetic inference. The Quarterly review of biology, 66(4), 411-453.
Hřibová, E., Čížková, J., Christelová, P., Taudien, S., de Langhe, E., & Doležel,
J. (2011). The ITS1-5.8 S-ITS2 sequence region in the Musaceae: structure,
diversity and use in molecular phylogeny. Plos one, 6(3), e17863.
Khosravinia, H., Murthy, H. N., Parasad, D. T., & Pirany, N. (2007). Optimizing
factors influencing DNA extraction from fresh whole avian blood. African
journal of biotechnology, 6(4).
Lodhi, M. A., Ye, G. N., Weeden, N. F., & Reisch, B. I. (1994). A simple and efficient
method for DNA extraction from grapevine cultivars andVitis species. Plant
Molecular Biology Reporter, 12(1), 6-13.
Mai, J. C., & Coleman, A. W. (1997). The internal transcribed spacer 2 exhibits a
common secondary structure in green algae and flowering plants. Journal of
Molecular Evolution, 44(3), 258-271.
Ochieng, J. W., Henry, R. J., Baverstock, P. R., Steane, D. A., & Shepherd, M.
(2007). Nuclear ribosomal pseudogenes resolve a corroborated monophyly of
the eucalypt genus Corymbia despite misleading hypotheses at functional ITS
paralogs. Molecular Phylogenetics and Evolution, 44(2), 752-764.
Schultz, J., Maisel, S., Gerlach, D., Müller, T., & Wolf, M. (2005). A common core
of secondary structure of the internal transcribed spacer 2 (ITS2) throughout
the Eukaryota. Rna, 11(4), 361-364.
White, T. J., Bruns, T., Lee, S. J. W. T., & Taylor, J. (1990). Amplification and direct
sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics. PCR protocols:
a guide to methods and applications, 18(1), 315-322.
Yulianti, E. (2006). Pengembangan Teknik Isolasi DNA Tumbuhan Menggunakan
Detergen Komersial. In Seminar Nasional MIPA.
Zimmer, E. A., Martin, S. L., Beverley, S. M., Kan, Y. W., & Wilson, A. C. (1980).
Rapid duplication and loss of genes coding for the alpha chains of hemoglobin.
Proceedings of the National Academy of Sciences, 77(4), 2158-2162.
Tongkat Langit, Genom T, Seram-Maluku dan Galunggung- Jawa Barat (Dwivany et al., 2020)
46 | Pisang Indonesia
Studi Pertumbuhan
Pisang dengan Teknologi
Remote Sensing
4
This chapter focus on a alternative approach to understand banana includes fruits and
trees. The monitoring scale is vary from the finger, bunches-trees-a and the plantation
scale.
R
emote sensing (RS) merupakan salah satu teknologi pemetaan yang
dikembangkan oleh banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Teknologi ini menggunakan sejumlah komponen utama seperti
sensor, wahana, objek yang diamati, dan sumber tenaga yang digunakan. Di
Indonesia, teknologi ini dikenal dengan penginderaan jauh. Yaitu, teknologi
pengamatan objek dipermukaan bumi yang dilakukan tanpa harus berinteraksi
langsung dengan objek yang diamati. Sabins, (1987) menjelaskan bahwa RS
memanfaatkan energi elektromagnetik dari cahaya matahari dan gelombang
radio untuk mengetahui karakteristik dari objek yang sedang diamati. Ini yang
memungkinkan semua informasi yang tidak terlihat secara kasat mata dari
objek dapat diperoleh dengan baik.
| 47
Agency, 2019a), dan MODIS (Earth Observing Systems, 2019). Ini terkait
dengan fungsinya yang sangat erat kaitannya dengan pengamatan sumberdaya
lahan. Salah satunya adalah pengamatan vegetasi.
Gambar 4.1. Struktur panjang gelombang yang sering digunakan dalam RS berada pada
rentang 300 nm-500c m (atas). Kanal ultraviolet pada rentang 300 - 400 nm, sinar tampak
pada rentang 400-700 nm, inframerah pada rentang 700 nm – 0.1 cm (bawah), (Sabins ,1990).
Dimulai dari sinar tampak (visible light) yang berada pada rentang 400 - 700
nm terdiri dari kanal biru, hijau dan merah. U. S. Geological Survey, (2016b)
menjelaskan bahwa ketiga kanal tersebut digunakan untuk membedakan tanah
dengan vegetasi, membedakan jenis vegetasi, dan mengukur tingkat kesehatan
48 | Pisang Indonesia
tanaman berdasarkan pengaruh faktor biogeografinya (Onyia dkk., 2018).
kemudian kanal inframerah dekat dan inframerah pendek yang berada pada
rentang 850 - 2200 nm digunakan untuk estimasi biomassa dan garis pantai,
juga kelembaban tanah.
Untuk melihat hal tersebut perlu adanya data satelit dengan temporal yang
baik. Seperti data citra diatas mempunyai variasi temporal berbeda, seperti 1-2
hari, 16 hari, dan 5 hari untuk MODIS, Landsat 8 dan Sentinel 2.
Dikatakan kompleks karena pada waktu pisang masih dalam bentuk tunas
(sucker), dengan ukuran tinggi 20 – 30 cm, sampai keluar daun mudanya (cigar
leaf) empat sampai lima helai pada rentang usia 0 – 6 bulan, pengamatan dengan
50 | Pisang Indonesia
semua data RS berbasis gambar baik dari UAV dan citra satelit tidak mungkin
atau sangatlah sulit dilakukan. Pada fase ini pengamatan dialihkan bukan pada
tanamannya, tetapi pada lahan tempat dibudidayakannya (Gambar 4.3).
Gambar 4.3. Empat fase fenologi pohon pisang dari tunas sampai dewasa (Wairegi dkk. 2014).
Gambar 4.4. Pasangan teknologi RS sesuai dengan fase fenologi tanaman pisang
Pola spektral daun pisang hampir sama dengan pola spektral yang dimiliki
oleh tanaman lainnya. Secara umum dicirikan dengan rendahnya pantulan pada
kanal biru, yang kemudian bertambah tinggi pantulannya pada kanal hijau dan
52 | Pisang Indonesia
kembali turun pada kanal merah, sebelum pantulannya akan bertambah lebih
tinggi pada kanal red-edge, dan inframerah dekat dan perlahan akan berkurang
pada inframerah pendek (Gambar 4.5).
(b)
(c1) (c2)
Gambar 4.5. Daun pisang sehat (a1), dengan black sigatoka (a2) dan layu (a3). Spektral daun
pisang sehat dan dengan black sigatoka (b), dan komparasi nilai reflektan daun pisang dengan
black sigatoka yang layu (merah), sebagian hijau (hijau) dan sehat (biru) pada kanal 500-700
nm dan 700-900nm (c1 dan c2).
Gambar 4.6. Penggunaan perangkat telepon pintar untuk membantu petani mengenal
karakteristik pohon dan buah pisang yang sudah dipanen.
54 | Pisang Indonesia
Foto udara dari pesawat tanpa awak atau unmanned aerial vehicle (UAV)
seperti pada Gambar 4.4. di atas, mampu menyediakan informasi distribusi
individu-individu tanaman pisang yang tumbuh secara alami atau dibudidayakan
oleh masyarakat. Kemampuannya untuk mendeteksi keberadaan tanaman
pisang, juga berkontribusi di banyak bidang. Tidak hanya pada sisi etnografi
dan konservasi pisang-pisang lokal, melainkan dapat juga menginformasikan
bagaimana UAV bisa mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati
terutama tanaman pisang.
Studi yang dilakukan oleh Harto dkk. (2018) mengatakan bahwa metode
klasifikasi berbasis objek atau dikenal juga dengan Object Based Image Analysis
(OBIA) mampu mendeteksi tanaman pisang dengan cepat, jika dibandingkan
dengan metode klasifikasi yang biasa. Seperti Maximum Likelihood. Foto udara
yang digunakan berasal dari pemotretan dengan Dji Phantom dengan kamera
standar tiga kanal, yaitu biru, merah dan hijau.
Berbeda dengan UAV dalam hal resolusi spasial, temporal dan spektral,
citra satelit mempunyai keunggulan lebih baik dari ketiga jenis resolusi tersebut.
Pengamatan tanaman pisang hanya bisa dilakukan pada skala perkebunan dengan
area yang luas. Bukan lagi mengamati tanaman pisang secara individu. Terlebih
pada citra satelit dengan resolusi spasial menengah seperti Landsat 8 dan Sentinel
2 (European Space Agency ,2019b; U. S. Geological Survey ,2016b).
Gambar 4.7. Kondisi perkebunan Cavendish berdasarkan nilai indeks vegetasi NDVI, NDRE dan
NDWI dari data satelit Sentinel 2.
56 | Pisang Indonesia
Dengan nilai indeks yang sama dengan NDVI, yaitu -1 sampai 1. Dimana
nilai mendekati 1 artinya terdapat banyak kandungan air di dalam daun pada
tanaman tersebut. Sementara untuk Normalized Difference Red Edge (NDRE),
hanya dapat dihitung jika dalam citra satelit dan data spektral lapangannya
terdapat kanal red edge (Bei dkk. 2018). NDRE dapat di gunakan juga untuk
memahami kandungan nitrogen dalam daun terkait kebutuhan pupuk untuk
tanaman (Hiphen 2019). Nilai NDRE diperoleh dari rasio inframerah dan red
edge (Persamaan 3), dengan rentang 0-1.
DAFTAR PUSTAKA
Bei, C. U. I., Zhao, Q. J., Huang, W. J., Song, X. Y., YE, H. C., & Zhou, X. F.
(2019). Leaf chlorophyll content retrieval of wheat by simulated RapidEye,
Sentinel-2 and EnMAP data. Journal of Integrative Agriculture, 18(6),
1230-1245.
Belgiu, M., & Csillik, O. (2018). Sentinel-2 cropland mapping using pixel-based
and object-based time-weighted dynamic time warping analysis. Remote
sensing of environment, 204, 509-523.Cintra, Waldir dkk. 2008. “Worldwide
Geographical Distribution of Black Sigatoka for Banana: Predictions Based
On Climate Change Models.” Sci. Agri. 65: 40–53.
De Datta, S. K. (1981). Principles and practices of rice production. Int. Rice Res.
Inst..
Demarée, G. R. (2011). From “Periodical Observations” to “Anthochronology”
and “Phenology”–the scientific debate between Adolphe Quetelet and
Charles Morren on the origin of the word “Phenology”. International
journal of biometeorology, 55(6), 753-761.Earth Observing Systems. 2019.
“MODIS Satellite Sensor: Bands and Specifications.” https://eos.com/
modis-mcd43a4/ ( July 8, 2019).
European Space Agency. (2019a). “SENTINEL-2 Radiometric Resolutions.” : 1.
https://earth.esa.int/web/sentinel/user-guides/sentinel-2-msi/resolutions/
radiometric ( July 8, 2019).
European Space Agency. (2019b). “Spatial Resolution.” : 1. https://sentinel.esa.
int/web/sentinel/user-guides/sentinel-2-msi/resolutions/spatial (September
20, 2019).
Gao, B. C. (1996). NDWI—A normalized difference water index for remote
sensing of vegetation liquid water from space. Remote sensing of environment,
58(3), 257-266.
58 | Pisang Indonesia
Weier, John, and Herring David (2000). “Measuring Vegetation (NDVI&EVI).”
: 2. https://earthobservatory.nasa.gov/Features/MeasuringVegetation
(August 31, 2018).
Xie, Yichun, Zongyao Sha, and Mei Yu (2008). “Remote Sensing Imagery in
Vegetation Mapping : A Review.” Journal of Plant Ecology 1(1): 9–23.
60 | Pisang Indonesia
Studi Biogeografi Pisang
Indonesia
5
P
eran manusia tidak bisa dipisahkan dalam proses distribusi tanaman pisang.
Disamping itu, juga berperan sangat tinggi didalam menentukan tingkat
keanekaragaman hayati dari tanaman pisang itu sendiri. Peran ini sama
pentingnya dengan faktor alamiah lain seperti tanah (edafik), suhu udara dan air
(klimatik) juga letak (geografis).
Dalam hal ini, manusia (petani.red) mempunyai dasar untuk
mempertimbangkan apa manfaat yang hendak diperoleh dari membudidayakan
tanaman pisang. Seperti halnya pertimbangan nilai jual yang tinggi dari buah
dan daun pisang.
Jenis kultivar pisang tertentu juga mempunyai pertimbangan lain, tidak hanya
dimata petani tetapi juga dimata konsumen. Seperti penjual penganan berbahan
dasar buah pisang, mempunyai kecenderungan hanya untuk menggunakan buah
pisang dari kultivar tertentu.
Sebagai contoh di kota Bandarlampung, tingkat konsumsi buah pisang
Kepok paling tinggi. Biasanya buah ini digunakan untuk pisang goreng dan
banyak dijumpai dipinggir jalan di tukang jualan gorengan. Sementara itu,
di Bandung, suplai daun pisang klutuk di salah satu pasar tradisional dapat
dikatakan penting. Karena daun ini digunakan untuk pembungkus makanan
tradisional yang sampai saat ini masih banyak digunakan.
Kedua contoh tersebut merupakan sisi ekonomis dari kecenderungan
budidaya pisang di Indonesia. Namun lebih jauh lagi, seperti apa yang
disampaikan oleh Kasrina & Zulaikha (2013) bahwa budidaya tanaman pisang
tidak hanya dilakukan berdasarkan manfaat ekonominya. Melainkan berdasarkan
sejumlah manfaat turunan lainnya. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Desa
| 61
Sri Kuncoro, Bengkulu tengah yang memanfaatkan hampir semua bagian organ;
yaitu sebagai sumber bahan pangan, bahan obat-obatan, pakan ternak, bahan
pertanian, upacara adat perkawinan, dan tali temali.
Terbatas pada kultivar pisang yang dapat dibudidayakan, pada skala wilayah
dengan cakupan lokal sebetulnya dapat juga menjelaskan tingkat keragaman (species
richness) dari tanaman pisang. Pernyataan ini coba dijelaskan dengan menggunakan
sebuah peta yang dibuat dari hasil ekspedisi sederhana (Gambar 5.1).
Sejumlah kultivar pisang lokal yang unggul akan menjadi dominan dari
segi jumlah. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan yang tinggi dari
kemanfaatan terhadap tanaman pisang. Terutama pada buah dan daunnya.
62 | Pisang Indonesia
Gambar 5.1. Peta distribusi kultivar pisang di Desa Pada Kembang, Tasikmalaya dan Desa
Jagabaya-Sindang Panon, Bandung
Tabel 5.1 Menyajikan kondisi dari dari faktor klimatik dan edafik dari
lokasi dimana sejumlah kultivar pisang ditemukan di desa Padakembang,
Tasikmalaya. Pada umumnya tanaman pisang dapat tumbuh di lingkungan
dengan suhu 20.6-23.7OC, Kelembaban udara 72-92.7 gr/cm3, suhu tanah
23-25.6OC, kelembaban tanah 36,7 – 73.3 gr/cm3, pH tanah 6.0 – 6.9 dan
pada ketinggian 549.2 – 684.4 (m. dpl).
64 | Pisang Indonesia
Tabel 5.1. Kondisi faktor klimatik dan edafik dari tanaman pisang
Klimatik Edafik Elevasi
No X Y Kultivar
Fluks Suhu Moist Suhu Moist pH (m)
1 -7.2997 108.1133 Tongka Langit 4376.7 21.3 76.7 25.6 36.7 6.9 549.2
2 -7.2765 108.1025 Rejang 44066.7 22.8 72.0 25.6 61.0 6.0 658.0
3 -7.2747 108.1018 Longong 4376.7 21.1 75.3 24.8 50.0 6.8 662.8
4 -7.2739 108.1009 Ambon Lumut 4740.0 23.0 92.7 24.4 73.3 6.2 684.4
5 -7.2749 108.1010 Udang 20.6 74.7 23.0 61.7 6.7 675.5
6 -7.2736 108.0989 Lampiang 52666.7 23.7 85.0 25.9 66.7 6.2 710.3
7 -7.2739 108.1024 Yangambi 56633.3 22.0 82.0 22.4 75.7 6.0 656.1
DAFTAR PUSTAKA
Chadha, A., Florentine, S. K., Chauhan, B. S., Long, B., & Jayasundera, M. (2019).
Influence of soil moisture regimes on growth, photosynthetic capacity, leaf
biochemistry and reproductive capabilities of the invasive agronomic weed;
Lactuca serriola. PLoS ONE, 14(6), 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.
pone.0218191
Kasrina, & Zulaikha, A. (2013). Pisang Buah ( Musa Spp ): Keragaman Dan
Etnobotaninya Pada Masyarakat Di Desa Sri Kuncoro Kecamatan Pondok
Kelapa Kabupaten Bengkulu Tengah. In Prosiding Semirata FMIPA
Universitas Lampung (pp. 33–40).
Mang, B. (2018). Effects of soil temperature on some soil properties and plant
growth, 8(1), 34–37. https://doi.org/10.15406/apar.2018.08.00288
Velásquez, A. C., Castroverde, C. D. M., & He, S. Y. (2018). Plant–Pathogen
Warfare under Changing Climate Conditions. Current Biology, 28(10),
R619–R634. https://doi.org/10.1016/j.cub.2018.03.054
Yonow, T., Ramirez-Villegas, J., Abadie, C., Darnell, R. E., Ota, N., & Kriticos,
D. J. (2019). Black Sigatoka in bananas: Ecoclimatic suitability and disease
pressure assessments. PLoS ONE, 14(8), 1–25. https://doi.org/10.1371/
journal.pone.0220601
Jin, Koto Gadih- Tanah Datar (Agus Sutanto dan Edison H.S., 2005)
66 | Pisang Indonesia
Studi Pematangan
Pisang Berdasarkan
Kandungan Air
6
This chapter focus in water content detection and its change during the ripening
processes of specific banana cultivars.
W
airegi (2014) menjelaskan bahwa perlu 22 – 42 bulan bagi tanaman
pisang untuk tumbuh sebelum akhirnya dipanen buah pisangnya.
Sebagai contoh pada pohon pisang Raja. Pohonnya mempunyai
masa tanam yang relatif lebih singkat, yaitu 8-12 bulan. Sementara buahnya,
membutuhkan waktu 12-15 hari untuk matang. Pada pisang lainnya, seperti
Cavendish proses pematangan bisa lebih cepat sekitar 5-7 hari (Lustriane dkk.,
2018). Setiap kultivar memiliki kecepatan pematangan yang berbeda-beda.
Secara visual, proses tersebut dapat diamati dengan mudah melalui perubahan
warna kulit dari hijau menjadi kuning dan hitam kecoklatan (Gambar 6.1).
Pada hari ke-1 sampai ke-6, buah pisang masih terlihat berwarna hijau.
Semburat berwarna kuning mulai terlihat pada hari ke-7 dan mulai terlihat
kuning sempurna pada hari ke-10. Setelah hari ke-12, kulit pisang mulai
terlihat perlahan menjadi coklat kehitaman.
Selain dari perubahan warna kulit, pada waktu yang bersamaan kandungan
air, gula dan perubahan tekstur pada daging buah pisang pun akan mengalami
perubahan. Kandungan air dan gula akan terus bertambah dan tekstur daging
buahnya akan semakin lunak dan terasa manis. Ini artinya, buah pisang
sudah bisa dikonsumsi. Karakteristik tersebut, berdasarkan pengamatan yang
dilakukan pada tipe banana saja. Yaitu buah pisang yang dapat langsung
dikonsumsi. Sementara untuk tipe plantain (pisang yang perlu diolah sebelum
dikonsumsi), dimungkinkan mempunyai waktu proses pematangan yang lebih
lama.
| 67
Gambar 6.1. Proses pematangan buah pisang Raja pada hari ke -1, 3, 5, 6, 7, 8, 11, dan 12
(dari kiri ke kanan)
68 | Pisang Indonesia
Kedua formula NDWI (Persamaan 3 dan 4) tersebut dimodifikasi
menggunakan nilai rata-rata dari reflektan pada rentang 760-855nm dan 1600-
1700nm sebagai modifikasi dari Gao, (1996) (Persamaan 4) dan McFeeters,
(1996, 2013) menggunakan nilai rata-rata dari reflektan pada rentang 520-
561nm dan 760-855nm (Persamaan 6). Hasil estimasi kandungan air dari
kedua persamaan tersebut digunakan sebagai nilai referensi untuk mengukur
tingkat akurasinya.
̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅(600−690𝑛𝑛𝑛𝑛)
𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁(760−855𝑛𝑛𝑛𝑛) − 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅
𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 =
𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁(760−855𝑛𝑛𝑛𝑛) + ̅̅̅̅̅
̅̅̅̅̅ 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅(600−690𝑛𝑛𝑛𝑛) (3)
𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺 − 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁
𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 =
𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺 + 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁
(4)
𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴. 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁(760−855𝑛𝑛𝑛𝑛) − 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴. 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆(1600−1700𝑛𝑛𝑛𝑛)
𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 =
𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴. 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁(760−855𝑛𝑛𝑛𝑛) + 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴. 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆(1600−1700𝑛𝑛𝑛𝑛) (5)
𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴. 𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺(520−561𝑛𝑛𝑛𝑛) − 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴. 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁(760−855𝑛𝑛𝑛𝑛)
𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 =
𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴. 𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺(520−561𝑛𝑛𝑛𝑛) + 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴. 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁(760−855𝑛𝑛𝑛𝑛) (6)
Gambar 6.2. Pola spektral buah pisang Raja pada hari ke-5
70 | Pisang Indonesia
a
Gambar 6.3. Relasi hasil estimasi kandungan air pada buah pisang
Pada hari ketiga (a) dan hari kelima (b)
Perlu dilakukan kajian lebih jauh terkait dengan tingginya nilai pantulan
pada rentang 810nm, 760nm dan 855nm, dengan rendahnya nilai kandungan
air pada hari ke-3 dan hari ke-5 dari persamaan 5 dan 6. Analisa yang harus
dintegrasikan bersama dengan sejumlah data primer dari laboratorium.
Sehingga dapat terjawab secara empiris fenomena apa yang terjadi pada hari
tersebut.
72 | Pisang Indonesia
Daftar Pustaka
| 73
Rouse, J. W., Haas, R. H., Scheel, J. A., & Deering, D. W. (1974). Monitoring
vegetation systems in the great plains with ERTS. In 3rd Earth Resource
Technology Satellite Symposium (Vol. 1, pp. 309–317). https://doi.
org/19740022614
Wairegi, L., Asten, P. J. A. Van, Giller, K., & Fairhurst, T. (2014). Banana-Coffee
System Cropping Guide Banana-coffee system cropping (1st ed.). Wageningen,
The Netherlands: Africa soil health consortium.
Zhu, Y., Tian, Y., Yao, X., Liu, X., & Cao, W. (2015). Analysis of Common
Canopy Reflectance Spectra for Indicating Leaf Nitrogen Concentrations
in Wheat and Rice Analysis of Common Canopy Refl ectance Spectra
for Indicating Leaf Nitrogen Concentrations in Wheat and Rice. Plant
Production Science, 10(4), 400–411. https://doi.org/10.1626/pps.10.400
74 | Pisang Indonesia
Glosarium
abiotik :
benda yang tidak memiliki ciri hidup.
aerasi : penambahan oksigen ke dalam air dengan memancarkan air
atau melewatkan gelembung udara ke dalam air
agrikultur : ilmu, seni, dan kegiatan mengolah tanah, produksi tanaman,
mengembangbiakan hewan ternak, dan preparasi serta
memasarkan produk terkait.
anomali : ketidaknormalan; penyimpangan dari normal; kelainan
biomassa : jumlah keseluruhan benda hidup dalam suatu perairan
biotik : mahkluk hidup, baik yang mikro maupun yang makro.
blangko : larutan kosong untuk kalibrasi alat (fluorometer)
distal : terletak jauh dari arah titik pusat suatu benda; jauh
dari asalnya
domestikasi : adaptasi tanaman atau hewan dari alam liar ke lingkungan
yang dekat dengan manusia
drainase : penyaluran air
edafik : segala hal yang berhubungan dengan tanah
elevasi : ketinggian suatu tempat terhadap daerah sekitarnya (di atas
permukaan laut)
etnografi : deskripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup
eukariot : grup taksonomi diatas kingdom yang terdiri dari organisme
yang memiliki membran inti di dalam selnya.
ex situ : di luar tempat(nya).
fenologi : ilmu tentang hubungan timbal balik antara iklim dan
fenomena biologis
filogenetik : yang berhubungan dengan sejarah evolusi dari organisme
tertentu
fotosintesis : pembentukan karbohidrat (energi) dari karbon dioksida
dan hidrogen (seperti air) di dalam sel yang mengandung
| 75
klorofil (yang berwarna hijau) pada tanaman yang terkena
sinar matahari.
genom : satu set haploid kromosom yang mengandung materi genetik.
genus : tataran dalam taksonomi yang ada di bawah keluarga (famili)
dan di atas spesies (kbbi)
herba : tanaman yang tidak berkembang jaringan kayunya sehingga
tanaman herba dicirikan dengan mayoritas batang yang tidak
kaku dan berwarna hijau
hermafrodit : makhluk (manusia, hewan, tumbuhan) yang berkelamin
dua jenis, jantan dan betina sekaligus, misalnya bekicot (pada
hewan), kembang sepatu (pada tumbuhan)
hibridisasi : proses kawin silang pada hewan atau tanaman dengan spesies
atau varietas tanaman/hewan spesies lain.
hortikultura : seluk-beluk kegiatan atau seni bercocok tanam sayur-sayuran,
buah-buahan, atau tanaman hias.
humus : materi kompleks berwarna coklat atau hitam hasil dari
dekomposisi dari tanaman atau hewan.
in situ : di tempat; dalam keadaan aslinya.
kilokalori : jumlah energi panas yang dibutuhkan untuk menaikan
temperatur 1 derajat celsius dari 1 kilogram air.
komoditas : bahan mentah yang dapat digolongkan menurut mutunya
sesuai dengan standar perdagangan internasional, misalnya
gandum, karet, kopi.
kromosom : benda mikroskopis berbentuk tongkat yang berada dalam sel
organisme, mengandung gen yang banyak.
kultivar : varietas (jenis) tanaman yang dibudidayakan, mempunyai
sifat-sifat yang unggul dan dibedakan dari varietas lainnya
secara khas, berdasarkan bentuk, rasa, warna, ketahanan pada
penyakit, atau sifat lainnya.
lestari : tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah, bertahan,
kekal,
lisis : hancurnya sel karena rusak, hancur, atau larutnya selaput
plasma dan isi selnya keluar.
mikroklimat : lokasi yang memiliki kondisi klimat yang spesifik dengan
luasan yang relatif kecil dan bersifat lokal.
morfologi : tentang bentuk luar dan susunan makhluk hidup.
76 | Pisang Indonesia
ordo : klasifikasi dalam biologi yang lebih rendah daripada kelas dan
lebih tinggi daripada famili.
patogen : mikroorganimse yang dapat menyebabkan penyakit pada satu
individu tertentu.
pelet : residu berbentuk endapan dari hasil sentrifugasi.
pemuliaan : perihal membuat (menjadikan) sesuatu hal lebih bermutu
atau lebih unggul.
polymerase : Teknik pembuatan salinan di daerah DNA tertentu diluar
organisme hidup.
chain
reaction (PCR)
spasial : berkenaan dengan ruang atau tempat.
spesiasi : proses pembentukan tingkatan spesies pada mahluk hidup.
spesies : kelompok dari satu individu yang memiliki ciri-ciri yang
serupa.
subspesies : kategari dari tingkatan klasifikasi biologi di bawah spesies.
supernatan : cairan bening dari hasil presipitasi, atau sentrifugasi.
topografik : satu kesatuan fitur fisik yang berada pada satu wilayah.
tropis : mengenai daerah sekitar khatulistiwa.
vegetasi : kehidupan (dunia) tumbuh-tumbuhan atau (dunia) tanam-
tanaman.
vektor : organisme yang dapat menyebarkan patogen dari satu
organisme ke organisme lain.
vorteks : cairan atau gas yang partikelnya bergerak berputar.
wahana : alat atau sarana untuk mencapai suatu tujuan.
A K
Asal usul pisang 1 Kayu 39
Kepok Tanjung 39
B
Blood Disease 4, 10, 31, 32 L
Landsat 47, 49, 50, 55
C
CTAB 37, 38 M
MODIS 48, 49, 50
D
DNA 3, 5, 10, 11, 15, 37, 38, 39, 40, 41, N
42, 43, 44, 45, 77 Normalized Difference Red Edge (NDRE)
Domestikasi pisang 19 57
Normalized Difference Water Index
E (NDWI) 56, 73
Elektroforesis 37, 38, 39 Normalized Different Vegetation Index
Etnografi 55, 62, 63, 75 (NDVI) 56
F R
Fusarium 3, 4, 5, 7, 12, 13, 14, 29, 30, 31, Remote sensing pada pengamatan buah
33, 34, 35, 51, 82 pisang 8
G S
Gel red 38 Spasial Etnografi 62
H
Helix 43
I
Intermediate 25
ITS 5, 41, 42, 43
J
Jawa 2, 19
| 79
Biografi Penulis
| 81
Dr. Ir. Agus Sutanto, M.Sc
Agus Sutanto lahir di Malang, Jawa Timur pada
3 Agustus 1967 dan menyelesaikan pendidikan
S1 di Universitas Brawijaya Malang pada tahun
1991 di bidang Budidaya Pertanian. Pendidikan S2
diselesaikan pada tahun 2001 di Universiti Putra
Malaysia pada bidang Bioteknologi Pertanian.
Pendidikan doktoral (S3) bidang Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman diselesaikan pada tahun
2014 di Institute Pertanian Bogor. Sejak keterlibatan dalam International Musa
Testing Program yang disponsori Bioversity International, kegiatan eksplorasi
pisang di beberapa propinsi di Indonesia telah dilakukan. Selain sebagai peneliti
di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, saat ini aktif menjadi anggota
dari Musanet dan Banana Taxonomy Advisory Group, Biodiversity International.
82 | Pisang Indonesia
dan Galunggung. Saat ini mengisi kesehariannya dengan menjadi Research
and Development produk di sebuah perusahaan sambil menentukan langkah
selanjutnya dalam hidup.
Biografi Penulis | 83
View publication stats