Anda di halaman 1dari 2

Pemikiran hermeneutika Paul Ricoeur

Nama: Sebastianus Ngaga (17050)

Pemikiran hermeneutika Ricoeur ialah saat dia memetakan “apa yang dimaksud teks
dan siapa yang memilikinya.” Menurutnya, teks adalah “any discourse fixed by writing.”
Istilah “discourse” atau wacana menurut Ricoeur ini menunjuk teks sebagai “event”, bukan
“meaning”. Teks sebagai meaning akan berhenti sebatas makna. Tetapi sebagai “event”, teks
mencakup makna dan historisitasnya sekaligus. Ricoeur kemudian menegaskan bahwa
“bahasa (teks) selalu mengatakan sesuatu, sekaligus tentang sesuatu.” Karena itulah, mudah
dimengerti mengapa Ricoeur lalu memisahkan teks dari dunia penulis/pengucap/pembicara.
Teks adalah korpus yang otonom, mandiri, memiliki totalitasnya sendiri. Sehingga siapa saja
bisa membaca teks lalu menarik kesimpulan makna. Dengan demikian, teks menyatakan
dirinya kepada subyek yang membacanya.

Ricoeur lalu memunculkan dua kata kunci tentang teks yang sangat penting dalam
pemikiran hermeneutikanya, yakni what is said (apa yang dikatakan teks) dan the act of
saying (cara atau proses teks mengungkapkannya). Kata kunci pertama, what is said, adalah
event yang dikandung sebuah teks. Makna teks begitu sudah dituliskan menjadi begitu
otonom, mandiri, lepas sepenuhnya dari konteks penulisnya. Sebab, teks tidak menyediakan
ruang komunikasi langsung antara penulis dan pembacanya. Tidak adanya ruang ini otomatis
menjadikan teks berbicara sendiri secara otonom kepada siapa pun yang membacanya, yang
tentu saja sangat bergantung pada soal intensi, kepentingan, dan kapasitas pembacanya. Pada
level what is said ini, maksud penulis teks menjadi tidak tersekat pada standar makna apa
pun. Bahkan Ricoeur menyebut penulis teks sebagai pembaca pertama, dengan makna yang
dituliskannya pada teksnya, lalu diterima oleh pembaca kedua, ketiga, dan seterusnya, yang
niscaya akan terus menghasilkan pergeseran makna dari pembaca pertama itu sendiri
(penulisnya).

Teks memiliki pluralitas makna tergantung pada subyek yang sedang memaknainya.
Salah satu contoh yaitu pemahaman terhadap teks suci dalam Mazmur 22. Menurut tradisi
Yahudi (sebagai pembaca pertama) adalah gambaran mengenai seseorang yang menjerit
kepada Allah untuk menolongnya dari ejekan dan siksaan dari para musuhnya. Sekaligus
dalam ayat 10 melukiskan tentang ungkapan rasa syukur karena Allah telah menolong. Hal
ini berbeda dengan pandangan dari tradisi Kristiani (sebagai pembaca kedua). Dimana dalam
tradisi Kristen Mazmur 21 disebut sebagai “mazmur salib” karena begitu rinci melukiskan
penderitaan Kristus di salib. Artinya bahwa makna dari teks suci tersebut mengalami
pergeseran makna. Setiap pembaca (selain pembaca pertama dan kedua yang menafsirkan
mazmur 21) dapat menafsirkan secara berbeda-beda sejauh teks itu mengkomunikasikan
terhadap subyek yang bersangkutan. Sehingga tidaklah mengherankan jika terdapat berbagai
macam makna dan kesimpulan.

1
Setiap subyek memiliki pandangan atau penafsiran tersendiri terhadap suatu teks.
Pertanyaannya yang manakah yang paling benar? Paling sahih? Paling selaras dengan penulis
yang menuliskan teks suci tersebut. Ricouer menjawabnya dengan cara begini: “Itulah posisi
the act of saying”, yang selalu memproduksi makna yang sangat berlimpah, tak terbatas.
Keberlimpahan makna atas pembacaan sebuah teks menunjukkan bahwa cara teks
mengungkapkan dirinya kepada pembaca manapun (the act of saying) adalah sebuah event
itu, peristiwa hermeneutis, yang menjalinkan kesalingterbukaan antara teks di satu sisi dan
pembaca di sisi lain. Proses “teks membuka diri” dalam menyatakan kandungan maknanya
kepada setiap pembacanya (the act of saying) membutuhkan “pembaca yang membuka
dirinya” kepada teks, yang kemudian dari event hermeneutis itu, lahirkan produksi-produksi
makna. Pemikiran hermeneutika Ricoeur menjadi sangat berharga untuk diadopsi dalam
menafsirkan teks-teks suci yang diyakini kebenarannya. Bahwa semua ayat suci yang
disampaikan Tuhan melalui para nabi-Nya, yang kita terima dalam keadaan fixed by writing
itu, adalah sebuah wacana. Semua ayat itu begitu otonom, mandiri, dan membuka diri untuk
didialogkan dengan sikap membuka diri kepada subyek yang membacanya.

Kesadaran event hermeneutis bahwa setiap teks selalu mengalami keterpisahan antara
maksud penulis (what is said) dengan pembacaan setiap pembacanya (the act of saying)
sangat penting untuk subyek agar mampu memiliki kelegaan hati untuk menerima pluralisme
produksi makna teks suci. Bukankah setiap pembaca selalu beroposisi untuk terus-menerus
memahami maksud penulis, yang tidak terjalin secara langsung, tetapi melalui wujud teks
yang fixed by writing itu, sehingga proses terus-menerus itu meniscayakan relativitas hasil
pembacaannya.

Ada pemikiran Ricoeur yang kurang sesuai atau tepat yakni dia menyatakan bahwa
agar teks terus terjaga sifat otonomi dan kemandiriannya, maka teks harus dilepaskan dari
historisitas penulisnya. Karena, menurut Ricoeur, kalau mengaitkan teks dengan historisitas
penulisnya, berarti mengambalikan teks kepada situasi piskologis dan antropologis
penulisnya, yang berarti bahwa teks menjadi tidak lagi otonom dan total atas dirinya sendiri.
Padahal teks perlu dikaitkan dengan historisitas penulisnya supaya makna yang ditemukan
atau diambil dari teks tersebut dapat dibandingkan atau diketahui apa maksud atau makna
dari penulis aslinya. Misalnya dalam Mazmur 21 perlu dikaitkan dengan historiitas
penulisnya yakni mengenai ratapan subyek yang sedang mengalami kesesakan. Lalu ratapan
itu oleh pembaca lain (teolog Kristen) dikaitkan dengan peristiwa historisitas Yesus yang
menderita.

Anda mungkin juga menyukai