1. Jelaskan perbedaan antara Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan?
Ketahanan pangan: kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan. Kemandirian pangan: kemampuan negara dan bangsa dlm memproduksi pangan yg beraneka ragam dari dalam negeri, terutama dari kearifan lokal. Kedaulatan pangan: hak negara dan bangsa yg secara mandiri menentukan kebijakan pangan yg menjamin hak atas pangan bagi rakyat.
2. Bagaimana kondisi kedaulatan pangan di Indonesia?
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyampaikan Catatan Kedaulatan Pangan 2021 di Jakarta, Kamis (30/12/2021) pagi. KRKP mencatat bahwa sistem pangan dan pertanian masih dalam kondisi rentan. Sistem pangan rapuh saat dihadapkan dengan guncangan mendadak, seperti saat pandemic COVID-19. Guncangan ini menyebabkan penurunan akses penduduk terhadap pangan. masyarakat perkotaan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau yang menerima pengurangan jam kerja sempat mengalami kesulitan dalam menjangkau pangan yang sehat dan beragam. Kondisi sulit juga dialami oleh produsen pangan, petani yang ada di pedesaan. Petani-petani padi misalnya, saat panen raya justru mengalami kesulitan untuk menjual hasil panen dengan harga yang layak. Harga gabah anjlok di bawah harga pembelian pemerintah yang telah ditetapkan oleh Kemendag. Anjloknya harga ini ternyata disebabkan oleh sentiment pasar karena ada rencana pemerintah akan mengimpor beras pada awal tahun 2021 lalu. Kondisi seperti ini sebenarnya bukan hal baru, pada tahun sebelumnya, 2020 dan 2019 juga demikian, saat itu malah sudah terjadi impor saat menjelang panen raya. Kejadian ini tentu melukai hati petani kita karena harga anjlok. 3. Apa yang kamu ketahui tentang isu “Made in Siberut, Elegi Kedaulatan Pangan di Mentawai”? Siberut hanya salah satu contohnya. “Ketika kepercayaan lokal diganti agama baru, tidak ada lagi ikatan mereka dengan budaya dan ritual. Mereka pun terlepas dari hutan dan alam,” Setelah berhasil mengubah keyakinan orang lokal ke agama-agama resmi yang diakui negara, pemerintah lalu berusaha pula mengubah pola pertanian mereka. Sawah diimplan ke tradisi para peramu dan pemburu. Pemerintah memaksakan tradisi agraris yang tidak ada dalam kebudayaan mereka. Tidak seperti di Jawa dan Bali yang tradisi bersawahnya sudah ribuan tahun. Hal ini menambah kesan ‘pemaksaan’ dikarenakan lahan di Siberut tidak seluruhnya sesuai untuk ditanami padi karena jenis tanahnya adalah gambut, menyebabkan banyak padi yang gagal panen. Made in Siberut bisa menjadi contoh bagaimana masyarakat adat selalu menjadi korban kebijakan negara dalam politik pangan maupun pembangunan. Kebijakan Presiden Joko Widodo dalam membangun infrastruktur, termasuk untuk pengembangan pariwisata, misalnya, terbukti mengorban masyarakat adat. Penembakan petani di Sumba, Nusa Tenggara Timur dan penggusuran warga di Kulonprogo, Yogyakarta hanya sedikit di antara banyak contoh lainnya. “Karena mereka yang berada di garis depan, bukan masyarakat urban atau sub-urban,”