Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PEDAHULUAN

HIPERTENSI PADA LANSIA

DISUSUN OLEH:

SELVIANA BULU

NIM : 011925016

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERSADA

HUSADA INDONESIA
HIPERTENSIA

A. DEFINISI HIPERTENSI DAN LANSIA

Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Commitee on Detection,


Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC) sebagai tekanan yang
lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya,
mempunyai rentang dari tekanan darah (TD) normal tinggi sampai hipertensi
maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai primer/esensial (hampir 90 % dari
semua kasus) atau sekunder, terjadi sebagai akibat dari kondisi patologi yang
dapat dikenali, sering kali dapat diperbaiki.
Hipertensi merupakan keadaan ketika tekanan darah sistolik lebih dari 120
mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg. Hipertensi sering menyebabkan
perubahan pada pembuluh darah yang dapat mengakibatkan semakin tingginya
tekanan darah (Arif Muttaqin, 2009). Menurut Bruner dan Suddarth (2001)
hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg.
Menua  atau  menjadi  tua  adalah  suatu  keadaaan  yang  terjadi didalam 
kehidupan  manusia.  Proses  menua  merupakan  proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai  sejak  permulaan 
kehidupan.  Menjadi  tua  merupakan  proses alamiah,  yang  berarti  seseorang 
telah  melalui  tiga  tahap kehidupannya,  yaitu  anak,  dewasa  dan  tua.  Tiga 
tahap  ini  berbeda, baik  secara  biologis  maupun  psikologis.  Memasuki  usia 
tua  berarti mengalami  kemunduran,  misalnya  kemunduran  fisik  yang  ditandai
dengan  kulit  yang  mengendur,  rambut  memutih,  gigi  mulai  ompong,
pendengaran  kurang  jelas,  pengelihatan  semakin  memburuk,  gerakan lambat
dan figur tubuh yang tidak proporsional.
Pada populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik di atas
160 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa hipertensi adalah meningkatnya tekanan sistolik sedikitnya 140 mmHg dan
diastolik sedikitnya 90 mmHg.
B. KLASIFIKASI HIPERTENSI PADA LANSIA
      Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut dapat
dibedakan:
1.      Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-12%
penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden meningkat seiring
bertambahnya umur.
2.       Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14%
penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring
bertambahnya umur.
3.      Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60th, lebih
banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.
      Berdasarkan penyebab hipertensi di bagi menjadi dua golonagan yaitu :
1.      Hipertensi essensial dan hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik.terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhi nya seperti genetic, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf
simpatis,system reninangiotensin,efek dalam ekskersi Na, peningkatan Na dan Ca
ekstrseluler dan factor-faktor yang meningkatkan resiko eperti obesitas, alcohol,
merokok serta polisitemia.
2.      Hipertensi sekunder  atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab
spesifikny dikietahui seperti gangguan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vascular renal, hiperaldosteronisme promer, dan sindrom cushing,
feokromositoma, koarksasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan (mansjoer A dkk,2001).
      Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas (Darmojo, 1999):
1.      Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan /
atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg.
2.      Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg
dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.

C.   ETIOLOGI HIPERTENSI PADA LANSIA


Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain
meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti
obesitas asupan garam yang tinggi alkohol yang berlebihan. Faktor resiko yang
mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat dikontrol, antara lain:
           Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik
kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin pria
atau wanita pasca menopause.
a.       Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun wanita
terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum
mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL
yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses
aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya
imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai
kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi
pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon
estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami,
yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun. Hipertensi lebih
banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak
menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah
wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause

   Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang
yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang
berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara khusus. Hal
ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis
obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus ,
hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi sering terjadi pada usia pria :
> 55 tahun; wanita :> 65 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon
sesudah menopause. Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang
berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari
arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan.
Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta
itu kehilangan daya penyesuaian diri.
c.       Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium
Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih
besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga
dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.
           Faktor resiko yang dapat dikontrol:
a.       Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi penurunan
kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan
meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat
memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah,
hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah,
terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada
orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya
normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan
lebih.
b.      Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular,
karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan
menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga
menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat
karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan
darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang
tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung
mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering
jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri.
c.       Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya
stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
d.      Mengkonsumsi garam berlebih
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya
hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100
mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium
yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler
meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga
volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler
tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada
timbulnya hipertensi.
e.       Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan
organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol berlebihan
termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.
f.       Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung
75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi meningkatkan
tekanan darah 5 -10 mmHg.
g.      Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis
peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak
menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah
menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di
masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat
dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang
tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan meningkatkan
resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi
aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan dengan pekerjaan,
kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.

D.  PATOFISIOLOGI HIPERTENSI PADA LANSIA


Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula pada
sistemsaraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah
melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis.
Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai
faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respons pembuluh
darah terhadap rangsangan vasokonstriktor. Individu dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respons rangsang emosi. Kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi
epineprin, yang menyebabkan vasokonstriksi.
Korteks adrenal mensekresi kortisol dan streroid lainnya, yang dapat
memperkuatrespons vasokonstriksi pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstrikstriktor kuat. Yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. hormon ini menyebabkan retensi natrium
dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler.
Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Pertimbangan gerontologis. Perubahan struktur dan fungsional pada sistem
perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia
lanjut. Perubahan tersebut meliputi arterosklerosis, hilangnya elastisistas jaringan
ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada
gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan parifer (Bruner
dan Suddarth, 2001).

E.  TANDA DAN GEJALA HIPERTENSI PADA LANSIA


Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering tidak
memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious) atau
tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa
pasien yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas,
kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun

F.  KOMPLIKASI HIPERTENSI PADA LANSIA


Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab terserang
kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering
ditemukan, dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati. Pada hipertensi
berat yaitu apabila tekanan darah diastolic sama atau lebih besar dari
130mmHg,atau kenaikan tekanan darah yang terjadi secara mendadak, alat-alat
tubuh yang sering terseang hipertensi antaraa lain:
         Mata   : berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan
kebutaan.
         Ginjal : berupa gagal ginjal
         Jantung  : berupa payah jantung, jantung koroner.
         Otak   : berupa pendarahan akibat pecahnya mikro anerisma yang dapat
menggakibatkan kematian, iskemia dan proses emboli

a.       Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler


Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan
sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan dinding 
ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk, kapasitasnya
membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung. Angina
pektoris dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit arteri koronaria dan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard karena penambahan massanya. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran jantung dengan denyut ventrikel kiri
yang menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan murmur
dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial, keempat) sering terdengar
pada penyakit jantung hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikuler,
ketiga) atau irama gallop mungkin saja ditemukan. Pada elektrokardiogram,
ditemukan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat
terjadi iskemi dan infark. Sebagian besar kematian dengan hipertensi disebabkan
oleh infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-data terbaru menduga
bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai oleh aldosteron pada
asupan garam yang normal atau tinggi dibandingkan hanya oleh peningkatan
tekanan darah atau kadar angiotensin II.
b.      Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina dan
sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan arteri dan
arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan optalmoskopik
berulang memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak hipertensi pada
pembuluh darah retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi. Sakit
kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang merupakan
salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga ditemukan ’keleyengan’,
kepala terasa ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan menurun atau sinkope, tapi
manifestasi yang lebih serius adalah oklusi vaskuler, perdarahan atau ensefalopati.
Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit berbeda. Infark serebri terjadi secara
sekunder akibat peningkatan aterosklerosis pada pasien hipertensi, dimana
perdarahan serebri adalah akibat dari peningkatan tekanan darah dan
perkembangan mikroaneurisma vaskuler serebri (aneurisma Charcot-Bouchard).
Hanya umur dan tekanan arterial diketahui berpengaruh terhadap perkembangan
mikroaneurisma.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan
kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan papiledem dan
kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan dengan
spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal neurologik jarang
ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri
atau transient ischemic attack. Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan
kelainan pada retina berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya
tidak beraturan, eksudat pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan
pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan
pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh darah.

   Efek pada Ginjal


Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus
adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada
penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan
hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian
disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi
terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga
sering terjadi pada pasien-pasien ini.

G.  PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA LANSIA


Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan
pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
         Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan
sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini
meliputi :
  Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
-      Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
-      Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
-      Penurunan berat badan
-      Penurunan asupan etanol
-      Menghentikan merokok
  Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk
penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu:
Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda,
berenang dan lain-lain.
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 %
dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar
antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x
perminggu dan paling baik 5 x perminggu
  Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
-       Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek
tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap
tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan
somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti
kecemasan dan ketegangan.
-      Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi
ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar
membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
  Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien
tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat
mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
         Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja
tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita
dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur
hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli
Hipertensi ( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION,
EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA,
1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium,
atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan
memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.

   Efek pada Ginjal


Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus
adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada
penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan
hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian
disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi
terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga
sering terjadi pada pasien-pasien ini.

H.  PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA LANSIA


Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan
pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
         Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan
sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini
meliputi :
 Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
-      Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
-      Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
-      Penurunan berat badan
-      Penurunan asupan etanol
-      Menghentikan merokok
  Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk
penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu:
Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda,
berenang dan lain-lain.
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 %
dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar
antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x
perminggu dan paling baik 5 x perminggu
  Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
-       Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek
tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap
tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan
somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti
kecemasan dan ketegangan.
-      Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi
ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar
membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
  Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien
tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat
mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
         Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja
tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita
dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur
hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli
Hipertensi ( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION,
EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA,
1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium,
atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan
memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges., 2003. Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta : EGC.


Fatimah.,2010.Merawat manusia Lanjut usia.Jakarta: Trans Info Media
Geratosima, Salma 2004. Buku Ajar GERIATRI (ilmu kesehatan usia lanjut) edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ganiswarna S., et al. 1995. Farmakologi & Terapi Edisi 4. Jakarta  : Balai
Penerbit FKUI.
Kowalski, Robert E. 2010. Terapi Hipertensi. Bandung : Mizan Pustaka.
Martono, H. (2004). Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut, Buku Ajar Geriatri
(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi Ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Ma’rifatul Lilik Azizah.,2011.Keperawatan lanjut usia.Jogjakarta: Graha

Anda mungkin juga menyukai