Anda di halaman 1dari 15

TENAGA KERJA ASING

(TKA)
antara KEBUTUHAN
atau PESANAN

Oleh : Ahmad Mustaqim, SH, CPL


SEKJEND KSPN
DASAR HUKUM TERKAIT
PENGGUNAAN TENAGA KERJA
ASING (TKA) :
➢UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (ketentuan pasal 42, 45, 47, &
49);
➢UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pasal 42 s/d 49 ;
➢UU No. 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, pasal 10 ayat (2);
PENDAHULUAN

Perkembangan globalisasi dan industrialisasi saat ini mendorong pergerakan


aliran modal dan investasi ke berbagai sendi-sendi kehidupan di penjuru
dunia, termasuk di dalam aspek Ketenagakerjaan, yang mengakibatkan
terjadinya migrasi penduduk atau pergerakan tenaga kerja antar negara. Dalam
mewujudkan tertib hukum di dalam mempekerjakan tenaga kerja asing dalam
pembangunan daerah serta meningkatkan mutu tenaga kerja lokal. Untuk
keperluan tersebut, para pemilik modal sebagai pengusaha perlu membawa
serta beberapa tenaga kerja dari negara asal atau negara lain untuk bekerja
sebagai Tenaga Kerja Asing (TKA), maka diperlukan suatu peraturan yang
mengatur tenaga kerja asing, dari peraturan ketenagakerjaan dalam rangka
mencegah masuknya tenaga kerja asing illegal yang dapat merugikan
perekonomian daerah serta mengurangi lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal.
Oleh karena itu perlunya suatu pengawasaan dalam menciptakan program
peningkatan produktivitas tenaga kerja lokal dan pendapatan daerah
merupakan suatu keharusan.
Cara yang digunakan tenaga kerja asing biasanya adalah dengan menyalah

gunakan visa kunjungan yang dipakai untuk bekerja dan disamping itu mereka

memanfaatkan lemahnya pengawasan Kantor Imigrasi dan Kantor Dinas Sosial dan

Tenaga Kerja. Keberadaan TKA illegal jelas merugikan pemerintah karena mereka

tidak membayar biaya kompensasi TKA yang ditetapkan per orang/perbulan dan

juga merugikan masyarakat sebagai tenaga kerja, terhadap permasalahan ini perlu

penerapan terhadap peraturan tenaga kerja harus ditegakkan di dalam

penerapannya mengenai izin serta retribusi tehadap IMTA. Merujuk pada Pasal 42

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa :

“untuk mempekerjakan tenaga kerja asing diperlukan izin tertulis dari Menteri atau

pejabat yang ditunjuk”. Oleh karena itu, pemberi kerja tenaga kerja asing wajib

mengajukan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) untuk memperoleh

Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) serta bersedia untuk dikenakan

retribusi.
Permasalahan:
Para pengusaha Cina masuk membawa dana investasi, tapi
sekaligus membawa pekerja mereka untuk mengerjakannya. Tidak
hanya tenaga ahli yang mereka bawa, bahkan buruh dan tukang
masak pun mereka angkut. Jumlahnya memang tidak sampai jutaan
sebagaimana hoax yang beredar, tapi memang cukup banyak, seperti
tercermin dalam lonjakan data tadi. Kenapa tenaga yang bukan ahli
itu dapat masuk? Kabarnya mereka mendapat izin khusus, sebagai
bagian dari kontrak investasi. Pada dasarnya bagi TKA hanya tenaga
kerja ahli yang boleh bekerja di Indonesia. Tapi dengan alasan ini dan
itu pemerintah bisa memberikan sejumlah perlakuan khusus.
Sebenarnya, apa kriteria ahli itu? Dulu salah satu kriterianya
adalah minimal lulusan perguruan tinggi. Kini aturannya sudah
diubah menjadi "memiliki pendidikan yang sesuai dengan jabatan
yang akan diduduki." Bagaimana ketentuan "sesuai" itu?.
Kementerian Tenaga Kerja yang menerbitkan Izin
Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) tidak pernah benar-benar
melakukan pengecekan keahlian. Semua proses hanya berbasis
data administratif. Sertifikat, surat keterangan, dan surat
pernyataan. Lalu lolos, seorang TKA mendapatkan IMTA. Sekali
seseorang mendapat IMTA tidak pernah ada pengecekan apakah
ia benar-benar ahli di lapangan, atau cuma buruh kasar.
Tenaga kerja asing pada dasarnya
hanya boleh bekerja selama waktu
tertentu. Lamanya bervariasi, ada
yang 6 bulan, ada yang setahun.
Tapi lagi-lagi itu hanya soal
administratif. Orang yang sama
dapat diperpanjang izin kerjanya,
atau secara resminya diberikan izin
baru. Secara faktual masa kerja
TKA di Indonesia nyaris tanpa
Yang krusial adalah soal transfer keahlian. Setiap TKA wajib
melakukan transfer keahliannya kepada tenaga kerja lokal. Tapi
hal itu lagi-lagi hanya dikontrol secara administratif. Perusahaan
diminta untuk menyampaikan data tenaga kerja yang menjadi
tenaga pendamping yang sejatinya mendapat limpahan transfer
keahlian. Hanya itu saja. Transfer keahlian tidak pernah benar-
benar terjadi. Suatu jabatan terus diisi oleh tenaga asing selama
puluhan tahun, dan itu masih akan terus berlangsung. Yang
tercermin dalam sejumlah regulasi ketenagakerjaan kita adalah
prioritas pemberian pekerjaan untuk tenaga kerja lokal. Tenaga
kerja asing hanya diperkenankan bekerja bila orang dengan
keahlian yang ia miliki tidak tersedia di Indonesia. Itu pun
dibatasi hanya selama periode tertentu. Ia harus mengalihkan
keahliannya kepada tenaga lokal. Hingga waktu tertentu tenaga
lokal dapat menguasai keahlian tadi, maka tenaga asing tidak
lagi diperlukan
Tapi itu semua hanya rumusan regulasi. Faktanya tidak
demikian. Kemenaker maupun Disnaker tidak pernah memeriksa
hal itu. Tidak terjadinya transfer keahlian itu adalah fakta yang
begitu telanjang, dan mereka tidak peduli. Sekali lagi, semua
hanya berbasis pada proses administrasi belaka. Bagi semua
perusahaan mempekerjakan TKA sebenarnya sebuah beban
yang tidak kecil. Biaya untuk mempekerjakan TKA bisa mencapai
3-4 kali lipat dibanding tenaga lokal. Di samping gaji yang tidak
kecil pekerja asing masih mendapat fasilitas tambahan fasilitas
berupa kendaraan dan sopir, apartemen, layanan kesehatan,
dan biaya pulang kampung. Seharusnya perusahaan
mempercepat proses peralihan ke tenaga lokal.
Soal lain adalah soal bahasa. Orang-orang Jepang, Cina, dan Korea
umumnya tak mahir bahasa Inggris. Pekerja kita pun sama parahnya
dengan mereka. Demikian pula pihak manajemen di perusahaan induk.
Kalau pekerja lokal tak menguasai bahasa mereka, maka mustahil bagi
dia untuk melaporkan keadaan di sini kepada kantor pusat. Dengan
alasan ini maka jabatan-jabatan strategis di perusahaan tetap dipegang
orang asing. Masalah terakhir adalah soal etos kerja pekerja kita yang
rendah. Tidak sedikit TKA yang mencoba melakukan transfer keahlian,
namun frustrasi karena tenaga lokal tak kunjung bisa meningkatkan skill.
Etos kerja dan disiplin yang rendah membuat mereka tak kunjung bisa
menyerap keahlian pada tingkat tinggi. Ada pula yang segera pindah ke
perusahaan lain setelah mendapat sedikit tambahan keahlian, sehingga
rencana pemindahan keahlian menjadi kacau.
➢ Pasal 2 ayat (3) RPP penggunaan Tenaga Asing
menyebutkan penggunaan TKA dilakukan dengan
memperhatikan pasar kerja dalam Negeri;
➢Apa yang menjadi barometer kondisi pasar kerja dalam
Negeri tersebut?;
➢Pasal 10 ayat (2) UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal dimana Perusahaan Penanaman modal berhak
menggunakan tenaga kerja asing untuk jabatan tertentu
sesuai ketentuan undang-undang;
➢Penempatan sesuai pasar kerja dan jabatan tertentu
merupakan subyektifitas sepihak yang dalam implementasinya
sulit untuk dikontrol;
➢Banyak terjadi dilapangan TKA melakukan pekerjaan Non
skill yang hal tersebut sangat bisa dikerjakan oleh tenaga kerja
lokal;
➢Pemerintah harus benar-benar menyeleksi pengajuan
RPTKA oleh pemberi kerja agar tidak dimanfaatkan oleh
oknum/sponsor yang mengambil keuntungan secara pribadi;
➢Dalam RPP TKA , Pengajuan RPTKA tekait data calon TKA yang
memuat antara lain: identitas TKA, jabatan dan jangka waktu bekerja
TKA, lokasi keja dll seharusnya dilengkapi dengan sanksi terhadap TKA
yang melakukan intimidasi ataupun pelanggaran ketenagakerjaan
kepada karyawan bawahannya baik karyawan sesama TKA maupun
TKL;

➢Sektor pariwisata, perhotelan maupun restoran berbintang merupakan


lahan sexy untuk TKA yang disitu banyak terjadi pelanggaran maupun
intimidasi ketenegakerjaan, namun belum ada sanksi khusus yang
diberikan kepada TKA tersebut:

➢Kasus terjadi di Jawa Timur, karyawan meminta perusahan untuk


mendeportasi General Manager karena dinilai melakukan pelanggaran
ketenagakerjaan;
➢ Contoh kasus ditahun 2018 imigrasi sumatra selatan mendeportasi 10 wargna
negara Malaysia dan China karena terbukti melanggar UU No.6 tahun 2011 tentang
keimigrasian karena mereka terbukti bekerja di perusahaan perkebunan, tambang
dan industri yang tidak sesuai dengan izin mempekrjakan tenaga kerja asing (IMTA);
➢ Ditahun 2016/2017 juga terjadi penyalahgunaan VISA yang dilkukan oleh Prof. Beng-
beng ONG ahli patologi dari Queenslan Univercity saat menjadi saksi ahli dalam
perkara kopi Jesica. Beliau menggunakan BVK (bebas visa kunjungan) tapi ternyata
menjadi saksi ahli yang seharusnya menggunakan KITAS;
➢ Di tahun 2016 petugas imigrasi Ngurah Rai Bali juga pernah melakukan deportasi
kepada TKA yang berasal dari Thailand;
➢ dari beberapa kejadian penyalahgunaan terhadap UU keimigrasian (UU NO.6 tahun
2011), hal tersebut bisa terjadi karena tidak adanya sanksi tegas kepada sponsor
yang mendatangkan TKA, paling berat hanya sanksi administrasi berupa di deportasi
untuk TKA nya, dan peringatan tertulis, denda, menghentikan sementara proses
pengajuan RPTKA serta mencabut Proses RPTKA yang hal tersebut kami rasa
kurang memberi efek jera kepada para sponsor TKA.
Catatan:
➢ Agar pemerintah dengan akan segera di undangkanya PP terkait TKA
benar-benar melakukan seleksi yang ketat tidak hanya secara
Administrasi semata, melainkan investigasi di lapangan;
➢ Sanksi yang tegas baik kepada sponsor maupun TKA nya apabila
ternyata melakukan manipulasi data dan pekerjaan yang bersifat
non skill, untuk menghindari konflik di perusahaan seperti yang kita
tau ahir-ahir ini yang cukup Viral kejadian pembakaran Smelter yang
dilakukan demonstran saat terjadinya aksi unjuk rasa di Konawe
Sulawesi Tenggara, yang di picu karena kesenjangan sosial yang
sangat menyolok dan perlakuan yang tidak seimbang antara TKA
dan TKL meskipun sama-sama sebagai Pekerja Non Skill;
➢ Pembenahan regulasi terkait investasi, sehingga tidak merugikan
anak negeri;
SEKIAN
DAN
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai