Anda di halaman 1dari 11

BAB I:

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kemerdekaan politik yang diperoleh oleh bangsa-bangsa bekas jajahan
bangsa-bangsa Barat yang secara meluas, terjadi setidaknya sejak berakhirnya
Perang Dunia II, dapat membuat bangsa-bangsa yang bersangkutan kehilangan
kepekaan terhadap masih berlangsungnya penjajahan kultural dari bangsa-
bangsa penjajah tersebut terhadap mereka. Kecenderungan demikian dapat
dilihat dengan jelas dalam kasus bangsa Indonesia yang memproklamasikan
kemerdekaannya dari penjajahan Jepang pada 17 Agustus 1945 dan yang
kemerdekaannya dari penjajahan Belanda mendapat pengakuan dunia
internasional secara resmi pada 1949.
Segera setelah kemerdekaan tersebut masyarakat sastra Indonesia
sekaligus merayakan kemerdekaannya pula dengan antara lain mempertautkan
sejarah kesusastraan Indonesia dengan peristiwa kemerdekaan politik di atas.
H.B. Jassin, seorang kritikus sastra Indonesia yang terkemuka dan yang pernah
sangat berpengaruh di kalangan masyarakat sastra Indonesia sehingga pernah
diberi julukan Paus Sastra Indonesia pada awal 1970-an, menulis beberapa buah
buku mengenai sejarah sastra Indonesia dengan perspektif yang amat
dipengaruhi oleh peristiwa kemerdekaan di atas. Buku antologi prosa dan
puisinya yang berjudul Gema Tanah Air memperlihatkan dengan jelas
kecenderungan yang demikian. Buku tersebut memuat berbagai karya prosa dan
puisi Indonesia yang diterbitkan pada tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia
beserta sebuah pengantar yang berisi komentar Jassin sendiri mengenai karya-
karya itu. Baik dari segi seleksi yang dilakukannya terhadap karya-karya prosa
dan puisi Indonesia yang terbit pada masa itu, maupun dari segi cara
pemahamannya mengenai karya-karya itu, Jassin dengan jelas mempertalikan
sejarah sastra Indonesia dengan sejarah politik bangsa yang bersangkutan.
Judul buku itu, umpamanya, memperlihatkan betapa Jassin menganggap
bahwa karya-karya prosa dan puisi yang terhimpun di dalamnya sebagai gema
dari sebuah sumber suara yang ada di Indonesia pada masa awal kemerdekaan
itu. Dan sumber suara itu tidak lain daripada semangat bangsa Indonesia dalam
memperjuangkan dan mencapai kemerdekaan politik Indonesia. Dalam
karyanya yang lain, yang ditulis kemudian, yaitu Sastra Indonesia di Masa Jepang,
Jassin juga menjelaskan kecenderungan simbolis yang ada pada karya-karya
sastra Indonesia pada masa penjajahan Jepang dengan perspektif politik.
Menurutnya, kecenderungan simbolis itu merupakan akibat dari represi politik
yang amat kuat dari penjajah Jepang. Karya Jassin yang lain, yaitu Chairil Anwar
sebagai Pelopor Angkatan 45, memperlihatkan betapa idiom politik pun digunakan
untuk mengidentifikasi tidak hanya kecenderungan umum karya-karya sastra
yang terbit di sekitar masa kemerdekaan, melainkan bahkan mengidentifikasi
kekhasan karya-karya seorang sastrawan, yaitu Chairil Anwar. Chairil Anwar
juga disebut sebagai “sastrawan revolusioner”, sebuah sebutan yang mengacu
pada peristiwa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Seperti sudah disinggung, Jassin merupakan kritikus sastra Indonesia yang
sangat berpengaruh terhadap masyarakat dan bahkan sejarah sastra Indonesia.
Karya-karyanya menjadi acuan utama bagi mereka yang ingin mempelajari dan
mengapresiasi sastra Indonesia dan lebih jauh dalam penulisan buku-buku
pelajaran mengenai bahasa dan sastra Indonesia yang diajarkan di sekolah-
sekolah dan bahkan di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Itulah
sebabnya, tidak mengherankan bila hingga sekarang masyarakat sastra
Indonesia cenderung memahami sejarah sastra Indonesia dalam kerangka
pemikiran yang sudah dibuat oleh H.B. Jassin. Sejarah sastra Indonesia,
misalnya, dibagi menjadi beberapa fase perkembangan dan setiap fase disebut
sebagai angkatan, sebuah sebutan yang kembali berasosiasi dengan
pengelompokan sosial dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia,
tepatnya pengelompokan dalam organisasi militer seperti Angkatan Laut,
Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian.
Karena konstruksi kesejajaran atau analogi-analogi antara sejarah sastra
dengan sejarah politik tersebut tidak mengherankan jika masyarakat sastra
Indonesia kehilangan kepekaan terhadap operasi kekuasaan kolonial yang terus
berlangsung bahkan sampai pada masa yang jauh sesudah proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Sebagai misal, penulisan dan diskusi mengenai sejarah
sastra Indonesia sampai tahun 1970-an terpusat hanya pada karya-karya sastra
yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Poedjangga Baroe, karya-karya sastra yang
disebut sebagai “sastra serius”, dan sejenisnya. Padahal, sebagaimana yang
kemudian mulai terbuka sejak 1980-an, di luar Balai Pustaka terdapat banyak
penerbit, termasuk surat-surat kabar, yang menerbitkan karya-karya sastra yang
sesungguhnya bisa dikategorikan ke dalam karya sastra Indonesia juga. Pada
gilirannya, buku-buku sejarah sastra yang dihasilkan oleh penulisan dan diskusi
yang demikian tentu saja memengaruhi pula konsep dan selera estetis
masyarakat sastra yang bersangkutan. Sebagaimana yang antara lain
dikemukakan oleh Harry Aveling dan Goenawan Mohamad, karya-karya sastra
Indonesia cenderung memperlakukan seks sebagai “mawar berduri”, sesuatu
yang dipandang indah, tetapi tidak berani mereka jamah. Sapardi Djoko
Damono mengungkapkan bahwa sastra Indonesia cenderung menghindari
gambaran mengenai konflik SARA yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia.
Ariel Heryanto dan Emha Ainun Nadjib menemukan indikasi sikap a-politis
dalam konsep estetis sastra Indonesia dengan antara lain mengeksklusi
persoalan politik dari estetika.
Sudah banyak ahli sastra yang mengungkapkan pertalian antara berbagai
kecenderungan dalam sastra Indonesia di atas dengan kebijakan kebahasaan dan
kesastraan kolonial Belanda pada masa sebelum kemerdekaan
(prakemerdekaan) di Indonesia. Para ahli sastra Barat seperti C.W. Watson sudah
mengungkapkan pertalian tersebut sejak awal 1970-an. Begitu juga Claudine
Salmon dengan bukunya mengenai sastra Peranakan Tionghoa di Indonesia.
Buku ini mengungkapkan betapa banyak karya-karya sastra berbahasa Melayu
yang sudah ditulis oleh orang-orang peranakan Cina di Indonesia, tetapi karya-
karya itu sama sekali tidak diperhitungkan oleh para ahli sastra akibat pengaruh
kebijakan bahasa dan sastra pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Dalam terminologi ilmu pengetahuan humaniora atau humanities mutakhir
persoalan pengaruh kekuasaan politik dan kebudayaan kolonial terhadap
bangsa terjajah sampai ke masa kemerdekaan bangsa tersebut disebut persoalan
pasca-kolonial. Edward Said, dengan bukunya Orientalism, merupakan orang
yang paling berpengaruh dari terbentuknya kesadaran dan pemikiran serta
bahkan kemudian pendekatan yang sistematis dan akademis mengenai
persoalan tersebut, yaitu pendekatan yang disebut teori dan pendekatan pasca-
kolonialisme sebagaimana yang dikemukakan antara lain oleh Moore-Gilbert
(1997).
Namun, sebagaimana yang dikemukakan oleh Moore Gilbert, pasca-
kolonialisme bukanlah sebuah konsep yang tunggal dan statis. Edward Said,
dengan Orientalism-nya di atas, menyadarkan kalangan akademis di seluruh
dunia akan hubungan yang erat antara sistem pengetahuan Barat mengenai
Timur yang ia sebut sebagai orientalisme dengan praktik-praktik politik
imperialisme dan kolonialisme bangsa-bangsa Barat di Timur. Akan tetapi,
setidaknya terdapat dua kelemahan dalam teori Said di atas. Pertama, karena
terlalu memusatkan perhatian pada persoalan pengaruh orientalisme itu, ia
mengabaikan kemungkinan adanya resistensi dari bangsa-bangsa Timur yang
terjajah terhadap sistem pengetahuan di atas. Kedua, karena pengaruh
orientalisme itu sendiri terhadap dirinya, Said cenderung menyeragamkan apa
yang ia sebut sebagai wacana Barat mengenai Timur, memberi kesan bahwa,
sebagaimana halnya Timur dalam konstruksi Barat, Barat itu merupakan satu
entitas yang tunggal, seragam pula.
Homi K. Bhaba membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial selalu
bersifat ambigu, polisemik. Karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya
maupun mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-
macam dan bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat
terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana
kolonial, identifikasi masyarakat terjajah terhadap Barat, tidak harus berarti
kepatuhan masyarakat terjajah terhadap penjajahnya. Pada level pemaknaan,
tindakan masyarakat terjajah untuk meniru (to mimic) itu dapat pula menjadi
suatu ejekan (mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan
peniruan dengan sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan penjajah.
Identifikasi, dengan demikian, dapat menjadi “false identification”.
Dengan mendasarkan diri pada pendekatan dekonstruksi Derrida, Gayatri
Spivak memahami wacana kolonial yang dominan sebagai wacana yang
terpecah, rupture. Keterpecahan itu dapat ditemukan dengan dua cara, yaitu (a)
dengan mengungkapkan bagaimana wacana itu menyangkal sendiri asumsi-
asumsi dasarnya dan (b) dengan memberikan perhatian pada unsur-unsur dan
wacana yang dimarginalkan oleh wacana yang dominan tersebut. Dengan cara
pemahaman yang demikian Spivak sebenarnya menganggap wacana kolonial
bukan sesuatu yang tertutup dari kemungkinan resistensi. Bahkan, wacana itu
sendiri dapat melawan dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan efek yang
berkebalikan dengan kehendak kekuasaan, yaitu efek yang memberdayakan
bagi masyarakat terjajah.
Namun, resistensi itu sendiri, menurut Spivak, bukannya tanpa risiko.
Resistensi fundamentalis yang mengonstruksi identitas subjek sebagai sesuatu
yang esensial harus pula dilawan. Dengan kembali menggunakan teori Derrida,
Spivak menganggap subjek pun bukan entitas yang utuh, melainkan
terdesentralisasi (decentered subject). Karena itu, identitas bukanlah sesuatu yang
esensial, melainkan hasil konstruksi secara diskursif, terbentuk melalui
interpelasi dalam pengertian Louis Althusser. Akan tetapi, kenyataan demikian
tidak dengan sendirinya berarti bahwa esensialisme sepenuhnya negatif
terhadap kemungkinan resistensi. Karena subjek decentered, identitas menjadi
sesuatu yang dapat dinegosiasikan. Esensialisme yang dikonstruksi atas dasar
negosiasi dengan kekuatan-kekuatan politik dan ideologis yang ada bersifat
positif bagi resistensi. Spivak menyebutnya sebagai esensialisme strategis.
Konsep negosiasi ini membuka jalan bagi kemungkinan heterogenitas tidak
hanya dari wacana yang dominan, melainkan juga wacana yang termarginalkan,
tidak hanya dari subjek yang disebut Barat, melainkan juga subjek yang disebut
Timur, tidak hanya dari kekuatan diskursif kolonial, melainkan juga kekuatan
diskursif yang resisten terhadapnya. Kemungkinan heterogenitas
memungkinkan pula terjadinya perbedaan antara bangsa penjajah yang satu
dengan bangsa penjajah yang lain, misalnya bangsa Belanda dengan bangsa
Spanyol dan Amerika, bangsa terjajah yang satu dengan bangsa terjajah yang
lain, misalnya bangsa Indonesia dengan bangsa Filipina. Bahkan, dimungkinkan
pula perbedaan pola perlawanan antara kelas sosial yang satu dengan kelas
sosial yang lain dari bangsa yang sama, antara kelompok profesional yang satu
dengan kelompok profesional yang lain.
Pola imperialisme Belanda di Indonesia dikenal dengan sistem
pemerintahan secara tidak langsung. Artinya, penguasa kolonial tersebut
dengan sadar menggunakan dan menyalahgunakan sistem politik tradisional
setempat untuk kepentingan politik dan ekonominya sendiri di wilayah jajahan
tersebut. Koheren dengan pola yang demikian, politik kebudayaannya pun
cenderung diarahkan pada usaha mempertahankan kebudayaan, termasuk di
dalamnya bahasa dan kesusastraan tradisional dari komunitas-komunitas etnis
yang beraneka ragam yang ada di Indonesia. Baik secara formal maupun tidak
formal. Pemerintah, misalnya, mewajibkan masyarakat pribumi hidup dengan
kebudayaannya sendiri, menggunakan pakaian dan bahasanya sendiri,
melarang mereka untuk menggunakan “pakaian Belanda” dan bahasa Belanda.
Politik yang demikian bahkan tetap dipertahankan oleh penguasa kolonial
tersebut pada masa pascakemerdekaan Indonesia, yaitu dengan mencoba
menggantikan konsep negara kebangsaan Indonesia yang diproklamasikan oleh
kaum nasionalis Indonesia pada 17 Agustus 1945 menjadi negara federal. Politik
yang demikianlah yang dalam berbagai kepustakaan sejarah politik Indonesia
dinamakan politik “divide et impera”.
Kecenderungan di atas dapat membuat masyarakat pribumi tidak
mengalami salah satu masalah yang umum dialami oleh bangsa-bangsa bekas
jajahan di beberapa negara lain, yaitu perasaan inauthentisitas diri, sebagaimana
yang antara lain dikemukakan oleh Tony Day dan Keith Foulcher. Meskipun
merupakan bangsa terjajah, masyarakat pribumi Indonesia dapat bangga akan
diri mereka, akan kebudayaan, bahasa, dan kesusastraan mereka sendiri. Hanya
saja, kemungkinan kebanggaan itu dapat hilang sama sekali, dapat menjadi
sesuatu yang ironis, ketika masyarakat yang bersangkutan harus hidup dalam
sistem politik, ekonomi, dan sosial kolonial yang bertentangan dengannya. Di
dalam sistem yang kemudian ini penduduk pribumi justru ditempatkan dalam
posisi yang terendah dan karenanya juga terhina. Yang menduduki posisi
tertinggi dan karenanya termulia adalah penduduk dengan latar belakang ras
“kulit putih”, sedangkan yang menduduki posisi di antara keduanya adalah
kaum migran dari Asia Timur, misalnya Cina dan Jepang.
Ada dualisme dalam sistem politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan di
Indonesia. Di satu pihak masyarakat setempat hidup dalam dan dengan sistem
politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan tradisional mereka masing-masing,
tetapi di lain pihak mereka juga harus hidup dengan dan dalam tatanan kolonial
yang berlaku bagi semua sektor di atas pula. Dalam dualisme ini, sistem yang
satu tidak terpisah dari yang lainnya, melainkan cenderung saling melintasi dan
bahkan saling bertumpang-tindih. Penemuan Clifford Geertz mengenai
terjadinya involusi pertanian di Indonesia antara lain menunjukkan betapa
ketumpangtindihan antara sistem pertanian yang berbasis sawah yang
merupakan sistem pertanian tradisional yang bersifat subsisten dengan sistem
perkebunan tebu yang merupakan sistem pertanian kolonial yang berorientasi
telah pasar membentuk sebuah kecenderungan budaya yang khas, yaitu apa
yang ia sebut “sharing poverty”. Ketumpangtindihan itu juga terjadi dalam sektor
politik, yaitu antara sistem birokrasi kolonial yang modern dengan sistem
birokrasi tradisional yang patrimonial sebagaimana yang antara lain
dikemukakan oleh Heather Sutherland.

2. Permasalahan
Dualisme di atas tentu dapat menimbulkan pengalaman dan respons pasca-
kolonial yang khas pada masyarakat Indonesia. Penelitian ini mencoba
menemukan kekhasan itu dalam kasus kesusastraan Indonesia, khususnya novel
Indonesia. Novel merupakan genre sastra modern Barat yang (di-)masuk(-kan)
ke Indonesia pada masa kolonial Belanda di wilayah tersebut, tepatnya pada
kuarter ketiga abad XIX. Doris Jedamski (1998) mengatakan bahwa novel
pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Robinson Crusoe
karya Daniel Defoe, sebuah novel yang oleh Ian Watt dimasukkan ke dalam
kategori novel pertama yang diciptakan di dalam bahasa Inggris di Inggris. Versi
terjemahan bahasa Melayu dari novel ini diterbitkan oleh Adolf von de Wall
pada 1875 dengan judul Hikayat Robinson Crusoe. Versi bahasa Sunda dan bahasa
Jawa novel ini terbit masing-masing pada 1879 dan 1881.
Jedamski mengatakan bahwa novel di atas merupakan novel yang populer
di Indonesia sehingga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa daerah,
termasuk bahkan bahasa Toraja pada 1914. Novel lainnya yang juga populer,
bahkan lebih populer daripada novel pertama di atas, adalah The Count of Monte
Christo karya A. Dumas. Versi bahasa Melayu novel ini terbit di Indonesia
pertama kali dalam buku-buku kecil secara berseri dari 1894 sampai dengan
1899. Pada tahun 1912 penerbit yang bernama Houw San Liang menerbitkan
novel populer yang lain, yaitu The Five Orange Pips yang merupakan salah satu
seri dari serial novel detektif Sherlock Holmes karya Arthur Conan Doyle.
Tentu novel-novel terjemahan di atas bukan novel pertama yang dibaca
oleh orang-orang Indonesia. Sejak pertengahan abad XIX, yaitu sejak mulai
diperkenalkannya pendidikan modern ke beberapa orang Indonesia yang
berasal dari kelas sosial yang tinggi, orang-orang Indonesia mulai menguasai
bahasa asing, khususnya bahasa Belanda, dan mulai mempunyai akses untuk
membaca novel-novel melalui bahasa asing tersebut sebagaimana yang ternyata,
misalnya, dari pengalaman R.A. Kartini dan keluarganya. Novel-novel dapat
pula mereka akses dari surat-surat kabar berbahasa Belanda dan bahkan
berbahasa Melayu yang muncul sejak masa yang hampir sama. Dengan
demikian, munculnya karya-karya terjemahan itu justru menjadi bukti dari
kemungkinan yang terakhir di atas. Beberapa orang Indonesia yang sudah
menguasai bahasa asing telah membaca novel sebelum waktu munculnya karya-
karya terjemahan itu.
Novel asli yang pertama, yang ditulis di dalam bahasa Melayu, dan oleh
orang-orang Indonesia keturunan Eropa, Cina, ataupun pribumi, muncul pada
1896, yaitu Hikayat Nyai Dasima karya G. Francis (Salmon, 1984). Bila apa yang
dikatakan George Quinn benar, bahwa cerita-cerita perjalanan yang ditulis
dalam bahasa Jawa merupakan protonovel dalam sejarah kesusastraan Jawa,
kemunculan karya asli berbahasa Melayu tersebut jauh tertinggal dibandingkan
dengan karya-karya asli yang ditulis di dalam bahasa Jawa. Cerita perjalanan
pertama dalam bahasa Jawa ditulis pada tahun 1865, yaitu Cariyos Bab Lampah-
lampahanipun Raden Mas Arya Purwa Lelana (Quinn, 1992).
Dengan demikian, kemunculan novel sebagai genre sastra modern Barat
telah menimbulkan respons positif dari masyarakat Indonesia dalam pengertian
bahwa kemunculan tersebut merangsang masyarakat yang bersangkutan
membaca dan sekaligus menulis karya-karya sastra yang serupa. Sejak awal abad
XX kegemaran dalam membaca dan menulis novel ini menjadi semakin kuat
sehingga produksi novel asli pun menjadi semakin besar. Surat-surat kabar
berbahasa Melayu merupakan salah satu pusat produksi dari genre sastra ini.
Begitu pula Balai Pustaka, sebuah lembaga penerbitan milik pemerintah kolonial
Belanda. Seperti yang ditemukan oleh Salmon (1984), misalnya, novel-novel dan
cerpen-cerpen asli karya penulis peranakan Cina yang diterbitkan dari 1870-an
sampai 1960-an saja telah mencapai 1398 buah.
Kebangkitan novel itu bukan sekadar sebagai genre sastra baru yang
ditambahkan pada genre sastra yang sudah ada sebelumnya. Buku Salmon yang
berjudul Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated
Bibliography yang pada 1984 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
memberikan banyak data yang mengindikasikan betapa kegemaran masyarakat
Indonesia, khususnya kelompok peranakan Cina, akan karya-karya sastra
modern telah mengurangi kegemaran mereka akan karya-karya sastra
tradisional.1

1 Pada mulanya, seperti yang dikemukakan Salmon, masyarakat peranakan Cina di


Indonesia menjadi penggemar karya-karya sastra Melayu dan karya-karya sastra Cina
tradisional, baik dengan menjadi pembacanya yang bersemangat maupun dengan
melakukan penulisan ulang dan penyaduran terhadap karya-karya tersebut. Pada periode
1886 sampai dengan 1910 karya-karya sastra berbentuk syair masih merupakan karya-karya
sastra yang dominan. Akan tetapi dari 1911 sampai 1942 terjadi peningkatan yang pesat
dalam penerbitan novel terjemahan maupun novel asli. Pada periode 1924-1942 peningkatan
jumlah novel-novel asli mencapai sembilan kali lipat dibandingkan dengan periode 1911-
1923. Sementara itu, karya-karya sastra berbentuk syair menghilang, sedangkan terjemahan
Bagaimana kegemaran yang demikian terbentuk? Itulah pertanyaan yang
kemudian muncul. Mengapa novel, genre sastra Barat itu, menjadi kanonis?
Apakah wacana kolonial begitu hegemonik dilihat dari kenyataan yang
demikian? Adakah perasaan semacam inotentisitas karena peniruan serupa itu?
Ataukah, penulisan novel oleh orang Indonesia tidak sekadar merupakan
mimicry, melainkan mengandung pula mockery di dalamnya? Bentuk resistensi
apa yang mungkin muncul dari novel-novel Indonesia, baik terhadap kanon
novel itu sendiri maupun terhadap wacana kolonial pada umumnya?
Bagaimanakah variasi resistensi itu? Seberapa jauh variasi resistensi itu
terbentuk sesuai dengan variasi konteks dan posisi masyarakat Indonesia pada
umumnya dan sastrawan Indonesia pada khususnya di hadapan kekuatan
diskursif dan praktik penjajah Belanda? Atau, sesuai dengan sistem kekuasaan
imperialisme Belanda yang dualistik di atas?

3. Kerangka Teori dan Metodologi


Penelitian ini mencoba menjawab berbagai pertanyaan di atas dengan
menggunakan pendekatan pasca-kolonial. Ada banyak teori pasca-kolonial, di
antaranya sebagai berikut:
a. Teori pasca-kolonial adalah sebuah istilah bagi sekumpulan strategi teoretis
dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan,
politik, sejarah, dan seterusnya) dari koloni-koloni negara-negara Eropa
dan hubungan negara-negara itu dengan belah dunia sisanya. Meskipun
tidak mempunyai aliran dan metode yang tunggal, teori (-teori) pasca-
kolonial mempunyai kesamaan dalam asumsi-asumsi berikut: (a)
mempertanyakan efek negatif dari apa yang justru dianggap bermanfaat
kekuasaan imperial itu seperti pernyataan mengenai hadiah peradaban,
warisan sastra Inggris, dan sebagainya; (b) mengangkat isu-isu seperti
rasisme dan eksploitasi, dan (c) mempersoalkan posisi subjek kolonial dan
pasca-kolonial (Makaryk, 1993).
b. Teori pasca-kolonial melibatkan pembicaraan mengenai aneka jenis
pengalaman seperti migrasi, perbudakan, penekanan, resistensi,
representasi, perbedaan, ras, gender, tempat, dan respons-respons
terhadap wacana agung yang berpengaruh dari kekuasaan imperial Eropa

karya-karya Cina tradisional diambil alih oleh terjemahan novel-novel berbahasa Cina.
Kecenderungan demikian terjadi juga pada karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka
sebagaimana yang antara lain terekam dalam buku Balai Pustaka Sewadjarnya (1948). Pada
mulanya, sesuai dengan politik kebudayaan kolonial, lembaga ini menerbitkan karya-karya
sastra tradisional yang ditulis dalam berbagai bahasa daerah. Akan tetapi, karena semakin
kuatnya kegemaran masyarakat pada karya-karya sastra modern seperti novel, lembaga ini
mulai menerbitkan novel, baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa-bahasa daerah
lainnya.
seperti sejarah, filsafat, linguistik, dan pengalaman dasar dalam berbicara
dan menulis yang dengannya keseluruhan hal di atas mewujud.
Pengertiannya bermacam-macam. Meskipun demikian, studi-studi pasca-
kolonial dapat diartikan sebagai studi-studi yang didasarkan pada fakta
historis kolonialisme Eropa dan aneka efek material yang ditimbulkan oleh
kolonialisme itu. Dengan pengertian demikian, teori pasca-kolonial tidak
mengacu kepada segala bentuk marginalitas yang tidak berkaitan dengan
proses kolonialisme yang historis (Aschroft, Cs., 1995).
c. Teori pasca-kolonial mencakup tiga kemungkinan pilihan perhatian, yaitu:
(a) pada kebudayaan masyarakat-masyarakat yang pernah mengalami
penjajahan Eropa, baik berupa efek penjajahan yang masih berlangsung
sampai pada masa pasca-kolonial maupun kemungkinan transformasinya
ke dalam bentukbentuk yang disebut neokolonialisme (internal maupun
global), (b) respons perlawanan atau wacana tandingan dari masyarakat
terjajah maupun yang lainnya terhadap penjajahan itu, tanpa
menghilangkan perhatian pada kemungkinan adanya ambiguitas atau
ambivalensi, dan (c) segala bentuk marginalitas yang diakibatkan oleh
segala bentuk kapitalisme (Lo and Helen, 1998).
d. Teori pasca-kolonial adalah seperangkat gagasan yang mengarahkan
perhatian peneliti pada hubungan antara kebudayaan dengan
imperialisme. Adapun imperialisme itu sendiri diartikan sebagai praktik,
teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan yang menguasai suatu
wilayah yang jauh dengan kolonialisme, yaitu dibangunnya pemukiman di
wilayah-wilayah yang jauh itu, sebagai salah satu konsekuensinya yang
hampir selalu niscaya (Said, 1993).
Bila teori dipahami sebagai seperangkat pertanyaan yang sistematis
mengenai kenyataan, berbagai teori di atas dapat dirumuskan kembali sebagai
berikut. Teori pascakolonial adalah seperangkat pernyataan mengenai kondisi
dan kecenderungan masyarakat yang terjajah dan pernah terjajah. Adapun
kondisi dan kecenderungan itu sebagai berikut:
a. Masyarakat terjajah adalah masyarakat yang hidup dalam sebuah wilayah
geografis yang diduduki, dikuasai, diatur, dikontrol, dan dikendalikan oleh
masyarakat lain yang berasal dari wilayah geografis atau ruang yang lain,
terutama masyarakat Eropa.
b. Masyarakat terjajah adalah masyarakat yang pikiran, perasaan, sikap,
perilaku, dan bahkan tubuhnya diduduki, dikuasai, diatur, dikontrol, dan
dikendalikan oleh masyarakat penjajah melalui praktik, teori, dan sikap
yang ditanamkan padanya oleh masyarakat penjajah itu.
c. Kekuasaan penjajah atas pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku masyarakat
terjajah itu dapat lebih kuat dan berlangsung lebih lama daripada
kekuasaannya atas wilayah geografis masyarakat terjajah, dapat terus
berlangsung bahkan sesudah si penjajah melepaskan kekuasaannya atas
wilayah geografis tersebut.
d. Kekuasaan penjajah atas pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku masyarakat
terjajah itu dapat tertanam sangat dalam sehingga tetap mempertahankan
pengaruhnya bahkan ketika masyarakat terjajah justru berusaha
membebaskan diri darinya.
e. Kekuatan dan kedalaman pengaruh kekuasaan penjajah atas pikiran,
perasaan, sikap, dan perilaku terjajah itu disebabkan oleh strategi
penanaman kekuasaan yang kamuflatif dan manipulatif yang
digunakannya, yang antara lain dapat mengubah kekuasaan menjadi
seakan-akan kebaikan, dan strategi penanaman kekuasaan yang
membentuk suatu konfigurasi praktik, teori, dan sikap, serta strategi
transformatif dalam pengertian dapat berubah bentuk menjadi sesuatu
yang lain.
f. Kondisi dan kecenderungan di atas terutama menampakkan diri secara
historis dalam kasus masyarakat terjajah atau yang pernah terjajah oleh
masyarakat Eropa (karena masyarakat Eropa itulah yang berhasil
mengembangkan teknologi dan strategi kekuasaan yang sangat efektif,
khususnya sejak abad XIX).
g. Namun, seberapa kuatnya pun pengaruh kekuasaan penjajah di atas, ruang
pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku masyarakat terjajah tidak pernah
sepenuhnya dimengerti dan dengan demikian dikuasai oleh penjajah.
Kenyataan demikian, membuat selalu pula terbuka peluang bagi si terjajah
untuk memainkan kekuasaan penjajah dengan cara-cara yang tidak
terduga dan terpahami atau bahkan seringkali mengejutkan penjajah itu
sendiri (cf. Moore-Gilbert, 1997).
Dengan pandangan serupa itu, secara metodologis pendekatan pasca-
kolonial mengarahkan penelitian ini kepada usaha-usaha berikut:
a. Mengungkapkan atau menelanjangi operasi kekuasaan penjajah yang
terselubung di balik teori, sikap, dan praktiknya yang seakan tidak
mengandung pretensi kekuasaan atau politik.
b. Mengungkapkan operasi kekuasaan penjajah di balik praktik, sikap, dan
teori masyarakat terjajah yang seakan sudah bebas atau mengarah pada
usaha pembebasan dari kekuasaan penjajah itu.
c. Mengungkapkan operasi perlawanan terjajah yang ada di balik teori, sikap,
dan praktiknya yang seakan patuh pada kekuasaan penjajah.
d. Arah yang dirumuskan dalam (f) itu sekaligus menegaskan posisi teori dan
kritik pasca-kolonial sebagai aktivitas pemberdayaan masyarakat terjajah
(agency) dan sebagai aktivitas penghapusan segala bentuk penjajahan
(dekolonisasi). Artinya, teori pasca-kolonialitas sekaligus menjadi pasca-
kolonialisme.
Secara garis besar, metode ini dapat disebut sebagai metode dekonstruksi
yang beroperasi dengan setidaknya dengan dua cara. Pertama, melakukan
analisis tekstual terhadap wacana terjajah, dalam hal ini novel-novel Indonesia,
untuk menemukan kecenderungan kesatuan tematiknya, asumsi-asumsi
dasarnya, dan sekaligus menemukan sarana-sarana retorik yang digunakannya
yang mungkin bertentangan dan dapat menunda (suspending) dan membuat
asumsi-asumsi dasar itu terpecah (ruptured). Kedua, melakukan analisis tekstual
terhadap karya-karya sastra yang dimarginalkan untuk mendesentralisasi
(decentered) kesatuan tematik wacana dominan.

4. Pembatasan Masalah
Penelitian ini membatasi masalahnya pada novel-novel kolonial maupun
pasca-kolonial yang populer pada rentang waktu dari sekitar pertengahan abad
XIX sampai dengan berakhirnya masa penjajahan Belanda di Indonesia, yaitu
tahun 1942. Yang dijadikan sampel untuk merepresentasikan kecenderungan
novel kolonial maupun pascakolonial novel-novel berikut:
1. Robinson Crusoe karya Daniel Defoe yang diterjemahkan untuk pertama
kalinya ke dalam bahasa Melayu pada 1875.
2. Monte Christo karya Alexander Dumas yang diterjemahkan untuk pertama
kalinya ke dalam bahasa Melayu pada 1894. 2.
3. Gembala Domba karya J.F. Oltmans yang diterjemahkan untuk pertama
kalinya ke dalam bahasa Melayu tahun 1920.
4. Max Havelaar karya Multatuli yang terbit pada 1860 dan yang sejak akhir
abad XIX menjadi bahan bacaan wajib orang-orang Belanda yang akan
bertugas di Indonesia dan juga bacaan wajib bagi orang-orang Indonesia
yang memperoleh pendidikan kolonial pada masa yang hampir sama.
5. Hikayat Kadiroen yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit swasta pada
1920, karya seorang aktivis politik yang terkemuka di Indonesia pada masa
kolonial maupun sesudah kemerdekaan, Semaoen.
6. Siti Nurbaya yang diterbitkan pertama kali pada 1920 oleh penerbit
pemerintah, Balai Pustaka, dan ditulis oleh seorang dokter hewan, Marah
Rusli, yang bekerja pada lembaga birokratis pemerintah kolonial.
7. Novel-novel pendek karya penulis Indonesia keturunan Eropa dan
Tionghoa seperti Nyai Dasima dan Nyai Soemirah.

Anda mungkin juga menyukai